You are on page 1of 12

NORTH CONTINENTAL SHELF CASE

Oleh karena itu diselenggarakanlah Konferensi Hukum Laut di Jenewa dari tanggal 24Februari – 27
Februari 1958 yang akhirnya berhasil menyepakati empat Konvensi yaitu :Konvensi tentang Laut
Teritorial dan Zona Tambahan (Convention on the Territorial Sea andContiguous Zone), Konvensi
tentang Laut Lepas (Convention on the High Seas), Konvensitentang Perikanan dan Perlindungan Sumber
Daya Alam Hayati Laut Lepas (Convention onFishing and Conservatory of the Living Resources of the
High Seas), dan Konvensi tentangLandas Kontinen (Convention on the Continental Shelf), dan kemudian
dilanjutkan denganKonferensi Hukum Laut di Jenewa pada tahun 1960. Konvensi tentang Landas
Kontinen 1958tersebut mulai berlaku (enter into force) pada tanggal 10 Juni 1964. Namun Konvensi
tentangLandas Kontinen 1958 terdapat kelemaha yang mengakibatkan Konvensi tersebut
dipandangsudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jama. Pasal 1 (a) Konvensi Landas Kontinen
1958menetapkan sebagai berikut :

“For the purpose of these articles, the term “continental shelf” is used as reffering : (a) Tothe seabed
and subsoil of the submarine areas adjacent to the coast but outside the area of theterritorial sea, to a
depth of 200 meters or, beyond that limit, to where depth of the superjacentwaters admits of the
exploitation of the natural resources of the said areas”

Kelemahan tersebut antara lain mengenai pengertian batas terluar landas kontinen dalamPasal 1 (a)
tersebut diatas yang mendasarkannya pada criteria “eksploitability”, menyebabkanbatas luar landas
kontinen menjadi tidak tegas dan pasti. Selain itu Pasal 6 Konvensi LandasKontinen 1958 mengatur
mengenai garis batas landas kontinen antara dua Negara atau lebihyang berdampingan (adjacent) atau
berhadapan (opposite), bila belum terdapat persetujuan bataslandas kontinennya maka garis batas
tersebut ditentukan dengan penerapan principle ofequidistance, kecuali berdasarkan keadaan-keadaan
khusus (special circumstances). Salah satucontoh kasus sengketa mengenai pengaturan penetapan batas
landas kontinen tersebut yaituNorth Sea Continental Shelf Case 1969. Dalam kasus tersebut terjadi
persengketaan batas landaskontinen di Laut Utara. Pada tanggal 31 Maret 1966 Belanda dan Denmark
menandatanganipersetujuan tentang garis batas landas kontinen di Laut Utara. Jerman ternyata
menentang keraspersetujuan tersebut karena dianggap sangat merugikan Jerman serta menghalang-
halangiJerman untuk memperoleh akses atas landas kontinen ke arah garis batas landas kontinen
Inggrisdi Laut Utara. Fakta lain yang dapat dikemukakan adalah bahwa Belanda dan Denmark
sudahmeratifikasi Konvensi Landas Kontinen 1958, sedangkan Jerman tidak atau belummeratifikasinya.
Dari keputusan Mahkamah Internasional atas kasus tersebut dapat ditarikbeberapa prinsip-prinsip dan
peraturan-peraturan hukum internasional yang dapat diterapkandalam menentukan garis batas di area
landas kontinen antara lain : bahwa Negara atau pihakyang tidak menyatakan maksudnya untuk terikat
dengan cara-cara atau tindakan-tindakan yangsesuai dengan kaidah hukum perjanjian internasional
(international law of treaties) sepertiratifikasi dan aksesi, tidak terikat pada perjanjian internasional atau
konvensi tersebut, principalof equidistant bukan merupakan hukum kebiasaan internasional. Oleh
karena itu para pihaktidaklah berkewajiban untuk menerapkan median lain sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal
6 Konvensi Landas Kontinen 1958, selain itu ditetapkan bahwa dalam menentukan garis bataslandas
kontinen jika tidak ada pengaturannya dalam bentuk persetujuan (agreement) antara parapihak, maka
haruslah ditetapkan melalui persetujuan yang mencerminkan prinsip keadilan dankepatutan, juga
ditetapkan juga landas kontinen suatu negara haruslah merupakan perpanjanganatau kelanjutan
alamiah (natural prolongation) dari wilayah daratannya dan tidak bolehmelanggar landas kontinen yang
juga merupakan perpanjangan atau kelanjutan secara alamiahdari wilayah daratan negara lain.

Selain itu, dalam praktiknya penetapan garis batas berdasarkan Principle of Equidistantsebenarnya tidak
mudah dan amat kompleks sebab situasi dan kondisi antara landas kontinen dikawasan yang satu
dengan yang lainnya terdapat banyak perbedaan. Juga, karena kemajuan ilmupengetahuan dan
teknologi kelautan yang amat pesat, mengakibatkan pengertian landas kontinendalam konvensi itu
dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman.

