Professional Documents
Culture Documents
Badan intelijen. Institusi yang terkesan angker ini, menilik buku Inside Indonesia’s
Intelligence Service, cikal-bakalnya ada di masa pendudukan Jepang, tahun 1943.
Pada masa itu Jepang mendirikan versi lokal lembaga intelijen yang terkenal dengan sebutan
Sekolah Intelijen Militer Nakano. Mantan tentara Pembela Tanah Air (Peta), Zulkifli Lubis
merupakan lulusan sekaligus Komandan Intelijen pertama kaum republikan.
Di awal tahun 1952, Kepala Staf Angkatan Perang, T.B. Simatupang menurunkan
lembaga intelijen menjadi Badan Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP). Tahun itu Wakil
Presiden Mohammad Hatta dan Menhan Sri Sultan Hamengku Buwono IX menerima
tawaran Central Intelligence Agency Amerika Serikat (CIA) untuk melatih calon-calon intel
profesional Indonesia di Pulau Saipan, Filipina.
Akibat persaingan di tubuh militer, sepanjang tahun 1952-1958, seluruh angkatan dan
Kepolisian memiliki badan intelijen sendiri-sendiri tanpa koordinasi nasional. Maka 5
Desember 1958 Presiden Soekarno membentuk Badan Koordinasi Intelijen (BKI) dengan
Kolonel Laut Pirngadi sebagai kepala.
Selanjutnya, 10 November 1959, BKI menjadi Badan Pusat Intelijen (BPI) yang
bermarkas di Jalan Madiun. Di era tahun 1960-an hingga akhir masa Orde Lama, pengaruh
Soebandrio pada BPI sangat kuat diikuti perang ideologi Komunis dannon-Komunis di tubuh
militer, termasuk intelijen.
1
Intel Orde Baru
Kurang dari setahun, 22 Mei 1967 Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres)
untuk mendesain KIN menjadi Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Mayjen. Soedirgo
merupakan Kepala Bakin pertama. Pada masa Mayjen. Sutopo Juwono, Bakin memiliki
Deputi II di bawah Kolonel Nicklany Soedardjo, perwira Polisi Militer (POM) lulusan Fort
Gordon, AS. Sebenarnya di awal 1965 Nicklany menciptakan unit intel PM, yaitu Detasemen
Pelaksana Intelijen (Den Pintel) POM. Secara resmi, Den Pintel POM menjadi Satuan
Khusus Intelijen (Satsus Intel), lalu tahun 1976 menjadi Satuan Pelaksana (Satlak) Bakin dan
di era 1980-an kelak menjadi Unit Pelaksana (UP) 01. Mulai tahun 1970 terjadi reorganisasi
Bakin dengan tambahan Deputi III pos Opsus di bawah Brigjen. Ali Moertopo.
Sebagai inner circle Soeharto, Opsus dipandang paling prestisius di Bakin, mulai dari
urusan domestik Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Irian Barat dan kelahiran mesin politik
Golongan Karya (Golkar) sampai masalah Indocina. Tahun 1983, sebagai mantan Kepala
BAKIN, L.B. Moerdani memperluas kegiatan intelijen menjadi Badan Intelijen Strategis
(Bais). Selanjutnya Bakin tinggal menjadi sebuah direktorat kontra-subversi dari Orde Baru.
Setelah mencopot L.B. Moerdani sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam),
tahun 1993 Soeharto mengurangi mandat Bais dan mengganti nama menjadi Badan Intelijen
ABRI (BIA). Tahun 2000 Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengubah seluruh aparat
intelijen di bawah Lembaga Intelijen Negara (LIN) di bawah Menhan. Lalu Januari 2001,
Gus Dur secara resmi mengubah Bakin menjadi Badan Intelijen Negara (BIN) sampai
sekarang.
WenaldyAndarisma - HI UNIKOM
Kepala
Wakil Kepala
Sekretariat Utama
Inspektorat Utama
Visi
Mendukung Demokrasi
Supremasi Hukum
Penghormatan HAM
Transparansi *)
Akuntabilitas *)
Efektifitas
Non-Partisan
3
*) sesuai ketentuan UU
Misi
Tujuan
BIN mempunyai tujuan melaksanakan tugas pemerintahan di bidang intelijen sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Program
Contoh Kasus
Kasus yang saat ini sedang menghangat yang berkaitan dengan BIN ialah kasus
pembunuhan aktivis HAM, Munir. Banyak pihak yang menduga bahwa BIN ikut terkait
dalam kasus Munir, dalam kata lain ialah konspirasi.
