You are on page 1of 99

GEOLOGI TEKNIK

Peran Geotek di Bidang Pertambangan


Sebenarnya tidak hanya melakukan perhitungan saja tetapi lebih
mengarah kepada memberikan panduan kepada pihak terkait
mengenai potensi bahaya geoteknik yang akan terjadi kepada pihak
terkait (manajemen perusahaan, institusi, mineplanner, dll). Sekilas
contoh geoteknik dalam dunia tambang.

1. Eksplorasi dan mine development. Geoteknik diperlukan


untuk memandu kepada arah pembuatan desain pit yang
optimal dan aman (single slope degree, overall slope
degree, tinggi bench,potensi bahaya longsor yang ada ex:
longsoran bidang, baji, topling busur,dll) sesuai dengan
kriteria SFnya. Disini ahli geotek tidak hanya melakukan
analisis namun juga ikut turun memetakan kondisi geologi
(patahan/lipatan/rekahan, dll) dilokasi yang akan dibuka
tambang. Selain itu juga geoteknik diperlukan dalam
pembangunan infrastruktur tambang seperti stockpile, port,
jalan hauling diareal lemah, dll. Disini, peran ahli geotek
adalah memberikan analisis mengenai daya dukung tanah
yang aman, cut fill volume, serta langkah-langkah yang
diperlukan untuk memenuhi safety factor sehingga ketika
dilakukan kontruksi dan digunakan tidak terjadi kegagalan
(failure)
2. Operasional Tambang pada kondisi ini ahli geotek berperan
dalam pengawasan kondisi pit dan infrastructur yang ada,
sebagai contoh pengawasan pergerakan lereng tambang,
zona-zona potensi longsor di areal tambang (pit dan waste
dump) akibat proses penambangan, prediksi kapan longsor
akan terjadi, apakah berbahaya untuk operasional di pit atau
tidak, langkah apa saja yang harus dilakukan untuk
mengantisipasi longsor seperti mengevakuasi alat,
melakukan push back untuk menurunkan derajat
kemiringan lereng, melakukan penguatan, melakukan
pengeboran horizontal untuk mengeluarkan air tanah,dll.
Disini peran ahli geotek memandu tim safety dalam
pengawasn operasional tambang dan ahli geotek bisa
melakukan penyetopan operasional pit jika membahayakan
keselamatan manusia dan alat. Diinfrastruktur juga berlaku
hal yang sama.
3. Post mining Setelah kegiatan penambangan selesai, geotek
bekerja sama dengan safety juga berperan untuk
memastikan bahwa kondisi waste dump dan pit dalam
kondisi aman dan tidak terjadi longsor dalam jangka waktu
lama, karena setelah tambang selesai lahan tersebut akan
dikembalikan kepada pemerintah dan masyarakat dan
menyangkut masalah citra perusahaan, bagi perusahaan
yang berstatus green company hal ini merupakan harga mati
yang tidak bisa ditawar.

Peran Geoteknik di Bidang


Pertambangan
Geoteknik adalah ilmu yang mempelajari perilaku tanah
maupun batuan. Di dalam dunia pertambangan peran
seorang geotek sangatlah penting. Tidak hanya
untukseorang insinyur geotek juga dibutuhkan utk
mendisain tailings damagar damnya stabil, rembesannya
minimum atau bahkan tidak ada rembesan
sama sekali (terutama kalau tailings-nya mengandung
limbah yg
berbahaya), mendisain pondasi jembatan pada haul
roads, timbunan tanah
haul roads agar stabil dan berfungsi baik selama masa
hidup perushaan
tambang ybs, gorong2 (yg besar tentunya, yg kecil mah
bisa dikerjakan
tanpa geotek juga bisa) dan mendisain pondasi semua
infrastruktur
perusahaan tambang ybs.

Untk melakukan disain tailings dam saja misalnya


dibutukan ilmu yg
cukup banyak karena menyangkut banyak aspek yg harus
ditinjau termasuk
stabilitas dam akibat beban statik, akibat gempa, apakah
pondasi
tanahnya cukup kuat atau tidak, kalau tidak cukup daya
dukungnya apa
yg harus dilakukan, apakah kita harus melakukan soil
improvement. Kita
juga harus cek berapa banyak seepage
(rembesannya),apakah kita harus
memasang cut-off wall utk mengontrol seepage, macam
apa cut-off yg
harus kita pasang, apakah cukup dg memsang bentonite
cut-off wall,
apakah harus memasang concrete diaprghm wall, dll, dll.
Belum lagi utk
memeriksa apakah ada pengaruh rembesan limbah thd air
tanah, dll.

Pada prinsipnya peran geotek dpt dibagi dua:


1. Yg berhubungan langsung dengan operational
pertambangan spt
meyakinkan agar open pitnya dan underground wall
stabil, spoil dump,
stock pile (terutama utk iron ore krn berat jenisnya yg
relatif tinggi).
2. Yg berhubungan tidak langsung dengan operasi
pertambangan spt
pelabuhan, haul roads, jembatan, gorong2, dan
infrastruktur
pertambangan lainnya.

Geoteknik adalah ilmu yang mempelajari perilaku tanah


maupun
batuan. Di dalam dunia pertambangan peran seorang
geotek sangatlah
penting. Tidak hanya untuk mendisain atau menganalisis
lereng agar
aman, akan tetapi geotek juga diperlukan untuk
mendisain stock
pile, barge loading Conveyor/ Jety Manual maupun
pelabuhan. Seorang
geotek akan melakukan perhitungan seberapa besar
beban yang dapat
diterima oleh suatu tanah/batuan, sehingga dapat
mencegah terjadinya
longsor akibat beban yang berlebihan yang ditanggung
oleh
tanah/batuan tersebut.

Banyak perusahaan tambang kita yang masih


mengabaikan peran
geoteknik di dalam tambang. Anggapan bahwa
penyelidikan geoteknik
itu mahal adalah salah. Biaya yang dikeluarkan untuk
penyelidikan
geoteknik tidaklah semahal biaya yang akan terbuang bila
terjadi
longsor di tambang, stock pile, barge loading atau bahkan
pelabuhan.
Sebagai contoh, perusahaan tambang yang baru sekitar
satu minggu
memasang hopper seberat 200 ton di lokasi barge loading
conveyor,
tiba-tiba mengalami longsor. Hopper terlepas dari
pondasinya dan
menggeser semua bangunan yang sudah terpasang
disekitar BLC. Kaki
conveyor terangkat, dolpin bergerak dan jatuh ke sungai
akibat
terjadinya pergerakan tanah disekitarnya. Kerugian
struktur yang
diderita mencapai lebih dari 1M, belum lagi kerugian yang
timbul
akibat terhentinya aktifitas disekitar BLC. Banyak juga
perusahaan
tambang yang membuat lokasi stock pilenya dekat
dengan sungai.
Akibat beban yang berlebihan dari penumpukan batubara,
> maka sebagian dari batubara tersebut longsor ke
sungai. Dapat
dibayangkan berapa kerugian yang diderita oleh
perusahaan akibat
hilangnya batubara dan pencemaran yang ditimbulkan?
Untuk itulah
peran geotek cukup penting agar terhindar dari kerugian-
kerugian
tersebut.
BAB 25

PERTAMBANGAN

I. PENDAHULUAN

Pembangunan pertambangan yang merupakan perwujudan dari


amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 pada
hakikatnya merupakan upaya pengembangan sumber daya alam
mineral dan energi yang potensial untuk dimanfaatkan secara
hemat dan optimal bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat,
melalui serangkaian kegiatan eksplorasi, pengusahaan, dan
pemanfaatan hasil tambang. Upaya tersebut bertumpu pada
pendayagunaan berbagai sumber daya, terutama sumber daya alam
mineral dan energi, didukung oleh sumber daya manusia yang
berkualitas, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
kemampuan manajemen. Pembangunan pertambangan merupakan

253
bagian integral dari, pembangunan nasional dalam rangka
mewujudkan cita-cita bangsa mencapai masyarakat adil dan
makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
Sumber daya alam mineral dan energi memiliki ciri-ciri
khusus yang memerlukan pendekatan sesuai dengan
pengembangannya. Ciri khusus sektor pertambangan yang perlu
diperhatikan dalam pembangunan pertambangan, antara lain
sumber daya alam tambang menempati sebaran ruang tertentu di
dalam bumi dan dasar laut, terdapat dalam jumlah terbatas dan
pada umumnya tak terbarukan; pengusahaannya melibatkan
investasi dan kegiatan sarat risiko, yang seringkali harus padat
modal dan teknologi; proses penambangannya memiliki potensi
daya ubah lingkungan yang tinggi; hasil tambang mineral dan
energi mempunyai fungsi ganda, terutama sebagai sumber bahan
baku industri dan energi, baik untuk kebutuhan dalam negeri
maupun ekspor; dan usaha pertambangan mampu berperan sebagai
penggerak mula dan ujung tombak pembangunan daerah, di
samping perannya dalam memenuhi hajat hidup masyarakat luas.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993


mengamanatkan bahwa dalam Pembangunan Jangka Panjang II
(PJP H) pendayagunaan sumber daya alam sebagai pokok-pokok
kemakmuran rakyat dilakukan secara terencana, rasional, optimal,
bertanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya
dengan mengutamakan sebesar-besar kemakmuran rakyat serta
memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan
hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Tata ruang nasional
yang berwawasan nusantara dijadikan pedoman bagi perencanaan
pembangunan agar penataan lingkungan hidup dan pemanfaatan
sumber daya alam dapat dilakukan secara aman, tertib, efisien, dan
efektif.

Selanjutnya, dalam PJP II, GBHN 1993 juga menggariskan


bahwa pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi
Indonesia, seperti pertambangan, harus senantiasa memperhatikan
bahwa pengelolaan sumber daya alam, di samping untuk memberi
kemanfaatan masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa
depan. Sumber daya alam yang terbarukan harus dikelola
sedemikian rupa sehingga fungsinya dapat selalu terpelihara
sepanjang

254
masa. Oleh karena itu, sumber daya alam harus dijaga
agar kemampuannya untuk memperbaharui diri selalu
terpelihara. Sumber daya alam yang tidak terbarukan
harus digunakan sehemat mungkin dan diusahakan
habisnya selama mungkin.

Dengan demikian, tugas pokok sektor pertambangan adalah


melaksanakan pengelolaan sumber daya alam secara hemat dan
optimal, serta menerapkan sistem penambangan yang berwawasan
lingkungan.

Di samping itu, GBHN 1993 menetapkan bahwa dalam PJP II


pembangunan pertambangan diarahkan pula untuk menghasilkan
bahan tambang sebagai bahan baku bagi industri dalam negeri
sehingga dapat menghasilkan nilai tambah yang setinggi-tingginya
dan menciptakan lapangan kerja yang sebesar-besarnya.
Pembangunan sektor ini juga harus membawa manfaat yang
sebesarbesarnya bagi pengembangan wilayah, pembangunan daerah,
dan peningkatan taraf hidup rakyat. Selanjutnya GBHN 1993
mengingatkan bahwa kegiatan di sektor yang mengelola sumber
daya alam dari bumi memiliki potensi untuk merusak lingkungan,
baik air, tanah maupun udara. Oleh karena itu, harus selalu dijaga
agar kegiatan pembangunan di sektor ini memperhatikan kelestarian
fungsi lingkungan hidup.

Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam


(Repelita VI), GBHN 1993 mengamanatkan bahwa kekayaan alam
yang potensial berupa barang tambang, minyak dan gas bumi, serta
mineral lainnya yang terdapat di darat dan di dasar laut nusantara,
makin ditingkatkan eksplorasi, penggalian dan pendayagunaannya
untuk menunjang pembangunan dengan tetap menjaga
keseimbangan lingkungan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup
serta dengan memanfaatkan teknologi maju.

Di samping itu, dalam Repelita VI pembangunan pertam-


bangan diusahakan memberikan nilai tambah dan manfaat

25
5
sebesarbesarnya bagi kesejahteraan rakyat dan mendorong
pertumbuhan
industri dalam rangka memperkukuh struktur ekonomi
yang seimbang dan meningkatkan pendapatan nasional.

Selain untuk menopang program industrialisasi melalui


penyediaan bahan baku bagi industri di dalam negeri, serta
penyediaan sumber energi primer yang penting meliputi minyak
bumi, gas bumi, dan batu bara, pembangunan pertambangan juga
diarahkan untuk meningkatkan penerimaan negara dan devisa,
meningkatkan dan memeratakan pembangunan ke seluruh wilayah,
membuka seluas-luasnya kesempatan berusaha dan kesempatan
kerja, serta meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup
masyarakat. Dengan demikian, sektor pertambangan diharapkan
dapat berperan semakin nyata ke arah terwujudnya tujuan
pembangunan nasional, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.

Partisipasi aktif dan luas dari masyarakat dalam pembangunan


pertambangan tidak saja bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan
rakyat, tetapi juga sangat bermanfaat bagi peningkatan ketahanan
nasional dan kemampuan bangsa untuk melaksanakan
pembangunan yang berkelanjutan. Dalam hubungan ini,
peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang didukung oleh
kemampuan pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan faktor yang menentukan bagi
peningkatan efisiensi dan produktivitas guna mempercepat
kemandirian bangsa.

Indonesia dikaruniai sumber daya alam yang beranekaragam


serta tersebar di seluruh pelosok tanah air. Penggunaan sumber
daya mineral dan energi tersebut, sebagai salah satu modal dasar
bangsa, diarahkan untuk menjadi pendorong utama dan penggerak
pembangunan ekonomi serta memperkukuh ketahanan nasional.
Dengan modal dasar ini pertumbuhan ekonomi dapat lebih merata
di berbagai wilayah Indonesia. Pertumbuhan ekonomi diharapkan
berkembang pula di daerah terpencil yang potensial melalui
pembangunan pertambangan. Pengembangan wilayah pada masa
mendatang harus mampu mengambil manfaat dari potensi sumber
daya alam yang tersedia melalui pengembangan pusat-pusat
256
pertumbuhan ekonomi, termasuk sarana dan
prasarananya, yang sejauh mungkin disesuaikan dengan
potensi sumber daya di wilayah tersebut.

