You are on page 1of 33

Referat Infeksi dan Penyakit Tropik Kepada Yth

Asviandri Bapak/Ibu/Saudara/I ………………………………….


Tanggal : 12 Maret 2011 di tempat

METHICILLIN RESISTANT STAPHYLOCOCCUS AUREUS (MRSA)

PENDAHULUAN
MRSA atau methicillin resistant staphylococcus aureus adalah strain dari Staphylococcus
aureus yang resisten terhadap antibiotik β-laktam, termasuk penicillinase-resistant penicillins
(methicillin, oxacillin, nafcillin) dan cephalosporin.1-3 Methicillin diperkenalkan pertama kali
pada tahun 1959 untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh jenis-jenis S. aureus yang
resisten penicillin. Hanya dua tahun kemudian ada laporan dari para peneliti yang menyatakan
bahwa S. aureus telah menjadi resistan terhadap methicillin.4
MRSA merupakan penyebab utama infeksi di rumah sakit dan telah meluas dengan
cepat di banyak bagian dunia. Makin lama makin sulit untuk melawan MRSA dan cara terbaik
untuk mencegah penularannya masih banyak diperdebatkan. Di samping menjadi masalah di
rumah rumah sakit di dunia, MRSA juga makin banyak ditemukan kembali dari pasien di fasilitas
perawatan jangka panjang seperti wisma para usia lanjut, dan bahkan dari orang-orang di
masyarakat atau di tempat-tempat olahraga, penjara dan lain lain. 5
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk lebih memahami tentang MRSA baik
diagnosis, patofisiologi, klinis maupun tatalaksananya.
INFEKSI STAPHYLOCOCCUS AUREUS
Bakteri Staphylococcus aureus
Staphylococcus Aureus merupakan bakteri gram positif yang termasuk dalam family
Staphylococcaceae berbentuk coccus bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora dan
tidak motil, umumnya tumbuh berpasangan maupun berkelompok, dengan diameter sekitar
0,8-1,0 µm. S. aureus tumbuh dengan optimum pada suhu 37oC dengan waktu pembelahan
0,47 jam. S. aureus merupakan mikroflora normal pada manusia. Bakteri ini biasanya terdapat
pada saluran pernafasan atas dan kulit, namun dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan
abses, impetigo, selulitis bahkan dapat menyebabkan pneumonia, meningitis, osteomielitis,

1
endokarditis bakterimia dan sepsis.6 Nama Staphylococcus berasal dari bahasa Yunani staphyle
yang berarti rangkaian anggur dan aureus yang berarti keemasan, sehingga S.aureus dapat
dibedakan dengan staphylococcus yang lain karena koloninya berwarna keemasan dan hasil
positif pada tes koagulase, fermentasi manitol, dan deoksiribonuklease. 7
Genom staphylococcus terdiri dari kromosom melingkar (± 2800 bp), dengan prophages,
plasmid, dan transposons. Gen-gen yang akan menentukan virulensi dan resistensi terhadap
antibiotik ditemukan pada kromosom ini. Lima puluh persen berat dinding sel staphylococcus
terdiri dari peptidoglikan. Peptidoglikan ini berisi subunit-subunit polisakarida dari N-
acetylglucosamine dan N-acetylmuramic acid. Rantai peptidoglikan ini akan terikat pada N-
acetylmuramic acid melalui jembatan pentaglisin spesifik untuk S. aureus. Peptidoglikan bekerja
seperti endotoksin, yaitu merangsang pelepasan sitokin oleh makrofag, aktivasi komplemen,
dan agregasi platelet. 7,8

Gambar 1. Struktur S. aureus.


Panel A menunjukkan permukaan dan sekretori protein. Sintesis dari berbagai protein ini tergantung pada fase
pertumbuhan, seperti yang ditunjukkan oleh grafik, dan diatur oleh gen regulator seperti agr.
Panel B dan C menunjukkan potongan melintang dan amplop sel. 7

2
Sebagian besar staphylococcus menghasilkan mikrokapsul. Sampai sekarang sudah ada
11 serotipe polisakarida mikrokapsular yang sudah dapat diidentifikasi, dengan tipe 5 dan 8
merupakan 75% dari infeksi pada manusia. Sebagian besar isolat MRSA adalah tipe 5. Beberapa
protein permukaan akan berikatan dengan molekul matriks ekstraseluler dan dikenal sebagai
microbial-surface components recognizing adhesive matrix molecules (MSCRAMM). Protein-
protein ini mempengaruhi kemampuan staphylococcus dalam kolonisasi jaringan hospesnya.7
Salah satu protein yang penting dalam virulensi S.Aureus adalah protein A yang dapat
mengganggu system imun inangnya dengan mengikat Fc pada IgG pada complement binding
site sehingga aktivasi komplemen tidak terjadi.6
Staphylococcus menghasilkan bermacam-macam toksin yang terkelompok sesuai
dengan mekanisme kerjanya, antara lain sitotoksin, superantigen toksin pirogenik,
enterotoksin, dan toksin eksfoliatif. Sitotoksin merupakan toksin menyebabkan perubahan
formasi inti dan merangsang proinflamasi pada sel mamalia. Perubahan-perubahan ini akan
menimbulkan kerusakan sel dan berperan dalam manifestasi sindroma sepsis. 6,7
Superantigen toksin pirogenik secara struktur mirip dengan sitotoksin, terikat dengan
protein major histocompatibility complex (MHC) kelas II. Toksin ini menyebabkan proliferasi sel
T dan pelepasan sitokin. Molekul enterotoksin dapat menimbulkan penyakit akibat dari protein
proteinnya, yaitu toxic shock syndrome dan keracunan makanan. Gen untuk toxic shock
syndrome ditemukan pada 20% isolat S. aureus. Toksin eksfoliatif, termasuk juga toksin
epidermolitik A dan B, menyebabkan eritema dan separasi kulit seperti yang terlihat pada
scalded skin syndrome.7
Staphylococcus menghasilkan berbagai macam enzim, seperti protease, lipase, dan
hialuronidase. Enzim-enzim ini membantu penyebaran infeksi pada berbagai jaringan,
walaupun peran dalam patogenesis penyakit belum dapat diterangkan dengan jelas. 7 S. Aureus
juga menghasilkan enzim katalase yaitu enzim yang mengkonversi H2O2 menjadi H2O dan O2
dan enzim koagulase yaitu enzim yang menyebabkan plasma membeku dengan mengaktifkan
protrombin menjadi thrombin. Thrombin kemudian mengkatalisis fibrinogen menjadi bekuan
fibrin.9

3
Gambar2. Hubungan virulensi S.aureus dengan penyakit yang ditimbulkannya 10
2. Patogenesis Penyakit Staphylococcus

Gambar 3. Patogenesis invasi S.aureus pada jaringan7

4
Gambar 3 menunjukkan patogenesis invasi S. aureus pada jaringan. Staphylococcus yang
bersirkulasi akan menempel pada endovaskuler yang rusak dimana sebelumnya telah terbentuk
platelet-fibrin thrombi (PFT). Ikatan ini melalui mekanisme microbial-surface components
recognizing adhesive matrix molecules (MSCRAMM). Dilain pihak, staphylococcus dapat juga
menempel pada sel endotelial secara langsung melalui interaksi adhesin-receptor atau melalui
ligan-ligan yang termasuk di dalamnya adalah fibrinogen.7
Setelah terjadi fagositosis oleh sel endotelial, staphylococcus akan menguraikan enzim
proteolitik yang akan membantu penyebaran ke jaringan dan melepasnya ke aliran darah.
Tissue factor yang terekspresi oleh sel endotelial terinfeksi akan merangsang deposisi fibrin dan
formasi dari vegetasi. Sel endotelial mengekspresikan reseptor Fc dan molekul-molekul adhesi
[vascularcell adhesion molecules (VCAM) dan intercellular adhesion molecules (ICAM)] dan
melepaskan interleukin-1 (IL-1), IL-6, dan IL-8. Sebagai hasilnya, leukosit akan melekat pada sel
endotelial kemudian menuju tempat infeksi dengan gerak diapedesisnya. Perubahan pada
formasi sel endotelial akan menimbulkan peningkatan permeabilitas vaskuler dengan
transudasi dari plasma protein. Makrofag dan monosit melepaskan IL-1, IL-6, IL-8, dan tumor
necrosis factor-α (TNF-α) setelah terpapar oleh staphylococcus. Aktivasi makrofag terjadi
setelah dilepaskannya interferon-γ (INF-γ) oleh sel T. Sitokin dilepaskan ke dalam aliran darah
dari monosit atau makrofag sama seperti pada sel endotelial, menimbulkan manifestasi dari
sindroma sepsis dan vaskulitis yang berhubungan dengan systemic stapylococcal disease.7
Methicillin
Methicillin adalah antibiotik betalaktam spectrum sempit yang merupakan golongan
penicillinase-resistant semisynthetic penicillin. Methicillin pertama kali ditemukan oleh
Beecham pada tahun 1959, yang digunakan untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh
bakteri gram positif terutama bakteri yang menghasilkan enzim betalaktamase seperti S.Aureus
yang resisten terhadap penicillin.11 Seperti antibiotik betalaktam yang lain methicillin
menghambat sintesis dari peptidoglikan dari dinding sel bakteri. Peptidoglikan merupakan
struktur dinding sel bakteri yang penting terutama untuk bakteri gram positif. Tahap akhir dari
proses sintesis dari peptidoglikan di fasilitasi oleh enzim transpeptidase yang lebih dikenal

