Professional Documents
Culture Documents
By:AY
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sektor kehutanan dinilai cukup strategis dalam pertumbuhan produk Domestik Bruto
(PDB). Selama sepuluh tahun terakhir, peranan sektor terhadap PDB menunjukkan
pertumbuhan yang cukup baik, selain menghasilkan devisa negara, sektor ini diharapkan
mempu menyediakan lapangan dan kesempatan kerja dan pengadaan bahan baku bagi usaha
agroindustri.
Salah satu komoditas yang cukup penting dalam menyumbang perolehan devisa
negara adalah pengembangan ulat sutera dengan perkebunan murbeinya. Sutera alam
merupakan salah satu komoditi untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri maupun untuk
pengembangan export, baik berupa kokon, benang maupun barang jadi. Pada dasarnya
persuteraan merupakan suatu rentetan kegiatan berupa penanaman murbei (Morus sp),
pemeliharaan ulat, pemintalan benang, usaha perajinan dan penenunan yang mengunakan
bahan benang sutera. Untuk memperoleh hasil yang maksimal kegiatan tersebut perlu
ditunjang oleh pengadaan sarana yang cukup, teknik yang memadai dan pemasaran yang
terjamin, sehingga keterlibatan pemerintah, swasta maupun petani sangat diharapkan. Tabel 1
menunjukan keadaan terakhir persuteraan alam di Indonesia.
Propinsi Jumlah
Kegiatan Satuan
Sumbar Jabar Jateng DIY Jatim Sulsel Lain
Tanaman murbei Ha 813 1.875 634 120 532 4.019 73 8.066
Penyerapan bibit/telur Boks 612 2.814 2.125 200 2.942 13.491 76 22.260
Produksi kokon Kg 4.500 6.840 46.750 691 65.668 265.600 700 390.749
Kokon import kering Kg - - - - - - - -
Produksi rawsilk Ton 0,5 8,2 6,4 0,8 8,3 46,2 - 70,4
Rawsilk import Ton - - - - - - 65,3 65,3
Pembibitan Unit - - 1 - - 3 - 4
Kebun bibit murbei Ha 20 20 - - - 38 - 78
Pemintalan
�- Otomatis Buah - 1 - - - - - 1
�- Semi otomatis Buah - - 1 - 1 1 1 4
�- Tradisional Buah 30 - - - - 1.250 - 1.280
Unit percontohan Unit 2 8 - - - 59 - 69
Pengusaha
�- BUMN Buah - - 1 - 1 1 - 3
�- BUMS Buah 2 4 - - - 4 - 10
�- Koperasi Buah - 5 - - - 18 - 23
�- Petani sutra KK 503 1.746 1.250 62 1175 3.582 133 8.451
�- Kel. tani prod. kokon Kel 62 50 5 10 5 140 - 272
Produksi benang sutera alam dunia mencapai sekitar 83,393 ton pertahui yang
dihasilkan oleh negara-negara produsen terbesar yaitu Cina yang diikul oleh India, Jepang,
Korea, dan Brazil, sementara kebutuhan dunia tebih banyak lagi yaitu sekitar 92.743 ton per
tahun sehingga masih terdapat kekurangan yang cukup banyak jumlahnya. Hal ini merupakan
peluang besar bagi negara seperti Indonesia yang memiliki potensi dalam pengembangan
persuteraan alam, lebih lebih produksinya baru mencapai tidak lebih dari 500 ton per tahun,
jauh di bawah kebutuhan dalam negeri sendiri yaitu sekitar 2.000 ton per tahun.
Troso adalah nama salah satu desa yang terdapat di kecamatan Pecangaan Kabupaten
Jepara. Di Desa inilah tempat komunitas pengrajin tenun ikat troso berada. Sebenarnya Tenun
Troso adalah teknik tenun gedok dan kemudian dalamkurun waktu yang cukup panjang,
berkembang menjadi tenun ikat.Sebenarnya Tenun Troso adalah teknik tenun gedok dan
kemudian dalam kurun waktu yang cukup panjang, berkembang menjadi tenun ikat, Namun
masyarakat Kabupaten Jepara & sekitarnya lebih mengenal dengan sebutan “Tenun Troso”.
