Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Bila dicermati lebih jauh, dapat dikatakan bahwa sejak tahun 1998 kehidupan
kita sebagai masyarakat di negeri Indonesia tercinta ini sering di warnai situasi yang
tidak nyaman. Beberapa kali terjadi perubahan dan kenaikan harga barang-barang
kebutuhan pokok maupun kebutuhan pendukung lainnya. Belum lagi kerusuhan yang
melanda di beberapa kota yang meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan sehari-hari
yang biasa dijalani dan menimbulkan trauma pada sebagian besar anggota
masyarakat, baik anak-anak maupun orang dewasa lainnya. Demonstrasi dari
berbagai kelompok masyarakat juga semakin marak. Jika dulu, di tahun 1980-an,
kegiatan demonstrasi merupakan hal yang unik dan menjadi tontonan walaupun
mendebarkan, sekarang justru relatif tidak mendapat perhatian masyarakat lagi.
Terlalu seringnya melihat atau mendengar kata demonstrasi membuat masyarakat
tidak gentar lagi dan bersembunyi di rumah. Mereka tetap menjalani rutinitas
kehidupan sehari-hari sebagaimana biasanya, asalkan tetap berhati-hati dan
menghindari daerah-daerah sasaran demonstrasi di gelar.
Kondisi ini tidak hanya berpengaruh pada para pengusaha yang harus tetap
menjaga ritme produksi agar bisa terus memperoduksi, tetapi juga berpengaruh
pada rakyat kecil yang bertanya-tanya mengapa mereka juga harus menanggung
kesulitan ini.
Kasus lain yang juga mencerminkan gejala anxiety adalah adanya rasa takut
yang berlebihan terhadap suatu objek atau situasi tertentu. Jika objek tersebut
adalah ular misalnya, maka kecemasan yang muncul dalam diri seseorang dapat
dikatakan sebagai suatu perasaan yang wajar dan memang sudah semestinya
demikian. Tetapi jika ternyata yang ditakutinya adalah terowongan, ruangan
tertutup, kerumunan orang atau berada di dalam lift, elevator dan sejenisnya maka
hal ini dapat menjadi eksklusif. Maksudnya adalah hanya dialami oleh beberapa
orang saja sementara sebagian besar orang lain umumnya tidak mengalami
kecemasan.
“Every human groups lives by a set of norms – rules that tell us what it it
‘right’ and ‘wrong’ to do, and when and where and with, whom.”
Jika lingkungan komunitas dimana seseorang itu berada termasuk kecil dan
terintegrasi dengan baik maka ketidak setujuan terhadap norma yang berlaku
juga semakin kecil. Sebaliknya, jika ternyata lingkungan komunitasnya besar
dan merupakan masyarakat yang kompleks lebih mungkin menimbulkan
ketidak-setujuan mengenai mana perilaku yang diterima dan mana yang tidak.
2. Statistical Rarity:
Kriteria ini berdasaran sudut pandang statistik yang menyatakan bahwa suatu
perilaku itu normal atau tidak normal (abnormal) tergantung pada dimana
perilaku tersebut muncul. Suatu perilaku dinyatakan abnormal jika berada pada
titik deviasi dari penyebaran rata-rata, baik itu rata-rata atas maupun rata-rata
bawah dari kurve normal.
3. Personal Discomfort:
Penetapan suatu perilaku apakah normal atau tidak normal (abnormal)
tergantung pada penghayatan masing-masing individu atas pengalaman atau
aktivitas kehidupannya sehari-hari. Kriteria ini lebih liberal karena tidak
ditetapkan oleh pihak di luar dirinya sebagaimana dua kriteria sebelumnya,
melainkan ditentukan oleh normalitas keadaan diri mereka sendiri. Memang
kelemahan dari kriteria ini adalah karena tidak adanya standar untuk
mengevaluasi perilaku itu sendiri, tetapi banyak digunakan dalam sesi
psikoterapi dimana penetapan perilaku seseorang bukan dari orang lain tetapi
oleh diri mereka sendiri yang menetapkan apakah mereka merasa tidak bahagia
(unhappy) dengan beberapa aspek dalam kehidupannya.
“If people are content with their lives, then their lives are of no
concern to the mental health establishment. If, on the other hand,
4. Maladaptive Behavior:
Kriteria ini bisa tumpang-tindih dengan kriteria pertama (norm violation) karena
perilaku normal atau tidak normal (abnormal) menurut kriteria ini berkaitan
dengan adaptif-tidaknya suatu perilaku. Jika seseorang menampilkan perilaku
yang sesuai dengan tuntutan lingkungan sekitar maka perilakunya termasuk
kategori normal. Sebaliknya, jika ternyata perilaku yang ditampilkan tidak
sesuai dengan tuntutan lingkungan sekitar maka perilakunya adalah perilaku
yang tidak-normal (abnormal).
“Many norms are rules for adapting our behavior to our own and our
society’s requirements”
6. A Combined Standard:
Psikolog saat ini lebih melihat suatu perilaku tidak hanya berdasarkan fakta-
fakta ilmu atau sekedar nilai-nilai sosial tetapi merupakan penggabungan dari
fakta dan nilai yang berlaku, sebagaimana yang dikombinasikan pada Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM).
Maher dkk (dalam Acocella, 1996) mengemukan 4 kategori dasar dari suatu
perilaku sebagai indikasi dari gangguan mental, yaitu:
1. Tingkah laku yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain tanpa
memperhatikan minat dirinya.
2. Kontak realitas yang rendah.
3. Reaksi emosi yang tidak tepat terhadap situasi interaksi.
4. Tingkah laku yang erratic, yang tidak dapat diprediksikan.
Jika ternyata individu mengalami hal yang justru sebaliknya, maka dapat dikatakan
bahwa anxiety yang dialami tidak-normal.
Sedangkan yang diajukan oleh Acocella dkk (1996) adalah adanya 3 pola
dasar dalam memahami gejala-gejala anxiety disorder yang dialami oleh seseorang,
yaitu yang berkaitan dengan panic disorder dan generalized anxiety disorder,
phobias serta obsessive compulsive disorder. Secara umum dikatakan bahwa
kecemasan pada penderita panic disorder dan generalized anxiety disorder tidak
terfoukus :
Pada phobia, ketakutan muncul/ditimbulkan oleh suatu objek atau situasi yang di
identifikasikan sebagai hal yang menakutkan, walaupun sebenarnya baik objek
maupun situasi itu sendiri tidaklah menakutkan. Sementara pada penderita
obsessive compulsive disorder, kecemasan muncul ketika ia tidak mampu
memutuskan kaitan antara munculnya pemikiran-pemikiran secara intens
dengan/atau tidak diikuti dengan memunculkan perilaku-perilaku tertentu yang sulit
untuk dikontrol.
“Often someone with one anxiety disorder meets the diagnostic criteria
for another disorder as well”
Oleh sebab itu, kita perlu memahami dengan jelas dan pasti persamaan dan
perbedaan yang esensi dari masing-masing gangguan agar tidak terjadi kekeliruan
dalam menegakkan diagnosa.
Sehubungan dengan situasi negara kita yang belum stabil yang dapat
menimbulkan perasaan tidak nyaman/ketegangan yang juga berdampak pada
kelancaran pelaksanaan kegiatan rutinitas sehari-hari maka pembahasan mengenai
anxiety disorder akan dibatasi pada panic disorder dan generalized anxiety disorder.
Berikut ini akan disampaikan ciri-ciri diagnostik dari panic disorder dan generalized
anxiety disorder sebagaimana yang di paparkan pada Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder IV (1994).
Ciri-ciri diagnostik dari panic attacks oleh DSM IV (1994) digambarkan secara
terpisah karena keadaan ini terjadi dalam beberapa konteks yang berbeda pada
anxiety disorder. Adapun ciri-ciri dari keadaan panic attacks adalah :
1. Munculnya rasa takut yang sangat kuat atau ketidak-nyamanan yang disertai
paling sedikit 4 dari 13 gejala somatis atau kognitif berikut ini :
- Jantung berdebar-debar.
- Berkeringat.
- Gemetar.
- Perasaan nafas semakin sulit atau sesak atau tercekik.
- Perasaan susah menelan.
- Sakit di dada atau perasaan ‘tidak enak’.
- Mual atau gangguan pada perut.
- Pusing.
- Perasaan takut kehilangan kendali atau ‘menjadi gila’.
- Perasaan takut mati.
- Paresthesias.
- Perasaan dingin atau panas.
- Depersonalisasi atau derealisasi
Neale dkk (2001) menggambarkan depersonalisasi sebagai :
2. Pemunculannya ini secara tiba-tiba dan memuncak secara cepat, biasanya dalam
waktu 10 menit atau lebih disertai adanya perasaan bahwa bahaya akan terjadi
sehingga timbul dorongan untuk melarikan diri.
Ada 3 jenis karakteristik dari panic attack dengan hubungan yang berbeda
antara serangan dari attack dan ada-tidaknya pemicu situasi :
1. Unexpected panic, yaitu serangan dari panic attack tidak ada hubungannya
dengan pemicu situasi panik. Hal ini biasa muncul pada individu yang mengalami
panic disorder - dengan atau tanpa agoraphobia. Yang dimaksud dengan
agoraphobia adalah keadaan cemas yang terjadi pada situasi dimana melarikan
diri mungkin akan sulit atau terhambat, atau tidak adanya pertolongan yang bisa
diharapkan saat terjadi panic attack.
2. Situational bound (cued) panic attack yaitu munculnya panic attack secara tiba-
tiba dalam waktu yang bervariasi, atau merupakan antisipasi dari isyarat/pemicu
situasi. Hal ini biasanya muncul pada social phobia atau social anxiety disorder
3. Situationally predisposed panic attack terjadi jika panic atttack terjadi justru
disaat individu mengendalikan diri atau sewaktu individu mengalami anxiety
setelah pengendalian diri berlangsung selama setengah jam.
Pada DSM IV (1994), panic disorder juga di diagnosa dengan atau tanpa
agographobia. Hal ini juga diungkapkan oleh Neale dkk (2001) sebagai berikut :
Jadi, individu yang mengalami panic disorder with or without agoraphobia ditandai
dengan ada-tidaknya perilaku menghindar (avoidant behavior). Penghindaran ini
diasosiasikan dengan ketakutan akan mengalami panic attacks mengenai tempat
atau situasi dimana sulit untuk melarikan diri atau tidak mungkin mendapat bantuan.
Beberapa individu yang normal bisa saja cemas terhadap berbagai hal, tetapi
jika berlebihan dan tidak mampu dikendalikan maka inilah yang akhirnya menjadi
gangguan. Individu dengan generalized anxiety disorder seoleh-olah menunggu
‘sesuatu yang buruk’ akan terjadi pada diri mereka sehingga merasa merasa gelisah,
mudah terpengaruh dan sulit konsentrasi.
Yang termasuk dalam anxiety disorder due to ... (indicated the general
medical condition) dikarakteristikan sebagai berikut :
1. Kecemasan yang menonjol (prominent anxiety), panic attacks atau obsessive
compulsive yang dominan pada gambar klinis.
2. Adanya keterangan bahwa gangguan adalah akibat langsung fisiologis terhadap
kondisi umum medis.
3. Gangguan tersebut tidak menyebabkan gangguan mental lainnya.
4. Diagnosa tidak dibuat jika gejaka kecemasan terjadi hanya dalam keadaan
delirium, seperti dalam keadaan koma atau penurunan kesadaran.
5. Gejala kecemasan membuat terkendalanya aktivitas kerja, jalinan hubungan
sosial atau daerah fungsi penting lainnya.
“... they see anxiety not just as an individual problem but as the
outcome of conflicts between the person’s self concept and society’s
ideal.”
Jika individu melihat perbedaan yang sangat luas antara pandangannya tentang
dirinya sendiri dengan yang diinginkannya maka akan muncul perasaan inadekuat
dalam menghadapi tantangan di kehidupan ini, dan hal ini menghasilkan kecemasan
atau anxiety. Jadi, menurut pandangan humanist-eksistensialis, pusat kecemasan
adalah konsep diri; yang terjadi sehubungan dengan adanya gap antara konsep diri
yang sesungguhnya (real sefl) dengan diri yang diinginkan (ideal self). Hal ini muncul
sehubungan dengan tidak adanya kesempatan bagi individu untuk
mengaktualisasikan dirinya sehingga perkembangannya menjadi terhalang.
Akibatnya, dalam menghadapi tantangan atau kendala dalam menjalani hari-hari
dikehidupan selanjutnya, ia akan mengalami kesulitan untuk membentuk konsep diri
yang positif. Setiap kita sebenarnya perlu mengembangkan suatu upaya untuk
menjadi diri sendiri (authenticity), sedangkan individu yang neurotis atau yang
mengalam anxiety disorder adalah individu yang gagal menjadi diri sendiri
(inauthenticity) karena mereka mengembangkan konsep diri yang keliru/palsu (false
self).
“... people may also learn to associate a neutral stimulus with the
anxiety-producing stimulus and then be conditioned to habitually avoid
that stimulus.”
Ada 2 tahapan belajar yang berlangsung dalam diri individu, yang menghasilkan
kecemasan, yaitu :
1. Dalam pengalaman individu, beberapa stimulus netral, tidak berbahaya atau
tidak menimbulkan kecemasan, dihubungan dengan stimulus yang
menyakitkan (aversive) akan menimbulkan kecemasan (melalui respondent
conditioning).
2. Individu yang menghindar dari stimulus yang sudah terkondisi, dan sejak
penghindaran ini menghasilkan pembebasan/terlepas dari rasa cemas, maka
respon menghindar ini akan menjadi kebiasaan (melalui operant
conditioning).
Berdasarkan dari teori kognitif, masalah yang terjadi pada individu yang mengalami
anxiety disorder adalah terjadinya kesalahan persepsi atau kesalahan interpretasi
terhadap stimulus internal ataupun eksternal. Individu yang mengalami anxiety
disorder akan melihat suatu hal yang tidak benar-benar mengancam sebagai sesuatu
yang mengancam. Jika individu mengalami pengalaman sensasi dalam tubuh yang
tidk biasa, lalu menginterpretasikannya sebagai sensasi yang bersifat catastropic,
yaitu suatu gejala bahwa ia sedang mengalami sesuatu hal seperti serangan jantung,
maka akan timbul rasa panik. Kegiatan interpretasi negatif terhadap sensasi tubuh
dapat menghasilkan panic attack yang kemudian dapat berkembang menjadi panic
disorder.
Menurut para ahli psikodinamika, karena gangguan ini berakar pada keadaan
internal individu sehubungan dengan adanya konflik intrapsikis yang dialami individu
sehingga ia mengembangkan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri, maka upaya
menanganinya juga terarah pada pemberian kesempatan bagi individu untuk
mengeluarkan seluruh isi pikiran atau perasaan yang muncul dalam dirinya.
Asumsinya adalah jika individu bisa menghadapi dan memahami konflik yang
dialami, ego akan lebih bebas dan tidak harus terus berlindung di balik mekanisme
Setiap permasalahan yang dialami oleh setiap individu sebenarnya hanya dirinyalah
yang paling mengerti tentang apa yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu,
individu itu sendirilah yang paling berperan dalam menyelesaikan permasalahan
yang mengganggu dirinya.
Karena para ahli melihat kecemasan sebagai hasil dari belajar (belajar
menjadi cemas) maka untuk menanganinya perlu dilakukan pembelajaran ulang agar
terbentuk pola perilaku baru, yaitu pola perilaku yang tidak cemas. Oleh Acocella dkk
(1996) digambarkan sebagai berikut :
“For the anxiety disorders behaviorists have evolved a set of related
techniques aimed at reducing anxiety through graduated exposure to
the feared stimulus.”
