You are on page 1of 11

RELIGIOSITAS DAN MOTIVASI KERJA

TENGKU IRMAYANI

Fakutlas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik


Universitas Sumatera Utara

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Persoalan Sumber Daya Manusia (SDM) sangat banyak dibicarakan akhir-
akhir ini, berbagai pertemuan, seminar, ceramah dan sebagainya telah dilakukan
sebagai upaya untuk mengingkatkan kualitas SDM dalam segala aspeknya.

"SDM mengandung pengertian usaha kerja atau jasa dalam proses produksi.
Dalam hal ini SDM mencerminkan kwalitas usaha yang diberikan oleh
seseorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa atau
usaha kerja tersebut. Mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan
tersebut dalam menghasilkan barang dan jasa”. (Payaman Simanjuntak,
1985:1)

Dalam kontek dunia pekerjaan maka ilmu manajemen sangat memberikan


perhatian kepada sumber daya manusia ini oleh karena sifatnya yang mutlak dalam
suatu proses produksi. Manajer-manajer perusahaan mengharapkan adanya suatu
kondisi yang di dalamnya target-target perusahaan dapat tercapai dengan maksimal.
Oleh sebab itu mereka banyak membicarakan persoalan ini dalam berbagai
pertemuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi
sumber daya ini dalam pencapaian tujuan organisasi atau tujuan perusahaan.
Mempelajari manusia sebagai mahluk yang berpribadi bukan pekerjaan
mudah. Susunan “ratio”, “emosi”, dan yang pada akhirnya terlihat pada "kehendak",
"kebutuhan", “dorongan”, “keinginan” umum dikenal dengan motivasi.

Wahjosumidjo mengatakan:
“Motivasi merupakan suatu proses phisikologis yang mencerminkan interaksi
antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi dalam diri
seseorang. Dan motivasi sebagai faktor di dalam diri (intrinsik) atau di luar
diri (ekstrinsik)”. (1978 : 1974)

Dengan motivasi yang terpelihara baik diharapkan tujuan dan target yang
ditetapkan perusahaan dapat dicapai. Dengan demikian faktor motivasional menjadi
sesuatu yang sangat penting oleh karena segala sesuatu yang berhubungan dengan
pekerjaan dan target serta pencapaian tujuan organisasi selalu diawali dengan satu
titik yaitu motivasi. Titik awal yang baik cenderung akan mempunyai tindak lanjut
yang baik sampai akhirnya tujuan organisasi dapat tercapai dengan gemilang.
Banyak upaya yang dilakukan perusahaan untuk memacu motivasi kerja
karyawannya misalnya dengan insentif, mutasi, latihan, magang, dsb. Dalam banyak
penelitian di perguruan tinggi hal ini secara umum mempunyai korelasi yang baik.
Dalam penulisan ini, penulis tertarik dengan faktor intrinsik dan yang menjadi
penekanannya adalah faktor religiositas dalam diri peqawai.

© digitized by USU digital library 1


“Pembangunan yang digerakkan oleh homo economicus dan diselenggarakan
secara pragmatis memang dapat juga mencapai suatu target, namun hasil
yang dicapainya belum menunjukkan suatu keterpaduan yanq tangguh.
Dalam hal seperti ini maka segi mental, kultural, apalagi segi kerohaniannya
sering diabaikan. Tetapi sebaliknya perlu dicamkan, bahwa proses
pembangunan itu sesungguhnya malah dapat berjalan dengan lancar bila
diperlengkapi dengan etika atau etos pembangunan". (DR. R. Dicknson Jr,
1987:7)

Selanjutnya T.B. Simatupang mengatakan:


“Sejarah membuktikan bahwa agama tidak saja merupakan sesuatu yang
terdekat dan terpokok dalam memenuhi kebutuhan manusia, tetapi juga
sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam pengembangan berbagai ilmu
pengetahuan demi meningkatkan kwalitas manusia dan masyarakat”.(1.987)

Hasil penelitian N. Bellah terhadap masyarakat Jepang yang kemudian


dituangkan dalam buku berjudul “Religi Tokugawa" pada tahun 1975. Dalam artikel
KOMPAS tentang buku tersebut yang mengawali wawancara dengan Bellah
menuliskan :

“Agama berperan dalam rasionalisasi politik dan ekonomi dan terdapat


interdependensi nilai-nilai agama dengan pertumbuhan ekonomi Jepang di
masa Tokugawa. Sejarah pertumbuhan ekonomi Jepang di masa Tokugawa
terkait denqan nilai-nilai religi”. (4 Desember 1992 : 16)

Prof. Dr. Harun Nasution, seorang cendikiawan Muslim berpendapat :