Keinginan Pemerintah Daerah Jepara untuk mengedepankan kerajinannya selain
meubel ukir, diantaranya adalah tenun troso. Salah satu upaya Pemerintah Daerah adalah
membantu penyerapan pasar hasil kerajinan tenun troso yang berupa kewajiban kepada
jajaran Pemerintah Daerah untuk menggunakan pakaian seragam tenun ikat yang dibuat oleh
pengrajin Desa Troso. Seragam tersebut wajib dikenakan pada hari yang telah ditentukan
pula. Kewajiban tersebut adalah bentuk keseriusan Pemerintah Daerah Jepara dalam
melestarikan dan melindungi asset kekayaan budaya daerah yang berupa pengetahuan
tradisional dan upaya Pemerintah Daerah Jepara dalam mewujudkan keinginannya untuk
menggali potensi daerah serta mengedepankan industri kerajinan selain meubel ukir, untuk
dijadikan produk unggulan daerah Kabupaten Jepara. Dengan kewajiban memakai tenun ikat
untuk kalangan pegawai Pemerintah Daerah tersebut, pengrajin mulai bergairah kembali
untuk membuat (produksi) tenun ikat yang selama beberapa kurun waktu ini mengalami
kelesuan pasar.
Produk tenun ikat yang banyak diproduksi oleh pengrajin adalah kain jok meubel,
gorden, pakaian seragam & pakaian adat Kabupaten Jepara serta beberapa jenis motif kain
tenun ikat yang bermotifkan etnik dari daerah lain di Indonesia seperti motif tenun dari
daerah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, Bali dan sebagainya,
karena motif dari daerah yang telah disebutkan diatas, pasarnya masih terbuka luas.
Para pengrajin tenun di daerah Troso susah untuk mendapatkan bahan baku Sutera
untuk membuat kain Tenun Troso padahal kain Sutera banyak diminati oleh konsumen.
Karena masih jarangnya budidaya ulat sutera di Indonesia menyebabkan para pengrajin tenun
susah untuk mendapatkan bahan baku Sutera, bahkan mereka terpaksa mengimpor Sutera dari
China yang dipatok biaya mahal. Karena hal itu, maka para pengrajin kain Tenun Troso
kebanyakan putus asa dan menyerah untuk memproduksi kain yang berbahan Sutera. Hal ini
merupakan kendala yang cukup besar untuk berkembangnya kain Tenun Troso.
TUJUAN
Kami team KKN-UGM di desa Troso mempunyai inisiatif untuk ikut andil dalam
mengembangkan kain Tenun Troso dengan merencanakan agar para pengrajin tenun dapat
memperoleh bahan baku produksi khususnya Sutera lebih mudah dengan harga terjangkau.
Kami berharap dengan mudahnya mereka mendapatkan bahan baku Sutera tersebut sehingga
dapat memajukan kain Tenun Troso khususnya yang berbahan Sutera agar dapat berkembang
lebih maju dan lebih di kenal oleh kalangan luas baik dalam negeri maupun luar negeri.
Kami dengan ijin dan dukungan serta kerjasama dengan masyarakat desa Troso
berencana menciptakan lahan budidaya ulat Sutera. Dengan adanya lahan ini diharapkan
sangat membantu pengrajin kain Tenun Troso untuk lebih berkarya dan mengembangkan
usahanya lebih maju lagi sehingga dapat memberikan keuntungan baik secara langsung
ataupun tidak langsung kepada masyarakat sekitarnya.
