Professional Documents
Culture Documents
Chapter II T
Chapter II T
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KESEHATAN MENTAL
dimana seseorang tersebut tinggal. Apa yang boleh dilakukan dalam suatu budaya
tertentu, bisa saja menjadi hal yang aneh dan tidak normal dalam budaya lain, dan
demikian pula sebaliknya (Sias, 2006). Menurut Pieper dan Uden (2006),
dalam mendefenisikan kesehatan mental (mental hygene) yaitu: (1) karena tidak
mengalami gangguan mental, (2) tidak jatuh sakit akibat stessor, (3) sesuai dengan
kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya, dan (4) tumbuh dan berkembang
secara positif.
Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang tahan terhadap sakit jiwa
atau terbebas dari sakit dan gangguan jiwa. Vaillaint (dalam Notosoedirjo &
Latipun, 2005), mengatakan bahwa kesehatan mental atau psikologis itu “as the
25
Universitas Sumatera Utara
26
dikemukakan oleh Kazdin yang menyatakan kesehatan mental ”as a state in which
sosial spheres”.
Pengertian ini bersifat dikotomis, bahwa orang berada dalam keadaan sakit
atau sehat psikisnya. Sehat jika tidak terdapat sedikitpun gangguan psikisnya, dan
jika ada gangguan psikis maka diklasifikasikan sebagai orang sakit. Dengan kata
lain sehat dan sakit itu mental itu bersifat nominal ytang dapat dibedakan
berarti jika ada gangguan sekialipun sedikit adanya, seseorang itu diangganb tidak
sehat.
mentalnya adalah orang yang dapat menahan diri untuk tidak jatuh sakit akibat
stressor (sumber stres). Seseorang yang tidak sakit meskipun mengalami tekanan-
tekanan maka menurut pengertian ini adalah orang yang sehat. Pengertian ini
lingkungannya
memandang bahwa individu yang sehat mentalnya jika terbebas dari gejala
psikiatris dan individu itu berfungsi secara optimal dalam lingkungan sosialnya.
Pengertian ini terdapat aspek individu dan aspek lingkungan. Seseorang yang
26
Universitas Sumatera Utara
27
sehat mental itu jika sesuai dengan kapasitasnya diri sendiri, dan hidup tepat yang
orang yang terus menerus tumbuh, berkembang dan matang dalam hidupnya,
kebutuhan pribadi.
27
Universitas Sumatera Utara
28
secara fisik, intelektual dan emosional, sepanjang hal itu sesuai dengan keadaan
orang lain. (2) Sebuah masyarakat yang baik adalah masyarakat yang
yang sama menjamin dirinya berkembang dan toleran terhadap masyarakat yang
lain. Dalam konteks Federasi Kesehatan Mental Dunia ini jelas bahwa kesehatan
mental itu tidak cukup dalam pandangan individual belaka tetapi sekaligus
suatu hal yang mudah dilakukan. Untuk membantu memahami makna kesehatan
mental, terdapat prinsip-prinsip yang dapat dijadikan sebagai pegangan bagi kita.
cukup kalau dikatakan sebagai orang yang tidak megalami abnormalitas atau
Prinsip ini menegaskan bahwa kesehatan mental menjadi tujuan yang amat
tinggi bagi seseorang. Apalagi disadari bahwa kesehatan mental itu bersifat
kontinum. Jadi sedapat mungkin orang mendapatkan kondisi sehat yang paling
optimal dan berusaha terus untuk mencapai kondisi sehat yang setingi-tingginya.
