Professional Documents
Culture Documents
Jagung sebagai pangan adalah sumber karbohidrat kedua setelah beras. Di samping
itu juga digunakan pula sebagai bahan makanan ternak (pakan) dan bahan baku industri.
Kebutuhan dan konsumsi jagung di Indonesia terus meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan meningkatnya industri yang menggunakan jagung
sebagai bahan baku seperti industri makanan dan pakan ternak. Peningkatan produksi yang
telah dicapai melalui perluasan areal tanam dan perbaikan teknologi produksi ternyata
belum mampu untuk mengimbangi kebutuhan dan konsumsi jagung di dalam negeri.
Tanaman jagung umumnya tidak toleran terhadap kemasaman tanah yang tinggi. Hasil
penelitian Fox (1979) disimpulkan bahwa kejenuhan Al merupakan parameter yang lebih
tepat untuk memperkirakan pengurangan hasil jagung pada tanah masam. Tanaman jagung
akan di bawah 90 % dari maksimum apabila kejenuhan Al melebihi 12 %. Bila kejenuhan
Al > 40 % pertumbuhan tanaman jagung akan menurun secara tajam.
Dilihat dari luasannya, Ultisol memiliki potensi untuk pengusahaan pengembangan
tanaman jagung. Namun pemanfaatan Ultisol untuk budidaya jagung menghadapi berbagai
kendala, seperti rendahnya tingkat kesuburan dan pH serta tingginya kejenuhan Al. Tanah
ini juga rendah dalam kandungan unsur hara makro seperti P, N, K, Mg dan kandungan
unsur hara mikro seperti Zn, Mo dan Pb. Pengapuran untuk mengatasi pengaruh buruk
oleh kemasaman tanah yang tinggi merupakan salah satu cara yang sudah lama dikenal dan
diterapkan. Dengan tindakan ini, kemasaman tanah diturunkan sampai tingkat yang tidak
membahayakan bagi pertumbuhan tanaman.
Bahan organik tanah merupakan suatu sistem yang komplek dan dinamis, berasal
dari sisa tanaman dan hewan yang terdapat di dalam tanah yang terus menerus mengalami
perubahan yang dipengaruhi faktor biologi, fisika dan kimia tanah. Bahan organik dapat
berasal dari sisa tanaman, hewan seperti dalam bentuk pupuk kandang, pupuk hijau,
kompos dan sebagainya. Pupuk kandang sebagai sumber bahan organik tanah mempunyai
kandungan hara yang berbeda-beda tergantung dari macam hewan, umur hewan, macam
makanan, perlakuan dan penyimpanan pupuk sebelum dipakai. Penambahan bahan organik
juga dapat meningkatkan kapasitas jerapan karena berbagai gugus fungsional yang
dimilikinya.
Penelitian dilaksanakan dengan percobaan pot di rumah kaca Jurusan Tanah
Fakultas Pertanian UGM. Tanah ultisol diambil dari Jasinga, Jawa Barat, pada beberapa
c
c
c
c
Kalimantan merupakan salah satu pulau di Indonesia yang paling kaya kayu ulin
(Ê
T et B). Kayu ulin terutama dimanfaatkan sebagai bahan
bangunan, seperti konstruksi rumah/gedung, jembatan, tiang listrik, dan perkapalan. Di
samping itu, masyarakat di kalimantan memanfaatkan pula kayu ulin sebagai komponen
konstruksi rumah seperti kusen jendela dan pintu, daun pintu, serta hiasan rumah.
Tingginya tingkat pemanfaatan kayu ulin selain mengancam kelestarian kayu ulin dapat
pula menimbulkan pencemaran lingkungan. Industri penggergajian kayu ulin
menghasilkan limbah berupa serbuk gergaji.
Sejauh ini limbah tersebut dibuang begitu saja ke lingkungan dan mencemari
lingkungan khususnya perairan sungai, karena industri penggergajian kayu ulin umumnya
memang berada di tepi sungai. Walaupun sudah ada anggota masyarakat yang
memanfaatkan limbah itu, belum ada kegiatan yang secara signifikan dapat mencegah
penimbunan limbah kayu ulin. Oleh sebab itu harus dicari berbagai alternatif pemanfaatan
limbah tersebut untuk mengimbangi laju pertambahan atau penumpukannya. Di antara
kemungkinan pemanfaatan limbah kayu ulin adalah sebagai obat tradisional. Sebagian
masyarakat di kalimantan telah biasa mengunakan air rebusan kayu ulin untuk mengobati
sakit gigi. Adanya tradisi menggunakan air rendaman kayu ulin untuk mengobati sakit gigi
menimbulkan dugaan bahwa kayu ulin mengandung zat atau senyawa yang dapat
membunuh kuman penyebab sakit gigi (antibiotik). Akan tetapi, ada pula kemungkinan
bahwa khasiat kayu ulin untuk mengatasi sakit gigi itu hanya karena kayu ulin
mengandung zat atau senyawa yang dapat mengurangi rasa sakit (analgesik).
