Professional Documents
Culture Documents
Tari sering disebut juga ”beksa”, kata “beksa” berarti “ambeg” dan “esa”, kata
tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah
benar-benar menuju satu tujuan, yaitu menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud
gerak yang luluh.
Seni tari adalah ungkapan yang disalurkan / diekspresikan melalui gerak-gerak organ
tubuh yang ritmis, indah mengandung kesusilaan dan selaras dengan gending sebagai
iringannya. Seni tari yang merupakan bagian budaya bangsa sebenarnya sudah ada
sejak jaman primitif, Hindu sampai masuknya agama Islam dan kemudian
berkembang. Bahkan tari tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan upacara adat
sebagai sarana persembahan. Tari mengalami kejayaan yang berangkat dari kerajaan
Kediri, Singosari, Majapahit khususnya pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk.
Surakarta merupakan pusat seni tari. Sumber utamanya terdapat di Keraton Surakarta
dan di Pura Mangkunegaran. Dari kedua tempat inilah kemudian meluas ke daerah
Surakarta seluruhnya dan akhirnya meluas lagi hingga meliputi daerah Jawa Tengah,
terus sampai jauh di luar Jawa Tengah. Seni tari yang berpusat di Kraton Surakarta itu
sudah ada sejak berdirinya Kraton Surakarta dan telah mempunyai ahli-ahli yang
dapat dipertanggungjawabkan. Tokoh-tokoh tersebut umumnya masih keluarga Sri
Susuhunan atau kerabat kraton yang berkedudukan. Seni tari yang berpusat di Kraton
Surakarta itu kemudian terkenal dengan Tari Gaya Surakarta. Macam-macam
tariannya :
Dalam perkembangannya timbullah tari kreasi baru yang mendapat tempat dalam
dunia tari gaya Surakarta. Selain tari yang bertaraf kraton (Hofdans), yang termasuk
seni tari bermutu tinggi, di daerah Jawa Tengah terdapat pula bermacam-macam tari
daerah setempat. Tari semacam itu termasuk jenis kesenian tradisional, seperti :
-- Dadung Ngawuk, Kuda Kepang, Incling, Dolalak, Tayuban, Jelantur, Ebeg,
Ketek Ogleng, Barongan, Sintren, Lengger, dll.
Pedoman tari tradisional itu sebagian besar mengutamakan gerak yang ritmis dan
tempo yang tetap sehingga ketentuan-ketentuan geraknya tidaklah begitu ditentukan
sekali. Jadi lebih bebas, lebih perseorangan.
Dalam seni tari dapat dibedakan menjadi klasik, tradisional dan garapan baru.
Beberapa jenis tari yang ada antara lain :
1. Tari Klasik
-- Tari Bedhaya :
Budaya Islam ikut mempengaruhi bentuk-bentuk tari yang berangkat pada jaman
Majapahit. Seperti tari Bedhaya 7 penari berubah menjadi 9 penari disesuaikan
dengan jumlah Wali Sanga. Ide Sunan Kalijaga tentang Bedhaya dengan 9 penari ini
akhirnya sampai pada Mataram Islam, tepatnya sejak perjanjian Giyanti pada tahun
1755 oleh Pangeran Purbaya, Tumenggung Alap-alap dan Ki Panjang Mas, maka
disusunlah Bedhaya dengan penari berjumlah 9 orang. Hal ini kemudian dibawa ke
Kraton Kasunanan Surakarta. Oleh Sunan Pakubuwono I dinamakan Bedhaya
Ketawang, termasuk jenis Bedhaya Suci dan Sakral, dengan nama peranan sebagai
berikut :
a. Endhel Pojok
b. Batak
c. Gulu
d. Dhada
e. Buncit
f. Endhel Apit Ngajeng
g. Endhel Apit Wuri
h. Endhel Weton Ngajeng
i. Endhel Weton Wuri
Pada umumnya berbagai jenis Bedhaya tersebut berfungsi menjamu tamu raja dan
menghormat serta menyambut Nyi Roro Kidul, khususnya Bedhaya Ketawang yang
jarang disajikan di luar Kraton, juga sering disajikan pada upacara keperluan jahat di
lingkungan Istana. Di samping itu ada juga Bedhaya-bedhaya yang mempunyai tema
kepahlawanan dan bersifat monumental.
Melihat lamanya penyajian tari Bedhaya (juga Srimpi) maka untuk konsumsi masa
kini perlu adanya inovasi secara matang, dengan tidak mengurangi ciri dan bobotnya.