28
Universitas Sumatera Utara
29
kesehatan mentalnya.
kondisi yang sehat secara psikologis itu dengan istilah self actualization sekaligus
29
Universitas Sumatera Utara
30
sebagai berikut:
yang mencakup (a) Memiliki harga diri yang memadai dan merasa ada nilai
yang sebanding antara keadaan diri yang sebenarnya (potensi diri) dengan
prestasinya, (b) Memiliki perasaan berguna akan diri sendiri, yaitu perasaan
yang secara moral masuk akal, dan tidak diganggu oleh rasa bersalah yang
berlebihan, dan mampu mengenal beberapa hal yang secara sosial dan
personal tidak dapat diterima oleh kehendak umum yang selalu ada sepanjang
kehidupan di masyarakat.
yang memadai dengan orang lain), hal ini ditandai oleh kemampuan
dan tertawa. Ketika seseorang tidak senang pada suatu saat, maka dia harus
4. Efficient contact with reality (mempunyai kontak yang efesien dengan realitas)
kontak ini sedikitnya mencakup tiga aspek yaitu dunia fisik, sosial, dan diri
sendiri dan internal. Hal ini ditandai (a) Tiadanya fantasi (khayalan dan angan-
30
Universitas Sumatera Utara
31
angan) yang berlebihan, (b) Mempunyai pandangan yang realistis dan luas
sehari-hari, misalnya sakit dan kegagalan, dan (c) Kemampuan untuk merubah
(dirubah) dan dapat bekerjasama tanpa merasa tertekan (cooperation with the
inevitable)
ditandai dengan (a) Suatu sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani, dalam arti
menerima fungsi jasmani tetapi bukan dikuasai oleh fungsi jasmani tersebut,
dalam kehidupan seperti makan, tidur, dan pulih kembali dari kelelahan, (c)
memuaskannya tanpa rasa takut dan konflik, (d) Kemampuan bekerja, (e)
aktivitas.
(b) Penilaian yang realistis terhadap diri sendiri baik kelebihan maupun
kekurangan, (c)Mampu menilai diri secara jujur (jujur pada diri sendiri),
mampu untuk menerima diri sendiri apa adanya, dan mengakui serta
31
Universitas Sumatera Utara
32
Memiliki prinsip moral dan kata hati yang tidak terlalu berbeda dengan
kepribadiannya.
8. Adequate of life goal (memiliki tujuan hidup yang wajar). Hal ini berarti (a)
Memiliki tujuan hidup yang sesuai dengan dirinya sendiri dan dapat dicapai,
(b) Mempunyai usaha yang tekun dalam mencapai tujuan tersebut, dan (c)
dan mampu menyesuaikan diri dengan anggota kelompok yang lain tanpa
harus kehilangan identitas pribadi dan diri sendiri, (b) Dapat menerima norma-
32
Universitas Sumatera Utara
33
dan hasrat diri sendiri yang dilarang oleh kelompoknya, (d) Mau berusaha
persahabatan, rasa tanggung jawab, dan kesetiaan, serta (e) Berminat untuk
yang memadai dari kelompok atau budaya). Hal ini mencakup: (a)
Kemampuan untuk menilai sesuatu itu baik dan yang lain adalah buruk
kebiasaan dan budaya serta kelompok, (b) Dalam beberapa hal bergantung
pada pandangan kelompok, (c) Tidak ada kebutuhan yang berlebihan untuk
sepenuhnya) sebagi bentuk kondisi mental yang sehat (Pieper & Uden, 2006).
yang sehat dengan maturity personality. Dikatakan bahwa untuk mencapai kondisi
yang matang itu melalui proses hidup yang disebutnya dengan proses becoming.
Orang yang matang jika: (1) Memiliki kepekaan pada diri secara luas, (2) Hangat
dalam berhubungan dengan orang lain, (3) Keamanan emosional atau penerimaan
33
Universitas Sumatera Utara
34
diri, (4) Persepsi yang realistik, keterampilan dan pekerjaan, (5) Mampu menilai
diri secara objektif dan memahami humor, dan (6) Menyatunya filosofi hidup.