Uji fitokimia pendahuluan mengindikasikan bahwa kayu ulin mengandung
berbagai senyawa kimia, antara lain golongan alkaloid, flavonoid, triterpenoid, tanin, dan
saponin. Flavonoid, triterpenoid dan saponin adalah senyawa kimia yang memiliki potensi
sebagai antibakteri dan antivirus. Sementara itu senyawa alkaloid juga penting bagi
industri farmasi karena kebanyakan mempunyai efek fisiologis tertentu. Dilihat dari
kandungannya itu, diduga kayu ulin memang mempunyai potensi untuk membunuh kuman
atau mikroba. Meskipun demikian perlu dilakukan pengujian secara ilmiah untuk
memperoleh data empiris yang dapat dipergunakan untuk menarik generalisasi yang sahih
mengenai potensi kayu ulin tersebut. Masyarakat biasa mempergunakannya untuk
mengobati sakit gigi, karena itu pengujian daya antibakteri kayu ulin sebaiknya juga
c
c
dilakukan terhadap bakteri yang biasanya terdapat di mulut dan bisa menyebabkan sakit
gigi.
Kuman yang biasanya terdapat di dalam mulut di antaranya adalah a
a
a a
dan a . Di antara kuman-kuman tadi, a sering
dipakai dalam pengujian daya antibakteri. Selain terdapat di dalam mulut, a
juga dapat menginfeksi jaringan atau alat tubuh lain dan menyebabkan timbulnya
penyakit dengan tanda-tanda yang khas seperti peradangan, nekrosis, dan pembentukan
abses. Potensi ekstrak kayu ulin menghambat a . Kuman ini juga
dapat menyebabkan terjadinya septikemia, endokarditis, meningitis, abses serebri, sepsis
purpuralis, dan pneumonia. Dengan demikian, daya antibakteri ekstrak kayu ulin dapat
diuji terhadap a . Penelitian ini selain mencari alternatif pemanfaatan
limbah kayu ulin agar tidak mencemari lingkungan, juga alternatif antibiotik, khususnya
terhadap a dan penyakit yang disebabkannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak kayu ulin mampu menghambat
pertumbuhan bakteri a . Hal ini diduga karena adanya kandungan
senyawa kimia seperti alkaloid, flavonoid, triterpenoid, tanin, dan saponin di dalam ekstrak
kayu ulin. Senyawa-senyawa itulah yang berperan sebagai bahan aktif yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri a
Di antara berbagai kerusakan yang dapat terjadi pada sel bakteri tersebut, yang
mungkin terjadi pada bakteri a akibat pemberian ekstrak kayu ulin
adalah penghambatan terhadap sintesis dinding sel. Ini didasarkan pada adanya kandungan
flavonoid yang merupakan senyawa fenol. Senyawa fenol dapat bersifat koagulator
protein. Protein yang menggumpal tidak dapat berfungsi lagi, sehingga akan mengganggu
pembentukan dinding sel bakteri. Selain itu, daya antibakteri ekstrak kayu ulin diduga juga
berkaitan dengan adanya senyawa alkaloid yang, seperti halnya senyawa flavonoid, juga
dapat mempengaruhi dinding sel. a merupakan bakteri gram positif.
Dinding sel bakteri gram positif terdiri atas peptidoglikan yang sangat tebal yang
memberikan kekakuan untuk mempertahankan keutuhan sel. Proses perakitan dinding sel
bakteri diawali dengan pembentukan rantai peptida yang akan membentuk jembatan silang
peptida yang menggabungkan rantai glikan dari peptidoglikan pada rantai yang lain
sehingga menyebabkan dinding sel terakit sempurna. Jika ada kerusakan pada dinding sel
atau ada hambatan dalam pembentukannya dapat terjadi lisis pada sel bakteri sehingga
c
c
bakteri segera kehilangan kemampuan membentuk koloni dan diikuti dengan kematian sel
bakteri.
