You are on page 1of 79

TUBERCULOSIS PARU

I. Konsep Medis
A. Pengertian
Tuberculosis Paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-
paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat juga
menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodul
limfe.
B. Etiologi
Penyakit TBC adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteriMicobacterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan jenis kuman
berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm.
sebagian besar komponen Mycobacterium tuberculosis adalah berupa
lemak/lipid sehingga kuman mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan
terhadap zat kimia dan factor fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob
yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, Microbacterium
tuberculosis ini senang tinggal di daerah apeks paru-paru yang kandungan
oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk
penyakit tuberculosis.
Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret
1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama baksil
Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru-paru kadang disebut sebagai Koch
Pulmonum (KP).
C. Patofisiologi
Individu rentan menghirup basil tubercolusis dan menjadi terinfeksi.
Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil Micobacterium tuberculosis.
Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu berkembang biak dan
terlihat bertumpuk. Perkembangan bakteri ini juga dapat menjangkau sampai
ke daerah lain dari paru-paru (lobus atas). Basil juga menyebar melalui sistem
limfe dan aliran darah ke bagian tubut lain (ginjal, tulang dan korteks serebri)
dan area lain dari paru-paru.
Selanjutnya, sistem imun tubuh merespon dengan malakukan reaksi
inflamasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri, limfosit
spesifik-tubercolusis melisis (menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi
jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli, menyebabkan
bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10 minggu setelah
pemajanan.
Interaksi antara Micobacterium tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh
pada masa awal infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang
disebut granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang
dikelilingi oleh makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah
bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa fibrosa ini
disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag menjadi nekrotik yang
selanjutnya membentuk materi yang penampakannya seperti keju (necrotizing
caseosa). Hal ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan
kolagen, kemudian bakteri menjadi nonaktif.
Setelah infeksi awal, jika respon sistem imun tidak adekuat maka
penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul
akibat infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi
aktif. Pada kasus ini, Ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga menghasilkan
necrotizing caseosa di dalam bronkus. Tuberkel yang ulserasi selanjutnya
menjadi sembuh dan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi
kemudian meradang, mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia, membentuk
tuberkel, dan seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan
sendirinya. Proses ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang
biak di dalam sel. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang
dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan
jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas akan menimbulkan
respon berbeda, kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
dikelilingi oleh tuberkel.
D. Manifestasi Klinik
1. Batuk
Batuk biasanya dialami 3-4 minggu dan bahkan berbulan-bulan. Sifat batuk
dapat nonproduktif maupun produktif. Keadaan ini berlanjut menjadi batuk
darah. Kebanyakan batuk darah pada tubercolusis terjadi pada kavitas tapi
dapat juga terjadi pada ulkus dinding alveolus.
2. Sesak Napas
Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut di mana
infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru.
3. Nyeri Dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritik.
4. Maleise
Gejala maleise ditemukan berupa aneroksia, tidak ada nafsu makan, badan
makin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat malam.
E. Test Diagnostik
1. Test kulit tuberculin
Test moundtousx adalah test kulit yang mdigunakan untuk menntukan apakah
individu telah terinfeksi basil TB. Ekstra basil tuberculin disuntikan kedalam
lapisan intravena pada aspek dalam lengan bawah, sekitar 10 cm di bawah siku.
Respons positif biasanya ditunjukan dengan benjolan keras
(indurasi maupun euritema) yang timbul pada bekas tempat suntikan yang
artinya kemungkinan menderita infeksi TB.
2. Test radiologi
Rontgen dada, pada beberapa kasus test ini akan menunjukan adanya warna
putih dimana system imun telah berhasil menahan bakteri TB pada beberapa
kasus lain, test ini akan mnunjukan adanya nodule atau cavities pada paru-paru
anda yang disebabkan pada TB aktif.
3. Test laboraturium
a. Test kultur, sample sekresi perut atau dahak (sputum). Sample-sample ini
akan diuji untuk akan melihat adanya bakteri TB dalam beberapa jam.
Walaupun memerlukan waktu yang lebih lama sample tersebut juga dapat
dikirim ke laboraturium dimana sample-sample tersebut akan diperiksa
dibawah mikroskop. Bakteri yang muncul akan diuji lagi apakah bakteri
tersebut akan merespon pemberian obata-obatan yang biasa yang digunakan
untuk merawat TB. Hasil test kultur tersebut dapat juga digunakan dalam
pemberian obat yang paling efektif untuk perawatan atau pengobatan.
b. Darah
1) Leukosit meninggi
2) LED meninggi
F. Penatalaksanaan Medik
1. Obat anti TB (OAT)
Obat harus diberikan dalam kombinasi 2 obat yang bersifat bakteristik dengan
atau tanpa obat ketiga, tujuan pemberian obat OAT, antara lain:
a. Membuat konfersi sputum BTA positif menjadi negatif secepat mungkin
melalui kegiatan bakterisit.
b. Mencegah kekambulan pada tahun pertama setelah pengobatan dengan
sterilisasi.
c. Menghilangkan atau mengurangi gejala dan lesu melalui perbaikan daya
tahan imunologis.
Maka pengobatan TB dilakukan 2 fase, yaitu:
a. Fase awal intensif, dengan kegiatan bakterisit untuk memusnahkan populasi
kuman yang membelah dengan cepat.
b. Fase lanjutan, melalui kegiatan steriliosasi kuman pada pengobatan jangka
pendek atau kegiatan bakteri ostatik pada pengobatan konfersional.
OAT yang biasa yang digunakan antara
lain: isoniazid (INH), rifampisin (R), pirazinamid(Z), dan steptormisin (S) yang
bersifat bakterisid dan etambuto (E), yang bersifat bakteriostatik. Penilaian
keberhasilan pengobatan didasarkan pada hasil pemeriksaan bakteriologi,
radiologi, dan klinik. Kesempatan TB paru yang baik akan memperlihatkan
sputum BTA negatif, adanya perbaikan radiologi dan menghilangnya gejala.
II. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik yang lengkap dilakukan. Manifestasi
klinis seperti demam, anoreksia, penurunan berat badan, berkeringat malam,
keletihan, batuk dan pembentukan sputum mengharuskan pengkajian fungsi
pernapasan yang lebih menyeluruh. Setiap perubahan suhu tubuh atau
frekuensi pernapasan, jumlah dan warna sekresi, frekuensi dan batuk parah,
dan nyeri dada dikaji. Paru-paru dikaji terhadap konsolidasi dengan
mengevaluasi bunyi napas (menghilang, bunyi bronkhial, atau bronkovesikuler,
krekels), fremitus, dan hasil pemeriksaan perkusi (pekak). Pasien dapat juga
mengalami pembesan nodus limfe yang terasa sangat nyeri. Kesiapan emosional
pasien untuk belajar, juga persepsi dan pengertiannya tentang tuberkulosis dan
pengobatannya juga dikaji.
Selain itu, menurut Marylinn E. Doengoes, data dasar pengkajian pada pasien
dengan Tuberkulosis Paru yaitu:
1. Aktivitas/istirahat
Gejala: Kelelahan umum dan kelemahan, napas pendek karena kerja. Kesulitan
pada malam atau demam pada malam hari, menggigil dan atau berkeringat.
Mimpi buruk.
Tanda: Takikardia, takipnea/dispnea pada kerja. Kelelahan otot, nyeri dan
sesak (tahap lanjut).
2. Integritas ego
Gejala: Adanya/faktor stress lama. Masalah keuangan, rumah. Perasaan tak
berdaya/tak ada harapan. Populasi budaya/etnik: Amerika Asli atau imigran
dari Amerika Tengah, Asia Tenggara, Indian anak benua.
Tanda: Menyangkal (khususnya selama tahap dini). Ansietas, ketakutan mudah
tarangsang.
3. Makanan/cairan
Gejala: Kehilangan nafsu makan. Tidak dapat mencerna. Penurun berat badan.
Tanda: Turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik. Kehilangan otot/hilang lemak
subkutan.
4. Nyeri/kenyamanan
Gejala: Nyeri dada meningkat karena betuk bersulang.
Tanda: Berhati-hati pada area yang sakit. Perilaku distraksi dan gelisah.
5. Pernapasan
Gejala: Batuk produktif atau tak produktif. Napas pendek. Riwayat
tubercolusis/terpanjang pada individu terinfeksi.
Tanda: Peningkatan frekuensi pernapasan (parenkim paru dan pleura).
Pengembangan pernapasan tak simetri (effusi pleura). Perkusi pekak dan
penurunan fremitus (cairan pleural dan penebalan pleural). Karakteristik
sputum: Hijau/purulen, mukoid kuning, atau bercak darah. Deviasi trakeal
(penyebaran bronkogenik). Tak perhatian, mudah terangsang yang nyata,
perubahan mental (tahap lanjut).
6. Keamanan
Gejala: Adanya kondisi penekanan imun. Tes HIV positif.
Tanda: Demam rendah atau sakit panas akut.
7. Interaksi sosial
Gejala: Perasaan isolasi, penolakan kerena penyakit menular. Perubahan pola
biasa dalam tanggung jawab/perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan
peran.
8. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: Riwayat keluarga TB. Ketidakmampuan umum/status kesehatan buruk.
Gagal untuk membaik/kambuhnya TB. Tidak berpartisipasi dalam terapi.
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Marylinn E. Doengoes diagnosa keperawatan yang lazim mucul pada
klien dengan Tuberculosis Paru adalah:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental, atau
sekret darah, upaya batuk buruk.
Ditandai dengan: frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan tidak normal,
bunyi napas tidak normal (ronkhi, mengi), dispnea.
2. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan
permukaan efektif paru atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler,
sekret kental/tebal, edema bronkhial,
Ditandai dengan: tidak dapat diterapkan adanya tanda dan gejala.
3. Resiko tinggi penyebaran infeksi/aktivasi ulang berhubungan dengan
pertahanan primer tidak adekuat, kerusakan jaringan, malnutrisi, terpajan
lingkungan. Kurang pengetahuan untuk menghindari pemajangan patogen.
Ditandai dengan: tidak dapat diterapkan adanya tanda dan gejala.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelemahan, anoreksia, sering batuk/produksi sputum: dispnea, ketidakcukupan
sumber keuangan.
Ditandai dengan: berat badan dibawah ideal, melaporkan kurang tertarik pada
makanan, gangguan sensai pengecap, tonus otot buruk.
5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan tindakan, dan pencegahan
berhubungan dengan salah interpretasi informasi, keterbatasan kognitif,
informasi yang tidak akurat atau tidak lengkap.
Ditandai dengan: permintaan informasi, menunjukkan kesalahan konsep
tentang status kesehatan, tidak akurat mengikuti instruksi.
C. Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental, atau
sekret darah, upaya batuk buruk.
Tujuan: Klien akan menunjukkan perilaku untuk
memperbaiki/mempertahankan bersihan jalan napas dengan kriteria: batuk
efektif, frekuensi napas dalam batas normal, ronchi (-), AGD dalam batas
normal.
Intervensi:
a. Kaji fungsi pernapasan misalnya: misalnya: bunyi napas, kecepatan irama,
kedalaman dan penggunaan otot aksesori.
R/ Penurunan bunyi napas dapat menunjukkan atelektasis ronchi mengi
menunjukkan akumulas sekret/ketidakmampuan untuk membersihkan jalan
napas yang dapat menimbulkan penggunaan otot bantu pernapasan.
b. Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa/batuk efektiif, catat
karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
R/ Pengeluaran sulit bila sekret sangat kental. Sputum berdarah kental atau
darah cerah diakibatkan oleh kerusakan (kavitasi) paru atau luka bronchial dan
dapat memerlukan evaluasi/intervensi lanjut.
c. Berikan klien posisi semi fowler. Bantu klien untuk batuk efektif dan latihan
napas dalam.
R/ Posisi dapat membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan
upaya pernapasan. Vetilasi maksimal membuka area atelektasis dan
meningkatkan gerakan sekret ke dalam jalan napas besar untuk dikeluarkan.
d. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi.
R/ Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret, sehingga
mudah untuk dikeluarkan.
Kolaborasi
e. Beri obat-obatan sesuai indikasi: agen mukolitik, bronkhodilator.
R/ Agen mukolitik: menurunkan kekentalan sekret paru untuk memudahkan
pembersihan. Bronkhodilator: meningkatkan ukuran lumen percabangan
trakeobronkhial, sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara. Berguna
pada adanya keterlibatan luas dengan hipoksemia dan bila respons inflamasi
mengancam hidup.
2. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan
permukaan efektif paru atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler,
sekret /tebal.
Tujuan: Klien melaporkan tidak adanya/penurunan dispnesia dengan kriteria:
klien akan terbebas dari gejala distres pernapasan, tidak ada tanda-tanda
sianosis, frekuensi napas dalam batas normal.
Intervensi:
a. Kaji dispnea, takipnea, menurunnya bunyi nafas peningkatan upaya
pernapasan, terbatasnya ekspansi dinding dada dan kelemahan.
R/ TB Paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil
bronkopneumonia sampai inflamasi, nekrotis, efusi pleure, dan fibrosis luas.
Efek pernapasan dapat dari ringan sampai dispnea berat hingga distress
pernapasan.
b. Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran. catat sianosis atau perubahan
pada kulit termasuk membran mukosa dan kuku.
R/ Akumulasi sekret/pengaruh jalan napas dapat mengganggu oksigenasi organ
vital dan jaringan.
c. Tingkatkan tirah baring atau batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan
diri sesuai keperluan.
R/ Menurunkan konsumsi oksigen atau kebutuhan selama periode penurunan
pernapasan dapat menurunkan beratnya gejala.
Kolaborasi
d. Berikan O2 tambahan yang sesuai.
R/ Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap
penurunan ventilasi/menurunnya permukaan alveolar paru.
3. Resiko tinggi penyebaran infeksi/aktivasi ulang berhubungan dengan
pertahanan primer tidak adekuat, kerusakan jaringan, malnutrisi, terpajan
lingkungan. Kurang pengetahuan untuk menghindari pemajangan patogen.
Tujuan: Klien akan mengambil tindakan untuk mencegah/menurunkan resiko
penyebaran infeksi, dengan kriteria: suhu tubuh dalam batas normal. Lekosit
dalam batas normal, pemeriksaan kultur negatif, pengetahuan meningkat
mengenai resiko infeksi dan pencegahannya.
Intervensi:
a. Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet
udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, tertawa, menyanyi dan lain-lain.
R/ Membantu klien menyadari/menerima perlunya mematuhi program
pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulang atau komplikasi.
Pemahaman bagaimana penyakit disebarkan dan kesadaran kemungkinan
transmisi membantu pasien/orang terdekat untuk mengambil langkah untuk
mencegah terjadinya infeksi ke orang lain.
b. Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah, sahabat
karib/teman.
R/ Orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi obat untuk mencegah
penyebaran/terjadinya infeksi.
c. Anjurkan klien untuk batuk/bersin dan mengeluarkan pada tissue dan
menghindari meludah. Kaji pembuangan tissue sekali pakai dan tehnik mencuci
tangan yang tepat. Dorong untuk mengulangi demonstrasi.
R/ Perilaku yang diperhatikan untuk mencegah penyebaran infeksi.
d. Kaji tindakan kontrol infeksi sementara, contoh : masker atau isolasi
pernapasan
R/ Dapat membantu menurunkan rasa terisolasi dan membuang stigma sosial
sehubungan dengan penyakit menular.
e. Awasi suhu sesuai indikasi.
R/ Reaksi demam indikator adanya infeksi lanjut.
f. Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
R/ Periode singkat berakhir 2-3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi pada
adanya rongga atau penyakit luas, resiko penyebaran infeksi dapat berlanjut
sampai 3 bulan.
Kolaborasi
g. Awasi pemeriksaan laboratrium, contoh hasil usap sputum.
R/ Pasien yang mengalami 3 usapan negatife (memerlukan 3-5 bulan), perlu
mentaati program obat, dan asimtomatik akan diklasifikasikan tak menyebar.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kelemahan, anoreksia, sering batuk/produksi sputum: dispnea, ketidakcukupan
sumber keuangan.
Tujuan: Klien akan menunjukkan terpenuhinya nutrisi sesuai dengan kebutuhan
dengan kriteria: menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan
bebas malnutrisi, melakukan perubahan/perilaku pola hidup untuk
meningkatkan dan atau mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi:
a. Catat status nutrisi pasien pada penerimaan, catat turgor kulit, berat badan
dan derajat kekurangan berat badan.
R/ Berguna dalam mendefinisikan daerajat/luasnya masalah dan pilihan
intervensi yang tepat.
b. Kaji pola diet pasien yang disukai atau tidak disukai.
R/ Membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan/kekuatan khusus.
Pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masukan diet.
c. Awasi masukan/pengeluaran dan berat badan secara periodik.
R/ Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.
d. Dorong dan berikan periode istirahat yang sering.
R/ Membantu menghemat energi khususnya bila kebutuhan metabolik
meningkat saat demam.
e. Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan
karbohidrat.
R/ Maksimalkan masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tak perlu kebutuhan
energy dari makan makanan banyak dan menurunkan iritasi gaster.
5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan tindakan, dan pencegahan
berhubungan dengan salah interpretasi informasi, keterbatasan kognitif,
informasi yang tidak akurat atau tidak lengkap.
Tujuan: Klien akan menunjukkan peningkatan pengetahuan dengan kriteria:
menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosis dan kebutuhan
pengobatan, melakukan perilaku/perubahan pola hidup untuk memperbaiki
kesehatan umum dan menurunkan resiko pengaktifan ulang tubercolosis,
mengidentifikasi gejala yang memerlukan evaluasi/intervebsi, menggambarkan
rencana untuk menerima perawatan kesehatan adekuat.
Intervensi:
a. Identifikasi gejala yang harus dilaporkan ke perawat. Contoh hemoptisis,
nyeri dada, demam kesulitan bernapas, kehilangan pendengaran, vertigo.
R/ Dapat menunjukkan kemajuan atau pengaktifan ulang penyakit atau efek
obat yang memerlukan evaluasi lanjut.
b. Tekankan pentingnya memper-tahankan protein tinggi dan diet karbohidrat
dan pemasukan cairan aedekuat.
R/ Memenuhi kebutuhan metabolik membantu meminimalkan kelemahan dan
meningkatkan penambahan cairan dapat mengencerkan secret.
c. Jelaskan dosis obat frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan alasan
pengobatan.
R/ Meningkatkan kerjasama dalam program pengobatan dan mencegah
penghentian obat sesuai perbaikan kondisi pasien.
d. Rujuk untuk pemeriksaan mata setelah memulai dan kemudian tiap bulan
dan selama minum entabutol.
R/ Efek samping utama menurunkan penglihatan, tanda awal menurun-nya
kemampuan untuk melihat warna hijau.
e. Dorong untuk tidak merokok.
R/ Meskipun merokok tidak merangsang berulangnya tuber-kolosis tetapi
meningkatkan disfungsi pernapasan.
f. Kaji bagaimana tuberkolois ditularkan dan bahaya reaktivasi.
R/ Pengetahuan dapat menurunkan resiko penularan/reaktivasi ulang.
D. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan rencana keperawatan yang telah
dibuat sebelumnya berdasarkan masalah keperawatan yang ditemukan dalam
kasus, dengan menuliskan waktu pelaksanaan dan respon klien.
E. Evaluasi Keperawatan
1. Bersihan jalan napas efektif
2. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas dapat dicegah atau teratasi
3. Resiko tinggi penyebaran infeksi atau aktivasi ulang dapat dicegah atau
teratasi.
4. Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhan tubuh
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, aturan dan tindakan pencegahan
penyakit dapat teratasi.

DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Kepeawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien (Edisi 3), Jakarta:
EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta: EGC
Somantri, Irman. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan, Jakarta: Salemba Medika

http://meetabied.blogspot.com/2010/12/tuberculosis-paru.html
Rontgen Thoraks

Pemeriksaan radiologi toraks merupakan upaya pengkajiaan untuk tujuan


diagnosa gangguan sistem kardiovaskular dan respirasi. Pengenalan kelainan
yang penting pada foto thoraks sangat bermanfaat bagi dokter hewan praktisi
terutama dalam menghadapi keadaan akut sehingga dokter hewan mampu untuk
memberikan interpretasi yang benar maupun tindakan yang tepat. Sarana
radiologis adalah semua alat yang menggunakan sinar-X atau pengion lainnya
sebagai sarana diagnostik, misalnya pesawat sinar-X dan isotop.
Ada beberapa cara untuk mendapatkan hasil foto rontgen pada bagian
thoraks antara lain; bagian dorsal terlihat sampai dengan os costae 6-8, bagian
ventral terlihat sampai dengan costae 8-10. Dalam membaca foto rontgen, hal
pertama yang perlu diperhatikan adalah densitas atau derajat tebalnya bayangan
hitam pada film. Para radiolog menggolongkan adanya empat densitas yaitu: gas
atau udara, air, lemak dan logam.

Macam Pemeriksaan :
1. Pemeriksaan Tanpa Kontras
Pemeriksaan ini dipakai rutin dan sebagai pendahuluan yakni pembuatan
radiografi thoraks dengan proyeksi dorsoventral, ventrodorsal, dan lateral.
Pemeriksaan lainnya yaitu pembuatan radilologi thoraks proyeksi oblique kanan
dan kiri, dengan esofagus diisi barium, dan pemeriksaan tembus (fluoroskopi).
Pemeriksaan tembus berguna untuk menilai pulsasi jantung dan gerakan
diafragma. Pemeriksaan ini harus dibatasi penggunaannya karena besarnya
radiasi yang dipancarkan.

2. Pemeriksaan Dengan Kontras


Kontras dimasukkan melalui pembuluh darah ke dalam jantung diikuti
pembuatan serial radiografi. Pemeriksaan ini berguna untuk melihat kelainan-
kelainan yang terdapat dalam jantung seperti: dinding jantung sebelah dalam,
katub jantung dan pembuluh darah besar, serta gambaran sirkulasi jantung
dengan paru. Pemeriksaan ini juga berguna untuk memberikan informasi
keadaan jantung dan pembuluh darah sebelum dilakukan pembedahan.