5
dengan penicillin binding protein (PBP). Obat ini kemudian berikatan dengan PBP sehingga
peptidoglikan tidak terbentuk dan bakteri akan lisis dan mati. 12
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Definisi
MRSA adalah S. aureus yang resisten terhadap antibiotik β-laktam, termasuk
penicillinase-resistant penicillins (methicillin, oxacillin, nafcillin) dan cephalosporin.1-3
Sejarah
Lebih dari 80% strain S. aureus menghasilkan penicilinase, dan penicillinase-stable
betalactam seperti methicillin, cloxacillin, dan fluoxacillin yang telah digunakan sebagai terapi
utama dari infeksi S. aureus selama lebih dari 35 tahun. Strain yang resisten terhadap kelompok
penicillin dan beta-lactam ini muncul tidak lama setelah penggunaan agen ini untuk
pengobatan.13
Methicillin digunakan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh S. aureus resisten
terhadap penicillin. Namun, di Inggris pada tahun 1961 telah dilaporkan adanya isolat S. aureus
yang resisten terhadap methicillin. 14 Kemudian infeksi MRSA secara cepat menyebar di seluruh
negara-negara Eropa, Jepang, Australia, Amerika Serikat, dan seluruh dunia selama berpuluh-
puluh tahun serta menjadi infeksi yang multidrug-resistant. 4,15
Tabel 1. Kronologi infeksi S. aureus dan resistensinya4
Tahun Kejadian

1940 penicillin diperkenalkan

1942 muncul S. auerus resisten penicillin

1959 methicillin diperkenalkan; sebagian besar strain S. aureus di rumah


sakit dan masyarakat resisten penicillin.

1961 muncul MRSA

1963 muncul wabah MRSA di rumah sakit yang pertama

1968 ditemukan strain MRSA yang pertama di rumah sakit Amerika

1970-an penyebaran klonal MRSA secara global, kejadian MRSA yang sangat
tinggi di Eropa Utara

1980-an, awal 1990-an penurunan kejadian MRSA yang dramatis dengan adanya program

6
“search & destroy” di Eropa Utara

1996 VRSA dilaporkan di Jepang

1997 kejadian MRSA di rumah sakit Amerika hampir 25%; penggunaan


vancomycin meningkat; muncul VISA; dilaporkan adanya infeksi CA-
MRSA yang serius

2002 terjadi infeksi VRSA yang pertama di Amerika

2003 kejadian MRSA kembali meningkat; hampir 60% terjadi di ICU wabah
CA-MRSA (khususnya klon USA 300) dilaporkan terjadi di banyak
tempat dan berimplikasi pada wabah di rumah sakit

2006 >50% infeksi kulit staphylococcal muncul di bagian gawat darurat


yang disebabkan CA-MRSA; HA-MRSA terus meningkat; membedakan
antara HA-MRSA dan CA-MRSA secara epidemiologi menjadi semakin
sulit

2007 “The Year of MRSA?”

Epidemilologi
Saat ini diperkirakan sekitar 2-3% populasi umum telah terkolonisasi oleh MRSA. Jumlah
ini akan meningkat lagi menjadi ±5% pada populasi yang berkelompok seperti militer dan
penjara. Orang yang terkolonisasi akan mudah untuk terjadi infeksi, walaupun sebagian besar
akan tetap asimtomatik 16.
Antara tahun 1996-1999 dilaporkan bahwa 23 rumah sakit di Kanada terdapat 6% dari
seluruh isolat S. aureus yang resisten terhadap methicillin, dengan rerata 4,14 kasus MRSA per
1000 pasien yang dirawat dari 35% pasien dengan infeksi. Sebagian besar isolat diperoleh dari
MRSA yang berasal dari ruang perawatan akut (72,6%), 7,2% diperoleh dari bangsal perawatan,
4,6% diperoleh dari komunitas masyarakat, dan sisanya (15,6%) tidak diketahui asalnya. Di
Amerika Serikat, selama 13 tahun (1993-2005) infeksi MRSA telah sangat berkembang. Pada
tahun 2005 terdapat 368.600 kasus MRSA di rumah sakit seluruh AS. Keadaan ini menunjukkan
adanya peningkatan sebesar 30% dibandingkan pada tahun 2004 17. Penelitian yang dilakukan
oleh Kleven et al di Amerika menemukan insiden MRSA pada anak usia dibawah 1 tahun adalah
23,1 per 100.000 penduduk dan usia 1-17 thn 7,8 per 100.000 penduduk, sedangkan angka
kematian yang disebabkan oleh MRSA untuk anak usia dibawah 1 tahun 2,0 per 100.000

7
penduduk dan usia 1-17 tahun 0,2 per 100.000 penduduk. 18 Insiden MRSA pada anak di
Indonesia belum ada.
Mekanisme resistensi
Seperti yang telah diuraikan bahwa antibiotik beta laktam (penicillin dan sefalosporin)
menghancurkan bakteri Staphylococcus dengan menginaktifkan PBP, suatu enzim yang penting
dalam pembentukan dinding bakteri. Empat PBP alamiah ditemukan pada bakteri ini dan
keempatnya dapat diinaktifkan oleh antibiotik ini, sehingga dinding sel jadi lemah, mudah
pecah dan lisis. Bakteri staphylococcus yang menghasilkan protein beta laktamase merubah
struktur cincin betalaktam sehingga antibiotik betalaktam tidak bisa menginaktifkan PBP dan
terjadi resistensi terhadap penicillin, tetapi tidak untuk antibiotik betalaktam semi sintetik
seperti meticillin, oxacillin atau cloxacillin. 2
Dengan adanya perubahan/mutasi pada gen mecA yang merupakan gen pencetak
PBP2a, menyebabkan afinitas PBP2a terhadap antibiotik beta laktam menjadi sangat rendah.
Rendahnya afinitas ini menyebabkan antibiotik betalaktam tidak bisa terikat pada PBP dan tidak
bisa menghambat pembentukan peptidoglikan sehingga terjadi resistensi untuk semua
antibiotik beta laktam termasuk penicillin sintetik. 2 Ketika sebuah gen berubah, maka bakteri
dapat mengirimkan informasi genetik secara horisontal ke bakteri lainnya melalui pertukaran
plasmid. Bakteri yang membawa beberapa gen resistensi disebut multiresistant atau
superbug.19