Maka Perserikatan Bangsa-Bangsa memprakarsai Konferensi Hukum Laut dari tahun1973-1982. Naskah
Konvensi Hukum Laut itu disepakati dan ditandatangani dan dikenal dengannama Konvensi Hukum Laut
1982 (The 1982 United Nations Convention on the Law of theSea). Dalam konvensi ini substansi dan
ruang lingkup dari landas kontinen dipertegas dandiperjelas. Konvensi ini telah memenuhi syarat untuk
mulai berlaku (enter into force) terhitungmulai tanggal 16 November 1994.

Dalam konvensi ini pengertian mengenai landas kontinen tidak lagi menggunakan kriteria“ekploitability”
melainkan menggunakan kriteria geologis yaitu landas kontinen merupakankelanjutan alamiah (natural
prolongation) wilayah daratannya dan juga menggunakan kriteriayuridis yang membatasi batas landas
kontinen hanya terdiri dari dasar laut (sea bed) dan tanah

dibawahnya (subsoil) serta menetapkan batas terluar dari landas kontinen tidak boleh melebihi350 mil
laut, dimana aturan tersebut lebih tegas dan limitative dibandingkan dengan kriteria“eksploitability”.

Landas Kontinen (Continental Shelf)

Pengukuran batas negara di landas kontinen tidak berdasarkan pada

prinsip yang tetap, tetapi berdasarkan perjanjian antara negara-negara yang

berbatasan dengan landas kontinen tersebut. Sejarah pertama pengukuran

perbatasan di landas kontinen terjaditahun 1942 antara koloni Inggris (British

colony), yaitu Trinidad dan Venezuela di Teluk Paria (the Gulf of Paris) dengan

menggunakan prinsip pembagian yang adil (equitable division). Pada tahun 1945

AS mengeluarkan Truman Proclamation yang mengacu pada prinsip keadilan

(equitable principles) dalam menentukan batas-batas negara di landas kontinen.


Dalam praktik negara-negara pengukuran landas kontinen memperhatikan

konfigurasi pantai negara yang bersangkutan, seperti kasus penentuan landas

kontinen antara Belanda, Denmark, dan Jerman tahun 1969 yang dikenal dengan

22

kasus North Sea Continental Shelf. Dalam kasus Laut Utara ini Jerman menolak

menggunakan prinsip sama jarak (equidistance principle) karena Jerman menilai

prinsip ini tidak adil baginya disebabkan Jerman memiliki keadaan khusus

(special circumstances). Apabila ada keadaan khusus tersebut, maka pengukuran

landas kontinen berdasarkan prinsip sama jarak dapat disimpangi karena tidak adil

bagi negara tersebut, seperti pada Jerman. Ketentuan delimitasi landas kontinen

dalam kasus Laut Utara ini mengacu pada Konvensi Landas Kontinen(Konvensi

Jenewa 1958) dalam Pasal 6 berbunyi sebagai berikut : “… the boundary of the

continental shelf appertaining to such States shall be determined by agreement

between them. In the absence of agreement, and unless another boundary line is

justified by special circumstances … the boundary shall be determined by

application of the principle of equidistance from the nearest points of the

baselines…”

Pasal 6 Konvensi Jenewa 1958 ini menerapkan prinsip sama jarak

(equidistance) dan memperhatikan keadaan khusus (special circumstances) dalam

mengukur landas kontinen apabila memang tidak ada kesepakatan antara kedua

negara tersebut. Dalam kasus North Sea itu, Jerman tidak meratifikasi Konvensi

Jenewa 1958, tetapi apabila ada negara yang bukan peserta Konvensi ini, maka

hukum kebiasaan internasional dapat diterapkan. Hukum kebiasaan internasional

dikembangkan oleh putusan-putusan Mahkamah Internasional (International

Court of Justice) dan pengadilan-pengadilan arbitrase.


Putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional misalnya

kasus ‘landmark’ North Sea Continental Shelf tahun 1969 (Jerman, Denmark, dan

Beland), kasus Continental Shelf tahun 1982 (Tunisia dan Libya), kasus

Continental Shelf tahun 1985 (Libya dan Malta), Kasus Maritime Delimitation in

the Area berween Greenland and Jan Mayen (Denmark dan Norwegia) tahun

1993, Application for revision and interpretation of judgment of 24 February

1982 concerning the Continental Shelf (Tunisia dan Libya), kasus Aegean Sea

Continental Shelf tahun 1978 (Yunani dan Turki), Kasus Teluk Maine (Gulf of

Maine) antara batas landas kontinen dan zona penangkapan ikan antara AS dan

Kanada.Kasus Sipadan-Ligitan yang diputuskan Mahkamah Internasional 17

23

Desember 2002 semula dari landas kontinen yang ketika itu akan diukur oleh

Indonesia dan Malaysia. Dalam kasus Sipdan-Ligitan tersebut Mahkamah

memutuskan bahwa kedaulatan atas kedua pulau itu adalah menjadi milik

Malaysia. Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa persoalan perbatasan wilayah

di landas kontinen adalah persoalan yang sangat pelik dan penting bagi negara-

negara bahkan mungkin dapat menjadi sengketa bersenjata. Sedangkan

pembentukan hukum kebiasaan internasional melalui pengadilan-pengadilan

arbitrasi misalnya kasus the Anglo-French Continental Shelf tahun 1977, kasus

the Dubai/Sharjah Border Arbitration tahun 1981, dan kasus the Delimitation of

Maritime Areas between Canada and the French Republic tahun 1992 mengenai

batas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif 200 mil laut.