Interpretasi Dasar Foto


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan interprestasi foto
thoraks yaitu:
1. Identitas: nama, nomor RM, tangal dan jam pembuatan foto, tindakan
selanjutnya.
2. Ketajaman sinar, apabila terlalu radiopaque (terlalu terang) atau terlalu
gelap (radiolusen), maka foto harus diulang karena akan terjadi salah
interprestasi.

Tujuan Pemeriksan Foto Rontgen pada bagian Toraks :


1. Menilai adanya kelainan jantung, misalnya : kelainan letak jantung,
pembesaran atrium atau ventrikel, pelebaran dan penyempitan aorta
(posisi dorsoventral).
2. Menilai kelainan paru, misalnya edema paru, emfisema paru,
tuberkulosis paru (posisi ventrodorsal).
3. Menilai adanya perubahan pada struktur ekstrakardiak.

Macam –macam proyeksi foto toraks


Posisi Ventrodorsal
Posisi pengambilan ini biasanya dilakukan di bagian radilogi. Skapula
tidak akan menutupi daerah paru. Besar jantung dapat diperkirakan dengan lebih
mudah. Tulang rusuk ventral tidak tampak jelas, sedang rusuk di bagian
belakang semuanya menuju ke arah tulang punggung. Pada posisi ini kamera
berada di belakang pasien.

Posisi Dorsoventral
Pengambilan foto ini yang paling sering dilakukan pada pasien gawat,
misalnya di ruang rawat darurat atau rawat intensif. Cara mengambil pasien
ditidurkan dalam posisi 450 dan pemotretan dilakukan saat inspirasi.

Posisi Lateral
Pengambilan posisi lateral tergantung atas indikasi apakah lateral kiri atau
lateral kanan. Posisi ini dipakai pada pemeriksaan angiografi (untuk melihat
kebocoran septum jantung, aneurisma aorta dan sebagainya).

Penilaian Pembuluh Darah Paru


Hilus adalah tempat arteri pulmonalis, vena pulmonalis, bronkus dan
saluran limfe masuk ke dalam paru. Hilus kanan letaknya kira-kira di
pertengahan dari jarak apeks paru ke diafragma kanan. Hilus kiri letaknya lebih
tinggi sedikit. Dari hilus ini dapat diikuti cabang-cabang dari arteri pulmonalis di
dalam paru-paru yang makin kecil ke arah perifer. Vena pulmonalis tidak selalu
terlihat pada radiografi polos, kecuali pada mitral stenosis. Pembuluh darah paru
di lapangan bawah tampak lebih banyak dari pada lapangan paru atas. Trakea
tampak jelas sebagai garis tengah dengan densitas film yang lebih sedikit.
Percabangan trakea terdapat pada torkal ke-5.

Perubahan pada Trachea


1. Hypoplastic trachea
2. Tracheal stenosis
3. Collapsed trachea
4. Tracheal tumor
5. Tracheal rupture
6. Bronchial collapse
7. Bronchitis
8. Bronchiectasis
9. Bronchial obstruction

Perubahan pada paru


1. interstitial pneumonia
2. Aspiration pneumonia
3. Broncopneumonia
4. Eosinophilic pneumonia
5. Pulmonary abscess
6. Parasitic pneumonia
7. Mycotic pneumonia (pneumonomycosis)
8. Edema pulmonum
9. Asthma-like disease
10. Pulmonary haemoragica
11. Pulmonary Neoplasia
12. Emphysema pulmonum
13. Atelectatis
14. Lung torsion
15. Chronic obstruktive lung disease

tidak ada komentarbagi

Apr 15, '09 3:22 AM


Urolithiasis untuk

Pendahuluan

Urolithiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya batu


(urolith) atau kristal-kristal pada saluran air kencing (tractus urinarius).
Batu dan kristal tersebut dapat ditemukan di ginjal, urethra, dan
kebanyakan di vesika urinaria (kandung kencing). Adanya batu atau
polikristal tersebut dapat membuat iritasi saluran air kencing,
akibatnya saluran tersebut rusak, ditemukan darah bersama urin yang
dapat menimbulkan rasa sakit. Polikristal ini terdiri dari Kristal organic
atau anorganik (90-95%) dan matriks organic (5-10%) dan unsur lain
dalam jumlah kecil.
Urolit berbentuk khas, tidak berupa endapan bahan Kristal yang
berserakan tetapi berupa kumpulan Kristal yang tersusun teratur dan
mempunyai struktur internal yang kompleks. Dalam praktek kasus
batu dan kristal tersebut menyebabkan penyumbatan pada saluran air
kencing sehingga terjadi retensi urin. Pada irisan melintang urolit
sering tampak adanya inti dan lamina. Hal tersebut membuktikan
bahwa urin yang menggenangi urolit komposisinya bervariasi dari hari
ke hari dan keadaan tersebut merupakan hal yang sangat konseptual
dalam mencoba memahami sifat fisik urolit.
Urolit (kalkuli urinaria) terbentuk dalam traktus urinarius baik di
dalam pelvis maupun diseluruh bagian traktus urinarius paling bawah.
Urolit diberi nama dengan komposisi, letak (nefrolit, renolit, uretrolit,
sistolit, kalkuli vesikalis, ureterolit) atau bentuknya (halus, segi,
pyramid, berlapis-lapis, mulberry, jackstone, seperti tanduk atau
bercabang). Bentuk Kristal yang khas terutama dipengaruhi oleh
struktur internal dan lingkungan Kristal terbentuk. Urolithiasis
umumnya terjadi pada anjing berumur ± 6 tahun, meskipun anjing
berumur beberapa minggu sampai 16 tahun juga dapat menderita
urolithiasis.
Urolithiasis dapat ddi diagnose berdasarkan hasil pemeriksaan
klinis, dan pemeriksaan radiologis/USG, sehingga dapat disimpulkan
bahwa anjing tersebut menderita urolithiasis. Penanganan urolithiasis
dapat dilakukan dengan pembedahan ataupun tanpa pembedahan.

Urolithiasis

Urolitihiasis merupakan polikristal yangterdiri dari Kristal organic


atau anorganik (90-95%) dan matriks organic (5-10%) dan unsur lain
dalam jumlah kecil. Urolithiasis pada anjing biasanya menunjukkan
susah kencing atau hanya kencing sedikit dan kadang-kadang
berdarah. Disamping itu, nafsu makan berkurang atau sama sekali
tidak mau makan, lemah, dan muntah. Berdasarkan anamense
tersebut, pemeriksaan klinis segera dilakukan dan pemeriksaan dari
saluran air kencing sangat diprioritaskan. Pada waktu melakukan
pemeriksaan klinis, palpasi daerah abdomen sering terasa adanya
pembesaran dari kandung kencing. Setelah pemeriksaan klinis,
dilakukan pembuatan foto Rontgen atau pemeriksaan dengan USG
bagian abdomen dengan posisi rebah samping (lateral). Ada beberapa
faktor lokal yang mempengarui ukuran dan bentuk urolit, antara lain;
1. Jumlah urolit yang ada
2. Urolit selalu bergerak atau terfiksasi
3. Frekuensi urinasi
4. Konfigurasi struktur anatomi dimana urolit tumbuh.
Disamping beberapa faktor tersebut pembentukan urolit juga dapat
dipengarui oleh stasis urin urin karena multiplikasi bakteri, trauma
pada vesika urinaria, glikosuria akibat diabetes mellitus dan
kalkuli yang menyebabkan penyumbatan pada saluran pengaliran
urin.
Gambaran Urolit Secara Makroskopis dan Radiografik

1. Urolit strruvit
Urolit struvit ini berbentuk bulat dan persegi, kadang-kadang
mengambil bentuk dari bentuk pelvis renalis, ureter, vesika urinaria,
uretra dan kadang-kadang juga berlapis-lapis. Urolit struvit ini tersusun
dari Mg++, NH4+, fosfat, biasanya bewarna putih, kuning sampai coklat,
agak keras dan rapuh, jika digerus akan hancur dan tidak bersifat
radiofaque.
2. Urolit urat
Urolit urat berbentuk bulat atau oval, permukaannya halus,
tersusun dari NH4 urat, biasanya kecil, berlapis-lapis konsentris seperti
kulit telur, mudah pecah, bewarna kuning kecoklatan sampai
kehijauan, bersifat radolousent, tetapi pada anjing bersifat radiopaque.
3. Urolit cystine
Urolit cystine berbentuk bulat atau oval, biasanya kecil,
permukaan halus, tersusun dari asam amino cystine, empuk mudah
dihancurkan, bewarna krem kekuningan, kuning kehijauan sampai
coklat dan bersifat radiolusent.
4. Urolit oksalat
Berbentuk bulat atau oval, tersusun dari kalsium oksalat dan
sering mengandung kalsium fosfat, biasanya kecil, sangat keras dan
rapuh, bewarna krem sampai coklat, tetapi dapat bewarna hijau
kecoklatan karena pigmen empedu dan bersifat radiopaque.
5. Urolit silikat
Tersusun dari silikat, keras, permukaannya kasar dan
berspikulum dan bewarna coklat.
6. Kalsium karbonat
Konsistensi yang keras, permukaan halus dan bewarna muda.
Beberapa gambar urolit yang ditemukan pada anjing
Komposisi Mineral dan Matriks

Jenis mineral yang paling umum di jumpai dalam urolit anjing


adalah MgNH4 PO4 (struvit). Ammonium asam urat, asam urat,
sedangkan kalsium fosfat dan kalsium oksalat jarang ditemukan pada
anjing. Sebaliknya urolit yang mengandung kalsium (kalsium oksalat
dan kalsium fosfat) paling lazim ditemukan. Meskipun beberapa
mineral khusus dapat menjadi unsure predominan dari suatu kalkuli,
tetapi kebanyakan kalkuli komposisinya terdiri dari campuran
beberapa unsure mineral. Kadang-kadang inti urolit tersusun dari
suatu jenis kristal (struvit), tetapi lapisan luarnya tersusun dari Kristal-
kristal lain yang berbeda.
Bagian urolit yang tertinggal setelah komponen Kristal dilarutkan
dengan bahan pelarut adalah matriks organik. Unsur matriks organik
yang diidentifikasikan dari urolit berupa unsure A, tamm horsfall
mucoprotein, uromucoid, serum albumin, alfa dan gamma globulin.
Matriks organik tersebut berperan dalam mempengaruhi pembentukan
urolit melalui beberapa mekanisme sebagai berikut;
1. Sebagai tempat untuk nukleasi yang bersifat heterogen.
2. Sebagai cetakan untuk mengatur dan memodifikasi
pertumbuhan Kristal.
3. Sebagai agen pengikat sehingga partikel semen calculus
bergabung dan berperan sebagai tempat retensi kristal.
4. Bersifat melindungi koloid yang menghalangi pertumbuhan
kalkuli lebih lanjut.
Urolithiasis seharusnya tidak dipahami sebagai penyakit tunggal
karena terbentuknya urolit biasanya berkaitan dengan beberapa
abnormalitas. Tempat pembentukan urolit yang sering berpindah-
pindah dan tidak dapat dideteksi sebelumnya mengidentifikasi bahwa
beberapa factor fsiologi dan patologi yang sangat kompleks dan saling
berhubungan terlibat dalam pembentukan urolit. Disamping itu ada
juga beberapa factor predisposisi terbentuknta urolit pada traktus
urianaria antara lain; pH urin, infeksi bakteri, herediter, diet dan urin
stasis.

Patogenesa Pembentukan Urolit

Pembentukan urolit biasanya dipengaruhi oleh adanya nidus


Kristal, pH urin dan ada atau tidaknya factor inhibitor kristal dalam
urin. Pembentukan urolit meliputi fase awal pembentukan dan fase
pertumbuhan. Fase awal dimulai terbentuknya nidus kristal.
Pembentukan nidus kristal tersebut tergantung pada pusat nucleus
atau matriks (meskipun subtansi matriks protein nonkristal juga dapat
berperan sebagai nukleusi) dan supersaturasi urin oleh kristal
kalkulogenik. Sedangkan derajad supersaturasi urin dipengaruhi oleh
banyaknya kristal yang dieksresikan oleh ginjal dan volume urin.
Fase pertumbuhan nidus kristal tergantung pada;
1. Kemampuan untuk tetap bertahan dalam lumen traktus
ekskretorius system urinarius.
2. Derajad dan durasi supersaturasi urin yang mengandung
kristal baik yang identik atau berbeda dengan kristal yang
ada dalam nidus.
3. Sifat fisik nodus kristal, jika suatu kristal mempunyai sifat
yang cocok dengan kristal lain, maka beberapa kristal dapat
saling menggabungkan diri dan tumbuh menjadi nidus atau
kristal lain.
Urolit yang berlangsung lama juga dapat menimbulkan infeksi
ascendens yang terjadi pada traktus urinarius bagian bawah dan
penyebaran infeksi secara hematogen dari infeksi local ditempat
lain. Infeksi descendens juga dapat terjadi pada bagian atas traktus
urinarius dan infeksi kelenjar prostate kronis merupakan sumber
infeksi.
Diagnosis Secara Klinis dan Radiografi

Hewan seing kencing, tetapi urin yang keluar hanya sedikit


merupakan gejala awal urolit, disamping itu juga ditemukan adanya
gejala lain seperti stranguria (miksi sulit dan disertai rasa sakit),
palpasi daerah abdomen bagian belakang terasa sakit dan pada
keadaan piocystitis (adanya nanah bersama urin) terdapat febris.
Disamping pemeriksaan klinis juga harus didukung oleh pemeriksan
laboratorium seperti; WBC, RBC, differensial WBC, Hb, urinalisis, uji
sendimentasi epitel dan lain-lain yang dianggap perlu.
Untuk menegakkan diagnose dilakukan pemeriksaan
radiologis/USG, sehingga dapat disimpulkan bahwa anjing tersebut
menderita urolithiasis. Hasil tersebut harus segera diinformasikan
kepada klien guna mendapat persetujuan untuk penanganan
selanjutnya. Kalkuli pada saluran perkencingan dapat terdiri dari
kalsium, fosfat dan oksalat yang merupakan kalkuli yang bersifat
radiopaq yang dapat diamati dengan kontras media negative (CO2,
O2 dan nitrous oksid), sedangkan urat, xantin dan matriks merupakan
kalkuli yang bersifat radiolusent yang membutuhkan kontras media
positif untuk mengamatinya. Hal ini terjadi karena nomor atom dari
kalkuli tersebut lebih rendah dari nomer atom kontras. Kontras media
positif yang sering digunakan adalah tri-iodin, di-iodin dan urogram.
Pasien terlebih dahulu difoto rontgen tanpa kontras media
positif, namun jika hasilnya negatif, anjing jantan tersebut dipuasakan
± 24 jam dan diberikan obat pencahar untuk mengosongkan saluran
pencernaan. Gunakan kontras media positif (penggunaannya
tergantung kontras media) untuk melihat adanya kalkuli. Untuk foto
radiografi ginjal, ureter hewan diletakkan ventro-dorsal dan
pemotretan dilakukan 5 menit pasca injeksi kontras media, sedangkan
vesika urinaria paling baik dipotret 25-30 menit pasca injeksi. Untuk
kalkuli pada vesika urinaria, kontras media positif yang digunakan
berupa bubur barium juga dapat dimasukkan melalui katerisasi lewat
uretra. Setelah bubur barium dimasukkan , tambahkan sedikit udara
(double kontras media) melalui spuit. Kemudian balikkan pasien 360°,
baru lakukan pemotretan, jika vesika urinaria mengalami gangguan
maka bubur barium akan melekat pada mukosa vesika urinaria.

Penanganan Urolithiasis

Teknik Operasi
Pasien yang telah teranestesi diletakkan pada posisi dorsal
recumbency pada meja operasi, daerah operasi didesinfeksi dengan
iodium tincture 3 % secara sirkuler. Lakukan pemasangan kateter pada
saluran perkencingan yang dimulai dari uretra sampai ke vesika
urianaria dan keluarkan urin. Pasang kain drapping pada daerah
operasi kecuali daerah yang dilalui pisau operasi. Incisi pertama
dilakukan pada kulit sepanjang 4-6 cm pada bagian bawah umbilicalis,
preparer antara kulit dan fascia untuk mendapatkan linea alba.
Kemudian incisi kedua pada muskulus dan peritoneum. Jika terjadi
pendarahan kecil jepit dengan arteri clamp atau diligasi dengan
benang plain cutgat.
Setelah rongga peritoneum terbuka, cari vesika urinaria dan
keluarkan. Jika vesika urinaria berisi urin, maka terlebih dahulu urin
dikeluarkan. Sebaiknya urin dikeluarkan dengan menggunakan
katerisasi, namun jika kateter tidak ada maka urin dikeluarkan secara
manual dengan cara memijat vesika urinaria atau penyedotan dengan
spuit. Setelah vesika urinaria kosong, jepit ujung cranial dan caudal
vesika urinaria dengan doyen clamp, baru kemudian dilakukan
penyayatan. Jika clamp tidak ada dapat digunakan dua jahitan bantu
sebagai pengganti doyen clamp, baru kemudian lakukan penyayatan.
Jika indikasi cystotomi untuk pengangkatan sistik kalkuli, maka
kalkulinya dikeluarkan baru kemudian vesika urinaria dijahit kembali,
namun jika indikasinya terhadap tumor maka tumornya diangkat.
Lapisan dalam dari vesica urinaria dijahit dengan benang plain cutgat
dengan pola simple continous, sedangkan lapisan luarnya dijahit
dengan benang cromic cutgat dengan pola jahitan lambert yang
bertujuan untuk mencegah kebocoran. Lakukan penjahitan peritoneum
dengan benang cotton dengan pola jahitan simple interrupted dan
muskulus dengan fascia dengan benang plain catgut pola jahitan
simple continous. Kulit dijahit dengan benang cotton dengan pola
jahitan simple interrupted. Bersihkan daerah operasi dan berikan
iodium tincture 3 % dan injeksikan penicillin oil kedalam luka tersebut.

Tanpa Operasi
Untuk mengatasi urotroliasis tanpa operasi yaitu dengan
pemberian obat-obatan yang dapat merelaksasi muskulus, kemudian
dapat digunakan kateter yang diameter lebih, mendorong urolit ke
dalam vesika urinaria, memasukkan larutan garam fisiologis ke traktus
urinarius.

Daftar Kepustakaan
Anonimous. (2004). Penuntun Praktikum Ilmu Bedah Khusus Dan
Radiologi. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas syiah
kuala, Banda Aceh.

Anonimous. (2005). Perawatan cystotomi pada anjing kesayangan.


www.anjingkita.com.

Archibald, J. (1979). Canine Surgery. American Veterinary Publication.


Inc. Santa Barbara, California.
Bishop, M.Y.(1996). The Veterinary Formulary dalam Handbook of
Medicines Used in Veterinary Practise. 3rd ed. London. 231.

Brown. M., T. McCarthy dan B. Bennett.(1991).Long Term Anesthesia


Using A Continuous Infusion of Guaifenesin, Ketamine and
Xylazine in Cats. Laboratory Animal Science.41: 1, 46-50.

Fossum. T.W. (2002). Smal Animal Surgery. 2nd ed. Mosby ST, London.

Hantiningsih. (2000). Diktat Kuliah. Urolit Pada Anjing dan


Penangannya Dengan Operasi atau Tanpa Operasi. Bagian
Ilmu Bedah dan Radiologi FKH-UGM, Yogyakarta.

Hickman, J dan R.G. Walker. (1980). An Atlas Veterinary Surgery.


2nd ed. John Wright & Son. Ltd, Philadelphia.

Ibrahim, R. (2000). Pengantar Ilmu Bedah Umum Veteriner. Syiah


Kuala University Press, Banda Aceh.

Ko, J.C., M. Payton., A.B. Weil., T. Kitao dan T. Haydon. (2007).


Comparison of Anesthetic and Cardiorespiratory Effects of
Tiletamine-Zolazepam-Butorphanol and Tiletamine-
Zolazepam-Butorphanol-Medetomidine in Dogs. Purdue
University.West Lafayette, USA. Vet Ther. 8(2): 26-113.

Sisson, S and J.P. Grossman. (1961). Spanchology in The Anatomy of


Domestica Animals. 4th. W.B. Souders, London.

Tiley, L. P and F.W.K. Smith. (2000). The 5-Minute Veterinary Consults,


Canine and Feline. Lipincoot Williams and Wilkins,
Philadhelpia.