(1) Bahagia (happiness) dan terhindar dari ketidakbahagiaan, (2) Efisien dalam
kecemasan, (4) Kurang dari rasa berdosa (rasa berdosa merupakan refleks dari
otonomi dan harga diri, (8) Mampu membangun hubungan emosional dengan
belas prinsip yang harus diperhatikan dalam memahami kesehatan mental. Prinsip
ini berguna dalam upaya pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mental serta
sebagai berikut:
manusai harus sesuai dengan sifat manusia sebagai pribadi yang bermoral,
34
Universitas Sumatera Utara
35
peneeimaan diri dan usaha yang realistik terhadap status atau harga dirinya
sendiri.
kepribadian.
35
Universitas Sumatera Utara
36
dan perilaku.
efektif dan secara sehat terhadap konflik mental dan kegagalan dan
meliputi:
36
Universitas Sumatera Utara
37
e. Biologis
Para ahli telah banyak melakukan studi tentang hubungan antara dimensi
sangat besar bagi kesehatan mental. Karena itu, kesehatan manusia, khususnya
disini adalah kesehatan mental, tentunya tidak terlepaskan dari dimensi biologs
ini.
mental, diantaranya: otak, sistem endokrin, genetik, sensori, kondisi ibu selama
kehamilain.
1. Otak
keunikan yang ada pada manusia pada dasarnya tidak dapat dilepaskan
dari otak manusia. Keunikan manusia terjadi justru karena keunikan otak
37
Universitas Sumatera Utara
38
2. Sistem endokrin
3. Genetik
38
Universitas Sumatera Utara
39
karena tidak normal dalam hal jumlah dan struktur kromosom. Jumlah
4. Sensori
f. Psikologis
merupakan satu kesatuan dengan dengan sistem biologis. Sebagai subsistem dari
39
Universitas Sumatera Utara
40
aspek kemanusiaan. Karena itulah aspek psikis tidak dapat dipisahkan dari aspek
1. Pengalaman Awal
yang terjadi pada individu terutama yang terjadi pada masa lalunya.
2. Proses Pembelajaran
3. Kebutuhan
individu.
40
Universitas Sumatera Utara
41
g. Sosial Budaya
sehingga membentuk kesehatan mental yang positif, tetapi pada aspek lain
kehidupan sosial itu dapat pulan menjadi stressor yang dapat mengganggu
1. Stratifikasi sosial
kelamin, usia, tingkat pendidikan dan status sosial. Stratifikasi sosial ini
gangguan mental.
2. Interaksi sosial
regresi sebagai akibat dari adanya sakit mental. Kedua adalah bahwa
mental.
41
Universitas Sumatera Utara
42
3. Keluarga
4. Perubahan sosial
penjarahan.
5. Sosial budaya
konteks ini budaya lebih dikhususkan pada aspek nilai, norma, dan
42
Universitas Sumatera Utara
43
yang sangat spesifik ada pada budaya tertentu, termasuk pula adanya
gangguan mentalnya.
sebagai masalah atau sesuatu yang tidak dikehendaki, dan karena itu
43
Universitas Sumatera Utara
44
masyarakatnya.
h. Lingkungan
manusia itu sendiri, dan sebaliknya kondisi lingkungan yang tidak sehat dapat
B. PERILAKU RELIGIUS
perilaku. Sias (2006) berpendapat bahwa perilaku religius adalah tingkatan sejauh
mana seseorang mengerjakan kewajiban ajaran agamanya yang dapat dilihat dari
44
Universitas Sumatera Utara
45
keagaman. Misalnya setiap hari minggu ke gereja, berdoa, sembayang, dan puasa.