Dalam beberapa kasus tersebut, Mahkamah Internasional dan pengadilan

lainnya tidak mendasarkan pada aturan konvensi internasional, tetapi pada praktik

negara-negara sehingga menjadi hukum kebiasaan internasional yang diterima


oleh negara dan sesuai dengan opinio juris sive necessitaties. Dalam kasus North

Sea tahun 1969 itu adalah hukum kebiasaan internasional yang digunakan dimana

Mahkamah menyatakan bahwa tidak ada metode tunggal untuk mengukur batas

negara di landas kontinen yang harus dilakukan (compulsory) karenanya

Mahkamah menegaskan berdasarkan hukum kebisaan sebagai berikut :

“delimitation is to be effected by agreement in accordance with equitable

principles and taking account of all the relevant circumstances, in such a way as

to leave as much possible to each Party all those parts of the continental shelf

that constitute a natural prolongation of its land territory into and under the sea,

without encroachment on the natural prolongation on the land territory of the

other.” Berdasarkan putusan Mahkamah tersebut, Mahkamah memberikan a

larger share kepada Jerman dibandingkan kalau pengukuran landas kontinen di

Laut Utara itu menggunakan prinsip sama jarak (the equidistance principle)

karena landas kontinen Jerman mempunyai kelanjutan alamiah dari wilayah

daratannya. Mahkamah mengakui bahwa kasus-kasus sengketa perbatasan negara

di landas kontinen akan efektif dengan adanya persetujuan sesuai dengan prinsip

24

keadilan (equitable principles) dan memperhatikan keadaan-keadaan yang

relevan.
LAUT UTARA KASUS CONTINENTAL SHELF 

Pengadilan 20 Februari 1969 

Pengadilan disampaikan penghakiman, dengan 11 suara untuk 6, di Laut Utara kasus


Continental Shelf. 
Sengketa yang diajukan ke Pengadilan pada tanggal 20 Februari 1967, terkait dengan
penentuan batas landas kontinen antara Republik Federal Jerman dan Denmark di satu sisi,
dan antara Republik Federal Jerman dan Belanda di sisi lain.Para Pihak meminta Mahkamah
untuk menyatakan prinsip-prinsip dan aturan hukum internasional yang berlaku, dan melakukan
selanjutnya untuk melaksanakan delimitations atas dasar itu. 
Pengadilan menolak anggapan dari Denmark dan Belanda yang menyatakan bahwa
delimitations tersebut harus dilakukan sesuai dengan prinsip equidistance sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dari Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen, memegang: 
 - Bahwa Republik Federal, yang belum meratifikasi Konvensi tersebut, tidak secara hukum
terikat oleh ketentuan Pasal 6; 
 - Bahwa prinsip equidistance bukanlah konsekuensi dari konsep umum dari hak landas
kontinen, dan tidak aturan hukum kebiasaan internasional. 
Pengadilan juga menolak perdebatan Republik Federal sejauh ini penerimaan mencari prinsip
suatu pembagian secara proporsional dari landas kontinen menjadi adil dan merata saham. Hal
ini menyatakan bahwa setiap Pihak memiliki hak asli untuk daerah-daerah landas kontinen yang
merupakan perpanjangan alamiah wilayah daratan ke dalam dan di bawah laut. Ini bukan
pertanyaan tentang apportioning atau berbagi keluar daerah, melainkan pembatas mereka. 
Pengadilan menemukan bahwa garis batas di pertanyaan itu harus ditarik oleh perjanjian antara
Pihak dan sesuai dengan prinsip adil, dan ini menunjukkan faktor-faktor tertentu harus
dipertimbangkan untuk tujuan itu. Sekarang untuk Para Pihak untuk bernegosiasi atas dasar
prinsip-prinsip seperti itu, karena mereka telah setuju untuk melakukan. 
Proses, yang berkaitan dengan penentuan batas sebagai antara Pihak daerah landas kontinen
Laut Utara appertaining untuk masing-masing, yang dilembagakan pada 20 Februari 1967 oleh
komunikasi kepada Panitera Pengadilan dua Perjanjian Khusus, antara Denmark dan Republik
Federal dan Republik Federal dan Belanda masing-masing. Oleh Orde tanggal 26 April 1968,
Pengadilan bergabung dengan proses dalam dua kasus. 
Pengadilan memutuskan dua kasus dalam kiamat tunggal, yang diadopsi oleh suara 11-
6. Diantara Anggota Mahkamah concurring di dalam penghakiman, Hakim Sir Muhammad
Zafrulla Khan ditambahkan sebuah deklarasi, dan Presiden Bustamante y Rivero dan Hakim
Jessup, Padilla Nervo dan Ammoun ditambahkan pendapat terpisah. Dalam kasus Hakim non-