Walker, G.R., (1980). An Atlas Of Veterinary Surgery. John Write and


Sons LTD.
tidak ada komentarbagi

Problem Fiksasi Fraktur Area Epiphysial Os Radius Apr 15, '09 3:14
AM
Ulna untuk

Problem Fiksasi Fraktur Area Epiphysial Os Radius Ulna

Fraktur merupakan suatu diskontinuitas yang abnormal, umumnya


disebabkan oleh trauma atau karena adanya kelainan dalam tulang tersebut,
sehingga mudah terjadi patah tulang tanpa adanya trauma dari luar (patah tulang
patologis). Patah tulang akibat trauma menimbulkan kerusakan jaringan yang
disebabkan oleh trauma itu sendiri dan lokalisasi patah umumnya sesuai dengan
tempat trauma, sedangkan patah tulang patologis juga menimbulkan kerusakan
jaringan yang disebabkan oleh patah tulang, namun lokalisasi trauma dapat tidak
sesuai dengan lokalisasi patah.
Dalam menangani fraktur akibat trauma dikenal konsep dasar “4 R” yaitu
rekognisi, reduksi, retensi dan rehabilitasi. Rekognisis adalah pengenalan
terhadap fraktur melakukan berbagai diagnosa untuk memperoleh informasi
sebanyak mungkin tentang fraktur, sehingga diharapkan dapat membantu dalam
penanganan fraktur. Reduksi adalah suatu tindakan untuk mengembalikan
fragmen-fragmen tulang yang mengalami fraktur semirip mungkin ke keadan
semula, sedangkan retensi adalah mempertahankan kondisi reduksi selama
masa penyembuhan. Yang terakhir adalah Rehabilitasi yang bertujuan untuk
mengembalikan kondisi tulang yang patah ke keadaan normal dan tanpa
menggagu proses fiksasi.
Tulang adalah kerangka tubuh serta merupakan pertautan otot serta
tendon yang merupakan alat gerak. Tulang juga sebagai alat pelindung dan
merupakan tempat sum-sum tulang. Tulang dianggap sebagai gudang garam
kalsium yang melalui metabolisme mempertahankan kadar kalsium dalam darah.
Exstremitas cranialis terdiri tulang scapula, humerus, radius ulna, tarsal dan
metatarsal. Tulang dibagi menjadi beberapa bagian yaitu bagian yaitu epiphysis,
physis, apophysis, metaphysis, diaphysis, medulla dan korteks. Epiphysis
merupakan bagian paling distal dari tulang itu sendiri. Fraktur pada epiphysial os
radius ulna merupakan fraktur yang sangat sulit proses kesembuhannya, karena
miskin akan pembuluh darah.
Ada beberapa problem yang menyebabkan fraktur epiphysial os radius
ulna sulit untuk sembuh. Os radius ulna merupakan tulang yang miskin
pembuluh darah, sehingga vaskularisasi sangat kurang. Daerah epiphysial
merupakan daerah distal dari os radius ulna, yang selalu bergerak sehingga
dapat menggangu proses fiksasi yang telah dilakukan. Pergerakan yang selalu
terjadi menyebabkan kedua fragmen yang patah tidak menyatu dan
memperlambat pembentukan kallus. Fiksasi memegang peranan penting dalam
pembentukan kallus, karena jika kallus sudah mulai terbentuk namun fiksasi
kurang baik menyebabkan kedua fragmen yang patah kembali bergeser (delayed
union). Fiksasi ada 2 yaitu fiksasi terbuka dan fiksasi tertutup. Untuk menangani
fraktur pada daerah os radius ulna disarankan menggunakan fiksasi terbuka
dengan menggukan wire suture (menjahit dengan kawat). Kemudian setelah
prosen fiksasi selesai dilakukan pemasangan gips untuk mencegah terjadinya
pergerakan yang akan mengganggu proses fiksasi. Gips adalah mineral yang
terdapat di dalam tanah dengan formula CaSO4 2H20 dan merupakan batu putih
yang banyak terdapat di Indonesia. Bahan ini dibakar sampai 130 °C dan
formulanya kehilangan sebagian dari H20 menjadi CaSO4 2H20 dan kemudian di
bubuk halus. Bahan ini mempunyai keistimewaan bila dicampur air maka akan
kembali mengeras. Bubuk gips tersebut biasanya dicampurkan dalam bahan
pembalut, sehingga dapat diletakkan pada bahan pembalut dan direndam
supaya siap dipakai baru kemudian akan mengeras. Bagian tubuh yang dibalut
gips ini tidak dapat bergerak secara bebas. Kondisi ini sangat baik digunakan
pada bagian tubuh yang sedang dalam masa retensi, apalagi pada daerah os
radius ulna bagian epiphysial.
tidak ada komentarbagi

Jul 14, '08 12:28 AM


ERWIN. SPLENEKTOMI PADA ANJING untuk

Pendahuluan

Anjing merupakan hewan kesayangan yang banyak digemari oleh


masyarakat Indonesia. Banyak diantara anjing-anjing kesayangan tersebut mengalami
gangguan penyakit. Diantara penyakit-penyakit tersebut ada yang dapat diobati dengan
metode pengobatan antara lain; tumor, gangrene, torsio dan berbagai penyakit lainya.
Salah satu organ yang sering mengalami gangguan adalah limpa. Gangguan pada limpa
dapat berupa torsio limpa, tumor, infark, trauma, gangguan pertumbuhan dan berbagai
gangguan-gangguan lainnya.

Limpa merupakan organ limpoid terbesar dalam tubuh yang termasuk Retikulo
Endothelial System (RES). Limpa terletak pada sisi kiri abdomen sejajar dengan
curvatura mayor lambung. Ketika lambung berkontraksi limpa akan terdesak ke bagian
caudal abdomen. Kapsul limpa terdiri dari serat otot lunak dan elastis, parenkimnya
bewarna merah dan putih. Susunan pembulu darah pada limpa terdiri dari sinusoid-
sinusoid, suplai darah terbesar terutama berasal dari arteri dan vena splenic yang
memasuki limpa pada beberapa tempat sepanjang hilus dan kemudian memasuki
trabekulae. Arteri splenic merupakan cabang dari artericeliak yang memiliki 3 – 5
cabang dengan diameter 2 mm yang menyuplai darah ke omentum dan limpa.

Splenektomi adalah pengangkatan limpa secara keseluruhan atau pengangkatan


sebagian limpa akibat dari suatu gangguan yang tidak dapat lagi diatasi dengan metode
pengobatan. Biasanya gangguan pada limpa terlihat pada saat bedah laparotomi lain
dilaksanakan, gangguan pada limpa berupa splenomegali, perputaran limpa, kematian
jaringan pada limpa dan gangguan pertumbuhan.

Tinjauan Kepustakaan

Limpa

Limpa merupakan organ limpoid terbesar dalam tubuh yang termasuk Retikulo
Endothelial System (RES). Limpa diselubungi oleh jaringan fibro elastis dan otot licin
(Ressang, 1984). Limpa mengandung sel RES yang merupakan faktor yang penting
dalam sistem pertahanan tubuh. Adanya benda asing dalam limpa menimbulkan proses
reaktif yang secara makroskopik terlihat sebagai bengkak limpa. Hal ini sering terjadi
pada penyakit menular yang bersifat akut atau kronis. Perubahan lain pada limpa yaitu
tumor, abses dan kelainan hematologis (Schrock, 1988). Limpa merupakan organ limpoid
sekunder yang sangat berperan penting pada awal kehidupan fetus. Sel mesenkim dari
limpa fetus memproduksikan sel darah merah. Disamping itu limpa berperan penting
dalam proses eritropoisis pada fetus, tapi biasanya bukan merupakan fungsi limpa pada
anjing dewasa. Pada beberapa kasus anemia sel mesenkim sinusoidal sanggup
memproduksi sel darah merah (Archibald, 1974).

Limpa berperan sebagai tempat penyimpanan darah oleh karenanya ukuran limpa
bervariasi tergantung dari jumlah darah yang ada didalamnya (Jungueiera, 1998). Limpa
bersama sum-sum tulang berfungsi membentuk eritrosit, leukosit dan limfosit. Selain itu
limpa bersama sum-sum tulang dan sel RES berfungsi menghancurkan eritrosit tua,
memfagosit mikroorganisme yang masuk bersama darah dan berperan dalam
metabolisme nitrogen yang berhubungan dengan pembentukan asam kemih (Ressang,
1984). Sekitar 10% sel darah dihasilkan oleh sum-sum tulang dalam bentuk abnormal dan
limpa membuang sel darah merah yang abnormal tersebut dari sistim sirkulasi darah
(Archibald, 1974).

Limpa terletak pada sisi kiri abdomen sejajar dengan kurvatura mayor lambung
dan digantung oleh ligamentum gastrosplenicum (Archibald, 1974). Susunan pembulu
darah limpa terdiri dari sinusoid- sinusoid, suplai darah terbesar terutama berasal dari
arteri dan vena splenic yang bercabang-cabang memasuki limpa pada beberapa tempat
sepanjang hilus dan kemudian memasuki trabekulae (Frandson, 1992).

Splenektomi merupakan tindakan operasi pengangkatan sebagian atau


pemotongan limpa yang bertujuan memulihkan pasien pada keadaan normal dari
gangguan penyakit yang tidak dapat diatasi dengan metode pengobatan. Adapun
beberapa indikasi splenektomi adalah torsio limpa, tumor, infark, trauma dan gangguan
pertumbuhan. Apabila limpa seekor hewan diangkat atau dipotong maka ini tidak akan
mengakibatkan gangguan pada hewan tersebut. Kelenjar limfe dan sum-sum tulang
belakang akan menggantikan fungsi dari limpa, sehingga hewan tersebut masih bisa
bertahan hidup (Ressang, 1984).

Anestesi

Anestesi menurut kata adalah hilangnya rasa sakit. Dalam perkembangan


kemudian, hilangnya rasa sakit saja disebut anestesi lokal sedangkan anestesi umum
adalah hilangnya rasa sakit disertai hilangnya kesadaran. Pemilihan obat anestesi umum
harus didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu jenis operasi, lamanya operasi,
temperamen hewan, fisiologis hewan dan spesies hewan (Ibrahim, 2000). Pada
pelaksanaan pembedahan obat anestesi umum yang
lebih sering dipakai dalam bentuk kombinasi dari pada tunggal, karena
pemberian secara tunggal relatif tidak diperoleh hasil yang memuaskan (Ko dkk.,
2007).
Kombinasi ketamin-xylazin ini merupakan kombinasi obat anestesi yang sinergis
dan kombinasi ini dapat meningkatkan kerja masing-masing obat dimana xylazin
memberikan efek relaksasi otot yang baik, sedangkan ketamin memberikan efek
analgesik yang kuat (Brown dkk., 1991; Bishop, 1996; Trimastuti, 2001). Ibrahim (2000)
menyatakan untuk operasi-operasi daerah tertentu seperti perut, maka selain hilangnya
rasa sakit juga dibutuhkan relaksasi otot yang optimal, agar operasi berlangsung lancar.
Obat anestesi umum yang ideal adalah murah, mudah didapat, tidak mudah terbakar,
stabil pada suhu kamar, cepat dieliminasi dan tanpa efek yang tidak diinginkan
(Ganiswarna, 1995).

Pemberian obat anestesi secara intravena tidak mengalami tahap absorpsi, maka
kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung
dengan respon pasien. Disamping itu obat yang diberikan intravena tidak dapat ditarik
kembali. Obat anestesi umum juga dapat diberikan secara intramuskular, namun
kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorbsi, obat yang
larut dalam air lebih cepat diserap dibandingkan obat yang larut dalam lemak
(Ganiswarna, 1995).
Persiapan Operasi

Tempat, Alat dan Bahan

Pembedahan dilakuakan di Laboratorium Klinik FKH UNSYIAH. Sebelum


operasi dilaksanakan ruangan dan tempat operasi dibersihkan. Alat-alat operasi yang
digunakan berupa satu set mayor surgery, sebelum digunakan alat-alat tersebut
dibersihkan kemudian disterilkan dengan autoclaving dengan suhu 121°C selama 30
menit. (Anonimous, 2004). Bahan yang diperlukan berupa alkohol 70 %, iodine 3 %,
benang silk, catgut, SWAT, wounder dust preparat antibiotic, vitamin B-plex dan
atropine sulfat dengan dosis 0.04 mg/kg BB yang diberikan secara sub kutan yang
berfungsi sebagai premedikasi. Ketamin HCL 10% dengan dosis 10 mg/kg BB dan
Xylazin HCL 10 % dengan dosis 2 mg/kg BB dikombinasikan dalam satu spuit yang
berfungsi sebagai anestetika umum yang diberikan secara intramuscular (Erwin, 2006).
Selama berlangsung stadium anestesi, anestesiolog memonitor frekuensi denyut jantung
dan pernafasan setiap 5 menit (Tilley dan Smith, 2000).

Persiapan Pasien

Sebelum diberikan anestetika umum, pasien yang telah diperiksa keadaan fisik
dan keadaan darah rutin dipuasakan selama 8-12 jam. Hewan dimandikan dan dilakukan
pencukuran bulu pada daerah operasi. Berat badan pasien ditimbang untuk menentukan
dosis obat yang digunakan.
Teknik Operasi

Pasien yang telah teranestesi diletakkan pada posisi dorsal recumbency pada meja
operasi, daerah operasi didesinfeksi dengan iodium tincture 3 % secara sirkuler.
Pemasangan kain drapping pada daerah operasi kecuali daerah yang dilalui pisau operasi.
Incisi pertama dilakukan pada kulit sepanjang 4-6 cm pada bagian atas umbilicalis,
preparer antara kulit dan fascia untuk mendapatkan linea alba. Kemudian incisi kedua
pada muskulus dan peritoneum.

Setelah rongga peritoneum terbuka, cari limpa pada daerah kiri lambung dan
dikeluarkan dari rongga abdomen, kemudian letakkan limpa diatas drapping. Perhatikan
bagian limpa yang akan dibuang dan lakukan ligasi pada pembulu darah yang menuju
bagian limpa yang akan dibuang, kemudian baru injeksikan adrenalin. Pada bagian yang
akan dipotong kapsulanya ditekan-tekan menggunakan telunjuk dan ibu jari, pasang
doyen clamp melintang pada daerah yang ditekan, kemudian pasang lagi 2 doyen clamp
dikiri dan kanan doyen clamp pertama. Doyen clamp ditengah dibuka, kemudian lakukan
pemotongan limpa dari ujung distal doyen clamp. Jahit kapsulanya dengan benang catgut
chromic. Doyen clamp yang terpasang dilepaskan, bersihkan darah dengan tampon dan
masukkan limpa kembali kerongga abdomen. Lakukan penjahitan peritoneum dengan
benang cotton (simple interrupted) dan muskulus dengan fascia dengan benang plain
catgut (simple continous). Kulit dijahit dengan benang cotton dengan pola jahitan simple
interrupted (Hickman dan Walker, 1980). Bersihkan daerah operasi dan berikan iodium
tincture 3 % dan injeksikan penicillin oil kedalam luka tersebut.
Diskusi

Pada tanggal 10 Januari 2008 telah dilakukan pembedahan pada seekor anjing
milik Tn. Erwin dengan nama Cencen. Anjing tersebut berjenis kelamin betina berumur 6
bulan. berdasarkan hasil pemeriksaan klinis anjing tersebut menunjukkan gangguan pada
limpa. Setelah dilakukan X-ray terlihat limpa membengkak, kami mengambil keputusan
anjing tersebut harus menjalani pembedahan. Sebelum pembedahan dilaksanakan pasien
dilakukan pemeriksaan rutin darah yang meliputi jumlah eritrosit, leukosit, hemoglobin
dan hematokrit.

Untuk menghidari terjadinya muntah yang merupakan salah satu efek dari obat
anestesi, sebelum obat anestesi diberikan terlebih dahulu diberikan obat premedikasi.
Anjing dipuasakan 8-12 jam dan dimandikan sebelum diberikan anestesi umum. Anestesi
umum yang digunakan adalah kombinasi ketamin-xylazin yang diberikan secara
intravena. Tujuan pemberian obat anestesi secara intravena yaitu untuk menghemat dosis
obat yang akan digunakan, karena pada pemberian intravena obat tidak lagi mengalami
tahap absorbsi dan langsung didistribusikan keseluruh tubuh (Ganiswarna, 1995).

Setelah hewan teranestesi dilakukan pencukuran bulu pada daerah operasi yaitu
sepanjang 4-6 cm dari atas umbilicalis. Lakukan disinfeksi daerah operasi dengan iodium
tincture secara sirkuler, agar mikroorganisme yang berada ditempat operasi terseret ke
tepid an tidak tertumpuk pada daerah operasi. Lakukan pemasangan kain draping pada
daerah operasi, kecuali daerah yang dilalui pisau operasi. Incisi pertama dilakukan pada
kulit, kulit dipreparir dengan gunting bengkok dan akan terlihat linea alba. Incisi kedua
dilakukan pada muskulus tepat pada garis median, setelah muskulus diincisi dengan hati-
hati lakukan incisi pada peritoneum. Setelah rongga peritoneum terbuka cari limpa pada
daerah kiri bawah dari gastrium tepat pada curvatura mayor, kemudian limpa dikeluarkan
dan amati bagian limpa yang mengalami gangguan atau keseluruhan limpa yang
mengalami gangguan. Jika hanya sebagian limpa yang mengalami gangguan, maka cukup
bagian tersebut yang dibuang, namun jika seluruh limpa yang terganggu, maka
keseluruhan limpa yang harus dibuang. Pada pasien yang dilakukan pembedahan hanya
sebagian limpa yang mengalami gangguan, jadi hanya ¼ dari limpa yang dibuang.

Pembulu darah arteri yang menuju bagian limpa yang akan dibuang tersebut
diligasi, kemudian injeksikan adrenalin yang berfungsi untuk mengeluarkan darah pada
limpa. Adrenalin bekerja pada pembulu darah dan limpa dimana menyebabkan
vasokonstriksi pada pada pembulu darah dan konstriksi limpa sehingga darah akan
keluar dari limpa melalui pembulu vena. Perbatasan limpa yang akan dibuang ditekan
dengan jari baru dilakukan pemasangan doyen clamp pertama, doyen clamp kedua dan
ketiga dipasang disamping kiri dan kanan doyen clamp pertama. Doyen clamp pertama
dibuka dan dilakukan incisi pada bagian tengah yang dimulai dari ujung distal doyen
clamp. Buang bagian limpa tersebut dan lakukan penjahitan pada limpa dengan benang
catgut cromic dengan pola simple continous, darah pada limpa dibersihkan dengan
tampon baru kemudian limpa dimasukkan kembali ke rongga abdomen. Penstrep
sebanyak 1 ml diinjeksikan ke dalam rongga peritoneum untuk mencegah pertumbuhan
mikroorganisme yang kemungkinan terkontaminasi pada saat pembedahan. Peritoneum
dijahit dengan benang cotton yang telah disterilkan dengan pola jahitan simple interupted.
Muskulus dan fascia dijahit dengan benang plain catgut dengan pola jahitan simple
continous dan kulit dijahit dengan benang cotton dengan pola jahitan simple interrupted.
Adapun tujuan peritoneum dijahit dengan benang cotton yaitu untuk mencegah
terbukanya petitoneum, karena jika peritoneum dijahit dengan benang catgut maka
dikhawatirkan luka belum sembuh, tapi benang sudah diserap dan isi rongga abdomen
akan terkulai keluar. Setelah daerah operasi selesai dijahit, daerah operasi dibersihkan
dan kemudian dilakukan injeksik penicillin oil diantara luka operasi dan ditaburkan
SWAT dan Wounder dust.

Perawatan pasca operasi, hewan ditempatkan pada lingkungan/kandang yang


bersih, diamati terus selama 7 hari berturut-turut, begitu juga dengan pemberian obat juga
dilakukan selama 7 hari. Adapun obat-obat yang diberikan sebagai berikut;

R/ Amoxan 70 mg

Ponstan 70 mg

Dexamethasone 0.25 mg

B-plex ½ tab

m.f.pulv.dtd da in caps No. XV

S3 dd 1 Caps
Paraf

R/ Bioplacenton Salp 1 Tube

Sue

Paraf

Pertautan tepi luka sebenarnya langsung terjadi sebagai respon untuk


mengembalikan tubuh pada keadaaan normal, dimana terjadi regenerasi jaringan yang
telah mengalami kerusakan (Darma, 1997). Pada hari ke 6 sampai hari ke-7, luka mulai
mengering. Luka
operasi ditangani secara tepat akan menyatu dengan sempurna antara 7 - 14 hari
(Walker, 1980).

Reaksi jaringan yang ditujukan proses penyembuhan luka yang meliputi


kemerahan, kebengkakan dan cairan radang seperti yang dijelaskan diatas sangat
dipengaruhi oleh jenis luka, infeksi bakteri patogen, pola jahitan dan tentu saja nutrisi
esensial yang diperlukan untuk sintesis mekanisme radang dan kekeringan luka.

Kesimpulan

Splenektomi dapat dilakukan jika dengan metode pengobatan tidak dapat


memulihkan pasien dari berbagai penyakit yang menyerang organ tersebut. Jika limpa
dibuang sum-sum tulang dan kelenjar limfe akan mengambil alih fungsi limpa, sehingga
hewan akan tetap hidup.

Daftar Kepustakaan
Anonimous. 2004. Penuntun Praktikum Ilmu Bedah Veteriner Umum. FKH UNSYIAH,
Banda Aceh.

Archibald, J. 1979 Canine Surgery. American Veterinary Publication. Inc. Santa Barbara,
California.

Bishop, M.Y.(1996). The Veterinary Formulary dalam Handbook of Medicines


Used in Veterinary Practise. 3rd ed. London. 231.

Brown. M., T. McCarthy dan B. Bennett.(1991).Long Term Anesthesia Using A


Continuous Infusion of Guaifenesin, Ketamine and Xylazine in Cats.
Laboratory Animal Science.41: 1, 46-50.

Darma, A., (1997). Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran. EGC, Jakarta.

Erwin. 2006. Efek Kombinasi Ketamin-Xylazin dan Ketamin-Diazepam terhadap


Frekuensi Denyut Jantung dan Pernafasan pada Anjing Lokal (Canis
familiaris). Skripsi: FKH UNSYIAH, Banda Aceh.

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi ke-4. Diterjemahkan oleh
Srigandono, D. UGM Press, Yogyakarta.

Ganiswarna, S.G. (1995). Farmakologi dan Terapi. Edisi 4.Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Hickman, J dan R.G. Walker. 1980. An Atlas Veterinary Surgery. 2nd ed. John
Wright & Son. Ltd, Philadelphia.

Ibrahim, R. (2000). Pengantar Ilmu Bedah Umum Veteriner. Syiah Kuala


University Press, Banda Aceh.
Jungueiera, C.L., J. Carmeiro dan O. R. Kelly. 1998. Histologi Dasar. Edisi ke-8. EGC,
Jakarta.

Ko, J.C., M. Payton., A.B. Weil., T. Kitao dan T. Haydon. (2007). Comparison of
Anesthetic and Cardiorespiratory Effects of Tiletamine-Zolazepam-
Butorphanol and Tiletamine-Zolazepam-Butorphanol-Medetomidine in
Dogs. Purdue University.West Lafayette, USA. Vet Ther. 8(2): 26-113.