Sesuai dengan petunjuk GBHN 1993, pembangunan


pertambangan harus selalu mengarah kepada mantapnya sistem
ekonomi nasional yang disusun untuk mewujudkan demokrasi
ekonomi. Untuk menjalankan amanat tersebut, bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-pokok
kemakmuran rakyat dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pembangunan pertambangan dalam PJP II dan Repelita VI


disusun dan diselenggarakan dengan berlandaskan pengarahan
GBHN 1993 seperti tersebut di atas.

IL PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN DALAM PJP I

Selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama (PJP I) telah


dicapai berbagai hasil dan kemajuan di sektor pertambangan. Hasil
ini merupakan tumpuan yang kuat untuk memasuki PJP II sebagai
tahap tinggal landas yang akan membawa bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang maju dan mandiri.

Selama PJP I telah berhasil diselesaikan sejumlah peta dan


informasi geologi mengenai keberadaan mineral dan energi di
Indonesia. Pemetaan geologi bersistem di Pulau Jawa dan Madura
telah diselesaikan seluruhnya, yang terdiri 58 lembar peta geologi
dengan skala 1:100.000. Untuk daerah di luar Pulau Jawa dan
Madura diselesaikan 162 lembar atau 89,5 persen dengan skala
1:250.000. Pemetaan gaya berat bersistem di Pulau Jawa dan
Madura dengan skala 1:100.000 telah selesai 49 lembar atau 84,5
persen, sedangkan untuk luar Pulau Jawa dan Madura dengan skala
1:250.000 telah selesai 75 lembar atau 41,4 persen. Bersamaan
dengan itu, pemetaan geologi dasar laut bersistem skala 1:250.000

257
telah diselesaikan sebanyak 17 lembar atau 4,7 persen,
dan peta geologi kelautan regional dengan skala
1:1.000.000 atau lebih kecil telah selesai 7 lembar atau
25,0 persen dari seluruh wilayah lautan di Indonesia.

Kegiatan inventarisasi dan eksplorasi sumber daya mineral


selama PJP I telah menyelesaikan pemetaan geokimia mineral skala
1:250.000 sebanyak 38 lembar atau 25,7 persen, dan inventarisasi
sumber daya mineral skala 1:250.000 sebanyak 50 lembar atau
33,8 persen dari seluruh wilayah daratan Indonesia yang memiliki
potensi. Untuk sumber daya energi diselesaikan peta penyebaran
potensi panas bumi di Indonesia dengan skala 1:5.000.000;
pemetaan geologi panas bumi skala 1:50.000 di 52 lokasi atau 24,0
per- an; penyelidikan geofisika panas bumi di 29 lokasi atau
13,4 persen; penyelidikan geokimia panas bumi di 19 lokasi atau
9,6 persen; dan pengeboran uji panas bumi di 2 lokasi atau 1,0
persen dari seluruh lapangan panas bumi di Indonesia. Bersamaan
dengan itu, diselesaikan pula inventarisasi batu bara dan gambut
skala 1:250.000 sebanyak 23 lembar atau 46,0 persen dari seluruh
wilayah Indonesia yang mengandung batu bara dan gambut.

Kegiatan eksplorasi selama PJP I telah menghasilkan data


perkiraan cadangan sumber daya mineral logam, antara lain
meliputi timah 2 juta ton, nikel 901,2 juta ton, bauksit 924,4 juta
ton, emas 1,7 ribu ton, dan perak 8,7 ribu ton. Untuk sumber daya
mineral industri, perkiraan cadangan asli adalah sebagai berikut:
batu kapur 30 miliar ton, dolomit 1,5 miliar ton, kaolin 9,3 juta
ton, pasir kuarsa 4,7 miliar ton, belerang 5,7 juta ton, fosfat 4,3
juta ton, bentonit 1,4 miliar ton, feldspar 2,5 miliar ton, zeolit 207
juta ton, pirofilit 550 juta ton, granit 10 miliar ton, dan marmer
8,6 miliar ton, sedangkan potensi sumber daya energi panas bumi
diperkirakan 16.000 megawatt.

Pemetaan hidrogeologi bersistem di luar Pulau Jawa dan


Madura skala 1:250.000 menghasilkan 74 lembar atau 49,3 persen
dari seluruh wilayah Indonesia, sedangkan untuk Pulau Jawa dan

258
Madura peta skala 1:100.000 menyelesaikan 5 lembar
atau 8,6 persen dari luas Pulau Jawa dan Madura.
Penyelidikan potensi cekungan air tanah tingkat awal telah
menyelesaikan 105 cekungan atau 49,1 persen, dan
penyelidikan tahap rinci sebanyak 22 cekungan atau 10,3
persen dari seluruh cekungan air tanah di Indonesia.

Dalam rangka peningkatan kepedulian sosial dan lingkungan


telah dilaksanakan pemetaan dan penyelidikan geologi untuk
mitigasi bencana alam geologis dan masukan untuk mendukung
penataan ruang. Sehubungan dengan itu, telah diselesaikan pula
pemetaan seismik daerah rawan gempa skala 1:250.000 sebanyak 4
lembar atau 5,5 persen dari wilayah rawan gempa di Indonesia;
pemetaan geologi kuarter skala 1:50.000 sebanyak 14 lembar atau
11,7 persen dari wilayah Indonesia yang diperkirakan berumur
kuarter; pemetaan geomorfologi skala 1:100.000 sebanyak 4
lembar atau 3,4 persen dari seluruh wilayah daratan di Indonesia.
Pemetaan geologi gunung api skala 1:50.000 diselesaikan sebanyak
35 gunung api atau 27,1 persen; pemetaan daerah bahaya gunung
api skala 1:50.000 sebanyak 91 lembar atau 70,5 persen; pemetaan
topografi puncak gunung api skala 1:10.000 sebanyak 30 lembar
atau 23,3 persen; pemetaan aliran lahar skala 1:10.000 sebanyak
20 lembar atau 15,5 persen dari 129 gunung api aktif di Indonesia.
Pemetaan kerentanan gerakan tanah skala 1:100.000 diselesaikan
sebanyak 10 lembar atau 10,0 persen dari wilayah Indonesia yang
rawan gerakan tanah; pemetaan geologi teknik skala 1:100.000
sebanyak 10 lembar atau 20,0 persen; dan pemetaan geologi tata
lingkungan skala 1:100.000 sebanyak 5 lembar atau 5,6 persen dari
daerah yang cepat pertumbuhan ekonominya.

Dalam kaitan dengan lingkungan hidup, telah dilaksanakan


pula berbagai penyelidikan. Selama PJP I telah diselesaikan
penyelidikan daerah geologi kuarter dan seismotektonik pada 126
lokasi dan penyelidikan geologi wilayah pantai pada 49 lokasi.
Penyelidikan gunung api meliputi penyelidikan lahar/bahan letusan
sebanyak 35 gunung api; penyelidikan kimia sebanyak 21 gunung

25
9
api; penyelidikan fisika sebanyak 19 gunung api;
penyelidikan penginderaan jauh sebanyak 19 gunung
api; penyelidikan seismik sebanyak 16 gunung api.
Penyelidikan geologi teknik dilaksanakan sebanyak 241
lokasi, meliputi penyelidikan fondasi, terowongan,
bendungan, waduk, jalan raya dan kereta api,
kemantapan lereng, tanah lunak, dan likuifaksi.
Penyelidikan geologi lingkungan perkotaan, perdesaan,
pantai, wilayah pertambangan, dan geologi lingkungan
buangan limbah di berbagai wilayah telah dilakukan
pada 124 lokasi.

Dalam upaya mitigasi bencana alam geologis,


selama PJP I telah dilaksanakan identifikasi 20
daerah sesar aktif yang terbagi dalam 130 bagian
sesar; pemantauan fisika dan kimia di 20 gunung
api; pengamatan secara terus-menerus di 59
gunung api; pemantauan gas gunung api di 20
lokasi; pemantauan longsor di 5 lokasi daerah
rawan longsor; pembuatan sumur pantau air tanah
di 62 lokasi; dan konservasi air tanah di 5 daerah.
Kegiatan ini akan diperluas dalam PJP II dengan
pembuatan stasiun sesar aktif, pemantauan sesar
aktif, pemantauan amblasan, dan pemantauan air
tanah, pemantauan limbah dan kualitas lingkungan
geologi.

Dalam 12 tahun terakhir 28 letusan gunung api


skala besar yang terjadi di seluruh wilayah
Indonesia berhasil diantisipasi. Dengan antisipasi
tersebut, 257.000 orang telah berhasil diselamatkan
dari bahaya letusan, sedangkan jumlah korban
relatif kecil, yaitu 40 orang dari 1 juta penduduk
yang bermukim di daerah rawan bahaya gunung
api tersebut. Penyuluhan dan informasi bahaya
geologi, terutama gunung api dan gerakan tanah,

260
terus disebarluaskan guna memperkecil jumlah
korban dan kerugian.

Selama PJP I pembangunan pertambangan


mineral dan batu bara mengalami kemajuan pesat
seperti terlihat dari peningkatan produksi dan
ekspor pada hampir semua jenis mineral. Produksi
batu bara meningkat pesat, yaitu sekitar 156 kali,
dari tingkat produksi sebesar 185,8 ribu ton pada
awal PJP I menjadi sekitar 29 juta ton pada tahun
terakhir PJP I.
Dari hasil kegiatan inventarisasi dan eksplorasi sampai akhir
PJP I telah dapat ditaksir besarnya cadangan batu bara Indonesia,
yaitu sebesar 36,3 miliar ton yang terdiri atas cadangan terukur 4,8
miliar, cadangan tereka dan terunjuk 18,9 miliar ton, dan cadangan
hipotetis 12,6 miliar ton. Cadangan tersebut terutama tersebar di
Sumatera Utara 4,7 persen, Sumatera Tengah 11,5 persen,
Sumatera Selatan 51,6 persen, Bengkulu 0,2 persen, Kalimantan
Selatan 10,0 persen, Kalimantan Barat 5,8 persen, Kalimantan
Tengah 1,2 persen, Kalimantan Timur 14,6 persen, sedangkan
sisanya tersebar di Jawa, Sulawesi, dan Irian Jaya.

Pemasaran batu bara di dalam negeri dan ekspor selama PJP I


menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Sebagian besar
pemasaran batu bara di dalam negeri diserap oleh pembangkit
listrik tenaga uap (PLTU), industri semen, industri dasar besi dan
baja, pabrik peleburan nikel dan timah, serta berbagai industri
kecil lainnya. Tingkat pemasaran batu bara di dalam negeri pada
tahun pertama PJP I sebesar 0,2 juta ton dan pada akhir PJP I
meningkat menjadi 8,5 juta ton. Adapun ekspor pada akhir
Repelita II adalah 27,3 ribu ton dan pada akhir PJP I diperkirakan
mencapai 19,0 juta ton. Menjelang akhir PJP I, penggunaan briket
batu bara untuk keperluan rumah tangga dan industri kecil sudah
mulai dimasyarakatkan.

Dalam PJP I telah dilakukan eksplorasi terhadap potensi gam-


but yang meliputi daerah di Sumatera (Bengkalis, Siak dan
Kumpeh), dan Kalimantan (Sampit, Pangkalan Bun, Pontianak,
Banjarmasin, Palangkaraya, dan Kanamit). Areal gambut yang
telah dieksplorasi baru seluas 337.450 hektare, sedangkan
penyebaran gambut di seluruh Indonesia diperkirakan seluas 25
juta hektare. Potensi gambut diperkirakan sebesar 200 miliar ton
pada areal dengan ketebalan lebih dari dua meter. Potensi gambut
terse-but jauh melebihi potensi batu bara Indonesia.

Mineral logam utama hasil pertambangan


meliputi timah, nikel, bauksit, tembaga, emas,
perak, serta pasir besi. Produksi

26
1
mineral logam selama PJP I menunjukkan peningkatan dari
tahun ke tahun, terutama pada tahun-tahun terakhir PJP I.
Produksi logam timah meningkat dengan pesat dari 5,8
ribu ton pada awal Repelita I dan diperkirakan menjadi
31,2 ribu ton pada akhir PJP I. Ekspor logam timah
memperlihatkan kenaikan dari 5,1 ribu ton menjadi 29,2
ribu ton pada kurun waktu yang sama. Penemuan
cadangan timah yang cukup besar terjadi selama PJP I.
Cadangan utama timah di Pulau Bangka dan Belitung
tercatat sebesar 782,5 ribu ton.

Produksi bijih nikel baru mencapai sekitar 990 ribu ton pada
akhir Repelita I. Dengan beroperasinya pabrik feronikel di
Pomalaa tahun 1976 dan dimulainya ekspor bijih nikel dari Pulau
Gebe, produksi bijih nikel pada akhir PJP I diperkirakan
mencapai 2.547,5 ribu ton. Sementara itu, volume ekspor bijih
nikel memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat dari
830 ribu ton pada akhir Repelita I menjadi sekitar 1.850 ribu ton
pada akhir PJP I.

Produksi feronikel menjelang akhir PJP I mencapai 5.500 ton


nikel per tahun, yang hampir seluruhnya diekspor. Nikel matte,
yang mulai diproduksi pada tahun 1976 sebesar 1,7 ribu ton, telah
meningkat produksinya menjadi 32 ribu ton pada akhir PJP I, yang
sebagian besar juga diekspor.

Produksi bauksit sampai saat ini masih dipusatkan pada


penambangan cadangan bijih berkadar ekspor di Pulau Bintan dan
sekitarnya, dengan pasaran ekspor utama ke Jepang. Namun,
karena belum berkembangnya pengolahan bauksit di dalam negeri,
keperluan alumina masih harus diimpor. Cadangan bauksit yang
jauh lebih besar terdapat di daerah Kalimantan Barat. Jumlah
produksi bauksit pada awal PJP I sebesar 874,5 ribu ton
berfluktuasi dari tahun ke tahun tergantung pada permintaan pasar,
tetapi produksi pada akhir PJP I mencapai 1.087 ribu ton.