concurring, pernyataan perbedaan pendapat nya ditambahkan oleh Hakim Bengzon; dan Wakil
Presiden Koretsky, bersama dengan Hakim Tanaka, Morelli dan Lachs, dan Hakim ad hoc
Sorensen, perbedaan pendapat ditambahkan. 
Dalam Putusan, Pengadilan diperiksa dalam konteks delimitations menyangkut masalah yang
berhubungan dengan rezim hukum landas kontinen yang diajukan oleh perselisihan Para
Pihak. 
Fakta dan perselisihan Para Pihak (paras. 1-17 dari Penghakiman) 
Kedua Perjanjian Khusus telah meminta Mahkamah untuk menyatakan prinsip-prinsip dan
aturan hukum internasional yang berlaku untuk penentuan batas sebagai antara Pihak daerah
landas kontinen Laut Utara appertaining untuk masing-masing di luar batas-batas parsial dalam
disekitar pantai sudah ditentukan antara Republik Federal dan Belanda dengan perjanjian 1
Desember 1964 dan antara Republik Federal dan Denmark oleh perjanjian tanggal 9 Juni
1965.The Pengadilan tidak diminta sebenarnya untuk membatasi batas lebih lanjut terlibat, Para
Pihak melakukan di masing-masing Perjanjian Khusus untuk efek batas tersebut dengan
perjanjian menurut keputusan MK. 
Air Laut Utara dangkal, dasar laut utuh, kecuali Palung Norwegia, terdiri dari landas kontinen
pada kedalaman kurang dari 200 meter. Sebagian besar sudah dipisahkan antara negara
pantai yang bersangkutan. Republik Federal dan Denmark dan Belanda, masing-masing, telah,
bagaimanapun, tidak bisa menyetujui perpanjangan batas parsial tersebut di atas, terutama
karena Denmark dan Belanda telah berharap perpanjangan ini harus dilakukan berdasarkan
prinsip equidistance , sedangkan Republik Federal telah mempertimbangkan bahwa hal itu
akan terlalu membatasi apa Republik Federal harus percaya saham yang tepat daerah landas
kontinen, atas dasar proporsionalitas dengan panjang garis pantai Laut Utara-nya. Baik dari
batas-batas tersebut akan dengan sendirinya menghasilkan efek ini, tetapi hanya mereka
berdua bersama-sama - satu elemen dianggap oleh Denmark dan Belanda sebagai tidak
relevan dengan apa yang mereka dipandang sebagai dua delimitations terpisah, untuk
dilakukan tanpa referensi yang lain. 
Sebuah batas yang didasarkan pada prinsip equidistance, yaitu, sebuah "equidistance line", kiri
ke masing-masing Pihak yang bersangkutan semua bagian-bagian dari landas kontinen yang
lebih dekat ke titik di pantai sendiri daripada mereka ke titik manapun di pantai Partai yang
lain. Dalam kasus cekung atau pantai recessing seperti yang Republik Federal di Laut Utara,
efek dari metode equidistance adalah untuk menarik garis batas ke dalam, ke arah cekungan
tersebut.Akibatnya, di mana dua baris equidistance ditarik, mereka akan, jika lengkungan itu
diucapkan, pasti bertemu pada jarak yang relatif singkat dari pantai, sehingga "memotong"
Negara pantai dari daerah landas kontinen di luar. Sebaliknya, efek cembung atau lahiriah
pantai melengkung, seperti itu, pada tingkat yang moderat, orang-orang Denmark dan Belanda,
adalah untuk menyebabkan garis equidistance untuk meninggalkan pantai di program berbeda,
sehingga memiliki kecenderungan melebar di daerah landas kontinen di lepas pantai itu. 
Sudah berpendapat atas nama dari Denmark dan Belanda bahwa masalah ini diatur oleh aturan
hukum yang wajib, yang mencerminkan bahasa Pasal 6 dari Konvensi Jenewa tentang Landas
Kontinen tanggal 29 April 1958, telah ditunjuk oleh mereka sebagai "keadaan equidistance-
khusus" aturan. Peraturan itu adalah yang menyatakan bahwa di tidak ada kesepakatan oleh
para pihak untuk menggunakan metode lain, semua batas-batas landas kontinen harus ditarik
melalui garis equidistance kecuali "keadaan khusus" diakui ada. Menurut Denmark dan
Belanda, konfigurasi pantai Laut Utara Jerman tidak dengan sendirinya merupakan, untuk salah
satu dari dua garis batas yang bersangkutan, keadaan khusus. 
Republik Federal, untuk sebagian, telah berpendapat bahwa aturan yang benar, pada setiap
tingkat dalam keadaan seperti Laut Utara, adalah salah satu menurut yang masing-masing
Negara yang bersangkutan harus memiliki "saham adil dan merata" yang tersedia landas
kontinen, sebanding dengan panjang-bagian depan lautnya. Ia juga berpendapat bahwa dalam