Badan Intelijen Negara (BIN) selama ini dinilai tidak terbuka terkait dugaan
keterlibatan institusi itu dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Sehingga, sikap
ketertutupan itu semakin memperbesar kecurigaan dan untuk menghindari hal itu BIN
seharusnya memberikan keterangan secara resmi. Pengamat intelijen, Wawan H Purwanto,
mengemukakan hal itu dalam seminar nasional "Urgensi Kebenaran Material Dalam Perkara
Pidana" di Jakarta, Sabtu. "Selama ini BIN belum terbuka. BIN secara resmi memang harus
memberikan klarifikasinya," katanya.
Keterbukaan BIN tersebut, kata Wawan, sangat penting agar kasus pembunuhan
Munir tidak semakin jauh dari ranah hukum.Wawan menilai, saat ini isu kasus pembunuhan
Munir sudah bercampur-baur dengan masalah politik. "Intervensi bidang lain hanya akan
mengaburkan substansi hukum sehingga pelaku sebenarnya tidak terungkap," katanya.
"Selama ini BIN belum terbuka. BIN secara resmi memang harus memberikan
klarifikasinya," katanya. Keterbukaan BIN tersebut, kata Wawan, sangat penting agar kasus
pembunuhan Munir tidak semakin jauh dari ranah hukum. Wawan menilai, saat ini isu kasus
pembunuhan Munir sudah bercampur-baur dengan masalah politik. "Intervensi bidang lain
hanya akan mengaburkan substansi hukum sehingga pelaku sebenarnya tidak terungkap,"
katanya. Untuk itu Wawan mengajak semua pihak agar membantu proses persidangan
Peninjauan Kembali (PK) kasus pembunuhan Munir dengan terdakwa Pollycarpus. "Kalau
materinya nanti ke mana-mana maka akan membingungkan PK itu sendiri, yaitu siapa yang
memasukkan racun untuk membunuh Munir. Jangan sampai majelis hakim dibuat bingung
dengan intervensi orang luar," ujarnya. Wawan mencontohkan berbagai kasus pembunuhan
yang hingga kini tidak terungkap berkaitan dengan intelijen negara karena intervensi politis,
seperti pembunuhan Presiden AS John F Kennedy, Presiden Mesir Anwar Sadat serta
pembunuhan politisi Filipina Benigno Aquino.
5
Menurut Wawan, kasus Munir bisa bernasib sama dengan kasus di negara-negara lain
kalau isu politis dibiarkan berkembang. "Mari kita jaga agar kasus Munir ini murni kasus
hukum," katanya. Wawan mengatakan bahwa pihaknya melihat indikasi politisasi kasus
Munir terlihat dari opini yang berkembang di masyarakat. "Opini masyarakat yang
mengkristal jangan dijadikan sebagai bentuk kebenaran materil karena hal itu lagi-lagi akan
membuat substansi hukum menjadi kabur," tuturnya. Pada bagian lain Wawan juga meminta
polisi dan jaksa untuk bekerja keras, karena apa yang disodorkan dalam proses persidangan
masih sekadar petunjuk dan belum masuk kategori bukti baru atau novum. "Novum harus
bukti yang menentukan," tegasnya. Sementara, mantan Deputi VII bidang Informasi dan
Teknologi BIN, Bijah Soebijanto, menyatakan kesiapannya memberikan keterangan pada
persidangan kasus pembunuhan Munir dengan terdakwa Indra Setiawan dan Rohainil Aini.
"Saya akan katakan apa adanya, tidak kenal Pollycarpus, dan Pollycarpus bukan anggota
BIN. Saya 'kan di BIN, pasti tahu kalau dia orang BIN atau bukan," tegasnya menampik
sinyalemen yang menyebutkan bahwa Pollycarpus anggota BIN.
"Saya tidak kenal Polly. Tapi, saya menghormati dia (Suciwati--Red), karena dia
sedang mencari kebenaran dan keadilan," ujar Bijah. Ia juga mengaku pernah bertemu
Suciwati dua kali. Kedatangan Suciwati sendiri ingin mengklarifikasi dan mencari kebenaran,
serta keadilan atas kematian Munir, yang diduga melibatkan BIN dan Pollycarpus.
BIN merupakan tameng pertama dalam mendeteksi berbagai ancaman yang dapat
membahayakan keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Walaupun
begitu, hendaknya bukan di tangan BIN saja keutuhan negara bergantung tetapi peran seluruh
rakyat Indonesialah yang lebih penting dan essensial. Bersatunya seluruh elemen rakyat
WenaldyAndarisma - HI UNIKOM
Indonesia dijamin akan menguatkan keutuhan negara kita yang tercinta ini. Tanpa adanya
perpecahan, bisikan-bisikan mengenai pemisahan dan separatisme terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan mudah ditepis. Ditambah dengan semangat jiwa patriotisme yang
kuat, Rakyat Indonesia tak akan segan rela menumpahkan darahnya demi membela negara.
Persatuan tersebut sangat jelas tercermin dan merupakan penghayatan nilai dan norma dari
sila ke-3, yaitu “Persatuan Indonesia”.