You are on page 1of 12

SENI TARI JAWA TENGAH

Tari sering disebut juga ”beksa”, kata “beksa” berarti “ambeg” dan “esa”, kata
tersebut mempunyai maksud dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah
benar-benar menuju satu tujuan, yaitu menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud
gerak yang luluh.
Seni tari adalah ungkapan yang disalurkan / diekspresikan melalui gerak-gerak organ
tubuh yang ritmis, indah mengandung kesusilaan dan selaras dengan gending sebagai
iringannya. Seni tari yang merupakan bagian budaya bangsa sebenarnya sudah ada
sejak jaman primitif, Hindu sampai masuknya agama Islam dan kemudian
berkembang. Bahkan tari tidak dapat dilepaskan dengan kepentingan upacara adat
sebagai sarana persembahan. Tari mengalami kejayaan yang berangkat dari kerajaan
Kediri, Singosari, Majapahit khususnya pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk.
Surakarta merupakan pusat seni tari. Sumber utamanya terdapat di Keraton Surakarta
dan di Pura Mangkunegaran. Dari kedua tempat inilah kemudian meluas ke daerah
Surakarta seluruhnya dan akhirnya meluas lagi hingga meliputi daerah Jawa Tengah,
terus sampai jauh di luar Jawa Tengah. Seni tari yang berpusat di Kraton Surakarta itu
sudah ada sejak berdirinya Kraton Surakarta dan telah mempunyai ahli-ahli yang
dapat dipertanggungjawabkan. Tokoh-tokoh tersebut umumnya masih keluarga Sri
Susuhunan atau kerabat kraton yang berkedudukan. Seni tari yang berpusat di Kraton
Surakarta itu kemudian terkenal dengan Tari Gaya Surakarta. Macam-macam
tariannya :

Srimpi, Bedaya, Gambyong, Wireng, Prawirayuda, Wayang-Purwa Mahabarata-


Ramayana. Yang khusus di Mangkunegaran disebut Tari Langendriyan, yang
mengambil ceritera Damarwulan.

Dalam perkembangannya timbullah tari kreasi baru yang mendapat tempat dalam
dunia tari gaya Surakarta. Selain tari yang bertaraf kraton (Hofdans), yang termasuk
seni tari bermutu tinggi, di daerah Jawa Tengah terdapat pula bermacam-macam tari
daerah setempat. Tari semacam itu termasuk jenis kesenian tradisional, seperti :
-- Dadung Ngawuk, Kuda Kepang, Incling, Dolalak, Tayuban, Jelantur, Ebeg,
Ketek Ogleng, Barongan, Sintren, Lengger, dll.

Pedoman tari tradisional itu sebagian besar mengutamakan gerak yang ritmis dan
tempo yang tetap sehingga ketentuan-ketentuan geraknya tidaklah begitu ditentukan
sekali. Jadi lebih bebas, lebih perseorangan.

Dalam seni tari dapat dibedakan menjadi klasik, tradisional dan garapan baru.
Beberapa jenis tari yang ada antara lain :

1. Tari Klasik

-- Tari Bedhaya :
Budaya Islam ikut mempengaruhi bentuk-bentuk tari yang berangkat pada jaman
Majapahit. Seperti tari Bedhaya 7 penari berubah menjadi 9 penari disesuaikan
dengan jumlah Wali Sanga. Ide Sunan Kalijaga tentang Bedhaya dengan 9 penari ini
akhirnya sampai pada Mataram Islam, tepatnya sejak perjanjian Giyanti pada tahun
1755 oleh Pangeran Purbaya, Tumenggung Alap-alap dan Ki Panjang Mas, maka
disusunlah Bedhaya dengan penari berjumlah 9 orang. Hal ini kemudian dibawa ke
Kraton Kasunanan Surakarta. Oleh Sunan Pakubuwono I dinamakan Bedhaya
Ketawang, termasuk jenis Bedhaya Suci dan Sakral, dengan nama peranan sebagai
berikut :

a. Endhel Pojok
b. Batak
c. Gulu
d. Dhada
e. Buncit
f. Endhel Apit Ngajeng
g. Endhel Apit Wuri
h. Endhel Weton Ngajeng
i. Endhel Weton Wuri

