Professional Documents
Culture Documents
BIODATA PENULIS
Daftar Pemain.
Synopsis :
Awalnya, Nimok menolong Momon yang menjadi korban
pengguna narkoba hanya karena keduanya adalah sahabat. Momon
berhasil lepas dari persoalan itu tetapi mencintai Nimok dan Nimok
menolaknya.
=========
ADEGAN I.
DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK DHING
DHANG THAK DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK…
PELAN.
DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK DHING
Kenapa Nimok ?
Kenapa Momon ?
Suara-suara : Sendirian ?
Suara-suara : Bib bab bib bab bib bab bib bab bib bab
Bib bab bib bab bib bab bib bab bib bab
KEMUDIAN SUARA SUARA ITU MEMBUAT KOMPOSISI BEGITU JUGA NIMOK DAN
Nimok : oh…..
BERMAIN SALING BERDIALOG DALAM HATI. HANYA GERAK GERAKNYA SAJA YANG
MEMAINKAN DILOG MEREKA. DAN SEGERA DIAM KETIKA MOMON MULAI DIALOG.
Nimok : Apa?
Nimok : Ingin
Momon : Kapan
Nimok : Kapan-kapan
Suara-suara : Bib bab bib bab bib bab bib bab bib bab
Bib bab bib bab bib bab bib bab bib bab
Nimok : Aku ?
Nimok !
Tetapi sahabatmu
Momon : sahabatku ?
Nimok : Ya sahabatmu
Kenapa ?
Nimok : Aku ingin menjadi sahabatmu seperti waktu dulu. Tidak ingin menjadi
Momon : Kenapa ?
Nimok : Tidak
Nimok : Sssttt….
Momon : Sebenarnya aku lebih senang kalau kau tidak mau datang lagi Nimok.
Kenapa ?
Kau campakkan lagi aku dari sebuah tempat yang lebih tinggi setelah kau
Sekarang, setelah aku sakit kau datang lagi untuk mengangkatku dan pasti
Nimok : Tidak usah khawatir. Suatu saat aku pasti pergi. Tanpa kau suruh aku akan
pergi. Tetapi untuk sekarang, aku masih ingin datang lagi untukmu
Sebagai seorang sahabat, aku ingin datang lagi untuk mengajakmu pergi
Nimok : Tinggalkan semua ini. Aku ingin Momon kembali Momon yang dulu,
Nimok : Belum !
Karena aku sahabatmu, aku wajib mengajakmu pergi dari sebuah tempat
Momon : Ya.
Momon : Kenapa ?
Nimok : Tidak
Nimok : Mengapa kau sakiti dirimu sendiri kalau kau sudah mencintai dirimu sendiri
Kenapa kau siksa dirimu sendiri kalau kau sudah bisa mencintai dirimu
sendiri.
Ya kan ?
Nimok : Apakah salah kalau sebagai seorang sahabat aku ingin datang lagi
untukmu ?
Suatu saat pasti aku pergi. Sementara ini aku masih ingin melihatmu sebagai
Ayo bangun dari mimpi mimpimu yang indah tetapi hanya kebusukan dan
Tidak ada pilihan lain kecuali harus segera meninggalkan tempat ini, kalau
Yakinlah suatu saat orang orang yang mencintai pasti datang. Ya kan ?
percayalah !
15
Dadia pengarepanku
Momon : Diam !
Diamlah suara-suara
Semua pergi
Semua menjauhiku
Kita sendirilah yang memiliki hidup kita karena kita sendiri yang berhak
Kalau kau sendiri belum menuntut dirimu sendiri untuk lebih mencintai diri
sendiri
Ayolah Momon
menyayangi.
17
Bagaimana Momon ?
DENGAN LIAR. KEMUDIAN BERJALAN LAGI SEAKAN INGIN CEPAT SAMPAI DI SEBUAH
Momon : Tidak
Momon : Aku ingin mencintai diriku sendiri sebelum mencintai orang lain.
DIPANGGUL LAGI SANG PASIEN UNTUK KELILING PANGGUNG LAGI. NIMOK PELAN-
DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK
DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK
DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK DHING DHANG THAK
PADAM.
SELESAI
21
BIODATA PENULIS
HITAM PUTIH
Karya :
ENANG ROKAJAT ASURA
22
CILEGON 2004
TOKOH :
AMARAL
NENEK
RIO
DUA ORANG BODYGUARD
PUTRI
SEORANG LELAKI
FIGURAN
1
BABAK SATU
23
RIO
Hitammu disini…bukan itu…bukan disana…
24
Lihat…pandang…tatap…
Hitammu di sini…Amaral !
AMARAL
Hitamku di sana ? hitamku di nadimu ?
NENEK
Itu bukan hitam, Cu !
Itu abu-abu…abu bukan hitam…karena ada putih di sana…
Abu-abu bukan putih…
Oh…( TERKEKEH ) abu-abu bikin bingung kamu, Cu ?
Tidak…jangan bingung !
Pandanglah abu-abu itu dengan ini …
( MENEPUK DADA DAN BATUK )
RIO
( TERKEKEH )
mana mungkin bisa membedakan hitam dan putih,
mengatur nafas saja tidak becus !
kau batuk-batuk terus, Nek !
Tak perlu memikirkan hitam dan putih,
pikirkanlah liang lahat !
NENEK
Tengik juga kau anak muda !
Jangan dengar itu, Cu ! Jangan kau dengar…
kau akan menemukan putihmu…
putihmu yang kaucari…bukan putih dia…
bukan putih orang lain !!!
AMARAL
Biarlah aku pandang sendiri, Nek !!
Jangan memandang dengan mata nenek…
Aku masih awas…
25
AMARAL
Aku tak melihat putih di sana…
Hoi…adakah putihku di sana ?
Hoi…hanya ada hitamkah di sana ?
NENEK
( BATUK-BATUK )
hitam dan putih tidak dimana-mana, Cu !
tapi di sini ….
( MENEPUK DADA DAN BATUK-BATUK KEMBALI )
ah…kenapa penyakit ini selalu saja manja…
dasar penyakit jaman sekarang…
manja…tak bisa mandiri…
AMARAL
( PADA NENEK )
Artinya nenek sudah tua…
NENEK
Bagus…bagus itu, Cu !
Kalau kau sudah mengaku aku tua,
kau akan pula mengaku nenekmu bisa membedakan
mana hitam mana putih…
RIO
26
NENEK
Tuhan, jangan biarkan hitam membawa cucuku !
Kuatlah putihmu di sini….
Pancarkan putihmu pada cucuku !
Jangan…jangan biarkan hitam itu, Tuhan !
Jangan biarkan membawa cucuku…
NENEK
Adakah putihku di sana ?
Tunjukanlah !!!
Mana putihku ?
NENEK
Ah, ternyata kalian masih suka bohong…
Aku pikir kebohongan hanya ada di pasar-pasar…
Ditawar seribu…dia bilang belinya saja seribu dua ratus…
padahal ia beli lima ratus…he he he…
Aku sangka kebohongan hanya ada di terminal…
bus penuh dikatakan kosong…
tadinya aku hanya beranggapan…
kebohongan hanya ada di senayan
tapi ternyata…di sini juga …
apa pasar pindah ke sini heh ?
apa terminal juga ada di sini ?
atau tempat ini sudah disulap jadi senayan tandingan ?
NENEK
Adakah putihku di sana ?
28
Tunjukanlah…mana putihku ?
NENEK
Adakah putihku di sana ?
( SEPERTI AKAN MENANGIS )
Tunjukanlah…mana putihku ?
NENEK
( BENAR-BENAR MENANGIS DAN BICARA SENDU )
Adakah putihku di sana ?
Tunjukanlah !!
Mana putihku ?
AMARAL
Nenek jangan bunuh diri…
Nenek masih diperlukan di sini…
AMARAL
Jangan, Nek !
Jangan buang kesempatan hidupmu…
Hidup itu mahal !!
29
NENEK
Cucuku masih ada…
Dia masih sayang…
RIO
Bom !!
AMARAL
Bom … bom !!
NENEK
Bukan bom…itu tadi kentut !
RIO
Kentut ? begitu kerasnya kentut ?
30
NENEK
Ya, itu tadi kentut !
Bahkan ada kentut yang bisa lebih keras dari itu…
AMARAL
Ngaco !
Nenek jangan ngaco !
Ayo keluar…itu tadi bom…
atau paling tidak granat tangan…
NENEK
Kentut !
RIO
Siapa yang kentut ?
NENEK
Kamu ! kau yang kentut !
Kentut orang macam kau itu pasti sekeras bom !
RIO
Aku kentut ? kentutku keras ?
Mana mungkin, Nek,
aku masih bebas keluar masuk Amerika !
kalau aku kentut sekeras bom,
pasti dicekal masuk Amerika…
NENEK
Kalau begitu, kau yang kentut, Cu !
AMARAL
( TERSIPU )
Nenek…mana mungkin aku kentut di depan umum…
31
NENEK
Ya, sudah !
Kalau begitu, mungkin aku yang kentut…
Kentutku bisa sekeras bom,
buat ngebom laki-laki brengsek yang akan mengganggu kamu !!
Tapi….karena aku perempuan,
pasti kentutku tetap santun…
Buktinya kentutku tak salah sasaran kan ?
Tidak salah tembak…
Kentutku tepat nembak Riomu itu !
AMARAL
menghitung hari…
detik demi detik…
NENEK
Ah…kau ini !
Dia itu lelaki tak bertanggung jawab…
AMARAL
Tapi Rio telah memberi jalan….
Jalan menuju sukses, Nek !
NENEK
Yang memberi jalan itu, Allah !
Jangan kau salah sangka…
Kita itu kecil…kerdil…
Mana mungkin bisa memberi jalan untuk orang lain,
jalan buat sendiri saja tidak bisa…
AMARAL
Sudahlah, Nek !
Simpan omongan nenek itu di lemari besi…
Aku tak mau mendengarnya lagi…
NENEK
33
AMARAL
Sadar…aku sangat sadar !
NENEK
Oh, Tuhan, sia-sialah upayaku ini…
AMARAL
Nenek tidak mengerti…
Dunia hiburan memberi jalan hidup…
jalan yang tak pernah nenek temukan dulu…
Pandanglah dunia dengan mata sekarang, Nek !!
Bukan mata nenek yang dulu !
NENEK
Mengkhayalah terus…
Bermainlah dalam fantasimu !!
Tapi kau sedang ada dalam genggamanku sekarang…
AMARAL
Mulai sekarang tidak, Nek !
Aku lepas…bebas…
NENEK
Bawalah pikiranmu…
Tapi kau lupa, hatimu tetap di sini…
SEBUAH SUARA
Siapa yang kentut ?
Ayo ngaku !
Siapa yang kentut ?
Perempuan atau laki-laki ?
***
2
BABAK DUA
35
AMARAL
Makasih…makasih…sabar ya…
semuanya pasti kebagian …
sabar dong…
( PADA SESEORANG )
siapa namanya ? bagus…mana bukunya…
oke…tanda tangan di sini ya…
iya…iya…
AMARAL
( PADA SEORANG BODYGUARD )
Kalian atur jangan sampai berebut …
Kalian dibayar untuk itu…
Kulitku bisa lecet kalau berdesakan terus…
NENEK
( TERIAK )
tak ada penggemarmu, Cu !
tak ada penonton…
37
AMARAL
( KESAL )
Diam !
Apa sih maksud nenek ?!
NENEK
Aku hanya ingin menyadarkanmu…
Bukalah mata hatimu…
Ini bukan panggung sandiwara
untuk melambungkan angan-anganmu…
ini rumah kita…rumah sederhana milik kita…
AMARAL
Lebih baik nenek diam, supaya saya tidak berbuat kasar…
Paham ?!
NENEK
Tidak !
AMARAL
Ah, itulah, Nek !
Jaman sekarang sudah maju…
Jauh lebih maju dari jaman yang nenek alami…
Sekarang jaman globalisasi…
Nenek pasti tidak tahu apa itu globalisasi ?
NENEK
He he he … salah kau, Cu !
Dari dulu juga namanya sa-si-sa-si itu sudah ada …
AMARAL
( TERIAK )
Britney spears segera hadir…
Lihat…kurang apa saya, Nek !
38
Lihat…lihat…penonton !
Saya cantik luar dalam …
AMARAL
Dengar…dengar !!
Gemuruhnya sambutan dunia ?
Rrrruarrrr…biasa…
NENEK
( SEDIH )
Kau terlalu jauh mimpi…
Bangunlah, Cu, hari sudah siang !!
Lihatlah…ini rumah kita…
AMARAL
Aneh…kenapa dicolek tidak kerasa ?
Apa aku mencolek angin ?
Mencolek bayangan ?
39
AMARAL
Hidup…ya…hidup…
Ada kehidupan di sana…
NENEK
( MEMEGANG TERALIS )
Ternyata kau memang masih waras…
Yang kau pegang itu memang kehidupan…
He he he … maksud nenek sumber kehidupan…
Tapi yakinlah cucuku, ia bukan apa-apa…
Ia bukan siapa-siapa…
Seperti juga kamu bukan apa-apa…
dan bukan siapa-siapa !!
AMARAL
Aduh..nenek !!
Bener-bener membuat saya kehilangan kesabaran…
Nenek memang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa…
Tapi jangan samakan saya dengan nenek…
Ini dunia saya … dunia angan-angan
NENEK
Kau sebenarnya yang bikin aku kehilangan kesabaran
Dengan cara begini kau akan disadarkan…
AMARAL
Kurang ajar !!
Apa kalian sudah jadi robot beneran ?
Apa kalau aku dilembar bom, kalian tetap diam ?!
Kalian kupecat !!
NENEK
Mana ada syal artis besar bau apek…
Kau memang terlalu jauh melamun, Cu !
Sayang…orang tuamu tidak ada…
AMARAL
Jangan ungkit masalah itu, Nek !
Aku malas mendengar cerita itu…
Padahal dady di Amerika !!
Mom di Prancis !!
Nenek malu anak dan menantu sukses di negeri orang ?!
NENEK
( DARI TERALIS TERHALANG SYAL )
Aku malu karena punya cucu pelamun !
Buang jauh-jauh cerita busuk itu…
Kedua orang tua meninggal karena kecelakaan !
Tak ada di Amerika…tidak di Prancis…
AMARAL
Dengar !! Dengar !! Kalian dengar !!
Siapa sebenarnya yang melamun ?
Aku atau nenekku ?
Kalian dengar sendiri …
Nenek bilang ayah ibuku meninggal…
41
RIO
Hebat…hebat…
Kau benar-benar telah jadi bintang hebat…
( SINDIRAN )
Kau begitu gampang memecat orang…
tapi tidak apa-apa, untuk maju harus tega !!
Tega menjegal orang lain…
AMARAL
Apa maksud semua ini ?!
Apa Rio ?!
RIO
Penyamaran itu penting…
Semakin sempurna menyamar,
semakin besar kesempatan untuk jadi besar…
AMARAL
Aku tak paham…
RIO
Tak perlu semuanya mengerti…
Semakin banyak mengerti,
justru semakin membuat orang bego…
42
Sederhana saja !!
AMARAL
Sederhana menghadapi hidup ?
RIO
Sederhana menanggapi hidup…
Untuk maju kau perlu sandaran,
menyandarlah pada orang-orang !!
Untuk maju perlu kesempatan,
curilah kesempatan ketika mereka tidur !!
Untuk maju perlu kepandaian,
pura-puralah seperti orang pandai !!
AMARAL
Luar biasa…
Mas telah memberi jalan !!
RIO
Aku tak segan jadi jembatan
asal bisa menghubungkan kamu ke pantai harapan…
AMARAL
Sungguh ?!
RIO
Kau bisa rasakan sendiri selama ini !
43
AMARAL
Mas Rio !
RIO
Aku tidak brengsek seperti kata nenekmu…
Aku tidak sialan seperti kata orang-orang itu…
Aku bukan bajingan seperti kata orang-orang suci…
Aku tidak seperti yang tudingan wartawan-wartawan itu…
AMARAL
Jangan peduli dengan nenek…
Jangan peduli dengan orang-orang itu…
Kita tak ada urusan dengan mereka !!
RIO
Siapa yang kau perlukan ?
AMARAL
( MALU-MALU )
mas Rio tentu …
siapa yang mas Rio perlukan ?
RIO
Kamu … pasti !
BODYGUARD
Sepatu yang membuat lupa diri…
Tak terasa menginjak orang kecil…
Kemeja yang membuat dia silau…
Semua telah ditanggalkan…
Semua teronggok tak berarti di sini…
Keduanya telah menjadi binatang tentu…
Sama-sama menanggalkan pakaian…
( PADA ONGGOKAN PAKAIAN )
Kau dicipta untuk kebaikan,
bukan untuk membuat orang lupa diri…
Ingat itu !!
NENEK
Tambah satu lagi orang gila sekarang…
Kaukah telah melupakan takdir…
45
BODYGUARD
Aku perlu mencoba takdir orang lain…
Takdir sebagai manajer artis di sisi kiriku…
Takdir sebagai artis di sisi kananku…
NENEK
Dan takdirmu tak kebagian tempat…
BODYGUARD
Takdirku tetap di sini…
Di dalam dada ini, Nek !
NENEK
Berjalanlah !
BODYGUARD
Aku tak bisa berjalan…
Karena kaki kananku kaki perempuan…
dan kaki kiriku kaki laki-laki…
NENEK
Artinya kau menolak takdir…
BODYGUARD
Bukan !!
Bukan menolak takdir !
Tapi aku ingin kompromi dengan takdir, Nek !
Antara perempuan dan laki-laki pasti bisa kompromi…
Tapi kenyataannya aku benar-benar menyesal…
Jangankan antara perempuan dan laki-laki…
antara kaki kanan dan kaki kiri saja sulit kompromi…
Hebat benar orang di atas awan sana !!
NENEK
Hah…kau telah berjalan ke atas awan ?
46
BODYGUARD
Aku sering berjalan ke sana !!
NENEK
Kau lihat orang-orang saling kompromi ?
Kau lihat kaki kanan dan kiri kompromi ?
Kau saksikan tangan kanan dan kiri kompromi ?
Atau sama seperti di sini …
Sulit menerima kompromi ketika tak jelas jatahnya !!
