TINJAUAN PUSTAKA.
ML. Kedokteran Gigi
Vol. 22, No. 1, Maret 2007
HUBUNGAN ANTARA MALOKLUSI DENGAN
HAMBATAN SALURAN PERNAFASAN
Dewi Suminy*, Yuniar Zen**
* Mahasiswa Profesi FAG Universitas Trisakti
** Bagian Ortodonti FAG Universitas Trisakti
In orthodontic, there was often found malocclusion case which hes relationship with nasal airway obstruction.
Although, nasal airway obstruction and its effect on malocclusion continuous to be controversy. Therefore
@ dentist need to understand about facial morphology which was often found together with nasal airway
obstruction. Adenoid facial morphology or long faog syndrome is clinical manifestation of etiology nasal
airway obstruction,
Key words : Malocclusion, nasal airway obstruction, facial morphology.
PENDAHULUAN
Pasien yang memerlukan perawatan
ortodontik biasanya datang dengan kelainan
dentofasial atau kelainan pertumbuhan wajah,
Kelainan dentofasial dapat disebabkan oleh
berbagai faktor antara lain: faktor keturunan dan
gangguan pertumbuhan. Hambatan saluran
‘pemafasan, trauma, dan kebiasaan buruk termasuk
gangguan pertumbuhan yang dapat dianggap
sebagai suatu etiologi maloklusi.
Kelainan dentofasial atau kelainan pertum-
buhan wajah dapat mempengaruhi fungsi dalam
rongga mulut sedikitnya dapat membuat sese-
orang sulit bernafas, menggigit, mengunyah,
menelan dan berbicara. Sebaliknya, perubahan
atau adaptasi dan fungsi dapat merupakan faktor
penyebab maloklusi yang mempengaruhi pola
pertumbuhan dan perkembangan, seperti halnya
32
dalam fungsi pemafasan (Proffitdan Fields, 2000).
Menurut Warren (1991), hambatan saluran
pernafasan ini sebenarnya masih merupakan
suatu kontroversi yang diperdebatkan selama
bertahun-tahun, Akan tetapi menurut Linder-
Aronson (1979, cit. Long dan McNamara, 1985),
penelitian klinis menunjukkan bahwa ada
hubungan antara kelainan fungsi pernafasen
dengan perkembangan wajah.
O’Ryan dk, (1982), menyatakan bahwa
hambatan saluran pernafasan yang kronis akan
membuat pasien bemafas melalui mulut, schingga
akan merubah posisi lidah dan rahang bawah.
Jka hal tersebut tejadi selama masa pertumbuhan
aktif, maka akan terjadi perkembangan sindrom
wajah adenoid yang sering juga disebut sindrom
wajah panjang. Hesil penelitian menunjukkan
bahwa hambatan pemafasan yang berat menye-
babkan pasien bernafas melalui mulut, dan
ISSN 0215 - 126 Xkondisi seperti “inicrorhinodysplasia”, “wajah
adenoid” atau “sindrom wajah panjang”
(Hainfidd dkk., 1986).
Studi tentang perkembangen wajah menun-
jukkan adanya hubungan antara hambatan
saluran pernafasan dengan kelainan bentuk
Wajah (Woodside dkk., 1991). Penelitian pada
ia difokuskan pada pembesaran adenoid,
alergi, atresia koana, pembesaran tonsil,
hubungan jaringan adenoid dengan posisi lidah,
dan perawatan bedah pada saluran pemafasan
seperti pharyngoplasly (Woodside dkk., 1991).
Menurut Sassouni dan Forrest (1971),
penyebab hambatan saluran pernafasan yang
paling sering terjadi pada anak-anak adalah
pembesaran jaringan limfoid yang terletak pada
daerah faring yaitu pembesaran adenoid dan
tonsil. Faktor penyebab lainnya adalah pembeng-
kakan kelenjar mukosa, penyimpangan sekat
hidung serta adanya faktor kebiasaan,
Karakteristik dari wajah adenoid seperti yang
disebutkan di atas akan membatasi fungsi
pernafasan. Dalam hal ini faktor lingkungan
sedikit banyak juga ikut memberikan efek pada
pertumbuhan gigi dan wajah (O'Ryan dk, 1982).
Menutut Ballard dan Evans (1958, cit. Vig,
1998}, bibir yang terbuka pada saat istirahat tidak
mutlak menunjukkan kelainan pada saluran
perafasan. Pasien yang bernafas melalui mulut
juga tidak semuanya memiliki hambatan pada
saluran pernafasannya. Hal tersebut terjadi
mungkin hanya merupakan suatu kebiasaan saja
(Field dlek., 1991).