262
Satu-satunya tambang di Indonesia yang menghasilkan
tembaga dalam bentuk konsentrat terdapat di Irian
Jaya. Produksi
pertama konsentrat tembaga dimulai pada tahun 1972
sebesar 9,8 ribu ton, dan mencapai 1.042 ribu ton
pada tahun terakhir PJP I. Pada tahun 1990 Indonesia
merupakan peringkat 15 produsen tembaga dunia.
Sejalan dengan tingkat produksinya, ekspor konsentrat
tembaga tahun 1972 sebesar 9 ribu ton, dan pada
akhir PJP I mencapai 990 ribu ton. Sampai saat ini
seluruh produksi konsentrat tembaga masih diekspor
karena belum tersedia pabrik peleburan tembaga di
dalam negeri.

Cadangan terukur emas sampai saat ini adalah 1,7 ribu ton.
Dalam PJP I produksi emas telah berhasil ditingkatkan dari 251,6
kilogram pada awal Repelita I menjadi 40.324,0 kilogram pada
akhir PJP I. Jumlah produksi tersebut termasuk emas yang
terkandung dalam konsentrat tembaga. Kegiatan eksplorasi yang
intensif dalam Repelita V telah berhasil menemukan cadangan baru
di daerah Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor, dan diharapkan
mulai berproduksi pada awal tahun 1994. Sementara itu, produksi
perak selama periode PJP I berhasil ditingkatkan dari 10.143,2
kilogram pada awal PJP I dan diperkirakan menjadi 71.094
kilogram pada akhir PJP I.

Penambangan pasir besi di Cilacap dimulai pada tahun


1971/72 dengan produksi sebesar 270 ribu ton. Produksi tertinggi
yang pernah dicapai selama PJP I adalah sebesar 365,3 ribu ton
pada tahun 1974/75. Pemanfaatan produksi pasir besi lebih
diarahkan untuk pasaran dalam negeri, terutama untuk industri
semen. Dengan berkembangnya industri semen di dalam negeri
dalam dekade terakhir PJP I, permintaan pasar domestik akan pasir
besi meningkat kembali sehingga produksi pasir besi dapat
ditingkatkan hingga mencapai 315,8 ribu ton pada akhir PJP I.

Bahan-bahan tambang lainnya, adalah bahan galian industri,


seperti batu kapur, dolomit, belerang, kaolin, pasir kuarsa, fosfat,
bentonit, feldspar, dan marmer. Pertumbuhan sektor industri yang

26
3
semakin meningkat di Indonesia telah memacu pengembangan
pertambangan bahan galian industri, khususnya dalam usaha
memenuhi kebutuhan bahan baku industri tersebut.
Produksi batu kapur selama PJP I meningkat dari 696 ribu ton
pada awal PJP I menjadi 39.236 ribu ton pada akhir PJP I.
Produksi dolomit pada akhir Repelita III adalah sebesar 63,5 ribu ton
dan pada akhir PJP I mencapai 103,7 ribu ton. Sebagian besar
dolomit yang dihasilkan di Indonesia dimanfaatkan oleh sektor
pertanian, dan baru sebagian kecil yang dimanfaatkan untuk industri.

Produksi belerang pada tahun pertama PJP I adalah sebesar


528 ton dan menjelang akhir PJP I mencapai 4.250 ton, walaupun
masih diperlukan impor untuk kebutuhan dalam negeri. Produksi
belerang di Indonesia berasal antara lain dari Gunung Papandayan,
Gunung Telaga Bodas, Gunung Welirang, Gunung Ijen, dan Pulau
Damar.

Pada tahun pertama PJP I produksi kaolin sebesar 8,1 ribu ton
dan menjelang akhir PJP I meningkat menjadi 209,6 ribu ton.
Produksi kaolin Indonesia berasal dari Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Belitung, Bangka, Jawa Barat, Jawa Timur,
dan Lampung. Di samping untuk ekspor, produksi tersebut juga
digunakan untuk memenuhi kebutuhan kaolin di dalam negeri
sebagai bahan keramik.

Pasir kuarsa pada permulaan PJP I produksinya adalah sebesar


6,3 ribu ton dan diperkirakan meningkat menjadi 1.097,3 ribu ton
pada tahun terakhir PJP I, dengan produksi terbesar di Bangka,
Belitung, Jawa Timur, dan Kalimantan.

Fosfat, yang produksinya pada tahun terakhir Repelita I adalah


sebesar 819 ton, diperkirakan meningkat menjadi 99.950 ton pada
tahun terakhir PJP I. Industri pupuk merupakan pemakai fosfat
yang utama. Dibanding dengan tingkat konsumsi di dalam negeri,
produksi fosfat Indonesia masih sangat kecil, dan kekurangannya
masih dipenuhi melalui impor.

Bentonit, pada akhir Repelita II produksinya sebesar


4,2 ribu ton dan menjelang akhir PJP I meningkat
menjadi 46,6 ribu ton

264
dan masih diperlukan lagi peningkatan produksinya,
karena kebutuhan dalam negeri masih dipenuhi
melalui impor. Sampai saat ini bentonit baru
dihasilkan dari Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur.

Produksi feldspar sebesar 349 ton pada tahun pertama PJP I


meningkat menjadi 13,3 ribu ton menjelang akhir PJP I. Konsumsi
feldspar di dalam negeri pada tahun 1993 mencapai 134,9 ribu ton.
Feldspar digunakan untuk pembuatan barang-barang keramik
dan porselen, industri gelas dan barang-barang dari gelas, serta
untuk industri lainnya seperti genteng dan barang-barang dari tanah
liat. Sementara itu, produksi marmer pada awal PJP I adalah
sebesar 9,2 ribu ton dan produksi tersebut diperkirakan
meningkat menjadi 1.839,4 ribu ton pada akhir PJP I.

Selama PJP I minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi sangat
besar peranannya dalam pembangunan. Minyak dan gas bumi
merupakan sumber energi dan bahan baku untuk industri dalam
negeri serta menjadi sumber penerimaan dan devisa negara.

Pemboran eksplorasi minyak dan gas bumi selama PJP I telah


menghasilkan 1.504 sumur temuan (discovery well) yang terdiri
atas 1.069 sumur minyak dan 435 sumur gas. Dengan
bertambahnya data bawah permukaan sebagai hasil dari
penyelidikan dan pengeboran, diketahui bahwa di Indonesia
terdapat 60 cekungan tersier, 36 cekungan di antaranya telah
dieksplorasi dan dibor selama PJP I.

Sesuai dengan peningkatan kegiatan


pertambangan, produksi minyak bumi, termasuk
kondensat, selama PJP I menunjukkan kenaikan dari
tahun ke tahun. Pada tahun pertama Repelita I
produksi minyak bumi mencapai 284,3 juta barel, dan
pada akhir PJP I produksi minyak bumi dan kondensat
diperkirakan mencapai 560 juta barel.

265
Produksi gas bumi selama PJP I meningkat 22 kali lipat, yaitu
dari 116 miliar kaki kubik pada awal PJP I menjadi 2.502 miliar
kaki kubik menjelang akhir PJP I. Kenaikan produksi gas tersebut
terutama disebabkan oleh pengembangan pemanfaatan gas untuk
gas alam cair (liquefied natural gas, LNG) sejak 1977, di samping
dimanfaatkan juga untuk pabrik pupuk, pabrik baja, dan
pemanfaatan dalam negeri lainnya.

Pemanfaatan gas bumi, baik sebagai bahan bakar maupun


sebagai bahan baku, meningkat dari tahun ke tahun selama PJP I.
Pada tahun pertama Repelita I gas yang dimanfaatkan baru 51,6
persen dari gas yang diproduksi, terutama untuk pemakaian di
lapangan sebagai gas pengangkat atau gas penekan dalam rangka
membantu produksi minyak. Adapun sisanya sebesar 48,4 persen
dibakar. Menjelang akhir PJP I pemanfaatan gas bumi meningkat
menjadi 94,0 persen dan hanya 6,0 persen yang dibakar.

Pengolahan minyak mentah mengalami peningkatan yang


cukup besar. Dalam tahun pertama Repelita I minyak mentah yang
diolah sebesar 77,1 juta barel. Dengan pembangunan, perluasan,
peningkatan dan perbaikan kilang Cilacap, Balikpapan, Dumai,
Sungai Pakning dan Sungai Musi yang dilakukan selama PJP I,
pada tahun terakhir Repelita V minyak yang diolah mencapai 311,9
juta barel atau meningkat hampir 4 kali lipat selama PJP I.

Bahan bakar minyak (BBM) yang dihasilkan oleh kilang


minyak meningkat dari 52,2 juta barel pada tahun pertama PJP I
menjadi 232,2 juta barel menjelang tahun terakhir PJP I. Kilang
minyak itu juga menghasilkan produk non-BBM, yang produksinya
meningkat dari 21,1 juta barel pada tahun pertama PJP I menjadi
sekitar 66,4 juta barel pada tahun terakhir PJP I.

Pengolahan gas mengalami peningkatan sejak dimulainya


produksi LNG di kilang gas Bontang pada tahun 1977 dan di
kilang gas Arun pada tahun 1978. Menjelang akhir PJP I produksi
LNG mencapai 25 juta ton. Demikian pula, produksi gas minyak

266
cair (liquefied petroleum gas, LPG) meningkat selama PJP
I, yaitu dari 11,8 ribu ton pada tahun pertama PJP I
menjadi sekitar 2,9 juta ton pada tahun terakhir
PJP I.

Kilang polipropilena yang mulai beroperasi pada tahun 1973


diperkirakan menghasilkan 13,4 ribu ton polipropilena per tahun
pads . akhir Repelita V. Kilang asam tereftalat murni (Purified
Terephthalic Acid, PTA), mulai beroperasi pada tahun 1986, dan
diperkirakan memproduksi 205 ribu ton PTA pada tahun terakhir
Repelita V. Kilang metanol mulai beroperasi pada tahun 1986, dan
mencapai tingkat produksi 273 ribu ton pada akhir Repelita V.
Paraxilena dan benzena mulai diproduksikan pada tahun 1990.
Tingkat produksi pada akhir PJP I diperkirakan mencapai 242 ribu
ton untuk paraksilena dan 102 ribu ton untuk benzena.

Konsumsi BBM di dalam negeri meningkat dari 6,2 juta


kiloliter pada awal Repelita I menjadi sekitar 42 juta kiloliter pada
akhir PJP I yang berarti naik hampir 7 kali lipat selama 25 tahun,
atau naik rata-rata 8,5 persen setahun. Dari berbagai jenis BBM
yang digunakan di dalam negeri, bensin pesawat terbang (avgas)
menunjukkan penurunan, sebaliknya bahan bakar pesawat jet (avtur)
naik rata-rata 8,2 persen per tahun, bensin naik rata-rata 7,1 persen
per tahun, minyak tanah (kerosin) naik rata-rata 4,2 persen per
tahun, minyak solar (ADO) naik rata-rata 11,6 persen per tahun,
minyak diesel (IDO) naik rata-rata 6,4 persen per tahun, dan minyak
bakar naik rata-rata 7,4 persen per tahun.

Penjualan gas untuk rumah tangga dan industri oleh


Perusahaan Umum Gas Negara (PGN) mengalami kenaikan hampir
29 kali lipat dari 5,6 juta meter kubik pada tahun pertama PJP I
menjadi 733,9 juta meter kubik pada tahun terakhir Repelita V.

Sejak tahun 1974 mulai dilakukan survei dan eksplorasi panas


bumi. Sebagai hasil kegiatan eksplorasi, diidentifikasikan 217
daerah prospek panas bumi dengan jumlah potensi lebih dari
16.000 megawatt. Pada akhir PJP I telah dapat dimanfaatkan

26
7
sebesar 199,5 megawatt, yaitu dari lapangan
Kamojang, Gunung Salak, Dieng, dan Lahendong.

III. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG


PEMBANGUNAN

Pembangunan di sektor pertambangan terutama


minyak dan gas bumi, selama PJP I telah memberikan
sumbangan yang sangat besar bagi pembangunan
nasional. Dalam Repelita VI minyak dan gas bumi
masih merupakan komoditas andalan baik sebagai
sumber energi primer maupun dalam penyediaan
anggaran pemerintah. Demikian pula berbagai bahan
tambang lainnya masih dapat dimanfaatkan untuk
jangka waktu yang cukup panjang. Untuk dapat
meningkatkan kemampuan di bidang pertambangan
dalam rangka mendukung pembangunan nasional
pada PJP II, segala tantangan dan kendala yang ada
harus dapat diantisipasi, di samping berbagai
peluang yang dapat dimanfaatkan.

1. Tantangan

Dalam Repelita VI pembangunan pertambangan


dihadapkan kepada tantangan bagaimana
meningkatkan sumber daya manusia yang profesional
baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Tingkat
penguasaan teknologi tenaga-tenaga pertambangan
belum dapat memenuhi kebutuhan yang semakin
meningkat. Kegiatan eksplorasi dan pengusahaan
268
pertambangan pada masa mendatang cenderung
semakin mengarah ke daerah yang lebih sulit dan
terpencil. Hal ini menuntut perlunya upaya
mempercepat penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi pertambangan yang lebih maju.

Tantangan yang juga dihadapi sektor


pertambangan adalah bagaimana meningkatkan
keterkaitan antara usaha pertambangan dengan
industri pengolahan dan sektor-sektor lainnya. Belum
berkembangnya keterkaitan tersebut berakibat
hilangnya kesempatan untuk memperoleh nilai
tambah yang potensial serta
ketergantungan industri dalam negeri terhadap impor
bahan baku hasil tambang. Dalam kaitan itu,
pengembangan serta penerapan standardisasi produk
dan jasa pertambangan, yang menyangkut bidang
geologi, penambangan, dan pengolahan hasil
tambang, termasuk pengujian dan analisis
l a b o ra to ri u m , merupakan tantangan yang juga harus
mendapatkan perhatian khusus dalam rangka
mengembangkan keterkaitan usaha pertambangan
dengan sektor industri secara efisien. Di samping itu,
tantangan lain yang juga dihadapi sektor
pertambangan adalah pengembangan keterkaitan
antara usaha pertambangan dengan sektor-sektor
lainnya.