BODYGUARD
Aku melihat orang-orang di atas awan sana
Semuanya bersahaja…
Semuanya tertib tanggung jawab…
Di jalan tak pelanggaran lalu lintas …
Di kantor kepolisian tak ada jual beli kesalahan…
Di pengadilan tak ada transaksi pasal dan delik aduan…
Di parlemen tak ada adu jotos kekuasaan…
NENEK
Tentu damai di sana…
Semuanya serba teratur…tertib…
BODYGUARD
Nenek tahu kenapa di atas awan seperti itu ?
Karena tak ada yang punya cita-cita
Tak ada lalu lintas..
Tak ada kepolisian…
Tak ada pengadilan…
Dan absen yang namanya parlemen…
NENEK
Aku tahu sekarang …
Kalau mau tertib lalu lintas, hilangkan lalu lintas !!
Mau bersih, lenyapkan polisi !!
Mau adil, hilangkan pengadilan…
47
NENEK
Roboh !
BODYGUARD
Dahsyat !
NENEK
Amblas !
BODYGUARD
Puas !
NENEK
Bencana !
BODYGUARD
Pesona !
NENEK
( MEMBENTAK )
Adzab !!
BODYGUARD
( MENAHAN NAFAS )
huh…
AMARAL
Pakaianku !!
Sepatuku…
48
RIO
Pakaianku !!
Sepatuku !!
NENEK
Jangan kau sentuh itu…
Itu api…tanganmu akan meletup…
Jauhilah api itu…
Kau akan terbakar nanti !!
BODYGUARD
Api !! Api !!
Aku harus menjauhinya…
BODYGUARD
Jangan sentuh itu !!
Api !! Api !
Jauhilah api itu !!
Terbakar nanti !!
NENEK
Ya…api…aku harus menjauhinya…
***
49
3
BABAK TIGA
AMARAL
Aku tahu kesuksesan itu harus disongsong…
dengan tenaga dan hati…
Aku telah melakukan semuanya, Nek !
NENEK
( TAK ACUH )
Kau tahu caranya tapi tidak tahu menjalankannya !!
Kau pinter tapi tidak cerdik…
50
AMARAL
Nenek…
NENEK
Kau tahu brengseknya lelaki itu…
( MELIRIK PADA AMARAL )
aku tidak tahu dunia,
tapi pernah merasakan hal yang sama !!
Sudahlah !!
Tak perlu berdebat !!
sekarang selamatkan anakmu itu !!
AMARAL
Aib, Nek !
Tak ada yang bisa menanggung aib !!
NENEK
Aib !!
Ya…aib !
Tapi anak itu tetap akan tumbuh dan akhirnya lahir !!
AMARAL
( BERDIRI. MERINGIS SEBENTAR )
Aku harus menghentikan agar anak ini tidak terus besar !!
Aku yakin pilihanku sekarang benar !!
AMARAL
Nenek pasti tahu apa yang akan aku lakukan…
Nenek telah banyak makan asam garam
Pasti tahu apa yang kupilih !!
NENEK
Tidak…aku tidak tahu !
Aku tidak paham, Cu !
Aku tidak mau mereka-reka…
Juga tentang pisau itu !!
AMARAL
Aku tak sanggup, Nek !
NENEK
Jangan !!
Percayalah…kasih Allah seluas samudera…
bahkan ditambah samudera lain…
samudera yang lain lagi…
AMARAL
Aku tak perlu samudera, Nek !
Aku perlu bagaimana menutup aib ini !!
NENEK
Beruntung pisau itu tumpul…
Kalau tidak, nadimu pasti putus !!
AMARAL
Beruntung ada nenek !!
Kalau tidak, pasti bukan pisau yang aku pakai…
NENEK
Kematian bukan penyelesaian…
Kematian bukan akhir dari masalah…
Kematian justru awal dari masalah…
AMARAL
Kematian memang awal masalah…
Tapi masalah yang belum aku tahu…
Sementara hidup jelas awal masalah…
Dari masalah yang telah tahu akibatnya …
Itulah kenapa aku memilih kematian !!
AMARAL
Rio…kaukah itu ?
Kenapa kau hitam sayang ?
Kaukah bersama malaikat maut itu heh ?
Hitam…kau hitam sayang …
NENEK
Dari dulu dia hitam…
Hanya mata kamu rabun ayam…
53
AMARAL
( TAK PEDULI )
Rio…hitamkan yang kau bawa ?!
NENEK
Sayang kau selalu menggunakan warna orang lain !!
Aku benar-benar kecewa…
jangan-jangan anak muda sekarang
selalu senang dengan warna orang lain !!
Ah…Cu…cu…terlalu jauh kau bercermin pada orang !!
AMARAL
Mendekat…mendekatlah, Rio !
Lihat…lihat ke sini !!
Tadi aku akan mengakhiri hidup ini !!
Padahal di perutku ada janin yang mulai hidup….
Ah…kau tak paham bagaimana kegundahanku sekarang…
Tidak…kau tidak cukup pintar !!
Kau menghancurkan harapan !!
( SEDIH. MEMEGANG SELENDANG PUTIH YANG TERSAMPIR DI
PUNDAK )
Selendang ini !!
Kau ingat selendang putih ini ?
54
RIO
Hitammu disini…bukan itu…bukan disana…
Lihat…pandang…tatap…
Hitammu di sini…Amaral !
NENEK
Itu bukan hitam, Cu !
Itu abu-abu…abu bukan hitam…karena ada putih di sana…
Abu-abu bukan putih…
Oh…( TERKEKEH ) abu-abu bikin bingung kamu, Cu ?
Tidak…jangan bingung !
Pandanglah abu-abu itu dengan ini …
NENEK
Pembunuh ! Bajingan !
Bangsat tengik !
Cecunguk !
Amburadul…sampah !
Busuk !!
RIO
Kutu busuk !
Tua banga !!
Pembunuh !!
Kau cecunguk !!
Kau tengik !! Sampah !!
( MELUDAH ) puih !
NENEK
Terkutuk kau, Rio !
56
RIO
Terkutuk kau tua bangka !
NENEK
Heh…sompret, kenapa kau ikut-ikutan ?
RIO
Karena kau biang keladinya…
NENEK
Kau yang menghancurkan cucuku, sompret !
RIO
Tapi kau yang kesatu menghancurkan pacarku !
Seharusnya kau urus liang lahat…
Ukur jangan sampai terlalu longgar…
Bumi ini akan menolak jika kau minta kubur terlalu longgar !!
NENEK
Hei…kenapa kau urus masalah kubur segala heh ?
RIO
Karena kau yang sengaja minta dikubur !!
Orang yang suka mengubur keinginan orang lain,
memang selayaknya dikubur !!
NENEK
Lancang kau tengik !
Kau apakan cucuku itu ?
RIO
Kau yang harus jawab !!
Kau apakan pacarku itu heh ?
NENEK
Kenapa kau diam ?
RIO
Kau sendiri kenapa ?
NENEK
Aku capek…bengekku kambuh !
RIO
Sama…aku juga capek !
NENEK
Langkahi dulu mayatku…
RIO
Tak sudi…bisa-bisa aku impoten !!
Minggir atau aku kasih kentut !
RIO
Baru kentut bohongan sudah panik…
NENEK
( BICARA PADA PENONTON )
Dasar busuk !
Masih hidup saja sudah bau busuk…
Apalagi kalau sudah mati !!
Jangan-jangan akan tercium sampai Amerika…
RIO
Hei…tua bangka hentikan omonganmu !!
Nanti kalau Amerika kentut, kau bisa celaka !!
58
NENEK
Tuh kan…kentut lagi !!
Aku mual tahu…
RIO
Itu baru ngomong…kentutnya belum
NENEK
Cih…pantas cucuku hamil…
Sering kena kentut kau rupanya…
RIO
Kenapa kita tidak membentuk koalisi …
Kita bikin poros penyelamat amaral…
Kalau nenek setuju,
kita bisa kompromi bagi-bagi kentut !!
atau kita bagi-bagi kursi….
NENEK
Aku tak butuh kentut …kursi goyangku masih cukup kuat…
RIO
Oke…kita bagi-bagi kursi goyang…bagaimana ?
NENEK
Heh…apa maksudmu tengik ?!
RIO
Kita kompromi saja…kita selamatkan Amaral…
Nenek akui saja, Amaral itu hamil sama nenek…
59
NENEK
Apa bisa ?
RIO
Namanya juga kompromi,
apa sih yang nggak bisa, Nek ?
***
4
BABAK EMPAT
60
AMARAL
Kau tahu orang-orang itu, Nak ?
Kemarin ketika matahari di atas,
mereka adalah para pengagum ibu !!
Mereka itu siap menjilati keringat ibu !!
PUTRI
Ih…jorok…
Apa mereka tidak makan ?!
AMARAL
Makan…mereka makan…
Tapi tidak dengan mulut-mulutnya…
PUTRI
Kok gitu, Bu !
AMARAL
Mereka makan tidak dengan mulut-mulutnya…
Mereka makan dengan pantat-pantatnya…
Kau pasti bingung…tapi sudahlah,
61
PUTRI
Apa pantat orang-orang itu ada giginya ?
AMARAL
Tidak ! Tentu saja tidak ada !
PUTRI
Bagaimana mereka makan ?
AMARAL
Mereka akan memaksa memasukannya …
Mereka memang sering memaksakan kehendaknya…
Mereka akan memakan apa saja…
Memakan siapa saja !!
PUTRI
Memakan ibu ?
AMARAL
Ya ! hampir saja…
Hampir saja ibu mereka makan juga…
Beruntung ibu punya benteng yang kokoh…
Ayahmu…Rio namanya !
( MENERAWANG JAUH )
Dia lelaki tampan juga gagah…
Selalu melindungi ibu dari kerakusan orang-orang itu !!
PUTRI
Ayah hebat !!
62
AMARAL
Ayahmu memang hebat…
Jauh lebih hebat dari Superman…apalagi Gatotkoco..
PUTRI
Ayah bisa terbang ?
AMARAL
Tentu, sayang ! Ayahmu bisa terbang…
PUTRI
Ayah punya sayap ?
AMARAL
Tidak !
PUTRI
Kok nggak punya sayap bisa terbang ?!
AMARAL
Ia terbang dengan uangnya…
Ia terbang dengan jabatannya…
Ia terbang dengan ambisinya…
Bahkan dengan pikiran-pikirannya…
PUTRI
Ibu ngawur !!
AMARAL
( TERSENTAK KAGET )
apa benar ibu bicara ngawur ?
AMARAL
Jangan kau naiki kotak ini, sayang !
Kotak ini terlalu tinggi…
Tak bisa kau jangkau sendiri !!
PUTRI
Ibu pernah naik kotak ini ?
AMARAL
( TERSENYUM PAHIT )
Ya…ya…dulu ibu pernah menaiki kotak ini…
Ibu juga pernah merasakan jatuh dari kotak ini…
( SEDIH. MENGUSAP AIR MATA )
PUTRI
Ibu nangis ?
Kata ibu jangan pernah menangis…
Kata ibu menangis itu bodoh !!
Kata ibu…menangislah kalau menghadapi kematian…
Siapa yang akan mati sekarang, Bu ?
AMARAL
( TERSENTAK KAGET )
Ibu tidak menangis…
Ibu hanya ingat Buyutmu… ibu juga ingat ayahmu…
PUTRI
Apa uyut naik kotak ini, Bu ?
SEORANG LELAKI
Buyutmu tentu tidak pernah menaiki kotak ini, Nak !
Tapi ia seperti ditulis sejarah…
Pernah melarang ibumu menaiki kotak ini…
Inilah kotak raksasa… kotak fantasi…
Yang hanya akan membuat gila siapa saja yang menaikinya…
64
AMARAL
( MEMBENTAK )
Jangan hancurkan anakku !
SEORANG LELAKI
Tidak mungkin, Nyonya !
Karena saya adalah tanah di sini …
Tanah yang pernah menyaksikan bagaimana anda dulu…
Demikian mabuk kesuksesan…
Demikian mabuk kehormatan…
Demikian mabuk kekayaan…prestasi…pujian…dan…
AMARAL
Cukup !
PUTRI
( KAGET DAN HAMPIR MENANGIS )
Orang gila ya, Bu ?!
AMARAL
Ya, dia memang gila !
Ayo kita menyingkir dari sini…
PUTRI
Ayo, Bu ! kita menyingkir…
Ibu menari lagi…dan Putri main musik lagi…
TERSENYUM PAHIT.
65
PUTRI
Ayo, Bu !
Ibu harus nari… nari, Bu !
AMARAL
Sebentar sayang… ibu tidak bisa melangkah…
SEORANG LELAKI
Kau tak mungkin meninggalkan tempat ini…
Tanah ini adalah saksi…
Bagaimana kau terbius fantasimu…
Kau tak mungkin meninggalkan tempat ini…
Tanah ini adalah saksi…
Bagaimana kau tergila-gila kehidupan orang lain…
PUTRI
Lari ibu… ayo lari !
AMARAL
Tidak bisa sayang…
PUTRI
Menari… ayo ibu menari…
Aku yang main musik….
SEORANG LELAKI
Kau tak bisa menari…
Karena dulu kau pernah menghina tarian…
Kau sering menelantarkan tarian…
Kau anggap tarian adalah tiket masuk…
Ke dunia gemerlap dan erotis…
Kau telah menelantarkan tarian…
66
PUTRI
Lapar…Bu, lapar !
AMARAL
Sebentar sayang…tugas kita belum selesai…
Ayo…musiknya mana…
Ibu akan menari terus…
PUTRI
Lapar…lapar…
AMARAL
Lapar ? apa itu lapar sayang ?
Ibu tidak pernah merasakannya…
AMARAL
Buyutmu dulu tidak pernah mengajarkan ibu lapar…
Buyutmu hanya mengajari bagaimana kita memberi orang lapar…
Buyutmu memang hebat…
PUTRI
Hebat seperti ayah, Bu ?
67
AMARAL
Ya, hebat seperti ayah !
PUTRI
Takut…Putri takut…
SEORANG LELAKI
Ada yang tidak beres dengan kotak ini…
Awas… awas… kalian menyingkir !!
Jangan-jangan ada bom waktu !!
AMARAL
Bom ? awww…bom…bom !!
Ke sini sayang… ada bom…
Bom…!
( BERPIKIR MENGINGAT SESUATU. IA TERINGAT UCAPAN NENEK
KETIKA IA SEDANG BICARA DENGAN RIO )
Bom ? apa kentut ?
SEORANG LELAKI
Tenang…sabar…kalian harus bisa menjaga diri !
Percayalah…selama ada saya,
semua aman dan terkendali !
PUTRI
Bom ?
Bom itu apa, Bu ? Bom itu manis apa pahit ?
68
AMARAL
Bom itu…ya…bom itu seperti tangan raksasa…
Akan merenggut siapa saja yang lemah…
Bom itu…
Ah…sudahlah !
Nanti kalau kau besar, akan tahu apa itu bom !
SEORANG LELAKI
Lihat…ada yang bergerak di dalam kotak ini !
Ada kehidupan…
AMARAL
Bukalah !
SEORANG LELAKI
Ya…saya harus membukanya !
Satu…dua…
Apa saya harus membuka ini ?
Kalau ini bom waktu…saya pasti korban pertama…
( BERPIKIR )
tapi nggak apa-apa…kesempatan untuk jadi pahlawan,
tak pernah datang dua kali…
kalau ini bom waktu dan saya mati…
tolong beritahukan pada tukang ketupat di sudut gang ini…
saya sudah dua kali belum bayar…
makan kerupuk tiga, tak pernah saya hitung…
SEORANG LELAKI
Kurang ajar… ternyata bukan bom…
Ini hanya kotak kentut…
Kau benar… ini bukan bom tapi kentut…
AMARAL
( MENENGOK KE DALAM KOTAK. IA KAGET )
ada orang… ada orang…
lihat… ada orang…
LELAKI MISTERIUS ITU MEMERIKSA SEMENTARA AMARAL
MENJAUH DAN MENGGENDONG PUTRI. LELAKI MISTERIUS ITU
MENDENGUS KARENA MENCIUM BAU YANG TAK SEDAP.
SEORANG LELAKI
Sialan ! sudah mati masih kentut…
( BERPIKIR )
oh…bukan…bukan kentut…
ia memang sudah mati !
yang saya cium tadi…oh alah…bau bangkai !
ya…benar…bau bangkai !!
AMARAL
Bangkai ?!
PUTRI
Bangkai itu apa, Bu ?
AMARAL
Bangkai itu…bau…ya…bau !
AMARAL
Nek…nenek ? nenekkah itu ?
Ah, ternyata nenek masih bisa senyum…
Tapi apakah nenek hidup atau mati ?
SEORANG LELAKI
Dia telah mati…
Aku mencium bau bangkai tadi…
Dia itu pasti arwah penasaran…
NENEK
Aku bukan arwah penasaran…
Tapi jasad dan jiwa penasaran !!
Karena belum tuntas bicara pada cucu dan cicitku !!
AMARAL
Nenek…?
NENEK
Kau tak perlu kaget…
Sejarah telah menuliskan semuanya dengan baik…
Perjalanan kau juga telah dituliskannya…
Ketika kau punya anak…ngamen…makan…
Juga telah dengan baik dituliskannya…
Percayalah !
AMARAL
Apa maksud nenek ?
NENEK
Aku hanya ingin mengatakan …
Apa yang aku katakan dulu adalah kebenaran…
Riomu memang brengsek…
71
AMARAL
Sudahlah, Nek !
Rio itu suamiku…bapak cicit nenek ini !!
PUTRI
Uyut, Bu ?!
Uyut bau kentut, Bu ?
AMARAL
Ya…karena uyut sudah tua…
PUTRI
Apa semua yang tua bau kentut ?
NENEK
Tidak !
Tidak semua orang tua bau kentut !!
NENEK
Ibumu itu terlalu egois…
Ia selalu menganggap benar sendiri…
Padahal kebenaran itu milik semua !!
Milik bersama !!
PUTRI
Uyut masih batu kentut !!
72
NENEK
( TAK PEDULI DAN TERUS BICARA )
Kebenaran ada dimana-mana…
Tidak boleh dikuasi oleh seseorang !!
Kalau saja ia tidak egois, tentu akan jadi lain ceritanya…
Bapakmu juga sama-sama egois…
Bahkan brengsek !!
PUTRI
Huh…bau !!
NENEK
( TIDAK PEDULI DAN TERUS BICARA. TAK BISA DIREM )
Ia tidak saja membuat ibumu senewen…
Tapi telah berhasil membuat malu sepanjang masa !!
Kau tau, Nak, ibumu pernah mau bunuh diri !!