“Pandangan kepada teologia tertentu mempunyai pengaruh yang besar


terhadap produktif dan tidaknya seseorang. Teologi pernah terbukti
mendukung produktifitas pada masa kejayaan Islam. Ulama Islam zaman
klasik mengembangkan konsep alam ciptaan Tuhan, yang di dalam Al Quran
disebut Sunnatullah dan juga hukum kausalitas". (1992 : 36)

Oleh karena itu faktor religiositas yang ditemukan para cendikiawan tersebut
perlu diperhitungkan dalam menambah motivasi kerja.
Seseorang yang telah mendalami ajaran-ajaran yang terkandung di dalam
setiap agama dapat memberikan motivasi atau dorongan bagi dirinya dalam
melaksanakan pekerjaannya. Karena bagi orang yang benar-benar telah
menjalankan perintah agamanya, biasanya dalam melakukan pekerjaan selalu
bertanggung jawab baik kepada dirinya, organisasi dimana dia berada maupun
kepada Tuhannya. Dengan demikian kemungkinan terjadinya penyimpangan atau
penyelewengan dalam tugas pekerjaan dapat terhindari.

1.2. Batasan Permasalahan


Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat dirumuskan batasan masalah
dari tulisan ini adalah :
“Adakah hubungan religiositas terhadap motivasi kerja ?”

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk melihat adakah hubungan religiositas terhadap motivasi kerja.
2. Untuk mengetahui apakah nilai-nilai religiositas yang dianut oleh para
pegawai/karyawan dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.

© digitized by USU digital library 2


1.4. Manfaat Penulisan
1. Bagi pemerintah maupun swasta diharapkan sebagai masukan untuk
menumbuh kembangkan sikap dan perilaku yang diarahkan niali-nilai
religiositas yang anut oleh para pegawai/karyawan dalam melaksanakan
tugas pekerjaan.
2. Bagi penulis untuk menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan
penulis.

BAB II
RELIGIOSITAS DAN MOTIVASI KERJA

2.1. Religiositas
Sengaja di sini tidak begitu di tonjolkan istilah 'agama' atau 'religi' meskipun
di beberapa tempat penulis menggunakannya, tetapi istilah yang banyak dipakai
adalah 'religius' atau 'religiositas'. Hal ini perlu ditegaskan oleh karena agama itu
lebih menyangkut lembaga, sedangkan religiositas lebih menyangkut persoalan
manusianya sebagai insan religius (homo religius).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kita menemukan istilah religius yang
diartikan sebagai taat kepada agama atau saleh. Jadi kita melihat adanya sifat yang
lebih dalam dari pada pengertian agama atau religi.

“Kamus Latin-Indonesia memberi istilah religio berasal dari bahasa Latin,


relego, yang berarti: memeriksa lagi, menimbang-nimbang, merenungkan
keberatan hati nurani. Orang yang disebut religius bila rajin mempelajari dan
seolah-olah serba prihatin tentang segala yang berkaitan dengan kebaktian
kepada para Dewa”. (K. Prent C.M, 1969)

Y.B. Mangunwijaya mengatakan :


“Bagaimanapun manusia religius dengan aman dapat diartikan : manusia
yang berhati serius, saleh, teliti dalam pertimbangan batin dan sebagainya.
Jadi belum menyebutkan dia menganut agama mana”. (1988 : 11)

Selanjutnya Y.B. Mangunwijaya juga mengatakan :


“Agama lebih menunjuk kepada kelembangan kebaktian kepada Tuhan atau
kepada Dunia Atas dalam segala aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan-
peraturan dan hukum-hukumnya serta keseluruhan organisasi tafsir
Alkitabnya dan sebagainya yang meliputi segi-segi kemasyarakatan (Jerman:
Gesellsschaft).
Religiositas lebih melihat aspek yang didalam lubuk hati, riak getaran hati
nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain,
karena menapaskan intimitas jiwa, “du couer” dalam arti Pascal, yakni
citarasa yang mencakup totalitas (termasuk ratio dan rasa manusiawi) ke
dalam si pribadi manusia. Dan karena itu, pada dasarnya religiositas
mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal, resmi.
Religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban (Gemeinschaft) yang cirinya
lebih intim”. (1988 : 1)

Drs. K. Permadi, SH dalam salah satu tulisannya menguraikan bagaimana


hubungan antara religiositas suatu bangsa dengan produktifitas yang mereka capai
sebagai berikut:

© digitized by USU digital library 3


"Hampir di semua pembahasan tentang manajemen Jepang menyinggung
tentang soal nilai-nilai etis bangsa Jepang. Secara khusus disoroti etika kerja
dari buruhnya, terutama bagaimana sikap dan pandangan buruh itu terhadap
kerja. Bangsa Jepang memang adalah bangsa yang suka bekerja keras.
Sikap arang Jepang pada dasarnya dibentuk oleh bermacam-macam faktor :
Faktor sosial budaya, agama, pendidikan dan juga pengalaman sebagai
bangsa. Ada yang mengatakan bahwa sikap itu dibentuk oleh agama Budha
Zen atau konfusianisme”. (1987 : 125)

Sehubungan dengan religiositas yang berkorelasi dengan motivasi kerja,


maka berikut ini penulis mengemukakan etos kerja agama-agama besar di Indonesia
yaitu etos kerja yang terangkum dari nilai-nilai yang didapat dari kitab suci dan
ajaran masing-masing agama.

2.1.1. Etos Kerja Agama Islam


Islam adalah ajaran yang bersifat dialogis, yang merupakan karakteristik
dinamis pada tubuh ajarannya. Hal ini memberikan makna bahwa ajaran Islam tidak
hanya terbuka untuk selalu berkarya guna memperbaiki nasib dirinya sendiri. Karena
dalam Islam yang menjadi inti pembangunan adalah manusia maka dengan
sendirinya itu menyangkut kedudukan manusia itu sendiri di alam semesta yang
tidak bisa dilepaskan hubungannya dengan Tuhannya. Sebagai hamba Allah manusia
harus merealisir dirinya sesuai dengan kehendak Allah yang tidak terlepas dari
konteks kemanusiaan. Realisasi dari diri manusia ini adalah yang dalam Islam
dinamakan dengan ibadah, yakni suatu pengabdian kepada Allah yang telah
menciptakan manusia itu sendiri. Pengabdian kepada Allah (ibadah) inilah yang
kemudian menjadi karakteristik kemanusiaan karena dengan beribadah seseorang
memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya. Untuk dapat melakukan ibadah dengan
sempurna maka manusia memerlukan suatu kriteria tertentu, antara lain kesehatan
akal, kesehatan jiwa, dan kesehatan raga. Kemampuan manusia untuk memenuhi
kriteria diatas menyebabkan Allah menurunkan agama hanya kepada manusia bukan
kepada makhluk lain. Pemberian agama sebagai petunjuk hidup kepada manusia
merupakan kehormatan dari Allah kepada manusia dan manusia harus bertanggung
jawab terhadap fungsinya sebagai ciptaannya. Manifestasi tanggung jawab tersebut
adalah merupakan realisasi diri sesuai dimensi kemanusiaan. Realisasi dirinya inilah
yang kemudian berkaitan erat dengan etos kerja Islam. Sebab realisasi tersebut
merupakan suatu konsep kerja yang meliputi dimensi keduniawian (profan) maupun
dimensi keakhiratan (sakral, eskatologis). Kedua dimensi tersebut merupakan suatu
hubungan yang saling berjalin yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Jalinan kedua
dimensi inilah yang disebut etika Islam, atau lebih populer disebut ‘akhlak’. Dengan
demikian ibadah dalam Islam bukanlah suatu himne ritual (ritus) yakni dimensi
keakhiratan saja tetapi ia juga merupakan atau menjadi suatu wahana dimana
manusia dimungkinkan untuk merealisasikan dirinya secara kemanusiaan dan
keakhiratan. Pengabdian secara keduniawian ini merupakan upaya manusia untuk
mengembangkan dirinya untuk tidak Sekedar mempertahankan hidup, baik secara
intelektual, ekonomi, politik, budaya dan sistem sosial lainnya, akan tetapi ia
sekaligus juga merupakan realisasi fitrah manusia.

2.1.2. Etos Kerja Agama Kristen


Sifat khas kerja manusia ini beroleh penyorotan yang istimewa dalam Alkitab,
Alkitab menghubungkan kerja manusia dengan penciptaan manusia menurut gambar
Tuhan. Manusia dicipta menurut gambar dan rupa Tuhan, yaitu Tuhan yang bekerja
di sini. Itulah sebabnya kerja itu termasuk hakikat manusia. Alan Richardson dalam