Sesuai dengan uraian di atas, bahwa masih
ada silang pendapat tentang adanya hubungan
antara hambatan saluran pernafasan dengan
terjadinya maloklusi. Oleh sebab itu akan dibahas
lebih dalam tentang data-data klinis yang
menunjukkan adanya hubungan tersebut,
TELAAH PUSTAKA
Kelainan dentofasial sering menunjukkan
adanya suatu maloklusi, Maloklusi adalah suatu
keadaan yang menyimpang dari oklusi yang
Hubungan antara Malokiusi denganHambatan Saluran Perafasan
normal, atau dapat pula diartikan sebagai suatu
keadaan yang menyimpang dari hubungan yang,
normal (Ash dan Ramfjord,1995). Menurut
Ricketts dkk. (1982), hubungan lengkung rahang,
atas dan rahang bawah dapat dilihat dari
gambaran sefalometrik dalam jurusan antero-
posterior dan vertikal, Hubungan rahang atas dan
rahang bawah dalam jurusan anteroposterior
meliputi keias { (ortognatik), kelas II (retrognatil)
dan kelas III (prognatik}, sedangkan dalam jurusan
vertikal terditi dari gigitan terbuka dan gigitan
dalam.
Maloklusi dapat disebabkan oleh berbagai
hal, menurut Moyers (1988), penyebab maloklusi
ada 7, diantaranya : (1) Faktor keturunan,, seperti
+ sistem neuromuskular, tulang, gigi dan bagian
lain di luar otot dan syaraf. (2) Gangguan
pertumbuhan {3} Trauma, yaitu terbagi : trauma
sebelum lahir dan trauma saat dilahirkan serta
trauma sesudah lahir. (4) Keadaan fisik seperti
pencabutan gigi susu yang terlalu dini dan
keseimbangan makanan. (5) Kebiasaan seperti
mengisap jati, menjulurkan lidah, mengisap dan
menggigit bibir, menggigit kuku, serta kebiasaan
lainnya. (6) Penyakit dapat dibagi menjadi
penyakit sistemik, kelainan endokrin, penyakit
Jokal. Penyakit lokal juga bermacam--macam,
diantaranya : (a) penyakit pada hidung, faring
dan gangguan saluran pernafasan (b) penyakit
gusi dan jaringan penyangga gigi (c) tumor (d)
gigi berlubang. (7) malnutnisi,
Menurut Moyers (1988), kerusakan fungsi
saluran pemafasan sedikit banyak mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangen gigi serta wajah.
Pembesaran adenoid akan menghambat saluran
pernafasan dan menyebabkan pernafasan
melalui mulut yang mempengaruh’ letak lidah,
bibir dan posisi rahang bawah. Dalam hal ini
kkeseimbangan jaringan lunak akan menciptakan
perubahan bentuk wajah dan maloklusi.
Hambatan saluran pernafasan
Dalam keadaan normal manusia akan
bernafas melalui hidung, karena hidung
33,MI. Kedokteran Gigi Vel 22 No.1. Maret 2007: 32:40
mempunyai fungsi sebagai jalan nafas, alat
pengatur kondisi udara ( air conditioning),
penyaring udara, sebagai indra penciuman, untuk
tesonansi udara, dan turut membantu proses
bicara dan reflek nasal. Fungsi hidung sebagai
alat pengatur kondisi udara perlu untuk mem-
persiapkan udara yang akan masuk ke dalam
alveolus paru (Mangunkusumo, 1990).
Selama bertahun-tahun hambatan saluran
pemafasan sebenamya telah dikaitkan sebagai
salah satu faktor yang mempengaruhi pertum-
buhan dan perkembangan dentofasial. Ada
beberapa teori dan penelitian mengenai kaitan
antara hambatan saluran pernafasan dengan
maloklusi serta kelainan pertumbuhan dan
perkembangan wajah.
Salah satu teori mengatakan bahwa saluran
pernafasan yang tidak berfungsi secara optimal
akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkem-
bangan dentofasial dan menjadi salah satu
penyebab maloklusiserta memberikan gambaran
wajah yang spesifik seperti wajah adenoid atau
sindrom wajah panjang (O'Ryan dlk,1982).
Penelitian yang dilakukan oleh Bresolin dkk.