Ia kira dengan bunuh diri semua urusan akan selesai…
Tapi sudahlah…kau jangan seperti ibumu…
Pandanglah dunia dengan bijaksana !!
Minumlah jamu setiap saat kau merasa perlu
Jangan minum sirup…
PUTRI
Mau sirup, Bu !!
NENEK
( TERSENYUM PAHIT )
Minum sirup itu manis sekarang !!
Enak sekarang !!
Tapi bisa membuat kamu mencret…
Tapi jamu…pahit sekarang…
Tapi bisa membuat kamu sehat !!
Paham kau ?
73
NENEK
Tugas kamu sudah selesai !
Sekarang kembalilah !
SEORANG LELAKI
Kembali ke mana ?
Aku tak tahu jalan kembali…
NENEK
Kemarilah !
***
74
Curiculum vitae
RIWAYAT PEKERJAAN
1. Menulis cerita pendek, artikel dan novel yang dipublikasikan di Pikiran Rakyat
Mingguan Galura, Jawa Pos, Mingguan Mandala, Mangle, Suara Karya Minggu,
Kompas Minggu, Mingguan Swadesi, Mingguan Mutiara, Mingguan Terbit, Mingguan
Gala, Tabloid Citra, Mingguan Berita Wanita NOVA dan Harian Fajar Banten
PRESTASI KREATIF
K ARYA KREATIF
BUKU
PENDIDIKAN FORMAL
PENDIDIKAN INFORMAL
***
RUMAH
DI TUBIR
JURANG
79
S. YOGA
Para Tokoh
Mawar : 21 tahun
Noki : 21 tahun
Dikisahkan di sebuah rumah dihuni oleh Eyang Kakung ( pelupa dan sering mengigau sendiri ),
Tuan - Nyonya ( suami yang tak mampu mengendalikan rumah tangga dan istri yang pencuriga
dan egois ), Papa - Mama ( menikah dalam usia muda karena “kecelakaan” dan hidup berfoya-foya
), Mawar dan Noki ( pacarnya ) yang terseret dalam pergaulan bebas dan nikah siri tanpa diketahui
orangtuanya. Dan Ijah pembantu rumah tangga yang genit. Orang-orang inilah yang akan berjuang
keluar dari permasalahan hidup dan menyelamatkan citra keluarga besarnya dari kehancuran.
Ibarat negara, akan hancur kalau masing-masing daerah ( orang ) ingin bebas ( merdeka ) sendiri-
sendiri tanpa mempertahankan aturan dan norma-norma moral yang berlaku.
1
81
( Rumah putih dengan perabotan antik, senapan angin di sisi kanan tembok, dua orang laki-laki dan perempuan setengah baya,
duduk menghadap dua buah layar tv, asyik menyaksikan dunia lain, sebuah dunia maya. Masing-masing menonton acara tv
kesukaan sendiri. Menghadap penonton. Di belakang nampak meja dan kursi lain, almari tempat menyimpan perkakas. Dari
belakang, tepatnya dari atas seorang pencuri meluncur turun dari atap dengan tali, mukanya dibalut kain hitam, persis ninja di
film-film. Pencuri dengan tenang dan kehati-hatian yang penuh, turun perlahan, mengambili perhiasan yang mudah didapat,
masuk ke dalam kamar tempat perhiasan lain disimpan. Kemudian naik lagi ke atas keluar dengan aman ).
TUAN SUNAN : Maafkan. Selama ini aku hanya diam saja. Habis bagaimana. Semua
sudah kau atasi sendiri. ( Sambil mengecilkan suara tv ).
NYONYA SUMIRAH : ( Batuk ). Tak ada yang beres di rumah ini. Semuanya maling. ( Batuk ). Sampai
obat saja hilang. ( Bicara sambil membawa minuman ke tempat duduk di depan tv ).
TUAN SUNAN : Kau kira aku yang mengambil. ( Sambil berdiri. Menyulut pipa rokok tapi tidak
berhasil ). Kita sudah tua, masak dari pernikahan dulu kita terus-menerus bertengkar.
Kapan hidup damai. Sebentar-sebentar protes. Ngambek. Memangnya masalah hidup
akan selesai dengan cara seperti itu.
NYONYA SUMIRAH : Kau kira ada yang mendengarkan dan mempercayai kata-katamu. Dasar mata keranjang.
( Sambil berdiri, nampak mengingat sesuatu dan emosial ). Kau masih saja punya
perasaan sama tetangga sebelah kan. Ya aku tahu dia lebih bahenol dan lebih muda
dariku. Kau kira aku tidak tahu tiap pagi kau pura-pura memberi makan ayam-ayam di
belakang rumah, sambil bertukar pandang dengan dia. Iya kan. Mengaku saja. ( TUAN
SUNAN nampak salah tingkah ). Tiap hari pula aku perhatikan tingkah polahmu dan aku
mencoba bersabar. Tapi sekali lagi kau berbuat begitu, hari itu pula kau harus angkat
kaki dari rumah ini. Banyak saksi mata yang melihat kau sering bertemu dengan Rukiah,
di terminal, di pasar sayur. Pantas suka pura-pura membantu aku belikan sayur.
Ternyata ada udang di balik batu. Dan berapa kali kau tua bangka berboncengan dengan
dia. Aku tidak bisa ditipu. Semuanya aku ketahui dengan persis. ( Ketika TUAN
SUNAN hendak mendekat, NYONYA SUMIRAH menjauh, nampak benci ). Jangan
sentuh aku lagi. Semuanya telah berakhir. Sudah berakhir. ( Berkemas, masuk kamar ).
Aku benci. Aku benci. Aku benci.
( TUAN SUNAN hanya bisa menatap kosong ruang tamu yang sunyi. Mematikan semua tv, duduk di sofa panjang. Berdiri,
berjalan memandangi potret, kenangan pengantin, nampak tersenyum, membersihkan foto yang sudah berdebu, kembali
memasangnya, dengan kebahagiaan kecil. Berjalan ke almari, mencari-cari pipa gadingnya di dalam almari, ternyata sudah
tidak ada. Mencari lagi ke sana ke mari, namun tidak menemukan. Melihat kamar NYONYA SUMIRAH dengan kesal, rasanya
ingin membalas dendam ).
82
TUAN SUNAN : Aku tahu siapa yang mencuri di rumah ini. Aku sudah merasa sejak dulu. Dulu kelihatan
baik. Tapi akhirnya semuanya terbongkar sudah. Dia pencuriga. Sama tetangga saja dia
tidak bisa akur. Apa dia tidak sadar sebentar lagi akan mati. Mestinya ia berbaik-baik
dengan semua orang. Tidak justru penyakit dengki dan curiganya bertambah parah. Aku
sebagai kepala keluarga rupanya tidak pernah dihormati. Sikap egoisnya telah
menguasai seluruh hidupnya. Keberadaanku sebagai suaminya rasanya tidak diakui lagi.
Diremehkan. Tapi biarlah, suatu saat, ia pasti akan sadar.
2
( Dari arah kamar belakang muncul seorang kakek, rambut putih semua. Membawa pipa gading dan merokok, pakai baju jas
lengkap dengan sepatu mengkilap. Membawa tas kerja dan tongkat keramat. Berjalan penuh wibawa meski jalannya
sempoyongan. Duduk di depan meja dan segera mengeluarkan kaca mata minusnya, mengeluarkan arsip-arsip yang ada di
dalam tas, memeriksa dan sesekali membaca kertas kerjanya. Sebelum dilanda kepikunan yang menumpuk, ia seorang manajer
di sebuah perusahaan roti miliknya sendiri. Dulu begitu dihormati. Namun setelah kepikunannya kumat ia bagai sampah, tak
ada gunanya, diremehkan anak buahnya dan semua orang, bahkan dianggap meresahkan dan membuat repot keluarga, hampir
ia akan dimasukkan ke rumah sakit jiwa, tapi ditolak oleh pihak rumah sakit, pernah di panti wreda, sebulan kemudian pihak
panti keberatan. Keluarga TUAN SUNAN tidak bisa berbuat banyak, mereka harus mengurusnya. TUAN SUNAN kemudian
mendekati dan mengamat-ngamati pipa gading yang dibawa EYANG KAKUNG, yang diletakkan di asbak. Pipa gading itu
diambil TUAN SUNAN, diamat-amati dengan seksama, sebelum pipa dikembalikan lagi sudah direbut kembali oleh EYANG
KAKUNG ).
EYANG KAKUNG : ( Sambil memeriksa berkas-berkas ). Semua pekerja memang brengsek semua. Tidak
becus kerja. Semua salah. Pembukuan macam apa ini. Kapan perusahaan akan maju.
( Memandang sekeliling ). Sepagi ini juga belum ada yang masuk. Hanya seorang
jongos kantor. Disiplinmu boleh. Kamu memang pekerja yang baik, pagi-pagi sudah
buka kantor. Apakah sudah dipel dan dibersihan semua meja kursi.
EYANG KAKUNG : Bagus. Bagus. Rencananya hari ini akan ada rapat perusahaan. Kamu tahu tidak rasa-
rasanya perusahaan ini sudah menggaji para buruh lebih dari cukup. Bandingkan dengan
perusahaan lain. Silahkan. Bapak-bapak dan Ibu-ibu semua yang hadir dalam rapat
perusahaan hari ini. Tentunya semua yang hadir sudah memegang laporan perusahaan
akhir-akhir ini. Dan silahkan dibaca. Silahkan. Pertanyaannya. Bagaimana mungkin
perusahaan ini sudah mengalami kemerosotan yang begitu dratis. Pemasaran tidak jalan.
Sehingga di sana sini tidak ada pemasukan keuntungan sama sekali, kalau begini terus,
perusahaan akan bangkrut. Bangkrut. Kalau bangkrut aku akan keluar dan kalian tidak
akan aku beri pesangon sama sekali. Aku akan jual perusahaan dan kemudian akan aku
inveskan pada perkebunan durian. Di sana aku akan hidup lebih sederhana lagi dan akan
bahagia sekali melihat kebun-kebunku. Aku akan membuat pondok rumah yang indah.
Dan cucu-cucuku akan aku bawa ke sana semua setiap bulan sekali. Aku akan bahagia.
Aku akan beli beberapa kuda terbaik yang ada, akan aku gunakan untuk tunggangan
pribadi. Karena istriku sudah meninggal aku akan memohon kepada anak-anak untuk
mencarikan istri lagi yang lebih cantik dan sempurna. Ah rasanya hidup akan
membahagiakan.
TUAN SUNAN : Betul sekali Kung. Dan sekarang calon istri Kakung sudah ada di sini.
83
TUAN SUNAN : Tidak. Sekarang Tuan Putri sudah ada di kamar Kakung. Sudah menunggu sejak tadi.
Sebaiknya Kakung lekas tidur. ( Sambil membimbing EYANG KAKUNG ). Ijah ! Ijah !
TUAN SUNAN : Tolong Kakung di antar ke kamar Tuan Putri. Kung Tuan Putri sudah menunggu.
Kakung nanti langsung tidur duluan saja. Iya. Iya Tuan Putri yang cantik jelita sudah
menunggu.
EYANG KAKUNG : Ah betapa bahagianya hidup ini. Tuan Putri yang cantik jelita tunggu aku sebentar.
Tunggu jangan tidur duluan. Ah Tuan Putri. Terima kasih anakku. Kamu memang anak
yang berbudi luhur sama orang tua. Aku doakan kamu mendapatkan istri yang paling
cantik sedunia. Seperti Cleopatra. Seperti Ken Dedes. Aha jangan mereka kan gila
kekuasaan. Perempuan kalau gila kuasa apa pun akan ia lakukan. Menghalalkan segala
cara. Kecantikan dan tubuhnya akan ia manfaatkan. Lebih baik cari perempuan cantik
yang alamiah. Aha kenangan masa lalu. Kenangan yang indah. ( Bernyanyi sambi
menari-nari, merayu-rayu IJAH, sesekali mencubit pipi IJAH ).
TUAN SUNAN : Iya Kung. Iya. Tuan Putri ada di dalam. Sudah tidur. Jangan brisik. Nanti Tuan Putri
terbangun. Kakung nyusul tidur ya. Kasihan Tuan Putri sendirian. Silahkan masuk.
( Setelah EYANG KAKUNG dan IJAH masuk, TUAN SUNAN nampak pikirannya lelah,
duduk di sofa ). Hancur semua. Hancur semua. ( Masuk kamar. Eksit ).
3
( Dua orang pasangan muda masuk, habis berbelanja, membawa bawaan barang-barang. Meletakkan barang-barang di atas
meja. Duduk di sofa nampak capai. Yang laki-laki tinggi kurus berwajah oval, yang perempuan berwajah bundar, pupurnya
agak pudar. Pasangan keluarga muda ini nampak dengan lagak gaya sok modern ).
MAMA : ( Sambil memeriksa barang ). Papa tadi ada barang yang lupa kita beli. Baju itu.
Kosmetik itu. Kenapa kita lupa. Papa lupa kan beli piyama. Kenapa kita menjadi pelupa.
Jangan-jangan penyakit Kakung sudah menular pada kita. ( Berdiri nampak kesal.
Berjalan modar-mandir ). Semua nampaknya sudah tidur. ( Melihat jam ).
PAPA : Panggil saja Ijah. Untuk membereskan ini. Suruh buatkan Papa kopi.
PAPA : Ijah. ( Dengan suara mesra, dan terus memandangi IJAH ). Jangan lupa buatkan kopi
kesukaan Papa. ( Nampak MAMA tidak suka akan sikap PAPA, cemburu ). Cepat ya,
Ijaaahh. Apa si kecil sudah tidur.
IJAH : Iya. Sudah Tuan. ( Segera pergi sambil membawa barang-barang. Genit ).
PAPA : Begitu saja cemburu. Tidak apa kan sekali-sekali bersikap mesra sama pembantu. Agar
mereka merasa kita hargai. Begitu sayang. Jagan cemberut. Nah begitu kan manis. Lho
masih masam. Kalau gitu aku hitung tiga kali. Pasti tersenyum. Satu. Ha bibirnya mulai
tersungging. Dua. Sudah mulai tersenyum. Oh senyumnya baru sedikit. Senyumnya
dikulum. Dua setengah. Mulai merekah. ( MAMA lantas terseyum dan marah-
marah ).
MAMA : Aku tidak suka Papa menggoda begitu. Sudah. Sudah jangan bercanda. ( PAPA terus
menggoda. Terjadi kejar-kejaran di ruang. Sesekali PAPA tertangkap namun dapat
meloloskan diri. Terus bercanda. Mereka hampir berpelukan. Lalu MAMA meloloskan
diri kembali ke sofa, menghempaskan tubuh, mengambil buah jeruk, mengupas ).
IJAH : ( Sambil menghidangkan kopi ). Ini kopinya, Tuan. ( PAPA hanya mengangguk,
matanya tetap nakal ).
PAPA : Ngomong-ngomong kapan kita bisa punya rumah sendiri. Masak terus-terusan numpang
di mertua. Malu kan.
PAPA : Bukan masalah itu. Tapi bagaimana tanggung jawab seorang suami. Di samping itu
tidak enak kan sama tetangga. Penilaian tetangga itulah yang paling berat. Mereka sama
sekali tidak mau tahu kondisi kita yang sebenarnya. Mereka hanya tahu kalau kita
numpang di mertua. Itu saja. Karena tidak tahu itulah, omongan mereka tidak bersumber
pada kebenaran. Jadinya yang diomongkan yang jelek-jelek saja. Kata pepatah lebih
baik menunjukkan sedikit kebaikan kepada mertua dan jangan tinggal bersamanya.
Daripada menunjukkan kebaikan yang banyak tapi tinggal bersamanya. Karena jika
tinggal bersamanya kalau ada kejelekan sedikit saja maka semua kebaikan kita akan
hilang. Seumur hidup yang dikenang dan dibicarakan hanya kejelekan-kejelekan kita
saja.
MAMA : Maunya Papa bagaimana. Papa mau beli rumah. Memangnya kita punya uang.
PAPA : Ya itu masalahnya. ( Mereka terdiam cukup lama. Berpikir. PAPA minum kopi, berdiri
dan berjalan hilir mudik ).
MAMA : Selama ini kita tidak pernah nabung. Kerjaan Papa juga tidak mesti. Kalau ada proyek
baru kerja.
PAPA : Bagaimana kalau kita minta warisan terlebih dahulu. Tanah warisan itu bisa kita jual
untuk beli rumah.
MAMA : Papa nggak salah ngomong toh. Orang tuaku masih hidup. Masak kita minta warisan
terlebih dahulu.
PAPA : Sama saja toh nantinya kita juga akan menerima. Papa kira Ayah Ibu akan setuju
melihat kondisi kita seperti ini.
PAPA : Ya harus Mama yang ngomong. Mama yang bisa merayu. Pasti mau. Kalau Papa pasti
sulit. Ibumu sih keras sekali. Kaku.
PAPA : Ya berdua.
MAMA : Berdua.
PAPA : ( Sambil dinyanyikan ). Selamanya kita selalu berdua. Selamanya kita selalu satu. Dalam
suka dan duka. Selamanya kita bahagia. Selamanya kita berdua. Berdua selamanya.
4
( Pagi hari, di teras rumah yang nampak luas, bercat putih, di pinggir teras depan ada tulisan Jl. Tubir 275. Di teras ada satu
meja, dua kursi, dan EYANG KAKUNG tidur di kursi panjang, ada beberapa pot bunga, tempat menyiram air, suasana nampak
asri. PAPA dan MAMA masuk dari luar sehabis kerja. Nampak wajahnya tegang. Seolah habis bertengkar. Mereka duduk
dikursi saling tak peduli ).
PAPA : Papa kan sudah bilang keluar saja dari pekerjaan itu.
Kenapa harus ngoyo-ngoyo kerja keras sedang gajinya
kecil. Enak perusahaan. Kita hanya diperas. Dijadikan sapi
perahan. Dasar kapitalis.
MAMA : Papa kira, Papa sudah mendapatkan pekerjaan yang layak.
Kerja tidak tetap gitu.
PAPA : Papa memang kerja tidak tetap tapi sekali kerja gajinya
kan besar tidak seperti Mama. Papa kerja di proyek jadi
kalau ada proyek pasti untungnya besar. Itu sudah bisa
dipastikan. Tapi memang tahun ini. Proyek apa pun seret.
Negara kacau. Investor takut menanam modal. Ini salah
siapa. Mereka takut dibakar. Mereka takut didemo.