Berbagai jenis tari Bedhaya yang belum mengalami perubahan :


-- Bedhaya Ketawang lama tarian 130 menit
-- Bedhaya Pangkur lama tarian 60 menit
-- Bedhaya Duradasih lama tarian 60 menit
-- Bedhaya Mangunkarya lama tarian 60 menit
-- Bedhaya Sinom lama tarian 60 menit
-- Bedhaya Endhol-endhol lama tarian 60 menit
-- Bedhaya Gandrungmanis lama tarian 60 menit
-- Bedhaya Kabor lama tarian 60 menit
-- Bedhaya Tejanata lama tarian 60 menit

Pada umumnya berbagai jenis Bedhaya tersebut berfungsi menjamu tamu raja dan
menghormat serta menyambut Nyi Roro Kidul, khususnya Bedhaya Ketawang yang
jarang disajikan di luar Kraton, juga sering disajikan pada upacara keperluan jahat di
lingkungan Istana. Di samping itu ada juga Bedhaya-bedhaya yang mempunyai tema
kepahlawanan dan bersifat monumental.

Melihat lamanya penyajian tari Bedhaya (juga Srimpi) maka untuk konsumsi masa
kini perlu adanya inovasi secara matang, dengan tidak mengurangi ciri dan bobotnya.

Contoh Bedhaya garapan baru :


-- Bedhaya La la lama tarian 15 menit
-- Bedhaya To lu lama tarian 12 menit
-- Bedhaya Alok lama tarian 15 menit
dll.

-- Tari Srimpi
Tari Srimpi yang ada sejak Prabu Amiluhur ketika masuk ke Kraton mendapat
perhatian pula. Tarian yang ditarikan 4 putri itu masing-masing mendapat sebutan :
air, api, angin dan bumi/tanah, yang selain melambangkan terjadinya manusia juga
melambangkan empat penjuru mata angin. Sedang nama peranannya Batak, Gulu,
Dhada dan Buncit. Komposisinya segi empat yang melambangkan tiang Pendopo.
Seperti Bedhaya, tari Srimpipun ada yang suci atau sakral yaitu Srimpi Anglir
Mendhung. Juga karena lamanya penyajian (60 menit) maka untuk konsumsi masa
kini diadakan inovasi. Contoh Srimpi hasil garapan baru :
Srimpi Anglirmendhung menjadi 11 menit
Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit
dll.
Beberapa contoh tari klasik yang tumbuh dari Bedhaya dan Srimpi :
a. Beksan Gambyong : berasal dari tari Glondrong yang ditarikan oleh Nyi Mas Ajeng
Gambyong. Menarinya sangat indah ditambah kecantikan dan modal suaranya yang
baik, akhirnya Nyi Mas itu dipanggil oleh Bangsawan Kasunanan Surakarta untuk
menari di Istana sambil memberi pelajaran kepada para putra/I Raja. Oleh Istana tari
itu diubah menjadi tari Gambyong.

Selain sebagai hiburan, tari ini sering juga ditarikan untuk menyambut tamu dalam
upacara peringatan hari besar dan perkawinan. Adapun ciri-ciri Tari ini :
-- Jumlah penari seorang putri atau lebih
-- Memakai jarit wiron
-- Tanpa baju melainkan memakai kemben atau bangkin
-- Tanpa jamang melainkan memakai sanggul/gelung
-- Dalam menari boleh dengan sindenan (menyanyi) atau tidak.