8
Gambar 4. Transfer gen resistensi secara horisontal 19

Klasifikasi
MRSA dikasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu Healthcare-associated MRSA (HA-
MRSA) dan community-associated MRSA (CA-MRSA). Healthcare-associated MRSA (HA-MRSA)
oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) didefinisikan sebagai infeksi MRSA yang
terdapat pada individu yang pernah dirawat di rumah sakit atau menjalani tindakan operasi
dalam 1 tahun terakhir, memiliki alat bantu medis permanen dalam tubuhnya, bertempat
tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang, atau individu yang menjalani dialisis 20. HA-MRSA
secara tipikal dihubungkan dengan seseorang yang memiliki faktor risiko perawatan di rumah
sakit atau panti, dialisis, mendapat terapi antibiotik, atau terpapar oleh alat atau prosedur yang
invasif. HA-MRSA memiliki resistensi yang sangat tinggi dan merupakan penyakit nosokomial
yang penting 21
Faktor risiko independen untuk memprediksi infeksi HA-MRSA adalah pada pasien
dengan luka operasi, ulkus dekubitus, dan kateter intravena yang sebelumnya telah
terkolonisasi. Pasien yang dirawat di ICU (intesive care unit) memiliki risiko lebih tinggi untuk
timbulnya MRSA dibanding dengan pasien yang dirawat di ruangan biasa. 13.
Pada awal 1990-an telah muncul MRSA yang didapatkan pada individu yang sebelumnya
tidak memiliki faktor risiko yang berhubungan dengan MRSA. Keadaan ini disebut sebagai

9
community-associated MRSA (CA-MRSA)21. Perbedaan antara HA MRSA dan CA MRSA tampak
pada tabel 2. Secara genetik dan fenotipe strain HA-MRSA berbeda dengan strain CA-MRSA. CA-
MRSA memiliki komposisi yang lebih kecil, mengalami kejadian virulensi yang lebih tinggi, dan
jarang terjadi multidrug resistant pada antimikroba non β-laktam (misalnya terhadap
tetracyclin, trimetoprim-sulfametoksazol [TMP-SMX], rifampin, clindamycin, dan
fluoroquinolone) 20,22
Tabel 2. Karakteristik antara HA-MRSA dan CA-MRSA11,21
HA-MRSA CA-MRSA
At-risk groups or conditions Residents in long-term care facility, Children, competitive athletes,
patients with diabetes mellitus, prisoners, soldiers, selected ethnic
patients undergoing populations (Native Americans/
hemodialysis/peritoneal dialysis, Alaska Natives, Pacific Islanders),
prolonged hospitalization, intensive intravenous drug users, men who
care unit admission, indwelling have sex with men
intravascular catheters
SCC t ype Types I, II, & III Type IV & V
Strain type USA 100 & 200 USA 300 & 400
Antimicrobial resistance Multidrug resistance, common β-Lactam resistance alone, common
PVL toxin Rare (5%) Frequent (almost 100 %)
Associated clinical syndromes Nosocomial pneumonia, Skin and soft tissue infections
nosocomial- or catheter-related (furuncles, skin abscesses),
urinary tract infections, intravascular postinfluenza necrotizing pneumonia
catheter or bloodstream infections,
surgical-site infections
Strain CA-MRSA secara tipikal mengandung eksotoksin yang dinamakan toksin Panton-
Valentine Leukodin (PVL). PVL sering terdapat pada pasien yang imunokompeten tanpa adanya
faktor risiko yang dapat diidentifikasi. Strain CA-MRSA yang mengandung PVL ini mempunyai
kemampuan untuk menimbulkan kerusakan jaringan dan lekosit yang parah. PVL masuk melalui
lubang pada membran sel kemudian menghasilkan lesi pada permukaan kulit dan di dalam
mukosa saluran pernapasan20.
Dua komponen dari PVL, yaitu LukS-PV dan LukF-PV disekresi dari S. aureus sebelum
mereka berkumpul pada cekungan berbentuk heptamer dari membran polymorphonuclear
leukocytes (PMN). Peningkatan konsentrasi PVL menyebabkan lisis dari PMN, sedangkan
rendahnya konsentrasi PVL akan mempengaruhi alur apoptosis PMN dengan langsung
berikatan pada membran mitokondrial. Nekrosis jaringan dapat merupakan hasil pelepasan
reactive oxygen spesies (ROS) dari PMN yang lisis. Kemungkinan lainnya adalah pelepasan
granul dari PMN yang lisis akan menimbulkan respon inflamasi yang pada akhirnya akan

10
menimbulkan nekrosis jaringan. PVL tidak dapat menimbulkan nekrotik jaringan secara
langsung pada sel epitel 22.

Gambar 5. Proses PVL menimbulkan nekrosis jaringan 22.


Deteksi MRSA
• Metode dilusi (dilution methods)
Dilusi agar (agar dilution).
Uji ini menggunakan media Mueller-Hinton (MH) atau agar Columbia dengan NaCl 2%
dan inokulum 104 cfu/mL akan terlihat jelas perbedaan resistensi diantara strain-strain S.
aureus. Menurut British Society for Antimicrobial Chemotherapy (BSAC), kedua media ini dapat
digunakan kemudian dilakukan inkubasi pada 30ºC selama 24 jam. Pada metode BSAC ini,
minimum inhibitory concentration (MIC) methicillin ≤4 mg/L mengindikasikan bahwa strain S.
aureus ini masih rentan/sensitif terhadap methicillin, sedangkan MIC > 4 menunjukkan resisten.
Sedangkan menurut National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS), yang
sekarang dikenal sebagai Clinical Laboratory Standards Institute (CLSI), metode ini hanya
menggunakan MH sebagai medianya, kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 33-35ºC.

11
Hasil MIC methicillin ≤2 mg/L mengindikasikan bahwa strain S. aureus ini masih rentan/sensitive
terhadap methicillin, sedangkan MIC > 2 menunjukkan resisten 14.
Mikrodilusi kaldu (broth microdilution)
Metode NCCLS ini menggunakan kaldu MH dengan NaCl 2% sebagai media, sebuah
inoculums 5 x 105 cfu/mL dan diinkubasi pada suhu 33-35ºC selama 24 jam. Metode ini banyak
digunakan secara luas 14.
• Metode penapisan agar (Agar screening method)
Metode ini direkomendasikan oleh NCCLS untuk penapisan isolasi koloni pada media
rutin dan untuk konfirmasi akan kecurigaan adanya resistensi pada uji difusi piringan (disc
diffusion tests). Pada metode ini densitas S. aureus dipertahankan pada 0,5 standar McFarland,
menggunakan media MH yang mengandung NaCl 4% dan 6 mg/L oxacillin. Kemudian diinkubasi
selama 24 jam pada suhu 35ºC atau kurang. Adanya pertumbuhan mengindikasikan resistensi 14.
• Piringan difusi (disc diffusion)
Sekarang ini uji piringan difusi sefoksitin lebih banyak direkomendasikan dibandingkan
dengan oksasilin. Hal ini dikarenakan pada sefoksitin tidak diperlukan media dan temperature
inkubasi khusus, serta tidak terpengaruh adanya hiper-produksi dari penisilinase sehingga tidak
terjadi positif palsu MRSA 14.
• Aglutinasi lateks (latex agglutination)
Metode ini mengekstraksi PBP2a (penicillin binding protein) dari suspensi koloni dan
deteksinya oleh aglutinasi dengan partikel lateks yang dilapisi oleh antibodi terhadap PBP2a.
Isolat yang memproduksi sedikit PBP2a akan menimbulkan reaksi aglutinasi yang lemah atau
lambat. Uji ini sangat sensitif dan spesifik terhadap S. aureus, namun tidak cocok pada
pertumbuhan koloni yang mengandung NaCl. Disamping itu pula metode sangat cepat (hanya
±10 menit untuk 1 uji) dan tidak memerlukan alat khusus 14.
• Metode molekuler (molecular methods)
Identifikasi MRSA langsung dari kultur darah Sebagian besar laboratorium mikrobiologi
klinik, identifikasi kultur darah yang positif mengandung kokus gram positif (Gram-positive cocci
in cluster [GPCC]) menggunakan system otomatis di bawah mikroskop, dilanjutkan dengan
kultur secara konvensional untuk mendeteksi adanya MRSA. Beberapa penelitian telah