Disamping itu program pengembangan Budidaya Ulat Sutera ini juga mendukung
kebijakan pemerintah dalam pengembangan usaha kecil. Kebijakan pengembangan usaha
kecil tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga dapat :
PEMBAHASAN
PROSPEK PEMASARAN
Industri persuteraan alam merupakan industri yang sangat potensial untuk dikembangkan
karena mempunyai berbagai keunggulan industri antara lain :
Menggunakan bahan baku yang berasal dari sumber daya alam daerah
Hasil industrinya merupakan bahan baku industri lain dan merupakan komoditi ekspor
yang menunjang pemasukan devisa negara
Banyak menyerap tenaga kerja
Memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan sektor lainnya
Permintaan akan produk sutera alam, khususnya kain relatif tidak terpengaruh oleh
situasi ekonomi, karena segmentasi pasar berada pada konsumen kelas menengah dan atas.
Penggunaan kain sutera tidak terbatas untuk kebutuhan sandang tetapi telah meluas untuk
kebutuhan tekstil non sandang seperti dekorasi dan interior hotel-hotel perkantoran dan lain-
lain.
Produk sutera lainnya yang mempunyai peluang pasar cukup besar di masa
mendatang adalah benang sutera. Pada tahun 1994 kebutuhan benang sutera dunia mencapai
92.743 ton, sedang produksinya baru mencapai 89.393 ton {Capricorn Indonesian Consult,
1996). Indonesia sendiri pada tahun yang sama hanya mampu memproduksi benang sutera
mentah rata-rata 144 ton per tahun. Tingkat produksi ini belum mencapai target yang
ditetapkan pemerintah dalam Pelita V.
Target dan realisasi produksi benang Indonesia pada Pelita V dapat dilihat pada Tabel 2.
Perkembangan ekspor dan impor sutera alam dapat dilihat pada Tabel 3
Produksi (Ton)
Tahun
Target Realisasi
1989/1990 200 110
1990/1991 300 140
1991/1992 400 135
1992/1993 500 161
1993/1994 600 174
Permintaan untuk ekspor dari tahun ke tahun makin meningkat seiring dengan
berkembangnya dunia mode di berbagai manca negara. Berikut tabel volume ekspor dari
tahun ke tahun.
Volume Eksport (Kg)
Periode
Barang
Kokon Benang Kain
Jadi
1989 1.005 0 5.528 105.496
1990 3.200 180 61.495 142.080
1991 0 5.955 73.511 199.915
1992 0 0 123.293 171.877
1993 0 725 98.525 182.748
Pola usaha petani sutera alam terdapat pada daerah sentra pengembangan sutera alam yang
potensial. Pola ini pada umumnya masih dalam skala kecil dengan teknologi yang masih
sederhana dan tingkat modal rendah. Akan tetapi jumlah petani/pengrajin ini sangat besar dan
merupakan mitra usaha yang potensial dalam menggalang usaha bersama. Di tingkat
sericulture ini tidak menunjukkan adanya persaingan secara kuantitas antar petani produk
kokon, kecuali pada perbaikan-perbaikan kualitas kokon.
Di tingkat industri pemintalan benang, juga masih didominasi oleh industri tradisional yang
jumlahnya mencapai 1.354 unit. Sedangkan jumlah industri semi mekanik 6 unit dan hanya 1
unit yang menggunakan mesin otomatis yaitu PT Indojado Sutra Pratama. Dengan melihat
struktur industri pemintalan, maka kapasitas produksi benang untuk memenuhi kebutuhan
pasar domestik belum tercukupi.
Industri pertenunan kain sutera di Indonesia ternyata memiliki unit yang lebih besar, hal ini
didukung oleh data volume ekspor kain yang relatif besar. Sedangkan industri tenun secara
keseluruhan terdapat 11.383 unit dan hanya 1.976 yang menggunakan Alat Tenun Mesin
(ATM), yang lainnya Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), secara rinci dapat dilihat pada
Tabel 6.
Keadaan ekspor impor produksi sutera alam Indonesia datam berat dan nilainya dapat dilihat
pada Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah Berat dan Nilai Ekspor Impor Produksi Sutera Alam Indonesia
Karena model kelayakan ini terbatas pada produksi kokon ulat sutra maka penetapan harga
yang dimaksud adalah terhadap harga produk kokon. Mengingat peluang pasar begitu terbuka
dalam hal ini permintaan begitu besar dibandingkan dengan penawaran karena kelangkaan
kokon di pasaran, maka peranan pasar tidak begitu besar dalam penetapan harga kokon.