© digitized by USU digital library 4


“The Biblical Doctrine of work” menyatakan bahwa: “Man is a worker by nature”
“Manusia adalah pekerja pada dasarnya”.
Pandangan Alkitab yang menyatakan, bahwa manusia adalah pekerja pada
dasarnya. Oleh sebab Tuhan bekerja artinya sangat penting bagi etika kerja dan etos
kerja. Oleh karena kerja adalah suatu unsur hakekat manusia yang diciptakan
menurut gambar Tuhan itu, sudah sewajarnya pula bahwa kerja itu merupakan
perintah Tuhan.
Barang siapa percaya kepada Kristus dan melakukan pekerjaannya dari
kepercayaannya itu, ia akan mengalaminya bukan lagi sebagai kutuk, tetapi sebagai
berkat. Sebagaimana maut bukan lagi kutuk, melainkan adalah pintu ke hidup yang
kekal. Demikian pula kerja bukan lagi hukuman melainkan berkat oleh karena susah
payahnya diubah, disucikan oleh kasih karunia luhur Kristus.
Di mana Roh Kudus mendorong, memimpin, memerintah kerja, di situ lahir
kerja dari kasih kepada Tuhan. Motif kedua yang pada hakekatnya sama dengan
motif yang pertama, orang tidak perlu menjadi beban bagi orang lain dan orang
menambah kebahagiaan sesamanya”. (Matius 7:12)
Dalam kisah Para Rasul 20; 33-35 Paulus menyatakan bahwa ia bekerja
sebagai tukang kemah di korintus, “supaya jangan menjadi beban”. Sebab “adalah
lebih berbahagia memberi dari pada menerima”. Dalam kisah Para Rasul kita baca
juga tentang Tabita dan Dorkas dari Yopi. Tangannya selalu berusaha untuk
memberikan pakaian kepada yang tidak berpakaian, memberikan makanan kepada
yang lapar. Ketika ia meninggal kisah itu nyata pada banyak orang disekelilingnya
yaitu para janda dari kota itu menunjukkan baju-baju dan pakaian yang dibuat oleh
Dorkas ketika ia masih hidup (Kisah Para Rasul 9:39).
Dalam motif kasih kepada sesama manusia itu nampaklah kasih Kristus, yang
mengalahkan egoisme alamiah hati manusia.

2.1.3. Etos Kerja Agama Hindu


Dasar adanya kesadaran berkorban itu adalah sumber dari cinta kasih.
Dengan rasa cinta kasih itu mereka berkeyakinan, pada suatu saat manusia akan
mampu merealisir tuntutan budi nalurinya, yaitu kebahagian secara lahir batin.
Kesadaran terhadap kewajiban itu juga mendorong umat manusia mengabdi kepada
sesamanya.
Di dalam ajaran agama Hindu, melakukakn pengorbanan itu juga karena
mempunyai hutang yaitu terdiri dari tiga yang disebut Tri RNA. Adapun ketiga
hutang itu adalah :
- Pertama Dewa RNA, yaitu hutang urip atau jiwa kepada Tuhan YME, karena
Tuhanlah yang memberikan hidup kepada semua mahluk hidup yang juga
umat manusia.
- Kedua Pitra RNA, yaitu hutang kepada orang tua dan leluhur yang berupa
budi dan hutang badan karena kehidupan lahir dan batin manusia telah
menerima warisannya.
- Ketiga Rsi RNA, yaitu hutang kepada guru-guru pengajar, pemerintah, dalam
hal ini ada hubungannya dengan pendidikan yaitu yang berupa berbagai-
bagai ilmu pengetahuan yang telah dimiliki manusia.

Kewajiban manusia dalam kehidupan ini adalah harus dapat membayar ketiga
hutang tersebut yaitu dengan pengabdian yang dilakukan dengan suatu
pengorbanan tulus ihklas atau yadnya-yadnya itu sangat perlu dilaksanakan oleh
setiap orang karena terikat kepada hutang RNA itu.
Bahwasanya umat Hindu menyadari tentang bermacam-macam pemberian
dari Tuhan, dari orang berilmu. Berbagai-bagai pemberian ini dipandang sebagai

© digitized by USU digital library 5


hutang yang mesti dibayar. Dari sini timbul adanya berbagai bentuk pelaksanaan
yadnya, seperti : yadnya atau korban suci dalam bentuk pelaksanaan memuja.
Yang terpenting ialah yadnya atau korban suci dalam bentuk pelaksanaan
pengabdian. Hal ini ditujukan kepada keluarga, masyarakat, negara, nusa dan
bangsa, tanah air dan kepada perikemanusiaan.
Mengabdi berarti rela memberikan kadar hidupnya, tentu saja dengan ikhlas
dan tiada mengharapkan sesuatu dari padanya. Juga mengabdi itu merupakan suatu
dharma, suatu kewajiban suci yang mendatangkan kewajiban hidup bersama. Yang
mahaesa dan yang telah diyakini benar-benar karena akan membawa berkah,
rahmat dan karunia.