laut berbentuk seperti Laut Utara, masing-masing Negara yang bersangkutan berhak untuk
daerah landas kontinen membentang hingga ke titik pusat dari laut tersebut, atau setidaknya
memperluas untuk garis tengah nya. Atau, Republik Federal telah mengklaim bahwa jika
metode equidistance diselenggarakan untuk bc berlaku, konfigurasi pantai Laut Utara Jerman
merupakan suatu keadaan khusus seperti untuk membenarkan suatu keberangkatan dari
metode batas dalam kasus khusus ini. 
The Pembagian Teori Ditolak (paras. 18-20 dari Penghakiman) 
Pengadilan merasa tidak dapat menerima, dalam bentuk tertentu itu diambil, anggapan pertama
yang diajukan atas nama Republik Federal. Tugasnya adalah untuk membatasi, bukan untuk
membagi daerah yang bersangkutan. Proses penetapan batas yang terlibat mendirikan batas-
batas wilayah yang sudah, pada prinsipnya, appertaining kepada Negara pantai dan bukan
penentuan de novo seperti suatu daerah. Doktrin saham adil dan merata sepenuhnya berbeda
dengan yang paling mendasar dari semua aturan hukum yang berkaitan dengan landas
kontinen, yaitu, bahwa hak-hak Negara pantai mengenai bidang landas kontinen merupakan
suatu perpanjangan alami tanah wilayah di bawah laut ada ipso facto dan ab initio, berdasarkan
kedaulatannya atas tanah. Itu hak yang melekat. Untuk latihan ini, tidak ada tindakan hukum
khusus harus dilakukan. Ini diikuti bahwa gagasan apportioning suatu sebagai daerah belum
undelimited dianggap sebagai keseluruhan (yang mendasari doktrin saham adil dan merata)
tidak konsisten dengan konsep dasar hak landas kontinen. 
Non-Berlakunya Pasal 6 dari Konvensi Landas Kontinen 1958 (paras. 21-36 dari
Penghakiman) 
Pengadilan kemudian beralih ke pertanyaan apakah dalam pembatasan daerah Republik
Federal berada di bawah kewajiban hukum untuk menerima penerapan prinsip
equidistance. Sementara itu mungkin benar bahwa tidak ada metode lain yang batas memiliki
kombinasi yang sama dari kenyamanan praktis dan kepastian aplikasi, faktor-faktor itu tidak
mencukupi dari diri mereka sendiri untuk mengubah apa yang metode menjadi aturan
hukum. Metode tersebut harus menarik kekuatan hukum dari faktor-faktor selain adanya
keuntungan tersebut. 
Pertanyaan pertama yang perlu dipertimbangkan adalah apakah Konvensi Jenewa tahun 1958
tentang Landas Kontinen itu mengikat untuk semua pihak dalam kasus tersebut. Berdasarkan
ketentuan formal dari Konvensi, itu berlaku bagi setiap Negara individu yang telah
ditandatangani dalam batas waktu yang disediakan, hanya jika Negara itu juga kemudian
meratifikasinya. Denmark dan Belanda berdua menandatangani dan meratifikasi Konvensi dan
pihak, tapi Republik Federal, walaupun salah satu penandatangan Konvensi, tidak pernah
meratifikasinya, dan karenanya tidak pesta. Itu mengaku atas nama dari Denmark dan Belanda
yang dalam keadaan Konvensi tidak bisa, dengan demikian, akan mengikat Republik
Federal. Tapi itu berpendapat bahwa rezim Pasal 6 dari Konvensi telah menjadi mengikat
Republik Federal, karena, dengan melakukan, oleh pernyataan publik dan proklamasi, dan
dengan cara lain, Republik mengasumsikan kewajiban Konvensi. 
Sudah jelas bahwa hanya yang sangat pasti, tentu saja sangat konsisten melakukan pada
bagian dari suatu Negara dalam situasi Republik Federal dapat membenarkan mereka
menegakkan perdebatan. Ketika sejumlah Negara menyusun sebuah konvensi khusus
menyediakan metode tertentu dengan yang niat untuk menjadi terikat oleh rezim konvensi itu
akan diwujudkan, hal itu tidak ringan untuk dianggap bahwa suatu Negara yang tidak dilakukan
orang formalitas namun entah bagaimana telah terikat dengan cara lain. Selain itu, Republik
Federal telah meratifikasi Konvensi Jenewa, itu bisa masuk reservasi untuk Pasal 6, dengan
alasan fakultas untuk melakukannya diberikan oleh Pasal 12 Konvensi. 
Hanya adanya situasi estoppel bisa meminjamkan substansi anggapan dari Denmark dan
Belanda - yaitu, jika Republik Federal sekarang dilarang menolak penerapan rezim
konvensional, dengan alasan perilaku masa lalu, deklarasi, dll, yangtidak hanya secara jelas
dan konsisten evinced penerimaan rezim itu, tetapi juga telah menyebabkan Denmark atau
Belanda, dalam ketergantungan pada perilaku tersebut, detrimentally untuk mengubah posisi
