Professional Documents
Culture Documents
Oleh karena itu diselenggarakanlah Konferensi Hukum Laut di Jenewa dari tanggal 24Februari – 27
Februari 1958 yang akhirnya berhasil menyepakati empat Konvensi yaitu :Konvensi tentang Laut
Teritorial dan Zona Tambahan (Convention on the Territorial Sea andContiguous Zone), Konvensi
tentang Laut Lepas (Convention on the High Seas), Konvensitentang Perikanan dan Perlindungan Sumber
Daya Alam Hayati Laut Lepas (Convention onFishing and Conservatory of the Living Resources of the
High Seas), dan Konvensi tentangLandas Kontinen (Convention on the Continental Shelf), dan kemudian
dilanjutkan denganKonferensi Hukum Laut di Jenewa pada tahun 1960. Konvensi tentang Landas
Kontinen 1958tersebut mulai berlaku (enter into force) pada tanggal 10 Juni 1964. Namun Konvensi
tentangLandas Kontinen 1958 terdapat kelemaha yang mengakibatkan Konvensi tersebut
dipandangsudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jama. Pasal 1 (a) Konvensi Landas Kontinen
1958menetapkan sebagai berikut :
“For the purpose of these articles, the term “continental shelf” is used as reffering : (a) Tothe seabed
and subsoil of the submarine areas adjacent to the coast but outside the area of theterritorial sea, to a
depth of 200 meters or, beyond that limit, to where depth of the superjacentwaters admits of the
exploitation of the natural resources of the said areas”
Kelemahan tersebut antara lain mengenai pengertian batas terluar landas kontinen dalamPasal 1 (a)
tersebut diatas yang mendasarkannya pada criteria “eksploitability”, menyebabkanbatas luar landas
kontinen menjadi tidak tegas dan pasti. Selain itu Pasal 6 Konvensi LandasKontinen 1958 mengatur
mengenai garis batas landas kontinen antara dua Negara atau lebihyang berdampingan (adjacent) atau
berhadapan (opposite), bila belum terdapat persetujuan bataslandas kontinennya maka garis batas
tersebut ditentukan dengan penerapan principle ofequidistance, kecuali berdasarkan keadaan-keadaan
khusus (special circumstances). Salah satucontoh kasus sengketa mengenai pengaturan penetapan batas
landas kontinen tersebut yaituNorth Sea Continental Shelf Case 1969. Dalam kasus tersebut terjadi
persengketaan batas landaskontinen di Laut Utara. Pada tanggal 31 Maret 1966 Belanda dan Denmark
menandatanganipersetujuan tentang garis batas landas kontinen di Laut Utara. Jerman ternyata
menentang keraspersetujuan tersebut karena dianggap sangat merugikan Jerman serta menghalang-
halangiJerman untuk memperoleh akses atas landas kontinen ke arah garis batas landas kontinen
Inggrisdi Laut Utara. Fakta lain yang dapat dikemukakan adalah bahwa Belanda dan Denmark
sudahmeratifikasi Konvensi Landas Kontinen 1958, sedangkan Jerman tidak atau belummeratifikasinya.
Dari keputusan Mahkamah Internasional atas kasus tersebut dapat ditarikbeberapa prinsip-prinsip dan
peraturan-peraturan hukum internasional yang dapat diterapkandalam menentukan garis batas di area
landas kontinen antara lain : bahwa Negara atau pihakyang tidak menyatakan maksudnya untuk terikat
dengan cara-cara atau tindakan-tindakan yangsesuai dengan kaidah hukum perjanjian internasional
(international law of treaties) sepertiratifikasi dan aksesi, tidak terikat pada perjanjian internasional atau
konvensi tersebut, principalof equidistant bukan merupakan hukum kebiasaan internasional. Oleh
karena itu para pihaktidaklah berkewajiban untuk menerapkan median lain sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal
6 Konvensi Landas Kontinen 1958, selain itu ditetapkan bahwa dalam menentukan garis bataslandas
kontinen jika tidak ada pengaturannya dalam bentuk persetujuan (agreement) antara parapihak, maka
haruslah ditetapkan melalui persetujuan yang mencerminkan prinsip keadilan dankepatutan, juga
ditetapkan juga landas kontinen suatu negara haruslah merupakan perpanjanganatau kelanjutan
alamiah (natural prolongation) dari wilayah daratannya dan tidak bolehmelanggar landas kontinen yang
juga merupakan perpanjangan atau kelanjutan secara alamiahdari wilayah daratan negara lain.