2.1.4. Etos Kerja Agama Budha


Sebagai perbuatan yang baik dalam ajaran Budha adalah :
- Memperkembangkan akar-akar yang baik untuk mereka yang akan berbuat
jasa.
- Empat daya kemenangan Budhisatwa untuk bermaksud memimpin semua
makhluk pada akhir tujuan.

Selain itu perlu diperhatikan dharma di dalam ajaran Budha sehubungan


dengan etos kerja, yaitu :
- Kebijaksanaan kepada semua makhluk hidup tanpa mengharapkan timbal
balik (sepi ing pamrih).
- Daya tahan dari penderitaan bagi semua mahkluk hidup dan membaktikan
semua jasa mereka.
- Keadilan kepada mereka dengan semua kerendahan hati bebas dari
kesombongan dan kecongkakan hati.
- Menghormati semua Budhisatwa dengan kebaktian yang sama bagi
menghormati Budha.
- Menguji diri sendiri dengan tanpa mengadakan perbantahan dengan orang
lain. Dengan demikian ia harus menyelesaikan pikiran sendiri berdasarkan
atas pencapaian semua jasa-jasa (T.B. Simatupang, 1987 : 108-104).

Dari uraian-uraian tersebut kita dapat mengerti bahwa religiositas tidak hanya
bekerja dalam batas pengertian-pengertian ratio tetapi dalam penghayatan dan
pengamalan secara totalitas yang mendahului analisis atau konseptualisasi otak
manusia tadi. Bagi manusia religius sesuatu yang dihayatinya adalah bersifat
keramat, suci, khudus dan adikodrati.
Oleh karena itu kita dapat mengatakan bahwa seseorang yang bersifat
religius akan selalau menghubungkan pekerjaan yang dilakukannya sebagai suatu
kerangka pengabdian kepada Yang Maha Tinggi oleh karena bekerja adalah jauh
merupakan perintah Allah.
Sebagaimana tertera didalam Al-Qur'an surat Al-Qasshas ayat 77 yang artinya :
"Tapi carilah, dengan (kekayaan) yang dianugrahkan Tuhan kepadamu, negeri
akhirat, dan jangan lupa bagianmu di dunia ini.

2.2. Motivasi Kerja


Berbicara mengenai motivasi kita akan menemukan beberapa istilah yang
berbeda didalam literatur manajemen yang pada hakekatnya tidak mempunyai
perbedaan arti (motive), kebutuhan (need), keinginan (wish), dorongan (drive)
merupakan istilah-istilah yang lazim kita dengar dalam membicarakan motivasi
kerja.

© digitized by USU digital library 6


"Secara singkat motif sering diartikan sebagai kebutuhan atau keinginan yang
terdapat dalam diri individu yang mendorong atau mempengaruhi untuk melakukan
sesuatu pekerjaan". (Subagio 1986: 6-7)
Ada juga yang mengatakan :
"Motivasi adalah konsep yang menguraikan tentang kekuatan-kekuatan yang
ada dalam diri karyawan dan mengarahkan perilaku (Gibson, et al : 1993,94)".
Perilaku seseorang selalu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal
ini dapat kita lihat dalam pelaksanaan tugas organisasi. Adakalanya perbedaan ini di
sebabkan pada kemampuannya untuk bekerja atau tergantung pada motivasinya.
Motivasi yang berbeda ini mengakibatkan tindakan para pegawai berbeda satu sama
lainnya. Untuk itu tindakan ini harus dapat dikoordinit sehinga tidak menyimpang
dari arah dan tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Motivasi ini pula yang dapat
mengendalikan dan memelihara kegiatan-kegiatan, dan menetapkan arah umum
yang harus ditempuh oleh orang tersebut.
I. G. Wursanto mengatakan motivasi adalah sebagai berikut : Motivasi
merupakan keinginan, hasrat dan tenaga pengerak yang berasal dari dalam diri
manusia untuk melakukan sesuatu atau untuk berbuat sesuatu (1989:131).
Keinginan untuk melakukan sesuatu yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri
disebut juga dengan motivasi internal, tetapi ada juga motivasi yang berasal dari
luar dirinya (eksternal).
Menurut Heidjrachman Ranupandojo dan Suad Husnan ada tiga kelompok
terori motivasi yaitu :
a. Conten Teori
Teori ini menekankan arti pentingnya pemahaman faktor-faktor yang ada di dalam
individu yang menyebabkan mereka bertingkah laku tertentu. Teori ini mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti : kebutuhan apa yang dipuaskan oleh
seseorang ? Apa yang menyebabkan mereka melakukan sesuatu? Dalam
pandangan ini setiap individu mempunyai kebutuhan yang ada didalam (inner
needs) yang menyebabkan mereka didorong, ditekan, atau dimotivasikan untuk
memenuhinya.
b. Process Theory
Proses Theory bukanya menekankan pada isi kebutuhan yang bersifat dorongan
dari kebutuhan tersebut, tetapi pendekatan ini menekankan pada bagaimana dan
dengan tujuan apa setiap individu dimotivisir. Dalam pandangan ini, kebutuhan
hanyalah salah satu elemen dalam suatu proses tentang bagaimana para individu
bertingkah laku.
c. Reinforcement Theory
Theory ini tidak menggunakan konsep suatu motivasi atau proses motivasi.
Sebaliknya teori ini menjelaskan bagaimana konsekuensi perilaku dimasa yang
lalu mempengaruhi tindakan dimasa yang akan datang dalam suatu siklus proses
belajar. Dalam pandangan ini individu bertingkah laku tertentu karena dimasa lalu
mereka belajar bahwa perilaku tertentu akan berhubungan dengan hasil yang
menyenangkan, dan perilaku tertentu akan menghasilkan akibat yang tidak
menyenangkan”. (1990:198-200)
Dari ketiga klasifikasi teori motivasi diatas, maka dapatlah kita mengatakan
bahwa motivasi religius dapat digolongkan kepada content theory. Karena dalam hal
ini yang dimaksud adalah nilai-nilai religius yang dianut seseorang mempengaruhi
perilaku individu tersebut dalam memenuhi kebutuhannya maupun dalam
pelaksanaan tugas pekerjaannya.