b. Beksan Wireng : berasal dari kata Wira (perwira) dan 'Aeng' yaitu prajurit yang
unggul, yang 'aeng', yang 'linuwih'. Tari ini diciptakan pada jaman pemerintahan
Prabu Amiluhur dengan tujuan agar para putra beliau tangkas dalam olah keprajuritan
dengan menggunakan alat senjata perang. Sehingga tari ini menggambarkan
ketangkasan dalam latihan perang dengan menggunakan alat perang. Ciri-ciri tarian
ini :
-- Ditarikan oleh dua orang putra/i
-- Bentuk tariannya sama
-- Tidak mengambil suatu cerita
-- Tidak menggunakan ontowacono (dialog)
-- Bentuk pakaiannya sama
-- Perangnya tanding, artinya tidak menggunakan gending
sampak/srepeg, hanya iramanya/temponya kendho/kenceng
-- Gending satu atau dua, artinya gendhing ladrang kemudian
diteruskan gendhing ketawang
-- Tidak ada yang kalah/menang atau mati.

c. Tari Pethilan : hampir sama dengan Tari Wireng. Bedanya Tari Pethilan mengambil
adegan / bagian dari ceritera pewayangan.

Ciri-cirinya :
-- Tari boleh sama, boleh tidak
-- Menggunakan ontowacono (dialog)
-- Pakaian tidak sama, kecuali pada lakon kembar
-- Ada yang kalah/menang atau mati
-- Perang mengguanakan gendhing srepeg, sampak, gangsaran
-- Memetik dari suatu cerita lakon.
Contoh dari Pethilan :
-- Bambangan Cakil
-- Hanila
-- Prahasta, dll.

d. Tari Golek : Tari ini berasal dari Yogyakarta. Pertama dipentaskan di Surakarta
pada upacara perkawinan KGPH. Kusumoyudho dengan Gusti Ratu Angger tahun
1910. Selanjutnya mengalami persesuaian dengan gaya Surakarta. Tari ini
menggambarkan cara-cara berhias diri seorang gadis yang baru menginjak masa akhil
baliq, agar lebih cantik dan menarik. Macam-macamnya :
-- Golek Clunthang iringan Gendhing Clunthang
-- Golek Montro iringan Gendhing Montro
-- Golek Surungdayung iringan Gendhing Ladrang Surungdayung, dll.

e. Tari Bondan : Tari ini dibagi menjadi :


-- Bondan Cindogo
-- Bondan Mardisiwi
-- Bondan Pegunungan/Tani.
Tari Bondan Cindogo dan Mardisiwi merupakan tari gembira, mengungkapkan rasa
kasih sayang kepada putranya yang baru lahir. Tapi Bondan Cindogo satu-satunya
anak yang ditimang-timang akhirnya meninggal dunia. Sedang pada Bondan
Mardisiwi tidak, serta perlengakapan tarinya sering tanpa menggunakan kendhi
seperti pada Bondan Cindogo. Ciri pakaiannya :
-- Memakai kain Wiron
-- Memakai Jamang
-- Memakai baju kotang
-- Menggendong boneka, memanggul payung
-- Membawa kendhi (dahulu), sekarang jarang.
Untuk gendhing iringannya Ayak-ayakan diteruskan Ladrang Ginonjing. Tapi
sekarang ini menurut kemampuan guru/pelatih tarinya. Sedangkan Bondan
Pegunungan, melukiskan tingkah laku putri asal pegunungan yang sedang asyik
menggarap ladang, sawah, tegal pertanian. Dulu hanya diiringi lagu-lagu dolanan tapi
sekarang diiringi gendhing-gendhing lengkap. Ciri pakaiannya :
-- mengenakan pakaian seperti gadis desa, menggendong tenggok, memakai caping
dan membawa alat pertanian.
-- Di bagian dalam sudah mengenakan pakaian seperti Bondan biasa, hanya tidak
memakai jamang tetapi memakai sanggul/gelungan. Kecuali jika memakai jamang
maka klat bahu, sumping, sampur, dll sebelum dipakai dimasukkan tenggok.
Bentuk tariannya ; pertama melukiskan kehidupan petani kemudian pakaian bagian
luar yang menggambarkan gadis pegunungan dilepas satu demi satu dengan
membelakangi penonton. Selanjutnya menari seperti gerak tari Bondan Cindogo /
Mardisiwi.

f. Tari Topeng :
Tari ini sebenarnya berasal dari Wayang Wong atau drama. Tari Topeng yang pernah
mengalami kejayaan pada jaman Majapahit, topengnya dibuat dari kayu dipoles dan
disungging sesuai dengan perwatakan tokoh/perannya yang diambil dari Wayang
Gedhog, Menak Panji. Tari ini semakin pesat pertumbuhannya sejak Islam masuk
terutama oleh Sunan Kalijaga yang menggunakannya sebagai penyebaran agama.
Beliau menciptakan 9 jenis topeng, yaitu topeng Panji Ksatrian, Condrokirono,
Gunung sari, Handoko, Raton, Klono, Denowo, Benco(Tembem), Turas (Penthul).
Pakaiannya dahulu memakai ikat kepala dengan topeng yang diikat pada kepala.

2. Tari Tradisional

Selain tari-tari klasik, di Jawa Tengah terdapat pula tari-tari tradisional yang tumbuh
dan berkembang di daerah-daerah tertentu. Kesenian tradisional tersebut tak kalah
menariknya karena mempunyai keunikan-keunikan tersendiri. Beberapa contoh
kesenian tradisional :
a. Tari Dolalak, di Purworejo.
Pertunjukan ini dilakukan oleh beberapa orang penari yang berpakaian menyerupai
pakaian prajurit Belanda atau Perancis tempo dulu dan diiringi dengan alat-alat bunyi-
bunyian terdiri dari kentrung, rebana, kendang, kencer, dllnya. Menurut cerita,
kesenian ini timbul pada masa berkobarnya perang Aceh di jaman Belanda yang
kemudian meluas ke daerah lain.

b. Patolan (Prisenan), di Rembang.


Sejenis olahraga gulat rakyat yang dimainkan oleh dua orang pegulat dipimpin oleh
dua orang Gelandang (wasit) dari masing-masing pihak. Pertunjukan ini diadakan
sebagai olah raga dan sekaligus hiburan di waktu senggang pada sore dan malam hari
terutama di kala terang bulan purnama. Lokasinya berada di tempat-tempat yang
berpasir di tepi pantai. Seni gulat rakyat ini berkembang di kalangan pelajar terutama
di pantai antara kecamatan Pandagan, Kragan, Bulu sampai ke Tuban, Jawa Timur.
c. Blora.
Daerah ini terkenal dengan atraksi kesenian Kuda Kepang, Barongan dan Wayang
Krucil(sejenis wayang kulit terbuat dari kayu).
d. Pekalongan
Di daerah Pekalongan terdapat kesenian Kuntulan dan Sintren. Kuntulan adalah
kesenian bela diri yang dilukiskan dalam tarian dengan iringan bunyi-bunyian seperti
bedug, terbang, dllnya. Sedangkan Sintren adalah sebuah tari khas yang magis
animistis yang terdapat selain di Pekalongan juga di Batang dan Tegal. Kesenian ini
menampilkan seorang gadis yang menari dalam keadaan tidak sadarkan diri, sebelum
tarian dimulai gadis menari tersebut dengan tangan terikat dimasukkan ke dalam
tempat tertutup bersama peralatan bersolek, kemudian selang beberapa lama ia telah
selesai berdandan dan siap untuk menari. Atraksi ini dapat disaksikan pada waktu
malam bulan purnama setelah panen.
e. Obeg dan Begalan.
Kesenian ini berkembang di Cilacap. Pemain Obeg ini terdiri dari beberapa orang
wanita atau pria dengan menunggang kuda yang terbuat dari anyaman bambu
(kepang), serta diiringi dengan bunyi-bunyian tertentu. Pertunjukan ini dipimpin oleh
seorang pawang (dukun) yang dapat membuat pemain dalam keadaan tidak sadar.
Begalan adalah salah satu acara dalam rangkaian upacara perkawinan adat Banyumas.
Kesenian ini hidup di daerah Bangumas pada umumnya juga terdapat di Cilacap,
Purbalingga maupun di daerah di luar Kabupaten Banyumas. Yang bersifat khas
Banyumas antara lain Calung, Begalan dan Dalang Jemblung.
f. Calung dari Banyumas
Calung adalah suatu bentuk kesenian rakyat dengan menggunakan bunyi- bunyian
semacam gambang yang terbuat dari bambu, lagu-lagu yang dibawakan merupakan
gending Jawa khas Banyumas. Juga dapat untuk mengiringi tarian yang diperagakan
oleh beberapa penari wanita. Sedangkan untuk Begalan biasanya diselenggarakan
oleh keluarga yang baru pertama kalinya mengawinkan anaknya. Yang mengadakan
upacara ini adalah dari pihak orang tua mempelai wanita.
g. Kuda Lumping (Jaran Kepang) dari Temanggung
Kesenian ini diperagakan secara massal, sering dipentaskan untuk menyambut tamu
-tamu resmi atau biasanya diadakan pada waktu upacara
h. Lengger dari Wonosobo
Kesenian khas Wonosobo ini dimainkan oleh dua orang laki-laki yang masing-masing
berperan sebagai seorang pria dan seorang wanita. Diiringi dengan bunyi-bunyian
yang antara lain berupa Angklung bernada Jawa. Tarian ini mengisahkan ceritera
Dewi Chandrakirana yang sedang mencari suaminya yang pergi tanpa pamit. Dalam
pencariannya itu ia diganggu oleh raksasa yang digambarkan memakai topeng. Pada
puncak tarian penari mencapai keadaan tidak sadar.
i. Jatilan dari Magelang
Pertunjukan ini biasanya dimainkan oleh delapan orang yang dipimpin oleh seorang
pawang yang diiringi dengan bunyi-bunyian berupa bende, kenong dll. Dan pada
puncaknya pemain dapat mencapai tak sadar.
j. Tarian Jlantur dari Boyolali
Sebuah tarian yang dimainkan oleh 40 orang pria dengan memakai ikat kepala gaya
turki. Tariannya dilakukan dengan menaiki kuda kepang dengan senjata tombak dan
pedang. Tarian ini menggambarkan prajurit yang akan berangkat ke medan perang,
dahulu merupakan tarian penyalur semangat kepahlawanan dari keturunan prajurit
Diponegoro.
k. Ketek Ogleng dari Wonogiri
Kesenian yang diangkat dari ceritera Panji, mengisahkan cinta kasih klasik pada
jaman kerajaan Kediri. Ceritera ini kemudian diubah menurut selera rakyat setempat
menjadi kesenian pertunjukan Ketek Ogleng yang mengisahkan percintaan antara
Endang Roro Tompe dengan Ketek Ogleng. Penampilannya dititik beratkan pada
suguhan tarian akrobatis gaya kera (Ketek Ogleng) yang dimainkan oleh seorang
dengan berpakaian kera seperti wayang orang. Tarian akrobatis ini di antara lain
dipertunjukan di atas seutas tali.

3. Tari Garapan Baru (Kreasi Baru)

Meskipun namanya 'baru' tetapi semua tari yang termasuk jenis ini tidak
meninggalkan unsur-unsur yang ada dari jenis tari klasik maupun tradisional. Sebagai
contoh :
a. Tari Prawiroguno
Tari ini menggambarkan seorang prajurit yang sedang berlatih diri dengan
perlengkapan senjata berupa pedang untuk menyerang musuh dan juga tameng
sebagai alat untuk melindungi diri.
b. Tari Tepak-Tepak Putri
Tari yang menggambarkan kelincahan gerak remaja-remaja putri sedang bersuka ria
memainkan rebana, dengan iringan pujian atau syair yang bernafas Islam.
Kekayaan TARI KLASIK Gaya YOGYAKARTA