12
dilakukan untuk menilai penggunaan metode molekuler secara langsung mendeteksi MRSA
dengan mikroskop pada GPCC yang positif. Metode ini merupakan diagnosis cepat untuk MRSA
dan dapat menentukan terapi yang tepat. Beberapa metode ini menggunakan dasar gel dan
real-time PCR, penyelidikan DNA, serta penyelidikan asam nukleat peptida (peptide nucleic
acid). Kelemahan metode ini adalah memerlukan alat-alat khusus dan seorang yang sudah ahli.
Salah satu alat yang menggunakan metode ini adalah “EVIGENE kit” (Staten Serum Institut,
Kopenhagen, Denmark). Alat ini berdasarkan pada colorimetric gene probe hybridization assay
untuk spesifik stafilokokus 16S rRNA, mecA dan nuc gen dalam bentuk strip. Alat ini dapat
mengidentifikasi MRSA pada kultur darah positif dalam 7 jam, tanpa memerlukan kultur
konvensional atau kemungkinan adanya kontaminasi silang seperti pada PCR 14
Identifikasi MRSA dari aspirasi endotrakhea dan sampel klinik lainnya Alat yang dapat
mendeteksi kolonisasi MRSA di saluran nafas bagian atas dan bawah secara cepat dan spesifik
sangat penting digunakan pada pasien-pasien sakit parah dengan ventilator mekanik di N ICU.
Prosedur alat ini berdasar pada PCR multipleks dengan target di gen femA dan mecA dari
aspirasi endotrakhea. Disamping itu alat ini selain dapat mendeteksi MRSA, juga dapat
mendeteksi bakteri Gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa yang biasanya menjadi ko-
infeksi pada pasien-pasien dengan ventilator mekanik di NICU. Pseudomonas aeruginosa ini
secara potensial dapat tumbuh berlebihan (overgrowth) dan menimbulkan negatif palsu pada
metode kultur standar 14.
Diagnosis MRSA
Penularan utama MRSA adalah melalui kontak langsung antar orang per orang, biasanya
dari tangan orang yang terinfeksi atau terkolonisasi. MRSA juga dapat menyebar melalui
pemakaian handuk bersama-sama, alat-alat mandi, alat-alat olahraga, baju, alat-alat
pengobatan, olahraga dengan kontak langsung, atau ketika adanya wabah yang berasal dari
makanan 16.
Setiap dokter atau penyedia layanan kesehatan harus mempertimbangkan infeksi MRSA
pada diagnosis bandingnya pada semua pasien dengan adanya gambaran infeksi kulit dan
jaringan lunak [skin and soft tissue infection (SSTI)] atau manifestasi gejala lainnya dari infeksi

13
staphylococcus disertai adanya faktor risiko untuk terjadinya MRSA. Gambaran klinik dari SSTI
itu biasanya digambarkan dan didiagnosis sebagai “gigitan serangga atau laba-laba” 16,20.
Faktor risiko yang dihubungkan dengan penyebaran CA-MRSA adalah kulit yang terbuka,
kondisi tempat tinggal yang kumuh (misalnya tempat penampungan geladangan), kontak dari
kulit ke kulit yang frekuen (misalnya olahraga dengan kontak langsung), kegiatan praktik
dengan higiene yang rendah, dan pemakaian alat-alat secara bergantian termasuk alat-alat
olahraga, pisau cukur, alat-alat hiasan rambut, dan handuk 20.
Tabel 3. Faktor-faktor risiko untuk terjadinya MRSA16
Faktor-faktor community-acquired atau tempat khusus
• Kondisi tempat tinggal yang berdesakan dan kumuh (penjara, barak militer, penampungan gelandangan
• Populasi (penduduk kepulauan pasifik, asli Alaska, asli Amerika)
• Kontak olahraga (sepakbola, rugby, gulat)
• Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki
• Berbagi handuk, alat-alat olahraga, barang-barang pribadi
• Higiene personal yang buruk

Faktor-faktor hospital-acquired atau tradisional


• Perawatan di rumah sakit sebelumnya (dalam 1 tahun terakhir)
• Dilakukan operasi sebelumnya (rawat inap atau rawat jalan dalam 1 tahun terakhir)
• Riwayat abses yang rekuren, folikulitis, furunkulosis atau infeksi kulit lainnya
• Riwayat infeksi kulit yang rekuren dalam keluarga atau yang tinggal bersama
• Terbukti secara laboratorium adanya kasus MRSA dalam keluarga atau yang tinggal bersama
• Tinggal di fasilitas perawatan jangka lama atau kontak dengan penghuninya berkali-kali
• Pengguna obat intavena
• Terpasang kateter
• Kondisi medis (misalnya diabetes, HIV, gagal ginjal)

Tampilan klinis strain CA-MRSA yang mengandung PVL biasanya tampak sebagai SSTI,
seperti bisul, jerawat, furunkel, dan abses kulit. Namun saat ini telah dilaporkan adanya infeksi
yang invasif seperti necrotizing pneumonia dan fasciitis, osteomielitis, artritis septik, toxic shock
syndrome, bakteriemia, limfadenitis, dan miositis. Walaupun jarang, CA-MRSA juga
dihubungkan dengan community-acquired pneumonia (CAP) yang biasanya ditemukan setelah
influenza-type illness. Salah satu cara untuk membedakan pneumonia yang disebabkan oleh CA-
MRSA adalah terjadinya hemoptisis setelah influenza-like syndrome20.
Kultur bakteri aerobik harus didapatkan pada keadaan ketika, 1) SSTI yang disebabkan
oleh strain resisten methicillin atau sensitif methicillin tidak dapat dibedakan dengan gambaran
klinik, 2) dibutuhkan identifikasi dari spesies dan sensitifitas antibiotiknya yang akan membantu

14
pemilihan antibiotik. Kultur harus diperoleh dari luka yang telah kering, pus yang diaspirasi dari
infeksi jaringan lunak, dan aspirasi dari cairan yang diduga terinfeksi. Kultur darah harus
dilakukan pada pasien yang demam dengan kecurigaan infeksi MRSA, dan jika diperlukan pada
pasien pengguna obat injeksi atau endokarditis yang secara klinis juga dicurigai 16.
Hasil kultur yang positif baik dari darah dan cairan tubuh yang steril (misalnya cairan
sendi, pleura, dan serebrospinal) merupakan diagnosis pasti dari infeksi MRSA. Kultur positif
dari sumber-sumber yang non-steril (misalnya dari drainase luka dan luka terbuka) merupakan
indikasi adanya infeksi bakteri atau kolonisasi dan harus diinterpetasikan dalam bentuk gejala
klinik pasien 16.
Manajemen pasien dengan infeksi MRSA
a. HA-MRSA
Agen antimikrobial yang dapat digunakan untuk penanganan infeksi MRSA, khususnya
yang bersifat bakterisidal, jumlahnya terbatas. Dengan adanya keterbatasan pemilihan obat
dan peningkatan munculnya isolat-isolat yang resisten multi obat, maka sangat penting untuk
membersihkan semua fokus infeksi yang ada. Hal penting lain yang perlu dilakukan adalah
menetapkan bahwa seorang pasien telah terinfeksi dibanding hanya terkolonisasi sebelum
memberikan agen antimikrobial sistemik 13.

• Kontrol MRSA di rumah sakit


Komunikasi merupakan hal yang penting untuk menekan penyebaran MRSA.
Pemberitahuan adanya infeksi MRSA ini dapat dilakukan oleh pihak rumah sakit kepada unit-
unit yang ada di masyarakat ataupun sebaliknya. Strategi “search and destroy” dilakukan di
Belanda pada tahun 1989 berhasil menurunkan kejadian infeksi MRSA dibandingkan pada
pertengahan 1980-an.23 Australia barat melakukan kebijakan penapisan dan kontrol infeksi yang
agresif untuk menekan penyebaran MRSA dari luar negaranya. Denmark melakukan kebijakan
mengontrol secara ketat peresepan antibiotik untuk infeksi, sehingga berhasil menurunkan
kejadian MRSA dari 15% pada tahun 1971 menjadi hanya 0,2% pada tahun 1984. Pencarian dan
pengobatan karier secara aktif dapat menurunkan jumlah infeksi MRSA pada saat kejadian
wabah di Spanyol 13.