BAB III
HUBUNGAN RELIGIOSITAS DENGAN MOTIVASI KERJA

© digitized by USU digital library 7


Bagaimanakah peranan religiositas dalam kehidupan umat manusia ? Hal ini
tidak perlu diragukan lagi bahwasannya religiositas sudah mempengaruhi seluruh
aspek kehidupan kita. Misalnya seorang ahli sastra pernah mengatakan :
“Pada awal mula, segala sastra adalah religius. Semua sastra yang baik selalu
religius". (Y.B. Mangunwijaya, 1988 : 11)
Dalam penulisan ini penulis hendak menelaah hubungan religiositas dengan
motivasi kerja yang dimunculkan oleh pegawai, dengan kata lain hendak melihat
peranan religiositas dalam manajemen yang merupakan salah satu saranan dalam
hidup manusia. Untuk memberikan suatu rumusan motivasi bukanlah suatu
pekerjaan mudah. Hal ini dapat dimengerti oleh karena motivasi yang dimunculkan
oleh seseorang individu merupakan fungsi dari berbagai macam variabel yang saling
mempengaruhi. Motivasi sebenarnya tidak lain dari suatu proses psikologi yang
didalamnya terdapat interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi, proses belajar dan
pemecahan persoalan.
Secara gamblang proses motivasi ini dapat kita lihat pada gambar berikut:
(Ibrahim Hasan, 1989:68)

Gambar tersebut menjelaskan kepada kita bahwa motivasi diawali oleh


keinginan yang mempengaruhi perilaku seseorang. Keinginan tersebut melalui
proses persepsi diterima oleh seseorang dan proses persepsi itu sebenarnya
ditentukan oleh kepribadian, sikap, pengalaman dan harapan seseorang. Selanjutnya
apa yang diterima tersebut diberi arti oleh yang bersangkutan menurut minat dan
keinginannya (faktor intrinsik). Minat ini mendorongnya untuk juga mencari
informasi yang akan digunakan oleh yang bersangkutan untuk mengembangkan
beberapa alternatif tindakan dan pemilihan tindakan yang pada akhirnya dievaluasi.
Sehubungan dengan persepsi yang sangat mempengaruhi motivasi seseorang
maka Soedjatmoko mengatakan :
“Agama merupakan faktor utama dalam mewujudkan pola-pola persepsi
dunia bagi manusia. Persepsi-persepsi itu turut mempengaruhi
perkembangan dunia itu sendiri, dengan cara demikian itu juga
mempengaruhi jalannya sejarah". (1983:3)

Persepsi itu pada hakekatnya adalah yang dialami oleh setiap orang di dalam
memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran,
penghayatan, perasaan dan penciuman melalui proses kognitif. Dari pendapat di atas
kita melihat suatu penjelasan bahwa proses kognitif terhadap agama yang kemudian
meresap kedalam diri seseorang akan mewujudkan pola persepsi dunia manusia.
Secara khusus dalam konteks manusia Indonesia kita melihat bahwa
kehidupan beragama dan sikap religius adalah satu kenyataan budaya yang terdapat
di seluruh Indonesia. Adanya basis kehidupan beragaman di Indonesia yang sudah
sedemikian tua dan cukup berkembang memberikan kemungkinan sangat baik untuk