Sebagai akibatnya harga kokon sering tidak stabil atau sedang terjadi kenaikan harga.
Pada saat model kelayakan ini disusun harga cukup bervariasi yaitu berkisar antara Rp 18.000
- Rp 25.000 per kg kokon basah yaitu tergantung kepada kualitas dan atau jumlah butir kokon
per kilogram, yaitu sebagai berikut :
1) Rp 25.000/kg dengan jumlah kokon kurang dari 500 butir/kg;
2) Rp 23.000/kg dengan jumlah kokon antara 501 - 550 butir/kg;
3) Rp 21.000/kg dengan jumlah kokon antara 551 - 600 butir/kg;
4) Rp 19.500/kg dengan jumlah kokon antara 601 - 650 butir/kg;
5) Rp 18.000/kg dengan jumlah kokon antara 651 - 760 butir/kg;
6) Rp 2.500/kg untuk kokon cacat (afkir) jumlahnya antara 5 - 10% dari total berat kokon.
Kualitas kokon dari nomor 1 s/d 5 adalah kokon yang bisa dipintal untuk dijadikan benang
sutera, sedangkan kualitas nomor 6 tidak bisa, sehingga dengan demikian tidak dapat dijual.
Dari variasi harga tersebut apabila dirata-ratakan adalah Rp 20.000/kg yang masih
menunjukkan tendensi adanya kenaikan lagi/terus dengan pertimbangan sebagai berikut :
(1) Terjadi pergeseran ATBM tenun katun ke ATBM tenun sutera sehingga bertambah
banyak;
(2) Bergesemya para petani tanaman murbei (ulat sutera) ke pertanaman kebun coklat
terutama di Sulawesi Selatan. Akibatnya para produsen kokon semakin sangat berkurang,
sementara industri kecil/pengrajin pemintalan bertambah banyak.
Asumsi Pembiayaan
Analisa keuangan ini diharapkan dapat dijadikan petunjuk bagi pengusaha kecil atau
koperasi untuk pengembangan usaha budidaya ulat sutera produksi kokon. Pembiayaan usaha
ini mencakup dua biaya pokok yaitu, biaya investasi (tanah, pembuatan Bangunan, bibit
murbei, peralatan, bahan-bahan, pengolahan tanah dan pemeliharaan tanaman selama belum
menghasilkan) dan biaya produksi atau biaya modal kerja (bibit ulat, pupuk, pestisida,
pemeliharaan, tenaga kerja, panen dan pasca panen, tenaga kerja dan pemeliharaan alat dan
bangunan).
Pembiayaan dalam usaha tani ulat sutera produksi kokon ini ditentukan berdasarkan
informasi berbagai pihak dengan asumsi-asumsi, sebagai berikut :
1. Luas kebun murbei 1 unit terkecil yang dapat dilaksanakan oleh petani adalah 1000
m2 ditambah 100 m2 lahan untuk bangunan pemeliharaan ulat seluas 100 m2
sehingga totalnya menjadi 1100 m2;
2. Harga-harga untuk semua biaya produksi dan penjualan produk dianggap konstan:
3. Kapasitas olah 1 unit pabrik pemintalan benang sutera terkecil yang dapat dimiliki
oleh koperasi atau pengusaha menengah ke atas sebagai inti adalah 150 kg kokon per
hari atau sama dengan 15 kg benang sutera yang dikerjakan dengan 3 unit alat reeling.
Produksi ini diperoleh dari produksi daun murbei dari kebun seluas 75.000 m2 atau
dari 75 orang petani masing-masing dengan 1000 m2 kebun tanaman murbei sebagai
Plasma dalam suatu proyek kemitraan teroadu. Satu unit usaha ini (plasma) cukup
dilaksanakan 1 orang, yaitu 8 hari untuk pemeliharaan kebun dan maksimum 14 hari
untuk pemeliharaan ulat sutera setiap bulan.