atau menderita beberapa prasangka.Dari ini tidak ada bukti. Oleh karena itu, Pasal 6 dari
Konvensi Jenewa tidak, seperti yang berlaku untuk delimitations terlibat dalam proses ini. 
The Equidistance Tidak Inheren dalam Ajaran Dasar Landas Kontinen (paras. 37-59 dari
Penghakiman) Prinsip 
Sudah dipelihara oleh Denmark dan Belanda bahwa Republik Federal dalam acara apapun,
dan cukup terpisah dari Konvensi Jenewa, terikat untuk menerima batas secara equidistance,
karena penggunaan metode yang merupakan aturan hukum internasional yang umum atau
adat , secara otomatis mengikat Republik Federal. 
Salah satu argumen diajukan oleh mereka yang mendukung anggapan ini, yang mungkin
disebut argumen apriori, mulai dari posisi bahwa hak-hak Negara pantai ke daerah-daerah
landas kontinen didasarkan pada kedaulatannya atas domain tanah, yang rak daerah adalah
perpanjangan alam bawah laut. Dari pengertian perlengkapan adalah berasal pandangan, yang
diterima Pengadilan, bahwa hak-hak Negara pesisir ada ipso facto dan ab initio. Denmark dan
Belanda mengklaim bahwa uji alat-alat harus "kedekatan": semua bagian-bagian rak yang
dianggap sebagai yg berhubung ke suatu Negara pantai tertentu yang lebih dekat ke daripada
mereka adalah untuk setiap titik di pantai Negara lain. Oleh karena itu, batas harus dilakukan
dengan metode yang akan meninggalkan untuk masing-masing Negara yang bersangkutan
semua wilayah yang terdekat ke pantai sendiri. Karena hanya garis equidistance akan
melakukan hal ini, hanya seperti sebuah garis bisa valid, itu berpendapat. 
Pandangan ini memiliki kekuatan banyak; sebagian besar wilayah kontinen suatu Negara rak
biasanya sebenarnya lebih dekat dengan pantai nya daripada yang lain.Tetapi persoalan
sebenarnya adalah apakah itu diikuti bahwa setiap bagian dari wilayah yang bersangkutan
harus ditempatkan dengan cara itu. Mahkamah tidak menganggap ini mengikuti dari gagasan
jarak, yang satu agak cairan. Lebih mendasar adalah konsep landas kontinen sebagai
perpanjangan alami dari domain tanah. Bahkan jika kedekatan bisa membeli salah satu tes
yang akan diterapkan, dan salah satu yang penting dalam kondisi yang tepat, mungkin tidak
tentu saja, maupun dalam segala keadaan yang paling tepat, satu. daerah Submarine tidak
tergolong kepada Negara pantai hanya karena mereka dekat itu, juga tidak alat-alat mereka
bergantung pada setiap kepastian penetapan batas untuk batas-batas mereka. Apa yang
diberikan judul ipso jure adalah fakta bahwa kapal selam daerah yang bersangkutan mungkin
dianggap benar-benar bagian dari wilayahnya dalam arti bahwa mereka adalah perpanjangan
wilayah daratan di bawah laut. Equidistance jelas tidak dapat diidentifikasi dengan gagasan
perpanjangan alam, karena penggunaan metode equidistance sering akan menyebabkan
daerah-daerah yang merupakan perpanjangan alami dari wilayah satu Negara dapat diberikan
ke yang lain. Oleh karena itu, gagasan tentang equidistance bukan iringan suatu tak
terhindarkan apriori doktrin dasar landas kontinen. 
Sebuah tinjauan genesis metode equidistance penetapan batas dikonfirmasi kesimpulan di
atas. The "Truman Proklamasi" yang dikeluarkan oleh Pemerintah Amerika Serikat pada 28
September 1945 dapat dianggap sebagai titik awal dari hukum positif pada subjek, dan doktrin
kepala itu diucapkan, bahwa Negara pantai memiliki asli, alami dan eksklusif hak untuk lepas
landas kontinen pantainya, telah datang untuk mengalahkan semua orang lain dan sekarang
tercermin dalam Konvensi Jenewa the1958. Sehubungan dengan batas batas-batas antara rak
kontinental Negara yang berdekatan, Proklamasi Truman telah menyatakan bahwa batas-batas
tersebut "harus ditentukan oleh Amerika Serikat dan Negara yang bersangkutan sesuai dengan
prinsip adil". Kedua konsep, penetapan batas dengan persetujuan bersama dan delimitasi
sesuai dengan prinsip yang adil, telah underlain semua sejarah berikutnya subjek. Sudah
sebagian besar berdasarkan rekomendasi dari komite ahli bahwa prinsip equidistance untuk
batas-batas landas kontinen telah diterima oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa Komisi Hukum
Internasional dalam teks itu diletakkan sebelum Konferensi Jenewa tahun 1958 tentang