Setiap senyawa yang menghalangi tahap apapun dalam sintesis peptidoglikan akan
menyebabkan dinding sel bakteri diperlemah dan sel menjadi lisis. Lisisnya sel bakteri
tersebut dikarenakan tidak berfungsinya lagi dinding sel yang mempertahankan bentuk dan
melindungi bakteri yang memiliki tekanan osmotik dalam yang tinggi. a
merupakan bakteri gram positif yang memiliki tekanan osmotik dalam 3 ± 5 kali
lebih besar dari bakteri gram negatif, sehingga lebih mudah mengalami lisis. Tanpa
dinding sel, bakteri tidak dapat bertahan terhadap pengaruh luar dan segera mati. Oleh
karena itu, diduga adanya gangguan atau penghambatan pada perakitan dinding sel utuh
yang tepat serta lisisnya dinding sel dapat menerangkan efek menghambat/bakteriostatik
dari ekstrak kayu ulin. Penggunaan konsentrasi ekstrak kayu ulin yang berbeda
memberikan tingkat pengaruh yang berbeda pula terhadap pertumbuhan bakteri
a
Pertumbuhan bakteri benar-benar dihambat pada konsentrasi ekstrak 2% dan 2,5%.
Semua ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi konsentasi ekstrak kayu ulin maka
pertumbuhan bakteri a semakin dihambat karena semakin banyak
bahan aktif dalam larutan uji. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perlakuan yang
berpotensi untuk menghambat total pertumbuhan bakteri a adalah
mulai konsentrasi 2%. Artinya, konsentrasi terendah untuk menghambat total pertumbuhan
bakteri a adalah 2%. Dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini
memberikan data empiris yang mengonfirmasi adanya daya antibakteri pada ekstrak kayu
ulin, khususnya terhadap a
Dikutip dari jurnal BIOSCIENTIAE Volume 4, Nomor 1, Januari 2007, Halaman 37-42
Penelitian ini termasuk {ñc rñrch, karena yang diteliti adalah bakteri dan hasil
penelitian ini perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan produk yang dapat
langsung diaplikasikan oleh masyarakat luas.
c
c
÷
÷
÷
÷
Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan
penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Telah
diterima sebagai kesepakatan internasional bahwa hutan yang berfungsi penting bagi
kehidupan dunia, harus dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang berakibat
hilangnya keseimbangan ekosistem dunia. Namun ada saja tindakan dari manusia yang
melakukan perusakan hutan diantaranya melaui pembakaran hutan yang akhir-akhir ini
semakin marak di Indonesia.
Padahal kerugian sosial ekonomi dan ekologis yang timbul oleh kebakaran hutan
cukup besar, bahkan dalam beberapa hal sulit untuk diukur dengan nilai rupiah. Secara
ekologis insiden kebakaran hutan mengancam flora dan fauna alam Indonesia yang khas,
bahkan mungkin membuat punah. Saat ini telah terjadi peningkatan pembakaran hutan
secara besar-besaran di Wilayah Propinsi Sumatera Barat dan Riau. Akibat kebakaran hutan
di kedua propinsi tersebut telah menimbulkan kabut asap dalam jumlah besar. Hal yang
mengkhawatirkan adalah bila dicermati dari tahun ke tahun pembakaran hutan yang terjadi
malah semakin meningkat.
Pada dasarnya, praktek pembakaran lahan atau hutan merupakan salah satu cara
yang digunakan oleh perkebunan besar di Riau untuk menaikan pH tanah, disamping biaya
yang murah sehingga cocok untuk tanaman seperti sawit. Namun sayangnya, praktek
pembakaran lahan atau hutan dengan biaya murah tersebut tidak mempertimbangkan
kerugian yang ditimbulkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain di Riau
kebakaran hutan juga terjadi di Wilayah Propinsi Sumatera Barat yang juga mengalami
peningkatan pembakaran hutan dari tahun ke tahun. Kebakaran hutan yang terjadi di kedua
wilayah tersebut telah menimbulkan kerugian yang cukup banyak diantaranya hilangnya
kesempatan panen, penyakit pernapasan (ISPA), menganggu penerbangan, rusaknya
lingkungan dengan hilangnya suatu ekosistem dan lainnya. Dampak sampingan lainnya yang
telah mulai dirasakan adalah naiknya suhu permukaan bumi telah menimbulkan cuaca panas
dan kering yang pada akhirnya ikut serta mendorong perubahan iklim ¦
Saat sekarang suhu dan cuaca sudah mengalami perubahan yang signifikan.
Misalnya kalau dulu pada bulan-bulan tertentu (seperti bulan November - Desember) musim
c
c
hujan sekarang sudah tidak bisa lagi diprediksi. Bahkan pada bulan-bulan tersebut malah
yang terjadi musin panas dan kering. Hal ini tentu menyulitkan bagi petani dalam menanam
karena mereka menanam tersebut terlebih dahulu memprediksikan kapan waktu terbaik
untuk itu.