4. Tanaman murbei baru berproduksi sebanyak 50% (tahun ke 1) setelah umur 6 bulan,
sehingga biaya maupun penjualan produksi kokon baru sekitar 50%, sehingga masa
tenggang minimal 6 bulan, sedang untuk tahun ke 2 - 5 akan normal;
5. Pemeliharaan ulat sutera rata-rata dilakukan 8 kali(siklus) per tahun, dengan asumsi
bahwa musim kemarau selama 4 bulan tidak memelihara ulat. Tiap sikius
pemeliharaan, mulai dari ulat sutera kecil (umur 12 hari) sampai menjadi kokon
berlangsung satu bulan;
6. Skim kredit yang dapat dipakai untuk pembiayaan usaha ini adalah skim kredit
program dengan bunga 16%, PA, Kredit Kepada Pengusaha Kecil dan Mikro (KPKM)
dan lainnya, dan kredit usaha kecil (KUK) dengan bunga mencapai 24% per tahun;
7. Kegagalan panen dianggap 5% per periode tanam.
Struktur Biaya
1. Biaya Investasi untuk 1 unit skala usaha dengan luas kebun murbei 1000 m2 dan lahan
untuk pemeliharaan ulat sutra 100 m2 secara terinci terlihat pada Tabel
Rincian Blaya Investasi Untuk 1 Unit Budidaya Ulat Sutera dan Produks! Kokon
Harga Satuan
No Uraian Jumlah Satuan Total (Rp)
(Rp)
1 Sewa Lahan (5 tahun) 1.000+100 m2 1.000 1.100.000
2 Bibit Murbei 2.000 Batang 150 300.000
3 Bangunan 60 m2 75.000 4.500.000
4 Rak Ulat + Siripine 20 + 120 Buah 15.000 + 2.500 600.000
5 Bagor 70 Lembar 500 35.000
6 Sprayer 1 Buah 200.000 200.000
7 Ayakan + Sapu Lidi 2 + 2 Buah 2.000 + 4.000 12.000
8 Lampu TL 1 Buah 15.000 15.000
9 Cangkul 2 Buah 10.000 20.000
10 Ember + Keranjang 1 + 2 Buah 5.000 + 2.000 9.000
11 Pisau + Sabit 1 + 1 Buah 8.000 + 10.000 18.000
12 Pengolahan Tanah dan Tanaman 50 HKP 8.000 400.000
13 Pemeliharaan Kebun Sebelum Produksi 60 HKP 8.000 480.000
14 Pupuk Kandang 1.500 Kg 125 187.500
Jumlah 7.876.500
2. Biaya modal kerja untuk 1 unit skala usaha dengan luas kebun murbei 1000 m2 dan lahan
untuk pemeliharaan ulat sutra 1000 m2 secara terinci terlihat pada Tabel
Rincian Biaya Modal Kerja untuk 1 Unit Usaha Budidaya Ulat Sutera
Jumlah
Jumlah Jumlah
No Uraian Nilai
Satuan (Rp/Bl)
(Rp/Bl)
1 Ulat Kecil (umur 12 hari) 2 Boxes 127,000 1,016,000
2 Obat-obatan 2 Set 40,000 320,000
3 Tenaga Kerja Pemelihara Ulat (8 bulan) 18 HKP 144,000 1,152,000
Tenaga Kerja Pemelihara Kebun (12
4 bulan) 12 HKP 96,000 1,152,000
5 Pupuk Kompos + Urea, TSP dll 1.520 Kg 227,500 667,500
6 Listrik 8 Bulan 5,000 40,000
7 Pemeliharaan Alat & Bangunan 8 Bulan 50,000 400,000
Jumlah 689,500 4,747,500
ANALISA KELAYAKAN FINANSIAL
Jumlah kebutuhan kredit untuk biaya per 1 unit usaha 1000 m2 kebun murbei dan 100 m2
pemeliharaan ulat, adalah sebagai berikut :
Hasil panen kokon ulat sutera (kg per periode panen) di bawah ini diperhitungkan
menguntungkan setelah melunasi kredit pada tingkat bunga tertentu, yaitu pada :
Kesimpulan : Usaha masih layak dan menguntungkan petani dengan penurunan harga
kokon hingga 8%.