Selain itu, dalam praktiknya penetapan garis batas berdasarkan Principle of Equidistantsebenarnya tidak
mudah dan amat kompleks sebab situasi dan kondisi antara landas kontinen dikawasan yang satu
dengan yang lainnya terdapat banyak perbedaan. Juga, karena kemajuan ilmupengetahuan dan
teknologi kelautan yang amat pesat, mengakibatkan pengertian landas kontinendalam konvensi itu
dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman.
Maka Perserikatan Bangsa-Bangsa memprakarsai Konferensi Hukum Laut dari tahun1973-1982. Naskah
Konvensi Hukum Laut itu disepakati dan ditandatangani dan dikenal dengannama Konvensi Hukum Laut
1982 (The 1982 United Nations Convention on the Law of theSea). Dalam konvensi ini substansi dan
ruang lingkup dari landas kontinen dipertegas dandiperjelas. Konvensi ini telah memenuhi syarat untuk
mulai berlaku (enter into force) terhitungmulai tanggal 16 November 1994.
Dalam konvensi ini pengertian mengenai landas kontinen tidak lagi menggunakan kriteria“ekploitability”
melainkan menggunakan kriteria geologis yaitu landas kontinen merupakankelanjutan alamiah (natural
prolongation) wilayah daratannya dan juga menggunakan kriteriayuridis yang membatasi batas landas
kontinen hanya terdiri dari dasar laut (sea bed) dan tanah
dibawahnya (subsoil) serta menetapkan batas terluar dari landas kontinen tidak boleh melebihi350 mil
laut, dimana aturan tersebut lebih tegas dan limitative dibandingkan dengan kriteria“eksploitability”.
colony), yaitu Trinidad dan Venezuela di Teluk Paria (the Gulf of Paris) dengan
menggunakan prinsip pembagian yang adil (equitable division). Pada tahun 1945
kontinen antara Belanda, Denmark, dan Jerman tahun 1969 yang dikenal dengan
22
kasus North Sea Continental Shelf. Dalam kasus Laut Utara ini Jerman menolak
prinsip ini tidak adil baginya disebabkan Jerman memiliki keadaan khusus
landas kontinen berdasarkan prinsip sama jarak dapat disimpangi karena tidak adil
bagi negara tersebut, seperti pada Jerman. Ketentuan delimitasi landas kontinen
dalam kasus Laut Utara ini mengacu pada Konvensi Landas Kontinen(Konvensi
Jenewa 1958) dalam Pasal 6 berbunyi sebagai berikut : “… the boundary of the
between them. In the absence of agreement, and unless another boundary line is
baselines…”
mengukur landas kontinen apabila memang tidak ada kesepakatan antara kedua
Jenewa 1958, tetapi apabila ada negara yang bukan peserta Konvensi ini, maka
the Area berween Greenland and Jan Mayen (Denmark dan Norwegia) tahun
Continental Shelf tahun 1978 (Yunani dan Turki), Kasus Teluk Maine (Gulf of
Maine) antara batas landas kontinen dan zona penangkapan ikan antara AS dan
23
Desember 2002 semula dari landas kontinen yang ketika itu akan diukur oleh
memutuskan bahwa kedaulatan atas kedua pulau itu adalah menjadi milik
di landas kontinen adalah persoalan yang sangat pelik dan penting bagi negara-
Maritime Areas between Canada and the French Republic tahun 1992 mengenai
batas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif 200 mil laut.
lainnya tidak mendasarkan pada aturan konvensi internasional, tetapi pada praktik
Sea tahun 1969 itu adalah hukum kebiasaan internasional yang digunakan dimana
Mahkamah menyatakan bahwa tidak ada metode tunggal untuk mengukur batas
principles and taking account of all the relevant circumstances, in such a way as
to leave as much possible to each Party all those parts of the continental shelf
that constitute a natural prolongation of its land territory into and under the sea,
Laut Utara itu menggunakan prinsip sama jarak (the equidistance principle)
di landas kontinen akan efektif dengan adanya persetujuan sesuai dengan prinsip
24
relevan.
LAUT UTARA KASUS CONTINENTAL SHELF