Ressang, A. A. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. IPB, Bogor.

Schrock, T. K. 1988. Ilmu Bedah (Hand Book of Surgery). Diterjemahkan oleh Adjie
Darma, L. Petrus dan Gunawan. UGM Press, Yogyakarta.

Tilley, P. L dan F. W. K. Smith. 2000. The Five Minutes Veterinary Consult Canine and
Feline. 2nd ed. Lippicont, Philadelphia.

Trimastuti, I.G.A.A.M,. (2001). Pengaruh Pemberian Berbagai Dosis Gabungan Xylazin-


Ketamin Hidroklorida terhadap Waktu Induksi dan Lama Kerja Anestesinya
pada Anjing Lokal. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Udayana, Denpasar.

Walker, G.R., (1980). An Atlas Of Veterinary Surgery. John Write and Sons LTD.

1 komentarbagi

Jul 14, '08 12:25 AM


ERWIN. Scabiosis untuk

SCABIOSIS

Sinonim: Penyakit gudikan, kudis menular

RIWAYAT KASUS
Telah dilakukan pemeriksaan terhadap seekor hewan (kambing) betina pada
tanggal 23 desember 2006 milik Jamaluddin didesa Blang krueng. Menurut informasi
yang didapat dari pemilik, hewan sudah lama menderita sakit (kudisan diseluruh badan)
dan tidak mau makan.

Dilihat dari kondisi hewan yang sangat buruk dengan kulit dan bulu sangat
kusam, keropeng dan kudis telah memenuhi seluruh permukaan tubuh. Dari tanda-tanda
yang terlihat diduga hewan menderita scabies. Untuk diagnosa lebih pasti maka diambil
kerokan kulit hewan tersangka dan diperiksa dibawah mikroskop kemudian ditemukan
ektoparasit tungau, dari morfologi yang terlihat maka diidentifikasi parasit tersebut
adalah jenis Sarcoptes scabei.

Dari hasil yang didapat maka di diagnosa bahwa hewan tersebut menderita
scabies. Sebagai terafi diberikan ivomek yang disuntikkan secara subkutan sebanyak 0,5
ml.
PENDAHULUAN

Scabiosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh sekelompok ektoparasit dari


jenis tungau (mite), penyakit ini secara umum dapat terkena pada anjing, kucing dewasa,
anak kucing dan semua hewan ternak. Hampir 50% manusia juga tidak luput dari
serangan parasit ini, penularanya dapat melalui kontak langsung, kandang yang kotor,
tempat tidur dan sisir (Anonimus, 2006).

Penyakit yang disebabkan oleh tungau ini berkaitan erat dengan tingkat
kebersihan hewan, saat hewan kekurangan pakan, musim kemarau dan kandang yang
kotor (Tri akoso, 2003)

Tungau merupakan ektoparasit berukuran kecil yang berfariasi dari 0,5-2 mm

Termasuk parasit obligat, badan tidak beruas,mempunyai thorak, abdomen dan 4 pasang
anggota gerak. Ukuran tungau jantan lebih kecil dari tungau betina, tungau betina mampu
bertelur didalam tubuh indik semang 20-100 butir dan telur berbentuk oval (Farida dkk.,
2003).

Parasit Tungau sangat mendatangkan gangguan pada hewan ternak karena jika
tidak segera ditangani kudis yang ditimbulkan sangat parah (Subronto, 2003). Hewang
yang diserang mengalami penurunan kondisi tubuh, kerugian ekonomi, ketidak senangan
pemelihara dan lingkungan karena sifatnya yang zoonosis (Soeharsono, 2002).

Scabies dapat disebabkan oleh beberapa tife tungau yaitu tife yang membuat
terowongan dalam dan tidak, tungau yang membuat terowongan yang dalam
diantaranya: Sarcoptes, Notoedres, Demodex dan Knemidokoptes. Sedangkan yang tidak
membuat terowongan yaitu: Psoroptes dan Chorioptes.

Scabies yang disebabkan oleh Sarcoptes Scabei, morpologi dari Sarcoptes


scabei adalah: bentuk tubuh bulat, dengan diameter 0,4mm, mempunyai kaki-kaki yang
pendek dan penjuluran briste yang jarang dibagian tepi tubuh, pada bagian dorsal tubuh
terdapat sisik-sisik triangular. Untuk kelangsungan hidupnya tungau memiliki spesifisitas
induk semang dan induk semang yang sering diserang oleh sarcoptes adalah manusia dan
semua hewan mamalia peliharaan (Farida dkk., 2003).

Sarcoptes scabei kawin dalam kulit induk semang, dimana Sarcoptes jantan
kawin dengan Sarcoptes betina, setelah melakukan perkawina jantan akan tinggal
dipermukaan kulit bersama dengan priode nymva, sedangkan sarcoptes betina tinggal
didalam lapisan stratumcorneum dan stratum lucidum sekitar 2 bulan, didalam lapisan
kulit tersebut tungau akan mengeluarkan sekreta dan exreta yang dapat menimbulkan rasa
gatal bagi induk semang (Farida dkk., 2003).

ETIOLOGI

Scabies disebabkan oleh sarcoptes scabei. Penyakit ini memiliki spesifisitas induk
semang, namun dapat menular dari hewan kemanusia dan sebaliknya. Sarcoptes betina
dewasa membuat lorong-lorong didalam kulit, kemudian bertelur didalam lorong
tersebut, telur menetas menjadi larva kemudian larva menjadi nymfa. Nymfa menerobos
kulit dan menjadi tungau dewasa dalam waktu lebih kurang 17 hari setelah telur
dikeluarkan (Tri akoso, 1991).

Patogenesis dan Gejala Klinis

Predileksi Sarcoptes scabei pada anjing yaitu : telinga, hidung, muka dan siku
pada infestasi awal anjing sering menggaruk dan terlihat lesi pada bekas garukan. Kucing
daerah yang sering diserang di telinga, muka, leher dan abdomen. Ternak sapi
sering ditemukan pada daerah leher dan ekor. Pada domba daerah yang sering
diserang bagian tubuh yang tidak berbulu, sedangkan pada kambing ditemukan pada
darah muka, mata dan telinga. Tungau menembus kulit, mengisap cairan limfe dan
memakan sel-sel epidermis. Rasa gatal dialami oleh induk semang dan bila digaruk dan
digosok menyebabkan rasa sakit yang sangat, eksudat yang merenbes keluar
menggumpal dan mengering menimbulkan sisik-sisik dipermukaan kulit. Selanjutnya
terjadi keratinisasi dan proliperasi jaringan ikat, akibatnya kulit menebal dan berkerut
tidak lagi rata, infeksi yang baru saja terjadi dengan gejala awal berupa terbentuknya
erytema diikuti dengan pembentukan papula dan vesikula disertai dengan merembesnya
cairan limfe yang kemudian menjadi keropeng , rambut menjadi jarang atau hilang sama
sekali, pada kasus yang berat dapat meluas keseluruh tubuh (Farida dkk., 2003). Menurut
Soeharsono (2000) rasa gatal yang dialami oleh penderita diberbagai bagian
tubuh menyebabkan napsu makan menurun, kemudian diikuti dengan kekurusan dan
penebalan kulit yang berlebihan. Hewan sekandang cenderung tertular pada saat
bersamaan memperlihatkan ketidaktenangan siang dan malam.

Diagnosa
Penegakan diagnosa didasarkan pada ditemukannya tungau melalui pemeriksaan
kerokan kulit . Kerokan dilakukan dengan menggunakan scalpel pada lapisan kulit yang
mengalami lesi atau keropeng hasil kerokan ditaruh diatas kaca preparat, kemudian
diteteskan NaOH atau KOH 10% sebanyak 1-2 tetes yang berfungsi sebagai
keratokolium, tutup dengan gelas penutup dan diperiksa dibawah mikroskop dengan
pembesaran 100-400 kali sehingga memungkinkan terlihatnya gerakan tungau yang
masih hidup (Triakoso, 1991).

Diferensial Diagnosa

Sebagai diagnosa banding scabiosis yaitu demodekosis, psoroptes dan dermatitis.

Terapi

Menuru Farida dkk., (2003) sebagai terapi dapat digunakan obat-obatan sebagai
berikut:

1. HCH (lidane), yang diaplikasikan dengan perendaman (dipping) dan penyemprotan (spraying)
konsentrasi larutan 0,25 %. Pengobatan diulang 2-3 kali dengan interval waktu 10-14 hari.
2. Caumaphos 50% dengan pengenceran 1%, efektif membunuh berbagai jenis telur dan tungau.
3. Golongan organophospat konsentrasi 10%, tetraethylthiuram monosulfide 5% dalam bentuk
dipping atau spraying.
4. Belerang dan bensil bensoat 5-25%, dioleskan pada kulit penderita, belerang kalsium sulfide
digunakan sebagai obat tofical atau dipping pemberian 3-6 kali selama satu minggu.
5. Ivermectin/ avermectin 1 ml / kg berat badan.
6. Amitraz 0,025% mandikan 2 minggu sekali sebanyak 2-4 kali mandi.
7. Antibiotik sistemik jika ada infeksi skunder.

Pencegahan dan Pengendalian

1. Menjaga kebersihan lingkungan dan kandang


2. Mengawasi ternak yang masuk secara cermat kedalam peternakan
3. Tidak mengawinkan hewan yang menderita, hewan tertular diasingkan
4. Populasi ternak (densitas) agar disesuaikan dengan luas lahan kandang yang tersedia
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Anonimus, 2006. http://www. Anjing Kita.com

Dharma, D.M.N dan AA Gede Putra, 1997. Penyidikan Penyakit Hewan. CV.
Bali Media Adhikarsa.

Athaillah, F. Mufti K, Yudha F, Muhammad H, Winaruddin, 2003. Buku


Ajar Parasitologi Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan UNSYIAH, Banda Aceh.

Soeharsono, 2002. Zoonosis. Kaninus, Yogyakarta.

Subronto, 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I. Edisi Ke-2. Gadjah


Mada University Press. Yogyakarta.

Subronto dan Tjahajati, 2001. Ilmu Penyakit Ternak


II. Gadjah Mada University Press Yogyakarta.
Triakoso. B. 1991. Manual Untuk Paramedis Kesehatan Hewan. Cetakan Ke-2.
P.T. Tirta Wacana, Yogyakarta.

tidak ada komentarbagi

Jul 14, '08 12:22 AM


ERWIN. ORF pada Kambing untuk

RIWAYAT KASUS

Pada tanggal 13 Januari 2007 dilakukan pemeriksaan terhadap seekor Kambing


milik pak Hamdan di kebun FKH. Dari hasil pemeriksaan diketahui kambing tersebut
menderita orf, dengan menunjukkan gejala adanya keropeng berwarna hitam di daerah
moncong. Kemudian dilakukan pengobatan dengan cara dibersihkan dengan alkohol
kemudian keropengnya di cabut, setelah keropengnya bersih diberi Yodium tintur,
metylin blue dan di injeksi dengan pyroxi 0,2 cc. Kambing tersebut sembuh setelah
sepuluh hari kemudian.

PENDAHULUAN

Orf adalah penyakit viral yang sangat infeksius pada domba dan kambing,
disebabkan oleh virus golongan cacar, ditandai dengan terbentuknya papula, vesicula,
pustula dan keropeng pada daerah moncong, bibir, lubang hidung, kelopak mata, putting
susu, ambing, tungkai, perianal, dan selaput lendir di rongga mulut. Penyakit ini tersebar
diseluruh dunia. Umumnya orf menyerang domba dan kambing muda setelah disapih,
tetapi kadang-kadang juga menyerang hewan dewasa. Orf juga dapat menular ke
manusia, memperlihatkan lesi kulit yang berbentuk bulat disertai gatal.

ETIOLOGI

Orf disebabkan oleh virus Parapox, famili Poxviridae, genus Parapoxvirus. Virus
orf berukuran relatif besar 300 – 450 nm x 170 – 260 nm, berbentuk avoid. Apabila
diperiksa di bawah mikroskop elektron transmisi dengan pewarnaan negatif
menggunakan phosphotungtic acid (PTA), maka akan terlihat garis-garis seperti
permukaan buah nenas. Mengingat morfologi dibawah mikroskop elktron yang cukup
menciri, pemeriksaan dengan alat ini mempunyai nilai diagnostik yang tinggi.

Di banding dengan virus pada umumnya, virus orf amat tahan terhadap pengaruh
suhu lingkungan sehingga tetap infektif dalam waktu relatif lama diluar tubuh hewan.
Virus ini sangat tahan terhadap kekeringan, dapat tinggal dalam suatu kandang pada suhu
ruangan selama 15 tahun.

Penderita yang sembuh dari penyakit ini memiliki kekebalan yang disebabkan
oleh terbentuknya antibodi yang bersifat protektif. Antibodi dapat dikenali dengan uji
Agar Gel Immuno Diffusion (AGID-T), CFT, dan uji serologik lainnya.

Patogenesis

Masa inkubasi dari penyakit ini berlangsung selama 2-3 hari. Setelah virus
memasuki mukosa kulit atau mulut, lalu mengadakan proliferasi, dan segera
menyebabkan timbulnya lesi primer papulae dan vesikulae. Vesikulae segera berubah
jadi pustulae setelah terjadi reruntuhan jaringan dan sel-sel darah, hingga rongga diisi
nanah. Vesikulae dan pustulae yang pecah diikuti dengan pembentukan keropeng
berwarna abu-abu, berupa masa yang agak kuat terbentuk sekitar 11 hari kemudian.

Gejala

Lesi kulit terbentuk disekitar mulut dan hidung berupa papula, vesikulae,
pustulae, radang basah, disertai bentukan keropeng ynag berukuran bervariasi sampai
dengan 5 mm, dan menyembul dari permukaan kulit setinggi 2-4 mm. bagian kulit yang
menderita kalau tertekan terasa sakit, hal ini menyebabkan menurunnya nafsu makan.
Kulit jadi menebal karena adanya granulasi jaringan. Lesi juga dapat ditemukan pada
daerah pipi. Oedem yang terjadi juga menyebabkan regangan kulit, hingga kadang
terbentuk luka iris (fisurae).

Kesembuhan pada penyakit yang tidak berat terjadi dalam waktu lebih kurang 3
minggu, ditandai dengan hilangnya keropeng dari daerah sekitar mulut.

Pada manusia yang tertular biasanya ditemukan pada tangan, jari dan bahu. Hanya
kadang-kadang ditemukan pada muka dan bagian lain dari tubuh. Lesi mula-mula
berbentuk mukula atau papula berwarna merah pada tempat kontak. Beberapa hari
kemudian lesi tersebut berubah menjadi vesikel di beberapa tempat dikelilingi oleh
peradangan dan pembengkakan pada kulit. Pada 2 minggu berikutnya permukaan lesi
menjadi berwarna putih dan basah, kemudian membentuk kerak-kerak dan pada bagian
dasar terbentuk ulkus. Ulkus akan sembuh dalam waktu 4-6 minggu dan meninggalkan
sedikit atau tanpa jaringan parut dapat pula ditemukan sedikit pembengkakan kelenjar
limfe regional.

Diagnosa

Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang ditemukan. Jumlah


penderita yang biasanya lebih dari seekor dalam satu kelompok hewan sehingga
memperkuat dugaan adanya orf. Ukuran virus cukup besar dan bentuk virus yang spesifik
memudahkan peneguhan diagnosis. Pada domba dan kambing, lesi yang terlihat cukup
spesifik, dapat didiagnosa secara klinik tanpa bantuan laboratorium.

Diferensial Diagnosa

Diagnosa banding orf pada domba dan kambing meliputi dermatosis ulseratif,
dermatitis karena jamur, eczema facialis, dan penyakit oleh virus cacar (sheeppox).

Terapi

Terapi khusus terhadap orf tidak dikenal. Usahakan pemberian pakan hijau-
hijaun yang halus dan muda. Salep antiseptica dan antimikrobial dapat diberikan. Juga
salep yang memilki daya mengerutkan.

Pengendalian Penyakit

Pada awal wabah orf penderita diupayakan diisolasi, dan yang sehat divaksin.
Aplikasi vaksin dilakukan secara skarifikasi pada bagian tubuh yang mempunyai sedikit
bulu, seperti medial paha atau medial daun telinga. Di daerah yang sering timbul wabah,
vaksinasi anak domba dan kambing pada umur 6-8 mingga dianjurkan. Vaksin dibuat
dengan jalan membuat suspensi keropeng dalam glycerol-saline, dan dioleskan atau
diskarifikasi pada kulit paha sebelah dalam. Dapat juga vaksin digosokkan kedalam
telinga dengan sepotong es yang dicelupkan kedalam vaksin.

Biasanya vaksinasi efektif untuk sedikitnya 2 tahun. Dalam 1 minggu pasca


vaksinasi harus terjadi reaksi lokal ditempat yang divaksin. Bila tidak ada reaksi mungkin
hal tersebut disebabkan karena vaksin yang digunakan tidak cukup paten. Vaksin
komersial dipersipkan melalui pelemahan virus dalam biakan sel.
PEMBAHASAN

Telah dilakukan pemeriksan seekor kambing yang menderita Orf. Orf adalah
penyakit viral yang sangat infeksius pada domba dan kambing, disebabkan oleh virus
parapox, ditandai dengan terbentuknya papula, vesikula, pustula dan keropeng didaerah
moncong.

Masa inkubasi berlangsung 2-3 hari. Virus memasuki mukosa kulit atau mulut,
lalu mengadakan proliverasi dan menyebabkan timbulnya lesi primer papulae dan
vesikulae. Vesikulae segera berubah jadi pustulae setelah terjadi reruntuhan jaringan dan
sel-sel darah, sehingga rongga diisi nanah. Vesikula dan pustula yang pecah diikuti
denagn pembentukan keropeng berwarna abu-abu. Bagian kulit yang menderita kalau
ditekan terasa sakit, hal ini menyebabkan menurunnya nafsu makan. Kulit jadi menebal
karena adanya granulasi jaringan. Oedema yang terjadi juga menyebabkan regangan
kulit, hingga kadang terbentuk luka iris (fisura)

Pengobatan khusus terhadap penyakit orf belum ada. Tetapi untuk tindakan
pencegahan infeksi sekunder dapat dilakukan :

- Bersihkan dengan alkohol

- Keropeng dibersihakn hingga bersih

- Beri Iodium Tincture dan metylen Blue

- Injeksi dengan antibiotik

DAFTAR PUSTAKA
Subronto (2003). Ilmu Penyakit Ternak (mamalia) 1. Edisi kedua. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

Soeharsono (2002). Zoonosis. Kanisius, Yogyakarta.

Tri Akoso B (1991). Manual untuk Paramedis Kesehatan Hewan. Cet. Ke-2. PT
Tirta Wacana, Yogyakarta.

Tri Akoso B (1999). Manual Standar Metode Diagnosa Laboratorium Kesehatan


Hewan. Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Departemen Pertanian, Jakarta.

Ressang, A.A (1984). Patologi Khusus Veteriner. Edisi kedua. Team Leader
IFAD Project: Bali Cattle Diasease Investigation Unit, Denpasar, Bali.

tidak ada komentarbagi

Jul 13, '08 11:56 PM


Erwin. Kolibacillosis untuk

Riwayat Kasus

Pada tanggal 3 September 2007, seekor ternak kambing milik Ny. Murni yang
beralamat di Beurawe, Banda Aceh. Ternak kambing berumur ± 4 bulan dan jenis
kelamin jantan. Keadaan gizi yang kurang baik, temperamen jinak dan habitus normal.
Dari hasil anamnesa diketahui ternak kambing sudah ± 2 hari menderita diare
(seperti pasta), anoreksia dan belum pernah diobati. Keadaan lingkungan yang kurang
baik, begitu juga dengan sanitasi kandang. Ternak kambing dilepas pada pagi hari dan
dikandangkan di malam hari. Frekuensi nafas 18X/ menit, pulsus 80X/ menit dan
temperatur tubuh 41,1 ºC. Hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh sebagai berikut:
keadaan feces lunak seperti pasta, urin bewarna kuning muda, darah bewarna merah dan
cepat membeku. Jumlah Hb 10.5 g/100 ml darah, Ht 27 %, BDM 11.8 x 106 / mm3 dan
jumlah BDP 16.2 x103 mm3. Differensial BDP ; neutrofil 56.60%, Eosinofil 2.12%,
Basofil 1.0%, Limfosit 38.80% dan Monosit 1.46%. Dari hasil pemeriksaan ternak
kambing di diagnosa menderita Kolibacillosis.

Penanganan kasus Kolibacillosis adalah dengan pemberian cairan elektrolit untuk


memperbaiki dehidrasi. Pemberian preparat antipiretik (Sulpidon®) untuk menurunkan
demam dan pemberian antibiotik (Colibact®). Kondisi ternak kambing setelah 3 hari
pasca pengobatan sudah kembali ke keadaan normal.

Pendahuluan

Kambing merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara petani


ternak di pedesaan dengan berbagai tujuan, antara lain sebagai tabungan yang sewaktu-
waktu dapat dijual untuk keperluan hidupnya. Berbagai kendala yang dihadapi dalam
usaha tani ternak kambing, antara lain masalah ketersediaan bibit dan bermacam-macam
penyakit yang dapat menyerang ternak ruminansia kecil ini (Bahri dkk., 2007).