Indonesia selain memiliki cadangan mineral berskala besar


juga memiliki cadangan mineral berskala kecil dan tersebar di
banyak tempat. Cadangan mineral tersebut sering tidak efisien jika
diusahakan secara modern dan menggunakan teknologi canggih,
tetapi masih ekonomis jika diusahakan oleh pertambangan rakyat.
Pertambangan jenis ini sering diusahakan oleh rakyat setempat
tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan ataupun peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, usaha
pertambangan rakyat secara tradisional tidak mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat penambang secara nyata.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi adalah bagaimana
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan
pertambangan secara efektif sehingga usaha pertambangan rakyat
dapat ditata dan dikembangkan secara mantap dan terpadu sebagai
bagian integral dari sistem pertambangan nasional yang
berwawasan lingkungan.

Arus globalisasi telah mendorong terjadinya persaingan yang


makin ketat dalam menarik investasi, baik persaingan antarnegara
maupun persaingan antarsektor ekonomi. Tantangan yang dihadapi

26
9
adalah bagaimana menciptakan iklim investasi yang lebih
mendukung serta sistem insentif untuk menarik masuknya investor
baru dalam usaha pertambangan. Hal ini penting mengingat sifat
usaha pertambangan adalah penuh risiko, padat modal, dan bersifat
jangka panjang.
Kegiatan perencanaan dan pengembangan pertambangan, baik
oleh swasta maupun Pemerintah, menuntut tersedianya data dan
informasi geologi sumber daya mineral secara lengkap dan rinci.
Dewasa ini upaya pengumpulan, pengolahan, penyimpanan serta
pemanfaatan informasi geologi dan sumber daya mineral belum
sepenuhnya mampu memberikan informasi secara cepat, lengkap
dan efisien. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana
mengembangkan sistem informasi geologi dan sumber daya mineral
yang terpadu dengan memanfaatkan teknologi informasi yang
mutakhir.

Dalam Repelita VI minyak bumi diperkirakan masih akan


menjadi sumber energi primer yang penting. Di samping itu,
minyak bumi juga merupakan komoditas ekspor yang memberikan
sumbangan besar bagi pendapatan negara dan penerimaan devisa.
Pangsa minyak bumi dalam konsumsi energi telah berhasil
diturunkan, tetapi jumlah pemakaiannya masih terus meningkat
dari tahun ke tahun. Apabila tidak ditemukan cadangan-cadangan
minyak baru, dalam waktu yang tidak terlalu lama Indonesia akan
menjadi negara pengimpor minyak neto. Oleh karena itu,
pemanfaatan sumber energi primer lainnya terutama gas bumi, batu
bara dan panas bumi perlu segera dipacu peningkatannya.
Penganekaragaman sumber energi telah lama diupayakan, tetapi
hasilnya belum memuaskan. Dengan demikian, tantangan yang
dihadapi adalah bagaimana mengupayakan diversifikasi dan
konservasi sumber energi primer secara optimal.

Kegiatan usaha pertambangan banyak menimbulkan dampak


negatif terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup fisik meliputi
air, udara, tanah, dan bentang alam, ataupun nonfisik seperti sosial
ekonomi dan budaya masyarakat. Persyaratan lingkungan yang
semakin ketat di tingkat nasional dan internasional memerlukan
perhatian yang semakin besar terhadap aspek lingkungan hidup
dalam kegiatan pertambangan. Di samping itu, pembangunan
pertambangan sebagai upaya pemanfaatan sumber daya alam
seharusnya dilaksanakan, ditata, dan dikembangkan secara terpadu
dengan pembangunan wilayah dalam suatu kerangka tata ruang

270
yang didasarkan kepada hasil inventarisasi geologi dan evaluasi
sumber daya mineral, dan disusun sesuai dengan prinsip
pemanfaatan lahan berganda, termasuk pengembangan wilayah
pascatambang. Oleh karena itu, juga merupakan tantangan untuk
memanfaatkan sumber daya mineral dan energi melalui penerapan
sistem pertambangan yang berwawasan lingkungan, serta untuk
menjamin kesinambungan kegiatan ekonomi setelah kegiatan
pertambangan berakhir.

2. Kendala

Pembangunan pertambangan dalam Repelita VI dan PJP II


dihadapkan pada berbagai kendala. Kendala pertama adalah
berkaitan dengan kebutuhan modal untuk investasi. Berbagai
kegiatan usaha pertambangan mulai dari eksplorasi, penambangan,
serta pengolahan hasil tambang memerlukan dana yang besar.
Pembangunan di sektor pertambangan masih sangat tergantung
kepada investasi asing. Investasi asing, di samping membawa
modal, juga sekaligus memasukkan kemampuan teknologi,
manajemen, dan saluran pemasaran. Namun, persaingan untuk
menarik investasi tersebut, baik antarnegara maupun antarsektor
ekonomi di dalam negeri, diperkirakan akan makin ketat. Harga
komoditas mineral dan minyak bumi yang tidak stabil dan
cenderung menurun di pasaran internasional, juga merupakan
kendala.

Keterbatasan dalam kemampuan penguasaan teknologi juga


menjadi kendala. Walaupun selama PJP I telah dicapai kemajuan
dalam teknologi pertambangan di Indonesia, pada umumnya
kemajuan baru pada taraf mengaplikasikan teknologi yang diimpor.
Proses alih teknologi berlangsung relatif lambat. Oleh karena itu,
dalam pengusahaan pertambangan ketergantungan kepada tenaga
ahli asing untuk berbagai bidang keahlian masih cukup besar.
Sementara itu, infrastruktur kelembagaan yang mendukung upaya
percepatan penguasaan teknologi pertambangan, termasuk lembaga
pendidikan dan pelatihan serta lembaga penelitian dan
pengembangan, masih terbatas kemampuannya.

27
1
Pembangunan pertambangan dalam Repelita VI juga
dihadapkan pada kurangnya tenaga ahli dan tenaga terampil,
termasuk untuk pengembangan pertambangan rakyat yang efisien
dan pertambangan yang berwawasan lingkungan.

Belum mantapnya penataan ruang menjadi kendala dalam


pengembangan usaha pertambangan karena sering mengakibatkan
tumpang tindih dalam pemberian hak pemanfaatan lahan dan
ruang.

3. Peluang

Sektor pertambangan di Indonesia mempunyai cukup peluang


untuk berkembang dalam masa PJP II. Indonesia sebagai negara
yang memiliki sumber daya mineral yang sangat besar serta posisi
yang strategis di kawasan Asia Pasifik mempunyai peluang untuk
mengembangkan potensi mineralnya apabila ditunjang dengan
strategi yang sesuai serta iklim berusaha yang mendukung.

Jumlah penduduk Indonesia yang besar dengan tingkat


pendapatan yang meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan
ekonomi akan menjadi pasar yang potensial bagi produk yang
berbasis sumber daya mineral.

Restrukturisasi industri di negara-negara maju juga akan


membuka peluang. Dengan sumber daya alam mineral dan energi
yang kaya, Indonesia memiliki peluang yang besar sebagai tempat
relokasi industri dari negara maju, termasuk industri pengolahan
hasil tambang.

Pertumbuhan pasar di kawasan Asia Pasifik akan


menciptakan peluang dan kesempatan khusus bagi
Indonesia untuk mengembangkan industri
pertambangan dengan skala yang ekonomis, yang
memungkinkan peningkatan efisiensi dan daya saing.

272
IV. ARAHAN, SASARAN, DAN
KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN

1. Arahan GBHN 1993

Pembangunan pertambangan diarahkan untuk memanfaatkan


kekayaan surnber daya alam tambang secara hemat dan optimal
bagi pembangunan nasional demi kesejahteraan rakyat, dengan
tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup serta ditujukan
untuk menyediakan bahan baku bagi industri dalam negeri, bagi
keperluan energi, dan bagi keperluan masyarakat, serta untuk
meningkatkan ekspor, meningkatkan penerimaan negara dan
pendapatan daerah, serta memperluas lapangan kerja dan
kesempatan usaha.

Dalam pembangunan pertambangan perlu ditingkatkan upaya


peningkatan produksi, penganekaragaman hasil tambang,
pengelolaan usaha pertambangan secara efektif dan efisien,
didukung oleh usaha inventarisasi dan pemetaan serta eksplorasi
dan eksploitasi kekayaan bahan tambang yang makin meningkat
dengan menguasai dan memanfaatkan teknologi yang tepat.
Pengembangan pertambangan perlu diarahkan untuk mendorong
kegiatan ekonomi dengan mempertimbangkan prinsip penggunaan
lahan berganda dan pola tata ruang nasional melalui kebijaksanaan
optimasi manfaat dari pendayagunaan kekayaan alam.

Pembangunan pertambangan diselenggarakan secara terpadu


dengan pembangunan daerah dan pembangunan berbagai sektor
lainnya, terutama yang berkaitan erat dengan perluasan lapangan
kerja dan kesempatan usaha, serta pengembangan wilayah dengan
selalu memperhatikan kebutuhan masa depan dan kelestarian fungsi
lingkungan hidup. Pengetahuan geologi perlu ditingkatkan untuk
memperoleh manfaat maksimal dan kemampuan untuk
memperkirakan secara tepat bencana alam geologis sehingga
dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat.

27
3
Pemanfaatan bahan dan hasil tambang terus dikembangkan
melalui peningkatan produksi dan usaha pemasarannya di dalam
negeri dan di luar negeri serta pengolahannya perlu didukung oleh
industri pengolahan yang maju agar mampu meningkatkan nilai
tambah dan pendapatan negara.

Upaya untuk memproduksi minyak dan gas bumi serta


menemukan cadangan baru perlu ditingkatkan, disertai usaha
perluasan pemasaran produk hasil pengolahan minyak dan gas
bumi dalam rangka peningkatan dan penganekaragaman sumber
penerimaan dan devisa negara. Dengan makin terbatasnya
cadangan minyak dan gas bumi serta makin sulitnya menemukan
ladang baru, upaya penganekaragaman sumber energi perlu makin
ditingkatkan, terutama batu bara, sehingga ketergantungan pada
minyak dan gas bumi makin berkurang.

Pertambangan rakyat dilindungi, dibimbing, dan ditingkatkan


pengelolaannya antara lain melalui pengaturan, penyuluhan, dan
pembinaan usaha pertambangan, termasuk usaha koperasi, dalam
rangka perluasan lapangan kerja dan kesempatan usaha serta
peningkatan pendapatan dan taraf hidup rakyat, khususnya rakyat
penambang. Kerja sama pertambangan rakyat dengan usaha
pertambangan negara dan swasta besar perlu didorong agar saling
menunjang dan saling memperkuat.

Penanaman modal swasta di sektor pertambangan di luar


pertambangan rakyat dan galian strategis, baik modal dalam negeri
maupun modal asing, terus didorong dan ditingkatkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi pembangunan nasional
dan alih teknologi, antara lain melalui penciptaan iklim yang lebih
sehat dan menarik bagi penanaman modal.

Penguasaan teknologi pertambangan, termasuk


teknologi eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang di
darat maupun di dasar

274
laut, terus ditingkatkan melalui keterampilan dan keahlian
di sektor pertambangan.

Penambangan dan pengelolaan bahan galian yang


tidak vital dan tidak strategis harus mengikutsertakan
rakyat setempat dengan tetap menjaga kelestarian fungsi
lingkungan hidup.

Untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan,


upaya reklamasi pascatambang perlu dilaksanakan sejak
awal sehingga bekas tambang dapat lebih dimanfaatkan.

2. Sasaran

a. Sasaran PJP II

Sasaran pembangunan pertambangan dalam PJP II


adalah mendukung terciptanya perekonomian nasional
yang mandiri dan andal melalui pendayagunaan sumber
daya alam mineral dan energi secara hemat dan optimal
serta berwawasan lingkungan.

Dalam kaitan itu, pada akhir PJP II seluruh kebutuhan


informasi dasar geologi, baik berupa peta-peta dasar
geologi maupun informasi bencana alam geologis dan
lingkungan hidup, telah tersedia. Dalam PJP II akan dicapai
tingkat kemandirian yang tinggi melalui penguasaan
pengetahuan dan teknologi; pemurnian, pengolahan, serta
penggunaan bahan hasil tambang; dan peningkatan
manajemen usaha pertambangan. Dalam hal minyak bumi
dan gas bumi, akan lebih dikembangkan eksplorasi dan
pengusahaan di laut, dan hampir seluruh cekungan tersier
sudah dieksplorasi. Khususnya potensi panas bumi akan

275
dimanfaatkan minimal 25 persen atau sekitar 4.000
megawatt.

b. Sasaran Repelita VI

Sasaran pembangunan pertambangan dalam Repelita


VI adalah meningkatnya produksi dan diversifikasi
hasil tambang untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan sumber
energi primer, peningkatan ekspor dan pemenuhan
keperluan masyarakat lainnya; terwujudnya sistem
pertambangan yang efisien dan produktif yang didukung
oleh kemampuan penguasaan teknologi, kualitas sumber
daya manusia dan manajemen usaha pertambangan;
meningkatnya peran serta masyarakat dalam usaha
pertambangan terutama melalui wadah koperasi;
meluasnya pembangunan pertambangan di daerah guna
mendukung pengembangan wilayah, terutama kawasan
timur Indonesia; tersedianya pelayanan informasi geologi
dan sumber daya mineral yang andal, baik untuk
eksplorasi lanjut, penataan ruang, maupun mitigasi
bencana alam geologis.

Sektor pertambangan akan ditumbuhkembangkan rata-rata


sebesar 2,6 persen per tahun selama Repelita VI. Dalam upaya
perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, sektor
pertambangan diupayakan mampu meningkatkan penyerapan
tenaga kerja dari sekitar 842 ribu orang pada tahun 1993 menjadi
sebesar 989 ribu orang pada akhir Repelita VI. Hal ini berarti
bahwa sektor pertambangan akan mampu memberikan tambahan
kesempatan kerja kepada 147 ribu orang selama Repelita VI.
Penyerapan tenaga kerja ini, terutama terwujud melalui makin
tumbuh dan berkembangnya usaha pertambangan rakyat, termasuk
pertambangan skala kecil (PSK), dalam bentuk koperasi.