Mereka takut nggak untung. Negara nggak stabil.
Pemerintah disangsikan bisa ngatasi.
MAMA : Mereka kan juga kapitalis. Gitu mencemooh pekerjaan
Mama.
86
MAMA : Papa !
PAPA : Mama !
MAMA : Papa !
PAPA : Mama !
TUAN SUNAN : Kalian berdua seperti anak kecil. Ada apa sebenarnya.
Memang kalian menikah terlalu muda, bahkan kuliah
kalian nggak kalian selesaikan, mungkin itu yang
menyebabkan kalian sering tengkar. Tapi sekarang kalian
harus lebih dewasa.
MAMA : Begini lho, Yah. Papa kan ingin punya rumah.
PAPA : Mama yang pingin.
NYONYA SUMIRAH : Sudah ! Sudah ! Kalian tak pernah dewasa.
MAMA : Jadi kami pingin beli rumah.
NYONYA SUMIRAH : Ya sudah kalau pinginnya begitu. Ibu dan Ayah juga tidak
keberatan, mungkin itu akan menjadi lebih baik bagi
kalian, agar bisa membangun keluarga secara mandiri.
Rencananya mau beli rumah di mana ?
MAMA : Masalahnya kami tidak punya uang. Uang kami tidak
cukup untuk beli rumah itu. Karenanya kami sepakat ingin
meminta hak kami pada Ayah Ibu.
TUAN SUNAN : Hak apa ?
MAMA : Kami ingin warisan yang nantinya akan diberikan, kami
minta dulu.
PAPA : Iya, Yah. Kami sangat membutuhkan. Toh nanti juga
warisan itu akan diberikan pada kami juga.
NYONYA SUMIRAH : Tidak bisa. T i d a k b i s a ! ( Mereka terdiam sejenak ).
Kalian tahu apa artinya warisan. Kami masih segar bugar
begini kalian menuntut warisan. Permintaan kalian itu
tidak wajar. Toh kalian masih bisa tinggal di rumah ini.
Mestinya kalian sedikit-sedikit bisa menabung untuk masa
depan. Jangan bisanya cuma foya-foya, beli barang-barang
yang mahal, barang yang belum perlu. Tidak usah gengsi.
Gaya hidup kalian harus diubah.
PAPA : Tapi kami ingin mandiri dan terpisah Ayah dan Ibu.
88
( MAMA dan PAPA wajahnya nampak sangat kecewa, lekas masuk rumah. Suasana
kemudian senyap. TUAN SUNAN dan NYONYA SUMIRAH saling menarik nafas
dalam-dalam ).
5
( Dua orang remaja membawa tas, sangat modis, yang perempuan sedikit menor,
yang laki-laki sedikit macho. Masuk ke halaman, ke teras rumah ).
MAWAR : Assalamualaikum.
NYONYA SUMIRAH : Walaikumsalam. ( Mereka saling bersalam-salaman,
nampak NYONYA SUMIRAH tidak suka dengan NOKI ).
MAWAR : Bagaimana keadaan Ayah Ibu.
NYONYA SUMIRAH : Baik-baik.
MAWAR : Kakung bagaimana.
TUAN SUNAN : Baik-baik saja. Masih seperti biasanya.
NYONYA SUMIRAH : Suratmu barusan tadi pagi sampai. ( Mengambil surat
yang ada di meja ). Ini belum Ibu baca. Apa isinya sih.
MAWAR : Gimana Pak Pos sih, ini udah dua minggu aku kirim.
( Mengambil surat ). Cap kantor pos di sini saja tanggal
10, berarti sudah seminggu yang lalu. Dasar Pak Pos
males.
NYONYA SUMIRAH : Padahal dia hampir saban hari mampir ke sini. Apa dia
lupa. Apa surat itu ketlinsut di kantor pos.
TUAN SUNAN : Sudahlah. Pokoknya anak kita sudah sampai rumah
dengan selamat.
MAWAR : Sebenarnya surat ini hanya ingin memberi tahu Ayah
dan Ibu. ( Memasukkan surat ke tas ). Sudahlah nanti akan
89
NYONYA SUMIRAH : Mawar ! Katakan semua cerita ini tidak benar. Mawar !
Katakan semua ini tidak benar. Tidak benar kan !
MAWAR : ( Menangis tersedu-sedu ). Maafkan Mawar. Maafkan Ibu.
Maafkan Ayah. Maafkan. Semua itu benar. Semua itu
benar.
TUAN SUNAN : Sebaiknya sekarang kita cari jalan keluar terbaik bagi
mereka berdua. Jangan sampai merusak masa depan
mereka.
NYONYA SUMIRAH : Jalan terbaik adalah Mawar putus dengan Noki. Titik.
MAWAR : Ibu mau membunuh diriku perlahan.
NYONYA SUMIRAH : Rusak semuanya ! Rusak ! Siapa yang kamu anut selama
ini. Siapa Mawar. Sehingga dirimu begitu hina. Semua ini
pastilah gara-gara kamu Noki. Sekarang keluar dari
rumahku. Aku tidak sudi punya menantu sepertimu.
NOKI : Baik Ibu. Tapi ketahuilah semua masalah ini yang
menyebabkan Ibu sendiri. Kalau Ibu benar bisa mendidik
anak-anak Ibu tak mungkin akan terjadi seperti ini.
Kekakuan pikiran Ibu dan mau menangnya sendirilah yang
menyebabkan ini semua. Benar kata Ayah, semua ini
karena kehendak berkuasa Ibu yang berlebihan terhadap
semua isi rumah ini.
NYONYA SUMIRAH : Keluar dari rumah ini ! Tahu apa kamu tentang kehidupan.
Keluar ! Keluar !
NOKI : Baiklah ! Ketahui bahwa Mawar kini tengah mengandung
anakku.
NYONYA SUMIRAH : Kurang ajar ! Keluar ! Keluar !
( NOKI eksit. Lampu perlahan meredup hingga gelap, diiringi kesedihan yang
menusuk-nusuk. Mereka terdiam seperti patung hendak runtuh ).
6
93
( Di ruang makan, meja makan memanjang. NYONYA SUMIRAH duduk di kursi yang
EYANG KAKUNG dan TUAN SUNAN. IJAH sibuk menyiapkan hidangan makan
malam. Suasana agak tegang saling curiga dengan pandangan mata yang ganjil dan
NYONYA SUMIRAH : Di rumah ini aku rasa sudah tidak tentram lagi. Tingkah
( EYANG KAKUNG dan IJAH masuk kamar. Eksit. Yang lagi terdiam dalam
kebisuan yang memuncak, terpikirkan atas nasib hidupnya masing-masing.
Merefleksi diri. Jalan apa yang harus ditempuh ).
7
( Seperti adegan pertama. NYONYA SUMIRAH dan TUAN SUNAN menghadap
layar kaca masing-masing, menghadap penonton, sementara meja dan kursi sofa ada
diam, seolah sedang memikirkan sesuatu, sorot matanya kosong, tak peduli pada
sekitar, tak peduli pada yang lain. Seorang pencuri masuk dengan baju ninja, turun
dari atas dengan tali yang mengelantung, turun perlahan dengan tenang, membuka
perhiasan dan uang, kembali, tertarik pada jam tangan yang tergeletak di meja dekat
sofa ).
EYANG KAKUNG : ( Dari pintu ). Angkat tangan. ( Maling kaget bukan main,
tangan PAPA ).
Tul jaenak
( NYONYA SUMIRAH dan TUAN SUNAN cuek bukan main. Perlahan dan pasti
mereka mengeraskan suara tv, sehingga suara nyanyian EYANG KAKUNG, PAPA
dan IJAH perlahan hilang, tak terdengar meski penampakan mereka masih menari-
nari. Seolah menggoda kehidupan. Lampu mulai meredup perlahan hingga hitam
kelam. Tinggal suara televisi yang makin mengeras, berisik tak terusik, silih berganti,
tak jelas suara apa yang terdengar, sahut menyahut, melambung-lambung, kering di
telinga. Sampai puncaknya, tiba-tiba suara itu mati, seolah ada chanel yang
terputus ).
***
S E L E S A I
99
BIODATA S. Y O G A
S. Yoga dilahirkan di Purworejo Jawa Tengah tahun 70an, semasa kecil gemar
akan wayang dan ketoprak, sejak SD sudah berkenalan dengan bacaan anak majalah
Bobo dan Si Kuncung, perpustakaan di sekolah dasar merupakan pemicu utama
kenapa ia akhirnya bergelut di dunia sastra. Sewaktu SMA ia telah memilih jurusan
Bahasa dan Budaya sehingga banyak mempelajari sastra dan budaya, waktu itu ia
kesengsem dengan karya-karya, Danarto, Iwan Simatupang, Budi Darma dan Putu
Wijaya. Bersama teman-teman SMA tahun 1988 ia pernah membuat antologi cerpen
dan puisi; Kering Shanira.
Kemudian melajutkan kuliah di Jurusan Sosiologi FISIP Unair Surabaya, di mana ia berkenalan
dengan teori-teori ilmu sosial. Beberapa karya-karyanya masuk antologi lomba cipta cerpen dan
puisi, dan juga banyak disebarluaskan di majalah dan media massa. Kini bekerja sebagai
Fasilitator Kecamatan untuk Program Pengembangan Kecamatan di Madiun
Di antaranya karya-karyanya dimuat di Jurnal Cerpen, Jurnal Puisi, Graffiti
Imaji-Antologi Cerpen Pendek YMS 2002, Para Penari-Lomba Cipta Cerpen
Nasional Kota Batu 2002, Sepuluh Besar Lomba Cipta Cerpen Nasional Bali Post
2002, Dari Negeri Asing-Lomba Cipta Cerpen Forum Lingkar Pena 2002, Antologi
Puisi Indonesia 1997-KSI, Gelak Esai & Ombak Sajak Anno 2001-Kompas, Amsal
Sebuah Patung-Borobudur Award 1997, Lampung Kenangan: Lomba Cipta Puisi
Krakatau Award 2002, Semi Finalis Poetry. Com bulan Agustus 2002, Lomba Cipta
Cerpen dan Puisi KOPISISA Purworejo 1998, Permohonan Hijau-Antologi Penyair
Jawa Timur 2003, Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, Horison, Surabaya Post,
Sinar Harapan, The Jakarta Post, Jawa Pos, Surya, Lampung Post, Surabaya News,
Suara Merdeka, Solo Pos, Suara Karya dan Bali Post, Radio Jerman.
Pernah juga mencoba menjadi sutradara film independen bersama teman-
temannya di @rekfilm Surabaya untuk lomba film di TVRI Surabaya tahun 2002,
filmnya yang berjudul Ia yang Pergi dan Ia yang Kembali terpilih sebagai film
terbaik.
100
Aisyah
Emak akan pulang, kan ? Lihat, lihat aku telah menemukan beberapa butir peluru
yang membuat Bang Yunus terkapar dan mati ? Peluru yang manghadiahkan
kematian bagi Bang Yunus saat ulang tahunnya yang ke-25. Sebelum dia berangkat
di pagi itu menuju Jawa, tempat dia menuntut ilmu.
Tapi mereka siapa, Mak ? Meraka siapa, Yah ? Orang –orang yang berbaju doreng itu
? Katanya, mereka datang hendak membebaskan kita dari penderitaan yang
berkepanjangan ini ? Orang-orang itu menuduh Bang Yunus sebagai mata-mata, entah
mata-mata siapa. Mereka hanya bisa menuduh tanpa alasan yang jelas, atau memang
itu sudah tabiat mereka ?
Mengapa kita tak pernah merdeka, Mak ? Tapi, merdeka itu sebenarnya artinya apa,
Mak ? Dan peluru tak mungkin bisa diajak bicara. Dan di Meunasah juga tak pernah
diajari apa itu peluru, untuk apa peluru dan bagaimana cara membunuh dengan
peluru.
Noora :
Aisyah, Aisyah, dimana kau ? Hari sudah menjelang maghrib.
Aisyah :
Hari sudah menjelang maghrib ? Bagiku hari sama saja. Bagiku waktu sama saja.
Penindasan dan kekejaman.
Noora :
Aisyiah, Aisyiah, dimana kau ? Tak baik Inong keluyuran maghrib-maghrib. Kau
dimana ?
Aisyah :
Bungong jeumpanya sudah gak ada lagi ( sedih ). Wanginya pun juga sudah tidak ada
meski sisa di angin lalu. Hanya amis darah, bungong jeumpanya amis darah. Di
bawah pohon bungong jeumpa itu Bang Yunus ditembak mati para pengecut itu.
Mereka benar-benar pengecut !
Aisyah :
102
Bungong jeumpanya sudah tidak wangi. Inong sudah tidak wangi. Mana ada di tanah
air ini yang masih wangi. Hanya darah. Tanah ini penuh cerita tentang darah dari
dahulu. Sampai Cut Nyak Dien pun dikhianati. Anak-anak pun dibunuhi. Bukankah
darah lebih merah dari bunga mawar mana pun yang tercantik ? Tapi ada kriteria
cantik dan tak cantik, apa ? Suara rentetan bedil yang memberondong anak-anak
Meunasah pun bukankah terdengar indah bagi telinga para penembak jahanam itu ?
Ya, ya, aku dengar suara itu. Suara ketawa yang nyinyir di antara jerit tangis anak-
anak Meunasah. Dan Bu Salehah ? Kau tahu apa yang terjadi dengan Bu Salehah ?
Aku tak pernah menceritakan kepadamu. Banyak dan terlalu banyak nestapa
ditaburkan di atas tanah ini. Mungkin kau akan bosan dengan cerita-cerita
pembantaian di tanah kami. Mungkin kau tak tahu berapa jumlah anak-anak yang
dibunuhi setiap harinya di tanah ini ? Mungkin kau tak tahu berapa jumlah anak-anak
yang tak sekolah lagi di tanah penderitaan ini ?
Noora :
Mainnya jangan jauh-jauh, Aisyah. Ayo, pulang ke rumah, Inong.
Aisyah :
Bagaimana keadaan Meunasah, Noora ? Apakah anak-anak itu, teman-teman kita
sudah pada masuk lagi untuk mengaji, Noora ? Apakah mereka sudah siap mengikuti
ujian, Noora ? Apa Bu Salehah….
Noora :
Sst. Ayo, kita pulang Aisyah. Hari menjelang malam. Sebentar lagi banyak binatang
malam yang jahat keluar dari sarangnya. Apalagi kita kaum perempuan, harus segera
pulang ke rumah.
Mengunci pintu rapat-rapat. Ayo kita pulang, Aisyah. Tak baik kita tetap di sini.
Nanti keluargamu kelabakan mencarimu. Kita tak ingin seperti Malika, teman sekolah
kita, yang jenazahnya ditemukan dipinggir kali, seperti habis diperkosa dan dibunuh
dengan sadis.
103
Aisyah :
Dan kesadisan mereka tak memandang siapa, meski gadis cacat seperti Malika. Tak
ada yang peduli. Juga para penguasa itu, mereka tetap saja bisa tidur nyenyak padahal
rakyatnya berteriak-teriak minta dilindungi. Sudahlah, siapa yang mau peduli pada
rakyat kecil seperti kita.
Aku tidak mau pulang. Aku mau menjaga Meunasah kita. Aku tak mau binatang-
binatang malam jalang itu merusak Meunasah kita. Memperkosa dan membakar
hidup-hidup Bu Salehah. Aku tak mau. Meunasah itu adalah rumah kita juga, Noora.
Apakah kita rela jika rumah kita dihancurkan orang lain, Noora ? Dimana kita bisa
berlindung dari hujan, dingin, sengatan matahari, Noora ?
Dimana kita dan teman-teman kita belajar ? Aku tak ingin, aku tak ingin ada yang
merampas Meunasah itu apalagi membakarnya !
Noora :
Tak ada yang akan membakar Meunasah kita, Aisyah. Percayalah. Yakinlah. Semua
akan aman-aman saja.
Aisyah :
Kau jangan bohong, Noora. Kamu jangan terpengaruh apa kata-kata mereka.
Meunasah adalah juga pusaka kita. Tanpa Meunasah kekuatan kita akan lemah dan
mudah dibodohi lalu dibunuhi. Meunasah itu punya sejarah panjang, Noora. Para
pejuang tanah air ini yang membangunkannya, sejak jaman kejayaan tanah air ini.
Aku tak yakin orang-orang jahat itu akan membiarkan Meunasah itu tetap berdiri.
bersyalawatan, anak-anak berpuisi dari dalam Meunasah itu. Mereka takut. Maka
mereka berusaha membakar Meunasah kita dan membunuh kita dan teman-teman
Lihat pelor-pelor di tanganku ini, Noora. Ini yang telah membunuh Bang Yunus,
Hasan, Ibrahim, Laka, Maryam, Fatimah dan teman-teman kita yang lain. Lihat, darah
kering mereka masih ada. Dan ini sebutir peluru yang menghajar pahaku dan
104
membuat kaki satuku pincang. Mereka tak peduli siapapun, mereka akan
menghancurkan Meunasah itu meski yang menghalang-halangi mereka, anak-anak
seperti kita, mereka tidak peduli bahkan kalau perlu menembaki membunuhi.
Mungkin mereka tak pernah mengalami masa remaja seperti kita dan juga tak pernah
punya anak seusia kita. Karena mereka sudah disiapkan hidup sebagai makhluk yang
buas, yang membunuhi siapa saja.
Aisyah :
Dengar, dengar derap langkah mereka mulai mendekat. Mereka bersiap
menghancurkan Meunasah kita. Mereka akan membakar Meunasah kita. Mereka akan
Noora :
Tak ada yang hendak membakar Meunasah kita, Aisyah. Tenanglah. Tenanglah.
Sebutlah nama Allah banyak-banyak, Aisyah !
Aisyah :
Mereka sudah datang, Noor. Mereka semuanya membawa bedil dan api. Mereka akan
membakar Meunasah kita dan menembaki siapa saja yang bersikeras
mempertahankannya. Kita harus menolong Bu Salehah dan teman-teman kita. Mereka
tak pantas dibunuh dengan cara kejih seperti itu. Mereka biadab, Noor. Meunasah kita
akan dibakar, Noor. Meunasah kita akan dibakar.
Aisyah :
Mereka telah membakar Meunasah kita, Noor. Sedang kita tak berbuat apa-apa untuk
mencegahnya. Kita pengecut, kita munafik. Mengapa kita takut mati.