yang merupakan ekspresi dari religiusitas dan keyakinan terhadap agama yang
a. Berdoa (Prayer)
Berdoa adalah esensi (inti) atau pusat dari perilaku religius, merupakan
pusat dari kehidupan beragama dan merupakan bukti kuat yang mengindikasikan
keyakinan terhadap Tuhan. Berdoa juga merupakan bukti kualitas hidup beragama
yang memasuki alam jiwa manusia yang paling dalam sehingga merupakan dasar
psikologis manusia. Tanpa adanya kegiatan berdoa, maka eksistensi agama tidak
akan pernah ada (Lowenthal, 2009). Heiler (dalam Lowenthal, 2009) mengatakan
bahwa berdoa aspek yang paling penting dalam perilaku religius dan paling
45
Universitas Sumatera Utara
46
ucapan syukur kepada Tuhan atau objek yang disembah. Doa juga merupakan
karakteristik dasar kehidupan yang religius yang merupakan pusat dari kehidupan
secara teratur dan terus menerus. Jansen, de Hart, dan den Draak (dalam
Paloutzian & Park, 2009) mengatakan bahwa doa adalah pelaksanaan kewajiban
agama yang dilakukan secara perorangan. Setiap orang memiliki cara tersendiri
dalam berdoa tergantung pada situasi dan tujuan dari berdoa tersebut. Magee
(dalam dalam Paloutzian & Park, 2009) mengatakan bahwa dalam berdoa terdiri
berdoa sangat membantu seseorang mengatasi masalah hidup dan badai hidupnya.
1. Bevioral Features
duduk, berlutut, atau bentuk lain dari gerakan yang digunakan dalam berdoa
seperti menari.
46
Universitas Sumatera Utara
47
2. Linguistic Features
prayer). Bahasa yang digunakan bisa saja diungkapkan denga suara yang keras,
3. Cognitive Features
4. Emotional Features
Berdoa pada dasarnya diiringi oleh perasaan kedekatan dengan Tuhan, dan
Menurut Loewenthal (2009) ada lima tipe berdoa, yakni sebagai berikut:
kepada Tuhan.
47
Universitas Sumatera Utara
48
Objective prayer: adalah tipe dari berdoa yang fokus pada penyembahan,
Subjective prayer: adalah tipe dari berdoa yang fokus pada penyerahan diri
dan memasrahkan diri pada kuasa Tuhan, berdoa yang fokus pada
Less mature form of prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang
prayer)
More mature form of prayer: adalah tipe dari berdoa dimana seseorang
berdoa untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menjalin hubungan yang
b. Ritual
adalah salah satu hal yang mendasar dalam kehidupan beragama seseorang.
akan ajaran agama. Ritual adalah secara fundamental merupakan pola perilaku,
dimana perilaku terstruktur yang dilakukan baik secara perorangan maupun secara
bersama-sama dengan orang lain, yang dilakukan secara berulang dan bertujuan.
Menurut Paloutzian dan Park (2009), pelaksanaan ritual agama berbeda antara
48
Universitas Sumatera Utara
49
agama yang satu dengan yang lainnya. Perilaku religius yang tercakup dalam
c. Praktik Religius
mencakup membaca kitab suci, ibadah dan berpuasa. Berikut ini akan dijelaskan
seseorang baik secara individu atau dalam suatu kelompok atau grup tertentu
c.3. Puasa
Puasa adalah salah satu jenis praktik religius, dimana individu yang
makan, minum, melakukan hubungan intim, dan dari perilaku duniawi lainnya
yang dilakukan dalam waktu temporal. Ketentuan dalam pelaksanaan puasa ini
49
Universitas Sumatera Utara
50
psikologis secara positif yaitu mereka dapat mengurangi stress dan kecemasan
mereka selain itu menurut Bergar seseorang yang melakukan praktik religius
dapat melihat makna dalam hidup mereka sehingga mereka dapat menilai
adalah identitas sosial dari seseorang dalam mendefinisikan dirinya sebagai umat
kerohanian.
50
Universitas Sumatera Utara
51
diri manusia sejak masa kanank-kanak melalui suatu proses dan dinamika.
perilaku religius manusia adalah didasari akan pemahaman diri dan Tuhan, Piaget
a. Kebudayaan
apapun serta kebiasaan yang diperoleh oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Argyle (2000) mengatakan bahwa ada bukti yang kuat bahwa kebudayaan dimana
dimana menguatkan apa yang diinginkan juga merupakan faktor budaya yang
51
Universitas Sumatera Utara
52
b. Pendidikan
c. Keluarga
tentang dunia termasuk agama. Di dalam keluarga pertama sekali seorang anak
akan mengenal dan mengerti keyakinan terhadap agama. Perilaku religius seorang
anak terbentuk dalam pola bagaimana orangtua mereka bersikap dan berperilaku
terhadap anak mereka dalam kaitannya dengan keyakinan agama yang mereka
anut.
