Professional Documents
Culture Documents
TENGKU IRMAYANI
BAB I
PENDAHULUAN
"SDM mengandung pengertian usaha kerja atau jasa dalam proses produksi.
Dalam hal ini SDM mencerminkan kwalitas usaha yang diberikan oleh
seseorang dalam waktu tertentu untuk menghasilkan barang dan jasa atau
usaha kerja tersebut. Mampu bekerja berarti mampu melakukan kegiatan
tersebut dalam menghasilkan barang dan jasa”. (Payaman Simanjuntak,
1985:1)
Wahjosumidjo mengatakan:
“Motivasi merupakan suatu proses phisikologis yang mencerminkan interaksi
antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi dalam diri
seseorang. Dan motivasi sebagai faktor di dalam diri (intrinsik) atau di luar
diri (ekstrinsik)”. (1978 : 1974)
Dengan motivasi yang terpelihara baik diharapkan tujuan dan target yang
ditetapkan perusahaan dapat dicapai. Dengan demikian faktor motivasional menjadi
sesuatu yang sangat penting oleh karena segala sesuatu yang berhubungan dengan
pekerjaan dan target serta pencapaian tujuan organisasi selalu diawali dengan satu
titik yaitu motivasi. Titik awal yang baik cenderung akan mempunyai tindak lanjut
yang baik sampai akhirnya tujuan organisasi dapat tercapai dengan gemilang.
Banyak upaya yang dilakukan perusahaan untuk memacu motivasi kerja
karyawannya misalnya dengan insentif, mutasi, latihan, magang, dsb. Dalam banyak
penelitian di perguruan tinggi hal ini secara umum mempunyai korelasi yang baik.
Dalam penulisan ini, penulis tertarik dengan faktor intrinsik dan yang menjadi
penekanannya adalah faktor religiositas dalam diri peqawai.
Oleh karena itu faktor religiositas yang ditemukan para cendikiawan tersebut
perlu diperhitungkan dalam menambah motivasi kerja.
Seseorang yang telah mendalami ajaran-ajaran yang terkandung di dalam
setiap agama dapat memberikan motivasi atau dorongan bagi dirinya dalam
melaksanakan pekerjaannya. Karena bagi orang yang benar-benar telah
menjalankan perintah agamanya, biasanya dalam melakukan pekerjaan selalu
bertanggung jawab baik kepada dirinya, organisasi dimana dia berada maupun
kepada Tuhannya. Dengan demikian kemungkinan terjadinya penyimpangan atau
penyelewengan dalam tugas pekerjaan dapat terhindari.
BAB II
RELIGIOSITAS DAN MOTIVASI KERJA
2.1. Religiositas
Sengaja di sini tidak begitu di tonjolkan istilah 'agama' atau 'religi' meskipun
di beberapa tempat penulis menggunakannya, tetapi istilah yang banyak dipakai
adalah 'religius' atau 'religiositas'. Hal ini perlu ditegaskan oleh karena agama itu
lebih menyangkut lembaga, sedangkan religiositas lebih menyangkut persoalan
manusianya sebagai insan religius (homo religius).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kita menemukan istilah religius yang
diartikan sebagai taat kepada agama atau saleh. Jadi kita melihat adanya sifat yang
lebih dalam dari pada pengertian agama atau religi.
Kewajiban manusia dalam kehidupan ini adalah harus dapat membayar ketiga
hutang tersebut yaitu dengan pengabdian yang dilakukan dengan suatu
pengorbanan tulus ihklas atau yadnya-yadnya itu sangat perlu dilaksanakan oleh
setiap orang karena terikat kepada hutang RNA itu.
Bahwasanya umat Hindu menyadari tentang bermacam-macam pemberian
dari Tuhan, dari orang berilmu. Berbagai-bagai pemberian ini dipandang sebagai
Dari uraian-uraian tersebut kita dapat mengerti bahwa religiositas tidak hanya
bekerja dalam batas pengertian-pengertian ratio tetapi dalam penghayatan dan
pengamalan secara totalitas yang mendahului analisis atau konseptualisasi otak
manusia tadi. Bagi manusia religius sesuatu yang dihayatinya adalah bersifat
keramat, suci, khudus dan adikodrati.
Oleh karena itu kita dapat mengatakan bahwa seseorang yang bersifat
religius akan selalau menghubungkan pekerjaan yang dilakukannya sebagai suatu
kerangka pengabdian kepada Yang Maha Tinggi oleh karena bekerja adalah jauh
merupakan perintah Allah.
Sebagaimana tertera didalam Al-Qur'an surat Al-Qasshas ayat 77 yang artinya :
"Tapi carilah, dengan (kekayaan) yang dianugrahkan Tuhan kepadamu, negeri
akhirat, dan jangan lupa bagianmu di dunia ini.
BAB III
HUBUNGAN RELIGIOSITAS DENGAN MOTIVASI KERJA
Persepsi itu pada hakekatnya adalah yang dialami oleh setiap orang di dalam
memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran,
penghayatan, perasaan dan penciuman melalui proses kognitif. Dari pendapat di atas
kita melihat suatu penjelasan bahwa proses kognitif terhadap agama yang kemudian
meresap kedalam diri seseorang akan mewujudkan pola persepsi dunia manusia.
Secara khusus dalam konteks manusia Indonesia kita melihat bahwa
kehidupan beragama dan sikap religius adalah satu kenyataan budaya yang terdapat
di seluruh Indonesia. Adanya basis kehidupan beragaman di Indonesia yang sudah
sedemikian tua dan cukup berkembang memberikan kemungkinan sangat baik untuk
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
1. Religiositas memberikan suatu dorongan kepada para pegawai untuk
bekerja lebih baik, meningkatkan kualitas kerjanya, serta bertanggung
jawab terhadap pekerjaannya.
2. Religiositas sangat panting dalam menciptakan etika kerja yang baik yang
bertanggung jawab secara horizontal kepada sesama manusia dan secara
vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian kita memiliki
sumber daya manusia yang jujur dan berdedikasi baik.
4.2. Saran
1. Upaya menumbuh-kembangkan sikap religiositas dalam diri pegawai
sehubungan dengan norma kerjanya yang dipandang sebagai suatu
manipulasi agar pegawai menjadi termotivasi. Akan tetapi dibutuhkan suatu
tindakan nyata dan kejujuran bersama untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
2. Di dalam menumbuhkan sikap yang berlandaskan nilai-nilai religiositas
dibutuhkan para pemimpin yang jujur dan berkeinginan memajukan
organisasi. Religiositas merupakan alternatif yang dapat dipilih untuk maksud
tersebut.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bellah, Robert N., Hidup Bermakna Jika Dijalankan Secara Tulus, Kompas, 4
Desember 1992.
Dickson, R., Line and Plumment, World Council of Churhes, Geneva, 1986.
Simatupang, T.B., et.al., Peranan Agama dan Kepercayaan Dalam Negara Pancasila
Yang Membangun, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987.