Hal terpenting dari dampak kebakaran hutan yang terjai di wilayah Sumatera Barat
dan Riau adalah terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan. Hilangnya sejumlah spesies
kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan berjenis-jenis pohon namun juga
menghancurkan berbagai jenis habitat satwa lainnya. Umumnya satwa yang ikut musnah
ini akibat terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar karena api telah mengepung
dari segala penjuru. Belum ada penelitian yang mendalam seberapa banyak spesies yang
ikut tebakar dalam kebakaran hutan di Indonesia. Ancaman erosi dari kebakaran yang
terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupun di dataran tinggi akan memusnahkan
sejumlah tanaman yang juga berfungsi menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak
terjadi erosi. Pada saat hujan turun dan ketika
terjadi, ketiadaan akar tanah akibat
terbakar sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang
pada akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor.
c
c
Perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan hutan sebelum terbakar secara
otomatis memiliki banyak fungsi. Sebagai
, penyaring karbondioksida
maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga
keseimbangan planet bumi. Ketika hutan tersebut terbakar fungsi
tersebut
juga hilang dan karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang diudara.
Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik karena
hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut.
Indikasi perubahan iklim yang begitu jelas dirasakan misalnya kenaikan suhu
yang ekstrem beberapa waktu belakangan ini misalnya suhu di Kalimantan yang biasanya
sekitar 35 derajat Celcius naik menjadi 39 derajat Celcius. Di Sumatera yang biasanya
c
c
berkisar pada 33-34 derajat naik menjadi 37 derajat, dan di Jakarta yang biasanya 32-34
naik menjadi 36 derajat Celcius. Akibat dari hal itu bisa sungguh fatal di mana
diperkirakan Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau dan mundurnya garis pantai yang
mengakibatkan luas wilayah Indonesia akan berkurang. Kenaikan muka air laut tidak
hanya mengancam pesisir pantai tetapi juga di kawasan perkotaan. Dewasa ini setiap kali
terjadi hujan di beberapa daerah di Indonesia diikuti dengan banjir besar yang
menengelamkan dan mengenangi area-area pemukiman penduduk dan hal ini dulunya
tidak pernah terjadi.
Kebakaran besar hutan yang terjadi baru-baru ini di wilayah Sumatera Barat dan
Riau telah ikut menyumbang terjadinya perubahan iklim mengingat kebakaran tersebut
menyebabkan bumi menjadi semakin panas. Sehingga suhu bumi yang panas
mengakibatkan pemanasan global yang pada akhirnya menuju pada perubahan iklim yang
tidak seimbang lagi. Musin panas yang lama disusul dengan musim hujan yang tiada
putusnya dan mengakibatkan banjir serta musibah lainnya. Semuanya akibat
keseimbangan ekosistem yang tidak terjaga.
Akibat kebakaran hutan di Propinsi Sumatera Barat dan Riau tidak hanya
mengakibatkan kerugian ekonomis dan kerusakan ekosistem. Kita juga dicap sebagai
bangsa dan masyarakat yang tidak bisa dan tidak mau memelihara kekayaan alam. Padahal
kawasan hutan di Indonesia luasnya mencapai 10 persen dari hutan tropis yang ada di
dunia atau ke tiga terbesar setelah Zaire dan Brasil. Dampaknya secara ekologis telah
menyebabkan tebalnya asap dan kobaran api yang menjalar luas telah mengakibatkan suhu
bumi menjadi panas. Pada akhirnya memberikan dapat terhadap perubahan iklim ¦
Bumi yang panas akan mempengaruhi suhu udara sehingga musim hujan dan
musim kering mengalami perubahan. Dan jika ini dibiarkan berlarut-larut akan dapat
menimbulkan kerusakan lingkungan secara global
c
c
Dari sekian banyak jenis media dasar yang digunakan dalam teknik kultur jaringan,
tampaknya media MS (Murashige dan Skoog) mengandung jumlah hara organik yang
layak untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel tanaman dalam kultur.