Dalam Repelita VI akan dipercepat penyelesaian informasi


dasar geologi. Sasaran pokoknya adalah penyelesaian peta geologi
dan daerah bahaya seluruh gunung api Indonesia, pemetaan
geofisika udara di Pulau Kalimantan dan Sulawesi, penyelesaian
peta dasar lainnya bagi daerah pertumbuhan di Pulau Jawa serta
pembangunan pos pengamatan gunung api yang mempunyai derajat
bahaya yang tinggi.

276
Dalam Repelita VI diprogramkan penyelesaian pemetaan dan
penyelidikan geologi dan geofisika sejumlah 104 peta; pemetaan
dan penyelidikan geologi kelautan sejumlah 25 lembar peta dan 30
lokasi; inventarisasi dan pemetaan serta eksplorasi sumber daya
mineral sejumlah 55 lembar peta dan 105 lokasi; inventarisasi dan
pemetaan serta eksplorasi sumber daya energi sejumlah 25 lembar
peta dan 45 lokasi, dan 3 kegiatan pengeboran; pemetaan
hidrogeologi sejumlah 25 lembar peta dan 23 penyelidikan air
tanah. Lihat Tabel 25 - 1.

Sasaran pertambangan mineral dan batu bara yang akan dica-


pai pada akhir Repelita VI adalah produksi batu bara akan
mencapai 71 juta ton, yang akan dipakai di dalam negeri sebanyak
31,9 juta ton dan ekspor sebanyak 39,1 juta ton; produksi timah
sebesar 40,3 ribu ton; produksi bijih nikel sebesar 2,75 juta ton,
feronikel sebesar 11 ribu ton, dan nikel matte sebesar 50 ribu ton,
sedang ekspornya masing-masing sebesar 1,9 juta ton bijih nikel, 11
ribu ton feronikel dan 45 ribu ton nikel matte; produksi bauksit
sebesar 1 juta ton; produksi konsentrat tembaga sebesar 1.761
ribu ton, yang akan diekspor sebesar 1.311 ribu ton, sedang 450
ribu ton konsentrat tembaga akan diproses di dalam negeri menjadi
logam; produksi emas sebesar 70,6 ribu kilogram dan perak sebesar
143 ribu kilogram; dan produksi pasir besi sebesar 340 ribu ton.

Di bidang minyak dan gas bumi direncanakan pada akhir


Repelita VI sebanyak 60 persen dari cekungan telah dibor,
termasuk cadangan gas bumi di Kepulauan Natuna dan di kawasan
timur Indonesia. Pemanfaatan panas bumi telah mencapai 6 persen
dari total sumber dayanya. Kilang minyak berorientasi ekspor
(export oriented oil refinery, EXOR) telah beroperasi, demikian
pula Train G kilang LNG Bontang. Laju pertumbuhan konsumsi
BBM dalam negeri diharapkan dapat ditekan menjadi sekitar 6
persen per tahun.

Sasaran yang akan dicapai dalam pertambangan minyak dan gas


bumi pada akhir Repelita VI adalah produksi minyak bumi dan
kondensat dipertahankan sebesar 547,5 juta barel per tahun atau
1.500 ribu barel per hari; produksi gas bumi sebesar 2.960 miliar
kaki kubik atau 8,1 miliar kaki kubik per hari dan pemanfaatannya

27
72
TABEL 25 - 1
RENCANA KEGIATAN PEMETAAN DAN PENYELIDIKAN GEOLOGI
SEKTOR PERTAMBANGAN
1994/95-1998/99

1. Pemetaan geologi dan geofisika lembar 11 15 22 22 24 21 104

2. Pemetaan geologi dasar laut lembar 5 5 5 5 5 5 25

3. Penyelidikan geologi kelautan lokasi 2 6 6 6 6 6 30

4. Inventarisasi dan pemetaan lembar 5 11 11 11 11 11 55

5. Eksplorasi sumber daya mineral lokasi 10 21 21 21 21 21 105

6. Inventarisasi dan pemetaan lembar 3 5 5 5 5 5 25

7. Eksplorasi dan penyelidikan lokasi 4 9 10 9 10 10 48

8. Pemetaan hidrogeologi lembar 3 5 5 5 5 5 25

9. Penyelidikan air tanah lokasi 5 4 5 4 5 5 23

Catatan: *) Angka perkiraan realisasi (tahun terakhir Repelita V)


278
sebesar 7,7 miliar kaki kubik per hari; potensi panas bumi
dimanfaatkan sebesar 1.025 megawatt; penjualan BBM
dalam negeri sebesar 52.283,7 ribu kiloliter dan gas bumi
sebesar 3.670,7 juta meter kubik; ekspor minyak
mentah sebesar 263.107 ribu barel; produksi LNG sebesar
28 juta ton, dan produksi LPG sebesar 3,5 juta ton. Lihat
Tabel 25 - 2.

3. Kebijaksanaan

Dalam rangka pembangunan pertambangan sesuai


dengan arahan GBHN 1993 dan untuk mencapai berbagai
sasaran di atas, dikembangkan kebijaksanaan
pembangunan pertambangan, yang meliputi
pengembangan informasi geologi dan sumber daya
mineral sebagai pendukung dasar pembangunan
pertambangan; pemantapan penyediaan komoditas
mineral dan energi melalui peningkatan produksi,
pengolahan, dan diversifikasi hasil tam-bang; peningkatan
peran serta rakyat dan pelestarian fungsi lingkungan
hidup dalam pembangunan pertambangan; pengembangan
kemampuan sumber daya manusia dan penguasaan
teknologi pertambangan guna mendukung peningkatan
efisiensi dan produktivitas usaha pertambangan; serta
pengembangan sistem pendukung lainnya bagi
peningkatan efektivitas pembangunan pertambangan.

a. Pengembangan Informasi Geologi


dan Sumber Daya Mineral

Pengembangan geologi dan sumber daya mineral


sebagai pendukung dasar pembangunan pertambangan
dan energi ditingkatkan dan diarahkan untuk penyediaan
data dasar bagi kegiatan eksplorasi lanjutan,

279
pengusahaan tambang, pemanfaatan panas bumi dan
pemanfaatan air tanah; penyediaan informasi mengenai
geologi bagi penanggulangan bencana alam geologis
sehingga korban jiwa dan kerugian materiil dapat ditekan
secara maksimal; dan penyediaan informasi geologi tata
lingkungan sebagai bahan acuan dalam menyusun tata
ruang nasional. Untuk itu, disusun peta dasar geologi,
berbagai peta sumber daya mineral dan energi di
280 TABEL 25-2

PERKIRAAN PRODUKSI PERTAMBANGAN MINERAL


DAN ENERGI SEKTOR
PERTAMBANGAN

1994/95-1998/99

Akhir Repelita Vi
Janis Sasaran Satua Repelita 1904 1995/ 1998/ 1997/ 1998/ Jumla
1. Minyak bumi juta 500,0 55 55 553 551 547 2.76
dan barel 8,5 6,3 ,0 ,2 ,5 6,5
2. Gas bumi miliar 2.502,0 2.94 3.06 3.02 2.89 2.96 14.8
kaki 5,5 8,0 5,8 0,8 0,0 88,1
3. Batubara ribu ton 29.000,
kubik 35.00 44.00 52.00 60.00 71.00 262.0
4. Panas bumi MW 0
199,5 0,031 0,051 0,066 0,074 0,01.02 00,0
3.2
5. Logam timah ribu 31,2 3 3 3 4 4 1
6. Bijih nikel ribu 2.547,5 2.40 2.68 2.75 2.75 2.75 13.3
- feronikel - ton 5.500,0 5.50 10.00 11.00 11.00 11.00 48.5
- nikel matte - ton 32.000, 50.00 50.00 48.00 50.00 50.00 246.0
7. Bauksit ribu 1.087,0 1.05 1.00 1.00 1.00 1.00 5.05
8. Konsentrat ribu 1.042,0 1.04 1.04 1.68 1.75 1.78 7.28
9. Pasir besi ribu 315,7 340 34 34 34 34 1.70
10. Emas 3) kg 40.324, 42.00 47.30 56.60 84.80 70.60 281.3
11. Perak 4) kg 71.094, 93.50 98.20 120.2 143.30 143.00 598.2
0 0,0 0,0 00,0 0,0 0,0 00,0
Catatan: 1) Angka perkiraan realisasi (tahun terakhir Repelita V)

2) Daya terpasang
3) Termasuk emas dalam konsentrat tembaga
4) Termasuk perak dalam konsentrat tembaga

5)
darat dan di laut, serta peta hidrogeologi, geologi teknik, geologi
tata lingkungan, daerah bahaya gunung api, gerakan tanah dan
gempa bumi. Upaya tersebut didukung oleh kegiatan penelitian
geologi dan geofisika; inventarisasi, eksplorasi dan evaluasi
kekayaan sumber daya mineral, air bawah tanah dan panas bumi;
dan penyelidikan serta pemantauan bencana alam geologis.

b. Pemantapan Penyediaan Komoditas Mineral dan


Energi

Pembangunan pertambangan ditingkatkan dan diarahkan pada


pemanfaatan segenap kekayaan sumber daya mineral dan energi
yang dimiliki untuk menunjang pembangunan nasional. Untuk itu,
diupayakan peningkatan jenis, jumlah, dan mutu komoditas
mineral yang ditambang, terutama dalam rangka penyediaan
sumber energi primer serta bahan baku untuk industri di dalam
negeri. Efisiensi dan efektivitas penambangan dan pengolahan hasil
tambang ditingkatkan melalui pemanfaatan teknologi tepat dan
perbaikan manajemen.

Pembangunan pertambangan diupayakan makin terkait erat


dengan pembangunan industri di dalam negeri dalam rangka
meningkatkan nilai tambah komoditas mineral dan energi. Industri
pengolahan hasil tambang dan industri manufaktur lainnya
dikembangkan dengan memberikan prioritas kepada penciptaan
mata rantai hulu-hilir industri pertambangan yang makin kukuh
dengan daya saing yang meningkat.

Mengingat keterbatasan cadangan minyak bumi di masa


mendatang, ditingkatkan upaya untuk menggantikan peranan
minyak bumi sebagai sumber utama energi primer. Pemanfaatan
minyak bumi sebagai penyedia energi supaya diarahkan hanya
untuk penggunaan yang benar-benar belum dapat digantikan oleh
sumber energi lain, dan sebagai bahan baku industri yang
menghasilkan nilai tambah lebih tinggi. Keterpaduan upaya
pemanfaatan energi alternatif di dalam negeri untuk menggantikan
peranan BBM

281
di sektor rumah tangga, industri, dan transportasi
ditingkatkan. Pengembangan energi alternatif dengan
cadangan besar seperti halnya batu bara, ditetapkan
dalam suatu kebijaksanaan nasional yang menyangkut
berbagai aspek dalam bentuk peraturan perundang-
undangan yang mempunyai jangkauan ke depan.

Pengembangan pertambangan memperhatikan dan


diserasikan dengan kebijaksanaan umum di bidang
energi, pembangunan daerah, pertahanan keamanan
negara, keselamatan dan kesehatan kerja, kebijaksanaan
umum lingkungan hidup, keselamatan terhadap bencana
alam geologis, dan kepentingan lintas sektoral lainnya. Di
samping itu, ditingkatkan pula perhatian terhadap
kelangsungan kehidupan sosial ekonomi pascatambang di
daerah pertambangan.

c. Peningkatan Peran Serta Masyarakat


dan Pelestarian Fungsi Lingkungan
Hidup

Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam


pengusahaan pertambangan, ditempuh pengembangan
pertambangan rakyat secara lebih terpadu melalui
penyuluhan, pembimbingan, serta pembinaan usaha
pertambangan termasuk pertambangan skala kecil (PSK)
dalam wadah koperasi. Pola pengembangan PSK yang
telah dirintis di beberapa daerah sejak tahun 1991
dimantapkan dan diperluas pelaksanaannya. Penertiban
dan pembinaan usaha pertambangan rakyat didukung
oleh upaya identifikasi cebakan mineral dan pencadangan
usaha untuk pertambangan rakyat di daerah.

282
Pengembangan pertambangan dapat mendorong
tumbuhnya kegiatan sosial ekonomi daerah, terutama di
daerah terpencil, dengan mempertimbangkan prinsip
penggunaan lahan berganda dalam tata ruang daerah
yang bersifat dinamis, melalui optimasi manfaat neto
pendayagunaan kekayaan alam.
Kegiatan sosial ekonomi yang tumbuh selama usaha
pertambangan berlangsung diupayakan agar terus berlanjut pada
masa pascatambang. Oleh karena itu, harus dipersiapkan
perencanaan, pelaksanaan, dan pengembangan transformasi
struktural sesuai dengan potensi sumber daya yang terdapat di
wilayah yang bersangkutan. Transformasi struktural diarahkan
pada proses perubahan kegiatan ekonomi suatu wilayah
pertambangan secara bertahap ke sektor ekonomi lain yang
produktif. Sektor yang tumbuh dan berkembang selama kegiatan
usaha pertambangan berjalan diharapkan mampu menyerap dan
mengembangkan potensi lokal dan memanfaatkan keunggulan
komparatif yang dimiliki daerah seoptimal mungkin, serta
menciptakan keunggulan kompetitif sehingga mampu
menggantikan kegiatan usaha pertambangan yang suatu ketika
akan berakhir. Dengan demikian, pengembangan ekonomi
wilayah setelah kegiatan usaha pertambangan terhenti dapat terus
dijaga kesinambungannya.