Hubungan anak dan orangtua menjadi hal yang sangat penting bagi
terbentuknya perilaku religius anak. Ibu memiliki pengaruh yang lebih besar
d. Sosial Learning
tersebut dalam lingkungan kehidupan sosialnya. Meniru orang lain dalam tata cara
religius. Orangtua, nenek, tetangga, atau orang lain yang menunjukkan perilaku
52
Universitas Sumatera Utara
53
perilaku religiusnya.
terbentuk. Argyle (2000), mengatakan bahwa teman sebaya adalah sumber kedua
perilaku religius. Anak yang sering berhubungan dengan teman sebayanya yang
juga berperilaku religius, Argyle meyakini bahwa perilaku religius anak akan
oleh orang tua daripada teman sebaya. Namun demikian, teman sebaya tetap
sebaya adalah figur yang penting dalam bagaimana perilaku religius berkembang
keagamaan.
f. Kepribadian
g. gender
religius dalam beberapa hal. Brasher (dalam Argyle, 2000) berkesimpulan bahwa
53
Universitas Sumatera Utara
54
perempuan lebih banyak terlibat dalam aktivitas pelayanan agama daripada laki-
laki
kehidupan psikologis dan fisik manusia. Berikut ini akan dijelaskan beberapa
dengan kesehatan yang lebih baik. Religius dapat melindungi individu dari
umur yang lebih panjang dan tingkat mengalami penyakit yang lebih rendah.
individu menghindarinya dari pemikiran dan emosi negatif yang tentunya hal ini
seseorang untuk memilih gaya hidup sehat sehingga terhindar dari beragam
54
Universitas Sumatera Utara
55
berikut:
akibat dari pemikiran yang obsesif dan tindakan kompulsif manusia sehingga
perilaku religius memberikan efek yang positif terhadap kesehatan mental. Weltch
(dalam Nelson, 2009) mengatakan bahwa kesehatan mental juga merupakan akar
negatif, emosi yang negatif, dapat mengadapi stress, memiliki strategi pemecahan
masalah yang baik, dan merasakan kebahagiaan dalam hidup (Koenig, 2009).
kesehatan mental yang baik. Meyer meyakini bahwa perilaku religius individu
mengarahkannya untuk dapat mengambil makna dan tujuan hidup yang terarah.
melindunginya dari psychological distress, hal ini terjadi karena perilaku religius
55
Universitas Sumatera Utara
56
strategi pemecahan masalah yang baik dalam menangani masalah yang datang
Selain itu, perilaku religius individu membantu seseorang untuk dapat melihat
dirinya secara lebih positif, sehingga memiliki perasaan berharga, emosi yang
positif (matang secara emosi), harga diri yang tinggi dan terhindar dari rasa
bersalah dimana hal ini adalah merupakan sumber dari kesehatan mental yang
3. Perilaku (behavior)
tersebut untuk lebih peduli dengan orang lain daripada dirinya sendiri. Selain itu
perilaku religius juga memberikan efek terhadap perilaku prososial yakni tindakan
C. GAY
Menurut Carroll (2005), bahwa gay adalah laki-laki yang secara seksual
mendeskripsikaan orientasi seksual. Orientasi seksual (dalam hai ini gay) meliputi
56
Universitas Sumatera Utara
57
(1). Perilaku seksual, (2). fantasi seksual, (3). Ketertarikan secara emosional, (4).