(1983), menunjukkan adanya perbedaan dalam
hubungen skeletal dan hubungan gigi geligi antara
pasien yang bemafas melalui mulut dengan pasien
yang bernafas normal (melalui hidung). Dari has
penelitian tentang hubungan skeletal secara
vertikal menunjukkan tinggi wajah depan bagian
atas dan tinggi wajah total memperlihatkan
perbedaan yang cukup besar pada kelompok yang
bemefas melalui mulut. Tinggi wajah bagian
belkang dan tinggi ramus mandibula tidak
memperlihatkan perbedaan yang bermakna pada
kedua kelompok yang diuji coba, Hubungan
rahang atas dan rahang bawah lebih refrognatik
pada kelompok yang bemafas melalui mulut,
Hubungan gigi geligi secara vertikal menun-
jukkan bahwa tinggi pelatum jauh lebih tinggi
pada kelompok yang bemafas melalui mulut,
Pada hubungan anteroposterior gigi geligi terlihat
‘overjet yang cukup besar pada kelompok yang
bemafas melalui mulut. Hubungan transversal gigi
geligi memperlihatkan bahwa lebar antara gigi
34
geraham rahang atas jauh lebih sempit pada
kelompok yang bernafas melalui mulut. Lebar
antara gigi geraham rahang bawah tidak sesempit
lebar gigi geraham rahang atas tetapi juga lebih
sempit tka dibandingkan dengan kelompok yang
bemafas secara normal (Bresolin dkk., 1983)
Harvold dkk. (1984, cit. Woodside dkk.,
1991) menyatakan bahwa hambatan pada
saluran pemafasan memberikan pengaruh yang
kuat dan dapat merupakan penyebab utama suatu
‘maloklusi karena hambatan saluran pemafasan
menyebabkan pasien bernafas melalui mulut
sehingga terlihat bentuk bibir terbuka yang disebut
sebagai bibir yang tidak kompeten dan kelainan
pada pertumbuhan wajah serta memberikan ciri
yang khas.
Posisi bentuk bibir yang ideal adalah ukuran
dimensi vertikal yang sedemikian rupa sehingga
bila otot-otot bibir dalam keadaan istirahat, bibir
akan saling bertemu. Pada kondisi istirahat ini
akan ada kontraksi otot minimal untuk memper-
tahankan posisi bibir. Bentuk bibir dalam
keadaan istirahat umumnya sangat bervariasi
Pada beberapa individu, bibir tidak saling bertemu,
yang disebut sebagai bibir yang tidak kompeten
dan pada beberapa orang lainnya, celah antar
bibir pada keadaan istirahat adalah sangat besar.
Pada penelitian Woodside dkk. (1991)
terhadap anak laki-laki dan anak perempuan
yang berusia rata-rata 7,6 dan 8,4 tahun
menemukan bahwa perubahan dari pernafasan
mulut terbuka menjadi pemafasan mulut tertutup_
akan memberikan efek (1) lebih besarnya
pertumbuhan rahang bawah yang terlihat pada
dagu baik pria maupun wanita, (2) lebih besamya
pertumbuhan wajah yang terlihat pada wajah
bagian tengah pada pria, (3) Tidak adanya
perubahan arah perkembangan rahang atas.
Teori tersebut juga dibuktikan oleh Sassouni
dan Fonest (1971) dalam penelitiannya terhadap
anak-anak, Mereka menemukan bahwa ham-
batan saluran pemafasan menyebabkan anak-
anak bernafas melalui mulut. Mereka juga
menemukan penyebab bernafas melalui mulut
pada anak-anak yang paling sering adalahpembesaren jaringan limfoid pada daereh faring
yaitu adenoid dan tonsil Faktor penyebab
hambatan saluran pernafasan yang lain adalah
pembengkakan mukosa hidung, penyimpangan
sekat hidung, serta adanya faktor kebiasaan,
sedangkan penyempitan saluran pernafasan
merupakan suatu fektor predisposisi. Menurut
Pracy dkk. (1983), adenoid dan tonsil berukuran
kecil pada saat lahir. Selama masa kanak-kanak
keduanya mengalami hipertroffisiologis, adenoid
pada umur 3 tahun, dan tonsil pada umur5 tahun,
Karena adenoid membesar, terbentuklah perna-
fasan melalui mulut.
Linder-Aronson kk, (1986) melakukan
penelitian tentang arah pertumbuhan rahang
bawah setelah dilakukan adenoidektomi pada
pasien yang memiliki pembesaran adenoid, Dan
penelitiannya mereka menyimpulkan adanya
hubungan antara adenoidektomi dengan per-
Ubahan pola pemafasan dan adanya peningkatan
pertumbuhan rahang bawah secara horizontal.
Menurut Harvold dkk. (1982, cit. Linder-
Aronson dkk., 1986), dari hasil penelitiannya
pada primata yang bemafas melalui mulut dan
berlanjut menjadi hambatan saluran pemafasan
total akan menyebablan perubahan pada bentuk
mandibula dan arah pertumbuhannya, Beberapa
hewan penelitian bemafas dengan cara merotasi
mandibula ke arah bawah dan terus menerus
berada pada posisi tersebut untuk waktu yang
lama. Kesimpulan yang dapat diambil dari
percobaan ini adalah perubahan bentuk morfo-
Jogi wajah dan arah pertumbuhan rahang bawah
dihasilkan hanya bila rahang bawah berada pada
posisi rendah untuk waktu yang lama,
Hambatan saluran pernafasan biasanya
timbul sebagai hasil infeksi saluran pemafasan
bagian atas yang berlangsung lama. Hambatan
saluran pernafasan mungkin ada kaitannya
dengan kelelahan dan insomnia, Jika gejala ini
terus berlanjut dan menjadi kronis, akan
menimbulkan komplikasi yang membuat pasien
tidak nyaman. Contoh gejala tersebut adalah
hilangnya penciuman sebagian / keseluruhan,
sinusitis yang berulang dari infeksi saluran
Hubungan antara Maloldusi denganHambatan Saluran Pemafasan,
pematasan bagian bawah, perdarahan hidung,
halitosis yang disebabkan mulut kering dalam
jangka waktu lama, dan tuba eustachius yang
tidak berfungsi. Bila hal tersebut terjadi pada
anak-anak akan terjadi perkembangan wajah
yang abnormal (Gluckman, 1980).