15
 Isolasi
Walaupun tangan petugas kesehatan merupakan jalur utama penyebaran MRSA, infeksi
silang di bangsal masih sulit untuk dicegah. Kuman staphylococcal dapat sangat mencemari
lingkungan rumah sakit dan akan melepaskan partikel ke udara. Pasien yang terinfeksi dan jika
memungkinkan karier, harus diisolasi dalam satu ruangan atau jika ada di unit isolasi dengan
petugas khusus 13 .
Ruang isolasi harus selalu tertutup dan memiliki sistem ekstraksi yang membuang udara
dari kamar ke ruang bebas. Hal ini akan mengurangi penyebaran antar ruang perawatan. Jika
tidak ada unit isolasi khusus dan terbatasnya kamar pasien, maka semua pasien yang terinfeksi
atau terkolonisasi MRSA dirawat dalam satu bangsal dengan petugas khusus untuk mengontrol
outbreak secara efektif. Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam mengontrol infeksi jika
tidak ada unit khusus isolasi adalah melakukan cuci tangan dengan benar, penggunaan sarung
tangan, pakaian pelindung, dan pembuangan sampah 13.
 Penutupan bangsal
Penutupan bangsal atau unit perawatan perlu dilakukan jika isolasi pasien dan
perawatan khusus lainnya gagal mengontrol penyebaran dan diperkirakan akan menimbulkan
risiko serius pada pasien baru yang masuk untuk perawatan di rumah sakit tersebut. Namun
penutupan sebuah bangsal akan menimbulkan implikasi yang serius pada pelayanan kesehatan
di rumah sakit yang bersangkutan sehingga perlu adanya faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan dalam penilaian risiko jika harus melakukan penutupan 13.
Faktor-faktor tersebut adalah: 1) Jumlah kasus. Banyaknya pasien baru yang menjadi
terinfeksi MRSA merupakan faktor yang paling penting dalam penilaian perkembangan suatu
wabah. Pengumpulan data harus dilakukan secara cepat dan didiskusikan antara pihak
manajemen rumah sakit dan petugas bangsal yang bersangkutan untuk menentukan keputusan
yang rasional termasuk kemungkinan penutupan bangsal; 2) Strain MRSA. Strain yang resisten
terhadap antibiotik akan menimbulkan kesulitan dalam terapinya dan diantaranya akan mudah
menyebar. EMRSA-15 dapat mengolonisasi ulkus dekubitus dan urin melalui kateter sehingga
akan menyebabkan infeksi berat. EMRSA-16 dihubungkan dengan penyakit yang invasif seperti
pneumonia. Adanya strain yang menyebabkan infeksi yang invasif merupakan indikasi relative

16
untuk penutupan suatu bangsal, khususnya pada bangsal yang berisi pasien dengan status imun
yang rendah; 3) Aktifitas klinis. Ruang perawatan akut yang digunakan untuk area kritis seperti
ICU, neonatologi, atau bedah kardiotorak merupakan area yang terakhir ditutup ketika terjadi
suatu wabah. Ruang perawatan non-akut, seperti bedah elektif merupakan indikasi relatif untuk
dilakukan penutupan lebih awal; dan 4) Jumlah petugas. Jumlah perawat dan petugas lainnya
yang sedikit, rendahnya kemampuan, rendahnya hubungan antar profesi, atau jarangnya
petugas senior yang terlibat dalam manajemen di bangsal akan membuat sia-sia pen gananan
infeksi. Penutupan bangsal disarankan jika terjadi hal seperti ini 13.
 Penapisan pasien untuk mendeteksi MRSA
Sensitivitas pendeteksian karier MRSA tergantung pada banyak faktor. Faktor
terpentingnya adalah metode yang digunakan dan banyaknya jumlah dan tempat sampel
pengambilan. Tempat pengambilan sampel untuk penapisan rutin biasanya adalah hidung, lesi
atau luka, tempat masuknya alat intravena, trakheostomi, perineum, genital, urin dari pasien
dengan kateter, dan sputum jika ada. Tempat lain untuk pengambilan sampel adalah umbilikus
pada bayi baru lahir, feses, dan swab vagina jika ada indikasi klinis. Jika terjadi suatu wabah
tempat lain yang bisa diambil sampelnya adalah aksila, vagina, dan kulit pantat pada lanjut
usia13.
Sensitivitas dari berbagai tempat pengambilan sampel untuk mendeteksi MRSA adalah
hanya hidung 78,5%, hidung dan mulut 85,6%, hidung dan perineum 93,4%, hidung, mulut, dan
perineum 98,3%. Metode yang digunakan dalam proses penapisan swab di laboratorium dapat
mempengaruhi sensitivitas. Menggabungkan swab dalam satu kaldu merupakan salah satu cara
agar proses pengolahan spesimen lebih murah, meski penggunaan garam dan antibiotik pada
kaldu harus dimodifikasi sesuai dengan strain MRSA pada saat wabah 13.
• Pengobatan pada karier MRSA
Pasien dan petugas kesehatan di rumah sakit yang menjadi karier MRSA merupakan
sumber dari penyebaran MRSA. Oleh karena itu diperlukan suatu usaha untuk mengeradikasi
kolonisasi pada pasien dan petugas kesehatan tersebut. Pengobatan pada karier diberikan pada
pasien yang berada di area dengan risiko klinik rendah, dimana situasinya mirip dengan situasi
di masyarakat dan tidak ada interaksi dengan unit keakutan. Eradikasi diperlukan juga pada

17
pasien yang akan dipindahkan ke unit khusus. Pasien usia lanjut dan lemah yang dalam masa
perawatan sesudah operasi atau keadaan sakit berat mungkin tidak dapat menerima obat
kombinasi seperti rifampisin dan asam fusidik untuk mengobati kolonisasi di mulut. Pemberian
antiseptik topical dapat juga menimbulkan kondisi ekserbasi dan iritasi di kulit. Sehingga
13
pemberiannya harus hati-hati . Royal College of Nursing (RCN) membagi area risiko klinis
menjadi 4 kategori. Kategori risiko itu seperti tampak pada tabel 4 24.
Tabel 4. Area risiko klinis transmisi MRSA24
Kategori risiko

􀂙 Tinggi • ICU
• Unit perawatan khusus bayi
• Unit luka bakar
• Unit transplantasi
• Kardio-torak
• Ortopedi
• Trauma
• Vaskular
 Pusat referal regional, nasional, internasional
􀂙 Sedang • Ruang operasi umum
• Urologi
• Neonatal
• Ginekologi
• Obstetrik
• Dermatologi
􀂙 Rendah • Ruang perawatan usia lanjut (akut)
• Ruang perawatan medis umum
• Ruang perawatan anak-anak (non neonatal)
􀂙 Minimal • Ruang perawatan usia lanjut (jangka lama)
• Psikiatrik
• Psiko-geriatrik

• Eradikasi pada hidung


Pengobatan topikal yang paling efektif untuk eradikasi di hidung adalah mupirocin dengan
dasar parafin (Bactroban Nasal®) yang dioleskan pada nares anterior 3 x/hari selama 5 hari.
Namun saat ini ditemukan adanya strain MRSA dengan level rendah (MIC 8-256 mg/1) dan level
tinggi (>256 mg/1) yang resisten terhadap mupirocin. Strain MRSA level rendah masih dapat
berespon terhadap mupirocin. Penggunaan mupirocin yang berulang-ulang dan lama dapat
menyebabkan munculnya resistensi ini 13.