Tingginya tingkat kematian anak kambing pada periode prasapih serta rendahnya
laju pertumbuhan bobot hidup merupakan salah satu penyebab rendahnya tingkat
produktivitas kambing (Yulistian dkk., 1999). Penyebab tingginya angka kematian pada
ternak kambing sebagian besar disebabkan oleh besar diakibatkan oleh beberapa penyakit
infeksi seperti Salmonellosis, Kolibacillosis, Helminthiasis, koksidiosis dan penyakit
viral, seperti rotavirus. Pada umumnya penyakit diatas dapat menyebabkan hewan
mengalami diare dan selanjutnya diikuti oleh gejala kekurangan cairan tubuh,
malabsorbsi dan penurunan asupan cairan (Anonimous, 1989).
Salah satu penyakit yang menyerang sistim pencernaan pada ternak kambing
adalah Kolibacillosis. Kolibacillosis merupakan penyakit infeksi yang menyerang sistim
pencernaan, terutama pada anak kambing. Secara klinis ada dua bentuk Kolibacillosis,
yaitu bentuk toksemia dan bentuk klasik (Subronto, 2003).

Tinjauan Kepustakaan

Etiologi

Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang selalu dapat
diisolasi dari saluran pencernaan. Karena seringnya diisolasi dalam jumlah banyak,
bakteri ini di duga sebagai penyebab utama Kolibacillosis (Subronto, 2003). Dalam
keadaan normal E. coli merupakan flora normal dari saluran pencernaan, namun jika
jumlanya menjadi banyak bakteri ini merupakan salah satu penyebab diare pada ternak
kambing. Bakteri ini menjadi patogen ketika mereka mencapai jaringan diluar intestinal
normal atau tempat flora normal yang kurang umum (Brooks dkk., 2001). Nuzuludin dkk.
(2006) menyatakan disamping itu Kolibacillosis juga dapat disebabkan oleh banyaknya
genangan air disekitar kandang dan bau ammonia yang berlebihan dari sisa kotoran.

Dari aspek karakteristik virulensinya gejala penyakit diare yang ditimbulkan


bakteri E coli dibedakan dalam 5 bentuk, yaitu EPEC (enterophatogenic E coli), EHEC
(enterohemorrhagic E coli), ETEC (enterotoxigenic E coli), EAEC
(enteroagregative E coli), AIEC (enteroinvasive E coli) (Brooks dkk., 2001). Diantara
kelima bentuk ini yang sering menimbulkan kematian pada hewan adalah bentuk EHEC,
yang menyebabkan septikemia yang biasanya diikuti dengan kematian (Subronto, 2003).
Patogenesa

Infeksi Kolibacillosis dapat terjadi melalui kontak langsung dengan lingkungan


yang kotor dan sanitasi kandang yang kurang baik merupakan faktor pendukung penyakit
ini. Di dalam saluran pencernaan bakteri E. coli menghasilkan endotoksin yang dapat
meningkatkan sekresi cairan dan elektrolit yang berlebihan ke dalam lumen usus saluran
pencernaan.

Peningkatan peristaltik usus menyebabkan sejumlah besar elektrolit, ion dan


cairan keluar dari kolon dan usus halus melalui feces diare. Untuk menutupi kekurangan
cairan dan elektrolit di dalam usus, terjadilah mobilisasi sejumlah cairan dan elektrolit
dari jaringan-jaringan lain ke usus, sehingga hewan akan menunjukkan gejala dehidrasi.

Dehidrasi pada hewan bila tidak segera ditangani dapat menyebabkan hewan mati
karena mengalami beberapa perubahan pada tubuh dalam seketika seperti, shock (Bianca
dkk., 1970; Blood dkk., 1979). Subronto (2003) menambahkan shock dan kolaps sistim
peredaran darah diakibatkan oleh asidosis yang biasanya dapat berakhir dengan kematian.

Gejala Klinis

Ada beberapa bentuk gejala klinis yang ditimbulkan oleh bakteri ini, yaitu bentuk
EPEC yang menyebabkan timbulnya diare, feces berbentuk pasta atau sangat berair,
warna feces putih atau kuning muda dengan bau sangat menusuk. Dalam feces juga
dapat ditemukan darah segar, nafsu makan menurun dan pada aukultasi di daerah
abdomen terdengar suara berpindahnya cairan elektrolit karena peningkatan peristaltik
usus (Subronto, 2003). Pertolongon dehidrasi harus dilakukan segera mungkin, karena
jika diare berlangsung lama dan hewan akan mengalami dehidrasi berat, hingga timbul
asidosis yang diikuti dengan kegagalan sirkulasi perifer.

EHEC bersifat septikemia yang menyebabkan sepsis yang diikuti dengan


pendarahan dan kematian dalam waktu singkat. Bentuk lain gejala klinis dari bakteri ini
adalah ETEC, yang dapat menghasilkan toksin yang berbahaya bagi hewan yang
ditandai denagan kelemahan, suhu tubuh subnormal, pulsus lemah dan tidak disertai
dengan gejala diare (Subronto, 2003). Brooks dkk. (2001) menyatakan EIEC
menyebabkan penyakit yang mirip dengan Syigellosis. EIEC menyebabkan penyakit
diare dengan menyerang sel epitel mukosa usus. EAEC menyebabkan diare yang akut
dan kronis (dalam waktu > 14 hari).

Patogenesa EAEC penyebab diare tidak begitu dipahami dengan baik, meskipun
demikian dinyatakan bahwa EAEC melekat pada mukosa intestinal dan menghasilkan
enterotoksisn dan sitotoksin. Akibatnya adalah kerusakan mukosa, pengeluaran sejumlah
besar mucus dan terjadinya diare (Brooks dkk., 2001).

Diagnosa

Subronto (2003) menyatakan sulit untuk dapat dipastikan bahwa bakteri E.


coli yang dapat diisolasikan dari feces merupakan penyebab primer untuk terjadinya
diare. Diagnosa dapat diarahkan berdasarkan gejala klinis, perubahan patologi anatomi
dan gambaran epidemiologi. Namun demikian, diagnosa perlu didukung oleh isolasi dan
identifikasi bakteri E. coli patogen di laboratorium (Dharma dan Putra, 1997).

Hasil pemeriksaan patologi anatomi dari hewan sekandang dengan hewan sakit,
mungkin dapat digunakan untuk menerangkan penyebab penyakit pada hewan lain.
Faktor-faktor lain, misalnya pakan, bentuk air susu yang diberikan ataupun virus yang
dapat mengakibatkan bakteri E. coli dapat membentuk koloni dan kemudian
mengadakan proliferasi dalam jaringan usus(Subronto, 2003).

Differensial Diagnosa

Transmissable gastroenteritis (Dharma dan Putra, 1997).

Pengobatan

Pemberian cairan faali dan elektrolit dipandang sangat penting untuk dilakukan
dalam praktek. Pemberian tergantung derajat dehidrasi yang dialami hewan. Sherman
(1978) menganjurkan pemberian garam faali dengan sodium bikarbonat faali (1,3%)
dengan dosis 50-100 ml/kg bb yang diberikan pada 6 jam pertama. Selanjutnya pada 20
jam berikutnya diberikan larutan tersebut 140 ml/kg bb, yang diberikan bertahap secara
intavena.

Untuk mengurangi populasi bakteri E. coli dapat diberikan antibiotic atau preparat
sulfa diwah petunjuk dokter hewan (Dharma dan Putra, 1997). Subronto (2003)
menyatakan pemberian antibiotik secara oral mungkin dapat menghasilkan efek negatif,
yaitu terlarutnya bakteri E. coli. Tosin tersebut dapat mengakibatkan kematian mendadak
karena shock endotoksin.

Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara memisahkan ternak yang diare untuk
menghindari terjadinya kontaminasi lingkungan dengan agen penyakit. Kandang selalu
diusahakan dalam keadaan kering dan hangat. Jika ternak kambing dilepas, diusahakan
agar tidak masuk ke dalam lingkungan yang terkontaminasi bakteri ini dan apabila
kambing dikandangkan, maka diusahakan agar kandang selalu bersih, kering dan hangat
dengan fentilasi udara yang baik (Bahri, 2007). Dharma dan Putra (1997) menyatakan
pemilihan bibit kambing sebaiknya berasal dari peternakan yang bebas penyakit ini dan
vaksinasi dapat dilakukan secara teratur.

Vaksin ETEC dibuat dalam bentuk inaktif dan aplikasinya secara intramuscular
pada induk bunting. Vaksin ETEC multivalen ini terdiri atas E. coli K88, E. coli K99, E.
coli F41, dan E. coli 978P. Pada tahap pertama induk di vaksin pada umur kebuntingan
80 hari dengan dosis 2-2,5 ml/ekor dan diulangi pada umur kebuntingan 110-120 hari
dengan dosis yang sama dan diinjeksikan secara subkutan, sehingga diharapkan setelah
partus anak kambing dapat memperoleh kolostrum secara optimal melalui susu
(Anonimous, 2002).
Pembahasan Kasus

Telah dilakukan pemeriksaan pada seekor ternak kambing berumur 4 bulan


dengan diagnosa Kolibacillosis. Kolibacillosis merupakan penyakit diare menular yang
bersifat akut dan fatal pada hewan, ditandai dengan diare putih dan terjadinya toksimia
atau septicemia. Kolibacillosis biasanya terjadi pada minggu pertama, terutama pada anak
kambing yang tidak cukup menerima kolostrum. Pada dasarnya diare timbul karena
infeksi bakteri E. coli dalam jumlah yang banyak pada saluran pencernaan. E.
coli menghasilkan endotoksin yang dapat meningkatkan sekresi cairan dan elektrolit yang
dapat meningkatkan peristaltik usus, sehingga terjadilah diare. Mobilisasi cairan dan
elektrolit dari jaringan lain ke usus menyebabkan jaringan lain kekurangan cairan
elektrolit, sehingga hewan menunjukkan gejala dehidrasi dan goncangan keseimbangan
elektrolit. Asidosis yang ditimbulkan dapat menyebabkan kegagalan sistim peredaran
darah yang dapat diikuti dengan kematian.

Pertolongan awal terhadap kasus Kolibacillosis dapat dilakukan dengan


pemberian cairan NaCL sangat dianjurkan dilapangan dengan tujuan memperbaiki
dehidrasi. Pemberian antibiotik atau preparat sulfa (Colibact®, Sulfa Strong®) dapat
dilakukan untuk mengurangi jumlah bakteri ini. Ternak kambing terlihat sembuh dalam
waktu ± 3 hari pasca pengobtan. Untuk memperbaiki dehidrasi untuk kembali ke keadaan
optimal dibutuhkan waktu beberapa hari, disamping itu pemberian pakan yang
mengandung karbohidrat, vitamin dan mineral dapat mempercepat pemulihan.

Daftar Kepustakaan

Anonimous.(2002). Vaksin ETEC – Multivalen.

http://.iniansredef.org/bpmpp.htm

Anonimous.(1989). Survey Sosial Ekonomi Nasional. BPS-Republik Indonesia.


Bahri, S., R.M.A. Adjid, A.H. Wardhana dan Beriajaya.(2007). Manajemen Kesehatan
Dalam Usaha Ternak Kambing. Lokakarya Nasional Kambing Potong. Balai
Penelitian Veteriner, Bogor.

Bianca, W.(1970). Effects of Dehydration, Rehydration and Overhydration on the Blood


and Urine of Oxen. Br Vet. J. Vol. 126; 121-131.

Blood, D.C., J.A. Henderson and O.M. Radostits.(1979). Veterinary Medicine. A


Textbook of the Disease of Cattle, Sheeps, Pigs and Horse. 4th. The English
Language Booki Society and Bailliere Tindall.

Brooks, G.F., J.S. Butel dan S.A. Morse.(2001). Mikrobiologi Kedokteran.


Diterjemahkan Oleh Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Salemba Medika, Jakarta.

Dharma, D.M.N dan A.A.G. Putra.(1997). Penyidikan Penyakit Hewan. CV. Bali Media,
Denpasar.

Nuzuludin dan Dian.(2006).Kejadian dan Penanggulangan Colibacillosis di Peternakan


Bangun Poultry Shop Sukowinangun-Magetan. JIPTUNAIR/ 11:47:32

Sherman, D.M.(1978). Fluid Therapy in the Calf. Clinical Laboratory Procedures for the
Large Animal Practioners. Fall Conf. for Veterinarians. Coll. Vet. Med., U. of
M., St. Paul, Minn, USA.

Subronto.(2003). Ilmu Penyakit Ternak (mamalia) I. Gadjah Mada University Press,


Yogyakarta.
Yulistiani, D., I.W. Mathius, I. Adiati, G.R. Hastono, I.G.M. Budiarsono dan Sutomo.
(1999). Respon Produksi Kambing PE Induk Akibat Pemberian Pakan Pada
Fase Bunting Tua dan Laktasi. Balai Penelitian Ternak dan Veteriner. Vol 4,
Bogor.

http://erwinklinik.multiply.com/journal
“Air Borne Disease”
Filed under: http://fkm.undip.ac.id — fitridiahkusuma @ 6:08 pm

Pada umumnya penularan melalui saluran pernafasan lewat udara. Salah satu contoh penyakitnya
yaitu “SARS”
SARS (SEVERE ACUTE RESPIRATORY SYNDROME)
A. Pengertian:
Sindrom pernafasan akut parah (severe acute respiratory syndrome/ SARS) merupakan gejala pada saluran
nafas seperti batuk, flu, bersin, dan sesak nafas dan terjadinya paru-paru/ pneumonia yang timbul secara
akut (tiba-tiba/ dalam hitungan hari serta dapat menjadi sangat parah , bahkan menganjam jiwa.
UPI ( United Press International), tangggal 11 januari 2004 melaporkan seorang pria berumur 35 tahun
bekerja sebagai reporter TV freelance di Guangdong dan seorang Waitress berumur 20 tahun masuk rumah
sakit dengan diagnose suspect SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) atau tanda- tanda gangguan
pernafasan berat yang terjadi secara akut. Informasi berikut, penderita tersebut betul-betul menderita
SARS dan puluhan orang yang kontak dengan penderita, dikarantina. Kemudian pada tanggal 31 januari
2004, melaporkan bahwa selama bulan Januari 2004, di Cina telah diidentifikasi 4 kasus baru SARS,
diantaranya seorang dokter yang menjadi direktur Rumah Sakit di Guangdong. Pada 21 November 2003
WHO mengumumkan telah terjadi peningkatan penderita influenza yang disebabkan oleh virus A (H3N2) di
beberapa Negara Amerika Utara yang menyebar ke Eropa. Selain itu Cina, Vietman, Thailand, dan
Kamboja serta beberapa daerah di Indonesia, sedang flu burung yang disebabkan oleh virus tipe A (H5
N1).
Dari kenyataan tersebut diatas,mungkinkah SARS akan merebak lagi seperti awal tahun 2003 yang lalu?
Penularan SARS kelihatannya berasal dari penderita yang menulari orang yang berada satu ruangan
tertutup bersama penderita. Dari catatan WHO sampai tanggal 23 Juni 2003, terdapat 8.459 orang yang
terinfeksi SARS dan 805 di antanya meninggal (Angka kematian 9,5 %).

B. Epidemiologi
Penyebaran SARS diketahui melalui kontak langsung dengan penderita. Ludah, dahak dan cairan yang
dikeluarkan saat bersin, batuk dan aliran nafas merupakan media penularan. Para peneliti menemukan
bahwa penyebabnya adalah sejenis virus yang termasuk dalam kelompok virus corona penyebab influensa
biasa. Pertanyaannya adalah mengapa virus tersebut menjadi ganas dan sulit dikendalikan? Sejak
diketahui pertama kali di Guangdong akhir November 2002, dalam dua bulan SARS menyebar ke berbagai
kota di China bahkan sampai ke negara-negara yang jauh dari daratan China, seperti Canada dan
Singapura. Dilaporkan seorang pedagang China dari Hongkong masuk Rumah Sakit Vietnam-France Hospital
yang kemudian ternyata menderita SARS dan menjadi pemicu berjangkitnya penyakit ini di Vietnam. Dia
terinfeksi oleh seorang dokter dari Guangdong yang menginap bersama satu lantai di Metropole
Hotel Hanoi. Dia dan petugas RS tersebut kemudian diteliti oleh DR.Carlo Urbani yang juga terinfeksi dan
meninggal karena SARS; selanjutnya Vietnam-France Hospital ditutup sementara untuk investigasi.
Mulanya SARS dilaporkan diderita oleh seorang lelaki yang suka makan dan berburu binatang liar di
Guangdong. Coronavirus sebagai agen penyebab SARS
Penelitian selanjutnya melakukan uji darah terhadap 25 binatang sampel yang ternyata tidak menemukan
virus corona. Selanjutnya Kwak Yung Yuen dkk. dari University of Hongkong dapat mengisolasi virus corona
dari kotoran hewan dan cairan hidung binatang Paguma larvata sejenis musang Himalaya yang banyak
dijual dan dimakan di restoran-restoran di Guangdong. Diperkirakan binatang ini tertular virus influenza
dari manusia, mengalami mutasi, kemudian menjadi virulen dan menginfeksi manusia yang memakannya.
Penyebarannya secara global terjadi melalui seorang Profesor medik China dari Guangdong yang
terinfeksi, menempati Kamar no.911 di Hongkong Hotel, kemudian menularkannya secara tidak sengaja
pada 7 orang tamu yang menginap di lantai yang sama. Tingkat penyebarannya sangat cepat melalui orang
perorang, diperkirakan virus ini mempunyai kemampuan luar biasa yang dapat menulari sekaligus 300
orang lainnya.
Departemen Kesehatan mengeluarkan Surat Kaputusan nomor 424/ Menkes/ SK/IV/2003, tentang
penetapan SARS sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah dan membuat pedoman
penanggulangannya.
C. Tanda dan Gejala
Menurut WHO, kriteria penderita SARS sebagai berikut
1. Demam tinggi lebih dari 38 derajat Celsius.
2. Mengidap satu atau lebih gejala pernapasan, seperti batuk, sesak napas, napas pendek, dan kesulitan
bernapas.
3. Mengalami satu atau lebih keadaan berikut
a. Dalam sepuluh hari terakhir sebelum sakit telah melakukan kontak erat dengan seseorang yang telah
didiagnosis SARS.
b. Dalam sepuluh hari terakhir melakukan perjalanan ke tempat yang dilaporkan sebagai fokus penularan
SARS (Cina, Hongkong, Vietnam, dan Kanada)
4. Menderita gejala-gejala fisik
a. Sakit kepala
b. Nyeri otot
c. Nafsu makan hilang
d. Lemah
e. Timbul kemerahan di kulit
f. Timbul sariawan atau luka di mulut
g. Diare
Pada pemeriksaaan laboratorium darah ditemukan trombositopeni dan leukopeni. Rontgen photo thorax
tampak tanda-tanda radang paru (pneumoni). Masa inkubasi 2-7 hari.

D. Dampak
SARS berdampak pada dunia pariwisata, transportasi, pendidikan, pengiriman tenaga kerja, pertandingan
sepakbola dan perdagangan antar negara. Belum ada sebelumnya suatu penyakit yang berimbas begitu
besar pada sektor ekonomi, kecuali epidemi pes yang berkecamuk lebih dari 50 tahun di Asia dan Eropa
pada awal abad 18 yang diperkirakan membunuh lebih dari 100 juta orang.

E. Pencegahan
Para peneliti sedang bekerja pada beberapa jenis vaksin untuk SARS, tetapi tidak ada telah diuji pada
manusia. Jika infeksi SARS melanjutkan, ikuti petunjuk keselamatan jika Anda merawat orang yang
terinfeksi:
a. Cuci tangan Anda. Bersihkan tangan Anda sering dengan sabun dan air panas atau menggunakan tangan
berbasis alkohol gosok yang mengandung paling sedikit 60 persen alkohol.
b. Pakailah sarung tangan sekali pakai,. Jika Anda telah menghubungi seseorang tubuh dengan cairan atau
kotoran memakai sarung tangan sekali pakai. Throw the gloves away immediately after use and wash your
hands thoroughly. Melemparkan sarung tangan segera setelah digunakan dan cuci tangan Anda secara
menyeluruh.
c. Memakai masker bedah. Ketika Anda di ruang yang sama sebagai orang dengan SARS, menutup mulut
dan hidung dengan masker bedah. Mengenakan kacamata mungkin juga menawarkan perlindungan.
d. Cuci barang pribadi. Gunakan sabun dan air panas untuk mencuci peralatan, handuk, selimut dan
pakaian dari seseorang dengan SARS.
e. Hama permukaan. Gunakan rumah tangga disinfektan untuk membersihkan permukaan yang mungkin
telah terkontaminasi dengan keringat, air liur, lendir, muntah, tinja atau urin. Pakailah sarung tangan
sekali pakai saat Anda membersihkan dan membuang sarung tangan setelah Anda selesai.
Ikuti semua tindakan pencegahan untuk setidaknya 10 hari setelah tanda-tanda orang itu dan gejala
hilang. Jauhkan anak-anak pulang dari sekolah jika mereka mengembangkan demam atau gejala
pernafasan dalam waktu 10 hari setelah terpapar seseorang dengan SARS. Anak-anak dapat kembali ke
sekolah jika tanda-tanda dan gejala hilang setelah tiga hari.

F. Pengobatan
Penderita SARS perlu segera ditolong untuk mendapat perawatan dengan isolasi.
1. Antibiotik, kadang diperlukan bila ada radang paru yang atipik
2. Obat antivirus, juga digunakan
3. Kortikosteroid dosis tinggi untuk mengurangi reaksi radang paru
4. Pada penderita serius dan berat bisa dipakai serum dari penderita SARS yang sudah sembuh
5. Obat lain, oksigen, pisioterapi rongga dada, dan alat bantu pernapasan digunakan pada penderita yang
dirawat.

Referensi :
Dep.Kes.RI. 2003: 8 Pedoman Surveilans Epidermiologi Penyakit SARS, Dep. Kesehatan, Jakarta
Kepmenkes No. 424/MENKES/SK/IV/2003 tentang Penetapan SARS sebagai penyakit yang dapat
menimbulkan wabah dan pedoman penanggulangannya, 2003.
UPI 17 Desember 2003. Internet media January 11, 2004.
WHO. 2004 Communicable Disease Surveilance and Response (CSR),New Case of Laboratory-Confirmed
SARS in Guangdong,China Update, January 31, 2004.
Yatim, Faisal. 2007. Macam-macam Penyakit Menular dan Cara Pencegahannya Jilid 2. Jakarta: Obor
Populer.