© digitized by USU digital library 8


manusia Indonesia memperluas dan memperkokoh basis itu dalam perkembangan
selanjutnya. Bahkan Sayidiman Suryohadiprojo yang pernah menjabat penasehat
menristek kabinet pembangunan V jelas sekali mengatakan :
“Landasan spritual itu merupakan potensi kekuatan mental yang amat
penting, seperti yang dapat kita lihat pada bangsa-bangsa lain”. (1 (1987 : 189)
Apakah yang terjadi dengan suatu bangsa sehubungan dengan sikap
religiositas mereka ? Memang cukup disayangkan bahwa sekalipun kehidupan
beragama di Indonesia meluas, namun kekautan mental dan spritual bangsa
Indonesia masih belum memadai untuk kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Hal ini terjadi mungkin karena manusia Indonesia kebanyakan adalah manusia yang
bereligi tetapi kurang bereligiositas.
Dengan sikap religiositas maka sesuai dengan teori motivasi kita akan
mempunyai pola persepsi yang sesuai dengan tuntutan religi dan dengan pola
persepsi yang demikian itu akan menimbulkan motivasi yang kuat.
Sehubungan dengan etos kerja tiap agama-agama besar di Indonesia dapat
kita lihat semua agama sangat mendorong umat untuk bekerja keras. Dalam agama
Islam diajarkan bahwa bekerja itu adalah ibadah. Dalam agama Kristen kita melihat
hal yang sama dan adanya pandangan bahwa Tuhan adalah oknum yang bekerja
sehingga manusia juga demikian. Bekerja adalah merupakan pengabdian suci atau
dharma merupakan pandangan dalam agama Hindu. Sementara itu dalam agama
Budha ditegaskan bahwa bekerja itu merupakan akar yang baik. Orang yang bekerja
adalah orang yang berjasa.
Semua yang dicantumkan adalah ajaran yang begitu baik. Dalam proses
kognitif ajaran oleh manusia yang religius akan menjadi pola persepsi yang pada
akhirnya persepsi ini dapat menjadi potensi dasyat untuk melahirkan motivasi yang
kuat dan terarah. Franz Magnis Suseno mengatakan :
"Agama memberikan bimbingan dan motivasi kuat kepada kita” (1989:100).
Sehubungan dengan hal itu, W.A. Gerungan Setuju bahwa motivasi itu
merupakan fungsi dari banyak variabel. Ahli psikologi ini menganjurkan suatu bentuk
motivasi yang diberi istilah motivasi teogenitis antara lain mengatakan :
“Motif-motif tersebut berasal dari interaksi manusia dengan Tuhan YME
seperti yang nyata dalam ibadahnya dan dalam kehidupan sehari-hari ketika ia
berusaha merealisasi norma-norma agamanya”. (1986 : 143).
Hal ini sesuai dengan pandangan Sosiologi, Psikologi maupun Teologi yang
menyimpulkan manusia di samping sebagai makhluk individu dan makhluk sosial
maka manusia juga merupakan makhluk berketuhanan. Dalam hal inilah kita
mengerti bahwa manusia memang secara hakekat sudah mempunayi keinginan
untuk mengabdi kepada khalik di dalam dirinya. Ada semacam potensi dalam diri
manusia yang telah ditetapkan oleh Tuhan dalam penciptaan bahwa manusia adalah
satu-satunya makhluk yang dapat berpikir dan berinteraksi dengan Tuhan YME. Jadi
dalam pekerjaannya seseorang religius akan selalu mengupayakan keselarasan
norma-norma agamanya terhadap tugasnya dalam suatu motivasi yang timbul dari
persepsi yang telah dipolakan oleh ajaran agama.
Hal ini dapat kita lihat. Sunah Hasullullah SAW "Bekerjalah kamu untuk
duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi, dan bekerjalah untuk akhiratmu
seolah-olah kamu akan mati besok pagi”.
Sekarang jelas bagi kita bahwa religiositas mempunayi hubungan yang erat
dengan motivasi kerja yang dimunculkan oleh pegawai. Jika kita mempunyai
orientasi pembangunan yang berwawasan pembinaan sumber daya manusia maka
kita melihat alternatif yaitu religiositas adalah sikap yang mesti ditumbuhkan-
kembangkan di kalangan manusia Indonesia. Dari berbagai teori motivasi tersebut
akhirnya menyadarkan kita bahwa manusia bekerja bukan sekedar untuk memenuhi
kebutuhan Kebendaan saja, tetapi di luar yang produktif sebagian besar dihambat

