You are on page 1of 4

Revolusi Hijau dan Swa Sembada Beras (Bagian Kedua)

Revolusi Hijau dan Swa Sembada Beras (Bagian Kedua)


Oleh : Prof.Dr.Ir.Widjang H. Sisworo*

Kelaparan, Kemiskinan dan Isu Lingkungan

Lama sebelum era revolusi hijau, ahli demografi mencemaskan datangnya bencana kelaparan, kurang gizi, dan
kemiskinan karena pertumbuhan pesat penduduk dunia. Pada awal revolusi industri, di Eropa berkembang paham baru,
merkantilisme. Paham Merkantilisme memandang manusia sebagai faktor produksi, tenaga kerja, dan modal.
Peningkatan jumlah penduduk berarti peningkatan produksi. Banyak kalangan tidak sepandapat dengan paham ini.
Salah seorang dari penentang merkantilisme adalah Thomas Robert Malthus, menyatakan bahwa paham merkantilisme
bertentangan dengan hukum hasil lebih yang makin berkurang (“the law of deminishing return”) yang berlaku di bidang
pertanian. Revolusi industri dianggap sebagai pemicu pertumbuhan pesat penduduk, sementara produksi pangan tidak
bisa dinaikkan secepat laju pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang pesat memicu munculnya bencana
kelaparan dan kemiskinan. Memurut Malthus, pangan hanya bisa bertambah menurut deret hitung tetapi penduduk
dunia bertambah menurut deret ukur. Penduduk dunia akan bertambah menjadi dua kali lipat setiap 25 tahun. Bencana
kelaparan dan kemiskinan yang diramaalkan oleh Malthus tidak terjadi. Kelemahan teori Malthus, karena ia tidak
memperhitungkan kemajuan yang akan terjadi di bidang teknologi dan transportasi, serta keberhasilan pengendalian
pertumbuhan penduduk.

