You are on page 1of 4

LAPORAN AKHIR

PROFIL KOMODITAS BUNCIS


(2004)

Witono Adiyoga
Rachman Suherman
T. Agoes Soetiarso
Budi Jaya
Bagus Kukuh Udiarto
Rini Rosliani
Darkam Mussadad

Proyek/Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif


The Participatory Development of Agricultural Technology Project
(PAATP)

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN

2004
1
I. Pendahuluan

Nama latin untuk tanaman buncis adalah Phaseolus vulgaris dan termasuk ke dalam famili Leguminoseae.
Berdasarkan sistematika tumbuhan maka klasifikasi dari tanaman buncis adalah sebagai berikut :

a. Divisi : Spermatophyta
b. Subdivisi : Angiospermae
c. Kelas : Dicotyledonae
d. Ordo : Leguminales
e. Famili : Leguminoseae

f. Genus :Phas e olus


g. Species : Phaseolus vulgaris.

Tanaman buncis dapat dikelompokkan ke dalam kelompok kacang-kacangan (beans), yang berumur
pendek dan berbentuk semak atau perdu. Berdasarkan tipe pertumbuhannya, ada dua macam tanaman
buncis yaitu buncis tipe tegak dan tipe merambat. Tanaman tipe merambat banyak dikonsumsi dalam
bentuk polong buncis yang masih muda, sedangkan untuk tipe tegak umumnya yang dikonsumsi adalah
bijinya. Tanaman buncis tipe tegak biasa dikenal dengan “kacang jogo” yang berwarna merah, hitam,
kuning, cokelat tergantung dari varietasnya.

Tanaman buncis bukan tanaman asli Indonesia tetapi merupakan hasil introduksi (Rukmana, 1995).
Berdasarkan berbagai informasi tanaman buncis berasal dari benua Amerika tepatnya Amerika Utara dan
Amerika Selatan. Secara lebih spesifik diperoleh informasi, bahwa kacang buncis tipe tegak (kacang
jogo) merupakan tanaman asli di lembah Tahuacan (Meksiko). Penyebaran ke benua Eropa berlangsung
sejak abad ke-16 oleh orang-orang Spanyol dan Portugis. Daerah pusat penyebarannya mula-mula adalah
Inggris (tahun 1594), kemudian menyebar ke negara-negara lainnya di kawasan Eropa, Afrika, sampai ke
Asia. Di Amerika daerah penyebaran tanaman buncis terdapat di New York (tahun 1836), kemudian
meluas ke Wisconsin, Maryland, dan Florida. Tanaman ini mulai dibudidayakan secara komersil sejak
Tahun 1968 dan menempati urutan ke tujuh diantara sayuran yang dipasarkan di Amerika pada tahun
tersebut. Adapun “kapan” masuknya tanaman buncis ke Indonesia belum diperoleh informasi yang jelas,
tetapi daerah penanaman buncis pertama kali adalah di daerah Kotabatu (Bogor), kemudian menyebar ke
daerah-daerah sentra sayuran di Pulau Jawa.

II. Area, produksi dan produktivitas

Walaupun tanaman buncis bukan tanaman asli Indonesia, tetapi penyebarannya cukup meluas di wilayah
Indonesia. Tabel 1 berikut ini menggambarkan perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas
buncis di Indonesia selama periode tahun 1999 – 2003. Dilihat dari luas panen dari tahun 1999 sampai
dengan Tahun 2001 terjadi penurunan, tetapi di tahun 2002 luas panen kembali meningkat, bahkan di
tahun 2003 peningkatannya mencapai 22,38 %. Produksi nasional tertinggi terjadi di tahun 2000 yang
mencapai 302 624 hektar. Hal tersebut
2

disebabkan oleh tingginya produktivitas di tahun tersebut. Namun demikian, setelah tahun 2000
produktivitas mengalami penurunan dari tahun ke tahun, sehingga pada tahun 2003 hanya mencapai 7,59
ton per hektar. Hal tersebut mengindikasikan kurang optimalnya teknologi budidaya yang digunakan oleh
petani buncis.

Ada beberapa faktor penyebab belum baiknya teknologi yang digunakan oleh petani, diantaranya: 1)
teknologi yang direkomendasikan tidak dapat memecahkan permasalahan petani, 2) proses transfer
teknologi tidak berjalan dengan baik, atau 3) teknologi yang direkomendasikan belum tersedia
(Lionberger dan Gwin, 1991). Adapun untuk budidaya buncis, kemungkinan disebabkan oleh belum
tersedianya teknologi yang direkomendasikan. Hal tersebut berkaitan erat dengan skala prioritas program
penelitian sayuran. Selama ini buncis tidak dimasukkan sebagai sayuran yang mendapat prioritas untuk
diteliti, sehingga penelitian-penelitian untuk komoditas tersebut sangat terbatas (lihat sub bab hasil-hasil
penelitian).

Tabel 21
Produksi buncis di Indonesia, 1999-2003

Sumber: Survei Pertanian, BPS (berbagai tahun)


Berkaitan erat dengan tingkat adaptabilitasnya, pertanaman buncis di Indonesia tersebar terutama di
daerah dataran tinggi. Tabel 22 menunjukkan perkembangan areal tanam dan produksi di beberapa
propinsi penting penghasil buncis, serta data agregatnya. Berdasarkan data tersebut Propinsi Jawa Barat
merupakan sentra produksi terbesar di Indonesia dengan kontribusi sebesar 29,84 – 38,13% terhadap
produksi nasional selama periode 1999–2003. Propinsi lainnya sebagai sentra produksi terbesar setelah
Jawa Barat, tercatat Sumatera Utara, Jawa Timur, Bengkulu dan Jawa Tengah.

Ditinjau dari produktivitasnya, hasil yang dicapai Jawa Barat jauh di atas propinsi- propinsi lainnya.
Sebagai contoh pada tahun 2003 produktivitas buncis di Jawa Barat mencapai 13,53 ton per hektar,
sementara propinsi lainnya berkisar antara 2,13- 10,08 ton per hektar. Produktuvitas buncis di Jawa Barat
tersebut masih di atas produktivitas rata-rata Indonesia yang hanya mencapai 7,59 ton per hektar. Hal
tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa penggunaan teknologi di sentra produksi Jawa
Barat sudah lebih baik dibandingkan dengan propinsi lainnya.

You might also like