Tinggalkan sebuah Komentar


“Food and Water Borne Disease”.
Filed under: http://fkm.undip.ac.id — fitridiahkusuma @ 6:02 pm

Pengertian:
Penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan dan minuman biasanya bersifat person-to-person (orang
ke orang) melalui faecal-oral. Salah satu contoh penyakit Food and Water Borne Disease yaitu:

DEMAM TYPHOID
(Demam enterik, Tifus Abdominalis)
A. Pengertian :
1. Demam Thyphoid adalah enyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri ditandai dengan demam
insidious yang berlangsung lama, sakit kepala yang berat, badan lemah, anoreksia, bradikardi relatif,
splenomegali, pada penderita kulit putih 25% diantaranya menunjukkan adanya “rose spot” pada
tubuhnya, batuk tidak produktif pada awal penyakit, pada penderita dewasa lebih banyak terjadi
konstipasi dibandingkan dengan diare. Gejala lebih sering berupa gejala yang ringan dan tidak khas.
2. Demam Thyfoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakteremia,
perubahan pada sistem RES yang bersifat difus, pembentukan mikroasbes dan ulserasi Nodus Peyer di
distal ileum. (FKUI, 1985)
3. Tifus abdominalis adalah infeksi yang mengenai usus halus, disebarkan dari kotoran ke mulut melalui
makanan dan air minum yang tercemar dan sering timbul dalam wabah. (Markum, 1991).

B. Identifikasi
Pada demam tifoid dapat terjadi ulserasi pada plaques peyeri pada ileum yang dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan atau perforasi (sekitar 1% dari kasus), hal ini sering terjadi pada penderita yang
terlambat diobati. Dapat juga timbul demam tanpa disertai keringat, gangguan berfikir, pendengaran
berkurang dan parotitis. CFR pada waktu belum ditemukannya antibiotika bisa mencapai 10 – 20%, saat ini
CFR kurang dari 1% jika segera diberikan pengobatan dengan antibiotika yang tepat. Tergantung pada
jenis antibiotika yang dipakai, penderita yang telah sembuh dapat mengalami relaps (kira-kira 15 – 20%),
biasanya penyakit lebih ringan dibandingkan dengan penyakit yang dialami pertama kali. Nomenklatur
baru berdasarkan hubungan DNA diusulkan untuk pemberian nama pada salmonella sesuai dengan
nomenklatur baru tersebut hanya ada dua species salmonella yaitu – Salmonella bongori dan Salmonella
enterica. Semua bakteri yang pathogen terhadap manusia dikelompokkan kedalam serovarian dibawah sub
species I dan S. enterica. Dengan nomenklatur baru yang diusulkan tersebut maka S. typhi akan berubah
menjadi S. enterica serovarian Typhi dan disingkat dengan S. Typhi (penulisannya tidak dengan huruf
italik dan ditulis dengan huruf besar). Beberapa badan resmi telah menggunakan nomenklatur yang
diusulkan tersebut walapun sampai dengan pertengahan tahun 1999 nomenklatur baru tersebut belum
disahkan pemakaiannya. Pada bab ini telah digunakan nomenklatur baru tersebut. Demam paratifoid
memberikan gambaran klinis yang sama dengan demam tifoid, namun cenderung lebih ringan dengan CFR
yang jauh lebih rendah. Ratio Distribusi Penyakit yang disebabkan oleh Salomnella enterica serovarian
Typhi (S. Typhi) dibandingkan dengan S. enterica serovarian Paratyphi A dan B (S. Paratyphi A, S.
Paratyphi B) kira-kira 10 : 1. Relaps dapat terjadi pada 3 – 4% dari kasus. Jika infeksi Salmonella tidak
terjadi secara sistemik maka manifestasinya hanya berupa gastro enteritis. Organisme penyebab penyakit
dapat diisolasi dari darah pada permulaan penyakit, sedangkan pada urine dan tinja organisme baru dapat
ditemukan seminggu setelah sakit. Konfirmasi bakteriologis melalui pemeriksaan kultur sampel sumsum
tulang adalah yang terbaik walaupun pada penderita yang telah mendapatkan pengobatan antibiotika
(kultur sampel sumsum tulang ini dengan “recovery” mencapai 90 – 95%). Tes serologis seperti tes widal
nilai diagnostiknya rendah karena sensitivitas dan spesifisitasnya rendah

C. Epidemiologi
Kejadian tahunan demam tifoid di seluruh dunia adalah sekitar 17 juta kasus, dengan diperkirakan
600.000 kematian. Di AS kurang dari 500 kasus terjadi setiap tahun, dan 70% dari ini diperoleh saat
bepergian internasional. Selama sepuluh tahun terakhir, wisatawan untuk Asia, Afrika, dan Amerika Latin
telah sangat beresiko. Antimicrobial tahan strain menjadi semakin lazim. Wabah telah terjadi di AS dari
makanan dibawa ke sini dari negara lain. Meskipun saran untuk sebaliknya, wabah lakukan tidak terjadi
sebagai akibat dari banjir atau bencana lainnya di negara-negara, seperti Amerika Serikat, yang tidak
endemik tifus. Ada rata-rata satu sampai dua kasus tifoid dilaporkan di setiap tahun.

D. Distribusi penyakit
Penyakit ini tersebar merata diseluruh dunia. Insidensi penyakit demam tifoid diseluruh dunia mencapai
17 juta setahun dengan jumlah kematian sebanyak 600.000 orang. Di Amerika Serikat demam tifoid
muncul sporadis dan relatif konstan berkisar antara 500 kasus setahun selama bertahun-tahun (bandingkan
dengan demam tifoid yang dilaporkan sebanyak 2484 pada tahun 1950). Dengan memasyarakatnya
perilaku hidup bersih dan sehat, memasyarakatnya pemakaian jamban yang saniter maka telah terjadi
penurunan kasus demam Tifoid, dan yang terjadi di Amerika Serikat adalah kasus import dari daerah
endemis. Sekarang sering ditemukan strain yang resisten terhadap kloramfenikol dan terhadap antibiotika
lain yang umum digunakan untuk demam tifoid. Kebanyakan isolat yang dikumpulkan pada tahun 90an
dari Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah dan Afrika Timur Laut adalah strain yang membawa
plasmid dengan faktor R yang membawa kode resistens terhadap berbagai jenis antibiotika yang dulu
umum dipakai untuk mengobati demam tifoid seperti kloramfenikol, amoksisilin,
trimetroprim/sulfametoksasol. Demam paratifoid muncul secara sporadis atau muncul sebagai KLB
terbatas, mungkin juga kejadiannya lebih banyak daripada yang dilaporkan. DI AS dan Kanada demam
paratifoid jarang teridentifikasi. Dari ketiga jenis demam paratifoid, paratifoid B adalah yang paling
sering ditemukan, paratifoid A lebih jarang dan yang paling jarang adalah paratifoid C.

E. Etiologi penyakit
Demam tifoid disebabkan oleh S. Typhi (Salmonella Thyposa) basil Tifoid. Untuk tujuan studi epidemiologi
maka prosedur pemeriksaan laboratorium “phage typing” dan “pulsed field geelectrophoresis” dari S.
Typhi mempunyai nilai yang tinggi untuk melakukan identifikas terhadap isolat. Untuk demam paratifoid
dikenal ada 3 serovarians S. enterica yaitu : S. Paratyphi A, S. Paratyphi B, S. Paratyphi C. Dikenal
beberapa macam “phage types”. Salmonela merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang yang
termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Salmonella memiliki karakteristik memfermentasikan glukosa
dan mannose tanpa memproduksi gas, tetapi tidak memfermentasikan laktosa atau sukrose. Seperti
Enterobacteriaceae yang lain Salmonella memiliki tiga macam antigen yaitu antigen O (tahan panas,
terdiri dari lipopolisakarida), antigen Vi (tidak tahan panas, polisakarida), dan antigen H (dapat
didenaturasi dengan panas dan alkohol). Antigen ini dapat digunakan untuk pemeriksaan penegak
diagnosis.
(Brooks, 2005).
F. Masa Inkubasi
Masa inkubasi tergantung pada besarnya jumlah bekteri yang menginfeksi; masa inkubasi berlangsung dari
3 hari sampai dengan 1 bulan dengan rata-rata antara 8 – 14 hri. Untuk gastroenteris yang disebabkan oleh
paratifoid masa inkubasi berkisar antara
1 – 10 hari.

G. Mekanisme penularan
Penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh tinja dan urin dari penderita
atau carrier. Dibeberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang kerangan yang berasal
dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk dengan kotoran manusia, susu
dan produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau penderita yang tidak teridentifikasi. Lalat dapat
juga berperan sebagai perantara penularan memindahkan mikroorganisme dari tinja ke makanan. Di
dalam makanan mikroorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif, dimana
dosisnya lebih rendah pada tifoid dibandingkan dengan paratifoid.
Penyakit demam Tifoid ini bisa menyerang saat kuman tersebut masuk melalui makanan atau minuman,
sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Dan melalui peredaran darah, kuman sampai
di organ tubuh terutama hati dan limpa. Ia kemudian berkembang biak dalam hati dan limpa yang
menyebabkan rasa nyeri saat diraba.

H. Kerentanan dan kekebalan


Setiap orang rentan terhadap infeksi, kerentanan ini meningkat pada orang yang menderita akhlorhidria
atau pada orang yang menderita infeksi HIV. Imunitas spesifik relatif dapat timbul setelah seseorang
mengalami infeksi baik yang menunjukkan gejala klinis maupun pada mereka yang tapa gejala. Imunitas
dapat juga muncul setelah pemberian imunisasi. Didaerah endemis demam tifoid sering ditemukan pada
anak prasekolah dan anak-anak berusia 5 – 19 tahun.
I. Cara Control Pemberantasan
Pencegahan
1. Berikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya mencuci tangan setelah buang air besar
dan sebelum memegang makanan dan minuman, sediakan fasilitas untuk mencuci tangan secukupnya. Hal
ini terutama penting bagi mereka yang pekerjaannya sebagai penjamah makanan dan bagi mereka yang
pekerjaannya merawat penderita dan mengasuh anak-anak.
2. Buanglah kotoran pada jamban yang saniter dan yang tidak terjangkau oleh lalat. Pemakaian kertas
toilet yang cukup untuk mencegah kontaminasi jari. Ditempat yang tidak ada jamban, tinja ditanam jauh
dari sumber air dihilir.
3. Lindungi sumber air masyarakat dari kemungkinan terkontaminasi. Lakukan pemurnian dan pemberian
klorin terhadap air yang akan didistribusikan kepada masyarakat. Sediakan air yang aman bagi perorangan
dan rumah tangga. Hindari kemungkinan terjadinya pencemaran (backflow) antara sistem pembuangan
kotoran (sewer system) dengan sistem distribusi air. Jika bepergian untuk tujuan pikinik atau berkemah
air yang akan diminum sebaiknya direbus atau diberi bahan kimia.
4. Berantas lalat dengan menghilangkan tempat berkembang biak mereka dengan sistem pengumpulan
dan pembuangan sampah yang baik. Lalat dapat juga diberantas dengan menggunakn insektisida,
perangkap lalat dengan menggunakan umpan, pemasangan kasa. Jamban konstruksinya dibuat sedemikian
rupa agar tidak dapat dimasuki lalat.
5. Terapkan standar kebersihan pada waktu menyiapkan dan menangani makanan; simpan makanan dalam
lemari es pada suhu yang tepat. Perhatian khusus harus diberikan pada salad dan makanan lain yang
dihidangkan dalam keadaan dingin. Standar kebersihan ini berlaku untuk makanan yang disiapkan dirumah
tangga maupun yang akan disajikan untuk umum. Jika kita kurang yakin akan standar kebersihan ditempat
kita makan, pilihlah makanan yang panas dan buah-buahan sebaiknya dikupas sendiri.
6. Lakukan pasteurisasi terhadap susu dan produk susu. Lakukan pengawasan yang ketat terhadap sanitasi
dan aspek kesehatan lainnya terhadap produksi, penyimpanan dan distribusi produk susu.
7. Terapkan peraturan yang ketat tentang prosedur jaga mutu terhadap industri yang memproduksi
makanan dan minuman. Gunakan air yang sudah diklorinasi untuk proses pendinginan pada waktu
dilakukan pengalengan makanan.
8. Batasi pengumpulan dan penjualan kerang-kerangan dari sumber yang jelas yang tidak tercemar.
Rebuslah kerang sebelum dihidangkan.
9. Beri penjelasan yang cukup kepada penderita, penderita yang sudah sembuh dan kepada carrier
tentang cara-cara menjaga kebersihan perorangan. Budayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun
setelah buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan.
10. Promosikan pemberian air susu ibu kepada bayi yang sedang menyusui. Rebuslah susu dan air yang
akan dipakai untuk makanan bayi.
11. Carrier dilarang untuk menangani/menjamah makanan dan dilarang merawat penderita. Lakukan
identifikasi terhadap carrier dan lakukan pengawasan terhadap mereka. Pembuatan kultur dari sampel
limbah dapat membantu untuk menentukan lokasi carrier. Carrier kronis harus diawasi dengan ketat dan
dilarang melakukan pekerjaan yang dapat menularkan penyakit kepada orang lain. Yang bersangkutan
dapat dibebaskan dari larangan ini apabila sudah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan yang
berlaku yaitu tiga kali berturut-turut sampel tinja yang diperiksa menunjukkan hasil negatif, khusus untuk
daerah endemis schistosomiasis sampel yang diambil adalah sampel urin. Sampel diambil dengan interval
satu bulan dan 48 jam setelah pemberian antibiotika terakhir. Sampel yang baik adalah tinja segar. Dan
dari tiga sampel yang berturut-turut diambil dengan hasil negatif minimal satu sampel harus diambil
dengan cara melakukan lavemen/klisma. Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini menemukan bahwa
penggunaan derivate quinolone yang baru yang diberikan secara oral memberikan hasil yang baik untuk
mengobati carrier walaupun ada kelainan empedu; untuk mengetahui apakah telah terjadi penyembuhan
perlu dilakukan pemeriksaan kultur.
12. Untuk demam tifoid pemberian imunisasi tidak dianjurkan di AS. Saat ini imunisasi hanya diberikan
kepada mereka dengan risiko tinggi seperti petugas laboratorium mikrobiologis, mereka yang bepergian
kedaerah endemis, mereka yang tinggal didaerah endemis, anggota keluarga dengan carrier. Vaksin yang
tersedia adalah vaksin oral hidup yang mengandung S. Typhi strain Ty21a (diperlukan 3 – 4 dosis dengan
interval 2 hari), dan vaksin parenteral yang beredar adalah vaksin dosis tunggal yang berisi Vi antigen
polisakarida. Vaksin oral yang berisi Ty21a jangan diberikan kepada penderita yang sedang mendapatkan
pengobatan antibiotika atau pengobatan anti malaria, mefloquine. Oleh karena sering menimbulkan efek
samping yang berat maka vaksin “whole cell” yang diinaktivasi dianjurkan untuk tidak digunakan. Vaksin
dosis tunggal yang mengandung Vi antigen polisakarida adalah vaksin pilihan, karena kurang reaktogenik.
Dosis booster perlu diberikan kepada mereka yang secara terus menerus mempunyai risiko tertular.
Booster diberikan dengan interval antara 2 – 5 tahun tergantung jenis vaksinnya. Demam paratifoid:
ujicoba dilapangan dengan menggunakan vaksin oral tifoid (Ty21a) memberikan perlindungan parsial
terhadap paratifoid, namun perlindungan yang diberikan tidak sebaik terhadap tifoid
Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1. Laporan kepada institusi kesehatan setempat; Tifoid wajib dilaporkan disebagian besar negara bagian
dan negara didunia, kelas 2A (Lihat tentang pelaporan penyakit menular).
2. Isolasi: Pada waktu sakit, lakukan kewaspadaan enterik; sebaiknya perawatan dilakukan dirumah sakit
pada fase akut. Supervisi terhadap penderita dihentikan apabila sampel yang diambil 3 kali berturut-turut
dengan interval 24 jam dan 48 jam setelah pemberian antibiotika terakhir memberikan hasil negatif.
Pengambilan sampel tidak boleh kurang dari satu bulan setelah onset. Sampel yang diambil adalah tinja
dan urin untuk penderita di daerah endemis schistosomiasis. Jika salah satu sampel memberi hasil positif
maka ulangi pembuatan kultur dengan interval satu bulan selama 12 bulan setelah onset, sampai 3 kali
beturu-turut sampel yang diambil hasilnya negatif.
3. Disinfeksi serentak: Disinfeksi dilakukan terhadap tinja, urin dan alat-alat yang tercemar. Di negara
maju dengan fasilitas sistem pembuangan kotoran yang baik, tinja dapat dibuang langsung kedalam sistem
tanpa perlu dilakukan disinfeksi terebih dulu. Dilakukan pembersihan menyeluruh.
4. Karantina: Tidak dilakukan
5. Imunisasi terhadap kontak: Pemberian imunisasi rutin terhadap anggota keluarga, petugas kesehatan
dengan vaksin tifoid kurang begitu bermanfaat walaupun mereka terpajan dengan penderita tifoid.
Namun vaksinasi masih bermanfaat diberikan kepada mereka yang terpajan dengan carrier. Tidak ada
vaksin yang efektif untuk demam paratifoid A.
6. Lakukan investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Sumber infeksi yang sebenarnya dan sumber
infeksi yang potensial harus diidentifikasi dengan cara melakukan pelacakan penderita yang tidak
dilaporkan, carrier dan melacak makanan, susu, air, kerang-kerangan yang terkontaminsai. Seluruh
anggota grup pelancong yang salah satu anggotanya adalah penderita tifoid harus diamati. Titer antibodi
terhadap purified Vi polysaccharide mengidentifikasikan yang bersangkutan adalah carrier. Jika
ditemukan tipe phage yang sama pada organism yang diisolasi dari penderita dan carrier menunjukan
telah terjadi penularan.
7. Pengobatan spesifik: Meningkatnya resistensi terhadap berbagai macam strain menentukan jenis obat
yang dipakai untuk terapi secara umum, untuk orang dewasa ciprofloxacin oral dianggap sebagai obat
pilihan terutama untuk penderita tifoid di Asia. Penderita schistosomiasis yang menderita tifoid selain
pemberian terapi untuk tifoidnya maka diberikan juga praziquantel untuk menghilangkan kemungkinan
cacing schistosoma membawa basil S. Typhi
Penanggulangan wabah
1. Lakukan pelacakan secara intensif terhadap penderita dan carrier yang berperan sebagai smber
peularan. Cari dan temukan media (air, makanan) yang tercemar yang menjadi sumber penularan.
2. Lakukan pemusnahan terhadap makanan yang diduga sebagai sumber penularan.
3. Lakukan pasteurisasi atau rebuslah susu yang akan dikonsumsi. Singkirkan seluruh suplai susu dan
makanan yang diduga tercemar untuk tidak dikonsumsi pada saat sampai diketahui bahwa susu dan
makanan tersebut aman untuk dikonsumsi.
4. Terhadap sumber air yang diduga tercemar dilakukan klorinasi sebelum digunakan dengan supervisi
yang ketat. Apabila tindakan klorinasi tidak dapat dilakukan, air dari sumber yang diduga tercemar
tersebut jangan digunakan, semua air minum harus diklorinasi, diberi iodine atau direbus sebelum
diminum.
5. Pemberian imunisasi secara rutin tidak dianjurkan.