-- Tari Srimpi
Tari Srimpi yang ada sejak Prabu Amiluhur ketika masuk ke Kraton mendapat
perhatian pula. Tarian yang ditarikan 4 putri itu masing-masing mendapat sebutan :
air, api, angin dan bumi/tanah, yang selain melambangkan terjadinya manusia juga
melambangkan empat penjuru mata angin. Sedang nama peranannya Batak, Gulu,
Dhada dan Buncit. Komposisinya segi empat yang melambangkan tiang Pendopo.
Seperti Bedhaya, tari Srimpipun ada yang suci atau sakral yaitu Srimpi Anglir
Mendhung. Juga karena lamanya penyajian (60 menit) maka untuk konsumsi masa
kini diadakan inovasi. Contoh Srimpi hasil garapan baru :
Srimpi Anglirmendhung menjadi 11 menit
Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit
dll.
Beberapa contoh tari klasik yang tumbuh dari Bedhaya dan Srimpi :
a. Beksan Gambyong : berasal dari tari Glondrong yang ditarikan oleh Nyi Mas Ajeng
Gambyong. Menarinya sangat indah ditambah kecantikan dan modal suaranya yang
baik, akhirnya Nyi Mas itu dipanggil oleh Bangsawan Kasunanan Surakarta untuk
menari di Istana sambil memberi pelajaran kepada para putra/I Raja. Oleh Istana tari
itu diubah menjadi tari Gambyong.
Selain sebagai hiburan, tari ini sering juga ditarikan untuk menyambut tamu dalam
upacara peringatan hari besar dan perkawinan. Adapun ciri-ciri Tari ini :
-- Jumlah penari seorang putri atau lebih
-- Memakai jarit wiron
-- Tanpa baju melainkan memakai kemben atau bangkin
-- Tanpa jamang melainkan memakai sanggul/gelung
-- Dalam menari boleh dengan sindenan (menyanyi) atau tidak.
b. Beksan Wireng : berasal dari kata Wira (perwira) dan 'Aeng' yaitu prajurit yang
unggul, yang 'aeng', yang 'linuwih'. Tari ini diciptakan pada jaman pemerintahan
Prabu Amiluhur dengan tujuan agar para putra beliau tangkas dalam olah keprajuritan
dengan menggunakan alat senjata perang. Sehingga tari ini menggambarkan
ketangkasan dalam latihan perang dengan menggunakan alat perang. Ciri-ciri tarian
ini :
-- Ditarikan oleh dua orang putra/i
-- Bentuk tariannya sama
-- Tidak mengambil suatu cerita
-- Tidak menggunakan ontowacono (dialog)
-- Bentuk pakaiannya sama
-- Perangnya tanding, artinya tidak menggunakan gending
sampak/srepeg, hanya iramanya/temponya kendho/kenceng
-- Gending satu atau dua, artinya gendhing ladrang kemudian
diteruskan gendhing ketawang
-- Tidak ada yang kalah/menang atau mati.
c. Tari Pethilan : hampir sama dengan Tari Wireng. Bedanya Tari Pethilan mengambil
adegan / bagian dari ceritera pewayangan.
Ciri-cirinya :
-- Tari boleh sama, boleh tidak
-- Menggunakan ontowacono (dialog)
-- Pakaian tidak sama, kecuali pada lakon kembar
-- Ada yang kalah/menang atau mati
-- Perang mengguanakan gendhing srepeg, sampak, gangsaran
-- Memetik dari suatu cerita lakon.
Contoh dari Pethilan :
-- Bambangan Cakil
-- Hanila
-- Prahasta, dll.
d. Tari Golek : Tari ini berasal dari Yogyakarta. Pertama dipentaskan di Surakarta
pada upacara perkawinan KGPH. Kusumoyudho dengan Gusti Ratu Angger tahun
1910. Selanjutnya mengalami persesuaian dengan gaya Surakarta. Tari ini
menggambarkan cara-cara berhias diri seorang gadis yang baru menginjak masa akhil
baliq, agar lebih cantik dan menarik. Macam-macamnya :
-- Golek Clunthang iringan Gendhing Clunthang
-- Golek Montro iringan Gendhing Montro
-- Golek Surungdayung iringan Gendhing Ladrang Surungdayung, dll.
f. Tari Topeng :
Tari ini sebenarnya berasal dari Wayang Wong atau drama. Tari Topeng yang pernah
mengalami kejayaan pada jaman Majapahit, topengnya dibuat dari kayu dipoles dan
disungging sesuai dengan perwatakan tokoh/perannya yang diambil dari Wayang
Gedhog, Menak Panji. Tari ini semakin pesat pertumbuhannya sejak Islam masuk
terutama oleh Sunan Kalijaga yang menggunakannya sebagai penyebaran agama.
Beliau menciptakan 9 jenis topeng, yaitu topeng Panji Ksatrian, Condrokirono,
Gunung sari, Handoko, Raton, Klono, Denowo, Benco(Tembem), Turas (Penthul).