Noora :
Tenanglah, Aisyah. Tak ada yang membakar Meunasah kita, lihat Meunasah kita
masih berdiri megah.
Aisyah bangkit.
Matanya sayu. Kemudian Noora memeluk erat tubuh Aisyah kembali. Membenamkan
kepalanya dalam dekapannya. Lalu menyenandungkan lagu bungong jeumpa
beriringan dengan nyanyian bungong jeumpa yang sayup dinyanyikan anak-anak.
Aisyah :
Noor, pohon bungong jeumpa di halaman Meunasah kita, yang merupakan pohon
bungong jeumpa satu-satunya di kampung kita, masih hidup ? Masih ada bunganya ?
Beberapa hari yang lalu, bunganya mekar lebat-lebat. Aku memetiknya kemudian
kusuling menjadi minyak, lalu aku berikan untuk Bu Salehah dan kubagi-bagikan
kepada teman-teman kita agar semua merasakan wanginya. Dan untuk Bu Salehah, itu
hadiahku untuk acara pernikahan dia, agar kedua mempelai itu lebih wangi. Dan akan
aku nyanyikan lagu bungong jeumpa sewaktu mereka melangsungkan pernikahan
nanti. Pohon bungong jeumpa itu masih ada, kan ?
Noora :
Pohon bungong jeumpa itu masih ada. Kamu jangan khawatir. Penghuni Meunasah
itu juga kita akan selalu menjaganya, akan selalu merawatnya agar bunganya lebat,
106
agar kita bisa memetiknya, agar kita bisa menyuling minyaknya, agar kita bisa
membagi wanginya kepada siapa saja.
Aisyah :
Membagi wanginya kepada siapa saja ? Aku tidak mau membagi wanginya kepada
orang-orang yang ingin membakar Meunasah kita dan membunuhi orang-orang
kampung kita, Noor. Aku tidak rela membagi wangi bungong jeumpa kepada mereka,
aku pun tak rela jika kau melakukannya.
Noora :
Aisyah, bukankah kebaikan kita untuk siapa saja, hatta mereka adalah musuh kita.
Bukankah Sang Nabi melarang kita untuk mendendam. Ketika batu-batu Taif
dilemparkan tangan-tangan kasar itu sampai melukai tubuhnya, sampai darahnya
menggenangi terompahnya, beliau tidak mengumpat, ataupun menyumpah serapahi
manusia-manusia itu, tapi malah beliau mendoakan dengan doa yang indah. Jangan
menyimpan dendam, Aisyah.
Aisyah :
Tapi hendak membakar Meunasah kita. Bukankah Sang Nabi juga menyuruh agar
kita tidak lari ketika bertemu musuh, apalagi musuh hendak menghabisi kita. Noora,
aku tak rela jika mereka menghanguskan Meunasah juga pohon bungong jeumpa kita.
Aku tak rela. Aku tak rela. Lihat ini buktinya, pelor-pelor ini, Noora ! Apa tak cukup
kekejaman mereka, yang membunuhi tidak hanya bapak dan ibu-ibu kita, bahkan
anak-anak seperti kita. Apa artinya peperangan ini, Noora. Apa artinya ? Apakah
orang-orang tua hanya bisa menyelesaikan dengan jalan kekerasan ? Dan kematian,
Noora ? Bukankah terlalu indah jika atas nama Allah, seperti yang dikisahkan pada
Hikayat Perang Sabil. Kita tak perlu takut pada kematian, Noora meski kita merasa
masih remaja.
Karena kematian akan datang menjemput siapa saja tak memandang usia.
107
Kematian lebih pasti meminang kita. Saat bunga-bunga sejati diberikan pada kita.
Dan Meunasah kita akan ada yang menjaganya, meski kita mati dahulu, insya Allah,
meski hanya ruhnya. Jangan-jangan kau pikir remaja-remaja yang hadir adalah
remaja-remaja teroris, bukan, tapi remaja-remaja yang punya keberanian
mempertahankan kedaulatan negeri ini. Bahkan remaja-remaja pengecut yang
bersembunyi di ketiak harta dan narkoba. Dan pohon jeumpa itu akan selalu rimbun
bunga-bunganya, akan menaburkan semerbak wangi ke penjuru negeri.
Aisyah :
Sudah kubilang apa. Mereka sama saja. Untuk apa kita berlari dari mereka. Aku tak
mau mati dalam kepengecutan dan kemunafikkan. Aku akan melawan mereka.
Meunasah itu tak boleh hancur. Aku tak rela jika Meunasah itu hancur. Aku tak rela.
Noora menarik-narik tangan Aisyah untuk segera pergi menghindar dari bahaya yang
mengancam, tapi Aisyah meronta-ronta. Sampai akhirnya tangan Aisyah lepas dari
pegangan Noora dan Aisyah pun bergegas tertatih menyongsong maut. Sedangkan
Noora mengejar Aisyah sambil kebingungan.
sayup. Redup. Hanya suara rentetan bedil dan api yang menggejolak.
Bogor,1425
108
BIODATA PENULIS
Zakh Syairum Majid (Surono B Tjasmad), lahir di Pekalongan, 16 Mei 1980, alumni
Institut Pertanian Bogor. Aktif sebagai Wakil Ketua Forum Lingkar Pena Bogor.
Karya berupa cerpen dan puisi pernah dimuat dalam : Republika, Suara Karya,
Tabloid MQ, Elegi Gerimis Pagi (Antologi Cerpen Mini KSI Award 2002), Yang
Dibalut Lumut (Antologi Cerpen Lomba Kreativitas Pemuda 2003, Depdiknas), Muli
Sikep (Antologi Cerpen Krakatau Award 2003), dll. Cerpennya yang bertajuk “Elegi
Gerimis Pagi” memenangkan Komunitas Sastra Indonesia Award 2002, sedangkan
cerpennya yang berjudul “Jejak-Jejak Terhapus Hujan” memenangkan juara III
Lomba Cipta Cerpen Kreativitas Pemuda Depdiknas 2003. tinggal di Wisma Dolphin
Balebak 32 Balumbangjaya, Bogor. (0251) 621628 / 081310326178.
109
SITTY NOERBAJA
(EPISODE LEPAS DARI BUMI)
OLEH
ILHAM YUSARDI
110
PEMAIN
Seorang perempuan muda, berperan sebagai SITTY NOERBAJA
Seorang laki-laki muda, berperan sebagai SAMSUL BAHRI
Seorang laki-laki muda, berperan sebagai BAKHTIAR
Seorang laki-laki muda, berperan sebagai ARIFIN
Seorang laki-laki paruh baya, berperan sebagai AYAH
Seorang laki-laki tua, berperan sebagai DATUK MARINGGIH
Seorang laki-laki, berperan sebagai PENDEKAR LIMA
Seorang laki-laki, berperan sebagai PEDAGANG
Seorang laki-laki, berperan sebagai PEDAGANG PALSU ( SURUHAN DATUK )
Beberapa orang SISWA.
111
I.
BAKHTIAR :
Yang namanya hidup di dunia tentu harus dengan akal, pandai-pandai. Kalau hidup di
akhirat baru mesti dengan iman.
SITTY :
Tapi, melihat jimat saat ujian tadi kamu bilang pandai, Bakhtiar ? Bukankah itu cara
yang licik.
ARIFIN :
Kalau saya berpendapat lain. Yang dilakukan Bakhtiar diwaktu ujian tadi namanya
‘licik pandai’, bukan cerdik pandai.
BAKHTIAR :
Aah, hei. Untuk hasil maksimal dibutuhkan usaha yang maksimal. Betulkan Samsul ?
SAMSUL :
Kata-kata itu benar. Kamunya yang tidak benar. Usaha maksimal bukannya
menghalalkan segala cara. Ingat, alam terkembang jadikan guru. Bisa-bisa berubah
pepatah itu, jimat terkembang otak membeku.
PEDAGANG :
112
SITTY :
Ujian tadi baru tahap percobaan. Apakah kamu bisa melihat jimat saat ujian akhir
yang sebenarnya, Bakhtiar ?
ARIFIN :
Kalau saya berpendapat lain. Resiko untuk melakukan kecurangan di ujian akhir
sangat besar. Melihat kiri-kanan saja mungkin dicurigai. Bertanya tetangga ?, sesekali
jangan. Nah, apalagi lihat jimat, kertas kecil apapun jenisnya pasti akan gagal.
SAMSUL :
Barangkali Bakhtiar siap dengan resiko, didiskualifikasi.
ARIFIN :
Nah..., dari pada kepala pusing. Menurut pendapat saya. Lebih baik begini.
Pertanyaan yang tidak terjawab oleh kita, gunakan pilihan bantuan. Pertama, ask the
audience, kode tetangga-tetangga sebelah. Kalau dicurigai, urungkan niat. Kedua,
phone a friends, siapkan kertas kecil untuk sms-sms-an,” bantu saya nomor sekian”.
Lemparkan pada kawan yang mungkin tahu jawabannya. Tidak bisa juga ! Baru
gunakan fifty-fifty.
BAKHTIAR :
Fifty-fifty bagaimana ?
ARIFIN :
Tentukan dua pilihan jawaban yang menurut kamu paling berkemungkinan benar.
Dari dua jawaban tersebut, pilih satu saja dengan cara menimbang ( MENIRUKAN
DENGAN TANGAN ). “Ma rancak iko pado iko, rancak iko”
Nah, dapatlah satu jawabannya. Untung-untung betul. Gampangkan.... ?
SAMSUL :
Alaahh...., sama juga bohong Arifin.
SITTY :
Tidak ada gunanya. Seperti kata petuah :
Jalar-menjalar akar benalu
Kuat melingkar di batang mangga
Kita belajar menuntut ilmu
Tabiat buruk tak akan berharga
ARIFIN :
Tapi bukankah fifty-fifty itu sah saja. Lain halnya dengan cara Bakhtiar yang menurut
pendapat saya....
BAKHTIAR :
Sudah, sudah. Waktu seminggu itu masih panjang. Cukup untuk bersantai
menenangkan pikiran. Pergi piknik, tenangkan jiwa.
113
SAMSUL :
Seminggu kamu bilang masih panjang ? Mana jari tanganmu ? Hitung mundur mulai
detik ini. Saatnya siaga satu, kawan.
BAKHTIAR :
Jangan tegang, rileks saja. Kita tentu punya cara masing-masing sebelum bertempur.
Kalau saya, butuh refreshing dulu sebelum menuju gelanggang. Kalau mau belajar
kejar tayang menghafal buku-buku, silahkan coba. Bisa-bisa meledak itu kepala.
ARIFIN :
Dasar pemalas !
BAKHTIAR :
Terserah saja, sekarang lebih baik pulang. Dengar,
Batang purut di tepi pagar
Ditanam putri anak bangsawan
Kerontang perut karena lapar
Segera pulang mencari makan.
Ayo, Arifin. Kamu pulang bersama saya atau tidak ? Biarlah mereka berdua
menggagas masa depan. Apakah kamu mau jadi pamong terus, jadi obat nyamuk
bakarnya ? ( ARIFIN MENGIKUTI BAKHTIAR ) Samsul, Sitty, kami duluan. O, ya.
Bayar onde-onde kami ini. Buat tutup mulut kami. Daaah.., selamat berindehoi !
SAMSUL :
Cerdik juga dia !
Kamu lapar, Sitty ?
SITTY :
(MENGGELENG)
SAMSUL :
Benar tidak lapar ?
SITTY :
( MENGGELENG )
SAMSUL :
Bagaimana kalau kita beli onde-onde. Sekedar pengganjal perut.
SITTY :
Mau, mau ! Boleh juga.
SAMSUL :
Onde-ondenya, pak.
114
PEDAGANG :
Nah, begitu. Perhatikan juga nasib orang kecil seperti saya. Masa seharian saya
berjualan di sini tidak ada yang beli ? Makanya dari tadi saya tawarkan onde-onde ini.
Saya tahu kalau putrimu itu sangat suka onde-onde. Dia kan langganan saya.
SAMSUL :
Berapa, pak ?
PEDAGANG :
Belum seberapa, sepuluh onde-onde baru lima ribu saja. Kali ini saya kasih bonus dua
buah. Buat nona Sitty.
SAMSUL :
O. Ya. Terima kasih. Bapak baik sekali. Eh, benar tidak, pak ? Kata orang, hari esok
harus lebih baik dari hari ini.
PEDAGANG :
Ya, harus !
SAMSUL :
Kalau begitu besok bapak harus lebih baik. Besok, kalau saya beli onde-onde
bonusnya harus lebih dari dua. Hehehe ......
PEDAGANG :
Pintar juga otakmu.
SAMSUL :
Sitty, ini onde-ondenya. Makanlah. Bapak itu memberi bonus buat kamu.
SITTY :
O, ya. Kalau saya tadi yang beli pasti bonusnya lebih dari dua.
SAMSUL :
Sitty, selepas lulus sekolah nanti, ayahku menyuruhku untuk meneruskan ke
perguruan tinggi. Aku sendiri setuju dengan itu. Kalau kamu bagaimana ?
SITTY :
Baguslah. Siapa yang tidak bangga bisa lanjut ke jenjang yang lebih tinggi . Ayahmu
tentu telah menyiapkan semua demi kamu. Aku sendiri belum tentu, Sam. Belakangan
ini ayahku sakit-sakitan. Aku tidak mungkin memaksakan keinginanku dalam kondisi
seperti ini. O... rencananya kamu mau melanjutkan kemana, Sam ?
SAMSUL :
Ayahku menyarankan untuk kuliah di luar negeri.
115
SITTY :
Luar negeri ?!
SAMSUL :
Iya, Sitty. Tidak di sini.
SITTY :
Kenapa mesti ke luar negeri, Sam ?
SAMSUL :
Kata ayahku, sangat baik untukku nantinya. Dengan kuliah di luar negeri kita bisa
mendapatkan ilmu dengan maksimal.
SITTY :
Di sini juga bisa, bukan ? Banyak perguruan tinggi yang tidak kalah kualitasnya. Dan
lagi, kuliah di luar itu butuh biaya besar, Sam. Apakah ayahmu sudah memikirkannya
matang-matang ?
SAMSUL :
Ah, entahlah. Selain itu sebenarnya aku belum siap untuk merantau terlalu jauh. Jauh
dari kampung halaman, jauh dari keluarga, dan tentu akan menjauhkan aku dari kamu
Sitty.
SITTY :
Jauh tidak lagi persoalan, Sam. Selagi masih di bumi ini. Apalagi zaman sekarang ini.
Jarak dan waktu bisa direkayasa dengan teknologi.
SAMSUL :
Aku tidak ingin jauh dari kamu Sitty.
Anak baginda berburu rusa
Rusa mati tertembak panah
Jika kasih jauh dimata
Rasa mati badan sebelah.
SITTY :
Burung puyuh masuk ke rimba
Di dahan jati singgah merapat
Meskipun jauh dipelupuk mata
Di dalam hati tetapkan dekat.
SAMSUL :
Ombak berdentum di hujan lebat
Sampan melaju ke pulau seberang
Hendak kemana carikan obat
Badan bertemu makanya senang.
SITTY :
Risau kicaunya si anak balam
Ditinggal induknya di pohon jambu
Walau tak bisa berjawat tangan
Di dalam mimpi kita bertemu.
SAMSUL :
Tetak lontar alaskan padi
Peti dibawa dari Palembang
Bertemu sebentar bagaikan mimpi
Itu membawa hatiku bimbang
SITTY :
Anak Kediri berdagang kain
Kain disimpan dalam peti
Niat diri tidak pada yang lain
Tuan terikat di dalam hati.
SAMSUL :
Manis-manis bukannya tebu
Manisnya manis si gula jawa
Manis tidak sekedar dari rupamu
Manis kupandang budi bahasa.
SITTY :
Merah warnanya si bunga mawar
Putih suci bunga melati
Janji bukan untuk ditawar
Kasih hanya dilerai mati
117
SAMSUL :
Tanam melati di depan rumah
Ubur-ubur berdamping dua
Jikalau mati kita bersama
Satu kubur kita berdua.
SITTY :
Ubur-ubur berdamping dua
Tanam melati bersusun tangkai
Kalau mati kita berdua
Jikalau boleh bersusun bangkai.
SAMSUL :
Tanam melatai bersusun tangkai
Tanam padi satu persatu
Jikalau boleh bersusun tangkai
Daging melebur jadi satu.
PEDAGANG :
“Allahuakbar Allahuakbar..............!!” ( KEARAH SITTY DAN SAMSUL )
SAMSUL :
Hah ! O . Ayo kita pulang, Sitty. Sudah terlalu senja. Nanti orang di rumah marah-
marah. Merantaunya masih lama. Lulus saja juga belum tentu.
PEDAGANG :
Ikat berikat tali kuda
Pasang pelana kuda yang putih
Hati terikat samanya muda
Lupa waktu sebab berkasih
***
118
II.
SITTY :
Istirahatlah lagi ayah, sudah terlalu larut.
AYAH :
Tidak mudah tidur bagi ayah sekarang ini, Sitty.
Dipejam mata tak terpejam
Direbah tubuh tak jua senang perasaan.
SITTY :
Apalagi yang ayah pikirkan ? Bukankah ayah pernah bilang pada Sitty,
Tidaklah beban jadi rasian
Habis daging dihisapnya.
AYAH :
Sitty, anakku. Kamu ini seperti orang dulu bilang,
Kecil tak lagi untuk disuruh-suruh.
Besar belumlah dapat ditumpangi.
SITTY :
Ah, ayah. Kecil Sitty anak ayah, besar juga tetap anak ayah. Kalau boleh Sitty tahu,
apa yang ayah pikirkan ?
AYAH :
Dipintal benang dengan gulungan
Biar berpisah pangkal dengan ujungnya
Tak kusut pula dalam genggaman.
Tapi, kali ini kamu terpegang ujung benang, Sitty.
Ayah memintal dari pangkalnya.
SITTY :
Kalaulah ujung di tangan Sitty, tentulah Sitty takkan berlepas tangan.
Ceritakanlah ayah. Dengan senang Sitty dengarkan.
AYAH :
( MENARIK NAFAS )
Berniaga ke tanah Jawa dagang emas dengan budi bahasa.
Tapi, bagaimanapun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Nasib tertoreh di telapak tangan.
Niat hendak menyekolahkanmu tinggi-tinggi, biar bertambah isi kepala.
Cita-cita membumbung langit, Tuhan dari atas jua yang menentukan.