Menurut Tulley (1966), penyebab bernafas
melalui mulut karena satu atau lebih faktor yang
dapat dikelompokkan sebagai berikut : a)
hambatan saluran pernafasan sebagian, b)
kebiasaan, c) mulut yang terbuka pada saat
istirahat seperti sedang melamun, d) bernafas
melalui mulut terjadi bila kekurangan udara,
sebagai contoh: pada anak-anak dengan
penyakit hati dan sebagai kebiasaan normal
selama berolah naga.
Bernafas melalui mulut ini dapat berupa
suatu kebiasaan atau karena adarlya hambatan.
Pasien yang mempunyai kebiasaan bernafas
melalui mulut biasanya tidak sadar akan
kebiasaannya dan terjadi pada malam hari
sewaktu pasien tidur. Kebiasaan bernafas melalui
mulut bisa total atau hanya sebagian dan terus
menerus atau interimiten. Bemafas melalui mulut
total terjadi jika jalan pernafasan benar-benar
tersumbat. Bila jalan nafas hanya tersumbat
sebagian saja, maka bemafes melalui hidung akan
disertai dengan bemafas melalui mulut (Sassouni
dan Forrest, 1971).
Morfologi Maloklusi Karena Hambatan
Saluran Pernafasan
Morfologi maloklusi karena hambatan
saluran pernafasan memberikan gambaran yang
khas dan sering disebut sebagai wajah adenoid
atau sindrom wajah panjang. Disebut sebagat
sindrom wajah panjang karena 1/3 wajah bagian
bawah terlihat lebih panjang dari normal, dengan
bentuk bibir terbuka. Apabila dilakukan pemerik-
saan dalam mulut pasien, akan ditemukan bentuk
rahang atas yang sempit dengan lengkung
palatum yang tinggi (Vig, 1998).
Mekanisme terjadinya kelainan dentofasial
sebagai akibat hambatan saluran pernafasan
35,MLL Kedokteran Gigi Vol. 22No.1 Maret 2007: 32-40
menurut Kusnoto (1982), dapat dijelaskan
sebagai berikut: Akibat hambatan saluran
pernafasan akan menyebabkan ketidakaktifan
fungsi saluran pernafasan, oleh sebab itu akan
terjadi kurangnya perkembangan dari rongga
hidung dan rahang atas sehingga akan terlihat
lengkungan rahang atas yang sempit, palatum
yang dalam serta adanya overbite posterior dari
gigi--gigi anterior yang protrusi. Hambatan
saluran pemnafasan juga akan menyebabkan
udara yang dihirup penderita kurang bila hanya
bernafas dari hidung, maka penderita akan
berusaha mencukupi udara yang harus dihirup
dengan menghirup dari mulut, sehingga mulutnya
akan menganga dan kepalanya akan didongak-
kan ke atas. Gigitan akan terbuka, mandibula
akan tergantung ke bawah (rotasi posterior dati
mandibula), lidah akan terletak di bawah dan
wajah bagian depan akan terlihat lebih panjang
Penelitian saluran pernafasan atas memper-
Ithatkan bahwa tanda klinis pada orang yang
bernafas melalui mulut dengan atau tanpa
kerusakan pada saluran pernafasan atas dapat
memiliki kombinasi tanda klinis sebagai berikut :
a) Wajah yang lebih panjang, b) Lengkung gigi
rahang atas yang lebih sempit, ¢) Gigi insisivus
atas yang lebih ke depan tetapi tidak terlalu
menonjol, d) Rahang bawah yang lebih kecil, e)
Ekspresi wajah yang sedang melamun, f) Mulut
terbuka, bibir atas memendek, hidung bagian
depan lebih sempit, g) Berhubungan dengan
kebiasaan mengisap ibu jari, jari tangan, bibir
atau lidah (Talley, 1966).
Sindrom wajah panjang adalah manifestasi
nis primer hambatan saluran pemafasan dengan
adanya tinggi wajah bagian bawah yang ber-
lebihan, Sebutan lain yang menunjukkan pertum-
buhan vertikal berlebihan pada rahang atas adalah
rotasi mandibula searah jarum jam, bentuk wajah
dengan dimensi vertikal yang tinggi, wajah
adenoid, wajah panjang yang idiopatik, pembesar-
an alveolar rahang atas secara total, serta tinggi
rahang atas yang berlebihan. Bentuk morfotogi ini
seting diklasifikasikan sebagai bentuk skeletal dati
openbite (Schendel dktk., 1976).