Pakaiannya dahulu memakai ikat kepala dengan topeng yang diikat pada kepala.
2. Tari Tradisional
Selain tari-tari klasik, di Jawa Tengah terdapat pula tari-tari tradisional yang tumbuh
dan berkembang di daerah-daerah tertentu. Kesenian tradisional tersebut tak kalah
menariknya karena mempunyai keunikan-keunikan tersendiri. Beberapa contoh
kesenian tradisional :
a. Tari Dolalak, di Purworejo.
Pertunjukan ini dilakukan oleh beberapa orang penari yang berpakaian menyerupai
pakaian prajurit Belanda atau Perancis tempo dulu dan diiringi dengan alat-alat bunyi-
bunyian terdiri dari kentrung, rebana, kendang, kencer, dllnya. Menurut cerita,
kesenian ini timbul pada masa berkobarnya perang Aceh di jaman Belanda yang
kemudian meluas ke daerah lain.
Meskipun namanya 'baru' tetapi semua tari yang termasuk jenis ini tidak
meninggalkan unsur-unsur yang ada dari jenis tari klasik maupun tradisional. Sebagai
contoh :
a. Tari Prawiroguno
Tari ini menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih diri dengan
perlengkapan senjata berupa pedang untuk menyerang musuh dan juga tameng
sebagai alat untuk melindungi diri.
b. Tari Tepak-Tepak Putri
Tari yang menggambarkan kelincahan gerak remaja-remaja putri sedang bersuka ria
memainkan rebana, dengan iringan pujian atau syair yang bernafas Islam.
Kekayaan TARI KLASIK Gaya YOGYAKARTA
SANG AMURWABHUMI
Salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh Sultan
Hamengku Buwana X. Karya tari ini merupakan legitimasi Sri Sultan
Hamengku Buwana X kepada swargi (almarhum Sri Sultan Hamengku
Buwana IX), yang mempunyai konsep filosofis, yakni setia kepada janji,
berwatak tabah, kokoh, toleran, selalu berbuat baik dan sosial, konsep dan ide
dasar tari ini dari Sri Sultan Hamengku Buwana X. Sedangkan koreografinya
oleh K.R.T.Sasmintadipura.
Bedhaya Sang Amurwabhumi dipentaskan pertama kali di Bangsal Kencono
pada saat pengangkatan dan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada
Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1990.
Bedhaya Sang Amurwabhumi ditarikan oleh sembilan putri (penari) dan
berdurasi dua setengah (2,5 ) jam, diiringi irama dramatik yang
menggambarkan kelembutan sebagai simbolisasi yang paling hakiki karena
setiap raja selalu mempunyai ekspresi dan konsep sendiri dalam setiap
pengabdian kepada rakyatnya dengan mencoba menggalang kepemimpinan
yang baik, melalui pola pikir untuk mengayomi dan mensejahterakan rakyat.
Bedhaya Sang Amurwabhumi seperti juga dengan bedhaya yang lain sesuai
dengan tradisi tetap mengacu pada patokan baku tari bedhaya. Dasar ceritanya
diambil dari Serat Pararaton atau Kitab Para Ratu Tumapel dan Majapahit,
yang selesai ditulis bertepetan pada hari Sabtu Pahing. Bedhaya Sang
Amurwabhumi mengambil sentral pada perkimpoian sang Amurwabhumi
(Ken Arok) dengan Prajnaparamita (Ken Dedes) mensimbolisasikan spirit
patriotisme dan filosofi kepemimpinan.
3. B
E
D
H
A
Y
A
HERJUNA WIWAHA
Bedhaya ini menceritakan proses pengangkatan KGPH Mangkubumi menjadi
Sri Sultan HB X
Spoiler for Bedhaya Herjuno Wiwaha:
4. BEDHAYA SAPTA
Sesuai dengan namanya, bedhaya ini ditarikan oleh 7 orang penari (biasanya 9
orang penari). Bedhaya ini ciptaan Sri Sultan HB IX. Bedhaya ini bercerita
tentang 2 orang utusan Sultan Agung untuk menuju Batavia. dalam perjalanan
menuju Batavia kedua utusan itu harus menghadapi berbagai rintangan.
Akhirnya kedua utusan tersebut dapat melewati segala rintangan yang ada.
5. B
E
D
H
A
Y
A
SABDA AJI
Ditarikan oleh sembilan orang, bercerita tentang sabda (perintah) aji (raja)
atau perintah Sri Sultan HB IX kepada para empu tari untuk menyempurnakan
tari golek menak. Salah satu penari dalam Bedhaya Sabda Aji adalah putri
sulung Sri Sultan HB X, GKR Pembayun.
Spoiler for Bedhaya Sabda Aji: