You are on page 1of 8

VAKSIN

Vaksin (dari kata vaccinia, penyebab infeksi cacar sapi yang ketika diberikan kepada
manusia, akan menimbulkan pengaruh kekebalan terhadap cacar), adalah bahan antigenik yang
digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat
mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi oleh organisme alami atau "liar".

Vaksin dapat berupa galur virus atau bakteri yang telah dilemahkan sehingga tidak
menimbulkan penyakit. Vaksin dapat juga berupa organisme mati atau hasil-hasil pemurniannya
(protein, peptida, partikel serupa virus, dsb.). Vaksin akan mempersiapkan sistem kekebalan
manusia atau hewan untuk bertahan terhadap serangan patogen tertentu, terutama bakteri, virus,
atau toksin. Vaksin juga bisa membantu sistem kekebalan untuk melawan sel-sel degeneratif
(kanker).

Sejarah

Sejarah vaksin tidak dapat dilepaskan dari nama seorang dokter Inggris yang lahir pada
17 Mei 1749, yaitu Edward Jenner. Pada 1796, suatu hari dalam hidup ilmuwan yang berasal dari
Berkeley, Gloucestershire, Inggris ini, datang kepadanya seorang wanita pemerah susu bernama
Sarah Nelmes yang mengeluhkan adanya nanah di tangannya. Jenner, dengan pisau tajam justru
mengambil materi nanah yang diketahui sebagai penyakit cacar menular pada sapi tersebut
(cowpox) dan memindahkannya ke lengan James Phipps, seorang anak tukang kebunnya yang
berusia 8 tahun. James lantas terkena cowpox, namun segera sembuh. Selanjutnya, Jenner
mengoleskan materi dari luka cacar air smallpox, penyakit mematikan yang mewabah saat itu, ke
luka yang ia buat di tangan James. Sebagaimana dugaan Jenner, James tidak terkena cacar.
Sesuatu yang berasal dari cowpox telah melindungi James.

Setelah percobaannya yang sukses tersebut, Jenner kembali melakukan percobaan


sebanyak 23 kasus yang sama, termasuk pada anak lelakinya yang berumur 11 bulan. Semua
detail penelitiannya ia kumpulkan dalam sebuah buku dengan titel "An inquiry into the causes
and effects of the variolae vaccinae, a disease discovered in some of the western counties of
England, particularly Gloucestershire, and known by the name of The Cow Pox". Dengan
keberhasilan Jenner ini, ilmu imunologi pun lahir. Penemuan Jenner tersebut dikenal sebagai
vaksinasi yang diambil dari bahasa latin sapi, yaitu vacca.

Namun, jauh sebelum penemuan Edward Jenner, vaksinasi sesungguhnya telah


dikembangkan di Cina pada awal tahun 200 sebelum masehi. Misalnya, vaksin dari serbuk luka
orang yeng terinfeksi cacar yang berhasil didokumentasikan berasal dari India dan China sekitar
abad 17. Penyakit cacar, saat itu melanda seluruh dunia dan mengakibatkan kematian sekitar 20-
30 persen orang yang terinfeksi. Beberapa tahun sebelum percobaan Jenner, juga setidaknya ada
6 orang yang mencoba melakukan imunisasi cacar yaitu seorang kebangsaan Inggris pada 1771,
Sevel dari Jerman sekitar tahun 1772, Jensen dari Jerman tahun 1770, Benjamin Jesty, Inggris,
tahun 1774, Rendall, Inggris tahun 1782, dan Peter Plett, Jerman, tahun 1796.

Seorang istri duta besar Inggris di Turki tahun 1716 hingga 1718 juga mengamati tradisi
vaksinasi Turki yang disebut Ashi, yaitu vaksinasi dengan mengoleskan lesi cacar sapi pada dada
ternak ke anak-anak mereka. Lady Mary Wortley Montagu, istri duta besar tersebut, meminta
ahli bedah kedutaan Charles Maitland, untuk melakukan metode vaksinasi tersebut pada anak
lelakinya. Lantas, ia menulis surat pada saudara dan teman-temannya di Inggris, menggambarkan
proses vaksinasi ala Turki secara lengkap. Ketika kembali ke Inggris, Lady Montagu tak putus
menyebarkan tradisi Turki tersebut dengan cara menyuntik koleganya.