Sebagai pusat budaya, Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki


berbagai kekayaan budaya adiluhung bernilai seni yang sangat tinggi. Salah satunya
adalah tari klasik gaya Yogyakarta-Mataraman yang sangat banyak macam dan
jumlahnya karena mulai ada saat kraton bediri dan masih tetap eksis lestari dan
berkembang bahkan hingga sekarang dan seterusnya seiring dengan keberadaan
kraton itu sendiri.
Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki tarian pusaka yang bersifat
sangat sakral, yaitu Bedhaya Semang, yang merupakan induk dari semua tari putri
gaya Yogyakarta. Tari lain yang juga sudah berumur cukup tua adalah Beksan
Lawung Ageng dan Bedhaya Sumreg. Keduanya diciptakan oleh Sultan HB I. Selain
itu ada beberapa jenis tari klasik yang cukup terkenal antara lain Bedhaya (Bedhaya
Kuwung-Kuwung, Bedhaya Tunjung Anom, Bedhaya Sinom, dll), Guntur Segaran,
Srimpi (Srimpi Renyep-Renggowati, Srimpi Pandhelori, dll), Beksa Klana (Klana
Raja, Klana Topeng, Klana Alus), Beksa Golek Menak, dll.
Tari klasik bukanlah semata-mata komposisi gerak tubuh yang disusun menjadi satu
kesatuan sajian tontonan yang utuh. Tapi dibalik tari klasik, tersimpan sebuah kisah
atau makna filosofis yang sangat tinggi yang disampaikan sebagai sebuah pesan bagi
kehidupan manusia.
Beberapa tari klasik gaya Yogyakarta-Mataraman, yang antara lain juga menjadi
kekayaan budaya Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang bisa saya
temukan hasil dokumentasinya antara lain:
1. BEDHAYA SUMREG
Bedhaya Sumreg atau Sumbreg merupakan salah satu "bedhaya pusaka" milik
Kraton Yogyakarta. Bedhaya Sumreg ini memiliki arti sebagai bidadari yang
menari dengan iringan gending ageng Ladrang dan Ketawang. Bedhaya
Sumreg pertama kali muncul pada masa Sri Susushunan Paku Buwono I
(Geger Spei).
Setelah Mataram pecah menjadi Kasuhunan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono I menyusun lagi Bedhaya Sumreg
seiring dengan pendirian Kasultanan Yogyakarta. Dikisahkan pula saat Sri
Sultan Hamengkubuwana I melabuh di Pantai Parangkusuma, beliau disambut
dengan Bedhaya Sumreg yang ditarikan oleh para penari dari Pantai Selatan.
Bedhaya Sumreg ini mengkisahkan tentang sikap dan cara yang ditempuh oleh
para pemimipin dalam mengatasi berbagi persoalan di jamannya. Pesan yang
disampaikan oleh Bedhaya ini adalah agar kehidupan manusia di bumi
kembali saling menghargai dan menghormati segala bentuk perbedaan dengan
berlandaskan hubungan kekeluargaan, berbudaya, dan beragama.

Spoiler for Bedhaya Sumreg:


2. B
E
D
H
A
Y
A

SANG AMURWABHUMI
Salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh Sultan
Hamengku Buwana X. Karya tari ini merupakan legitimasi Sri Sultan
Hamengku Buwana X kepada swargi (almarhum Sri Sultan Hamengku
Buwana IX), yang mempunyai konsep filosofis, yakni setia kepada janji,
berwatak tabah, kokoh, toleran, selalu berbuat baik dan sosial, konsep dan ide
dasar tari ini dari Sri Sultan Hamengku Buwana X. Sedangkan koreografinya
oleh K.R.T.Sasmintadipura.
Bedhaya Sang Amurwabhumi dipentaskan pertama kali di Bangsal Kencono
pada saat pengangkatan dan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada
Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1990.
Bedhaya Sang Amurwabhumi ditarikan oleh sembilan putri (penari) dan
berdurasi dua setengah (2,5 ) jam, diiringi irama dramatik yang
menggambarkan kelembutan sebagai simbolisasi yang paling hakiki karena
setiap raja selalu mempunyai ekspresi dan konsep sendiri dalam setiap
pengabdian kepada rakyatnya dengan mencoba menggalang kepemimpinan
yang baik, melalui pola pikir untuk mengayomi dan mensejahterakan rakyat.