Di awal abad XIX, di berbagai belahan bumi pertumbuhan penduduk berlangsung pesat tanpa diikuti oleh kenaikan
produksi pangan yang memadai. Pada masa itu kembali muncul paham baru, Neo-Malthusianisme, suatu paham yang
menganggap pertumbuhan pesat penduduk sebagai penyebab kemiskinan. Solusi untuk mengatasi dan mencegah
bencana kemiskinan adalah dengan melakukan pengendalian laju pertumbahan penduduk. Dalam kelompok Neo-
Malthusianisme bergabung para pemikir dan pemerhati masalah lingkungan, yang selalu mengaitkan pertumbuhan
penduduk dengan isu lingkungan. Kelompok ini berhasil membangun kesadaran baru di kalangan masyarakat dunia,
yang kemudian di kenal dengan semangat pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam
pernyataannya bumi sebagai penompang kelangsungan hidup umat manusia hanya mampu mendukung pertambahan
penduduk sampai seratus tahun kedepan. Perkiraan ini didasarkan pada model perhitungan, dengan
mempertimbangkan lima faktor utama, yaitu penduduk, pertanian, industri, sumberdaya alam, dan pencemaran
lingkungan (Widiyanti, 1987; Wongkaren 1995).
Uraian di atas memberikan gambaran bahwa: (i) penyediaan bahan pangan bagi penduduk yang terus bertambah
merupakan masalah kompleks karena berkaitan dengan berbagai aspek antara lain laju pertumbuhan penduduk,
ketersediaan sumber daya alam dan energi untuk industri yang mendukung pertanian, ketersediaan sumberdaya lahan
dan air, proteksi lingkungan, dan pengembangan teknologi. Teknologi produksi padi (sawah) yang dikembangkan di
masa lalu, saat ini sudah mencapai puncak kemanfatannya atau mentok (paling tidak untuk Indonesia). dan (ii) isu
kekurangan pangan akan selalu menjadi isu sepanjang masa. Manusia harus selalu berupaya dengan berbagai cara
agar isu kekurangan pangan tidak berkembang menjadi krisis pangan.
Perjuangan 20 Tahun
Setiap pemerintahan suatu negara mempunyai kewajiban memenuhi hak masyarakat atas pangan. Di masa lalu
tanggung jawab tersebut dilaksanakan oleh pemerintah antara lain melalui Kebijakan Komando Operasi Gerakan
Makmur (KOGM) dan Program Swa Sembada Beras (SSB). Dalam perkembangannnya Program SSB dikemas kembali
dalam kebijakan yang lebih lentur menjadi Program Ketahanan Pangan, kebijakan yang tidak mengharamkan
pemerintah mengimpor beras, jika situasi mengharuskan hal tersebut perlu dilakukan. Seiring dengan semangat
kemandirian bangsa, maka dimunculkan istilah kemandirian pangan. Bagi mereka yang patriotik lebih nyaman
menggunakan istilah kedaulatan pangan. Terlepas dari semua bentuk dan warna kemasannya, semuanya ditujukan
untuk mengatasi kekurangan pangan dan mencegah krisis pangan.
Pada dekade tahun 1960-an pemerintah berupaya keras meningkatkan produksi padi nasional dalam rangka
mewujudkan Swa Sembada Beras, dan mengatasi krisis (kelangkaan) beras yang terjadi saat itu. Program besar ini
diawali dengan suatu program “Action Research” oleh Lembaga Pengabdian Masyarakat – Fakultas Pertanian Universitas
Indonesia (IPB-belum terbentuk), dengan tujuan mengajak para petani padi agar bersedia menggunakan ilmu
pengetahuan dan menerapkan teknologi produksi padi moderen dalam mengelola usaha pertaniannya. Mengubah
pertanian tradisional menjadi pertanian moderen merupakan perjuangan panjang. Program “Action Research”
dilaksanakan dalam bentuk Proyek Panca Usaha Karawang, di atas hamparan lahan sawah seluas 100 hektar tersebar
di tiga desa dengan kondisi tata air dan ragam prilaku petani yang berbeda. Pelaksana lapangan juga harus menghadapi
petani yang terhinggapi oleh phobia terhadap pendatang (orang asing). Untuk mengawal pelaksanaan transfer teknologi
kepada para petani, Fakultas Pertanian melakukan pembimbingan dan pendampingan secara terus-menerus dengan
menempatkan para mahasiswa untuk tinggal dan hidup bersama para petani binaannya. Program penerapan iptek di
atas hamparan sawah seluas 100 hektar berlangsung sangat sukses. Keberhasilan tersebut kemudian diperluas ke
seluruh Indonesia secara bertahap dalam bentuk program BIMAS (Bimbingan Masal) dengan melibatkan seluruh
- Bertenaga by KerSip Open Source Dibuat: 8 March, 2011, 01:03
Fakultas Pertanian di Indonesia melalui Program KKN (Kuliah Kerja Nyata). BIMAS dikembangkan lebih lanjut menjadi
Program INMAS ( Intensifikasi Masal) seiring dengan keberhasilan para peneliti merakit varietas padi moderen dan
upaya untuk melakukan introduksi teknologi revolusi hijau. Indonesia harus berjuang selama lebih dari 20 tahun untuk
swa sembada beras, yaitu pada tahun 1984.