Waktu berganti, ratusan tahun sejak momentum keberhasilan Edward Jenner, vaksin telah
digunakan untuk terapi berbagai penyakit. Louis Pasteur mengembangkan teknik vaksinasi pada
abad 19 dan mengaplikasikan pengguanaannya untuk penyakit anthrax dan rabies. Dengan
vaksin pula, beberapa penyakit besar yang melanda umat manusia dapat dikontrol atau dibatasi
penyebarannya. WHO mencatat tahun beberapa jenis vaksin pertama yang digunakan pada
manusia, yaitu cacar pada tahun 1798, Rabies tahun 1885, Pes tahun 1897, Difteri tahun 1923,
Pertusis tahun 1926, Tuberculosis (BCG) tahun 1927, Tetanus tahun 1927, Yellow Fever tahun
1935. Setelah perang dunia ke dua, pengembangan vaksin mengalami percepatan. Vaksin Polio
suntik pertama diaplikasikan pada manusia tahun 1955, sedangkan vaksin polio oral tahun 1962.
Selanjutnya campak tahun 1964, mumps tahun 1967, rubella tahun 1970, dan hepatitis B tahun
1981.
Membangun kekebalan tubuh

Sistem kekebalan mengenali partikel vaksin sebagai agen asing, menghancurkannya, dan
"mengingat"-nya. Ketika di kemudian hari agen yang virulen menginfeksi tubuh, sistem
kekebalan telah siap:

1. Menetralkan bahannya sebelum bisa memasuki sel; dan


2. Mengenali dan menghancurkan sel yang telah terinfeksi sebelum agen ini dapat berbiak.

Vaksin yang dilemahkan digunakan untuk melawan tuberkulosis, rabies, dan cacar; agen yang
telah mati digunakan untuk mengatasi kolera dan tifus; toksoid digunakan untuk melawan difteri
dan tetanus.

Meskipun vaksin sejauh ini tidak virulen sebagaimana agen "sebenarnya", bisa menimbulkan
efek samping yang merugikan, dan harus diperkuat dengan vaksinasi ulang beberapa tiap tahun.
Suatu cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan vaksinasi DNA. DNA yang menyandi suatu
bagian virus atau bakteri yang dapat dikenali oleh sistem kekebalan dimasukkan dan
diekspresikan dalam sel manusia/hewan. Sel-sel ini selanjutnya menghasilkan toksoid agen
penginfeksi, tanpa pengaruh berbahaya lainnya. Pada tahun 2003, vaksinasi DNA masih dalam
percobaan, namun menunjukkan hasil yang menjanjikan

Perkembangan vaksin

Louis Pasteur dan kawan kawan pada tahun 1880 telah menemukan cara vaksinasi untuk
pencegahan penyakit infeksi melalui penggunaan agen penyakit yang telah dilemahkan terlebih
dahulu, antara lain vaksin rabies yang berasal dari virus alam yang ganas (street virus) menjadi
virus yang tidak ganas (fix virus) setelah mengalami pasase berulang.

Vaksin attenuated ( vaksin hidup) yang telah dikembangkan antara lain terhadap
pasteurella multocida (pada ayam), vibrio cholera (pada manusia), anthrax (pada domba), rabies
(pada anjing). Selanjutnya tahun 1886 Salmon dan Smith di Amerika Serikat telah
memperkenalkan macam vaksin inaktif dengan menggunakan bakteri vibrio cholera yang
dimatikan dengan pemanasan.
Berdasarkan bahan imun yang digunakan ada dua jenis vaksin, yaitu vaksin hidup (aktif)
dan vaksin inaktif. Vaksin yang berasal dari virion secara utuh baik vaksin aktif maupun vaksin
inaktif tentu mempunyai kelemahan karena ada bagian tertentu yang harus dihilangkan yang
tidak bersifat imunogenik. Vaksin sub unit merupakan vaksin yang dibuat dari komponen virus
Teknik yang relatif baru dalam produksi vaksin adalah dengan melakukan kloning dari gen virus
melalui rekombinasi DNA, vaksin vektor virus dan vaksin antiidiotipe.

Vaksin hidup terbuat dari virus hidup yang dilemahkan dengan cara pasase berseri pada
biakan sel tertentu atau telur ayam berembrio. Dalam proses ini akumulasi dari mutasi umumnya
menyebabkan hilangnya virulensi virus secara progresif bagi inang aslinya. Didalam vaksin
mengandung virus hidup yang dapat berkembang biak dan merangsang respon imun tanpa
menimbulkan sakit.

Contoh vaksin hidup yang dilemahkan meliputi:


* Campak vaksin (sebagaimana ditemukan dalam vaksin MMR)
* Mumps vaksin (vaksin MMR)
* Rubella (campak Jerman) vaksin (vaksin MMR)
* Vaksin polio oral (OPV)
* Varicella (cacar air) Vaksin

Vaksin inaktif dihasilkan dengan menghancurkan infektivitasnya sedangkan


imunogenitasnya masih dipertahankan dengan cara; (1) fisik misalnya dengan pemanasan,
radiasi (2) chemist, dengan bahan kimia fenol, betapropiolakton, formaldehid, etilenimin.
Dengan perlakuan ini virus menjadi inaktif tetapi mereka masih dapat merangsang respon kekebalan
tubuh.

Contoh vaksin inaktif:


* Vaksin polio inaktif (IPV), yang merupakan bentuk suntikan vaksin polio
* Vaksin influenza inaktif

Vaksin ini sangat aman karena tidak infeksius, namun diperlukan jumlah yang banyak untuk
menimbulkan respon antibodi.
Vaksin sub unit merupakan vaksin yang dibuat dari bagian tertentu dari mikroorganisme
yang imunogenik secara alamiah misalnya hepatitis B, yang hanya terdiri dari protein permukaan
virus (sebelumnya diambil dari serum darah pasien yang terinfeksi kronis atau virus yang
dipisahkan dengan detergen misalnya influensa.

Vaksin idiotipe merupakan vaksin yang dibuat berdasarkan sifat bahwa FAB (fragment
antigen binding) dari antibodi yang dihasilkan oleh tiap klon sel B mengandung asam amino
yang disebut sebagai idiotipe atau determinan idiotipe yang dapat bertindak sebagai antigen.
Vaksin ini dapat menghambat pertumbuhan virus melalui netralisasai dan pemblokiran terhadap
reseptor pre sel B.

Vaksin conjugate, bakteri tertentu memiliki lapisan terluar (dinding sel) yang terbentuk
oleh polisakarida yang merupakan bagian lemah dari sistem kekebalan bakteri tersebut, Dengan
menghubungkan lapisan terluar ini pada protein (misalnya racun), maka dapat menyebabkan
sistem kekebalan tubuh mengenali polisakarida seolah-olah itu adalah antigen protein.
Pendekatan ini digunakan dalam Haemophilus influenzae tipe B vaksin.

Vaksin rekombinan memungkinkan produksi protein virus dalam jumlah besar. Gen
virus yang diinginkan diekspresikan dalam sel prokariot atau eukariot. Sistem ekspresi eukariot
meliputi sel bakteri E.coli, yeast, dan baculovirus. Dengan teknologi DNA rekombinan selain
dihasilkan vaksin protein juga dihasilkan vaksin DNA. Penggunaan virus sebagai vektor untuk
membawa gen sebagai antigen pelindung dari virus lainnya, misalnya gen untuk antigen dari
berbagai virus disatukan ke dalam genom dari virus vaksinia dan imunisasi hewan dengan
vaksin bervektor ini menghasilkan respon antibodi yang baik.

Sejumlah vaksin inovatif sintesis juga dalam pengembangan dan telah digunakan:

• Vaksin sel dendritik menggabungkan sel dendritik dengan antigen dalam rangka untuk
mempresentasikan antigen ke tubuh sel darah putih, sehingga merangsang reaksi imun.
Vaksin jenis ini telah menunjukkan beberapa hasil awal positif untuk mengobati tumor
otak.
• Rekombinan Vector - dengan mengkombinasikan fisiologi satu mikro-organisme dan
DNA yang lain, dapat diciptakan kekebalan terhadap penyakit infeksi yang kompleks
prosesnya.
• DNA vaksinasi - dalam beberapa tahun terakhir jenis baru yang disebut vaksinasi DNA,
dibuat dari agen DNA terinfeksi, yang telah dikembangkan. Ini bekerja dengan
penyisipan (dan ekspresi, yang memicu pengenalan system kekebalan) dari DNA virus
atau bakteri ke dalam sel-sel manusia atau hewan. Beberapa sel dari sistem kekebalan
yang mengenali protein asing akan beryambah jumlahnya dan menyerang. Karena sel-sel
tersebut hidup untuk waktu yang sangat lama, jika patogen yang biasanya menyatakan
protein ini dijumpai di lain waktu, mereka akan langsung diserang oleh sistem kekebalan
tubuh. Satu keuntungan dari vaksin DNA adalah bahwa sangat mudah dibuat dan
disimpan. Sampai tahun 2006, vaksinasi DNA masih percobaan.
• T-sel reseptor peptida dalam pengembangan vaksin untuk beberapa penyakit dengan
menggunakan model Valley Fever, stomatitis, dan atopic dermatitis. Peptida ini telah
ditunjukkan untuk memodulasi sitokin produksi dan meningkatkan imunitas diperantarai
sel.
• Target dari bakteri diidentifikasi protein yang terlibat dalam penghambatan melengkapi
akan menetralkan mekanisme virulensi bakteri kunci.

Sementara kebanyakan vaksin dibuat menggunakan dilemahkan tidak aktif atau senyawa dari
mikro-organisme, vaksin sintetis terdiri terutama atau seluruhnya dari peptida sintetis,
karbohidrat atau antigen.

Efektifitas vaksin

Vaksin lengkap tidak menjamin perlindungan dari suatu penyakit. Kadang-kadang hal ini
karena sistem kekebalan tubuh inang hanya tidak merespon secara memadai atau tidak sama
sekali. Hal ini mungkin karena penurunan kekebalan pada umumnya akibat diabetes,
penggunaan steroid, infeksi HIV, usia atau karena sistem kekebalan tubuh inang tidak memiliki
sel B yang mampu menghasilkan antibodi dengan antigen. Bahkan jika bakteri/virus
mengembangkan antibodi, sistem kekebalan tubuh manusia tidak sempurna dan dalam hal
apapun sistem kekebalan mungkin masih tidak dapat mengalahkan infeksi.
Ajuvan biasanya digunakan untuk meningkatkan respon kekebalan. Ajuvan alumunium
paling sering digunakan, tetapi ajuvan seperti squalene juga digunakan dalam beberapa vaksin
dan lebih banyak vaksin dengan squalene dan fosfat ajuvan sedang diuji. Besar dosis yang
digunakan dalam beberapa kasus untuk orang lanjut usia (50-75 tahun ke atas), yang kebal
tanggapan terhadap vaksin tertentu tidak kuat.

Keampuhan atau kinerja vaksin tergantung pada sejumlah faktor:

• penyakit itu sendiri (untuk beberapa penyakit lebih baik daripada melakukan vaksinasi
untuk penyakit lain)
• vaksin (beberapa vaksinasi untuk berbagai jenis penyakit)
• apakah seseorang terus terjadwal untuk vaksinasi
• untuk vaksin tertentu, yang berarti bahwa mereka tidak menghasilkan antibodi bahkan
setelah divaksinasi dengan benar
• faktor-faktor lain seperti etnis, umur, atau kecenderungan genetik

You might also like