Bedhaya Sang Amurwabhumi seperti juga dengan bedhaya yang lain sesuai
dengan tradisi tetap mengacu pada patokan baku tari bedhaya. Dasar ceritanya
diambil dari Serat Pararaton atau Kitab Para Ratu Tumapel dan Majapahit,
yang selesai ditulis bertepetan pada hari Sabtu Pahing. Bedhaya Sang
Amurwabhumi mengambil sentral pada perkimpoian sang Amurwabhumi
(Ken Arok) dengan Prajnaparamita (Ken Dedes) mensimbolisasikan spirit
patriotisme dan filosofi kepemimpinan.

Spoiler for Bedhaya Sang Amurwabhumi:

3. B
E
D
H
A
Y
A
HERJUNA WIWAHA
Bedhaya ini menceritakan proses pengangkatan KGPH Mangkubumi menjadi
Sri Sultan HB X
Spoiler for Bedhaya Herjuno Wiwaha:

4. BEDHAYA SAPTA
Sesuai dengan namanya, bedhaya ini ditarikan oleh 7 orang penari (biasanya 9
orang penari). Bedhaya ini ciptaan Sri Sultan HB IX. Bedhaya ini bercerita
tentang 2 orang utusan Sultan Agung untuk menuju Batavia. dalam perjalanan
menuju Batavia kedua utusan itu harus menghadapi berbagai rintangan.
Akhirnya kedua utusan tersebut dapat melewati segala rintangan yang ada.

Spoiler for Bedhaya Sapta:

5. B
E
D
H
A
Y
A

SABDA AJI
Ditarikan oleh sembilan orang, bercerita tentang sabda (perintah) aji (raja)
atau perintah Sri Sultan HB IX kepada para empu tari untuk menyempurnakan
tari golek menak. Salah satu penari dalam Bedhaya Sabda Aji adalah putri
sulung Sri Sultan HB X, GKR Pembayun.
Spoiler for Bedhaya Sabda Aji:

6. BEDHAYA ANGRON SEKAR


Cerita dalam bedhaya ini adalah Sutawijaya yang menaklukan Arya
Penangsang. Istri Arya Penangsang, Angron Sekar, yang tahun kalau
pasangannya ditaklukkan Sutawijya bermaksud balas dendam. Namun
akhirnya justru Angron Sekar jatuh cinta terhadap Sutawijaya.
Bedhaya Angron Sekar ini merupakan karya dari K.R.T. Sasmintadipura.

Spoiler for Bedhaya Angron Sekar:


7. BEKSA GOLEK MENAK
Disebut juga atau Beksan Menak. Mengandung arti menarikan wayang Golek
Menak. Tari Golek Menak merupakan salah satu jenis tari klasik gaya
Yogyakarta yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IX.
Penciptaan tari Golek Menak berawal dari ide Sultan setelah menyaksikan
pertunjukkan Wayang Golek Menak yang dipentaskan oleh seorang dalang
dari daerah Kedu pada tahun 1941. Sri Sultan Hamengku Buwana IX sangat
terkesan menyaksikan pertunjukan wayang golek dari Kedu itu. Maka dibenak
beliau timbul ide untuk menarikan wayang golek itu di atas pentas.
Beksa Golek Menak bersumber dari cerita Menak Cina.

Spoiler for Beksa Golek Menak:

You might also like