You are on page 1of 15

CEMAS: NORMAL ATAU TIDAK NORMAL

Dra.JOSETTA MARIA REMILA TUPATTINAJA

Program Studi Psikologi


Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

BAB I
PENDAHULUAN

Bila dicermati lebih jauh, dapat dikatakan bahwa sejak tahun 1998 kehidupan
kita sebagai masyarakat di negeri Indonesia tercinta ini sering di warnai situasi yang
tidak nyaman. Beberapa kali terjadi perubahan dan kenaikan harga barang-barang
kebutuhan pokok maupun kebutuhan pendukung lainnya. Belum lagi kerusuhan yang
melanda di beberapa kota yang meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan sehari-hari
yang biasa dijalani dan menimbulkan trauma pada sebagian besar anggota
masyarakat, baik anak-anak maupun orang dewasa lainnya. Demonstrasi dari
berbagai kelompok masyarakat juga semakin marak. Jika dulu, di tahun 1980-an,
kegiatan demonstrasi merupakan hal yang unik dan menjadi tontonan walaupun
mendebarkan, sekarang justru relatif tidak mendapat perhatian masyarakat lagi.
Terlalu seringnya melihat atau mendengar kata demonstrasi membuat masyarakat
tidak gentar lagi dan bersembunyi di rumah. Mereka tetap menjalani rutinitas
kehidupan sehari-hari sebagaimana biasanya, asalkan tetap berhati-hati dan
menghindari daerah-daerah sasaran demonstrasi di gelar.

Ternyata serangkaian kejadian atau perubahan yang terjadi selama beberapa


tahun belakangan ini belum juga tuntas. Di awal tahun 2003, kembali masyarakat
Indonesia harus berhadapan dengan perubahan tarif dasar listrik, peningkatan biaya
telepon dan air serta harga BBM – yang tentu saja akan diikuti dengan serangkaian
perubahan harga-harga kebutuhan dasar pokok, yang tidak mau atau tidak dapat
ketinggalan, terpaksa harus ‘melonjak’.

Kondisi ini tidak hanya berpengaruh pada para pengusaha yang harus tetap
menjaga ritme produksi agar bisa terus memperoduksi, tetapi juga berpengaruh
pada rakyat kecil yang bertanya-tanya mengapa mereka juga harus menanggung
kesulitan ini.

Ketidak-mampuan seseorang dalam menghadapi perubahan yang demikian


cepat dan dirasakan semakin bertambah berat dapat menimbulkan perasaan cemas
karena ketidak-mampuan atau ketidak-berdaya untuk apa-apa selain mengikuti saja
alur keputusan yang ada dan berupaya melewati hari demi hari sebagaimana
adanya.

Kecemasan, yang menurut kamus lengkap psikologi disebut sebagai anxiety


ini, oleh Neale (2001) digambarkan sebagai suatu perasaan takut yang tidak
menyenangkan. Sebagaimana diketahui, perasaan manusia ada yang positif, seperti
bahagia, gembira, senang – tetapi ada juga yang negatif, seperti kecewa, bingung,
khawatir dan sebagainya. Tidak ada satupun dari kita yang memilih untuk
mengembangkan perasaan negatif. Tetapi seringkali kita tidak punya pilihan lain,
selain menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan dan harus masuk kedalam
perasaan yang negatif.

© 2003 Digitized by USU digital library 1


Ilustrasi cerita yang disampaikan Acocella dkk (1996) tentang Richard Benson
adalah salah satu contoh individu yang mengalami anxiety. Pria berusia 37 tahun ini
sering kelihatan seperti sedang mendapat serangan jantung secara tiba-tiba; dia
mengalami kesakitan di bagian dada dan jantung yang berdebar-debar, mati rasa
dan nafas yang pendek-pendek. Masa kecilnya memang pernah mengalami infeksi
pada kandung kemih dan ginjal tetapi sudah sembuh sejak usia 11 tahun. Namun
pengalamannya saat kecil membuat ia yakin dan memastikan dirinya belum sembuh
sehingga ia mudah panik dengan nafas yang pendek dan cepat jika berada di suatu
lokasi yang tidak dikenal sementara ia tidak menemukan kamar kecil saat ia merasa
butuh buang air kecil. Hal ini berkepanjangan hingga ia dewasa, ia tidak dapat
bertahan lama untuk melakukan pekerjaannya, apalagi yang menuntutnya untuk
pergi ke kantor lain yang sulit baginya untuk dapat segera menemukan kamar
mandi.

Kasus lain yang juga mencerminkan gejala anxiety adalah adanya rasa takut
yang berlebihan terhadap suatu objek atau situasi tertentu. Jika objek tersebut
adalah ular misalnya, maka kecemasan yang muncul dalam diri seseorang dapat
dikatakan sebagai suatu perasaan yang wajar dan memang sudah semestinya
demikian. Tetapi jika ternyata yang ditakutinya adalah terowongan, ruangan
tertutup, kerumunan orang atau berada di dalam lift, elevator dan sejenisnya maka
hal ini dapat menjadi eksklusif. Maksudnya adalah hanya dialami oleh beberapa
orang saja sementara sebagian besar orang lain umumnya tidak mengalami
kecemasan.

Sebenarnya masih banyak contoh kasus yang menceminkan adanya anxiety


dan perlu ditangani secara profesional sehubungan dengan pikiran atau perasaan
maupun tindakan mereka yang tidak lazim atau tidak umum dialami oleh
kebanyakan orang.

Masyarakat melihat normal-tidaknya suatu perilaku seseorang terpulang pada


dua pertanyaan dalam mendefinisikan istilah tidak-normal (abnormal), yang oleh
Acocella dkk (1996) di uraikan sebagai pertama, bagaimana masyarakat meletakkan
batasan antara perilaku yang dapat diterima (acceptable behavior) dan perilaku yang
tidak dapat diterima (unacceptable behavior). Kedua, masyarakat melihat perilaku
yang tidak dapat diterima (unacceptable behavior) sebagai gangguan (disorder)
daripada sekedar perilaku yang tidak diinginkan (undesirable).

Dengan gambaran seperti tersebut maka dapatkah dikatakan bahwa perasaan


cemas atau kecemasan atau anxiety menghadapi perubahan dan kesulitan hidup
yang beruntut merupakan suatu fenomena yang menggambarkan atau yang
mengarah ke perilaku yang normal, ataukah tidak-normal (abnormal) ?. Sementara
kita tahu bahwa setiap individu dalam menjalani kehidupan ini bisa saja secara sadar
atau tidak sadar, suka atau tidak suka harus masuk kedalam suatu situasi yang bisa
menimbulkan perasaan cemas.

© 2003 Digitized by USU digital library 2


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Batasan Perilaku Normal dan Tidak Normal (abnormal)


Acocella dkk (1996) memberikan beberapa kriteria dalam upaya memahami
apakah suatu perilaku dapat dikatakan normal atau tidak normal (abnormal),
walaupun mungkin yang paling umum adalah norma-norma yang ada dalam satu
masyarakat. Adapun kriteria tersebut adalah:
1. Norm Violation:
Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah mahluk sosial sehingga ia selalu
berada bersama-sama dengan manusia lain dalam satu komunitas. Di setiap
komunitas ada tata-cara atau norma-norma yang mengatur perilaku dari setiap
manusia yang di dalamnya saling berinteraksi satu dengan lainnya. Tata cara
atau norma ini merupakan aturan main yang bisa saja berlaku sama pada dua
atau beberapa komunitas, tetapi juga bisa berbeda. Oleh sebab itu, satu
perilaku yang diterima sebagai perilaku yang ‘benar’ bisa saja menjadi perilaku
yang ‘salah’ jika kita berada pada komunitas lain.

“Every human groups lives by a set of norms – rules that tell us what it it
‘right’ and ‘wrong’ to do, and when and where and with, whom.”

Jika lingkungan komunitas dimana seseorang itu berada termasuk kecil dan
terintegrasi dengan baik maka ketidak setujuan terhadap norma yang berlaku
juga semakin kecil. Sebaliknya, jika ternyata lingkungan komunitasnya besar
dan merupakan masyarakat yang kompleks lebih mungkin menimbulkan
ketidak-setujuan mengenai mana perilaku yang diterima dan mana yang tidak.

2. Statistical Rarity:
Kriteria ini berdasaran sudut pandang statistik yang menyatakan bahwa suatu
perilaku itu normal atau tidak normal (abnormal) tergantung pada dimana
perilaku tersebut muncul. Suatu perilaku dinyatakan abnormal jika berada pada
titik deviasi dari penyebaran rata-rata, baik itu rata-rata atas maupun rata-rata
bawah dari kurve normal.

“abnormality is any substantial deviation from a statistically


calculated average. Those who fall within the ‘golden mean’ – those,
in short, who do what most other people do – are normal, while
those behavior differs from what of the majority are abnormal.”

3. Personal Discomfort:
Penetapan suatu perilaku apakah normal atau tidak normal (abnormal)
tergantung pada penghayatan masing-masing individu atas pengalaman atau
aktivitas kehidupannya sehari-hari. Kriteria ini lebih liberal karena tidak
ditetapkan oleh pihak di luar dirinya sebagaimana dua kriteria sebelumnya,
melainkan ditentukan oleh normalitas keadaan diri mereka sendiri. Memang
kelemahan dari kriteria ini adalah karena tidak adanya standar untuk
mengevaluasi perilaku itu sendiri, tetapi banyak digunakan dalam sesi
psikoterapi dimana penetapan perilaku seseorang bukan dari orang lain tetapi
oleh diri mereka sendiri yang menetapkan apakah mereka merasa tidak bahagia
(unhappy) dengan beberapa aspek dalam kehidupannya.

“If people are content with their lives, then their lives are of no
concern to the mental health establishment. If, on the other hand,

© 2003 Digitized by USU digital library 3


they are distressed over their thoughts or behavior, then they
require treatment”

4. Maladaptive Behavior:
Kriteria ini bisa tumpang-tindih dengan kriteria pertama (norm violation) karena
perilaku normal atau tidak normal (abnormal) menurut kriteria ini berkaitan
dengan adaptif-tidaknya suatu perilaku. Jika seseorang menampilkan perilaku
yang sesuai dengan tuntutan lingkungan sekitar maka perilakunya termasuk
kategori normal. Sebaliknya, jika ternyata perilaku yang ditampilkan tidak
sesuai dengan tuntutan lingkungan sekitar maka perilakunya adalah perilaku
yang tidak-normal (abnormal).

“Many norms are rules for adapting our behavior to our own and our
society’s requirements”

5. Deviation from an Ideal:


Yang menjadi tolok ukur dalam menetapkan tidak normalnya (abnormal) suatu
perilaku adalah segala penyimpangan dari ideally well adjusted personality. Hal
ini berkaitan dengan teori-teori psikologis yang pada akhirnya membuat individu
mengatakan bahwa dirinya tidak normal atau minimal membutuhkan
penanganan psikologis, sekalipun tidak ada simptom-simptom yang nyata.

“Several psychological theories describes an ideally well-adjusted


personality, any deviation from which is interpreted as abnormal, to
a greater or lesser degree.”

6. A Combined Standard:
Psikolog saat ini lebih melihat suatu perilaku tidak hanya berdasarkan fakta-
fakta ilmu atau sekedar nilai-nilai sosial tetapi merupakan penggabungan dari
fakta dan nilai yang berlaku, sebagaimana yang dikombinasikan pada Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM).

“The definition of mental disorder must rest on both facts and


values.”

Maher dkk (dalam Acocella, 1996) mengemukan 4 kategori dasar dari suatu
perilaku sebagai indikasi dari gangguan mental, yaitu:
1. Tingkah laku yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain tanpa
memperhatikan minat dirinya.
2. Kontak realitas yang rendah.
3. Reaksi emosi yang tidak tepat terhadap situasi interaksi.
4. Tingkah laku yang erratic, yang tidak dapat diprediksikan.

Upaya memahami perilaku yang tidak normal (abnormal) juga disampaikan


oleh Neale dkk (2001). Kriteria yang diajukan hampir sama dengan yang diajukan
oleh Acocella dkk, yaitu yang berkaitan dengan statistical frequency dan violation of
norms, juga adanya personal distress yang relatif sama dengan kriteria ke-3 yaitu
personal discomfort. Tetapi selain ketiga hal tersebut, ia juga mengajukan kriteria
disability or dysfunction dan unexpectedness. Disability or dysfunction berkaitan
dengan terkendalanya individu dalam menjalani kegiatan di beberapa area
kehidupannya, seperti pekerjaan atau dalam menjalin hubungan personal karena
keabnormalannya. Distress dan disability dianggap abnormal ketika hal tersebut
merupakan respon yang tidak diharapkan terhadap stresor lingkungan.

© 2003 Digitized by USU digital library 4


Berdasarkan uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa suatu perasaan
cemas atau kecemasan atau anxiety dapat dikatakan normal jika :
1. Hampir seluruh atau sebagian besar orang lain juga mengalami kecemasan.
2. Individu itu sendiri tidak merasa terganggu secara emosional akan perasaan
cemasnya. Maksudnya, ia tahu bahwa ia cemas hanya saja hal tersebut tidak
membuatnya terkendala dalam menjalani aktivitas sehari-harinya, baik yang
berkaitan dengan aktivitas belajar, pekerjaannya maupun dalam kehidupan sosial
sehari-hari/bergaul. Ia bisa tetap berkarya serta memahami dan mentaati
peraturan atau norma sosial yang berlaku.

Jika ternyata individu mengalami hal yang justru sebaliknya, maka dapat dikatakan
bahwa anxiety yang dialami tidak-normal.

II. 2.Gambaran tentang Anxiety


Neale dkk (2001) mengatakan bahwa anxiety sebagai perasaan takut yang
tidak menyenangkan dan apprehension, dapat menimbulkan beberapa keadaan
psikopatologis sehingga mengalami apa yang disebut gangguan kecemasan atau
anxiety disorder. Walaupun sebagai orang normal, diakui atau tidak, kita bisa saja
mengalami anxiety, namun anxiety pada orang normal berlangsung dalam intensitas
atau durasi yang tidak berkepanjangan sehingga individu dapat tetap memberikan
respon yang adaptif.
Untuk memahami anxiety yang mempengaruhi beberapa area dari fungsi-
fungsi individu, Acocella dkk (1996) mengatakan bahwa anxiety seharusnya
melibatkan atau memiliki 3 komponen dasar, yaitu :
1. Adanya ungkapan yang subjektif (subjective reports) mengenai ketegangan,
ketakutan dan tidak adanya harapan untuk dapat mengatasinya.
2. Respon-respon perilaku (behavioral responses), seperti menghindari situasi yang
ditakuti, kerusakan pada fungsi bicara dan motorik, dan kerusakan tampilan
untuk tugas-tugas kognitif yang kompleks.
3. Respon-respon fisiologis (physiological responses), termasuk ketegangan otot,
peningkatan detak jantung dan tekanan darah, nafas yang cepat, mulut yang
kering, nausea, diare dan dizziness.
Akhirnya, anxiety menjadi gangguan dan diagnosa anxiety disorder dapat
ditegakkan ketika individu menyatakan bahwa ada perasaan cemas yang secara
nyata dialami secara subjektif dan hal ini mengganggu aktivitas sehari-hari serta
menimbulkan beberapa respon fisiologis yang tidak nyaman. Anxiety dapat dialami
dalam beberapa cara yang variatif.

II.2.a. Jenis-jenis anxiety disorder


Untuk dapat memahami anxiety disorder secara menyeluruh maka menurut
Neale dkk (2001) ada 6 kategori utama yang termasuk di dalamnya, yaitu terdiri
dari:
1. Panic Disorder, yang umumnya diawali dengan panic attacks atau serangan
panik berulang yang ditandai dengan adanya gejala fisiologis, seperti pusing,
detak jantung yang cepat, gemetar, perasaan tercekik dan ketakutan ‘menjadi
gila’ atau ‘mau mati’.
2. Generalized Anxiety Disorder dikarateristikan dengan kekhawatiran yang tidak
dapat dikuasai dan menetap, biasanya terhadap hal-hal yang sepele/tidak utama.
3. Phobia yaitu perasan takut dan menghindar terhadap objek atau situasi yang
realitanya atau kenyataannya tidak berbahaya.

© 2003 Digitized by USU digital library 5


4. Obssessive-compulsive disorder ditandai dengan adanya ide-ide dalam pikiran
yang muncul secara berulang-ulang dan tidak terkendali, serta menimbulkan
perilaku yang berulang atau adanya tindakan mental.
5. Posttraumatic stress disorder merupakan akibat dari pengalaman traumatik dari
suatu kejadian disertai gejala peningkatan arousal dan dorongan kuat untuk
menghindari stimulus yang berhubungan dengan trauma tersebut.
6. Acute stress disorder, gejalanya sama dengan posttraumatic stress disorder yang
terjadi secara langsung dan bertahan selama 4 minggu atau kurang.

Sedangkan yang diajukan oleh Acocella dkk (1996) adalah adanya 3 pola
dasar dalam memahami gejala-gejala anxiety disorder yang dialami oleh seseorang,
yaitu yang berkaitan dengan panic disorder dan generalized anxiety disorder,
phobias serta obsessive compulsive disorder. Secara umum dikatakan bahwa
kecemasan pada penderita panic disorder dan generalized anxiety disorder tidak
terfoukus :

“..either it is with the person continually or it seems to descend ‘out of


nowhere’, unconnected to any special stimulus.”

Pada phobia, ketakutan muncul/ditimbulkan oleh suatu objek atau situasi yang di
identifikasikan sebagai hal yang menakutkan, walaupun sebenarnya baik objek
maupun situasi itu sendiri tidaklah menakutkan. Sementara pada penderita
obsessive compulsive disorder, kecemasan muncul ketika ia tidak mampu
memutuskan kaitan antara munculnya pemikiran-pemikiran secara intens
dengan/atau tidak diikuti dengan memunculkan perilaku-perilaku tertentu yang sulit
untuk dikontrol.

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (1994) memberikan


gambaran yang lebih rinci mengenai gangguan-gangguan tersebut diatas. Namun
perlu diingat bahwa ada beberapa gejala yang muncul pada satu gangguan dapat
juga muncul pada gangguan lain. Hal ini disebut sebagai cormobidity (Neale dkk,
2001) :

“Often someone with one anxiety disorder meets the diagnostic criteria
for another disorder as well”

Oleh sebab itu, kita perlu memahami dengan jelas dan pasti persamaan dan
perbedaan yang esensi dari masing-masing gangguan agar tidak terjadi kekeliruan
dalam menegakkan diagnosa.

Sehubungan dengan situasi negara kita yang belum stabil yang dapat
menimbulkan perasaan tidak nyaman/ketegangan yang juga berdampak pada
kelancaran pelaksanaan kegiatan rutinitas sehari-hari maka pembahasan mengenai
anxiety disorder akan dibatasi pada panic disorder dan generalized anxiety disorder.
Berikut ini akan disampaikan ciri-ciri diagnostik dari panic disorder dan generalized
anxiety disorder sebagaimana yang di paparkan pada Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder IV (1994).

II.2.a.1. Panic disorder


Sesuai dengan DSM IV, Acocella dkk (1996) mengatakan bahwa individu
disebut mengalami panic disorder jika ia secara berulang-ulang mengalami serangan

© 2003 Digitized by USU digital library 6


panik (panic attacks) yang tidak diharapkan, dan keadaan ini menimbulkan masalah
secara psikologis ataupun perilaku :

“A person has panic disorder when she or he has had recurrent


unexpected panic attacks, followed by psychological or behavioral
problems – that is implications or consequences of the attack, or
significant changes in behavior (e.g., staying home from work) as a
result of the attacks.”

Ciri-ciri diagnostik dari panic attacks oleh DSM IV (1994) digambarkan secara
terpisah karena keadaan ini terjadi dalam beberapa konteks yang berbeda pada
anxiety disorder. Adapun ciri-ciri dari keadaan panic attacks adalah :
1. Munculnya rasa takut yang sangat kuat atau ketidak-nyamanan yang disertai
paling sedikit 4 dari 13 gejala somatis atau kognitif berikut ini :
- Jantung berdebar-debar.
- Berkeringat.
- Gemetar.
- Perasaan nafas semakin sulit atau sesak atau tercekik.
- Perasaan susah menelan.
- Sakit di dada atau perasaan ‘tidak enak’.
- Mual atau gangguan pada perut.
- Pusing.
- Perasaan takut kehilangan kendali atau ‘menjadi gila’.
- Perasaan takut mati.
- Paresthesias.
- Perasaan dingin atau panas.
- Depersonalisasi atau derealisasi
Neale dkk (2001) menggambarkan depersonalisasi sebagai :

“a feeling of being outside one’s body.”

Sedangkan derealisasi digambarkan sebagai :

“a feeling of the world’s not being real, as well as fears of losing


control, of going crazy, or even of dying may beset and overhelm the
patient.”

2. Pemunculannya ini secara tiba-tiba dan memuncak secara cepat, biasanya dalam
waktu 10 menit atau lebih disertai adanya perasaan bahwa bahaya akan terjadi
sehingga timbul dorongan untuk melarikan diri.

Ada 3 jenis karakteristik dari panic attack dengan hubungan yang berbeda
antara serangan dari attack dan ada-tidaknya pemicu situasi :
1. Unexpected panic, yaitu serangan dari panic attack tidak ada hubungannya
dengan pemicu situasi panik. Hal ini biasa muncul pada individu yang mengalami
panic disorder - dengan atau tanpa agoraphobia. Yang dimaksud dengan
agoraphobia adalah keadaan cemas yang terjadi pada situasi dimana melarikan
diri mungkin akan sulit atau terhambat, atau tidak adanya pertolongan yang bisa
diharapkan saat terjadi panic attack.

2. Situational bound (cued) panic attack yaitu munculnya panic attack secara tiba-
tiba dalam waktu yang bervariasi, atau merupakan antisipasi dari isyarat/pemicu
situasi. Hal ini biasanya muncul pada social phobia atau social anxiety disorder

© 2003 Digitized by USU digital library 7


maupun pada spesific phobia. Yang dimaksud dengan social phobia atau social
anxiety disorder adalah ketakutan yang menetap terhadap satu atau lebih situasi
sosial, yang diakui oleh individu sebagai perasaan yang berlebihan dan tidak
beralasan sehingga menimbulkan perasaan sensitif terhadap kritikan, evaluasi
negatif atau penolakan serta menimbulkan perasaan harga diri yang rendah.
Contoh sederhana dari social phobia adalah adanya sikap menghindar makan di
pinggir jalan misalnya sehubungan dengan adanya perasan khawatir akan
penilaian negatif dari orang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan spesific
phobia adalah ketakutan yang menetap, yang tidak beralasan dan berlebihan
sebagai akibat dari kehadiran atau antisipasi terhadap objek atau situasi tertentu.
Perasaan takut ini disadari oleh yang bersangkutan tetapi tidak dapat
dikendalikan dan akan menjadi gangguan jika sudah sampai mengganggu
rutinitas sehari-hari. Contohnya, individu tidak mau makan di kantor hanya
karena ia khawatir akan tercekik.

3. Situationally predisposed panic attack terjadi jika panic atttack terjadi justru
disaat individu mengendalikan diri atau sewaktu individu mengalami anxiety
setelah pengendalian diri berlangsung selama setengah jam.

Karena khawatir terhadap panic attacks dan implikasinya, banyak individu


yang akhirnya melaporkan adanya perasaan anxiety yang menetap atau sebentar
tanpa terkait pada suatu situasi atau peristiwa yang khusus. Hal ini kemudian akan
berkembang menjadi gangguan panik (panic disorder). Untuk dapat menegakkan
diagnosa adanya panic disorder, perhatikan ciri-ciri diagnostik utama sebagaimana
yang digambarkan pada DSM IV (1994), yaitu sebagai berikut:
A. Pemunculan kembali panic attacks yang tidak diharapkan secara berulang-ulang
yang diikuti 1 bulan atau lebih salah satu/lebih hal-hal berikut ini:
- Bersifat menetap tentang adanya attacks.
- Khawatir terhadap implikasi dari attacks.
- Perubahan pada perilaku tertentu sehubungan dengan attacks.
B. Tidak adanya agoraphobia.
C. Panic attacks tidak berhubungan langsung dengan efek fisiologis dari pengaruh
zat kimia ataupun kondisi umum medis.
D. Panic attacks tidak dapat memberikan penjelasan yang lebih baik dari gangguan
mental lainnya, seprti social phobia, spesific phobia, obsessive compulsive
disorder, posttraumatic stress disorder ataupun separation anxiety disorder.