Aspek Sosial
Aspek sosial dari suatu proyek adalah bagaimana pengaruh suatu proyek tertentu
terhadap kehidupan sosial masyarakat, sumber daya manusia lokal atau sekitarnya, regional,
dan masyarakat umumnya secara nasional. Diharapkan agar keberadaan proyek tertentu
dalam hal ini proyek budidaya ulat sutera dapat berpengaruh baik terhadap perkembangan
sosial masyarakat sekitarnya.
Tenaga kerja dalam penanaman murbei merupakan faktor yang sangat penting sejajar
dengan faktor-faktor penting lainnya. Bahkan tenaga kerjalah yang paling menentukan,
terutama dalam skala usaha yang besar. Sedangkan untuk usaha dalam skala kecil, biasanya
semua pekerjaan dikenakan secara kelompok atau bisa perorangan. Dalam usaha skala besar,
diperlukan dua bentuk tenaga kerja, yaitu tenaga kerja untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan
biasa yang tidak membutuhkan keahlian. Sedangkan tenaga kerja khusus atau tenaga ahli
diperlukan untuk pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan keahlian, seperti survey lokasi,
tata cara penanaman dan lain-lain yang menyangkut dalam hal teknik budidaya.
Untuk tenaga kerja biasa hendaknya direkrut atau didahulukan tenaga kerja lokal,
karena selain mereka tidak membutuhkan biaya transportasi menuju ke lokasi usaha, juga
dengan memanfaatkan tenaga kerja lokal, berarti usaha yang kita lakukan membawa lapangan
kerja bagi penduduk di sekitar lokasi usaha. Sedangkan tenaga kerja ahli akan disediakan
oleh perusahaan inti. Bagi tenaga kerja biasa yang belum profesional masih diperlukan
pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mereka.
Dalam usaha ini faktor keamanan harus diperhatikan untuk menghindari gangguan
dari tangan-tangan orang-orang yang tidak bertangung jawab, begitu pula keselamatan dan
kesehatan kerja. Selama ini belum pernah ada permasalah keamanan di perusahaan-
perusahaan ulat sutera.
Dukungan pemerintah dalam usaha ini sangat diperlukan terutama dalam hal perijinan
yang berkaitan dengan usaha budidaya ulat sutera. Pada prinsipnya baik pemerintah daerah
sejak dari tingkat desa sampai ke propinsi, maupun pemerintah pusat selalu mendukung
usaha-usaha pengembangan ulat sutera ini, karena komoditi ini sangat diperlukan di pasar
nasional maupun untuk diekspor ke luar negeri.
Aspek ekonomi dari suatu proyek dalam hal ini usaha ulat sutra penghasil kokon
adalah mempelajari bagaimana dampak/pengaruh pengembangan usaha produksi utat sutera
termasuk penanaman pohon murbei ini bagi perkembangan kehidupan perekonomian
masyarakat sekitarnya dan masyarakat luas secara nasional. Dengan bertambahnya
pendapatan masyarakat dan meningkatnya kegiatan industri yang berkaitan dengan
persuteraan, diharapkan peningkatan kegiatan budidaya ulat sutera ini akan mampu
membawa peningkatan tingkat hidup masyarakat.
Peningkatan Ekonomi Rakyat
Melalui pemanfaatan lahan tidur milik petani untuk penanaman murbei dan budidaya
ulat sutera, peningkatan kemakmuran petani dan anggota koperasi primer di pedesaan akan
menjadi kenyataan.