119
Jerih peluh usaha niaga kita kali ini telah habis surut, Sitty. Ayah tak dapat lagi
berbuat apa-apa. Sekarang, kamu juga tahu, harta ayah hanya tinggal badan
sepembawaan ini. Hutang-hutang tumbuh melilit pinggang. Mencekik kerongkongan.
SITTY :
Sitty mengerti, ayah.
AYAH :
Hutang emas dibayar emas. Hutang budi, tentulah dibawa mati.
SITTY :
Benar ayah.
AYAH :
Kemarin Datuk Maringgih datang ke sini. Tak lain untuk menagih hutang pinjaman
dagang yang sudah jatuh tempo. Ayah meminta Datuk menambah jangka waktu yang
diberikan. Tapi, dia menolak. Karena telah melewati batas waktu yang seharusnya.
Sehingga bunganya sudah berlipat ganda. Rumah yang satu-satunya inipun hendak
disitanya. Dan itupun belum juga akan menutupi hutang kita Sitty.
SITTY :
Iya, ayah. Sitty paham, ayah.
AYAH :
Panjang cerita segelas kopi, direntang masa setinggi bulan. Bersilat lidah di
perbincangan, berkecamuk darah dalam dada.
Ah. Hutang kita seperti memotong rumput di tengah padang. Potong dipotong tumbuh
jua. Bunganya menjulang menyentuh lutut. Tiap melangkah terjatuh pula menyentuh
tanah.
SITTY :
Sitty mengerti, ayah.
Jual gabah di tengah pekan, gabah dibawa dengan bendi.
Kalaulah susah sama kita pikirkan, nak lapang jua beban di hati.
Ayah, apa yang bisa Sitty perbuat untuk itu, Ayah.
AYAH :
( KEMBALI MENARIK NAFAS, KEMUDIAN MENGGELENGKAN KEPALA )
Daunmu terlalu hijau. Berputik sudah, berbunga belum. Harumnya belumlah melintas
pagar.
SITTY :
Maksud ayah.... ?
AYAH :
Sitty, hutang emas dibayar emas ? Hutang budi dibayar budi ? Tapi, lain dengan
Datuk Maringgih. Seluruh hutang kita padanya, tidak berguna pepatah demikian.
Datuk ingin mempersuntingmu. Maka, lepaslah hutang yang selilit pinggang.
SITTY :
120
( TERKEJUT )
Dengan Sitty, ayah !? Datuk Maringgih !?
AYAH :
Itulah jalan yang ia pintaskan agar terlepas dari segala hutang.
SITTY :
Tidak, ... tidakkah ada jalan lain, ayah ?
AYAH :
Kalaulah umur ayah masih panjang, dan tenaga berisi di badan. Tentu ayah tidak akan
memberi tahu kamu, Sitty.
SITTY :
Tapi, ... Sitty belum ...
AYAH :
Sitty, Ayah paham kalau kamu belum punya timbangan yang kuat, Sitty. Timbangan
yang bagus tidak berat sebelah. Berlebih semata ditentang dengan pikiran. Selepas
kamu lulus sekolah nanti, Datuk Maringgih hendak menjatuhkan hari.
SITTY :
( TERDIAM LAMA SEPERTI BERPIKIR )
Ayah, bolehkah Sitty mohon diri Ayah ?
Sudah berat kelopak mata. O, ayah istirahatlah dahulu.
***
III.
DATUK :
Sudah keluar anak sekolah itu ?
PEDAGANG :
O, belum Tuan. Mungkin sebentar lagi. Coba lihat arlojinya ( MENARIK TANGAN
DATUK, MELIHAT ARLOJI ). Baru pukul lima lewat sedikit. Lihat, baru sedikit
lewatnya. Sekolah bubar pukul setengah enam. Ya, setengahnya saja. Sebentar lagi.
121
Sabar, sabar. Silahkan duduk dulu. Santai dulu. Dan saya punya onde-onde, enak
rasanya. Silahkan dicoba. Kalau tidak percaya lihat saja nanti. Seorang gadis cantik
akan memborong onde-onde ini, Sitty Noerbaja gadis....
DATUK :
Sitty Noerbaja ?!
PEDAGANG :
Tepat sekali. Gadis manis, semanis tebu, suka onde-onde. Dia bilang onde-onde lebih
hebat dari makanan import manapun. Eh, apa Tuan menunggu Sitty Noerbaja ?
DATUK :
Ya. Saya menjemputnya.
PEDAGANG :
Berarti Tuan ini keluarganya Sitty, kakeknya barangkali ?
PENDEKAR LIMA :
Heh ! Jangan asal bicara ya !
PEDAGANG :
Bapaknya ?
PENDEKAR LIMA :
Datuk ini bukan bapaknya.
PEDAGANG :
Jadi, pamannya begitu ?
PENDEKAR LIMA :
Huhh ! Tidak kata saya !
PEDAGANG :
Kakek bukan, bapak tidak, paman juga salah. Tapi ke sini untuk menjemput Sitty.
Nah, berarti Tuan ini sopir pribadinya nona Sitty.
PENDEKAR LIMA :
Hei ! Mau kakek, kek. Mau bapak, kek. Mau paman, kek. Apa urusanmu ! Urus saja
onde-ondemu itu.
PEDAGANG :
O. Oke, oke. Maafkan saya. Tidak akan saya urus lagi. Ya, bukan urusan saya. Tapi
ingat, sekedar informasi. Bagi saya, Sitty berarti onde-onde, seperti onde-onde.
Lembut di luarnya, manis di dalamnya. Dia ramah sekali....
DATUK :
( KEPADA PENDEKAR LIMA )
Coba kau lihat kesana. Lama sekali keluarnya. Apa yang mereka perbuat di sekolah
itu. Zaman saya sekolah tidak terlalu penting. Lihat saya, tidak perlu sekolah tinggi-
tinggi untuk bisa hidup sejahtera. Cuma pakai akal-akalan. Kecil bahagia, muda foya-
foya, tua sejahtera, mati masuk......
122
PENDEKAR LIMA :
Itu dia, Datuk. Menuju kesini. Anak sekolah keluar seperti kambing lepas dari
kandang. Tapi, Sitty bergandengan Datuk.
DATUK :
Bergandengan ! Dengan siapa !?
PENDEKAR LIMA :
Dengan laki-laki. Mesra sekali mereka.
DATUK :
Siapa laki-laki itu ? Hah ! Samsul Bahri. Anak Sutan Mahmud. Sudah melekat-lekat
pula ia dengan Sitty.
SAMSUL :
Tuan Datuk Maringgih rupanya. ( MENGULURKAN TANGAN HENDAK
BERSALAMAN TAPI TIDAK DIBALAS OLEH DATUK )
PENDEKAR LIMA :
Oh, bersalaman dengan Datuk harus melalui saya. Saya asisten, jubir, sekaligus
pengawal pribadi Datuk. Jadi segala apapun urusan dengan Datuk harus melalui saya.
DATUK :
Selamat sore Sitty. Sedari tadi saya menunggu. Niat di hati hendak menjemputmu.
Mobil sudah saya persiapkan. Mari, kita berkeliling menikmati senja yang menarik
ini. Bagaimana kalau kita ke tepi laut, mencari angin segar sambil makan rujak atau
jagung bakar. Setelah itu kita ke plaza mencari oleh-oleh untuk ayahmu.
SITTY :
Ah, eh. O. Mmmh ... Datuk !?
DATUK :
Ayo Sitty, mari. ( MENARIK TANGAN SITTY )
SAMSUL :
Ada apa ini Datuk ?
PENDEKAR LIMA :
Bukan urusan kamu !
SAMSUL :
Ini jadi urusan saya.
PENDEKAR LIMA :
Oi, urus saja dirimu sendiri, kalau tidak mau berurusan panjang dengan saya !
SAMSUL :
123
SITTY :
Tenang Sam. Ini urusan saya. Pulanglah dulu bersama Bachtiar dan Arifin. Saya mau
bicara sebentar dengan Tuan Datuk.
SAMSUL :
Tapi, Sitty. Kamu...
SITTY :
Sam, saya mohon pengertian kamu.
PENDEKAR LIMA :
Nah, kamu dengar tidak ? Sitty menyuruhmu pergi dari sini. Tunggu apalagi,
menunggu kena usir, ya ?
BACHTIAR :
Enak saja main usir. Ini tempat umum tahu.
PENDEKAR LIMA :
Kamu juga mau turut campur urusan ini, ya ? Mau tahu prosedur berurusan dengan
saya ?
ARIFIN :
Op, op, op. Menurut pendapat saya lebih baik kita mengalah. Mundur. Ayo. Sitty,
kami duluan. Jaga diri baik-baik.
SITTY :
Datuk. Apa maksud Datuk menjemput saya ?
DATUK :
Saya bermaksud baik Sitty. Mulai hari ini saya, eh, aku, akan menjemputmu. Sebagai
seorang calon induk berasku, alangkah menyenangkan kita bertemu setiap saat. Biar
kita merasa dekat. Bukan begitu hendaknya ?
SITTY :
Siapa yang menyuruh Datuk melakukannya ?
DATUK :
O, tidak siapa-siapa. Ini aku lakukan tulus dan murni dari hati nuraniku sendiri.
PENDEKAR LIMA :
Ah, tidak usah pakai menolak segala. Turuti sajalah. Datuk akan membuat hari-
harimu bahagia.
DATUK :
Saya tidak menyuruhmu bicara !
124
SITTY :
Datuk. Saya tidak pernah meminta untuk dijemput, Datuk.
DATUK :
Sitty, semua sudah saya perhitungkan dengan ayahmu, Sitty. Tidak ada lagi yang
perlu dipermasalahkan.
SITTY :
Tuan Datuk. Ini bukan hitungan matematik, Tuan. Sebagai seorang yang jauh lebih
dewasa, tentu Tuan lebih paham dunia ini.
DATUK :
Ah, kau kan bukan lagi anak kecil yang tidak bisa menentukan langkahmu sendiri.
Sudah tujuh belas tahun. Tentu kau mengerti Sitty.
SITTY :
Jalan saya masih panjang Datuk. Saya belum berpikir melangkah sejauh ini. Alangkah
bagusnya Datuk mencari perempuan yang lebih dari saya. Lebih pantas, lebih pas
menjalankan hidup dengan Datuk.
DATUK :
Apalagi yang kamu cari setamat sekolah ini, Sitty ? Lebih baik lakukan langkah besar.
Apalagi, kamu perempuan. Bukankah perempuan itu hanya ; sumur, dapur, dan kasur.
SITTY :
Tuan. Hendaklah Tuan berpikir baik. Baik untuk Tuan, dan juga baik untuk saya.
PENDEKAR LIMA :
Ini sudah yang terbaik Datuk lakukan untuk kamu dan Ayahmu, Sitty. Apakah kamu
senang melihat ayahmu sakit-sakitan memikirkan...
SITTY :
Tentang hutang Ayah saya pada Datuk, saya berharap Datuk sabar. Berilah saya
kesempatan. Tunggu saya menyelesaikan sekolah saya dulu. Saya akan berusaha,
bekerja mencari uang untuk membayarnya.
PENDEKAR LIMA :
Heh ! Mau kerja apa kamu Sitty ? Tidak gampang mencari pekerjaan di jaman
sekarang ini. Kerja di kantor ? Di Bank ? Jangan mimpi Sitty. O, barangkali kamu
bisa jadi babu, buruh kasar, atau kamu jadi pekerja ... pekerja seks komersil.
SITTY :
( MENAHAN AMARAH )
Saya tidak bicara demikian Tuan-tuan.
DATUK :
Pendekar Lima. Saya tidak suruh kamu bicara. Diam saja di sana.
Jadi, kamu keberatan dengan aku Sitty ?
125
SITTY :
Maafkan saya Tuan Datuk.
DATUK :
Saya tidak main-main Sitty.
PENDEKAR LIMA :
Tidak tahu diuntung pula kau rupanya. Ingat. Hutang ayahmu dengan Datuk sudah
terlalu banyak. Mau dibayar dengan apa lagi ? Ayahmu sudah menjual seluruh
perusahaan dagangnya. Untuk bunganya saja itu pun belum cukup. Ayahmu sudah
mulai bicara sendiri memikirkannya. Lebih baik kau bayar lunas dengan ...
SITTY :
Hutang emas dibayar emas, Tuan.
PENDEKAR LIMA :
Jadi kau kemanakan perbuatan baik Datuk selama ini pada ayahmu ?
SITTY :
Saya akan selalu mengingatnya. Tidak akan saya lupakan, bahwa Datuk adalah
seorang yang baik. Bahkan terlalu baik.
PENDEKAR LIMA :
Nah, tunggu apa lagi ?
SITTY :
Namun, keinginan Datuk terhadap saya, apakah baik buat saya ?
PENDEKAR LIMA :
Jelas sangat baik. Niat baik Datuk tidak akan ada yang menghalangi.
SITTY :
Belum tentu, Tuan. Kalau Tuhan berkeinginan lain, tidaklah boleh mendahului yang
di atas.
DATUK :
Hhh. Jangan bermain-main, apalagi mempermainkan saya. Jadi kamu menolak saya ?
Saya tidak pantas untuk kamu, begitu ? Lalu, siapa yang pantas ?
PENDEKAR LIMA :
Samsul Bahri tentu telah mempengaruhi otaknya.
SITTY :
Tidak baik menyangkut – pautkan persoalan ini dengan orang lain, Tuan. Samsul
tidak tahu apa-apa dengan masalah ini.
PENDEKAR LIMA :
Jangan bersilat lidah, Sitty. Sejak kapan kau berhubungan dengan dia ? Sudah sejauh
mana ? Jangan-jangan kau telah melakukan......
126
SITTY :
Cukup Tuan. Persoalan ini hanya antara keluarga saya dengan tuan Datuk.
DATUK :
Baik, baik. Sitty ! Silahkan kamu berpikir baik-baik sekarang. Baik untuk kamu serta
ayahmu. Terserah ! Saya tunggu keputusanmu.
SITTY :
Sekali lagi, saya mohon maaf dan berharap Tuan mengerti. Maafkan atas
kelancangan saya. Saya mohon diri dulu, Tuan. Saya pulang.
SITTY KELUAR
PENDEKAR LIMA :
Keras kepala juga dia !
DATUK :
Keras hati, pendekar.
PENDEKAR LIMA :
Keras hatinya pada Samsul Bahri.
DATUK :
Mmmh. Hehehe ... Samsul Bahri !? Tampaknya dia akan menjadi batu sandungan
bagi langkah saya. Tapi dia bukan masalah yang besar. Pendekar, ke sini !
( MEMBISIKAN SESUATU. PENDEKAR MENGANGGUK-ANGGUK )
PENDEKAR LIMA :
Ide yang usul. Tapi...
DATUK :
Tapi bagaimana ?
PENDEKAR LIMA :
Begini Datuk, apakah setelah ini dilakukan Sitty akan mau dengan Datuk ? Tentu dia
akan tambah sulit didekati. Lebih baik langsung Sitty saja, Datuk.
DATUK :
Kamu gila ya ! Tujuan saya itu jelas-jelas Sitty. Kenapa Sitty pula yang dijadikan
sasaran. Goblok ! Sekarang gunakan otakmu, bagaimana caranya.
PENDEKAR LIMA :
O. Baik. Begini ( BEBICARA PELAN DENGAN DATUK, SESEKALI
MENUNJUK KE ARAH PEDAGANG )
DATUK :
Bagus, bagus. Sekarang gunakan bibirmu itu kesana.
127
PEDAGANG :
Eh, Tuan. Kelihatan serius sekali pembicaraan tuan-tuan dengan Nona Sitty. Sehingga
Ia tidak sempat menikmati onde-onde saya. Rejeki saya jadi hilang begitu saja.
PENDEKAR LIMA :
Ah, biasalah. Kami ini memiliki sebuah Production House yang sedang menggarap
sebuah film baru. Pembicaraan tadi itu, kami menawarkan sebuah peran pada Sitty
Noerbaja. Tapi dia masih ragu. Pikir-pikir dulu katanya ( MEMAKAN SEBUAH
ONDE-ONDE ) Mmmh..onde-ondenya enak sekali.
PEDAGANG :
Tuan mengajak Sitty main film ? Dia menolaknya ?
PENDEKAR LIMA :
O, Belum. Sitty belum memutuskannya tadi.
( MEMATUT-MATUT GEROBAK PEDAGANG )
Selain dengan Sitty, sepertinya kita juga bisa berkerjasama.
PEDAGANG :
Bekerjasama ? Tuan membutuhkan saya untuk main film ?
PENDEKAR LIMA :
Ya. Kami membutuhkan gerobak Anda ini untuk setting sebuah adegan di film kami
nantinya.
PEDAGANG :
Aah..., masa cuma gerobaknya saja. Sayanya tidak. Memang apa judul filmnya ?
PENDEKAR LIMA :
Mmmh. “Tidak Ada Apa-apa Dengan Cinta”.
PEDAGANG :
Lho ! Kok pakai kata ‘tidak’ ?
PENDEKAR LIMA :
Di situlah nilai jual film ini, lain dari yang lain. Film ini akan memperlihatkan bahwa
tidak ada apa-apa dengan cinta. Persetan dengan yang namanya cinta. Nah,
pengambilan gambar pertamanya akan dilakukan di sini. Sitty akan memainkan tokoh
utamanya yang sedang menunggu kekasihnya sambil makan onde-onde.
PEDAGANG :
Makan onde-onde ? Wah, cocok sekali dengan hobinya.
PENDEKAR LIMA :
Karena itulah kami memberikan peran ini pada dia.
PEDAGANG :
128
Semestinya saya juga diajak, dikasih peran. Saya ini kan sudah biasa melakukan
adegan yang Tuan inginkan. Sitty pasti senang dengan saya sebagai lawan mainnya.
PENDEKAR LIMA :
Sayang, wajah Anda itu tidak Kameragenik
PEDAGANG :
Apa maksudnya ?
PENDEKAR LIMA :
Wajah Anda itu tidak menarik jika dishoot dengan kamera. Itu akan merusak citra
film ini di mata penonton nantinya. Jadi saya cuma pakai gerobaknya saja. Bagaimana
? Mau tidak ? Kami hargai ( MEMBERI PENJELASAN DENGAN TANGAN
SAMBIL BERBISIK ).
PEDAGANG :
Ah, cuma segitu ? Biasanya seorang produser itu sangat royal. Apalagi untuk sebuah
adegan penting.