Pada DSM IV (1994), panic disorder juga di diagnosa dengan atau tanpa
agographobia. Hal ini juga diungkapkan oleh Neale dkk (2001) sebagai berikut :

“In DSM IV, panic disorder is diagnosed as with or without


agofraphobia. Agoraphobia (from the Greek agora, meaning
‘marketplace’) is a cluster of fears centering on public places and being
unable to escape or find help should one become incapacitated.”

Jadi, individu yang mengalami panic disorder with or without agoraphobia ditandai
dengan ada-tidaknya perilaku menghindar (avoidant behavior). Penghindaran ini
diasosiasikan dengan ketakutan akan mengalami panic attacks mengenai tempat
atau situasi dimana sulit untuk melarikan diri atau tidak mungkin mendapat bantuan.

II.2.a.2. Generalized Anxiety Disorder


Individu dengan gangguan generalized anxiety akan terus-menerus merasa
khawatir tentang hal-hal yang kecil/sepele tetapi kekhawatiran ini berlebihan, tidak

© 2003 Digitized by USU digital library 8


dapat dikontrol dan menyangkut beberapa aspek kehidupan. Acocella dkk (1996)
mengatakan bahwa :

“As the name suggest, the main feature of generalized anxiety


disorder is a chronic state of diffuse anxiety. DSM IV defines the
syndrome as exessive worry, over a period of at least six months,
about several life circumstances. The most common areas of worry are
family, money, work, and health (Rapee & Barlow,1993).”

Beberapa individu yang normal bisa saja cemas terhadap berbagai hal, tetapi
jika berlebihan dan tidak mampu dikendalikan maka inilah yang akhirnya menjadi
gangguan. Individu dengan generalized anxiety disorder seoleh-olah menunggu
‘sesuatu yang buruk’ akan terjadi pada diri mereka sehingga merasa merasa gelisah,
mudah terpengaruh dan sulit konsentrasi.

DSM IV (1994) menggambarkan ciri-ciri diagnostik dari gangguan ini agar


dapat ditegakkannya diagnosa yang tepat. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
A. Adanya kecemasan dan keresahan yang berlebihan (apprehensive expectation)
yang terjadi sehari-hari sampai minimal 6 bulan, mengenai sejumlah kegiatan
atau kejadian seperti pekerjaan, sekolah).
B. Individu sulit mengkontrol keresahannya.
C. Kecemasan dan keresahan diasosiasikan dengan 3 atau lebih gejala berikut ini
(beberapa gejala hadir dalam beberapa hari sampai sedikitnya 6 bulan) :
- Kurang istirahat atau merasa terkurung/terkunci.
- Mudah lelah atau kelelahan yang berlebihan.
- Sulit konsentrasi atau pikiran kosong.
- Mudah tersinggung.
- Ketegangan otot.
- Gangguan tidur (sulit tidur atau semakin banyak tidur ataupun tidur tidak
puas).
D. Kecemasan, keresahan atau gejala fisik yang disebabkan distress klinis atau
kelemahan pada sosial, pekerjaan atau area penting lainnya.
E. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari substansi
(pengobatan) ataupun kondisi umum medis.

Disamping generalized anxiety disorder, gangguan kecemasan juga bisa


muncul sebagai akibat dari kondisi umum medis (anxiety disorder due to general
medical condition) ataupun yang merupakan efek langsung dari pemakaian
substansi-substansi tertentu (substance-induce anxiety disorder). Dua kondisi ini di
diagnosa terpisah dari general anxiety disorder karena mereka memiliki ciri-ciri
diagnostik tersendiri.

Yang termasuk dalam anxiety disorder due to ... (indicated the general
medical condition) dikarakteristikan sebagai berikut :
1. Kecemasan yang menonjol (prominent anxiety), panic attacks atau obsessive
compulsive yang dominan pada gambar klinis.
2. Adanya keterangan bahwa gangguan adalah akibat langsung fisiologis terhadap
kondisi umum medis.
3. Gangguan tersebut tidak menyebabkan gangguan mental lainnya.
4. Diagnosa tidak dibuat jika gejaka kecemasan terjadi hanya dalam keadaan
delirium, seperti dalam keadaan koma atau penurunan kesadaran.
5. Gejala kecemasan membuat terkendalanya aktivitas kerja, jalinan hubungan
sosial atau daerah fungsi penting lainnya.

© 2003 Digitized by USU digital library 9


Sedangkan diagnosa subtance-induced anxiety disorder ditegakkan jika
memiliki ciri-ciri diagnostik yang relatif sama dengan digambarkan pada anxiety
disorder due to ... (indicated the general medical condition), hanya saja perlu adanya
keterangan dari sejarah atau pemeriksaan fisik atau laboratorium bahwa gambaran
klinis berlangsung dalam satu bulan berkaitan dengan subtance intoxication atau
withdrawal sehingga dapat dikatakan bahwa pemakaian obat-obatan merupakan
penyebab yang berhubungan langsung dengan gangguan.

Jika ternyata individu menampilkan gejala adanya kecemasan yang menonjol


(prominent anxiety) atau phobic avoidance yang kriteria lainnya tidak ditemukan
pada gangguan kecemasan lainnya, atau berkaitan dengan gangguan penyesuaian
diri (adjustment disorder with anxiety) maka ia dapat di diagnosa mengalami anxiety
disorder not otherwise specified. Jadi, ahli klinis harus menyimpulkan ada tampilan
anxiety disorder tetapi tidak dapat ditentukan apakah hal itu primer, atau karena
general medical disorder, atau substance induce.

II.2.b. Etiologi Anxiety Disorder


Upaya untuk menjelaskan penyebab dari munculnya anxiety disorder,
Accocella dkk (1976) memaparkannya dari beberapa sudut pandang teori. Menurut
para ahli psikodinamika, anxiety disorder bersumber pada neurosis, bukan
dipengaruhi oleh ancaman eksternal tetapi lebih dipengaruhi oleh keadaan internal
individu :

“Psychodynamic theorists view the anxiety disorder as neuroses


resulting from uncounscious conflicts between id impulses and ego
actions.”