18
Agen topikal lain seperti chlorhexidine 1% dan Naseptin® (chlorhexidine 1% + neomycin
0,5%) kurang efektif namun dapat mengurangi jumlah organisme di hidung. Agen topikal ini
merupakan alternatif untuk strain yang resisten mupirocin, khususnya pada strain yang
diketahui sensitif terhadap neomycin. Pemberian terapi sistemik dengan rifampicin
dipertimbangkan pada keadaan jika keuntungannya lebih besar daripada efek sampingnya.
Rifampicin harus selalu dikombinasikan dengan agen aktif lainnya untuk melawan MRSA seperti
sodium fusidate, ciprofloxacin, atau trimethroprim untuk mencegah timbulnya resistensi.
Kejadian efek samping oleh karena rifampicin sangat tinggi, sehingga pasien harus diberitahu
efek samping yang sering terjadi dan disarankan untuk menghentikan jika diperlukan 13.
• Eradikasi pada mulut
Pemberian topikal pada hidung sering kali tidak dapat membersihkan mulut atau
sputum. Pemberian mupirocin lebih efektif dibanding dengan naseptin. Pemberian terapi
sistemik seperti yang digambarkan diatas dipertimbangkan dapat diberikan. Dianjurkan untuk
pemberian obat semprot mulut bersama-sama dengan mupirocin hidung untuk eradikasinya 13 .
• Eradikasi pada kulit utuh
Perbatasan kulit pada tempat infeksi seringkali terkontaminasi oleh S. aureus yang dapat
menyebar ke tempat lainnya. Jumlah S. aureus dapat berkurang dengan mencuci kulit dan
rambut dengan sabun antiseptik. Reduksi yang progresif dari flora kulit dapat dilakukan dengan
mandi setiap hari selama 3 hari berturut-turut dengan sabun yang mengandung chlorhexidine,
hexachlorophane, atau povidone-iodine. Pemberian emollient (Savlon®) disarankan pada
pasien dengan problem kulit atau pada usia lanjut. Konsentrat ini dapat membunuh S. aureus
yang ada di air mandi. Konsentrat ini kurang efektif dalam mereduksi kolonisasi kulit dibanding
dengan pemberian langsung sabun antiseptik. Sabun antiseptik penggunaannya harus hati-hati
pada pasien dengan dermatitis, dan harus dihentikan jika terjadi iritasi kulit. Bubuk
hexachlorophene (Ster-Zac 0,33%®) merupakan agen anti staphylococcal yang efektif digunakan
pada neonatal dan dapat digunakan pada aksila dan genital orang dewasa jika ada kolonisasi.
Namun jangan digunakan pada area kulit yang terluka13.
• Eradikasi pada lesi kulit

19
Mupirocin dengan dasar polyethylene glycol (Bactroban®) merupakan agen
antistafilokokal yang efektif untuk diberikan pada lesi kulit seperti eksim dan ulkus dekubitus
superfisial kecil. Agen ini tidak boleh digunakan pada luka bakar yang luas atau area luka yang
tidak beraturan dan banyak karena agen ini bersifat nefrotoksik. Penggunaan yang lama harus
dihindari untuk mencegah timbulnya resistensi terhadap mupirocin. Eradikasi MRSA pada lesi
kulit harus dilakukan bersama-sama dengan eradikasi pada tempat lainnya 13.
b. CA-MRSA
Kolonisasi S. aureus di hidung telah diketahui sebagai salah satu faktor risiko untuk
terjadinya infeksi MRSA. Kolonisasi MRSA terdapat juga di tempat lain, misalnya aksila, rektum,
dan perineum yang juga penting dalam perkembangan dan penyebaran infeksi. Regimen yang
digunakan untuk melakukan eradikasi kolonisasi yang ada di masyarakat sama seperti yang
digunakan di rumah sakit 25.
Strategi penatalaksanaan CA-MRSA
MRSA harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding SSTI yang mungkin disebabkan
oleh infeksi S. aureus. Adanya keluhan utama seperti “gigitan laba-laba” dari pasien
menguatkan kecurigaan kita akan adanya infeksi S. aureus. MRSA juga perlu dipertimbangkan
sebagai diagnosis banding pada gejala-gejala lain yang disebabkan oleh infeksi S. aureus,
termasuk sindroma sepsis, osteomielitis, artritis septik, dan pneumonia yang berat, serta pada
sindroma berat yang tidak selalu dihubungkan dengan S. aureus, seperti necrotizing fasciitis dan
purpura yang fulminan 25.
Para klinisi diharapkan mengumpulkan spesimen untuk dilakukan kutur pada semua
pasien dengan abses atau lesi kulit yang purulen, khususnya pada keadaan infeksi lokal yang
berat, adanya tanda-tanda infeksi sistemik 25. Walaupun antibiotik beta-lactam merupakan obat
pilihan utama untuk SSTI, harus dipertimbangkan adanya faktor risiko untuk terjadinya CA-
MRSA (misalnya gelandangan dan angka kejadian setempat yang tinggi) selama proses terapi
dilakukan. Dalam hal ini CA-MRSA harus menjadi salah satu diagnosis banding pada pasien
dengan SSTI yang datang ke fasilitas kesehatan 20. Sebelum memulai terapi antibiotik jika ada
indikasi harus dilakukan insisi dan drainase atau debridemen pada lesi kulit yang purulen, abses,
atau lesi nekrotik. Perlu dipertimbangkan juga pemberian agen antibiotik yang melawan

20
aktifitas streptococcus grup A dalam mengobati SSTI dimana ketika CA-MRSA sudah menjadi
endemi. Saat ini streptokokus grup A sering ikut teridentifikasi pada endemi infeksi CA-MRSA 20 .
Tata laksana infeksi jaringan lunak SSTI
Untuk abses kulit, insisi dan drainase adalah pengobatan primer. Untuk abses atau bisul
yang sederhana, insisi dan drainase saja mungkin cukup tetapi data tambahan diperlukan untuk
lebih mendefinisikan peran antibiotik. Bagi anak-anak dengan infeksi kulit ringan seperti
impetigo dan lesi kulit yang terinfeksi sekunder (seperti eksim, borok, atau laserasi), topikal
salep mupirocin 2% dapat digunakan. Terapi antibiotik dianjurkan untuk abses yang terkait
dengan ketentuan sebagai berikut: penyakit parah atau yang luas (misalnya, melibatkan
multiple infeksi) atau selulitis berkembang dengan cepat, tanda dan gejala penyakit sistemik,
penyakit penyerta yang terkait atau imunosupresi, usia yang terlalu muda atau terlalu tua,
abses di daerah yang sulit untuk mengeringkannya (misalnya, wajah, tangan, dan alat kelamin),
yang berhubungan dengan flebitis septik, dan kurangnya respon terhadap insisi dan drainase
saja26.
Untuk pasien rawat jalan dengan selulitis purulen (misalnya, selulitis yang terkait dengan
drainase purulen atau tidak adanya eksudat pada abses yang drainable, terapi empiris untuk
CA-MRSA dianjurkan menunggu hasil kultur. terapi empiris untuk infeksi karena Streptococcus
β-hemolitik kemungkinan tidak diperlukan. Lima sampai 10 hari terapi dianjurkan tetapi bersifat
individual berdasarkan respon klinis pasien. Untuk pasien rawat jalan dengan selulitis
nonpurulent (misalnya, selulitis tanpa drainase purulen atau eksudat dan tidak ada abses),
terapi empiris untuk infeksi karena Streptococcus β-hemolitik dianjurkan. Peranan CA-MRSA
tidak diketahui. cakupan empiris untuk CA-MRSA direkomendasikan pada pasien yang tidak
respon dengan terapi β-laktam dan dapat dipertimbangkan pada pasien dengan toksisitas
sistemik. Lima sampai 10 hari terapi dianjurkan tetapi tergantung individual berdasarkan respon
klinis pasien.26
Untuk cakupan empiris CA-MRSA pada pasien rawat jalan dengan SSTI, pilihan antibiotik
oral meliputi: klindamisin, trimetoprim-sulfametoksazol (TMP-SMX), tetrasiklin seperti
doksisiklin atau minocycline (tidak dipakai untuk anak usia < 8 thn), dan linezolid. Jika cakupan
untuk kedua-hemolitik streptokokus β dan CA-MRSA yang diinginkan, pilihan adalah sebagai