Kawasan timur Indonesia relatif belum berkembang meskipun


memiliki kekayaan sumber daya alam yang cukup besar dan
beragam, terutama sumber daya mineral dan energi. Potensi
tersebut dalam PJP II dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai
modal awal dan penggerak mula dalam memacu pembangunan
ekonomi kawasan ini.

d. Pengembangan Sumber Daya Manusia


dan Penguasaan Teknologi
Pertambangan

Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lebih


mantap diperlukan untuk mendukung pembangunan pertambangan
yang makin berkembang, meningkatkan nilai tambah, memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup dan memperkecil kerugian
akibat bencana alam geologis. Penguasaan teknologi maju

283
ditingkatkan melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan guna
memenuhi kebutuhan tenaga profesional dan tenaga terampil.
Upaya alih teknologi pada tenaga bangsa Indonesia secara
sistematis ditingkatkan dan dipercepat. Penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut diperlukan dalam
usaha menemukan cadangan sumber daya mineral
dan energi, meningkatkan efisiensi dalam eksplorasi
dan produksi, meningkatkan konservasi dan
penganekaragaman pemanfaatan sumber daya,
mendukung pengembangan industri pengolahan hasil
tambang, dan mendukung pengembangan wilayah
melalui pemanfaatan sumber daya setempat. Kemampuan
penelitian dan pengembangan harus ditingkatkan
sehingga mampu menghasilkan teknologi tepat serta
menyediakan informasi bagi pemantapan kebijaksanaan
ataupun dalam menunjang operasi dan pengelolaan
pertambangan. Untuk itu, kegiatan penelitian dan
pengembangan, baik dalam eksplorasi,
penambangan, pengolahan, ekstraksi, dan pemurnian hasil
tambang, maupun pemanfaatannya diberi perhatian
khusus.
e. Pengembangan Sistem Pendukung Pertambangan
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan bahan dan hasil tambang
dalam upaya memenuhi kebutuhan di dalam negeri dan ekspor,
terus dilanjutkan usaha standardisasi proses dan produk
pertambangan yang menyangkut teknik eksplorasi, sistem
penambangan, pengolahan dan pendistribusian komoditas hasil
tambang, serta pengujian mutu. Upaya tersebut dikembangkan
agar dapat dicapai kesesuaian tolok ukur kualitas antara
produsen dan konsumen, di samping tercapai efisiensi yang lebih
tinggi.
Usaha menarik penanaman modal, baik asing maupun dalam
negeri, dalam usaha pertambangan terus ditingkatkan melalui
penyediaan informasi, pemberian kemudahan perizinan, dan sistem
insentif, dengan tetap memperhatikan keserasian usaha yang saling
terkait di antara para pelaku ekonomi, baik dari segi pendanaan,
teknologi maupun manajemen.

Pertambangan minyak dan gas bumi dalam Repelita VI masih


berperan cukup besar dengan menghasilkan berbagai bahan hasil
tambang yang dapat dimanfaatkan, baik sebagai sumber energi,
284
bahan baku industri, maupun sumber penerimaan negara. Untuk
menjamin kelangsungan pengusahaannya, sebagian dari hasil
tambang tersebut, terutama migas, diinvestasikan kembali, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam arus globalisasi dengan persaingan yang makin tajam,


peran informasi dalam pembangunan pertambangan sangat vital.
Sistem jaringan informasi yang andal dalam penyediaan data dan
informasi bagi semua pihak yang berkepentingan dalam
penanganan pertambangan, terus ditingkatkan.

V. PROGRAM PEMBANGUNAN

Dalam rangka mencapai sasaran Repelita VI dan PJP II, sesuai


dengan arahan GBHN 1993 dan sebagai pelaksanaan kebijaksanaan
tersebut di atas, akan dikembangkan berbagai program pembangun-
an sektor pertambangan, yang meliputi program pokok dan
program penunjang. Berbagai program tersebut merupakan pro-
gram nasional sebagai acuan pelaksanaan kegiatan pembangunan
sektor pertambangan bagi Pemerintah dan dunia usaha serta
masyarakat pada umumnya.

1. Program Pokok

a. Program Pengembangan Geologi dan


Sumber Daya Mineral

Dalam program pengembangan geologi dan sumber daya


mineral akan dilaksanakan beberapa kegiatan pokok yang bertujuan
terutama untuk menyediakan data dasar geologi, potensi sumber
daya mineral, geologi kelautan, serta informasi geologi tata
lingkungan dan mitigasi bencana alam geologis.
285
1) Geologi Sumber Daya Mineral

Dalam Repelita VI direncanakan pemetaan geologi bersistem


berbagai skala sebanyak 68 lembar serta pemetaan gaya berat
berbagai skala sebanyak 36 lembar. Kegiatan inventarisasi dan
eksplorasi sumber daya mineral logam dan energi, penelitian dan
penyelidikan geologi, geofisika, pengeboran eksplorasi, serta
analisis laboratorium kimia dan fisika mineral akan dilaksanakan
dengan memberikan prioritas kepada kawasan timur Indonesia dan
daerah berpotensi lainnya. Pelaksanaan inventarisasi sumber daya
mineral logam direncanakan di 15 wilayah dan inventarisasi bahan
galian industri di 15 wilayah. Eksplorasi sumber daya bahan galian
industri akan dilakukan di 30 daerah, eksplorasi mineral logam di
30 daerah, eksplorasi geokimia di 15 daerah, dan eksplorasi
geofisika di 30 daerah.

Dalam rangka inventarisasi dan eksplorasi sumber daya energi


juga akan dilakukan penyelidikan terhadap panas bumi untuk
melengkapi data geologi, geofisika, dan geokimianya. Prioritas
akan diberikan pada daerah yang tidak mempunyai energi alternatif
selain panas bumi dan diperkirakan mempunyai potensi energi
panas bumi yang berskala kecil (sekitar 10 megawatt). Dalam
Repelita VI akan dilakukan penyelidikan secara terpadu pembuatan
peta geologi panas bumi skala 1 : 50.000 serta penyelidikan
geofisika dan geokimia panas bumi di 15 lapangan, termasuk di
kawasan timur Indonesia. Pengeboran uji panas bumi juga akan
dilakukan di lapangan yang mempunyai potensi pengembangan.
Inventarisasi sumber daya energi batu bara dan gambut akan
dilakukan di 10 wilayah dan eksplorasinya di 30 daerah.

2) Geologi Kelautan

Kegiatan di bidang geologi kelautan diarahkan untuk


menyediakan informasi dasar mengenai potensi geologi dan sumber
daya mineral dan energi dasar laut. Dalam Repelita VI kegiatan
pemetaan geologi dan geofisika dasar laut akan ditingkatkan untuk

286
pengungkapan potensi sumber daya mineral dan energi di dasar
laut, sebagai upaya mengantisipasi kebutuhan mineral dan energi di
masa yang akan datang. Penyelidikan geologi dan geofisika
kelautan akan dilakukan untuk memperoleh informasi struktur
dan stratigrafi dasar laut. Informasi ini sangat berguna sebagai
petunjuk adanya cebakan hidrokarbon. Pada kawasan yang penting
dan jalur pelayaran internasional yang sibuk, kondisi dasar laut,
jenis sedimen, dan proses sedimentasinya akan diselidiki.

Penyelidikan geologi kawasan pantai ditekankan pada wilayah


yang telah dan akan berkembang pesat sehingga informasi ini
dapat dipakai untuk mengantisipasi dampak lingkungannya.
Penyelidikan geologi wilayah pantai ini juga diarahkan untuk
menunjang pengelolaan dan pelestarian lingkungan pantai dan lepas
pantai dalam upaya penanggulangan bencana alam geologis.
Perencanaan teknis dan geoteknik kelautan sangat dibutuhkan
dalam perencanaan pembangunan pelabuhan dan pendirian
bangunan lepas pantai.

Dalam Repelita VI akan dilakukan pemetaan geologi dasar laut


sebanyak 25 lembar dan kompilasi peta geologi regional skala
1:1.000.000 dan lebih kecil sebanyak 5 lembar. Penyelidikan
geologi wilayah pantai dan lepas pantai akan dilakukan di 25
wilayah pantai di Pulau Jawa dan kawasan timur Indonesia.

3) Geologi Tata Lingkungan dan Mitigasi Bencana


Alam Geologis

Pemetaan hidrogeologi bersistem direncanakan untuk


menyelesaikan 15 lembar peta berskala 1:250.000 di kawasan timur
Indonesia dan daerah pusat pertumbuhan ekonomi, serta
menyelesaikan 10 lembar peta hidrogeologi Pulau Jawa dan Madura
dengan skala 1:100.000, termasuk di wilayah yang memiliki
kantung kemiskinan. Direncanakan pula penyelidikan potensi air
tanah tingkat awal guna memperoleh data dan informasi air tanah
secara semikuantitatif serta kemungkinan pengembangannya pada
20 cekungan air tanah.

28
7
Penyelidikan potensi air tanah tingkat rinci direncanakan
mencakup tiga cekungan air tanah guna kemungkinan
pengembangannya dalam memenuhi keperluan penyediaan air
bersih di daerah perkotaan dan perdesaan. Prioritas utama akan
diberikan pada daerah yang mempunyai kantung kemiskinan.
Penyelidikan penyediaan air untuk daerah sulit air akan
dilaksanakan di 25 lokasi; penyelidikan geologi teknik di 33
lokasi; penyelidikan geologi lingkungan di 30 lokasi; dan
penyelidikan geologi lingkungan buangan limbah di 15 lokasi.

Dalam Repelita VI akan dilakukan pemetaan seismotektonik


daerah rawan gempa sebanyak 10 lembar; pemetaan geologi
kuarter 15 lembar; pemetaan geomorfologi 10 lembar; pemetaan
geologi gunung api 20 lembar; pemetaan daerah bahaya gunung api
38 lembar; pemetaan topografi puncak gunung api 20 lembar;
pemetaan aliran lahar 30 lembar; pemetaan kerentanan gerakan
tanah 19 lembar; pemetaan geologi teknik 13 lembar; pemetaan
geologi tata lingkungan skala 1:100.000 sebanyak 30 lembar; dan
pemetaan geologi tata lingkungan skala 1:250.000 sebanyak 5
lembar.

Kegiatan penelitian dan penyelidikan akan meliputi aspek


geologi kuarter dan seismotektonik di 40 lokasi; penyelidikan
lahar/bahan letusan gunung api di 15 gunung api; penyelidikan
kimia gunung api di 20 lokasi; penyelidikan fisika gunung api di 22
lokasi; penyelidikan penginderaan jauh gunung api di 30 lokasi;
penyelidikan seismik gunung api di 10 lokasi.

Kegiatan mitigasi bencana alam geologis berupa pembuatan


stasiun pengamat sesar aktif di 3 lokasi, dan pemantauan sesar aktif
di 2 lokasi; pemeriksaan kegempaan rata-rata di 3 lokasi setiap
tahun; konservasi geologi di 5 lokasi; pemantauan gunung api
dilakukan pada 79 gunung api aktif dan pada gunung api yang
menunjukkan gejala peningkatan aktivitas akan dilaksanakan secara
intensif pada 20 lokasi.

288
Pemantauan tanah longsor di 5 lokasi daerah rawan
longsor, yaitu Cianjur, Ciloto, Ciamis, Majenang, dan
Banjarnegara; pemeriksaan tanah longsor pada 30 lokasi
setiap tahunnya; pembuatan sumur pantau air tanah 6
buah setiap tahun, sehingga pada akhir Repelita VI akan
dimiliki 92 sumur pantau yang tersebar di Jakarta,
Semarang, Bandung, Denpasar, dan Medan; pembuatan
stasiun pengamat amblasan sebanyak 1 stasiun setiap
tahunnya di Jakarta; konservasi air tanah di 6 daerah yang
penggunaan airnya sangat intensif, yaitu Jakarta,
Semarang, Surabaya, Bandung, Denpasar dan Medan; dan
pemantauan masalah air, limbah, dan kualitas lingkungan
geologi di 6 lokasi.

b. Program Pembangunan Pertambangan

Dengan memperhatikan kebijaksanaan pembangunan


pertambangan nasional dan mengantisipasi
perkembangan peningkatan permintaan akan hasil-hasil
tambang, dalam Repelita VI akan diupayakan peningkatan
produksi dan penganekaragaman hasil tambang.

1) Pertambangan Batu Bara

Produksi batu bara direncanakan sebesar 35 juta ton


untuk tahun 1994/95 dan pada tahun 1998/99
diproyeksikan sebesar 71 juta ton. Peningkatan produksi
ini berasal dari produksi badan usaha milik negara (BUMN)
yang membuka tambang baru di sekitar Tanjung Enim
(Muara Tiga Besar, Bangko Barat, Bukit Kendi), dan di
sekitar Sawahlunto (Waringin atau Sugar), sehingga tingkat
produksi dari BUMN akan mencapai 11,6 juta ton pada
akhir Repelita VI. Investor swasta diharapkan akan
meningkatkan produksinya dengan membuka beberapa
tambang baru. Pada akhir Repelita VI tingkat produksi
perusahaan swasta kontrak kerja sama diperkirakan akan
mencapai 56,2 juta ton. Di samping itu, tambang
berskala kecil yang dikelola oleh swasta nasional dan
koperasi diharapkan dapat mencapai tingkat produksi
sebesar 3,2 juta ton per tahun.

289
Eksplorasi terinci batu bara akan dilakukan di sekitar Tanjung
Enim, seperti di Kungkilan Banjarsari, Arahan dan Suban Jeriji;
juga di sekitar Sawahlunto seperti di Sigalut dan Air Keruh; di
Mampun Pandan (Jambi), di sekitar Cerenti (Riau); di
Sangkulirang (Kalimantan Timur) dan di Satui II (Kalimantan
Selatan). Eksplorasi di daerah baru seperti Irian Jaya dan Maluku
akan dilakukan pada lokasi yang potensial.

Kegiatan pengusahaan pertambangan batu bara termasuk


gambut tetap berpedoman kepada sistem penambangan yang
berwawasan lingkungan, terutama sekali dikaitkan dengan
pengelolaan masa pascatambang. Rencana umum tata ruang (RUTR)
merupakan salah satu acuan dalam pembangunan pertambangan,
khususnya yang berkaitan dengan pengembangan wilayah.