Sebagaimana diketahui, Sigmund Freud sebagai bapak dari pendekatan


psikodinamika mengatakan bahwa jiwa individu diibaratkan sebagai gunung es.
Bagian yang muncul dipermukaan dari gunung es itu, bagian yang terkecil dari
kejiwaan yagn disebut sebagai bagian kesadaran (uncounsciousness). Agak di bawah
permukaan air adalah bagian yang disebut pra-kesadaran (subcounsciousness atau
pre-counsciousness), dan bagian yang terbesar dari gunung es itu ada di bawah
sekali dari permukaan air, dan ini merupakan alam ketidak-sadaran
(uncounsciousness). Ketidak-sadaran ini berisi id, yaitu dorongan-dorongan primitif,
belum dipengaruhi oleh kebudayaan atau peraturan-peraturan yang ada di
lingkungan. Dorongan-dorongan ini ingin muncul ke permukaan/ke kesadaran,
sedangkan tempat di atas sangat terbatas. Ego, yang menjadi pusat dari kesadaran,
harus mengatur dorongan-dorongan mana yang boleh muncul dan mana yang tetap
tinggal di ketidak-sadaran karena ketidak-sesuaiannya dengan superego, yaitu salah
satu unit pribadi yang berisi norma-norma sosial atau peraturan-peraturan yang
berlaku di lingkungan sekitar. Jika ternyata ego menjadi tidak cukup kuat menahan
desakan atau dorongan ini maka terjadilah kelainan-kelainan atau gangguan-
gangguan kejiwaan. Neurosis adalah salah satu gangguan kejiwaan yang muncul
sebagai akibat dari ketidak-mampuan ego menahan dorongan id. Acocella dkk
(1996) menggambarkannya sebagai berikut :

“The neurotic individual experiences conscious anxiety over these


conflicts or keeps the anxiety at bay through rigid defense
menchanism.”

© 2003 Digitized by USU digital library 10


Jadi, individu yang mengalami anxiety disorder, menurut pendekatan psikodinamika,
berakar dari ketidak-mampuan egonya untuk mengatasi dorongan-dorongan yang
muncul dari dalam dirinya sehingga ia akan mengembangkan mekanisme
pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri ini sebenarnya upaya ego untuk
menyalurkan dorongan dalam dirinya dan bisa tetap berhadapan dengan lingkungan.
Tetapi jika mekanisme pertahanan diri ini dipergunakan secara secara kaku, terus-
menerus dan berkepanjangan maka hal ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak
adaptif dan tidak realistis. Ada beberapa mekanisme pertahanan diri yang bisa
dipergunakan individu, antara lain :
1. Represi (repression), yaitu upaya ego untuk menekan pengalaman yang tidak
menyenangkan dan dirasakan mengancam ego masuk ke ketidak-sadaran
dan disimpan disana agar tidak mengganggu ego lagi. Tetapi sebenarnya
pengalaman yang sudah disimpan itu masih punya pengaruh tidak langsung
terhadap tingkah laku si individu.
2. Rasionalisasi (rasionalisation), yaitu upaya ego untuk melakukan penalaran
sedemikian rupa terhadap dorongan-dorongan dalam diri yang dilarang tampil
oleh superego, sehingga seolah-olah perilakunya dapat dibenarkan.
3. Kompensasi (compensation), yaitu upaya ego untuk menutupi kelemahan
yang ada di salah satu sisi kehidupan dengan membuat prestasi atau
memberikan kesan sebaliknya pada sisi lain. Dengan demikian, ego terhindar
dari ejekan atau rasa rendah diri.
4. Penempatan yang keliru (displacement), yaitu upaya ego untuk
melampiaskan suatu perasaan tertentu ke pihak lain atau hal lain karena
tidak bisa melampiaskan secara langsung perasaannya ke sumber masalah.
5. Regresi (regression), yaitu upaya ego untuk menghindari kegagalan-
kegagalan atau ancaman terhadap ego dengan menampilkan pikiran atau
perilaku yang mundur kembali ke taraf perkembangan yang lebih rendah.

Para ahli dari aliran humanistik-eksistensial mengatakan bahwa konsep


anxiety bukan hanya sekedar masalah yang bersifat individual, tetapi juga
merupakan hasil konflik antara individu dengan masyarakat atau lingkungan
sosialnya. Acocella dkk (1996) menjabarkannya sebagai berikut :

“... they see anxiety not just as an individual problem but as the
outcome of conflicts between the person’s self concept and society’s
ideal.”

Jika individu melihat perbedaan yang sangat luas antara pandangannya tentang
dirinya sendiri dengan yang diinginkannya maka akan muncul perasaan inadekuat
dalam menghadapi tantangan di kehidupan ini, dan hal ini menghasilkan kecemasan
atau anxiety. Jadi, menurut pandangan humanist-eksistensialis, pusat kecemasan
adalah konsep diri; yang terjadi sehubungan dengan adanya gap antara konsep diri
yang sesungguhnya (real sefl) dengan diri yang diinginkan (ideal self). Hal ini muncul
sehubungan dengan tidak adanya kesempatan bagi individu untuk
mengaktualisasikan dirinya sehingga perkembangannya menjadi terhalang.
Akibatnya, dalam menghadapi tantangan atau kendala dalam menjalani hari-hari
dikehidupan selanjutnya, ia akan mengalami kesulitan untuk membentuk konsep diri
yang positif. Setiap kita sebenarnya perlu mengembangkan suatu upaya untuk
menjadi diri sendiri (authenticity), sedangkan individu yang neurotis atau yang
mengalam anxiety disorder adalah individu yang gagal menjadi diri sendiri
(inauthenticity) karena mereka mengembangkan konsep diri yang keliru/palsu (false
self).

© 2003 Digitized by USU digital library 11


Sementara para ahli dari pendekatan behavioristik mengatakan bahwa
kecemasan muncul karena terjadi kesalahan dalam belajar, bukan hasil dari konflik
intrapsikis/unconsciousness conflict; individu belajar menjadi cemas. Hal ini
digambarkan oleh Acocella dkk (1996) sebagai berikut :

“... people may also learn to associate a neutral stimulus with the
anxiety-producing stimulus and then be conditioned to habitually avoid
that stimulus.”