21
berikut: klindamisin sendiri atau TMP-SMX atau tetrasiklin dalam kombinasi dengan β-laktam
(misalnya, amoksisilin) atau linezolid sendiri. Penggunaan rifampisin sebagai agen tunggal atau
sebagai terapi tambahan untuk pengobatan SSTI tidak direkomendasikan. 26 Kultur dari abses
dan SSTIs purulen lainnya direkomendasikan pada pasien yang diobati dengan terapi antibiotik,
pasien dengan infeksi lokal parah atau tanda-tanda penyakit sistemik, pasien yang tidak
merespon secara memadai untuk pengobatan awal, dan jika ada kekhawatiran untuk cluster
atau wabah. 26
Pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit dengan cSSTI, vankomisin dianjurkan. Jika
pasien stabil tanpa bakteremia berlangsung atau infeksi intravaskuler, terapi empiris dengan
klindamisin 10-13 mg / kg / dosis IV tiap jam 6-8 ( 40 mg / kg / hari) adalah pilihan jika tingkat
resistensi klindamisin rendah (misalnya, <10%) dengan transisi ke terapi oral jika strain sensitif.
Linezolid 600 mg PO / IV dua kali sehari untuk anak-anak ≥ 12 tahun dan 10 mg / kg / dosis PO /
IV setiap jam 8 untuk anak-anak <12 tahun adalah sebuah alternatif. 26
SSTIs berulang
Edukasi pencegahan pada kesehatan pribadi dan perawatan luka yang tepat
direkomendasikan untuk semua pasien dengan SSTI. Instruksi dapat berupa: i. Usahakan luka
tetap kering dan ditutupi dengan perban bersih dan kering. ii. Menjaga kebersihan diri yang
baik dengan mandi teratur dan membersihkan tangan dengan sabun dan air atau yang
pembersih tangan gel-alkohol, terutama setelah menyentuh kulit yang terinfeksi atau benda
yang telah berkontak langsung dengan luka. iii. Hindari menggunakan kembali atau berbagi
barang pribadi (misalnya, pisau cukur sekali pakai, seprai, dan handuk) yang telah kontak
dengan kulit yang terinfeksi. 26
Langkah-langkah kebersihan lingkungan harus dipertimbangkan pada pasien dengan
SSTI berulang dalam rumah tangga atau komunitas: i. Upaya pembersihan permukaan yang
sering disentuh (yaitu, permukaan yang sering bersentuhan dengan kulit orang setiap hari,
seperti counter, tombol-tombol pintu, bak mandi, dan kursi toilet) yang mungkin dapat
berkontak dengan kulit telanjang atau yang infeksi. ii. Alat pembersih atau deterjen pembersih
yang sesuai untuk permukaan yang sedang dibersihkan harus digunakan sesuai dengan label
petunjuk. 26

22
Dekolonisasi dapat dipertimbangan pada kasus-kasus jika: i. Seorang pasien berkembang
menjadi SSTI berulang meskipun perawatan luka dan tindakan kebersihan telah optimal.
ii.transmisi berkelanjutan yang terjadi antara anggota rumah tangga atau kontak dekat yang
lain meskipun telah mengoptimalkan perawatan luka dan tindakan kebersihan.
Strategi Dekolonisasi harus ditawarkan dalam hubungannya dengan penguatan
berkelanjutan tindakan kebersihan dan termasuk yang berikut: i. Dekolonisasi Nasal dengan
mupirocin dua kali sehari selama 5-10 hari. ii. Dekolonisasi nasal dengan mupirocin dua kali
sehari selama 5-10 hari dan regimen dekolonisasi topikal tubuh dengan antiseptik kulit
(misalnya, chlorhexidine) selama 5-14 hari. Terapi oral antimikroba dianjurkan untuk
pengobatan infeksi aktif saja dan tidak rutin dianjurkan untuk dekolonisasi. 26
Dalam kasus-kasus dimana adanya kontak anggota keluarga atau interpersonal: i.
direkomendasikan untuk menjaga hygiene dan sanitasi pasien dan kontak. ii. Kontak harus
dievaluasi untuk bukti adanya infeksi S. Staphylococcus: a. kontak simtomatik harus dievaluasi
dan diobati; dekolonisasi nasal dan topikal dapat dipertimbangan setelah pengobatan infeksi
aktif. b. Dekolonisasi hidung dan topikal tubuh kontak keluarga tanpa gejala dapat
dipertimbangan. 26
Peran kultur dalam pengelolaan pasien dengan SSTI berulang terbatas: i. Skrining kultur
sebelum dekolonisasi tidak secara rutin dianjurkan jika minimal 1 infeksi sebelumnya
didokumentasikan sebagai akibat MRSA. ii. Kultur surveillance mengikuti rejimen dekolonisasi
tidak secara rutin direkomendasikan tanpa adanya infeksi aktif. 26
Bakteremia dan Endokarditis infektif
Pada anak-anak, vankomisin 15 mg / kg / dosis IV tiap 6 jam dianjurkan untuk
pengobatan bakteremia dan endokarditis infektif. Jangka waktu terapi bisa berkisar dari 2
sampai 6 minggu tergantung pada sumber, adanya infeksi endovascular, dan metastatis fokus
infeksi. Data tentang keamanan dan kemanjuran obat alternatif pada anak-anak sangat
terbatas, meskipun daptomycin 6-10 mg / kg / dosis IV sekali sehari bisa menjadi pilihan.
Clindamycin atau linezolid tidak boleh digunakan jika ada kekhawatiran endokarditis infektif
atau endovascular merupakan sumber infeksi tetapi dapat dipertimbangkan pada anak-anak
yang bakteremia yang tidak berhubungan dengan fokus endovascular. 26

23
Data dilengkapi untuk mendukung penggunaan rutin terapi kombinasi dengan rifampisin
atau gentamisin pada anak-anak dengan bakteremia atau endokarditis infektif, keputusan
untuk menggunakan terapi kombinasi harus individual. Echocardiogram dianjurkan pada anak
dengan penyakit jantung bawaan, bakteremia lebih dari 2-3 hari, atau temuan klinis lain yang
mengarah pada endokarditis. 26
MRSA Pneumonia
Pada anak-anak dengan pneumonia MRSA, IV vankomisin dianjurkan. Jika pasien stabil
tanpa bakteremia atau infeksi intravaskular, klindamisin 10-13 mg / kg / dosis IV tiap jam 6-8
(40 mg / kg / hari) dapat digunakan sebagai terapi empiris jika tingkat resistensi klindamisin
rendah (misalnya, <10%) dengan transisi ke terapi oral jika strain rentan. Linezolid 600 mg PO /
IV dua kali sehari untuk anak-anak ≥ 12 tahun dan 10 mg / kg / dosis setiap jam 8 untuk anak-
anak <12 tahun merupakan alternatif yang lain. 26
MRSA Osteomyelitis dan arthritis septic
Bagi anak-anak dengan MRSA osteomyelitis akut hematogenous dan septic arthritis, IV
vankomisin dianjurkan. Jika pasien stabil tanpa bakteremia berlangsung atau infeksi
intravaskular, klindamisin 10-13 mg / kg / dosis IV tiap jam 6-8 (untuk mengelola 40 mg / kg /
hari) dapat digunakan sebagai terapi empiris jika tingkat resistensi klindamisin rendah
(misalnya, <10%) dengan transisi ke terapi oral jika strain sensitif. Durasi yang tepat dari terapi
tergantung individual, tetapi biasanya 3-4-minggu minimum direkomendasikan untuk arthritis
septic dan 4-6 minggu dianjurkan untuk osteomyelitis. Alternatif untuk vankomisin dan
klindamisin meliputi: daptomycin 6 mg / kg / hari IV sekali sehari atau linezolid 600 mg PO / IV
dua kali sehari untuk anak-anak ≥ 12 tahun dan 10 mg / kg / dosis setiap 8 jam untuk anak-anak
<12 tahun.26
MRSA meningitis
Vankomisin intravena direkomendasikan. Untuk infeksi shunt SSP, pencabutan shunt
dianjurkan, dan seharusnya tidak diganti sampai kultur cerebrospinal fluid (CSF) negatif 26.
Peran terapi ajuvan untuk pengobatan infeksi MRSA
Inhibitor sintesis protein (misalnya, klindamisin dan linezolid) dan imunoglobulin
intravena (IVIG) tidak rutin dianjurkan sebagai terapi tambahan untuk pengelolaan penyakit