Referensi:
Budiyono M, Soewandoyo E, Juwono R. 1986; Typhus Abdominalis dengan Penyakit Perdarahan Usus yang
massif. MKI 36(4): 173¬83.
Carriers dan Kontak. Http://www.edcp.org/guidelines/typhoid.cfm
Gerald L. Mandell, John E. Bennett, and Raphael Dolin Eds; 2005.Prinsip dan Praktek Penyakit Menular (6
th Edition), Gerald L. Mandell, John E. Edition), Bennett, dan Eds Dolin Raphael; 2005.
Heymann, DL, Ed. 2004. Manual Pengendalian Penyakit Menular (18 th Edition),. Edition), Heymann, DL,
Ed; 2004.
Maryland Pedoman untuk Penyidikan dan Pengelolaan Kasus Demam Tifoid, Carriers and Contacts.
http://www.edcp.org/guidelines/typhoid.cfm

Tinggalkan sebuah Komentar


Desember 13, 2010
Dasar Epidemiologi “Pengantar Wabah / KLB”
Filed under: http://fkm.undip.ac.id — fitridiahkusuma @ 1:20 pm

1. Apa saja kriteria suatu kejadian penyakit dikatakan wabah atau KLB ?
Suatu penyakit atau keracunan dapat dikatakan KLB apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
a) Timbulnya suatu penyakit/penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/tidak dikenal.
b) Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut
jenis penyakitnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).
-minggu 8 = 5 kasus.
-minggu 9 = 10 kasus .
-minggu 10= 15 kasus.
c) Peningkatan kejadian penyakit/kematian, dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya
(hari, minggu, bulan, tahun).
d) Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih bila
dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.
e) Angka rata-rata per bulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau lebih
dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dari tahun sebelumnya.
f) Case Fatality Rate (CFR) dari suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan
50% atau lebih dibanding dengan CFR dari periode sebelumnya.
g) Propotional rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikan dua kali atau
lebih dibanding periode yang sama dan kurun waktu atau tahun sebelumnya.
h) Beberapa penyakit khusus : kolera, DHF/DSS.
i) Beberapa penyakit yang dialami 1 atau lebih penderita :
Keracunan makanan.
Keracunan pestisida
2. Apa yang dimaksud dengan Herd Immunity ?
Herd Immunity (kekebalan kelompok) adalah bentuk kekebalan yang terjadi ketika vaksinasi dari sebagian
besar dari penduduk (atau kelompok) memberikan ukuran perlindungan bagi individu yang belum
mengembangkan kekebalan. Teori Herd immunity menyatakan bahwa, dalam penyakit menular yang
ditularkan dari individu ke individu, rantai infeksi mungkin akan terganggu ketika sejumlah besar populasi
kebal terhadap penyakit. Semakin besar proporsi individu yang kebal, semakin kecil kemungkinan bahwa
individu rentan akan datang ke dalam kontak dengan individu menular.
3. Pencegahan KLB :
a) Penanggulangan sumber pathogen.
-Singkirkan sumber kontaminasi.
-Hindarkan orang dari paparan.
-Inactivasi / neutralisasi pathogen.
-Isolasi dan atau obati orang yang terinfeksi.
b) Memutus rantai penularan.
-Memutus sumber lingkungan.
-Penanggulangan transmisi vector.
-Tingkatkan sanitasi perorangan.
c) Modifikasi respon penjamu.
-Imunisasi kelompok rentan.
-Pemakaian chemotherapy pencegahan

FITRI DIAH KUSUMA


E2A009011

Tinggalkan sebuah Komentar


Tugas ke3\ “Peranan Stakeholders dalam mengatasi Penyakit Malaria & PD3I”
Filed under: http://fkm.undip.ac.id — fitridiahkusuma @ 1:05 pm

Stakeholder adalah orang yang berkepentingan atau berwenang dalam melakukan tindakan/ action secara
tepat dan tepat dalam mengatasi masalah penyakit. Misalnya malaria dan PD3I (Penyakit Yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi).
@ Stakeholders dalam sistem kesehatan terdapat 2 jenis, yaitu :
1. Stakeholders aktif, yang dapat menjadi stakeholder kunci. Stakeholders ini pada umumnya yang
mempunyai kewenangan resmi seperti Depkes, Dinkes, dll.
2. Stakeholders pasif, yang dapat disebut stakeholder pendukung. Pada umumnya kelompok ini sebagai
kelompok target dari implementasi sistem kesehatan. Misalnya kelompok ini masyarakat publik dan
swasta, yang pada umumnya tidak memiliki kewenangan resmi. Stakeholder ini dapat juga mendekati
stakeholders aktif jika memiliki importance dan influence (pengaruh) untuk mendapatkan legitimate
(pengakuan) dari stakeholders yang ada.
Beberapa stakeholders dan peranan yang dapat dilakukan oleh stakeholders tersebut dalam masalah
penyakit “malaria” :
1. Stakeholders aktif :
@ Sektor dinas pendidikan
Peranan : pemberian informasi tentang malaria ke sekolah melalui edukasi
@ Antar bidang dalam seksi Dinas Kesehatan :
a) Seksi penyehatan lingkungan
Peranan : pemeliharaan lingkungan agar tidak terjadi sarang nyamuk
b) Seksi promosi kesehatan
Peranan : membantu mempromosikan pemberantasan malaria di dinas pendidikan dan seksi penyehatan
lingkungan
c) Seksi pendayagunaan tenaga dan sarana kesehatan
Peranan : peningkatan pengetahuan dan keterampilan petugas dalam perawatan dan pengobatan malaria
d) Seksi pencegahan dan pemberantasan penyakit
Peranan : mencegah malaria agar tidak terjadi KLB
e) Seksi pemantau penyakit
Peranan : kegiatan pencatatan dan pedokumentasian pasien KLB.
Dinas yang terkait dalam stakeholders dan peranan dalam masala malaria:
@Pemerintah
Pemerintah kota/kabupaten berwenang dalam masalah kebijakan-kebijakan pencegahan dan
penanggulangan malaria. Kebijakan ini menjadi langkah represif untuk penanganan dan pencegahan
malaria dari Pemerintah kota/kabupaten langsung ke masyarakat. Bentuk peran lainnya adalah
pengalokasian dana untuk program pemberantasan dan pencegahan penyakit malaria.
1) Bupati : memberikan surat keputusan atau kebijakan kepada setiap kecamatan agar berperan aktif
dalam pemberantasan penyakit malaria.
2) Kecamatan : memberikan surat keputusan atau kebijakan dari bupati kepada desa/kelurahan.
3) Kelurahan : melaksanakan surat keptusan atau kebijakan mengenai pemberantasan malaria dengan
cara memberitahukan kepada perangkat desa, dan organisasi sosial yang ada, seperti posyandu, PKK, dan
perkumpulan-perkumpulan yang lain.
@Dinas Kesehatan Dinas Kesehatan:
merupakan penyelenggara kegiatan surveilans terhadap penyakit malaria. Hasil kegiatan surveilans ini
berupa data kesakitan malaria akan digunakan untuk penanganan masalah lebih lanjut. Seperti
penggalakan program pemberantasan sarang nyamuk (fogging dan program 3M Plus) terhadap masyarakat,
penyuluhan tentang bahaya malaria oleh puskesmas setempat,juga pemberdayaan masyarakat dalam
mengelola lingkungan. Dinas kesehatan berperan penting dalam program penanganan PD3I dalam hal
penyediaan tenaga kesehatan, sarana prasarana untuk imunisasi dan peningkatan program imunisasi di
seluruh wilayah kecamatan. Agar dinas kesehatan dapat melakukan tugas tersebut maka dilaksanakan
surveilans untuk mengetahui perkembangan penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
1) P2P (Program Pemberantasan Penyakit ) : orang-orang didalam lingkup P2P mereka akan bertindak
memberantas penyakit malaria dilihat dari vektor nyamuknya.
2) Sanitasi Lingkungan : orang-orang didalam lingkup sanitasi lingkungan akan membenahi sistem sanitasi
di daerah yang bermasalah, contohnya daerah yang memiliki genangan air limbah domestik yang tidak
tepat maka sanitarian berhak memikirkan masalah ini.
3) Promosi Kesehatan : Divisi ini berperan mempromosikan hidup sehat agar terhindar dari penyakit
malaria. Contohnya mempromosikan bersih-bersih selokan atau parit, membabat tanaman-tanaman yang
terlalau lebat (yang berpotensi sebagai habitat nyamuk Anopheles).
Peran Dinas Kesehatan yaitu membuat kebijakkan mengenai pengendalian malaria, yaitu :
1) Diagnosa Malaria harus terkonfirmasi atau Rapid Diagnostic Test.
2) Pengobatan Menggunakan Combination Therapy/ ACT3).
3) Pencegahan penularan malaria dengan kelambu ( Long Lasting Insekticidal Net ).
4) Kerjasama lintas sektor dalam forum gebrak malaria dan lintas program.
5) Memperkuat Desa Siaga dengan pembentukan Pos Malaria Desa (Posmaldes).
6) Membuat kebijakan dalam pengendalian vektor penyakit malaria dan melakukan kontrol terhadap
pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. Kebijakan tersebut antara lain :
a) Pelatihan petugas
b) Penemuan aktif penderita
c) Penatalaksanaan kasus dan pengobatan
d) Pengendalian vector,
antara lain :
• Penemuan penderita malaria baik secara aktif melalui kegiatan Mass Blood Survey.
• ( MBS ) maupun pasif ( rutin puskesmas )
• Pembagian kelambu berinsektisida kepada masyarakat miskin, ibu hamil, bayi dan balita.
• Screening malaria bagi ibu hamil saat kunjungan trimester pertama pada tenaga kesehatan
• Penyemprotan dinding luar rumah ( Indoor Residual Sprying )
e) Pos malaria desa
f) Penyediaan sarana ( mikroskop, RDT ) bahan laboratorium dan obat-obatan (ACT).
@Dinas lingkungan
Dinas lingkungan mempunyai peran dalam pemantauan program 3m+ pada masyarakat secara berkala,
bekerja sama dengan Dinas Kesehatan.
@Puskesmas
Puskesmas sebagai bagian dari dinas Kesehatan, melakukan sosialisasi dengan warga
tentang Malaria.
Peran :Memberikan penyuluhan langsung terhadap masyarakat yang bekerja sama dengan kader
masyarakat.
@Dinas Perkebunan
Dinas perkebunan berperan dalam penataan tanaman perkebunan, sehingga dapat mengurangi habitat
nyamuk Anopheles.
@Dinas Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL), Dinas Pekerjaan Umum (PU) dan
Dinas Kesehatan Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P). Pengendalian malaria dapat
dilakukan melalui peran Dinas PP dan PL sebagai stakeholder terkait dengan habitat nyamuk anopeles
yang terdapat di rawa, tambak yang terlantar, genangan air. Oleh karena itu dinas PP &PL dapat
mengambil kebijakan dengan bekerjasama dengan dinas Pekerjaan Umum dalam pengendalian dan
pembersihan habitat nyamuk Anopheles sp sebagai vektor penyebab malaria.
@Dinas keimigrasian
Sebagai stakeholder dinas keimigrasian bekerja sama dengan dinas perhubungan untuk memantau apakah
transportasi yang digunakan bebas dari vektor nyamuk Anopheles. Oleh karena itu, transportasi yang akan
menuju ke suatu daerah harus dilakukan pembersihan nyamuk Anopheles sebelum berangkat dan setelah
tiba di suatu daerah terutama di daerah dengan endemis malaria.
@Dinas peternakan
Nyamuk vektor malaria banyak terdapat di tambak ikan yang tidak digunakan atau terabaikan. Dinas
peternakan dapat berperan dalam melakukan kegiatan promosi mengenai habitat nyamuk vektor malaria
atau dengan kata lain mengkomunikasikan dengan para pemilik tambak untuk membersihkan atau
mengurus tambak ikan yang mereka punya.Dinas kehutanan dan Dinas Kesehatan bagian Promosi
Kesehatan. Habitat nyamuk Anopheles juga terdapat di hutan-hutan tropis. Oleh karena itu, Dinas
kehutanan dapat memberikan proteksi terhadap pekerja yang masuk hutan atau masyarakat yang berada
di sekitar wilayah hutan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan kerja sama dengan Dinas
Kesehatan bidang Promosi Kesehatan untuk memberi warning tentang apa yang harus dilakukan oleh
masyarakat saat masuk hutan, seperti memakai lotion anti nyamuk, baju panjang, dan juga memberi
kelambu pada masyarakat di sekitar hutan untuk memberi proteksi dari vektor malaria saat tidur.
Pemberian penyuluhan bagi masyarakat dirasa perlu karena dengan adanya penyuluhan tersebut maka
pengetahuan masyarakat akan bertambah mengenai penyakit malaria sehingga dapat merubah perilaku
buruknya tentang kesehatan sehingga dapat terhindar dari penyakit malaria.
2. Stakeholders pasif :
Masyarakat :
Peranan :
• Membantu dinas kesehatan dalam pemberantasan malaria melalui kegiatan pemeliharaan lingkungan
dan pemberantasan sarang nyamuk.
• Membantu petugas kesehatan dalam hal pelaporan kasus malaria ke pihak yang berwenang.
• Mengikuti program pemerintah dalam penyuluhan malaria.

PD3I (Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi)


Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi terdiri dari :
a. Hepatitis B, dapat dicegah dengan imunisasi HB ( pada usia < 7 hari ) dan DPT/HB
b. TBC, khususnya TB pada anak, yang dapat dicegah dengan imunisasi BCG
c. Diptheri, dapat dicegah dengan imunisasi DPT/HB dan DT
d. Pertusis, dapat dicegah dengan imunisasi DPT/HB
e. Tetanus, dapat dicegah dengan imunisasi DPT/HB pada sasaran bayi, DT pada sasaran kelas 1 SD, TT
pada sasaran kelas 2 dan kelas 3 SD serta TT pada wanita usia subur ( WUS )
f. Poliomyelitis, yang dapat dicegah dengan imunisasi Polio
g. Campak, dapat dicegah dengan imunisasi Campak.
Contoh : Campak
Adapun peran dari masing-masing stakeholder adalah:
a. Departemen Kesehatan
Memberikan akses pelayanan kesehatan yang terjangkau
Melakukan usaha pemberantasan campak dengan tiga tahap, yaitu:
-Tahap reduksi
-Tahap eliminasi
-Tahap eradikasi
Melakukan surveilans campak
b. Rumah Sakit
Melakukan pengobatan untuk penderita campak, melakukan pelaporan, dan pendataan pada Dinas
Kesehatan setempat dalam bentuk laporan yang berisi narasi singkat, table atau grafik yang menarik serta
dilakukan secara berkala
c. Puskesmas
Melakukan penyuluhan tentang pentingnya imunisasi campak
Melakukan imunisasi campak gratis.

REFERENSI
Hartati, Emi. 2007. Pengaruh Faktor Perilaku Masyarakat terhadap Perolehan Imunisasi
Campak di Wilayah Kerja Puskesmas Kuta Baro Kabupaten Aceh Besar Tahun 2007. Diakses tanggal 8
Desember 2010. Diunduh dari: repository.usu.ac.id/xmlui/handle/123456789/6693 –

KEPMENKES, RI. 2009. Eliminasi Malaria di Indonesia. Diakses tanggal 3 November 2010. Diunduh dari:
http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/KEPMENKES__NO___293_THN_2009_
TTG__ELIMINASI_MALARIA.pdf.

KMPK, UGM. 2006. Kerjasama Lintas Sektor Penanggulangan Malaria di Bukit Menoreh Kabupaten
Kulonprogo. Diakses tanggal 8 November 2010. Diunduh dari:

http://www.lrc-kmpk.ugm.ac.id/id/UP-PDF/_working/No.7_Tedy_Chandra_01_06.pdf.
FITRI DIAH KUSUMA
E2A009011

Tinggalkan sebuah Komentar


November 12, 2010
PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI, TINDAK LANJUT DAN PENCEGAHANNYA
Filed under: http://fkm.undip.ac.id — fitridiahkusuma @ 3:13 am

A. MALARIA
Satu penyakit yang disebabkan oleh sporozoa genus plasmodium dan ditularkan oleh nyamuk spesies
Anopeles. Penyakit ini ditandai dengan demam yang sering berkala (periodic) dengan berbagai derajat,
kurang darah (anemia), limpa membesar, serta dengan berbagai kelompok gejala (sindrom) karena
gangguan pada hati, otak, dan ginjal. Salah satu publikasi mengemukakan bahwa penyakit malaria
menjadi masalah di 100 negara di dunia, menimpa lebih dari 2 juta penduduk. Diperkirakan 90% dari
jumlah ini ada di Negara tropis di Afrika.
Golongan yang beresiko tertular malaria, antara lain:
Ibu hamil.
Pelancong yang tidak memiliki kekebalan terhadap malaria.
Pengungsi.
Pekerja yang berpisah ke tempat yang endemis malaria.
Penyebaran Penyakit
Penyakit malaria salah satu penyakit parasit yang terbesar luas di seluruh dunia meskipun umumnya
terdapat di daerah berlokasi antara 60º Lintang Utara -40º Lintang Selatan. Tetapi distribusi plasmodium
biasanya tidak merata.
1. Plasmodium vivac
Terbesar di daerah tropis dan subtropis dan beriklim panas seperti daerah Timur Tengah, Iran, Pakistan,
Bangladesh, India, Sri Lanka, Myanmar, Thailand, Malaysia, Indonesia, Amerika Tengah dan Amerika
Selatan, Afrika bagian tengah dan bagian timur. Tetapi tidak terdapat diantara penduduk kulit hitam di
Afrika bagian barat.
2. Plasmodium falciparum
Umumnya terdapat di daerah beriklim panas dan lembab. Di daerah Barat yang beriklim tropis, Afrika
Tengah dan beberapa daerah di Afrika Timur, beberapa daerah di Timur Tengah, India bagianUtara,
Tengah dan Selatan. Beberapa daerah di Bangladesh, Pakistan, Myanmasr, Thailand, Laos, Malaysia, dan
Indonesia. Juga terjadi di Filipina dan Negara di Kepulauan Samudra Pasifik seperti Haiti,dan Karibia,
Amerika Tengah, dan Amerika Selatan.
3. Plasmodium malaria
Terdapat terutama didaerah tropis Afrika, Amerika Selatan, India, Sri Lanka, dan Malaysia. Plasmodium,
lebih jarang ditemukan, sering ditemukan di Afrika Timur, Afrika Tengah dan Barat, beberapa daerah
Afrika Utara Timur, Amerika Selatan, dan beberapa kasus dilaporkan dari Timur Jauh.
Penyakit malaria bisa terjadi bila memenuhi kondisi:
1. Ada nyamuk Anopeles yang sesuai.
2. Ada penduduk yang peka.
3. Ada penduduk yang tidak mempunyai kekebalan terhadap malaria.
4. Kondisi lingkungan, suhu 18-29ºC dan ketinggian < 2.000m di atas permukaan laut.
Gambaran Klinis
Masa inkubasi biasanya 10-14 hari dengan variasi 9-30 hari. Penyebaran penyakitmalaria belakangan ini
sudah berubah berkat keberhasilan kampanye pemberantasan malaria oleh Badan Kesehatan Dunia.
Infeksi Plasmodium falciparum pada orang yang daya tahannya lemah sering bias fatal, sedangkan infeksi
oleh Plasmodium lain (vivac, ovale, dan malaria) jarang menimbulkan sakit serius dan jarang mematikan.
Yang klasik pada malaria adalah timbul demam yang sering berkala (periodic) disertai sakit kepala, mual,
dan muntah. Selain itu badan terasa capek, nyeri otot-otot, sedikit diare.
Tanda-tanda Penyakit Malaria
Tanda-tanda serangan parasit malaria termasuklah demam, menggeletar, sakit sendi, kekejangan dan
anemia. Berpeluh, rasa sejuk dan panas secara bergilir-gilir merupakan ‘symptom’ klasik malaria.
Kekurangan darah (anemia) dapat menyebabkan kerosakan otak secara langsung dan pesakit boleh berada
dalam keadaan koma.
Pencegahan
Cara yang dapat digunakan :
1. Memasang kawat kasa pada jendela. Kawat kasa harus dipasang pada setiap lubang yang ada pada
rumah. Kesulitan biasanya pada pemasangan di pintu dimana biasanya diperlukan pintu ganda. Jumlah
lubang pada kawat kasa yang dianggap optimal 14-16 per inci (2,5 cm). Bahannya bermacam-macam mulai
tembaga aluminium sampai plastic.
2. Menggunakan kelambu.
Kelambu merupakan alat yang telah digunakan sejak dahulu. Penggunaannya dewasa ini sudah jauh
berkurang karena diangggap kurang praktis. Banyak penduduk menganggap bahwa penggunaanya
menyebabkan perasaan yang lebih panas di ruangan yang telah penuh sesak.
3. Berbagai macam obat nyamuk yang beredar di masyarakat dari yang tidak mengandung bahan aktif
sampai yang mengandung insektisida. Kelemahan obat nyamuk adalah timbul iritasi pada orang yang
sensitf sehingga dapat menimbulkan gangguan kesehatan.
4. Obat nyamuk bakar.
5. Obat nyamuk gosok (repellant)