PENDEKAR LIMA :
Tenang, sesudah pengambilan gambar adegan ini akan saya tambah. Dua kali lipat,
bagaimana ?
PEDAGANG :
Nah, begitu. Kerjasama disepakati. Tapi.....
PENDEKAR LIMA :
( HENDAK BERBALIK KE TEMPAT DATUK ) Apa lagi !?
PEDAGANG :
Tadi kata Tuan, Nona Sitty belum memastikan dirinya untuk.......
PENDEKAR LIMA :
O. Itu bukan urusan kamu. Nanti akan kami hubungi lagi dia. Cuma persoalan nilai
kontrak. Dengan nilai yang lebih tinggi, pasti Sitty tidak akan sanggup menolaknya.
( MENUJU DATUK )
DATUK :
Bagaimana, Pendekar ?
PENDEKAR LIMA :
Beres, Datuk. Semua sudah saya persiapkan
DATUK :
Bagus. Tidak percuma kau kuangkat jadi jubir, bibirmu tak kalah cepatnya dengan
otakmu. Setelah Samsul dibereskan, tidak ada lagi halangan bagi saya menuju Sitty.
Oh, Sitty ( SERAYA MENERAWANG ).
129
***
IV.
PEDAGANG PALSU :
O. Mmh, nona pasti Sitty Noerbaja.
SITTY :
Betul. Tapi bapak ini siapa ? Biasanya kan pak Amat yang berjualan dengan gerobak
ini.
PEDAGANG PALSU :
Saya ini... anu, maksud saya, saya ini saudara dari isterinya si Amat yang biasanya
berjualan di sini. Berhubungan si Amatnya ada urusan ke situ...., maksud saya
ke....kampung isterinya itu, saya diminta untuk menggantikannya. Daripada tidak
untung....Eh, maksud saya daripada merugi, lebih baik saya yang menjual-jual
dagangannya hari ini. Katanya dia ada......
SITTY :
Ada apa, Pak ?
PEDAGANG PALSU :
Ah, entahlah. Tidak tahu saya. Pokoknya anu. Penting !
SITTY :
Maksud bapak urusan penting.
PEDAGANG PALSU :
Nah, betul. Seperti yang Nona maksudkan tadi.
Yang penting bagi saya itu, si anu, maksud saya, teman Nona yang bernama Samsul
itu .
SITTY :
O, Samsul Bahri. Dia belum keluar. Sebentar lagi. Saya biasa menunggunya di sini.
Ada perlu apa bapak dengan Samsul ?
PEDAGANG PALSU :
Begini. Saya ini di...., maksud saya ada sesuatu yang akan saya......
130
SITTY :
Maksud bapak ada yang ingin bapak sampaikan pada Samsul ? Katakan saja pada
saya, nanti saya sampaikan pada Samsul.
PEDAGANG PALSU :
Ooo...tidak bisa, maksud saya tidak usah. Biar saya saja. Ini juga penting Nona.
SITTY :
Memangnya siapa yang berpesan ?
PEDAGANG PALSU :
Si itu..., si anu, maksud saya.......
SITTY :
Pak Amat ?
PEDAGANG PALSU :
Iya, ya, seharusnya saya bilang begitu. Hehehe........
SITTY :
Pak, Saya beli onde-ondenya. Ini uangnya.
PEDAGANG PALSU :
Ha! Onde-onde ? Nona Sitty membeli onde-onde ini untuk siapa ?
SITTY :
Ya buat saya.
PEDAGANG PALSU :
Tapi ini tidak untuk........
SITTY :
O, tidak untuk dijual, begitu ? Apa bapak tidak mau uang ?
PEDAGANG PALSU :
Uang ! Mau saya. Ini saya lakukan karena uang.
SITTY :
Nah, ini uangnya.
PEDAGANG PALSU :
( KESAMPING ) Aduh ! Celaka saya. Seharusnya Samsul, seperti yang disuruhkan
pada saya. Nona memakannya ? ( PADA SITTY )
131
SITTY :
Iya, kenapa ?
PEDAGANG PALSU :
Ditelan ?
SITTY :
( MENGANGGUK )
PEDAGANG PALSU :
Enak ?
SITTY :
Mmm, enak. Tapi gulanya terlalu manis dari yang biasa.
( MEMAKAN SEBUAH LAGI )
PEDAGANG PALSU :
Yang itu ?
SITTY :
Sama saja. Bapak ini kenapa ? Kalau bapak mau silahkan coba saja.
( MENYODORKAN ONDE-ONDE )
PEDAGANG PALSU :
O. Tidak, tidak ! Saya tidak suka onde-onde. Onde-onde itu manis. Saya tidak boleh
makan yang manis-manis. Kalau saya makan, saya akan batuk-batuk. Saya akan jadi
pusing. ( SITTY MEMEGANG KEPALANYA SEPERTI KESAKITAN ) Nah, anak
saya akan marah. Ia akan tambah pusing melihat saya. Ia akan kasak-kusuk
mencarikan saya obat. Pernah saya pusing sekali gara-gara makan dodol yang juga
sama manisnya dengan onde-onde. Saya jadi terbatuk-batuk, nafas saya sesak sekali
( SITTY MEMEGANG DADANYA KARENA SESAK NAFAS ) Hampir-hampir
saya tidak kuat lagi. Untung anak saya segera membawa saya ke Puskesmas. Kata
anak saya, puskesmas itu kependekan dari; pusing, kepala sakit dan masuk angin.
Susternya menyuntik saya disini ( MENUNJUK BAGIAN PAHANYA ) Sakit. Tapi,
setelah itu saya bisa sembuh. Kalau tidak, saya bisa mati.( SITTY SUDAH
TERDIAM BEGITU SAJA.TERKAPAR ) Saya ini belum ingin mati. Saya ingin
hidup seribu tahun lagi. Nona takut mati ? ( MENOLEH KEPADA SITTY ) Nona ?
Nona ! Bangun nona. Nona, bangun. Wah, celaka. Aduh, seharusnya Samsul. Kalau
tidak, saya tak dapat uang. Aduh, nona ini ( MENDEKATKAN TANGAN PADA
HIDUNG SITTY ) Haa ! Tidak ada anginnya. Puskesmas, puskesmas ! Tolong !
Tolong ! Ah, kalau orang-orang datang hancur saya. Aduh, bagaimana ini !?.
SAMSUL :
Sitty !?
BAKHTIAR :
Sitty kenapa !?
132
ARIFIN :
Ada apa dengan Sitty !?
SAMSUL :
Hah ! Tidak usah bertanya lagi. Cepat angkat. Bawa ke rumah sakit.
DATUK :
Bagaimana ?
PEDAGANG PALSU :
Wah. Aduh, celaka ! Sitty !
DATUK :
Kenapa Sitty ?
PEDAGANG PALSU :
Onde-onde, maksud saya Sitty makan onde-ondenya. Sudah saya larang, tapi ia terus
saja. Mau apa lagi. Kalau saya katakan ada racunnya tidak mungkin. Sekarang Sitty
diangkut ke...
PENDEKAR LIMA :
Diangkut ke rumah sakit ? Cepat bapak lihat kondisinya ! Segera balik, kami tunggu
di sini !
DATUK :
Haahhh ! Kenapa bisa jadi seperti ini ? Kacau ! Yang saya perintahkan bunuh Samsul
Bahri. Kalau Sitty mati, percuma semuanya !
PENDEKAR LIMA :
Ini kesalahan teknis, Datuk.
DATUK :
Ini kesalahan kamu ! Menyuruh orang yang tidak bisa diandalkan ! Apa tidak ada
yang lebih punya akal !
PENDEKAR LIMA :
Kalau orang berakal mungkin tidak mau melakukannya, Datuk.
DATUK :
Sudah! Jangan mencari alasan lagi. Apa yang harus kita lakukan ? Kita dalam
keadaan bahaya. Sebaiknya kita pergi dari sini.
PENDEKAR LIMA :
133
DATUK :
Untuk apa lagi ?
PENDEKAR LIMA :
Mengetahui keadaan Sitty, ia mati atau tidak.
DATUK :
Mati atau tidak, tidak perlu lagi saat ini. Kasus ini pasti diusut. Sekaranglah waktu
yang tepat untuk menghindar. Ayo !
SAMSUL :
O. Ternyata langkah saya tak kurang dan tak jua lebih. Hendak ke mana tuan-tuan ?
Tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya, ya ! Begitu ? Sitty sekarang
dalam keadan koma, Dokter telah mengetahui penyebabnya. Tidak ada alasan untuk
tidak menuduh Datuk sebagai dalangnya.
DATUK :
Jangan asal tuduh ! Kamu ingin mencemarkan nama baik saya, ya !?
PENDEKAR LIMA :
Oi, anak muda. Apakah kau punya bukti otentik kalau bicara !?
SAMSUL :
Bukti ? ( MENGODE DENGAN TEPUKAN TANGAN )
SAMSUL :
Siapa yang menyuruh bapak untuk meracuni Sitty ? ( KEPADA PEDAGANG
PALSU )
PEDAGANG PALSU :
Itu, Situ. Maksud saya orang itu ( MENUNJUK PENDEKAR LIMA )
SAMSUL :
Berapa bapak dibayarnya ?
PEDAGANG PALSU :
Tadi saya dikasihnya uang segini ( HENDAK MENGELUARKAN SELURUH ISI
SAKUNYA ). Janjinya saya akan dikasih uang banyak, satu juta katanya. Jadi saya
mau. Perintah cuma menyerahkan onde-onde itu pada Samsul Bahri. Samsul Bahrinya
tidak ada. Tapi Nona Sitty membeli onde-onde itu dan mengasih saya uang.
SAMSUL :
Maksud bapak ?
134
PEDAGANG PALSU :
Aduh, ini sudah tiga kali saya jelaskan pada kalian !
BAKHTIAR :
Jadi tidak usah berkelit lagi dari kami, Datuk !
SAMSUL :
Datuk hendak meracuni saya agar Sitty bisa jatuh ke tangan Datuk ? Terlalu sempit
jalan pikiran datuk. Tidak semua orang bisa Datuk bodoh-bodohi. Zaman sudah
bertukar, Datuk ! Nah, sekarang kau harus me......
ARIFIN :
Sitty sudah mendahului kita.
SEMUA :
Sitty !?
SAMSUL :
Gaek keparat ! ( HENDAK MENYERANG DATUK )
DATUK :
Lari !
PENDEKAR LIMA :
Kita hadapi saja, saatnya perhitungan terakhir, Datuk !
BAKHTIAR :
Oooooooiii ! Babi hutan masuk ke ladang !
“Bagi saya.”
“Ini. Hajar !”
“Kubunuh kau, anak ingusan !”
“Ayo, pak tua !”
“Beraninya keroyokan !”
“Sudah biasa, Datuk !”
“Ekstrakurikuler !”
“Samsul !?”
135
***
V.
AYAH :
Sitty...kembalilah Sitty...dst.
SUARA-SUARA :
Sitty di sini Ayah. Menjelma gunung. Orang-orang mendaki, seperti mendaki mimpi.
Sitty melihat mimpi itu, Ayah. Bintang jatuh ke samudera jiwa, jiwa lepas dari
tubuh....
AYAH :
Kemarilah, sayang. Maafkan Ayah, kemarilah...peluk Ayah....dst.
SUARA-SUARA :
Sitty di sini Ayah. Serupa jembatan, antara masa lalu, masa kini, dan masa datang.
Jembatan waktu yang melingkar, metamorfosis. Orang-orang melintas, datang,
singgah, pergi, dan menghilang.
AYAH :
Jangan cengeng, Sitty ! Ayo, berdiri. Ayo! Bangun, nak. Lepaskan kemanjaan...dst.
SUARA-SUARA :
Sitty jadi muara, Ayah. Tempat segalanya berakhir. Akhir dari kepedihan, akhir dari
segala dendam. Akhir dari mimpi-mimpi yang dihanyutkan orang dari hulu, dari masa
lalu. Telah jadi kisah, Ayah. Yang melahirkan seribu tafsir.... Meski kita tidak pernah
tahu kapan episode ini berakhir....
SELESAI
BIODATA PENULIS
Nama : Ilham Yusardi
TTL : Padang, 28 April 1982
Alamat : Jl. DR. M. Hatta RT 05 / RW 01 No. 29-30 Anduring Padang 25151
Alamat Surat : Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fak. Sastra Univ. Andalas Padang
Symphoni
anak jalanan
Pemain
Atet = pengamen
Iwo = pengamen
Kemal = pengamen
Abdul = petugas
Nasir = petugas
Komandan
139
Babak Satu
Di sepotong trotoar sebuah jalan di sebuah kota, tiga remaja tanggung, Atet, Iwo dan
Kemal sedang mengamen. Iwo sering bermimpi, Atet sangat acuh dengan dirinya dan
Kemal senantiasa menepuk-nepuk perutnya yang selalu kelaparan. Mereka sedang
menyanyikan sebuah lagu berirama dangdut.
Lagu Pengamen
Mondar-mandir di sela-sela mobil
nyanyi-nyanyi sampai suaraku sember
Tiba-tiba dua orang petugas datang dari sebuah sisi panggung, bergegas sambil
meniup peluitnya. Setelah kejar-kejaran, akhirnya anak-anak itu terperangkap di
salah satu pojok.
cepat ...!!
141
Babak dua
Keesokan harinya di kantor petugas. Iwo, Kemal dan
Atet duduk di bangku panjang, dua petugas, Abdul dan
Nasir mendampingi mereka. Abdul duduk di belakang meja,
sementara Nasir berdiri mondar-mandir dengan pentungan
karet di tangannya.
Babak tiga
Babak tiga
Selesai
BIODATA PENULIS :
151
Syair Kamelia
pp
Nasib bunga diperantauan
Bertaut asa menyulam duka
Adat dan budaya dijunjung
tinggi
Sopan dan santun
Telah dijaga,kenapadaku
Yang durjana ? Kasih entah
kemana, cinta jauh dimata
“AkulahKamelia yang
terbiar disangkar kerinduan
yang membakar”
Dimanakah tuan kini ?
Hilang dimata dihati tidak,
Berurai air mata kutagih
Janji, biar jadam ridho
Ku terima
152
BAG. I
Samsul : “ Eh Kamelia sini abang nak cakap, kite ni orang Melayu yang terkenal jago dan
terhormat jadi pantanglah bagi abang dikalahkan same orang-orang Jawe yang ilmunya
tak cukup ( sambil menunjukkan kelingking ) pantang dek abang cume nak tunjuk meski
kite ni tinggal di negeri orang tapi kite ni tetap orang Melayu yang hebat dan pantang
menyerah.”
Kamelia : “ Abang cakap macam cume abang yang paling terhormat dimuke bumi ni. Sebut aje
pengase jagad raye, nak menyaingi Tuhan ke ? kite ni duduk dekat perantauan bang, ini
negri orang janganlah suke mengacau. Kite cume hidup bedue, mesti boleh jage diri dan
adapt, tetapi bukan bemakne abang mesti betengka dengan orang-orang sini. Orang
takkan hormat kite atau anggap kite ni terhormat, bile kite juge tak sopan. ”
Samsil : “ Hei kenape ni adek abang jadi marah-marah. Buruklah orang tengok, nanti orang kate
bunge dese yang parasnye bak rembulan tu da redup.”
Kamelia : “ Abang dengalah cakap Kamelia kali ni aje, janganlah abang betengka lagi, abang tau
sendiri kite ni masih dijajah Belanda, negri kite kan hanco, bile persatuan bangsa ini taka
ade. Bukankah semestinye bangsa yang beragam ini menjadi satu buat menghadapi
Belande. Entah tu orang Jawe, Melayu, Betawi ataupun Sunde, mereke semue tu saudare
kite, hargailah prajurit yang susah payah beradu di medan perang ”.
Samsul : “Cakap kau macam ceramah kopral aje, sudahlah yang penting abang kau ni selamat,
cume itukan yang kau risaukan. Kau tu
taulah alasan sebenarnye,abang betengka ni kerne abang tak suke dengar mereke betaruh
demi merebutkan kau. Mereke pikir kau ni emas ape ? aku tak terime orang-orang Jawe
tu perlakukan kau mom tu dan aku juge…. ”
Kamelia : “ abang sekali lagi Kamelia cakap, janganlah abang betengka lagi, Kamelia cume punye
abang kalau abang terluke atau terbunuh siape nak tolong Kamelia ni ? ”
BAG. II
154
Hamidah : “ Eee… ke sungai ye bang ye, kalau gitu aye jadi pulang deh.
Kan mumpung ada yang nemenin aye. ”
Kamelia : “ Uww…. Macam manelah Midah ni, tadi cakap masih betah ”.
Hamidah : “ Setelah aye pikir-pikir, mendingan aye pulang aje deh, ntar dicariin enyak lagi. Pan
pas tuh jalan mau ke sungai leat juga rumah aye, nanti deh Midah kenalin sekalian
abang ama enyak babe aye….. barangkali… he… he…”
Samsul : “ Ye tak ape-apelah kalau memang macam tu, jage rumah baek-baek ye Kamelia,
Assalamualaikum ”.
Kamelia : “ Waalaikumsalam ( menggerutu sambil membuka surat ), macam manelah Midah tu,
tapi syukurlah die juge pergi ” ( baca surat dr. Satrio ).
BAG. III
Di suatu taman di bulan purnama, Kamelia duduk seorang diri menanti kekasihnya akan
datang. Sekian menit, sekian jam dinanti tak kunjung datang, sesekali ia mengira yang datang adalah
kekasihnya, tapi ternyata hanyalah orang-orang yang lewat disana. Puas sudah menunggu malampun
semakin larut, lalu ia bergumam.
Kamelia : “ Kanda…. Dimane ke kanda saat ni, ade ape lah dengan kanda, ade sesuatu ke
yang menimpe atau kanda lupe dengan janji kite ? ( mengambil selipan bunga
dahlia di sanggul ), meskipun bunge dahlia ni layu, Kamelia kan tetap menanti. Tapi ….
Betulkah kanda akan datang ? Bukannye aku ragu, aku ni cume cemburu dengan
purname yang bersinar tu. ( Sejenak termangu dan menggenggam surat dari satria, lalu
dia bersenandung ).
Sekarang Kamelia taulah kanda ni takkan datang, Kamelia cume terbuai dengan rayuan
kanda ”.
( akhirnya Kamelia pun beranjak pergi, belum lagi selangkah melangkah, datang dua
orang pemuda mencoba menggoda Kamelia ).