Dengan kata lain, para ahli dari pendekatan kognitif ini menyatakan bahwa tujuan
dari terapi sebagai upaya menangani anxiety disorders adalah membantu individu
melakukan interpretasi sensasi tubuh dalam cara yang non-catastrophic.
BAB III
CEMAS : NORMAL ATAU TIDAK NORMAL
Melihat uraian di atas dapat dikatakan bahwa situasi-kondisi negara kita yang
sedang tidak tentu arahnya ini dapat menjadi pencetus munculnya perasaan cemas.
Setiap orang berpeluang untuk menjadi cemas. Dalam batasan tertentu, cemas
dapat ditolerir sebagai perilaku yang normal – dalam pengertian tidak menghambat
aktivitas rutin sehari-hari, dalam belajar, bekerja dan bergaul, ataupun tidak ada
gangguan fisiologis ataupun perilaku. Tetapi jika individu sudah mulai terkendala
dalam melaksanakan aktivitas rutin sehari-harinya atau adanya gangguan fisik atau
sensasi tubuh yang sulit dikenali atau dikendali lagi maka hal ini perlu mendapat
perhatian.
Merujuk pada uraian tentang batasan antara normal dan tidak –normalnya
suatu perilaku maka dapat dikatakan jika hampir sebagian besar masyarakat kita
mengalami kecemasan, dan hanya kita saja yang tidak mengalami kecemasan maka
dapat dikatakan bahwa justru kitalah yang mengalami keadaan tidak-normal. Tetapi
tentu saja penegakan diagnosa mengenai normal-tidaknya suatu perilaku, tidak
semata-mata ditentukan oleh jumlah populasi yang mengalaminya atau tidak, tetapi
juga terkait dengan sisi-sisi kehidupan lainnya. Pengungkapan diri yang subjektif
sifatnya dari individu yang mengalami kecemasan dapat dijadikan indikator ia
mengalami kecemasan, sekalipun orang lain di sekitarnya tidak merasakan atau
mengalami hal itu. Apalagi jika keluhannya ini diikuti dengan adanya respon-respon
fisiologis seperti ketegangan otot, peningkatan detak jantung dan tekanan darah,
nafas yang cepat dsb. Adanya respon-respon perilaku, seperti kerusakan fungsi
BAB IV
KESIMPULAN
1. Perasaan cemas bisa saja hinggap pada setiap individu. Takut, bingung, tidak
bahagia adalah perasaan umum yang bisa dialami setiap dari kita.
2. Manifestasi dari rasa cemas ini bisa berbeda-beda dari satu individu ke individu
yang lain.
3. Ada individu yang mengalami kecemasan tetapi bisa tetap menjalankan aktivitas
sehari-hari secara rutin, dan tidak melaporkan atau mengungkapkan adanya
gangguan pada perilaku atau penurunan fungsi kognitif maupun gangguan pada
respon fisiologisnya.
4. Ada individu yang mengalami kecemasan dan sudah terganggu dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari. Sulit belajar, tidak produktif dalam bekerja
ataupun menarik diri dari pergaulan/lingkungan sosialnya. Hal ini dapat di
katakan bahwa individu tersebut mengalami kecemasan yang sudah mengarah
pada gangguan, yang disebut sebagai anxiety disorders.
5. Untuk menegakkan diagnosa akan ada-tidaknya anxiety disorders, perlu
memperhatikan ciri-ciri diagnostik yang dijabarkan pada DSM IV (1994).
6. Apapun latar belakang munculnya anxiety disorders, namun secara umum ada
berbagai tehnik yang bisa dimanfaatkan untuk mengurangi atau menangani
gangguan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, RL. Atkinson, RC. Smith, EE. Bem, DJ. (2002). Hilgard’s Introduction to
Psychology (13th edition). New York : Harcourt College Publishers.
Neale, JM. Davidson, GC. (2001). Abnormal Psychology. New York : John Wiley &
Sons, Inc.