36
Analisis fasial tampak depan pada
penderita dengan hambatan saluran pernafasan
menunjukkan tinggt wajah sepertiga bagian atas,
biasanya dalam batas yang normal. Analisis
sepertiga wajah bagian tengah menunjukkan
lung yang sempit, basis alar yang sempit,
daerah nasolabial yang cekung. Penelitian pada
sepertiga wajah bagian bawah biasanya menun-
jukkan gigi depan rahang atas yang terbuka, bibir
atas yang memendek, jarak interlabial yang besar,
sepertiga wajah bagian bawah yang panjang, dan
sewaktu tersenyum terlihat igi rahang atas dan
gusi (Schendel, dkk., 1976)
Analisis oklusal pada pasien dengan
hambatan saluran pernafasan yang paling sering
terlihat adalah maloklusi kelas I! dengan atau
tanpa kelainan berupa openbite. Hal tersebut
dikarenakan ukuran tinggi palatum yang besar.
Perlu diperhatikan bahwa ada manifestasi wajah
yang bervariasi walaupun pasien dengan
hambatan saluran pernafasan memiliki profil
wajah yang sudah umum (Schendel, dik., 1976)
Menutut Field dkk. (1984), anak-anak dan
orang dewasa yang memiliki tinggi wajah
berlebihan menunjukkan penampilan karakteris-
tik wajah yang digambarkan sebagai sindrom
wajah panjang. Karena tinggi wajah bagian
bawah yang lebih panjang sering disertai dengan
gigitan terbuka, kondisi ini disebut juga gigitan
terbuka skeletal
Akan tetapi tidak semua pasien dengan
wajah panjang juga mempunyai gigitan terbuka
dan tidak semua pasien dengan gigitan terbuka
mempunyai wajah yang panjang. Pasien yang
bemajas melalui mulut juga tidak semuanya
mutlak memiliki hambatan pada saluran pera-
fasannya. Hal tersebut terjadi mungkin hanya
merupakan suatu kebiasaan saja (Field dkk.,
1991).
Field dkk. (1984) juga melakukan penelitian
yang bertujuan untuk menggambarkan bentuk
skeletal dan dental pada anak-anak yang secara
klinis telah dikelompokkan menjadi wajah
panjang, normal dan pendek serta bertujuan
untuk mengidentifikasikan faktor bentuk yangberhubungan dengan pola Klinis wajah panjang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan
antara anak-enak dengan wajah yang panjang
dan normal terletak pada daerah di bawah
palatum, Ragam bentuk variasi yang secara nyata
berhubungan dengan perbedaan klinis antara
‘wajah panjang dan normal dapat teridentifikasi.
Cara Pemeriksaan Maloklusi Pada
Hambatan Saluran Pernafasan
Untuk mengetahui apakah pasien dapat
bernafas melalui hidung atau tidak, dapat
dilakukan pemeriksaan sebagai berikut; pegang
selembar karton dengan sepotong kertas kecil atau
kapas, taruh di bawah hidung, kemudian pasien
disuruh bernafas dengan mulut tertutup. Bila
kertas atau kapas tersebut bergeser atau
bergenak, hal tersebut menunjukkan pasien dapat
bemafas melalui hidung. Perlu diingat bahwa
ppasien yang dapat bernafas melalui hidung tidak
berarti kebiasaan bernafas pasien adalah melalui
hidung (Salzman, 1974),
Menurut Kusnoto (1982), perneriksaan untuk
mengetahui pembesaran adenoid atau tonsil
dapat dilakukan secara visual atau dengan cara
palpasi, Secara visual, pasien disuruh menganga
dan menjulurkan lidahnya untuk melihat derajat
pembesaran adenoid dan tonsil tersebut. Secara
palpasi dapat diraba dengan jari sampai berapa
besar jaringan adenoid dan tonsilnya,
Untuk melihat apakah pasien bernafas
melalui hidung atau tidak, kita dapat meletakkan
aca diantara lubang hidung dan mulut. Pada
pemeriksaan ini, pasien yang bemafas melalui
hhidung akan terlihat embvn pada permukaan atas
aca, Kita juga dapat mengetahui apakah pasien
mengalami hambatan saluran pernafasan
sebagian atau total yaitu dengan cara meletakkan
kapas di bawah lubang hidungnya, kemudian
dilihat apakah kapas terhembus seluruhnya atau
hanya pada satu sisi saja (Kusnoto, 1982 dan
Moyers, 1988).