Pemuda 1: “ Mau kemana nona manis… kok sendirian malam-malam begini ?”
Pemuda 2: “ Iya, lagi kesepian ya… boleh dong kita temenin ” ( mencolek badan Kamelia ).
Kamelia : ( mulai sebal & setengah marah ) “ Hey janganlah kurang ajar kau ni ”
Pemuda 1: “ Wuih…galak ! Masak begitu aja kok marah to mbak, ojo nesu mbak…nanti elek lho
mukane ” ( Menghalang-halangi Kamelia )
Pemuda 2: “ Lha…daripada nganggur mendingan jalan sama kangmas Jaduk dan mas Sugina ”
( mengerdipkan mata )
Pemuda 1: “ Duk, hati-hati kowe ngerayu,inikan adeknya Samsul to ? Anak kampung Melayu. ”
Pemuda 2: “ O..begitu to ? Pantes kudengar dari jauh merdu buanget suaranya….kayak Siti Nurhaliza
he..he..he..tapi nggak papa to kalau aku colek sedikit badannya, mumpung nggak ada
Samsul. Ayo No…arep melu nyolek ora ?”
Kamelia : ( memukul tangan pemuda 2 tadi ) “ Jangan cobe-cobe nak pegang aku atau aku teriak ! ”
Pemuda 1: “He…he…he..mau berteriak katanya Duk, piye ? Tapi…sik tak colek sithik. ” ( mencolek
pipi ).
Kamelia : ( mulai gelisah & mengelak ) “ Tolong…tolong…! Tolong saye…! ”
Pemuda 2: “ Mau panggil sopo ? Saiki wis gelap, ndak ada yang denger. Percuma ha..ha..ha..ha.. ”
( tiba-tiba dari balik hutan Samsul datang dan melihat adeknya dipermainkan oleh dua
pemuda tadi, Samsul pun marah ).
157
Samsul : “ Hey awas kau ! lepaskan adekku atau kubuat mampus kau “ ( 2 pemuda tadi
melepaskan tangan Kamelia tapi Samsul tetap menghajar dua orang tadi, lalu tiba-tiba
datang Jarwo musuh Samsul ).
Jarwo : “ Ada apa ini ? ” ( dua pemuda tadi langsung menghampiri Jarwo dan mengadu ).
Pemuda 1: “ Itu kang Jarwo, Samsul memukul kita berdua padahal kami cuma mau nganter adeknya
kang. ”
Samsul : “ Bangsat !!! cakap ape kau ni ?! Sini kan ku buat patah batang leher kalian semue ! ”
Jarwo : “ Samsul !!! Aku tahu kau hebat tapi kamu jangan berani-berani lawan anak buah Jarwo !
Kalau kau memang bernyali, langkahi dulu mayatku. Aku juga masih ingat kekalahanmu
kemaren, apa kau lupa ?! ”
Samsul : “ Tak payah banyak cakap kau Jarwo, lawan aje aku ! Jangan salahkan aku bile kubuat
habis kau malam ni juge ! ” ( akhirnya terjadilah perkelahian sengit antara Jarwo dan
Samsul, Kamelia mencoba melerai mereka tapi percume ).
Kamelia : “ Abang, sudah bang berhenti !! Janganlah betengka bang…cukup…!! “ ( tak ada
yang menghiraukan Kamelia ).
Samsul : “ Kamelia cepat kau pergi dari tempat ni ! cepat..! “
Kamelia : “ Tapi bang… Kamelia tak mau tinggalkan abang…”
Samsul : “ Bodoh !!! Nak mampus ke kau disini ? cepat pergi ! Dengarkan cakap abang ! cepat !”
( Kamelia tidak mau pergi, hanya menepi ).
Kamelia : “ Tidak, Kamelia tak akan pergi bang ! ”
Samsul : “ Terserah kau lah bile kau nak pilih mampus disini ! ”
Jarwo : “ Tenang Samsul…adekmu tidak akan kubunuh, justru sebaliknya akan kujadikan istri
ketigaku. ”
Samsul : “ Diamkau !!! ” ( setelah lama berkelahi akhirnya Samsul menang juga melawan Jarwo
dan anak buahnya babak belur )
Jarwo : “ Awas kau nanti, ingat akan kubayar hutangku padamu.
Sekarang kau boleh menang, tapi aku akan bales ini !! Cuih ” ( Jarwo langsung lari ).
Kamelia : ( mendekati dan menuntun Samsul ) “ Abang…abang tak ape-ape ? Luke abang tampak
parah, marilah kite cepat balek kerumah aje ”.
Samsul : “ Kemane aje kau ! Untung ade abang cube bile tak ade, mampuslah kau Kamelia ! ”
Kamelia : “ Maafkan Kamelia bang, tak ade maksud Kamelia nak susahkan abang, apalagi nak buat
abang terok macam ni ”.
Samsul : “Ahh…sudahlah kite cakap dirumah aje ” ( Akhirnya mereka kembali pulang ke rumah ).
158
BAG. IV
Kamelia : “ Abang diracun kepicikan akal dan otak yang kotor ! Kamelia ni tak sedang betaruh asal
muasal tapi betaruh cinte bang…”
Samsul : ( ingin memukul Kamelia lalu diurungkan ) “ Tau ape kau soal cinte hah !!!!”.
Kamelia : ( masuk kedalam rumah sambil menangis )
Samsul : ( Lalu Samsul pun menyusul masuk tanpa rasa bersalah )
BAG. V
Kamelia menyalakan lentera diteras rumah, beberapa saat kemudian Dahlia dan Nurul datang.
Kamelia : “ Eh Nur, Dahlia, sudah tibe rupanye ”.
Dahlia : “ Marilah kite pergi, ustadz sudah menanti ”.
Nurul : “ Belum siap ke kau Kamelia ? ”.
Kamelia : “ Maafkan aku la… aku baru saje selesai menanak nasi. Jangan lah terburu-buru,
lagipun Hamidah belum datang ”
Nurul : “ Oh iye ye, kawan kite satu tu belum datang ”
Dahlia : “ Kite tunggu aje lah dulu ye ” ( Dahlia dan Nurul duduk di teras ).
Kamelia : “ Eiyy… ngape ni kalian duduk diluar, masuklah tak sopan orang orang tengok tamu
duduk diluar malam-malam macam ni, mari masuk ”
Dahlia : “ Ah tak ape ape, disini ajelah ”
Nurul : “ Oh ye Kamelie, kau punye banyak sulaman ke ? ”
Kamelia : “ Oh iye tentu, banyaklah aku punye ”
Nurul : “ Boleh ke kami nak tengok sebenta, mane tau ade yang aku suke… boleh lah juge
bile aku nak beli. Ye tak Dahlia ? ”
Dahlia : “ Iye, aku setujulah tu ”
Kamelia : “ Ah kalian ni bise aje, marilah masuk ke dalam, biar kukasih tunjuk ” ( Mereka
bertiga masuk kedalam lalu Samsul berselisih sebentar keluar sambil membawa ayam )
Samsul : “ Eh ade tamu kirenye, marilah masuk ” ( diteras Samsul menaruh ayam itu dalam
kurunannya, sesaat kemudian Hamidah datang membawa rantang sambil tersenyum
malu ).
Hamidah : “ Eh…. Ade abang, kebetulan deh abang disini, aye mau ”
Samsul : “ Owwwh… Midah, abang kire gadis manelah tadi, mari masuk, Kamelia dan
kawan-kawan Midah sudah tunggukan Midah, "
Hamidah : “ Iye bang… bentar. Aye kesini sekalian mau ngasih ini bang…. ( memberi
rantangannya ) sayur jengkol kesukaan abang he… he….“
Samsul : “ Betulkah ??? Terime kasih banyak ye Midah, tapi tak payah lah kerap betul beri
abang semur jengkol, nanti abang bise minte terus, payahlah Midah jadinye ”
Hamidah : “ Ah… abang bise aje, kagak ape-ape bang aye ikhlas kok. ”
Samsul : “ Kau pandai betulah memasak, jaranglah ade gadis macam kau ni “
Hamidah : “ Duh… abang jangan bikin jantung aye berdebar-debar, ayekan kagak enak hati
bang ” ( menyenggol Samsul )
Samsul : “ Eh abang ni sungguh-sungguh ”.
Hamidah : “ Ah abang bise aje, aye pan malu bang… ” ( menyenggol lagi ).
Samsul : “ Malu macam mane ni ? kau ni bile, malu tambah eloklah wajah kau tu ”
Hamidah : “ Ih… abang,, ( mencubit Samsul ) genit deh ! ngapa kagak dari dulu abang ngomong
kayak gini… jadi pan kagak ade penyesalan diantara kite berdue bang ”.
160
Samsul : “ Kenape pulelah harus menyesal, bekenalan dengan orang sebaik Midah ni “
Samsul : “ Hamidah abang nak…… ”
Hamidah : “ Iye… bang… ” ( geer ).
Samsul : “ Hamidah………? “
Hamidah : “ Iye bang……… ”
Samsul : “ Midah…….? ”
Hamidah : “ Kenape bang…………..? ”
Samsul : ( berbisik ) “ Kawanmu dah diluar………. ”
Kamelia : “ Ehmm….. hmm ( mengagetkan Midah ). Eh Midah sudah datang rupanye “
( sambil tertawa kecil ).
Dahlia : “ Kite ni dah lame nanti, kite sangke Midah tak ngaji… tapi taunye…? ” ( ha….ha….
).
Hamidah : “ Eh kalian udah disini ya….. ”
Kamelia : “ Bawe ape kau tu Midah ? ”
Hamidah : “ Oh…… ini sayur jengkol buat abang elu, katanya pan kemarin habis sakit, banyak
luka-lukanya, jadi ya aye pikir mendingan aye nengok sekalian gitu. Tapi bener deh….
Kagak ade ape-ape sama kite berdue, ye bang ye….. bener deh……. ”
Nurul : “ Ade juge, tak ape-ape lah Midah, iye tak Kamelia ? ”
Kamelia : “ Iye betullah tu ”
Samsul : “ Cakap ape kalian ni ? Sudahlah abang nak masuk dulu, hati-hati ye di jalan ”
Kamelia, Midah, Nurul dan Dahlia : “ Iye bang ” ( Samsulpun masuk kedalam ).
Hamidah : “ Eh……. Kamelia…. Gimane kemarin, jadi kagak ketemuan ame Satria…. Ups
( Kamelia mendekap mulut Hamidah ) kenape…… ? “
Kameia : “ Jangan keras-keras, nanti dengaran oleh abang aku, meradanglah die ”
Hamidah : “ Ye….. emang ngapa sih abang lu pake marah segale ? ”
Nurul : “ Taulah aku, pasti kau dilarang pacaran ye ? ”
Kamelia : “ Ssst…. Diam ! diam….. ! iye betul, tapi tak itu aje, yang lebih parah lagi aku tak
jumpe dengan Satria, yang ade cume ketahuan bahwa aku ni punye pacar orang Jawe ”.
Dahlia : “ Owwh macam tu masalahnye, tapi ade ape dengan Satria, kenape die tak datang ? ”
Kamelia : “ Itu die masalahnye ( menunduk )…. Die…. Ah tak taulah aku, kenape die tak tepati
janji, mungkin…. Die dah lupe dengan aku atau ade cinte lain dihatinye, aku tak tau lah
! Tapi sampai kapanpun aku nak nantikan die ”
Nurul : “ Memang payah punye pacar prajurit perang, iye betulah kite tau die beperang
membele rakyat, tapi di tengah kampung yang sepi itu, mungkin aje die rase kesepian,
lalu cari gadis dese lah die disane, iye tak ? ”
Kamelia : “ Janganlah kau takuti aku macam tu ”
Dahlia : “ Betullah cakap Nurul tu, die tak punye maksud nak takutkan engkau, cume saje die
beri gambaran kenyataan, kehidupan orang di medan perang tu kejam. Kadang mereke
rase lapar, sakit dan letih, hingge mereke pun tak bise bepikir jernih lagi, yang penting
bagi mereke tu… bagaimane buat mereke bahagai dir mereke sorang dan melepas rase
tegang yang ade, tentulah kau tau sendiri gimane lelaki buat bahagia dirinya ”
Hamidah : “ Maksud elu, cari cewek gituan ? ”
Dahlia : “ Iye bukannye saat-saat tu, cume wanitelah yang bise buat mereke rase bahagia,
apalagi kalau gratis…… hee….. he….. ”
161
Kamelia : “ Dahlia janganlah cakap macam tu, Satria tak mungkin buat laku macam yang kau
cakap ”
Nurul : “ Terserah kaulah Kamelia nak pecaya atau tak. Tapi kau tau kan, gimana dulu aku
dikhianati oleh prajurit perang brengsek tu ”
Hamidah : “ Ha…….. ha…… ”
Nurul : “ Hey kenape kau ni ketawe ?! ”
Hamidah : “ Pacarmu dulu tu bukan ngkhianatin elu, tapi emang kagak naksir elu, lagian pan
dulu elu yang ngejar-ngejar die. Lupa apa ye…..? ( dipukul Nurul ) au… pakai acara
ngasih semur jengkol lagi …. he… he…”
Nurul : “ Iye tapi kau kini juge macam itu kan ? ”
Kamelia : “ Sudah ! sudah ! kalau macam ni terus, kapanlah kite jadi pergi, marilah tak payah
dibahas lagi ” ( mereka pun akhirnya pergi ).
BAG. VI
162
Kamelia : ( Kamelia semakin gugup dan mundur perlahan ) “ Bajingan kau !!! pergi kau
jangan dekat dengan aku !! ” ( melemparkan kayu ke badan Jarwo namun Jarwo
semakin mendekat )
Jarwo : “ Ayo manis jangan takut, abangmu sudah tidak ada, percuma kau berteriak
wargapun tak akan datang menolongmu Kamelia ”
Pasukan Jarwo: “ Kang Jarwo….. kami boleh ikut ngga !? iya nih… udah nggak tahan ! lumayan
barang bagus, bagi kang yo…. !? ”
Jarwo : ( setelah menengok kanan kiri dan memastikan semua aman, Jarwo
menganggukkan kepala dan yang lain ikut masuk kedalam ) “ Tapi jangan ribut….! ”
Malang nasib Kamelia, dia diperkosa oleh Jarwo dan pasukannya, dari dalam rumahnya
itu hanya terdengar teriakan berontak dan jerit tangis diiringi tawa puas birahi lelaki.
Setelah puas, mereka keluar rumah dengan menyeret Kamelia keluar yang hanya
berbalut selimut. Lalu tak cukup itu, merekapun juga memporak porandakan rumah Kamelia dan pergi
menyisakan amarah dan dendam. Tinggalah Kamelia meratapi nasib yang akan mengubah seluruh
hidupnya.
BAG. VII
164
Di taman tepi hutan yang rindang diperbatasan kampung datanglah seorang pemuda di
remang purnama dengan balutan perban di tangankirinya dan sedikit memar di kepala, pemuda itu
memanggil-manggil Kamelia.
Satria : “ Kamelia…. Kamelia dimana kau, Kamelia aku sudah datang Kamelia…. ”
Kamelia : ( dari balik pohon Kamelia keluar dengan pakaian elok dan bunga dikepalanya )
“ Satria…. Satria…. ”
Satria : “ Kamelia kau cantik sekali, sudah lama wajah ini aku rindukan apa kabarmu
adinda ? ” ( menggenggam tangan Kamelia )
Kamelia : “ Kanda tengok sendiri kan ? Kamelia bahagia sangat, air terjun pun tak bise
gantikan keindahan hati ni, kanda sendiri ape kabar ? Ape ni kanda ?? luke… ?? Kanda
terluke ?? ” ( meraba luke di tangan dan kepala Satria )
Satria : “ Ya…gara-gara luka inilah, aku tidak bisa menepati janjiku dulu padamu.
Maafkan aku Kamelia, sudikah kiranya kau memberikan maaf untukku ? ” ( sambil
mengajak Kamelia duduk di bangku ).
Kamelia : “ Jangankan maaf, semue akan kuberi. Andaipun kanda tak datang dan
khianatkan Kamelia, tapi Kamelia kan selalu nantikan kanda disini. Bak syair pujangge.
Ibarat bunge dahlia tak akan layu bile disiram cinte ”.
Satria : “ Terima kasih kau baik sekali, dinda tau ketika kanda berangkat pulang kesini,
Belanda menyerbu camp kami, banyak yang meninggal dan terluka, sehingga tak
mungkin untuk……. ”
Kamelia : “ Ssstt…. Sudahlah yang kanda selamat. Senang sangatlah hati Kamelia, kanda
berade disamping Kamelia, rasenye macam mimpi ” ( Kamelia lalu bernyanyi )
Satria : “ Kamelia… aku bawakan sesuatu untukmu….. lihatlah gelang ini sengaja aku
beli dari pedagang gujarat. Pakailah kau pasti cocok. “
Kamelia : “ Indah sangatlah kanda… ( melamun ) hanye sayangnye…….. “
Satria : “ Sayang….. ? apa maksud adinda ? ”
Kamelia : “ Ah tak ape ape. Seandainye kanda datang menepati janji pasti Kamelia tak
akan sendiri ”
Satria : “ Kanda tidak mengerti apa maksud Kamelia ? ”
Kamelia : “ Ah sudahlah kanda tak payah dipikirkan, Kamelia tak sungguh-sungguh.
( sesaat melamun lalu melihat purnama ) :Kanda sekarang waktunye Kamelia harus
pulang, purname sudah tinggi ”
Satria : “ Kenapa tergesa-gesa adinda ? ”
Kamelia : “ Kamelia harus balek, abang Samsul pastilah marah bile die tau kite disini.
Kamelia permisi ye kanda…. Maaf Kamelia tak bise lagi temani kanda, tapi Kamelia
senang akhirnya kanda penuhi janji. Assalamualaikum ” ( Kamelia lalu pergi di balik
hutan meninggalkan rasa heran pada Satria )
Satria : “ Kamelia… Kamelia… ( melamun lalu duduk ) mengapa begitu cepat dia
pergi ? ah…. Mungkin dia takut pada abangnya ”.
Beberapa saat kemudian tanpa sengaja seorang pemuda lewat yang juga teman lama
Satria kemudian berhenti menyapanya.
Bejo : “ Satria !! kowe wis balik toh, wah curang kowe ora aweh kabar ndisik nek wis
bali. ”
Satria : “ Bejo…. Bejo kamu masih kayak dulu! ”
165
BIODATA PENULIS