Dalam rangka meningkatkan daya muat akan dibangun


pelabuhan batu bara Tarahan III dan beberapa pelabuhan batu bara
lain, untuk memuat dan menyalurkan produksi yang berasal dari
perusahaan swasta asing, swasta nasional, ataupun pertambangan
skala kecil dan koperasi lainnya. Batu bara Indonesia telah mulai
menembus pasaran internasional, terutama di kawasan Asia
Pasifik. Ekspor bate bara pada akhir Repelita VI diperkirakan
mencapai sebesar 39,1 juta ton.

Untuk menunjang pengembangan briket batu bara bagi


keperluan rumah tangga, akan dibangun kilang briket oleh
BUMN, antara lain di Tanjung Enim, Ciwandan, dan Gresik.
Produksi briket batu bara tersebut diharapkan pada akhir Repelita
VI dapat memenuhi 63 persen dari kebutuhan briket batu bara
sebesar 4,8 juta ton per tahun. Kekurangannya diharapkan dapat
dipenuhi oleh usaha swasta. Sarana penunjang untuk pemuatan dan
distribusi briket batu bara akan dikembangkan.

Dalam Repelita VI diharapkan bahwa sumber daya gambut


sudah mulai dapat dimanfaatkan sebagai bahan energi serta bahan
baku industri, baik di dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor.

290
Energi gambut sejauh mungkin dapat membantu
program nasional pengentasan desa tertinggal dan
daerah yang relatif terpencil, mengingat sifat arang
gambut yang secara ekonomis kurang menguntungkan
untuk ditranspor. Penggunaan gambut juga
direncanakan untuk percobaan ekstraksi asam humat
(lignin), sebagai pengencer lumpur pengeboran,
pengatur pengerasan semen, dan media semai. Upaya
pemanfaatan gambut tersebut tetap memperhatikan
kegunaan lahan bagi keperluan pertanian dan usaha
lain, dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

2) Pertambangan Mineral

Produksi timah akan diarahkan pada pemenuhan peluang


ekspor serta peningkatan kebutuhan industri di dalam negeri.
Untuk itu, akan dilakukan berbagai upaya meningkatkan produksi
timah, antara lain dengan meningkatkan kegiatan eksplorasi
tambang aluvial dalam di lepas pantai dan di daratan; meningkat-
kan kapasitas penambangan di darat; meningkatkan kualitas produk
dengan menghasilkan timah berkadar timbal rendah; meningkatkan
pemasaran ekspor dan promosi serta menjamin lancarnya
pemasokan sebagai bahan baku industri di dalam negeri. Produksi
timah pada awal Repelita VI diproyeksikan sebesar 34 ribu ton dan
pada akhir Repelita VI meningkat menjadi 40,3 ribu ton.

Dalarn periode Repelita VI, produksi bijih nikel akan


ditingkatkan dari 2,4 juta ton pada tahun pertama menjadi 2,75 juta
ton pada tahun kelima. Produksi nikel matte akan ditingkatkan
menjadi 50 ribu ton nikel pada akhir Repelita VI.

Perluasan pabrik feronikel Pomalaa tahap I yang telah dimulai


pada akhir Repelita V diharapkan akan mulai berproduksi pada
tahun kedua Repelita VI. Dengan selesainya perluasan pabrik,
produksi feronikel akan meningkat dari 5,5 ribu menjadi 11 ribu ton

29
1
nikel. Pengolahan nikel akan ditingkatkan kapasitasnya secara
bertahap, sehingga ekspor utama komoditas nikel pada akhir
Repelita V I a ka n t e r di r i a t a s ni ke l o l a h a n . U s a h a
p e n g o pt i m a l a n
penggunaan energi dalam pembuatan feronikel akan
dilakukan dengan menjajagi penggunaan sumber energi
yang lebih murah seperti PLTA, serta kemungkinan
pembuatan feronikel menggunakan teknik selain proses
Elkem. Untuk dapat lebih memanfaatkan potensi
cadangan nikel, usaha penjajagan proses leaching juga
akan diteruskan dalam Repelita VI. Atas dasar studi ini,
akan dibuat rencana perluasan/pengembangan tahap II.

Dalam meningkatkan nilai tambah komoditas nikel dan


memanfaatkan cadangan nikel yang ada, pada Repelita VI juga
akan dilakukan pengkajian kemungkinan dibangunnya pabrik baja
tahan karat (stainless steel).

Untuk meningkatkan cadangan nikel, dalam Repelita VI akan


diteruskan kegiatan eksplorasi. Cadangan yang telah ditemukan
pada Repelita V di Pulau Halmahera akan dievaluasi lebih lanjut
serta disiapkan rencana pengembangannya. Kajian mengenai
potensi tenaga air di daerah ini sebagai sumber energi juga akan
dilakukan bersamaan dengan evaluasi cadangan yang dapat
ditambang sehingga pembangunan pabrik pemurniannya dapat
dimulai pelaksanaannya pada akhir Repelita VI.

Untuk memanfaatkan cadangan nikel di Pulau Gag secara


optimal, dalam Repelita VI akan mulai dilakukan perundingan
dengan perusahaan swasta nasional/asing yang tertarik
menanamkan modalnya berikut mengembangkan proses
pengolahannya. Perencanaan dan persiapannya juga akan
dilakukan dalam Repe-lita VI sehingga pembangunannya dapat
dimulai pada Repelita VII.

Untuk memproduksi bijih bauksit berkualitas ekspor, pada


Repelita VI akan dilakukan penambangan di Pulau Bintan yang
pelaksanaannya sesuai dengan rencana pengembangan Pulau
Bintan menjadi pusat pariwisata dan zona industri. Kegiatan
eksplorasi yang lebih rinci akan dilanjutkan di daerah Tayan,

292
Pantas, dan Munggu Pasir untuk mengevaluasi cadangan dan
perencanaan tambang. Juga akan dilakukan penyelesaian terhadap
masalah tumpang tindih lahan dengan pihak kehutanan
(hutan tanaman industri). Diharapkan dalam Repelita VI
pembukaan tambang baru berikut pengembangan bauksit
di wilayah ini dapat dirumuskan.

Sebagai upaya mengisi mata rantai produksi antara industri


hulu dan hilir, pemanfaatan cadangan bauksit berkadar rendah di
Pulau Bintan dan pengembangan cadangan bauksit di Kalimantan
Barat merupakan pertimbangan pokok untuk pendirian pabrik
alumina di Indonesia. Usaha penelitian pembuatan tawas cair dari
bahan baku bauksit, terutama dalam penggunaannya untuk
penjernihan air, akan dilanjutkan dalam Repelita VI.

Dalam Repelita VI produksi konsentrat tembaga akan


ditingkatkan menjadi 1.761 ribu ton. Selain itu, akan diusahakan
diversifikasi vertikal industri tembaga Indonesia dengan
mendirikan pabrik peleburan tembaga di dalam negeri, termasuk
rencana pendirian pabrik peleburan tembaga di Gresik dengan
kapasitas pengolahan 450 ribu ton konsentrat per tahun. Di samping
itu, pada akhir Repelita VI diperkirakan telah dapat dibuka
tambang baru di Pulau Sumbawa.

Dalam Repelita VI produksi emas dan perak akan


ditingkatkan, disertai dengan upaya pengembangannya ke arah
industri hilir. Dengan berproduksinya tambang emas Pongkor,
produksi emas dan perak pada akhir Repelita VI akan meningkat
menjadi 70.600 kilogram emas dan 1.43.000 kilogram perak.
Komoditas ini memiliki prospek yang cerah di mesa depan karena
pasaran yang baik di dalam dan di luar negeri.

Kegiatan eksplorasi untuk menambah cadangan emas dan


perak akan dilanjutkan selama Repelita VI di beberapa daerah. Di
Pulau Jawa akan dilakukan eksplorasi yang lebih intensif sehingga
pada akhir Repelita VI dapat diketahui secara pasti potensi daerah
yang akan dikembangkan. Kegiatan penyelidikan juga akan dilanjut
kan di daerah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Sumatera.

29
3
Mengingat banyaknya cadangan emas dalam jumlah kecil yang
dimungkinkan untuk ditambang dengan tambang terbuka, dalam
masa Repelita VI akan dievaluasi kemungkinannya untuk membuka
tambang emas dengan kapasitas produksi ekonomis di bawah 1 ton
per tahun. Usaha ini akan membantu pengembangan daerah dan
penataan serta pemantapan usaha pertambangan rakyat. Dengan
adanya potensi pasar yang baik untuk barang perhiasan, dalam
masa Repelita VI akan dilakukan penelitian dan kemungkinan
investasi untuk mengembangkan industri barang perhiasan,

Produksi pasir besi akan ditingkatkan dalam Repelita VI,


seiring dengan peningkatan kapasitas pabrik semen dalam negeri.
Evaluasi potensi pasir besi Lumajang akan dilanjutkan dalam
rangka pendirian pabrik semen di daerah Jawa Timur. Usaha
pemanfaatan pasir besi Cilacap serta Kutoarjo dalam skala kecil
atau menengah yang telah dimulai sejak Repelita V akan
diteruskan dengan pengkajian kemungkinan pendirian pabrik
pengolahan pasir besi.

Pengembangan bahan galian industri akan lebih diarahkan


pada pemenuhan kebutuhan bahan baku konstruksi, pertanian, dan
berbagai industri pengolahan di dalam negeri. Industri pengolahan
hasil pertambangan berteknologi tinggi, seperti produksi keramik
halus, bahan komposit, bahan baku untuk industri elektronik,
logam baru, dan logam tanah langka akan dirintis dan
dikembangkan.

3) Pertambangan Minyak Bumi, Gas


Bumi, dan Panas Bumi

Dalam Repelita VI direncanakan mengeksplorasi minyak dan


gas bumi pada satu cekungan tersier yang belum dibor. Melalui
upaya peningkatan eksplorasi dan pengurasan lanjut, produksi
minyak bumi diperkirakan 547,5 juta barel pada akhir Repelita VI.
U n t u k m e n c a p a i t i n g k a t p r o d u ks i t e r s e b u t , a k a n d i l a k u k a n

294
pengeboran sumur pengembangan sebanyak 773 buah
sumur rata-rata per tahun. Sejalan dengan upaya
peningkatan minyak mentah yang diolah di dalam
negeri, pangsa ekspor minyak mentah diperkirakan
akan mulai berkurang.

Produksi gas bumi diproyeksikan mencapai 2.960 miliar kaki


kubik pada akhir Repelita VI dengan tingkat pemanfaatan rata-rata
sebesar 7,7 miliar kaki kubik per hari atau 94 persen dari
produksi. Dalam Repelita VI diupayakan untuk mempertahankan
dan meningkatkan ekspor LNG sekaligus peningkatan konsumsi
LNG di dalam negeri. Produksi LNG akan ditingkatkan dari
25,7 juta ton pada tahun pertama menjadi sebesar 28 juta ton
pada tahun terakhir Repelita VI. Untuk itu, direncanakan pendirian
kilang LNG Train G di Bontang dengan kapasitas 2,3 juta ton
per tahun, yang akan beroperasi sebelum akhir Repelita VI,
sedangkan produksi LPG sekitar 3,5 juta ton per tahun.

Dari potensi panas bumi sebesar 16.000 megawatt


direncanakan untuk dimanfaatkan sebesar 1.025 megawatt pada
akhir Repe-lita VI. Untuk itu, akan dilakukan pengembangan
lapangan Gunung Salak (200 megawatt), Gunung Darajat (110
megawatt), Gunung Lahendong (20 megawatt), Gunung Dieng (55
megawatt), Gunung Sibayak (20 megawatt), Gunung Ulubelu (20
megawatt), Gunung Lumut Balai (20 megawatt), Gunung Sarula
(110 megawatt), Gunung Patuha (40 megawatt), Gunung Wayang
Windu (40 megawatt), Gunung Karaha (55 megawatt), Gunung
Kamojang (55 megawatt), dan Gunung Buyan Bratan (40
megawatt).

Dengan makin meningkatnya kebutuhan BBM, akan dilakukan


pengoptimalan penggunaan kilang melalui perbaikan, penyesuaian,
dan penyempurnaan alat-alat kilang sehingga kapasitas kilang dapat
ditingkatkan menjadi 1.042 ribu barel per hari takwim (thousands
barrels per calendar day, MBCD) pada akhir Repelita VI. Untuk
itu, dalam Repelita VI akan dilaksanakan upaya penambahan
kapasitas kilang seperti pembangunan kilang mini di Kasim,
penyempurnaan kilang Balikpapan I, modifikasi kilang Balikpapan

295
II, dan perbaikan kilang Cilacap, sehingga tambahan
kapasitas kilang mencapai sekitar 165 MBCD.

Untuk mengangkut BBM ke seluruh wilayah Nusantara,


diperlukan armada kapal tanker dengan kapasitas 4,7 juta DWT
pada akhir Repelita VI. Fasilitas pengangkutan minyak mentah dan
produk minyak akan ditingkatkan, demikian jugs kinerja untuk
memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Sistem angkutan
dengan pemindahan dari kapal ke kapal di Teluk Semangka akan
mulai ditinggalkan, dan pengembangan sistem transportasi BBM
terpadu akan ditingkatkan. Demikian pula pendayagunaan
prasarana maritim dan kebandaraan, galangan kapal, teknik bawah
air, dan telekomunikasi akan ditingkatkan kemampuannya.
Sistem jaringan pipa penyaluran minyak beserta terminal
distribusinya juga akan ditingkatkan kemampuannya dalam
memperlancar distribusi BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri.

Produk non-BBM terutama Low Sulphur Waxy Residue


(LSWR) dan nafta, dalam Repelita VI akan mulai dipergunakan
sebagai bahan baku oleh industri petrokimia di dalam negeri.

c. Program Pengembangan Usaha


Pertambangan Rakyat Terpadu

Program ini ditujukan untuk meningkatkan peran serta


masyarakat dalam pembangunan pertambangan secara lebih luas
dan produktif. Untuk itu, akan dilakukan peningkatan pembinaan
terhadap potensi usaha pertambangan rakyat dalam bentuk program
terpadu yang merupakan bagian dari sistem pertambangan nasional
yang tangguh. Konsep yang telah ada dan akan terus dikembang-
kan adalah pola pertambangan skala kecil (PSK), yang dirintis
sejak tahun 1991.

