You are on page 1of 17

Mohammad Hamidi Masykur

 PENEMUAN HUKUM
Proses pembentukan oleh hakim, atau aparat
hukum lainnya yang ditugaskan untuk
penerapan peraturan huium umum pada
persitiwa konkrit, lebih lanjut dapat
dikatakan bahwa penemuan hukum adalah
proses konkretisasi atau individualisasi
peraturan hukum (das solen) yang bersifat
umum dengan mengingat akan peristiwa
konkrit (das sein) tertentu.
(Mertokusumo, 2001:37)
 Hakim
 Sifatnya konfliktif, kekuatan mengikat sebagai hukum, sebagai
sumber hukum
 Pembentuk Undang-undang
 Sifatnya Preskriptif
 Notaris
 Sifatnya problematis, sumbernya adalah klien
 Dosen, Pakar, Ilmuwan
 Sifatnya reflektif, bukan merupakan hukum karena teoritis,
merupakan sumber hukum (doktrin)
 Para Piihak
 Sifatnya emosionil, pada dasarnya setiap orang berhak
melakukan penemuan hukum tetapi bukan merupakan hukum
dan bukan sumber hukum
NO MATERI KETERANGAN
01 Sejarah Timbul setelah kodifikasi CODE CIVIL Prerancis
sempurna.

02 Pendapat Bahwa satu-satunya sumber hukum adalah


Undang-Undang. Bahwa diluar undang-undang
tidak ada hukum

03 Tokoh (Van Swinderen Belanda), Belgia, (Dr.


Freiderich Jerman) Swiss

04 Kekurangan Permasalahan Hukum yang timbul kemudian


tidak dapat dipecahkan oleh undang-undang
yang telah dibentuk

05 Kelebihan Menghasilkan kesatuan dan kepastian hukum.


NO MATERI KETERANGAN
01 Sejarah Ditimbulkan untuk pertamakalinya di Jerman dalam
pertengahan abad 19 sekitar Tahun 1940.

02 Pendapat Aliran Bebas hukumnya tidak dibuat oleh Badan


legislatif . Hukum terdapat diluar undang-undang

03 Tokoh Herman Kantorowicz, Eugen Ehrlich dan Oscar Bulow.


04 Kekurangan
05 Kelebihan a. Memberikan peradilan sebaik-baiknya dengan cara
memberi kebebasan kepada hakim tanpa terikat
pada UU tetapi menghayati tata kehidupan sehari-
hari
b. Membuktikan bahwa dalam UU terdapat
kekurangan dan kekurangan itu perlu dilengkapi.
c. Mengarapkan agar hakim dalam memutuskan
perkara didasarkan kepada rechtside (cita keadilan)
 Penahaman jurisprudensi adalah primer,
sedangkang penguasaan UU adalah sekunder
 Hakim benar-benar menciptkan hukum (judge made
law) karena keputusannya didasarkan pada keyakinan
hakim.
 Keputusan hakim lebih dinamis dan up to date karena
senantiasa mengikuti keadaan perkembangan di
dalam masyarakat.
 Hukum terbentuk oleh peradilan (recht spraak)
 Bagi hakim undang-undang, kebiasaan dan sebagainya
hanya sebagai sarana saja dalam membentuk/
menciptakan atau menemukan hukum pada kasus-
kasus yang konkret.
 Pandangan Freie Rechtslehre bertitik berat pada
kegunaan sosial ( sosiale doelmatigheid)
 Hukum itu harus berdasarkan asas keadilan masyarakat
yang terus berkembang
 Ternyata pembuat UU tidak dapat mengikuti kecepatan
gerak masyarakat atau proses perkembangan sosial,
sehingga penyusunan UU selalu ketinggalan.
 UU tidak tidak dapat menyelesaikan tiap masalah yang
timbul. UU tidak dapat terinci (mendetail) melainkan
hanya memberikan Algemene richtlijnen (pedoman umum
saja)
 UU tidak sempurna, kadang-kadang dipergunakan istilah-
istilah yang kabur dan hakim harus memberikan makna
yang lebih jauh dengan cara memberikan penafsiran.
 UU tidak lengkap dan tidak dapat mencakup segala-
galanya. Disini selalu ada leemten (kekosongan dalam UU)
maka harus menyusun dengan jalan merekonstruksi
hukum,
NO LEGISME & FREIE RECHTSLEHRE RECHTS VINDING
01 Aliran Rechtvindng merupakan aliran antara
legisme dengan Freie Rechlehre.
02 Aliran antara Berpegang kepada UU tetapi tidak
seketat aliran legisme. Terikat tapi
bebas (gebonden vrijheid) dan tidak
sebebas seperti Freie Rechlehre , bebas
tapi terikat (vrijegebondenheid)

03 Tugas hakim Menyelaraskan UU dengan keyataan


dalam masyarakat dan bila perlu
menambah UU disesuaikan dengan asas
keadaan masyarakat.
04 Jurisprudence Jurisprudensi mempunyai arti yang
penting disamping UU, karena dalam
Jurisprudensi terdapat makna yang
penting konkret yang tidak terdapat
dalam UU.
 Aliran Rechvinding hukum itu terbentuk
dengan beberapa cara:
1. Karena pembentuk UU (Wetgever)
2. Karena Administrasi (Tata Usaha Negara)
3. Karena Peradilan (Rechspraak)
4. Karena Kebiasaan (Tradisi)
5. Karena Ilmu (Wetenschap)
 Indonesia mempergunakan Rechvinding. Ini berarti bahwa hakim
dalam memutuskan perkara berpegang pada undang-undang dan
hukum lainnya yang berlaku dalam masyarakat secara gebonden
vrijheid dan vrije gebondenheid
 Pasal 20 AB :Bahwa hakim harus mengadili berdasarkan UU
 Pasal 22 AB: Hakim tidak boleh menolak mengadili perkara yang
diajukan kepadanya dengan alasan tidak lengkapnya, atau tidak
jelasnya Undang-Undang..
 Tindakan hakim
1. Ia Menempatkan perkara dalam proporsi yang sebenarnya
2. Kemudian ia melihat pada Undang-Undang
 Apabila UU menyebutkannya maka perkara diadili menurut UU
 Apabila UU kurang jelas, ia mengadakan penafsiran
 Apabila