Ada 2 tahapan belajar yang berlangsung dalam diri individu, yang menghasilkan
kecemasan, yaitu :
1. Dalam pengalaman individu, beberapa stimulus netral, tidak berbahaya atau
tidak menimbulkan kecemasan, dihubungan dengan stimulus yang
menyakitkan (aversive) akan menimbulkan kecemasan (melalui respondent
conditioning).
2. Individu yang menghindar dari stimulus yang sudah terkondisi, dan sejak
penghindaran ini menghasilkan pembebasan/terlepas dari rasa cemas, maka
respon menghindar ini akan menjadi kebiasaan (melalui operant
conditioning).

Dari sudut pandang kognitif, anxiety disorder terjadi karena adanya


kesalahan dalam mempersepsikan hal-hal yang menakutkan, yang oleh Acocella dkk
(1996) dijabarkan sebagai berikut :

“... people with anxiety disorder misperceive or misinterpret internal


and external stimuli. Events and sensations that are not really
threatening are interpreted as threatening, and anxiety result.”

Berdasarkan dari teori kognitif, masalah yang terjadi pada individu yang mengalami
anxiety disorder adalah terjadinya kesalahan persepsi atau kesalahan interpretasi
terhadap stimulus internal ataupun eksternal. Individu yang mengalami anxiety
disorder akan melihat suatu hal yang tidak benar-benar mengancam sebagai sesuatu
yang mengancam. Jika individu mengalami pengalaman sensasi dalam tubuh yang
tidk biasa, lalu menginterpretasikannya sebagai sensasi yang bersifat catastropic,
yaitu suatu gejala bahwa ia sedang mengalami sesuatu hal seperti serangan jantung,
maka akan timbul rasa panik. Kegiatan interpretasi negatif terhadap sensasi tubuh
dapat menghasilkan panic attack yang kemudian dapat berkembang menjadi panic
disorder.

II.2.c. Penanganan terhadap Anxiety Disorder


Upaya menangani anxiety disorder juga dapat dijelaskan melalui pendekatan
psikodinamika, humanistik-eksistensialis atau pendekatan behavioristik maupun
kogntitif.

Menurut para ahli psikodinamika, karena gangguan ini berakar pada keadaan
internal individu sehubungan dengan adanya konflik intrapsikis yang dialami individu
sehingga ia mengembangkan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri, maka upaya
menanganinya juga terarah pada pemberian kesempatan bagi individu untuk
mengeluarkan seluruh isi pikiran atau perasaan yang muncul dalam dirinya.
Asumsinya adalah jika individu bisa menghadapi dan memahami konflik yang
dialami, ego akan lebih bebas dan tidak harus terus berlindung di balik mekanisme

© 2003 Digitized by USU digital library 12


pertahanan diri yang dikembangkannya. Hal ini oleh Acocella dkk (1996)
digambarkan sebagai berikut :

“The goal of psychodynamic therapy is to remedy this situation by


exposing and neutralizing the material that the ego is wasting its
energy trying to repress”
Tehnik dasar yang digunakan disebut free association; individu diminta untuk
menjelaskan secara sederhana tentang hal-hal yang ada dalam pikirannya, tanpa
melihat apakah itu logis atau tidak, tepat atau tidak, ataupun pantas atau tidak. Hal-
hal dari alam bawah sadar atau tidak sadar yang diungkapkan akan dicatat oleh
terapis untuk diinterpretasikan. Tehnik ini juga bisa dimanfaatkan saat menggunakan
tehnik dream interpretation; individu diminta untuk menceritakan mimpinya secara
detail dan tepat. Masing-masing tehnik ini memiliki kelebihan dan kelemahan
masing-masing. Dalam melaksanakan tehnik-tehnik tersebut di atas, ada dua hal
yang biasanya muncul, yaitu apa yang disebut dengan resistance (yaitu individu
bertahan atau beradu argumen dengan terapis saat terapis mulai sampai pada
bagian yang sensitif), dan transference (yaitu individu mengalihkan perasaannya
pada terapis dan menjadi bergantung.

Sementara para ahli dari pendekatan humanistik-eksistensial yang melihat


kecemasan sebagai hasil konflik diri yang terkait dengan keadaan sosial dimana
pengembangan diri menjadi terhambat, maka mereka lebih menyarankan untuk
membangun kembali diri yang rusak (damaged self). Tehniknya sering disebut
sebagai client centered therapy yang berpendapat bahwa setiap individu memiliki
kemampuan yang positif yang dapat dikembangkan sehingga ia membutuhkan
situasi yang kondusif untuk mengeksplorasi dirinya semaksimal mungkin. Acocella
dkk (1996) menggambarkan pendapat Carl Rogers, yang mendesain client centered
therapy ini sebagai berikut :

“...psychological troubleed people need is not to be analyzed or


advised but simply to be ‘heard’ – that is to be trully understood and
respected by another human being.”

Setiap permasalahan yang dialami oleh setiap individu sebenarnya hanya dirinyalah
yang paling mengerti tentang apa yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu,
individu itu sendirilah yang paling berperan dalam menyelesaikan permasalahan
yang mengganggu dirinya.

Karena para ahli melihat kecemasan sebagai hasil dari belajar (belajar
menjadi cemas) maka untuk menanganinya perlu dilakukan pembelajaran ulang agar
terbentuk pola perilaku baru, yaitu pola perilaku yang tidak cemas. Oleh Acocella dkk
(1996) digambarkan sebagai berikut :
“For the anxiety disorders behaviorists have evolved a set of related
techniques aimed at reducing anxiety through graduated exposure to
the feared stimulus.”