Sasaran yang akan dicapai melalui PSK ini ialah membina dan
menyalurkan potensi rakyat dalam suatu konsep kegiatan
296
pertambangan yang tertata dan mendukung sistem perekonomian
nasional;
memberikan wahana ekonomi yang sesuai dengan aspirasi,
kebutuhan, dan kemampuan rakyat setempat untuk ikut berperan
aktif dalam usaha pertambangan yang berskala ekonomis sehingga
mampu meningkatkan kesempatan berusaha dan perluasan
lapangan kerja serta peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;
menyediakan wadah pembinaan bagi peningkatan peran serta
rakyat dalam pertambangan oleh Pemerintah dan para pelaku
ekonomi yang kuat, melalui pengembangan sistem pertambangan
yang terpadu dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi
masyarakat penambang setempat; mendorong terselenggaranya
pemanfaatan kekayaan sumber daya alam oleh rakyat dengan daya
guna dan hasil guna yang lebih besar, perlindungan terhadap
kerusakan lingkungan, kemitraan usaha yang saling
menguntungkan dengan pertambangan besar, keterkaitan dengan
industri pengolahan, pemasaran hasil dan jasa pelayanan lainnya,
serta mendukung pengembangan wilayah; melaksanakan upaya
pencadangan usaha pertambangan rakyat secara proaktif pada
lokasi yang cocok dengan konsep PSK.

Jika dilihat sifat, pola, serta tujuan pengembangan PSK,


bentuk organisasi usaha yang sesuai untuk dikembangkan adalah
koperasi. Hal ini jugs sesuai dengan ciri-ciri usaha pertambangan
rakyat dan tujuan membangun ekonomi di daerah perdesaan. PSK
sebagai kegiatan pertambangan tidak dapat dilepaskan dari masalah
kewilayahan sehingga pemerintah daerah dilibatkan secara aktif
sebagai pembina teknis di lapangan.

Kegiatan pertambangan rakyat yang telah ada akan dibina, dan


bilamana mungkin ditingkatkan kemampuannya sesuai dengan pola
PSK. Di samping pembinaan yang terpadu dan utuh tersebut, akan
ditingkatkan pula penataan dan pembinaan terhadap usaha
pertambangan rakyat lainnya serta dipersiapkan wilayah
pencadangan yang sesuai untuk usaha tersebut. Cara ini
merupakan kegiatan sektor pertambangan dalam upaya pemerataan
pembangunan dan pengentasan rakyat dari kemiskinan di daerah
perdesaan.

29
7
2. Program Penunjang

a. Program Penelitian dan Pengembangan


Pertambangan

Program ini ditekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan


dan teknologi di bidang pertambangan dan pengolahan hasil
tambang dalam rangka peningkatan efisiensi dan mutu hasil
tambang dengan meningkatkan serta mempercepat pelaksanaan
penelitian dan pengembangan terapan.

Peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di


bidang geologi dan sumber daya mineral akan dilaksanakan secara
bertahap melalui penerapan teknologi maju, seperti survei geofisika
udara, pemetaan digital, penerapan geographic information system
(GIS); pemanfaatan jasa satelit untuk peringatan dini bahaya
gunung api, dan untuk pengamatan gempa bumi dan amblasan;
pengembangan sistem telemetri untuk seismik. dan parameter fisika
lainnya. Alat-alat deformasi akan digunakan untuk memantau
gerakan tanah, amblasan, dan aktivitas gunung api.

Untuk meningkatkan efisiensi dalam kegiatan geologi dan


pertambangan dilaksanakan pengembangan standardisasi dan
manajemen. Dalam Repelita VI direncanakan pembakuan peta
dasar geologi untuk 25 jenis peta dan penyusunan prosedur tetap
mitigasi bencana alam geologis seperti gempa bumi, tanah longsor,
dan gunung api.

Peningkatan efisiensi di bidang pertambangan mineral dan


batu bara dilakukan melalui kegiatan pembakuan komoditas tam-
bang, teknik penambangan serta pengolahan hasil tambang, standar
keselamatan kerja tambang dan lingkungan hidup tambang, dan uji
mineral logam serta mineral industri.

298
Peningkatan efisiensi dalam perusahaan minyak dan gas bumi
akan diusahakan melalui penerapan manajemen reservoir dalam
pengoptimalan pengembangan lapangan, penurunan biaya
eksplorasi, produksi, pemurnian dan pengolahan;
pemakaian gas bumi sebagai bahan bakar di lapangan
minyak, penggunaan gas untuk menggantikan
pemakaian minyak mentah dalam pengurasan tahap
lanjut; dan pemanfaatan gas bumi buangan untuk
kilang LPG kecil.

Penelitian dan pengembangan pertambangan diarahkan pula


pada upaya peningkatan cadangan, pengurasan lanjut, peningkatan
nilai tambah, diversifikasi dan konservasi energi, kelestarian fungsi
lingkungan hidup, dan teknologi material baru.

Peningkatan pemanfaatan produksi dalam negeri dan


kandungan lokal akan didorong melalui pengembangan kemampuan
perekayasaan dan rancang bangun alat-alat pertambangan dan
penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI). Pangsa pembelian
barang dan jasa dalam negeri secara bertahap ditingkatkan sejalan
dengan peningkatan daya saingnya.

b. Program Pendidikan, Pelatihan,


Penyuluhan, dan Ketenagakerjaan
Pertambangan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan peran serta


masyarakat melalui pengembangan sistem informasi, penyuluhan,
dan pelayananan kepada masyarakat, termasuk dunia usaha.
Penerbitan peta-peta, buku panduan, buletin dan yang berkaitan
dengan geologi, geofisika, gunung api, dan sumber daya mineral
akan ditingkatkan.

Kegiatan penyuluhan akan ditingkatkan, khususnya


tentang bahaya gempa bumi, gunung api, serta
gerakan tanah; informasi tentang air tanah, geologi
lingkungan, dan sumber daya mineral; dan penyuluhan
hukum di bidang pertambangan mineral dan energi

29
9
kepada pemerintah daerah, calon atau pemegang
kuasa pertambangan, dan kepada masyarakat luas.
Penyerapan tenaga kerja pertambangan akan ditingkatkan
melalui koordinasi antarsektor serta dukungan terhadap bursa
tenaga kerja; pemanfaatan dana iuran wajib pendidikan dan
pelatihan; dan intensifikasi pendidikan dan pelatihan dalam upaya
menggantikan tenaga kerja asing.

Peningkatan keselamatan kerja di bidang pertambangan akan


diusahakan dengan mengintensifkan penyuluhan pekerja,
pengusaha, dan masyarakat di sekitar tempat kerja; melakukan
inspeksi yang teliti; dan menyusun standar keselamatan kerja yang
sesuai dengan perkembangan teknologi.

Kemampuan pelaksana inspeksi tambang di lingkungan


pertambangan akan ditingkatkan dan tugas inspeksi tambang akan
dipertimbangkan untuk dijadikan jabatan fungsional.

Pengembangan sumber daya manusia di bidang pertambangan


akan lebih ditingkatkan lagi melalui pendidikan, baik di dalam
negeri maupun di luar negeri, pengembangan karier melalui jalur
jabatan fungsional, serta pendidikan dan pelatihan teknis lainnya.

c. Program Pembinaan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup

Program ini ditujukan untuk meningkatkan kepedulian


lingkungan dan kepedulian sosial melalui perencanaan yang
terpadu dengan memasukkan aspek penambangan yang
berwawasan lingkungan secara dini; penyempurnaan terhadap
pelaksanaan dan pengawasan analisis mengenai dampak
lingkungan (AMDAL), rencana pengelolaan lingkungan (RKL),
dan rencana pemantauan lingkungan (RPL); penyempurnaan
peraturan dan prosedur kerja dalam proses kegiatan pertambangan;
reklamasi dan pemanfaatan lahan pascatambang secara produktif
melalui penerapan konsep penambangan berkelanjutan dan
pemanfaatan lahan berganda; serta pengembangan teknologi bersih,
teknologi daur ulang, serta pemanfaatan limbah.

300
Dalam Repelita VI direncanakan akreditasi laboratorium
penguji; penyempurnaan peraturan pelaksanaan pengawasan
mengenai pengelolaan lingkungan pertambangan; pelaksanaan
inspeksi tambang; pedoman teknis reklamasi lahan pascatambang;
dan pengalokasian lahan usaha pertambangan serta penertiban
usaha pertambangan tanpa izin.

Dalam rangka peningkatan kepedulian sosial, pemerataan


pembangunan dan pengentasan penduduk dari kemiskinan, industri
pertambangan didorong untuk melibatkan masyarakat di sekitar
tempat kegiatan dengan membangun sarana kesehatan, pendidikan
dan fasilitas kemasyarakatan lain, yang dapat pula dimanfaatkan
oleh masyarakat sekitar.

d. Program Pengembangan Usaha Nasional

Program ini ditujukan untuk mendorong dan meningkatkan


kemampuan usaha nasional, terutama usaha skala menengah dan
kecil.

Penciptaan iklim investasi yang menarik akan dikembangkan


sehingga mendorong para investor untuk berusaha di bidang
pertambangan. Kebijaksanaan investasi akan lebih disempurnakan,
yang mencakup aspek fiskal dan moneter serta pendukungnya,
termasuk sistem perizinan. Peran koperasi dan swasta nasional
dalam pengusahaan pertambangan didorong dalam bentuk kerja
sama dengan BUMN dan swasta asing.

Peningkatan partisipasi dunia usaha di bidang pertambangan


akan didorong dengan memberikan paket pembimbingan teknis
kepada koperasi dan swasta nasional. Bantuan yang direncanakan
meliputi pembimbingan teknis eksplorasi bahan galian industri,
paket pembimbingan teknis pengeboran, dan paket pembimbingan
teknis juru bor. Selain itu, akan dikembangkan pula paket teknolo-
gi yang dapat dimanfaatkan oleh dunia usaha.

30
1
Untuk meningkatkan peran serta swasta dan koperasi di bidang
minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi, iklim investasi akan
dibuat lebih menarik sehingga pihak swasta dan koperasi dapat
didorong dalam meningkatkan kemampuannya. Upaya tersebut
dilaksanakan, antara lain, melalui pendidikan dan pelatihan;
pengikutsertaan dalam pembangunan kilang dan industri
petrokimia; pemanfaatan gas skala kecil; pembangunan dan
pengelolaan pipa transmisi gas; pengangkutan dan penyaluran
BBM dan non-BBM; serta berbagai kegiatan jasa lainnya. Industri
minyak dan gas bumi Indonesia yang telah berpengalaman lebih
dari seabad dan kemampuan nasional yang telah berkembang
dalam teknologi, keahlian, dan pendanaan juga akan
dikembangkan untuk mulai beroperasi di luar negeri.

Dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di


bidang usaha pertambangan mineral dan energi, akan dilanjutkan
usaha deregulasi dan debirokratisasi dalam perizinan; peningkatan
pelayanan dalam pemrosesan kontrak karya; penyederhanaan
proses pelaksanaan pemberian kuasa pertambangan; dan bimbingan
teknis terutama untuk usaha koperasi dan swasta nasional.

Di samping itu, akan ditingkatkan pemantauan produksi dan


penjualan bahan galian para pemegang kuasa pertambangan atau
kontrak karya; komputerisasi sistem informasi kemineralan yang
terpadu meliputi proses dan data usaha pertambangan; dan
penyelesaian masalah tumpang tindih lahan pertambangan.

e. Program Peningkatan Kerjasama


Internasional

Program ini dilaksanakan sebagai bagian integral


dari pembangunan pertambangan dalam rangka
mempercepat alih teknologi, stabilisasi harga dan
produksi komoditas, serta peningkatan arus investasi
di bidang pertambangan.

302
Kerja sama internasional di bidang minyak bumi, gas bumi,
dan panas bumi, akan tetap dimanfaatkan untuk kepentingan
pembangunan nasional. Kerja sama bilateral dengan berbagai
negara akan dilaksanakan untuk kelancaran perdagangan dan
ekspor, penyelesaian masalah landas kontinen, serta pengusahaan
bersama sumber daya minyak dan gas bumi. Demikian pula, kerja
sama antarnegara berkembang akan terus digalakkan dengan
semangat saling membantu dan saling menguntungkan.

Dalam Repelita VI akan terus diupayakan peningkatan kerja


sama internasional dalam rangka studi dan alih teknologi di bidang
geologi dan sumber daya mineral, baik secara bilateral maupun
multilateral.

Kerja sama di bidang komoditas pertambangan mineral dan


energi terutama dengan badan-badan internasional, akan
ditingkatkan. Di bidang penelitian dan pengembangan akan
dilakukan kerja sama internasional antara lain dengan Korea,
Jepang, Amerika Serikat, Australia, Jerman, dan berbagai negara
berkembang. Demikian juga, diusahakan peningkatan pemanfaatan
data dan informasi dari badan-badan internasional sebagai bahan
evaluasi guna menetapkan strategi pengembangan industri
pertambangan nasional.

VI. RENCANA ANGGARAN


PEMBANGUNAN DALAM REPELITA VI

Program-program pembangunan tersebut di atas dilaksanakan


baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat. Dalam program-
program tersebut, yang merupakan program dalam bidang
pertambangan, yang akan dibiayai dengan anggaran pembangunan
selama Repelita VI (1994/95 - 1998/99) adalah sebesar
Rp.439.840,0 juta. Rencana anggaran pembangunan pertambangan
untuk tahun pertama dan selama Repelita VI menurut sektor, sub
sektor dan program dalam sistem APBN dapat dilihat dalam
Tabel 25-3.

30
3
Tabel 25 – 3
RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN PERTAMBANGAN

Tahun Anggaran 1994/95 dan Repelita VI (1994/95 — 1998/99)

(dalam juta rupiah)

No.
Sektor/Sub Sektor/Program 1994/95 1994/95 — 1998/99

07
SEKTOR
07.1 Sub Sektor Pertambangan

07.1.01 Program Pengembangan Geologi dan Sumber Daya Mineral 43.870,0 287.350,0

Terpadu 1.000,0 10.920,0

304
~.ullmll

You might also like