Ketertarikan secara sosial, (5). Ketertarikan gaya hidup, (6). Ketertarikan secara
seksual, dan (7). Identifikasi diri. Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
gay adalah laki-laki yang secara seksual tertarik kepada laki-laki, perilaku seksual
diarahkan pada laki-laki, memiliki gaya hidup yang tertarik kepada sesama jenis,
PERILAKU RELIGIUS
Tingginya tekanan sosial yang diterima oleh kaum gay seperti distigma,
dipermalukan, dianiaya, dibantai bahkan dibunuh menjadi sumber stres bagi kaum
yang tinggi hal ini menyebabkan kaum gay rentan mengalami gangguan kesehatan
Masalah kesehatan mental yang sering dihadapi kaum gay adalah depresi,
diri yang rendah, tidak puas dengan dirinya sendiri, merasa bersalah yang
(panic attack), dan perasaan tidak berharga (Greene, 2003; Jorm, Korten,
57
Universitas Sumatera Utara
58
Rodgers, Jacomb, & Christensen, 2002; MacDonald, 2006; McNair, 2003; Meyer
mekanisme coping yang dilakukan oleh kaum gay untuk mengatasi masalah
(Arenofsky, 2000; Barker, 2001; Bei-hung, Skinner, Zhou, & Kazis, 2003;
oleh kaum gay memampukan mereka dalam mengatasi masalah psikologis mereka
trauma psikologis yang rendah, harga diri yang tinggi, kestabilan emosional,
kesehatan fisik yang lebih baik, memiliki level energi yang lebih tinggi, dan hidup
Efek perilaku religius terhadap kesehatan mental pada gay datang dari
pola-pola pemikiran dan perilaku yang jernih yang akan mengarahkan kaum gay
untuk memiliki orientasi dan jalan hidup yang jelas dan terarah (Ellison, 2006;
kesehatan mental kaum gay (Aggleton, Hurry, & Warwick, 2000). Sementara
58
Universitas Sumatera Utara
59
makna hidup, dan memiliki tujuan hidup yang terarah. Aspek-aspek inilah yang
esensi kehidupan dan kematangan diri dan pribadi serta mencapai aktualisasi diri
(self actualization) (Pieper & Uden, 2006). Maslow (dalam Notosoedirjo &
Latipun, 2005) mengatakan bahwa kematangan diri dan aktualisasi diri adalah
diklarifikasi oleh Bailey (2000) menjelaskan bahwa aktualisasi diri dapat dicapai
di dalam perilaku religius sehingga dapat menghasilkan perasaan yang aman yang
memadai akan diri sendiri, aman dalam keluarga, aman dalam lingkungan,
pekerjaan dan sosial, memiliki perasaan berguna, tidak diganggu oleh rasa
59
Universitas Sumatera Utara
60
yang kuat dengan orang lain, dan kehidupan seksual yang wajar sehingga dengan
demikian, perilalu religius dapat memperbaiki tingkat kesehatan mental pada gay.
kesehatan mental yang baik. Perilaku religius pada gay berhubungan dengan
tingkat depresi, rendahnya menderita gangguan psikiatrik, dan harga diri yang
hidup, merasa berharga, memiliki harga diri yang lebih tinggi, pengalaman emosi
yang positif, kecemasan yang lebih sedikit, dan terhindar dari ketakutan.
sejumlah kaum gay dan ditemukan bahwa 94% dari kaum gay tersebut yang
ritual agama memiliki pengalaman hidup yang lebih menyenangkan dan lebih
religius menjadikan kaum gay bebas dari tekanan, dan merasa bebas dalam
mengaktualisasikan dirinya akan tetapi tetap berserah kepada kuasa Ilahi, dan
Argyle (dalam Pieper & Uden, 2006) juga mengetengahkan bahwa efek
kesehatan mental mereka. Suatu studi yang dilakukan oleh Den Draak’s (1990)
60
Universitas Sumatera Utara
61
seksual sebagai gay memiliki kesehatan mental yang lebih baik karena memiliki
perilaku religius seperti menghadiri ibadah, berdoa, mengikuti ritual agama, dan
perilaku religius dan diukur kesehatan mentalnya ditemukan bahwa ada hubungan
yang signifikan bahwa perilaku religius memberikan dampak yang positif, seperti
penyakit yang diderita lebih rendah daripada yang tidak memiliki perilaku
lebih baik.