Hukum Laut yang telah mengadopsi Konvensi Landas Kontinen. Ini sah bisa diasumsikan
bahwa para ahli telah digerakkan oleh pertimbangan bukan dari teori hukum tetapi kenyamanan
praktis dan kartografi. Selain itu, artikel yang diadopsi oleh Komisi telah diberikan prioritas untuk
delimitasi oleh perjanjian dan telah berisi pengecualian mendukung "keadaan khusus". 
Pengadilan akibatnya menganggap bahwa Denmark dan Belanda terbalik urutan yang benar
sesuatu dan bahwa, jauh dari aturan equidistance yang telah dihasilkan oleh sebuah prinsip yg
kedekatannya melekat dalam seluruh konsep perlengkapan landas kontinen, yang terakhir ini
lebih merupakan rasionalisasi mantan 
The Equidistance Prinsip Bukan Peraturan Adat Hukum Internasional (paras. 60-82 dari
Penghakiman) 
Pertanyaannya tetap apakah melalui proses hukum positif prinsip equidistance kini harus
dianggap sebagai aturan hukum kebiasaan internasional. 
Menolak perdebatan dari Denmark dan Belanda, Mahkamah menilai bahwa prinsip
equidistance, sebagaimana digambarkan dalam Pasal 6 dari Konvensi Jenewa, belum
diusulkan oleh Komisi Hukum Internasional sebagai aturan yang muncul dari hukum kebiasaan
internasional. Pasal ini tidak bisa dikatakan telah mencerminkan atau mengkristal aturan
tersebut. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa setiap Negara mungkin bisa membuat pemesanan
berkenaan dengan Pasal 6, tidak seperti Pasal 1, 2, dan 3 pada menandatangani, meratifikasi
atau aksesi pada Konvensi.Sedangkan ketentuan lain tertentu dari Konvensi, meskipun
berkaitan dengan hal-hal yang terletak dalam bidang hukum adat yang diterima, juga tidak
dikecualikan dari Fakultas reservasi, mereka semua berkaitan dengan peraturan hukum maritim
umum sangat jauh antedating Konvensi yang hanya insidental hak-hak landas kontinen seperti
itu, dan telah disebutkan dalam Konvensi hanya untuk memastikan bahwa mereka tidak
dirugikan oleh pelaksanaan hak landas kontinen. Pasal 6, bagaimanapun, berkaitan langsung
dengan hak landas kontinen seperti itu, dan karena tidak dikecualikan dari Fakultas reservasi,
itu adalah kesimpulan yang sah bahwa tidak dianggap untuk mencerminkan hukum adat
muncul. 
Sudah dikatakan atas nama dari Denmark dan Belanda bahwa meskipun pada tanggal
Konvensi Jenewa ada aturan hukum kebiasaan internasional ada yang mendukung prinsip
equidistance, aturan tersebut telah tetap terwujud sejak Konvensi, sebagian karena perusahaan
memiliki dampak, dan sebagian berdasarkan praktik Negara berikutnya. Agar proses ini terjadi
maka perlu bahwa Pasal 6 dari Konvensi harus, di semua peristiwa berpotensi, menjadi sebuah
norma-menciptakan karakter.Pasal 6 begitu dibingkai, namun, untuk menempatkan kewajiban
untuk menggunakan metode equidistance setelah kewajiban utama untuk batas efek dengan
perjanjian.Selanjutnya, bagian yang dimainkan oleh gagasan keadaan khusus dalam kaitannya
dengan prinsip equidistance, kontroversi mengenai makna yang tepat dan ruang lingkup
gagasan itu, dan fakultas untuk membuat reservasi terhadap Pasal 6 semua harus
meningkatkan keraguan mengenai norma berpotensi -menciptakan karakter dari pasal itu. 
Lebih jauh lagi, sementara partisipasi yang sangat luas dan perwakilan di konvensi mungkin
menunjukkan bahwa aturan konvensional telah menjadi aturan umum hukum internasional,
dalam kasus ini jumlah ratifikasi dan aksesi sejauh hampir tidak cukup.Mengenai unsur waktu,
meskipun hanya bagian dari jangka waktu yang singkat itu belum tentu merupakan halangan
untuk pembentukan aturan baru hukum kebiasaan internasional berdasarkan apa yang awalnya
aturan murni konvensional, hal itu sangat diperlukan bahwa praktik Negara selama periode,
termasuk bahwa Negara yang kepentingannya secara khusus terpengaruh, seharusnya sudah
baik luas dan hampir seragam dalam arti ketentuan dipanggil dan harus telah terjadi sedemikian
rupa untuk menunjukkan pengakuan umum bahwa aturan hukum yang terlibat .Sekitar 15 kasus
telah dikutip di mana Negara yang bersangkutan telah sepakat untuk menggambar atau telah
ditarik batas-batas yang bersangkutan sesuai dengan prinsip equidistance, tetapi tidak ada
bukti bahwa mereka telah begitu bertindak karena mereka merasa hukum terdorong untuk