Tehnik yang digunakan untuk mengurangi kecemasan adalah systematic


desentisitization, yaitu megnurangi kecemasan dengan menggunakan konsep
hirarkhi ketakutan, menghilangkan ketakutan secara perlahan-lahan mulai dari
ketakutan yang sederhana sampai ke hal yang lebih kompleks. Pemberian
reinforcement (penguat) juga dapat digunakan dengan secara tepat memberikan
variasi yang tepat antara pemberian reward – jika ia memperlihatkan perilaku yang
mengarah keperubahan ataupun punishment – jika tidak ada perubahan perilaku

© 2003 Digitized by USU digital library 13


atau justru menampilkan perilaku yang bertolak belakang dengan rencana
perubahan perilaku. Adanya model yang secara nyata dapat dilihat dan menjadi
contoh langsung kepada individu juga efektif dalam upaya melawan pikiran-pikiran
yang mencemaskan.

Pendekatan kognitif yang melihat anxiety disorders sebagai hasil dari


kesalahan dalam mempersepsi ancaman (misperception of threat) menawarkan
upaya mengatasinya dengan mengajak individu berpikir dan mendesain suatu pola
kognitif baru. David Clark dkk (dalam Acocella dkk, 1996) mengembangkan desain
kognitif yang melibatkan 3 bagian yaitu :
1. Identifikasi interpretasi negatif yang dikembangkan individu tentang sensasi
tubuhnya.
2. Tentukan dugaan atau asumsi dan arahkan alternatif interpretasi, yang non-
catastrophic.
3. Bantu individu menguji validitas penjelasan dari alternatif-alternatif tersebut.

Dengan kata lain, para ahli dari pendekatan kognitif ini menyatakan bahwa tujuan
dari terapi sebagai upaya menangani anxiety disorders adalah membantu individu
melakukan interpretasi sensasi tubuh dalam cara yang non-catastrophic.

Dalam beberapa hal, penanganan terhadap penderita anxiety disorders tidak


selalu hanya berpegang pada satu tehnik saja, atau hanya mengikuti pendapat salah
seorang ahli dari suatu pendekatan saja. Terapi yang diberikan dapat sekaligus
dengan menggunakan lebih dari satu pendekatan atau lebih dari satu tehnik, asalkan
tujuannya jelas dan tahapan-tahapannya juga terinci dengan jelas terarah pada
tujuan terapi.

BAB III
CEMAS : NORMAL ATAU TIDAK NORMAL

Melihat uraian di atas dapat dikatakan bahwa situasi-kondisi negara kita yang
sedang tidak tentu arahnya ini dapat menjadi pencetus munculnya perasaan cemas.
Setiap orang berpeluang untuk menjadi cemas. Dalam batasan tertentu, cemas
dapat ditolerir sebagai perilaku yang normal – dalam pengertian tidak menghambat
aktivitas rutin sehari-hari, dalam belajar, bekerja dan bergaul, ataupun tidak ada
gangguan fisiologis ataupun perilaku. Tetapi jika individu sudah mulai terkendala
dalam melaksanakan aktivitas rutin sehari-harinya atau adanya gangguan fisik atau
sensasi tubuh yang sulit dikenali atau dikendali lagi maka hal ini perlu mendapat
perhatian.

Merujuk pada uraian tentang batasan antara normal dan tidak –normalnya
suatu perilaku maka dapat dikatakan jika hampir sebagian besar masyarakat kita
mengalami kecemasan, dan hanya kita saja yang tidak mengalami kecemasan maka
dapat dikatakan bahwa justru kitalah yang mengalami keadaan tidak-normal. Tetapi
tentu saja penegakan diagnosa mengenai normal-tidaknya suatu perilaku, tidak
semata-mata ditentukan oleh jumlah populasi yang mengalaminya atau tidak, tetapi
juga terkait dengan sisi-sisi kehidupan lainnya. Pengungkapan diri yang subjektif
sifatnya dari individu yang mengalami kecemasan dapat dijadikan indikator ia
mengalami kecemasan, sekalipun orang lain di sekitarnya tidak merasakan atau
mengalami hal itu. Apalagi jika keluhannya ini diikuti dengan adanya respon-respon
fisiologis seperti ketegangan otot, peningkatan detak jantung dan tekanan darah,
nafas yang cepat dsb. Adanya respon-respon perilaku, seperti kerusakan fungsi

© 2003 Digitized by USU digital library 14


bicara, motorik ataupun tampilan tugas kognitif juga bisa menjadi indikator bahwa
kecemasan yang di alami seseorang sudah masuk dalam kategori kecemasan yang
tidak-normal.

BAB IV
KESIMPULAN

1. Perasaan cemas bisa saja hinggap pada setiap individu. Takut, bingung, tidak
bahagia adalah perasaan umum yang bisa dialami setiap dari kita.
2. Manifestasi dari rasa cemas ini bisa berbeda-beda dari satu individu ke individu
yang lain.
3. Ada individu yang mengalami kecemasan tetapi bisa tetap menjalankan aktivitas
sehari-hari secara rutin, dan tidak melaporkan atau mengungkapkan adanya
gangguan pada perilaku atau penurunan fungsi kognitif maupun gangguan pada
respon fisiologisnya.
4. Ada individu yang mengalami kecemasan dan sudah terganggu dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari. Sulit belajar, tidak produktif dalam bekerja
ataupun menarik diri dari pergaulan/lingkungan sosialnya. Hal ini dapat di
katakan bahwa individu tersebut mengalami kecemasan yang sudah mengarah
pada gangguan, yang disebut sebagai anxiety disorders.
5. Untuk menegakkan diagnosa akan ada-tidaknya anxiety disorders, perlu
memperhatikan ciri-ciri diagnostik yang dijabarkan pada DSM IV (1994).
6. Apapun latar belakang munculnya anxiety disorders, namun secara umum ada
berbagai tehnik yang bisa dimanfaatkan untuk mengurangi atau menangani
gangguan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Acocella, J. Alloy, LB., Bootzin, RR. (1996). Abnormal Psychology : Current


Perspectives. New York : Mc Graw Hill, Inc.

American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders (4th edition). Washington DC : APA

Atkinson, RL. Atkinson, RC. Smith, EE. Bem, DJ. (2002). Hilgard’s Introduction to
Psychology (13th edition). New York : Harcourt College Publishers.

Chaplin, J.P. (1997). Kamus Lengkap Psikologi (Terjemahan Dr.Kartini Kartono).


Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Neale, JM. Davidson, GC. (2001). Abnormal Psychology. New York : John Wiley &
Sons, Inc.

© 2003 Digitized by USU digital library 15

You might also like