© digitized by USU digital library 9


oleh pandangan kebendaan yang sempit dan berlebihan. seyogianyalah kita
bijaksana dan tidak terlampau mengagungkan kebendaan, sebab jika demikian akan
melemahkan kehidupan beragama kita dan dapat menumpulkan hati nurani yang
reliqiusnya yang merupakan potensi besar dalam diri manusia. Dengan kondisi yang
demikian kita akan menghidupi dan mewariskan peradaban yang merupakan
harmoni antara kebendaan dan kerohanian yaitu suatu peradaban yang seimbang.
Seperti yang dikemukakan oleh Soedjatmoko :

"Didalam konsepsi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, maka


manusia dan motivasi manusia dalam ia bertindak dalam masyarakat, dan dengan
sendirinya juga agama merupakan motivasi sosial baik pada tingkat pribadi maupun
tingkat kolektif dan sebagai sumber pola-pola persepsi realitas sosial, mengambil
tempat yang sangat penting. Juga dalam suatu aspek lain lagi, kita dapat melihat
suatu perubahan yang mendalam. Sekarang lebih disadari bahwa usaha untuk
menentukan tujuan-tujuan pembangunan serta urutan prioritas bagi suatu bangsa
tidak bisa dilepaskan dari ruang lingkup moral yang merupakan tempat berpijak
bangsa itu dan yang untuk sebagaian penting diwujudkan oleh agama”. (1985 : 4).
Jelas bagi kita sekarang bahwa sikap religiositas yang dimilki oleh setiap
pegawai akan sangat menunjang terhadap motivasi kerjanya.

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
1. Religiositas memberikan suatu dorongan kepada para pegawai untuk
bekerja lebih baik, meningkatkan kualitas kerjanya, serta bertanggung
jawab terhadap pekerjaannya.
2. Religiositas sangat panting dalam menciptakan etika kerja yang baik yang
bertanggung jawab secara horizontal kepada sesama manusia dan secara
vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian kita memiliki
sumber daya manusia yang jujur dan berdedikasi baik.
4.2. Saran
1. Upaya menumbuh-kembangkan sikap religiositas dalam diri pegawai
sehubungan dengan norma kerjanya yang dipandang sebagai suatu
manipulasi agar pegawai menjadi termotivasi. Akan tetapi dibutuhkan suatu
tindakan nyata dan kejujuran bersama untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
2. Di dalam menumbuhkan sikap yang berlandaskan nilai-nilai religiositas
dibutuhkan para pemimpin yang jujur dan berkeinginan memajukan
organisasi. Religiositas merupakan alternatif yang dapat dipilih untuk maksud
tersebut.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

© digitized by USU digital library 10


Arifin, H.M., Menguak Misteri Agama-Agama Besar, Jakarta, 1987.

Bellah, Robert N., Hidup Bermakna Jika Dijalankan Secara Tulus, Kompas, 4
Desember 1992.

Dickson, R., Line and Plumment, World Council of Churhes, Geneva, 1986.

Gerungan, W.A., Psikologi Sosial, PT Eresco, Bandung, 1986.

Gibson, James, et.al., Organisasi Prilaku Struktur Proses, Erlangga, 1993.

Indrawijaya, Adam., Prilaku Administrasi, Sinar Baru Bandung, 1986.

Maguis, Franz-Suseno., Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1985.

Mangunwijaya, Y.B., Sastra dan Religiositas, Kanisius, Yogyakarta, 1988.

Nasution, Harun., Agama dan Produktifitas, Panji Masyarakat, 21-30 Nopember


1992, no. 738.

Prent, C.M., Kamus-Latihan-Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1969.

Ranupandojo, Heidirachman-Husnan, Suad., Manajemen Personalia BPFE,


Yogyakarta, 1990.

Sastrodiningrat, Subagio, Perilaku Administrasi, UT, Depdikbud, Jakarta, 1986.

Simatupang, T.B., et.al., Peranan Agama dan Kepercayaan Dalam Negara Pancasila
Yang Membangun, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987.

Soedjatmoko, et.al., Agama dan Tantangan Zaman, LP3ES, Jakarta, 1985.

Simanjuntak, Payaman., Pengentas Ekonomi SDM, F.E. UI, 1985.

Suryohadiprojo, Sayidiman, Menghadapi Tantangan Masa Depan, PT. Gramedia,


Jakarta, 1987.

Wahjosumijo, Kepemimpinan dan Motivasi, Ghalia Indonesia,

Yassin, H.B., Al-Quranul-Karim Bacaan Mulia, Terjemahan, PT. Gunung Agung,


Jakarta, 1982.

© digitized by USU digital library 11

You might also like