Moyers (1988), menjelaskan cara pemerik-
saan pola pernafasan pasien, yaitu dengan
Habungen enlara Maloklusi dengentembaten Saluran Pemafasen
meminta pasien menarik nafas dalam-dalam
kemudian menghembuskan nafas. Kebanyakan_
anak-anak yang diberi perintah seperti ini akan
bemafas melalui mulut, walaupun kadang-kadang
pasien yang biasa bernafas melalui hidung akan
bernafas melalui hidung dengan bibir tertutup
rapat. Kemudian pasien diminta untuk menutup
bibir mereka dan menarik nafas dalam-dalam
melalui hidung. Anak yang bernafas melalui
hidung normal akan memberikan reaksi yangbaik
dengan melebarkan cuping hidung selama
menarik nafas. Lain hal dengan anak yang
‘bemafas melalui mulut, walaupun dapat bemafas
melalui hidung mereka tidak mempetlihat adanya
perubahan bentuk dan ukuran cuping hidung
selama menarik nafas.
Inspeksi dan paipasi juga merupakan teknik
yang penting dan paling sering dipakai pada
pemeriksaan fisik. Ada cara lain yang juga tidak
boleh diabaikan, antara lain mendengarkan
pernafasan dan suara pada saat pasien bicara
yang dapat menunjuk ada kefainan hidung
(Hilger, 1997).
Secara radiologis dalam bidang ortodontik,
dapat dilakukan analisis sefalometrikk yang
bertujuan untuk mengevaluasi pembesaran
adenoid yang berkaitan dengan saluran pema-
fasannya, dan mengetahui dimensi sagital dari
nasofaring, pengukuran tinggi muka, mengetahui
morfologi rahang atas dan rahang bawah,
mengetahui pertumbuhan kraniofasial, menge-
‘tahui relasi fungsionil dari tonsil, lidah, velum dan
mandibula {Kusnoto, 1982).
Selain pemeriksaan fisik dan gambaran
radiografis, anamnesis juga sangat diperlukan
untuk menentukan diagnosis dari hambatan
saluran petnafasan. Menurut Cody dkk. (1981),
pertanyaan spesifik dapat menghasilkan informast
yang sangat berharga karena tidak jarang pasien
sulit mendeskripsikan keluhan yang dialami
dengan jelas. Anamnesis pada pasien dengan
hambatan saluran pernafasan meliputi: 1) gejala-
gejala lokal, 2) gejata-gejala regional, 3) gejala—
gejala sistemik, Gejala-gejala lokal bethubungan
erat dengan hidung sendiri dan mencakup
37‘ML Kedoktaran Gigi Vol. 22 No,1 Maret 2007: 32-40
keluhan seperti penyumbatan pada hidung, sekret
hidung, infeksi traktus respiratonius atas yang
berulang, gangguan penciuman, perdarahan
hidung yang sering berulang, pembengkakan
hidung bagian luar, dan iritasi hidung.
Gejala-gefala regional merupakan manifes-
tasi kelainan hidung dan sinus paranasalis yang
mengenai daerah wajah lainnya seperti gangguan
gigi geligi berupa nyeri rahang atas dapat terjadi
sekunder akibat penyakit sinus maksilaris, nyeri
kepala dan nyeri wajah karena sinus pararasalis.
Pasien yang mengalami hambatan saluran
pemafasan yang kronis dan berat akan bernafas
melalui mulut sehingga mengalami gejala awal
bibir kering, sakit tenggorokan, serak, batuk dan
problema hygiene. mulut atau mendengkur.
Gejala-gejala lain meliputi manifestasi yang lebih
Jauh atau sisteinik penyakit hidung dan sinus yang
dapat dimanifestasikan sebagai gangguan tidur
sekunder, dispnea, menelan udara dan kembung
disertai pernafasan melalui mulut (Cody dkk.,
1981).
DISKUSI
Selama ini masih merupakan suatu kontro-
versi apakah hambatan saluran pernafasan
merupakan penyebab kelainan perkembangan
gigi dan wajah atau bukan (Warren, 1991). Ada
beberapa asumsi yang mendukung pemyataan
yang menyatakan bahwa hambatan saluran
pemafasan merupakan faktor utama penyebab
terjadinya kelainan perkembangan gigi dan
wajah. Ada juga beberapa tulisan yang memban-
tah adanya hubungan tersebut.
Beberapa penulis yang mendukung perya-
taan bahwa hambatan saluran pernafasan
merupakan faktor utama penyebab tenjadinya
kelainan perkembangan gigi dan wajah diantara-
nya : O’Ryan dkk. (1982), yang menyatakan
bahwa saluran pemafasan yang tidak berfungsi
secara optimal akan mempengaruhi pertum-
buhan gigi dan wajah. Bresolin dkk. (1983),
dalam penelitiannya menyimpulkan adanya
perbedaan dalam hubungan skeletal dan
38
hubungan gigi geligi antara pasien yang bemafas
melalui mulut dengan pasien yang bernafas
normal.