Revolusi Hijau.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, permasalahan kelaparan dan kemiskinan tidak lagi hanya menjadi keprihatinan
satu negara atau satu kawasan saja, tetapi telah menjadi perhatian dan keprihatinan masyarakat dunia. Upaya nyata
msyarakat dunia mengatasi masalah pangan diawali dengan membangun dua lembaga penelitian internasional, yaitu
International Maize and Wheat Improvement Center (IMWIC) di Meksiko dan International Rice Research Institute (IRRI)
di Filipina. IRRI dibangun oleh kelompok pemikir yang inovatif dan mempunyai pandangan jauh ke depan. Mereka
meyakini akan pentingnya peningkatan produksi pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduk yang berkembang pesat
di kawasan beriklim tropik. Keberhasilan pelaksanaan program penelitian di bidang rekayasa genetik dan
pengembangan teknologi tanaman menjadi awal dari revolusi hijau. Dari IMWIC di Meksiko diperoleh strain baru gandum
(Gaines) yang tahan penyakit karat dan memiliki daya hasil tinggi. Program penelitian di IRRI berhasil merakit strain padi
baru yang sangat produktif, yaitu IR-8 (di Indonesia dikenal dengan nama PB-8), yang dikembangkang tahun 1962-1966.
Tetua IR-8 adalah kultivar Dee-Geo-Woo-Gen (DGWG) dari Cina, mutan dari peristiwa mutasi spontan dan kultivar Peta
yang berbatang tinggi dari Indonesia. Kultivar DGWG dianggap oleh banyak kalangan sebagai (kultivar) pelopor Revolusi
Hijau, memiliki ciri-ciri padi moderen yang direpresentasikan oleh varietas IR-8, yaitu berbatang pendek, kuat, kaku, dan
tidak rebah, responsif terhadap pemupukan dan tidak dipengaruhi oleh panjang hari. Bentuk tanaman padi moderen
mencerminkan tipe ideal dari tanaman padi yang mampu memanfaatkan cahaya matahari secara efisien. IR-8 adalah
varietas padi moderen pertama dengan daya hasil tinggi, tidak pernah diungguli oleh varietas moderen yang dilepas
kemudian. Keberhasilan para peneliti merakit varietas baru dengan sifat-sifat tertentu yang lebih baik dari IR-8 seperti
kualitas beras, ketahannannya terhadap hama dan penyakit, lebih genjah berkontribusi besar terhadap perluasan area
pertanaman padi moderen. Walaupun demikian, beberapa pakar antara lain Richardson dan Stubb (1978) menyatakan,
bahwa Revolusi Hijau tidak bisa berlangsung hanya dengan rekayasa genetik dan teknologi tanaman saja. Teknologi
pemupukan dan pengendalian gulma hama dan penyakit, pembangunan atau perbaikan infrastuktur irigasi juga harus
dipacu agar varietas padi moderen mampu menampilkan potensinya secara efektif. Xie (1998) menyatakan bahwa
pupuk memainkan peran penting dalam pembangunan pertanian di China, dengan memberikan kontribusi terbesar
terhadap pertambahan produksi pangan, yaitu 32% lebih besar dari irigasi (18%), benih (17%), mesin pertanian (13%),
dan faktor lain (6%).
Varietas padi moderen beradaptasi dengan baik dan dapat berproduksi tinggi pada lingkungan sawah irigasi dan sawah
tadah hujan dengan drainase baik. Seperti halnya di Cina, laporan dari negara-negara penghasil padi utama, seperti
India Indonesia dan Filipina menyatakan bahwa faktor kunci yang berkontribusi banyak terhadap laju kenaikan tajam
produksi padi di Asia adalah peningkatan penggunaan pupuk dan pembangunan atau perbaikan infrastruktur irigasi.
Data dalam tabel berikut memperlihatkan hubungan antara tingkat penggunaan pupuk dengan hasil dan luasan sawah
irigasi dengan tingkat adopsi varietas moderen. Di beberapa negara adopsi varietas moderen sudah melebihi luasan
sawah irigasi yang ada. Hal ini berarti perluasan area padi moderen telah merambah ke sawah tadah hujan (dengan
drainase baik).

Tingkat adopsi varietas moderen (VM) luasan relatif sawah irigasi, penggunaan pupuk (NPK), dan hasil padi di enam
negara Asia, pada tahun 1987 (IRRI, 1991).

Negara

Adopsi
VM

Luas sawah irigasi

Penggunaan pupuk NPK

Hasil

...(%)...