terhadap 850 orang kaum gay dan memberikan kesimpulan bahwa perilaku
religius berhubungan positif dengan kesehatan mental yakni, bahwa orang yang
yang positif, dan tingginya penalaran moral. Selain itu perilaku religius juga
berhubungan dengan dimensi lain dari kesehatan mental, dimana orang yang
61
Universitas Sumatera Utara
62
(2005) memperkuat hasil studi Chapple dan mengutarakan bahwa perilaku religius
berasosiasi dengan rendahnya tingkat depresi pada gay, level kecemasan yang
rendah, perasaan positif yang tinggi, dan rasa berharga serta tingkat harga diri
yang tinggi.
Kehidupan yang religius tercermin dari perilaku yang religius yang dapat
mempengaruhi keyakinan dan proses kognitif seseorang, sehingga kaum gay yang
penderitaan, dan masalah hidup mereka. Perilaku religius kaum gay menyiapkan
mereka untuk lebih menerima diri sendiri, memiliki ketahanan diri, resiliensi,
merasa damai dalam hidupnya, percaya diri, memiliki tujuan hidup, memiliki self
image yang positif, dan memaafkan diri sendiri ketika mengalami kegagalan
(Almeida, 2006).
berpengaruh pada bagaiman kaum gay menilai dirinya seperti merasa dirinya
berharga, menilai diri secara positif, mau menerima kekurangan dan kegagalnya
62
Universitas Sumatera Utara
63
dalam hidup. Fredrickson meyakini bahwa hal ini merupakan akar atau modal
disorder), depresi, gangguan mood (mood disorder), dan stress (Sias 2006).
Bahkan perilaku religius individu diyakini oleh Dein (2006) sebagai coping untuk
Mekanisme lain yang dilakukan oleh kaum gay dalam mengatasi masalah
psychological distress yang mereka alami adalah dengan menghindari diri untuk
melakukan ajaran agama, ritual agama, berdoa, beribadah dan segala hal yang
bersalah dan bebas dari aturan-aturan agama yang mengikat sehingga mereka
Ellison (2008) bahwa menjauhkan diri dari kehidupan beragama merupakan faktor
risiko mengalami gangguan mental. Koenig (2009), juga berpendapat yang sama
bahwa orang yang nonreligius adalah salah satu faktor risiko untuk memiliki
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Argyle pada tahun 2000
tidak berperilaku religius seperti kehadiran ke gereja yang rendah dan frekwensi
63
Universitas Sumatera Utara
64
berdoa yang jarang mengalami tingkat kesehatan mental yang rendah, sementara
mental, dimana orang yang kehadiran dan frekwensi melakukan ibadah dan
berdoa yang lebih tinggi memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih tinggi pula
(Argyle, 2000).
memiliki pemikiran yang negatif terhadap diri sendiri, orang lain, dan
mengalami affect yang negatif, kondisi emosional yang negatif, penilaian diri
yang kurang realistik dan kondisi mood yang negatif. Pendapat lain
mengetengahkan hal yang serupa bahwa individu yang tidak berperilaku religius
sehingga mereka cenderung merasa tidak bahagia dalam hidupnya, merasa rendah
dan kaku dengan diri sendiri. Intinya bahwa orang yang tidak berperilaku religius
64
Universitas Sumatera Utara
65
yang rendah (Jorm, Korten, Rodgers, Jacomb, & Christensen, 2002; MacDonald,
2008).
Gay
65
Universitas Sumatera Utara
66
COPING MECHANISM
E. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dan yang akan
Ho: tidak ada perbedaan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius
Ha: ada perbedaan kesehatan mental pada gay ditinjau dari perilaku religius
66
Universitas Sumatera Utara