Dilain pihak ada beberapa ahli yang
berpendapat bahwa kelainan pertumbuhan giat
dan wajah merupakan hast dari faktor keturunan
dan fakton lingkungan, Menurut Salzmann
(1974), bernafas melalui mulut tidak selalu
menyebabkan penyempitan rahang alas dan
mempengeruhi lebamya sendi.
Dari pernyataan-pernyataan di atas terlihat
bahwa hambatan saluran pernafasan kronis
dapat menyebabkan pasien bernafas melalui
mulut yang merupakan penyebab maloklusi gigi
geligi terutama pada masa pertumbuhan aktif.
Banyak pasien yang tidak sadar akan
kebiasaannya bernafas melalui mulut, Pasien yang
bemafas melalui mulut secara total terjadi hanya
jika jalan pemafasan pasien tersebut mengalami
hambatan total. Bila hambatan saluran pemafasan
hanya sebagian, maka pasien akan bernafas
‘melalui hidung disertai dengan bemafas melalui
‘mulut (Sassouni dan Forrest, 1971).
Tanda Klinis pada pasien yang bernafas
melalui mulut akan terlihat : wajah yang lebih
Panjang, lengkung rahang atas yang lebih sempit,
gigi insisivus atas yang lebih ke depan, rahang
bawah yang lebih kecil, ekspresi wajah yang sering
melamun, mulut terbuka dengan bibir alas yang
memendek, hidung bagian depan yang lebih
sempit (Tulley, 1966).
Karakteristik yang paling umum terlihat pada
hambatan saluran pernafasan adalah sindrom
wajah panjang atau sering juga disebut sebagai
wajah adenoid. Walaupun ada berbagai variasi
maloklusi yang dapat terbentuk dari hambatan
saluran pernafasan, maloklusi yang biasanya
terbentuk pada hambatan saluran pemafesan
adalah maloklusi kelas Il.
Penyebab maloklusi akibat hambatan saluran
pernafasan dapat diketahui dan anamnesis,
pemeriksaan klinis serta pemeriksaan radiogratis.
Pada analisis sefalometni kita dapat mengevaluasi
pembesaran adenoid yang berkaitan dengan
saluran pernafasannya, mengetahui dimensisagital dan nasofating, melakukan pengukuran
tinggi muka, mengetahui morfologi rahang atas,
dan rahang bawah, mengetahui pertumbuhan
kraniofasial, mengetahui relasi fungsionil dan
tonsil, dah, velurn dan mandibula. Pemeriksaan
radiografis yang lain sepert lateral sefalometrik
juga dapat digunakan untuk melihat saluran
pernafasan pasien (Kusnoto, 1982).
Sebelum menentukan diagnosis, harus
diketahui bahwa hambatan saluran pernafasan
mempunyai diagnosis banding yaitu : pasien yang
bernafas melalui mulut yang merupakan kebia-
saan, penyempitan saluran pernafasan, serta
hambatan saluran pernafasan yang bersifat
sementara.
Semua hal di atas dilakukan untuk menge-
tahui etiologi maloklusi sehingga didapatkan
diagnosis yang tepat dan rencana perawatan
yang akurat, Diagnosis dalam bidang ortodonti
‘sebagaimana juga diagnosis dalam bidang yang
tain membutuhkan data yang cukup lengkap dan
informasi yang akurat. Oleh sebab itu etiologi
maloklusi harus diketahui dengan pasti sebelum
ditentukan rencana perawatan.
Proffit dan Fields (2000) menyarankan dua
tahap untuk menentukan diagnosis agar dapat
menentukan rencana perawatan 1} Kelengkapan
data diagnosis yang cukup akurat, 2) Merumus-
kan masalah untuk menentukan diagnosis dati
data-data yang ada. dika ada kelainan patologis
‘maka harus dipisahkan dengan masalah lain agar
mendapatkan prioritas perawatan.
KESIMPULAN
Ada hubungan antara maloklusi dengan
hambatan saluran pemafasan. Hambatan saluran
perafasan dapat menyebabkan maloklusi gigi
geligi. Hambatan saluran pernafasan menye-
babkan pasien bernafas melalui mulut sehingga
lengkung gigi di rahang atas menjadi lebih sernpit
dan morfologi wajahnya adalah sindrom wajah
panjang atau disebut juga wajah adenoid. Oleh
karena itu diagnosis dan hambatan saluran
pematasan sebaiknya diketahui sedini mungkin
Hubungan antara Malokdusi denganHambatan Seluran Pemafasan,
sehingga dapat dikoreksi bukan hanya pola
pemafasannya, tetapi juga mencegah terjadinya,
maloklusi pada pasien yang belum terjadi
maloklusidan tidak memperparah maloklusi yang
telah ada pada pasien tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
‘Ash, MM, dan Remflord, S., 1995, Occlusion. Ed. Ke
4, WB Saunders. Philadelphia. Him. 58
Bresoim, D., Shapiro, PA, Shapiro, G.G., Chapko, M.K,
dan Dassel, S., 1983. Mouth breathing in allergic
children : Is relationship to dentofacial development.