B. TB PARU (Tuberculosis Paru)


Tuberculosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. TBC
terutama menyerang paru-paru sebagai tempat infeksi primer. Selain itu, TBC dapat juga menyerang
kulit, kelenjar limfe, tulang, dan selaput otak. TBC menular melalui droplet infeksius yang terinhalasi
oleh orang sehat. Pada sedikit kasus, TBC juga ditularkan melalui susu. Pada keadaan yang terakhir ini,
bakteri yang berperan adalah Mycobacterium bovis.
TBC merupakan penyakit yang sangat infeksius. Seorang penderita TBC dapat menularkan penyakit kepada
10 orang di sekitarnya. Menurut perkiraan WHO, 1/3 penduduk dunia saat ini telah terinfeksi M.
tuberculosis. Kabar baiknya adalah orang yang terinfeksi M. tuberculosis tidak selalu menderita penyakit
TBC. Dalam hal ini, imunitas tubuh sangat berperan untuk membatasi infeksi sehingga tidak
bermanifestasi menjadi penyakit TBC.
Manifestasi Klinis
Penderita TBC akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk berdahak kronis, demam
subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan.
Semuanya itu dapat menurunkan produktivitas penderita bahkan kematian.
Gejala Umum :• Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih
Gejala lain yang sering dijumpai :
Dahak bercampur darah, Batuk darah, Sesak nafas dan rasa nyeri dada, Badan lemah, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa
kegiatan, demam meriang lebih dari satu bulan.
Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit
yang pucat karena anemia, suhu demam (subfibris), badan kurus atau berat badan menurun.
Tempat kelainan lesi TB yang perlu dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai infiltrat yang agak
luas, maka akan didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi nafas bronkial. Akan didapatkan juga suara
nafas tambahan berupa ronkhi basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan
pleura, suara nafasnya menjadi vesikular melemah.
Pemeriksaan penunjang
• Tuberculin skin testing
Dilakukan dengan menginjeksikan secara intracutaneous 0.1ml Tween-stabilized liquid PPD pada bagian
punggung atau dorsal dari lengan bawah. Dalam wkatu 48 – 72 jama, area yang menonjol (indurasi), bukan
eritema, diukur. Ukuran tes Mantoux ini sebesar 5mm diinterpretasikan positif pada kasus-kasus :
1. Individu yang memiliki atau dicurigai terinfeksi HIV
2. Memiliki kontak yang erat dengan penderita TBC yang infeksius
3. Individu dengan rontgen dada yang abnormal yang mengindikasikan gambaran proses penyembuhan TBC
yang lama, yang sebelumnya tidak mendpatkan terapo OAT yang adekuat
4. Individu yang menggunakan Narkoba dan status HIV-ny tidak diketahui
Sedangkan ukuran 10mm uji tuberculin, dianggap positif biasanya pada kasus-kasus seperti :
1. Individu dengan kondisi kesehatan tertentu, kecuali penderita HIV
2. Individu yang menggunakan Narkoba (jika status HIV-ny negative)
3. Tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, populasi denganpendapatan yang rendah, termasuk
kelompok ras dan etnik yang beresiko tinggi
4. Penderita yang lama mondokdirumah sakit
5. Anak kecil yang berusi kurang dari 4 tahun
Uji ini sekarang sudah tidak dianjurkan dipakai,karena uji ini haya menunjukkan ada tidaknya antibodi
anti TBC pada seseorang, sedangkan menurut penelitian, 80% penduduk indosia sudah pernah terpapar
intigen TBC, walaupun tidak bermanifestasi, sehingga akan banyak memberikan false positif.
Pemeriksaan radiologis
1. Adanya infeksi primer digambarkan dengan nodul terkalsifikasi pada bagian perifer paru dengan
kalsifikasi dari limfe nodus hilus
2. Sedangkan proses reaktifasi TB akan memberikan gambaran :
a) Nekrosis
b) Cavitasi (terutama tampak pada foto posisi apical lordotik)
c) Fibrosis dan retraksi region hilus
d) Bronchopneumonia
e) Infiltrate interstitial
f) Pola milier
g) Gambaran diatas juga merupakan gambaran dari TB primer lanjut
3. TB pleurisy, memberikan gambaran efusi pleura yang biasanya terjadi secara massif
4. Aktivitas dari kuman TB tidak bisa hanya ditegakkan hanya dengan 1 kali pemeriksaan rontgen dada,
tapi harus dilakukan serial rontgen dada. Tidak hanya melihat apakah penyakit tersebut dalam proses
progesi atau regresi.
Klasifikasi penyakit dan tipe penderita
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita TB memerlukan “definisi kasus” yang memberikan
batasan baku dari setiap klasifikasi dan tipe penderita.
Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi kasus-yaitu
1. Organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru
2. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung : BTA positif atau BTA negative
3. Riwayat pengobatan sebelumnya : baru atau sudah pernah diobati
4. Tingkat keparahan penyakit : penyakit ringan atau berat
Klasifikasi
a. Tuberculosis Paru
Tuberculosis paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru)
Berdasarkan pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Tuberkulosis Paru BTA positif
2. Tuberkulosis Paru BTA negative
b. Tuberculosis Ekstra Paru
Tuberculosis ekstra paru adalah tuberculosis yang menyerang organ tubuh selain jaringan paru,, misalnya
pleura (selaput paru), selaput otak, selaput jantung, kelejar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Berdasarkan tingkat keparahannya, TB Ekstra Paru dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Tuberkulosis Ekstra Paru Ringan
Misal : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan
kelenjar adrenal.
2. Tuberkulosis Ekstra Paru Berat
Misal : meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudatif dupleks, TB tulang belakang, TB
usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.
Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita,
yaitu :
1. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari
satu bulan (30 dosis harian)
2. Kambuh (relaps)
Adalah penderita TB yang sebelumnya pernah mendapatkan terapi TB dan etlah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif
3. Pindahan (transfer in)
Adalah penderita TB yang sedang mendapatkan pengobatan disuatu kabupaten lain dan kemudian pindah
berobat ke kabupaten ini. Penderita tersebut harus membawa surat rujukan/pindahan (FORM TB 09)
4. Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default/drop-out)
Adalah penderita TB yang kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif setelah putus
berobat 2 bulan atau lebih.
5. Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5
atau lebih.
Adalah penderita BTA negative, rontgen positif yang menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2
pengobatan.
6. Lain-lain
Semua penderita lain yang tidak memenuhi persyaratan tersebut diatas. Termasuk dalam kelompok ini
adalah kasus kronik (adalah penderita yang masih BTA positif setelah menyelesaikan pengobatan ulang
dengan kategori 2)
Pengobatan tuberkulosis
Saat ini telah dapat dilakukan pengobatan TBC secara efektif dan dalam waktu yang relatif singkat.
Program pengobatan tersebut dikenal dengan nama DOTS (Direct Observed Treatment Shortcourse). Obat
yang digunakan adalah kombinasi dari Rifampicin, Isoniazid, Pyrazinamid, Ethambutol, dan Streptomycin.
Pengobatan dilakukan dalam waktu 6-8 bulan secara intensif dengan diawasi seorang PMO (Pengawas
Menelan Obat) untuk meningkatkan ketaatan penderita dalam minum obat.
C. CAMPAK
Penyakit ini adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, ditandai dengan demam, batuk, pilek,
konjungtivitis (peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Penyakit ini biasanya
menyerang anak-anak pra sekolah dan anak-anak SD, meskipun tidak menutup kemungkinan menyerang
orang dewasa yang belum pernah terkena penyakit ini. Jika orang sudah terkena campak maka sepanjang
hidupnya tidak akan terkena penyakit ini lagi.
Gejala
Gejala-gejala yang nampak pada penderita campak antara lain; demam tinggi, bintik putih
pada bagian dalam pipi sebelah depan gigi geraham, mata merah dan berairi, tenggorokan sakit, pilek,
batuk kering. Terkadang jika penderitanya anak-anak akan terjadi muntah muntah, diare, bintik di
belakang telinga.
Penyelidikan dan penanggulangan KLB
Dalam tahap reduksi campak maka setiap KLB campak harus dapat dilakukan penyelidikan epiderniologi
balk oleh surveilans puskesmas maupun bersama-sama dengan surveilans dinas kesehatan. lndikasi
penyelidikan KLB Campak dilakukan apabila hasil pengamatan SKD KLB/PWS kasus campak ditemukan
indikasi adanya peningkatan kasus dan penyelidikan Pra KLB menunjukkan terjadi KLB, atau adanya
laporan peningkatan kasus atau kematian campak dari rnasyarakat, media masa dll.
Strategi penanggulangan KLB Campak :
a. Penyelidikan Epidemiologi
b. Penanggulangan
c. Perneriksaan spesimen di laboratorium.
Penyelidikan Epidemiologi KLB campak :
KLB campak harus segera diselidiki untuk melakukan diagnose secara dini (early diagnosis), agar
penanggulangan dapat segera dilaksanakan.
Penanggulangan KLB campak
Penanggulangan KLB campak didasarkan analisis dan rekomendasi hasil penyelidikan KLB campak,
dilakukan sesegera mungkin agar transmisi virus dapat dihentikan dan KLB tidak meluas serta rnembatasi
jumlah kasus dan kematian. KLB campak harus segera didiagnosa secara dini (early diagnosis) dan segera
ditanggulangi (out break respons) agar KLB tidak meluas dan membatasi jumlah kasus dan kematian.
Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mendukung diagnosa campak pada saat KLB, maka perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu
dengan mengambil spesimen. darah sebanyak 10-15 penderita baru, dan waktu sakit kasus kurang dari 21
hari, serta beberapa sampel urine kasus campak untuk isolasi virus. Tatacara pengambilan dan pegiriman
sampel laboratorium campak serta laboraratorium rujukan sampel lihat lampiran.

D. KEMATIAN IBU
Penyelidikan epidemiologi kematian ibu adalah pencarian kejadian kematian ibu.
Hasil penyelidikan epidemiologi:
a) Penyebab: 90 % disebabkan oleh komplikasi obstetri, yaitu perdarahan, infeksi, dan eklamsia.
b) Upaya yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian ibu: memperluas cakupan pelayanan ante
natal care (ANC) melalui pemeriksaan kehamilan. Pemeriksaan kehamilan merupakan salah satu intervensi
kesehatan yang efektif untuk mencegah kematian ibu. Dengan adanya pemeriksaan kehamilan banyak
penyulit yang dapat dikenal dan dikurangi/dihilangkan sama sekali sehingga kehamilan dan persalinan
dapat berlangsung lebih aman.
c) Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu: tingkat pendidikan ibu yang masih rendah terutama
yang berada di pedesaan sehingga ibu tidak mengetahui betapa pentingnya melakukan pemeriksaan
kehamilan, kondisi sosial budaya di Indonesia yang lebih mengutamakan bapak dibandingkan ibu ataupun
adanya pengambilan keputusan yang masih berorientasi pada kepala keluarga sehingga figure ibu sering
ditempatkan pada posisi kedua dalam mengambil keputusan termasuk untuk memeriksakan kehamilan,
kondisi tempat tinggal, faktor genetik, faktor perilaku ibu seperti kebiasaan merokok, minum-minuman
beralkohol, riwayat penyakit sebelumnya seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus.

E. LAHIR MATI / KEMATIAN BAYI


Penyelidikan epidemiologi lahir mati / kematian bayi adalah pencarian kejadian kematian bayi.
Hasil penyelidikan epidemiologi:
a) Penyebab: infeksi, asfiksia neonatorum, berat badan lahir rendah, dan terjadi kelainan kongenital,
imaturitas.
b) Upaya yang dilakukan untuk menurunkan angka kematian bayi: Meningkatkan derajat kesehatan anak,
melalui pemantauan status gizi dan pencegahan sedini mungkin berbagai penyakit menular yang dapat
dicegah dengan imunisasi dasar sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
c) Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian bayi: faktor genetik, faktor perilaku ibu saat hamil seperti:
merokok, minum-minuman beralkohol, asupan gizi ibu saat hamil.

Daftar Pustaka
Yatim, faizal. 2007. Macam- Macam Penyakit Menular dan Cara Pencegahannya. Pustaka Obor Populer:
Jakarta.
http://www.DetikHealth.com/ penyakit.html.Diakses pada tanggal 11 November 2010.
Zulkifli Amin, Asril Bahar, 2006. Tuberkulosis Paru, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: UI

http://www.infopenyakit.com/2007/12/penyakit-tuberkulosis-tbc.html.

http://www.medicastore.com/tbc/penyakit_tbc.htm.

NAMA : FITRI DIAH KUSUMA


NIM : E2A009011
REGULER 1

Tinggalkan sebuah Komentar


Oktober 15, 2010
EPIDEMIOLOGI DAN PERANANNYA DI DALAM PEMECAHAN MASALAH KESEHATAN
DI MASYARAKAT.
Filed under: http://fkm.undip.ac.id — fitridiahkusuma @ 2:27 am

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Masalah kesehatan merupakan masalah yang sangat penting di hadapi oleh masyarakat saat ini. Semakin
maju teknologi di bidang kedokteran ,semakin banyak pula macam penyakit yang mendera masyarakat.
Hal ini tentu saja di pengaruhi oleh faktor tingkah laku manusia itu sendiri. Tapi apakah benar hanya
faktor tingkah laku saja yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Di samping itu perkembangan
epidemiologi adalah sebagai suatu bidang ilmu yang mempelajari keadaan dan sifat karakteristik suatu
kelompok penduduk tertentu, dengan memperhatikan berbagai perubahan yang terjadi pada penduduk
tersebut yang mempengaruhi derajat kesehatan dan kehidupan sosialnya. Berbagai definisi dan pengertian
telah dikemukakan oleh para ahli epidemiologi yang pada dasarnya memeliki kesamaan pengertian yakni
epidemiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari, menganalisis, serta berusaha memecahkan berbagai
masalah kesehatan maupun masalah yang erat hubungannya dengan kesehatan pada suatu kelompok
penduduk tertentu.

Menurut sejarah perkembangan, epidemiologi dibedakan atas :

1. Epidemiologi klasik: terutama mempelajari tentang penyakit menular wabah serta terjadinya
penyakit.
2. Epidemiologi modern: merupakan sekumpulan konsep yang digunakan dalam studi epidemiologi
yang terutama bersifat analitik, selain untuk penyakit menular wabah dapat diterapkan juga
untuk penyakit menular bukan wabah, penyakit tidak menular, serta masalah-masalah kesehatan
lainnya. Menurut bidang penerapannya, epidemiologi modern dibagi atas :

a) Epidemiologi lapangan

b) Epidemiologi komunitas

c) Epidemiologi klinik

II. TUJUAN

1.Untuk mengetahui pengertian Epidemiologi, Epidemik, Pandemik, dan Endemi.

2.Untuk mengetahui ruang lingkup Epidemiologi.

3.Untuk mengetahui Batasan Epidemiologi.

4.Untuk mengetahui peran dalam Kesehatan Masyarakat.

BAB II

ISI

A. Pengertian Epidemiologi.

1. Last 1988 (WHO):


Studi tentang distribusi dan determinan tentang keadaan atau kejadian yang berkaitan dengan kesehatan
pada populasi tertentu dan aplikasi studi untuk menanggulangi masalah kesehatan.

1. W.H. Welch:

Suatu ilmu yang mempelajari timbulnya, perjalanan, dan pencegahan penyakit, terutama penyakit infeksi
menular. Dalam perkembangannya, masalah yang dihadapi penduduk tidak hanya penyakit menular saja,
melainkan juga penyakit tidak menular, penyakit degenaratif, kanker, penyakit jiwa, kecelakaan lalu
lintas, dan sebagainya. Oleh karena batasan epidemiologi menjadi lebih berkembang.

1. Mausner dan Kramer :

Studi tentang distribusi dan determinan dari penyakit dan kecelakaan pada populasi manusia.

1. Mac Mahon dan Pugh 1970 :

Epidemiologi adalah sebagai cabang ilmu yang mempelajari penyebaran penyakit dan faktor-faktor yang
menentukan terjadinya penyakit pada manusia.

1. Abdel R.Omran,1974:

Epidemiologi adalah suatu studi mengenai terjadinya distribusi keadaan kesehatan, penyakit dan
perubahan pada penduduk, begitu juga determinannya dan akibat-akibat yang terjadi pada kelompok
penduduk.

1. Wade Hampton Frost, 1972:

Epidemiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari timbulnya, distribusi, dan jenis penyakit pada manusia
menurut waktu dan tempat.

1. Azrul Azwar:

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang frekuensi dan penyebaran masalah kesehatan pada
sekelompok manusia serta faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan.

Epidemik : Suatu keadaan dimana masalah kesehatan (umumnya penyakit) yang ditemukan pada suatu
daerah tertentu dalam waktu yang singkat berada dalam frekuensi yang meningkat.

Pandemik : suatu epidemi global atau wabah global yang merupakan terjangkitnya penyakit menular pada
banyak orang dalam daerah geografi yang luas.

Endemik : Suatu infeksi dikatakan sebagai endemik pada suatu populasi jika infeksi tersebut berlangsung
di dalam populasi tersebut tanpa adanya pengaruh dari luar.
Jadi pengertian epidemiologi secara umum adalah ilmu yang mempelajari distribusi (penyebaran),
determinan (faktor penentu), penyakit menular, penyakit infeksi dan non infeksi, serta penyebaran
penyakit terhadap manusia dalam konteks lingkungan.

B. Ruang lingkup Epidemiologi.

Di era modern dan perkembangan teknologi seperti sekarang ini memicu jangkauan epidemiolgi semakin
meluas. Secara garis besarnya jangkauan atau ruang lingkup epidemiologi antara lain:

a) Epidemiologi Penyakit Menular.

b) Epidemiologi Penyakit Tidak Menular.

c) Epidemiologi Kesehatan Reproduksi.

d) Epidemiologi Kesehatan Lingkungan.

e) Epidemiologi Kesehatan Kerja.

f) Epidemiologi Kesehatan Darurat.

g) Epidemiologi Kesehatan Jiwa.

h) Epidemiologi Perencanaan.

i) Epidemiologi Prilaku.

j) Epidemiologi Genetik.

k) Epidemiologi Gizi.

l) Epidemiologi Remaja.

m) Epidemiologi Demografi.

n) Epidemiologi Klinik.

o) Epidemiologi Kausalitas.

p) Epidemiologi Pelayanan Kesehatan.

C. Batasan Epidemiologi.

Pada saat ini epidemiologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang frekwensi dan penyebaran
masalah kesehatan pada sekelompok menusia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dari batasan
yang seperti ini, segera terlihat bahwa dalam pengertian epidemiologi terdapat tiga hal yang bersifat
pokok yakni:
1. Frekwensi masalah kesehatan

Frekewensi yang dimaksudkan di sini menunjuk kepada besarnya masalah kesehatan yang terdapat pada
sekelompok manusia. Untuk dapat mengetahui frekwensi suatu masalah kesehatan dengan tepat ada dua
hal pokok yang harus dilakukan yakni menemukan masalah kesehatan yang dimaksud untuk kemudian
dilanjutkan dengan melakukan pengukuran atas masalah kesehatan yang ditemukan tersebut.

2. Penyebaran masalah kesehatan

Yang dimaksud dengan penyebaran masalah kesehatan disini adalah menunjuk pada pengelompokan
masalah kesehatan menurut suatu keadaan tertentu. Yakni menurut ciri-ciri manusia ( man ), tempat
( place ), dan waktu ( time)

1. Orang (person).

Disini akan dibicarakan peranan umur, jenis kelamin, kelas sosial, pekerjaan, golongan etnik, status
perkawinan, besarnya keluarga, struktur keluarga dan paritas.

2. Tempat (place).

Pengetahuan mengenai distribusi geografis dari suatu penyakit berguna untuk perencanaan pelayanan
kesehatan dan dapat memberikan penjelasan mengenai etiologi penyakit.

Perbandingan pola penyakit sering dilakukan antara:


a. Batas daerah-daerah pemerintahan.

b. Kota dan pedesaan.

c. Daerah atau tempat berdasarkan batas-batas alam (pegunungan, sungai laut, atau padang pasir).

d. Negara dengan Negara.

e. Regional.

3. Waktu (time).

Mempelajari hubungan antara waktu dan penyakit merupakan kebutuhan dasar didalam analisis
epidemiologis, oleh karena perubahan-perubahan penyakit menurut waktu menunjukkan adanya
perubahan faktor-faktor etiologis. Melihat panjangnya waktu dimana terjadi perubahan angka kesakitan,
maka dibedakan :

1. Fluktuasi jangka pendek dimana perubahan angka kesakitan berlangsung


beberapa jam, hari, minggu, dan bul

2. Perubahan-perubahan secara siklus dimana perubahan-perubahan angka


kesakitan terjadi secara berulang-ulang dengan antara beberapa hari, beberapa bulan (musiman),
tahunan, beberapa tahun.
3. Perubahan-perubahan angka kesakitan yang berlangsung dalam periode waktu yang panjang, bertahun-
tahun atau berpuluh tahun yang disebut “secular trends”.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi/ factor determinan

Menunjuk kepada faktor penyebab dari suatu masalah kesehatan, baik yang menerangkan frekwensi,
penyebaran dan ataupun yang menerangkan penyebab munculnya masalah kesehatan itu sendiri.

Pengamatan epidemiologi umumnya terbagi menjadi 2 tahap:

1. Epidemiologi Deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan distribusi frekuensi penyakit menurut


orang, tempat dan waktu.
2. Epidemiologi Analitis bertujuan untuk memperoleh penjelasan tentang factor-faktor penyebab
penyakit. Karena berfungsi sebagai penjelas, maka analitis disebut juga studi
penjelas (explanatory).

D. Peranan Epidemiologi dalam keehatan masyarakat.

Meninjau dari penjelasan tentang pengertian epidemiologi, batasan, serta ruang lingkupnya, seorang ahli
epidemiologi atau epidemiolog memiliki peran-peran penting dalam kesehatan masyarakat. Ada beberapa
peranan epidemiologi dalam kesehatan masyarakat, diantaranya adalah:

1. Mencari / mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi timbulnya gangguan kesehatan atau


penyakit dalam suatu masyarakat tertentu dalam usaha mencari data untuk penanggulangan
serta cara pencegahannya.
2. Menyiapkan data / informasi untuk keperluan program kesehatan dengan menilai status
kesehatan dalam masyarakat serta memberikan gambaran tentang kelompok penduduk yang
terancam.
3. Membantu menilai beberapa hasil program kesehatan.
4. Mengembangkan metodologi dalam menganalisis penyakit serta cara mengatasinya, baik penyakit
perorangan ( tetapi dianalisis dalam kelompok ) maupun kejadian luar biasa

( KLB ) / wabah dalam masyarakat.

5. Menerangkan tentang besarnya masalah dan gangguan kesehatan (termasuk penyakit) serta
penyebarannya dalam suatu penduduk tertentu.

BAB III

PENUTUP
KESIMPULAN

1. Epidemiologi adalah determinan tentang keadaan atau kejadian yang berkaitan dengan
kesehatan pada populasi tertentu dan aplikasi studi untuk menanggulangi masalah kesehatan.
2. Jangkauan ruang lingkup epidemiologi antara lain: Epidemiologi Penyakit Menular, Epidemiologi
Penyakit Tidak Menular, Epidemiologi Kesehatan Reproduksi, Epidemiologi Kesehatan
Lingkungan, Epidemiologi Kesehatan Kerja, Epidemiologi Kesehatan Darurat, Epidemiologi
Kesehatan Jiwa, Epidemiologi Perencanaan, Epidemiologi Prilaku, Epidemiologi Genetik,
Epidemiologi Gizi, Epidemiologi Remaja, Epidemiologi Demografi, Epidemiologi Klinik,
Epidemiologi Kausalitas, Epidemiologi Pelayanan Kesehatan.
3. Batasan epidemiologi antara lain: Frekwensi masalah kesehatan, penyebaran masalah kesehatan,
faktor-faktor yang mempengaruhi/ factor determinan.
4. Peranan epidemiologi dalam masyarakat tidak hanya menganalisis penyakit, tetapi dapat pula
dikatakan menganalisis berbagai masalah yang ada di masyarakat

SARAN

Epidemiologi dapat digunakan sebagai jalan untuk menerangkan penyebab suatu masalah kesehatan di
masyarakat dan bagaimana cara untuk mengatasinya.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Azrul. (1999). Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Bina Rupa Aksara.

Bustan, M. N. dan Arsunan, A. (1997). Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Murti, Bhisma. (1997). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Notoatmodjo, Soekidjo 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2,Mei. Jakarta:
PT.Rineka Cipta.

Timmerck, Thomas C. (2004). Epidemiologi : Suatu Penagntar. ed.2. Jakarta : EGC

FITRI DIAH KUSUMA/ E2A009011

http://fitridiahkusuma.wordpress.com/

You might also like