3. Disamping itu ia melihat jurisprudensi dan dalil-dalil hukum


agama, adat dan sebagainya yang berlaku dalam masyarakat

Soeroso, PIH,Sinar Grafika, 1992, h. 87


Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, SG,2007, h. 116
NO MATERI KETERANGAN
01 Sejarah Tidak dapat menerima dasar-dasar pikiran aliran
legisme dan Begrifjurisprudenz

02 Pendapat 1. Undang-Undang tidak lengkap; ia bukanlah satu-


satunya sumber hukum
2. Hakim mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya
menemukan hukum (boleh menyimpang dari hukum)
3. Legisme dan Begrifjurisprudenz hakim mudah
menjadi abdi dari dogma/ atau Undang-undang.
Aliran ini menjadi raja terhadap Undang-Undang

03 Tokoh Kantorowicz, E Ehrlich, O. Bulow, E Stampe, E, Fuchs


04 Kekurangan Cenderung kesewenang-wenangan
05 Kelebihan 1. Hukum dapat memberikan jaminan atas
kepentingan-kepentingan kemasyarakatan, dan
menilai kepentingan-kepentingan itu.
2. Hakim mempunyai Freies Ermessen
Sudarsono, PIH,Rineka Cipta, 2004, h.118
 Freis Ermessen berasal dari bahasa Jerman.
 Frei dan Friei artinya bebas merdeka, tidak
terikat, lepas dan orang bebas.
 Ermessen : mempertimbangkan, menilai,
menduga, penilaian, pertimbangan dan
keputusan.
 Secara Etimologis dapat diartikan : “orang
yang bebas mempertimbangkan, bebas
menilai, bebas menduga, dan bebas
mengambil keputusan.”
 SF, Marbun, Dimensi-dimensi Pemikiran HAN, UII Press, 2001, h.105
 SISTEM HETERONUM
 Tokoh Montesquieu dan Kant mengatakan bahwa hakim
dalam menerapkan Undang-Undang terhadap peristiwa
hukum sesungguhnya tidak menjalankan peranannya
secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau
corong undang-undang, tidak dapat menambah dan tidak
dat mengurangi (Sudikno Mertokusumo, 2001: 39)

 SISTEM OTONOM
 Tokoh Van Eikima Hommes, Francois Geny dan Paul
Scolten. Hakim tidak lagi sebagai corong undang-undang
tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri
memberikan bentuk kepada isi Undang-Undang dan
menyesuaikannya dengan kebutuhan-kebutuhan
 Asas Curia Novit (Hakim dianggap tahu hukum)
 UU NO 4 Tahun 2004
 Pasal 1 “ Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila demi tundangerselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia”.
 Pasal 2 (1) penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum
pada pasal 1 diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan
dengan undang , dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan
mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya
 Pasal 14 “ Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
 Pasal 23 ayat (1) “ segala putusan pengadilan selain memuat alasan-alasan
dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu
dari peraturan- peraturan bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili.
 Pasal 28 Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti, memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
 Metode Interpretasi
1. Interpretasi Gramatikal
2. Interpretasi Sistematis
3. Interpretasi historis
4. Interpretasi sosiologis atau teologis
5. Interpretasi komparatif
6. Interpretasi antisipatif atau futuristis
 Metode Argumentasi
1. Argumentasi peranalogian (analogi)
2. Argumentasi a contrario
3. Argumentasi rechverfijning (pengkonkretan
hukum atau penghalusan hukum
NO METODE INTERPRETASI URAIAN
01 Gramatikal/ Bahasa Menafsirkan kata-kata dalam UU
sesuai dengan kaidah bahasa, kaidah
hukum tata bahasa
02 Sistematis Menafsirkan UU sebagai bagian dari
keseluruhan sistem dari perundang-
undangan
03 Historis Penafsiran dengan menyimak latar
belakang sejarah hukum atau sejarah
ketentuan tertentu (UU)
04 Sosiologis Menafsirkan makna atau subtansi UU
untuk diselaraskan dengan kebutuhan
atau kepentingan masyarakat..
05 Komparatif Penafsiran dengan cara
membandingakan peraturan pada
sistem hukum satu dengan peraturan
yang ada pada sistem hukum yang
lainnya.
06 Futuristis Penafsiran dengan mengacu kepada
rumusan dalam rancangan perundang-
undangan yang dicita citakan
NO METODE ARGUMENTASI URAIAN
01 Analogi Penemuan hukum dengan mencari
esensi dari species ke genius, atau
dari suatu peristiwa yang khusus ke
peristiwa umum
02 A contrario Mengabstrasikan suatu prinsip suatu
ketentuan untuk kemudian prinsip itu
secara berlawanan arti dan tujuannya
pada peristiwa konkret yang belum
ada pengaturannya.
03 Rechtvervijnings Mengkonkretkan suatu ketentuan
(penkonkretan hukum dalam UU yang abstrak atau terlalu
atau penghalusan luas cakupannya sehingga perlu
hukum) dikonkretkan oleh hakim

You might also like