‘Am. J. Orthod 83: 334-40,
Cody, D-TR., Kern, E.B., dan Pearson, B.W, 1981.
Penyakit Telinge, Hidung dan Tenggorokan. P.
Andrianto, (editor) EGC. Jakarta, Him, 139-140
Fields, H.W., Proffit, WR., Nixon, WL, Phillips, C.L.,
dan Stanek, E. 1984. Facial pattern differences in
fong-faced children and adults. Amd. Orthod. 85:
217-23.
Fields, H.W, Warren, D.W., Black, K., dan Philips, CL.
1991. Relationship between vertical dentofacial
morfology and respiration in adolescents. Am. J.
Orthod. 99: 147-54.
Hilger, PA., Adams, G.L., dan Boies, LR. 1997, Buku
Ajar Penyakit THT. Effendi, H., dan Santoso, RAK.,
(editor) Ed. Ke 6. EGC. Jakarta. Him. 200-2.
Holmberg, H. dan Linder-Aronson, S. 1979
Cephalometric radiographs 2s 2 means of
evaluating the capacity of the rasal and
nasopharyngeal airway. Am. J. Orthod. 479-90,
Kusnoto, H. 1982. Problema saluran pernafasan dan
pengeruhnye terhadap kelainart entofasial. Naskah
iliniah kongres PDGI ke 15, Jakarta, 157-69.
Linder-Aronson, S., Woodside, D.G., dan Lunstrom,
A. 1986. Mandibular growth direction following
adenoidectomy. Am. J. Orkod. 89: 273.88.
Mangunkusumo, HLE.Ch., 1990. Fisiologi hidung dan
sinus pararasai, Dalam Buku Ajar Penyakit Tinga
Hidung Tenggorok. H. N. Iskandar dan H. E. A.
Soepartl (editor). FK Ul, Jakarta. Him. 85-86.
Moyers, RLE., 1988. Handbook of Orthodontics. Ed.
Ke 4, Year Book Medical Publisher, Chicago. Him.
147-62, 171,200, 212.
39MIL Kedokteran Gigi Vl. 22 No.1 Maret 2007: 32-40
OFRyan, FS., Gallagher, D.M., LaBane, J.P, dan Epker,
BLN. 1982. The relation between nasorespiratory
function and dentofacial morfology: A review. Am.
d. Orthod 82 : 403-10.
O'Ryan, FS., LaBanc, J.P, Kageler, W'V., dan Epker,
BIN. 1984. Nasorespiratory function i ‘unis
with vertical maxillary excess. Part 2 Differential
diagnosis. J. Clin, Orthod 18 : 347-52.
Pracy, R.,dkk., 1983. Pelolaran Ringkas Teling, Hidung
dan Tenggorok. Gramedia, Jakarta, Him. 114-15.
Proffit, WR., dan Fields, H.W., 2000. Contemporary
‘Orthodontics. Mosby. St. Louis, Him, 145-46, 207.
Ricketts, RM., Roth, R-H., Chaconas, S.J., Schuihof,
J., dan Engel, G.A.,, 1982. Orthodontic
Diagnosis and Planning, Vol. 1, Rocky Mountain
Data Systems. Him. 25-30.
Rubin, RM. 1980. Mode of respiration and facial
growth. Am. .1. Orthod. 78: 504-10.
Salzmann, J.A. 1974. Orthodontics in Daily Practice.
‘JB, Lippincott Company. Philadelphia, Him, 122.
Sassouni, V., dan Forrest, E.J., 1971. Orthodontics in
Dental Practice. Mosby. Saint Louis, Him, 492-493.
Schendel, S.A., Eisenfeld, J., Bell, WH., Epker, B.N.,
dan Inishelevich, D.J. 1976. The long face
syndrome: Vertical maxillary excess, Am. J. Orthod
70: 398-407.
Tulley, WJ., 1966, Current Orthodontics. Waither, D.
(editor). John Wright & Sons Litnited. Bristol,
56-61,
Vig, KWL. 1998, Rasal obstruction and facial growth:
‘The strenght of evidence for clinical assumptions.
‘Am. I Orthod. Dentofac. Orthop. 113: 603-11.
Warren, D.W., Hershey, G., Turvey, TA., Hinton, VA.,
dan Hairfield, W.M. 1987. The rasal airway
following maxillary expansion. Am. J. Orthod Dent
9fac. Orthop. 91: 111-16.
‘Weimert, T. 1986. On airway obstruction in orthodontic
Practice: interviews. J. C/in. Orthod 20: 96-104.
Woodside, D. G., dkk, 1986, Mandibular and maxillary
growth after changed mode of breathing. Am. J.
Orthod. 100: 1-18.
40