menarik mereka dengan cara yangkarena alasan adanya aturan hukum adat. Kasus yang
dikutip adalah bukti yang tidak meyakinkan dan tidak memadai dari praktek diselesaikan. 
Pengadilan akibatnya menyimpulkan bahwa Konvensi Jenewa tidak dalam asal atau awal
deklaratoir dari aturan wajib hukum kebiasaan internasional memerintahkan penggunaan
prinsip equidistance, efek berikutnya belum konstitutif aturan tersebut, dan praktik Negara up to
date telah sama-sama telah mencukupi untuk tujuan tersebut. 
Prinsip dan Aturan Hukum Yang Berlaku (paras. 83-101 dari Penghakiman) 
Situasi hukum adalah bahwa Pihak berada di bawah tidak ada kewajiban untuk menerapkan
prinsip equidistance baik di bawah Konvensi 1958 atau sebagai aturan hukum internasional
yang umum atau adat. Ini akibatnya menjadi tidak perlu bagi Mahkamah untuk
mempertimbangkan apakah konfigurasi pantai Laut Utara Jerman merupakan sebuah "keadaan
khusus". Ini tetap untuk Pengadilan, bagaimanapun, menunjukkan kepada Pihak prinsip-prinsip
dan aturan hukum dalam terang yang batas itu harus dilakukan. 
Prinsip-prinsip dasar dalam hal penetapan batas, berasal dari Proklamasi Truman, adalah
bahwa ia harus menjadi obyek perjanjian antara Negara yang bersangkutan dan bahwa
perjanjian tersebut harus tiba di sesuai dengan prinsip adil. Para Pihak berada di bawah
kewajiban untuk masuk ke dalam perundingan dengan maksud untuk tiba pada kesepakatan
dan tidak hanya untuk pergi melalui proses negosiasi formal sebagai semacam kondisi
sebelumnya untuk aplikasi otomatis dari suatu metode tertentu dalam penetapan batas tidak
ada kesepakatan , mereka begitu untuk melakukan sendiri bahwa negosiasi bermakna, yang
tidak akan terjadi ketika salah satu dari mereka bersikeras pada posisi sendiri tanpa memikirkan
modifikasi itu. Kewajiban ini hanyalah sebuah aplikasi khusus dari suatu prinsip yang mendasari
semua hubungan internasional, yang bahkan diakui dalam Pasal 33 dari Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa sebagai salah satu metode untuk penyelesaian damai sengketa internasional. 
Para Pihak berada di bawah kewajiban untuk bertindak sedemikian rupa sehingga dalam kasus
tertentu, dan mengambil semua keadaan ke rekening, prinsip adil yang diterapkan. Tidak ada
pertanyaan tentang keputusan Pengadilan yang ex aequo et bono. Justru aturan hukum yang
menyerukan penerapan prinsip-prinsip adil, dan dalam kasus seperti yang menyajikan metode
equidistance diragukan lagi dapat menyebabkan ketidakadilan. Metode lain ada dan mungkin
digunakan, sendiri atau dalam kombinasi, sesuai dengan daerah yang terlibat. Meskipun Pihak
dimaksudkan diri untuk menerapkan prinsip-prinsip dan aturan yang ditetapkan oleh Pengadilan
indikasi beberapa dipanggil untuk cara yang mungkin di mana mereka bisa menerapkannya. 
Untuk semua alasan di atas, Mahkamah ditemukan dalam setiap kasus bahwa penggunaan
metode equidistance penetapan batas tidak wajib sebagai diantara para Pihak; bahwa tidak ada
satu metode lain batas dalam segala keadaan wajib; batas itu sudah bisa dilakukan melalui
perjanjian sesuai dengan prinsip adil dan mempertimbangkan semua keadaan yang relevan,
sedemikian rupa untuk meninggalkan sebanyak mungkin kepada setiap Pihak semua bagian-
bagian dari landas kontinen yang merupakan suatu perpanjangan alami dari wilayah daratan,
tanpa perambahan pada perpanjangan alam wilayah tanah yang lain, dan bahwa, jika batas
tersebut diproduksi daerah tumpang tindih, mereka akan dibagi antara Pihak dalam proporsi
yang telah disepakati, atau, gagal perjanjian, sama, kecuali mereka memutuskan suatu rezim
yurisdiksi bersama, pengguna, atau eksploitasi. 
Dalam proses negosiasi, faktor yang harus dipertimbangkan tersebut meliputi: konfigurasi
umum pantai-pantai Para Pihak, serta adanya fitur khusus atau tidak biasa, sejauh yang
diketahui atau mudah dipastikan, fisik dan struktur geologi dan sumber daya alam daerah
landas kontinen yang terlibat, unsur tingkat wajar proporsionalitas antara luasnya wilayah
landas kontinen appertaining untuk setiap Negara bagian dan panjang pantai diukur dalam arah
umum dari garis pantai, mempertimbangkan efek, aktual atau calon, dari delimitations landas
kontinen lainnya di wilayah yang sama.

You might also like