...(%)...
- Bertenaga by KerSip Open Source Dibuat: 8 March, 2011, 01:03
...(Kg/ha)...

...(ton/ha)...

Thailand

24

27

20

2,0

Bangladesh

32

19

56

2,0

Nepal

36

23

28

2,1

India

69

44

17

2,2

Indonesia

76

73

137

4,0

Filipina

86

- Bertenaga by KerSip Open Source Dibuat: 8 March, 2011, 01:03


58

39

2,6

Revolusi Hijau oleh banyak ahli dinyatakan sebagai suatu keajaiban (miracle) karena mampu menyelamatkan banyak
negara Asia dari kekurangan pangan. Program revolusi hijau mampu meningkatkan produksi padi sawah dengan
kenaikan yang sangat mencolok. Kenaikan tersebut memberikan dampak pada meningkatnya ketersediaan pangan
dengan harga murah dan sekaligus juga menjadi penopang pertumbuhan pesat ekonomi Asia. Di Filipina dan India
harga riil beras menurun tajam sejak 1970. Adopsi padi moderen dan introduksi teknologi revolusi hijau mampu
mereduksi tajam permintaan Asia kepada pasar beras dunia, dari 60% pada tahun 1960-an menjadi 20% pada tahun
1980 (David dan Otsuka, 2004).
Penerpan teknologi moderen berhasil menurunkan biaya produksi per satuan hasil. Hal ini memungkinkan pemerintahan
negara-negara Asia menyelaraskan berbagai tujuan kebijakan pangan nasional yang saling bertentangan (tidak saling
mendukung), yaitu (i) menyediakan pangan dengan harga murah dan stabil (ii) tetapi pada saat yang sama juga
ditujukan untuk meningkatkan pendapatan petani dan (iii) swa sembada beras. Ketiga tujuan tersebut dapat dicapai
secara bersamaan hanya apabila introduksi dan adopsi teknologi padi moderen mampu mamacu secara mencolok
pertumbuhan produkstivitas usaha tani padi, sehingga terjadi penurunan tajam biaya produksi dari setiap ton padi yang
dihasilkan oleh petani, walaupun input (biaya produksi) persatuan luas lahan yang diperlukan untuk adopsi padi moderen
lebih tinggi daripada untuk menanam padi tradisional (David dan Otsuka, 2004).
Adopsi varietas padi moderen dan introduksi teknologi revolusi hijau berhasil mengantarkan Indonesia yang sebelumnya
adalah salah satu negara utama pengimpor beras, menjadi negara swa-sembada beras pada tahun 1984. Produksi padi
nasional yang semula 19,1 juta ton pada tahun 1969 meningkat menjadi 44,9 juta ton pada tahun 1990. Pada kurun
waktu yang sama hasil padi meningkat dari 2,4 ton menjadi 4,3 ton per hektar.
Saat ini input yang tinggi untuk varietas padi moderen tidak lagi diiukuti dengan kenaikan hasil yang mencolok. Sebagai
akibat dari keadaan ini ada dua kemungkinan, yaitu harga padi atau beras menjadi mahal, akan tetapi apabila harga
padi/beras tetap dipertahankan murah (agar bisa terjangkau oleh masyarakat luas) maka margin keuntungan usaha tani
yang akan dinikmati petani menjadi kecil atau sangat sedikit sehingga penghasilan petani dan juga tingkat
kesejahteraannya akan (terus) merosot. Keadaan seperti ini bisa berlanjut dengan tidakan para petani untuk
menurunkan input (biaya produksi) sehingga berakibat hasil dan produksi padi nasional menurun. Ini berarti kemampuan
negara untuk swa sembada beras akan terus merosot dan ketergantungan pada impor beras terus meningkat.

Jakarta, 29 Maret 2007

*Anggota Dewan Riset Nasional, Komisi Teknis Ketahanan Pangan

- Bertenaga by KerSip Open Source Dibuat: 8 March, 2011, 01:03

You might also like