Dalam kultur jaringan, dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting
adalah sitokinin dan auksin. NAA (Naftaleine Asetat Acid) adalah zat pengatur tumbuh
yang tergolong auksin. Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan bahwa
auksin dapat meningkatkan sintesa protein. Dengan adanya kenaikan sintesa protein, maka
dapat digunakan sebagai sumber tenaga dalam pertumbuhan. Adapun kinetin (6-furfury
amino purine) tergolong zat pengatur tumbuh dalam kelompok sitokinin. Kinetin adalah
kelompok sitokinin yang berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis.
c
c
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui (1) pengaruh interaksi antara NAA dan
kinetin terhadap pertumbuhan eksplan tiga kultivar bakal buah pisang yang ditanam
dengan teknik kultur jaringan, (2) pengaruh masing-masing konsentrasi campuran NAA
dan kinetin dengan kultivar pisang yang terbaik terhadap pertumbuhan eksplan bakal buah
pisang yang ditanam dengan teknik kultur jaringan, (3) pengaruh campuran NAA dan
kinetin yang terbaik pada kultivar pisang, dan (4) pengaruh kultivar pisang terhadap
tingkat keberhasilan kultur jaringan bakal buah pisang.
Kontaminasi pada bahan tanaman yang dikulturkan dapat terjadi karena adanya
infeksi secara eksternal maupun internal. Usaha pencegahan kontaminasi eksternal
dilakukan dengan sterilisasi permukaan bahan tanaman. Eksplan yang mengandung atau
terinfeksi bakteri, virus atau jamur akan menyebabkan kontaminasi pada tahap
pertumbuhan. Meskipun pada masa awal setelah penaburan tidak terjadi kontaminasi,
beberapa bulan berikutnya pertumbuhan jamur terlihat. Selain itu, faktor sterilitas ruangan
juga sangat menentukan terhadap kontaminasi. Ruangan yang sudah steril dapat saja
berubah menjadi tidak steril pada saat musim hujan, sehingga dapat membawa masuknya
bakteri dan jamur dari luar, serta dapat meningkatkan kelembaban yang akan mempercepat
perkembangan mikroorganisme. Pengambilan meristem sebagai eksplan harus dilakukan
dalam ruang steril (aseptik) agar tidak terkontaminasi.
Respon perubahan eksplan bakal buah setelah dikulturkan dapat dikatakan cukup
cepat. Pada mulanya, eksplan berubah dari putih kekuningan menjadi coklat pada bagian
bekas pemotongan dan menjadi kehijauan pada bagian yang tidak mengalami pelukaan.
Pada pengamatan 2 minggu setelah kultur, eksplan membengkak kemudian ujung bakal
buah merekah, dan beberapa minggu kemudian terbentuk kalus.
Percobaan menunjukkan bahwa campuran NAA dan kinetin, kultivar pisang, dan
interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap saat pembentukan kalus. Hal ini
c
c
terjadi kemungkinan karena pembentukan kalus pada bakal buah pisang hanya dipengaruhi
oleh kandungan auksin endogen saja. Pada kultur jaringan bakal buah pisang, bakal buah
mampu beregenerasi tanpa tambahan IAA (auksin) dari luar, walaupun tambahan IAA
meningkatkan baik nilai persentase eksplan yang membentuk tunas maupun jumlah tunas
mikro yang dihasilkan pereksplan. Diduga dalam buah pisang telah terkandung auksin
endogen yang cukup untuk memobilisasi sel-selnya guna membentuk individu-individu
baru.
Dalam penelititan ini tunas tidak terbentuk. Saat tumbuh tunas dipengaruhi oleh
tiga faktor yaitu faktor eksplan, media, dan lingkungan. Eksplan bakal buah pisang
kemungkinan memang sulit untuk pembentukan tunas. Kultur Jaringan bakal buah pisang
telah dilakukan oleh Ram (1964), namun eksplan tersebut hanya membentuk kalus
dan tidak berkembang menjadi organ. Manyatakan bahwa hormon yang dihasilkan oleh
eksplan belum cukup untuk menginduksi kalus apalagi sampai terjadinya organogenesis.
Faktor lain yang menyebabkan tidak terbentuknya tunas pada percobaan ini adalah
kombinasi NAA dan kinetin yang kurang tepat, dengan konsentrasi NAA terlalu rendah
dibandingkan kinetin.
Pada percobaan ini tunas akar juga tidak terbentuk. Saat tumbuhnya akar juga
dipengaruhi pertumbuhan tunas: tunas tumbuh dengan baik memacu pertumbuhan akar,
apabila pertumbuhan tunas terhambat maka pertumbuhan akar pun terhambat.
Terhambatnya pembentukan akar juga disebabkan oleh tingginya konsentrasi kinetin
dalam media.
Dikutip dari jurnal BIOSCIENTIAE Volume 2, Nomor 2, Juli 2005, Halaman 23-36
Penelitian ini termasuk ñ rñrch, karena hasil penelitian ini bisa langsung
diaplikasikan.
c
c
T
ET L E EL T
c
c
c
c
c
c
l c:c
c
c
c
c
pT W T
c
c
c
c
c
c
c
c
c
pp
T p
pp
p
Ep T L