24
MRSA invasif. Beberapa ahli dapat mempertimbangkan obat ini ditambahkan (misalnya,
necrotizing pneumonia atau sepsis berat). 26
Rekomendasi untuk dosis dan pemantauan vankomisin
Rekomendasi ini didasarkan pada pedoman dosis vankomisin hasil konsensus American
Society of Health-System Pharmacists, IDSA, dan The Society of Infectious Diseases Pharmacists.
Data terbatas untuk penyesuaian dosis vankomisin pada anak-anak. IV vankomisin 15 mg / kg /
dosis setiap 6 jam dianjurkan pada anak dengan penyakit serius atau invasive. Kemanjuran dan
keamanan melalui penargetan konsentrasi dari 15-20 mg / mL pada anak-anak memerlukan
studi tambahan tetapi harus dipertimbangkan pada mereka dengan infeksi serius, seperti
bakteremia, endokarditis infektif, osteomyelitis, meningitis, pneumonia, dan SSTI yang parah
(yaitu, necrotizing fasciitis). 26
Tatalaksana MRSA pada neoatus
Neonatal pustulosis
Untuk kasus ringan dan terlokalisir pemberian mupirocin topical cukup eektif pada bayi
cukup bland an bayi muda. Untuk penyakit yang terlokalisir pada bayi premature atau berat
badan lahir sangat rendah atau penyakit lebih luas dan multiple pada bayi cukup bulan
vankomisin IV atau klindamisin direkomendasikan.26
Neonatal sepsis MRSA
Vankomisin IV direkomendasikan. Klindamisin dan linezolid sebagai alternatif untuk non
endovaskuler infeksi.26

25
Tabel 5. Rekomendasi pengobatan MRSA26

26
27
28
29
Tabel 6 kekuatan dan kualitas rekomendasi pengobatan MRSA26

KESIMPULAN
Infeksi MRSA telah menjadi problem dalam dunia kesehatan di seluruh dunia selama beberapa
dekade. Beberapa faktor dapat menyebabkan timbulnya resistensi ini, diantaranya adalah salah

30
pemilihan dan penggunaan dari agen antibiotik. Ada 2 macam infeksi MRSA, yaitu HA-MRSA
dan CA-MRSA. HA-MRSA didefinisikan sebagai infeksi MRSA yang terdapat pada individu yang
pernah dirawat di rumah sakit atau menjalani tindakan operasi dalam 1 tahun terakhir, memiliki
alat bantu medis permanen dalam tubuhnya, bertempat tinggal di fasilitas perawatan jangka
panjang, atau individu yang menjalani dialisis. Sedangkan infeksi MRSA yang terdapat pada
individu yang sebelumnya tidak ada hubungan dengan infeksi rumah sakit dikenal sebagai CA-
MRSA. Berbagai institusi kesehatan di luar negeri telah banyak yang menerbitkan pedoman
dalam pencegahan, kontrol, dan penanganan MRSA yang disesuaikan dengan keadaan dan
strain MRSA yang ada.
Penularan utama MRSA adalah melalui kontak langsung antar orang per orang, biasanya
dari tangan orang yang terinfeksi atau terkolonisasi. MRSA juga dapat menyebar melalui
pemakaian handuk bersama-sama, alat-alat mandi, alat-alat olahraga, baju, alat-alat
pengobatan, olahraga dengan kontak langsung, atau ketika adanya wabah yang berasal dari
makanan. Setiap dokter atau penyedia layanan kesehatan harus mempertimbangkan infeksi
MRSA pada diagnosis bandingnya pada semua pasien dengan adanya gambaran infeksi kulit
dan jaringan lunak atau manifestasi gejala lainnya dari infeksi staphylococcus disertai adanya
factor risiko untuk terjadinya MRSA.
Manajemen penanganan infeksi MRSA harus menyeluruh dan melibatkan pihak pasien
sebagai orang yang terinfeksi atau terkolonisasi, petugas kesehatan dan staf rumah sakit yang
bisa saja terkolonisasi, dokter yang merawat, dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan
dalam bidang kesehatan. Prinsip pemberian antibiotik pada infeksi MRSA adalah sesuai dengan
hasil kultur bakteri dan pola sensitivitas antibiotik yang ada. Antibiotik empirik dapat diberikan
pada keadaan dimana hasil kultur dan sensitivitas tidak ada. Antibiotik yang digunakan bisa
dalam bentuk kombinasi maupun tunggal.

DAFTAR PUSTAKA

31
1. Dellit T, Duchin J, Hofmann J, Olson EG. Interim Guidelines for Evaluation & Management of
Community Associated Methicillin-resistant Staphylococcus aureus Skin dand Soft Tissue
Infection in Outpatient Settings. In. washington: Infection Diseases Society of Washington;
2004:1-14.
2. Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus MRSA. In. Iowa: Iowa State University; 2006:1-9.
3. Sheen B. MRSA. Detroit Lucent books; 2010.
4. Sampathkumar. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus: The Latest Health Scare. Mayo Clin
Proc 2007;82:1463-7.
5. Management of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Infections. In: The Federal
Bureau of Prisons (BOP); 2010.
6. Madigan M, Martinko J, Dunlap P, Clark D. Biology of microorganisms. 12 ed. San Francisco:
Pearson 2008.
7. Lowy FD. Staphylococcus aureus infection. N Engl J Med 1998:520-33.
8. Holden MTG, Feil EJ, Lindsay JA, Peacock SJ, Day NJP, Enright MC. Complete genomes of two
clinical Staphylococcus aureus strains: Evidence for the rapid evolution of virulence and drug
resistance. PNAS 2004;101:9786-91.
9. Levinson W. Review of Medical Microbiology & Immunology. 10 ed. San Franciso: The McGraw-
Hill Companies; 2008.
10. Todd JK. Staphylococcal Infections. Pediatr Rev 2005;26:444-50.
11. Kowalski T, Berbari E, Osmon D. Epidemiology, Treatment, and Prevention of Community-
Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Infections. Mayo Clin Proc 2005;80:1201-
8.
12. Mitscher L. Antibiotics and antimicrobial agents. In: Williams D, Lemke T, eds. Foye's Principles
of medicinal chemistry. 5 ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002.
13. Duckworth G, Cookson B, Humphreys H, Heathcock R. Revised Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus Infection Control Guideline for Hospitals, Report of a combined working
party of the British Society for Antimicrobial Chemotherapy, the Hospital Infection Society and
the Infection Control Nurses Association. Brit Soc Antimicrob Chemother 1998:1-48.
14. Brown DFJ, Edwards DI, Hawkey PM, et al. Guidelines for the laboratory diagnosis and
susceptibility testing of methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Journal of
Antimicrobial Chemotherapy 2005;56:1000-18.
15. Enright MC, Robinson DA, Randle G, Feil EJ, Grundmann H, Spratt BG. The evolutionary history of
methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). PNAS 2002;99:7687-92.
16. Guidelines for the Management of Community Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus
aureus (CA-MRSA) Infections in the US Navy and Marine Corps. In: Navy Environmental Health
Center; 2005:1-27.
17. Elixhauser A, Steiner, C.. . Infection with Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) in
U.S. Hospitals, 1993-2005. Healthcare Cost and Utilization Project 2007;5:1-10.
18. Klevens RM, Morrison MA, Nadle J, et al. Invasive Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus
Infections in the United States. JAMA 2007;298(15)::1763-71.
19. Yim G. Attack of the Superbug: Antibiotik Resistance. 2007.
20. Anderson J, Mehlhorn A, MacGregor V. Community-Associated Methicillin-resistant
Staphylococcus aureus. What's in Your Neighborhood? Jobson Medical Information LLC US
Pharm 2007;32:HS3-HS12.
21. Borlaug G, Davis, J.P., Fox, B.C. . Community Associated Methicillin-resistant Staphylococcus
aureus (CA-MRSA) Guidelines for Clinical Management and Control of Transmission. 2005.
22. Vavra SB, Daum RS. Community-acquired methicillin-resistant Staphylococcus aureus: the role of
Panton-Valentine leukocidin. Lab Investig 2007;87:3-9.

32
23. Wannet WJB, Neeling AJd. Successful Search-and-Destroy Policy for Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus in The Netherlands. Journal of Clinical Microbiology 2005;43:2034-5.
24. Malone B. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA),Guidance for Nursing Staff.
London: Royal College of Nursing (RCN). ; 2005.
25. Gorwitz RJ, Jernigan DB, Powers JH, Jernigan JA. Strategies for Clinical Management of MRSA in
the Community: Summary of an Experts’ Meeting Convened by the Centers for Disease Control
and Prevention. In: prevention Dohahscfdca, ed. New York Centers for Disease Control and
Prevention (CDC)2006.
26. Liu C, Bayer A, Cosgrove SE, et al. Clinical Practice Guidelines by the Infectious Diseases Society
of America for the Treatment of Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus Infections in Adults
and Children. Clinical Infectious Diseases 2011;52:1-38.

33

You might also like