Dengan kerjasama antara petani pemilik lahan dengan perusahaan inti ini, maka
pembentukan saluran distribusi penjualan hasil akan menjadi ampuh dengan menggabungkan
fasilitas yang telah ada dan memperbaiki pola berpikir dan manajemen terpadu maka posisi
Gerakan Koperasi sebagai Lembaga Ekonomi Masyarakat dapat ditingkatkan sehingga segala
program akan menjadi kenyataan.
Adanya budidaya ulat sutera memberi motivasi masyarakat desa untuk mendorong
tumbuhnya suasana yang kondusif dan menyenangkan bagi warga desa yang juga akan
mampu untuk meningkatkan ketersediaan jasa pelayanan pendidikan, kesehatan dan fasilitas
infrastruktur lain yang diperlukan masyarakat desa. Pelaksanaan proyek ini diharapkan akan
memberikan manfaat sebagai berikut:
Pembukaan kawasan dengan luas lahan yang besar, yang dikembangkan dengan
peserta plasmanya berasal dari masyarakat setempat, langsung maupun tak langsung akan
menimbulkan dampak positif maupun negafif terhadap komponen ekosistem baik fisik, hayat
maupun sosial ekonomi.
Secara ekologis dampak dari proyek perkebunan ini akan berpengaruh terhadap
keseimbangan ekosistem keterkaitannya dengan ekosistem atau sub-ekosistem lainnya.
Perubahan ini akan terus berlanjut pada komponen-komponen lingkungan lainnya, antara lain
hama dan penyakit tanaman, air, udara, transportasi dan akhirnya berdampak pula pada
komponen sosial, ekonomi, budaya serta komponen kesehatan lingkungan.
Usaha budidaya ulat sutera penghasil kokon untuk areal lahan perkebunan tanaman
murbei sampai dengan 100 hektar mungkin tidak perlu melakukan Amdal, namun kaedah-
kaedah kelestarian lingkungan harus diperhatikan, terutama dalam hal kaedah konservasi
lahan supaya tidak terjadi erosi, begitu pula dalam hal pemupukan agar Liberian pemupukan
yang berimbang agar tidak terjadi proses pemiskinan tanah.
ASPEK PRODUKSI
Sifat dari ulat sutera kecil berbeda dengan sifat ulat sutera besar. Ulat kecil mempunyai
daya tahan yang lemah terhadap serangan hama dan penyakit, sehingga pada waktu
pemeliharaan dapat menjaga kesehatan dan kebersihan tempat. Pertumbuhan ulat sutera kecil,
terutama instar pertama sangat cepat, tetapi tidak tahan terhadap kekuranagan makanan.
Kondisi lingkungan juga berbeda, untuk pertumbuhannya ulat sutera kecil membutuhkan
temperatur 260 – 280 C dengan kelembaban antara 80% - 90%.
Dalam pelaksanaannya ada langkah-langkah penting yang harus diperhatikan antara lain:
Persiapan Pemeliharaan
Sesuai dengan sifat ulat sutera kecil yang rawan terhadap serangan hama dan
penyakit, agar pemeliharaan dapat berhasil maka pemeliharaan ulat sutera kecil hendaknya
dilakukan di ruangan khusus. Dimana tempertatur, kelembaban, cahaya dan aliran udara
dapat diatur.Karena pemeliharaan ulat sutera kecil tidak memerlukan ruangan yang terlalu
luas, maka sebaiknya pemeliharaan dilakukan secara bersama atau kelompok agar
pengelolaannya lebih efisien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam persiapan
bangunan pemeliharaan ulat sutera kecil antara lain :
Bangunan sedapat mungkin dekat dengan kebun murbei. Hal ini untuk memudahkan
pengangkutan dan menghindari kelayuan daun akibat lamanya dipengangkutan.
Lingkungan di sekitar bangunan bersih, supaya tidak mudah penularan hama dan
penyakit pada ulat.
Ruangan tempat pemeliharaan ulat bersih dan kering serta terdapat jendela untuk
pentilasi udara.
Sediakan tempat pembuangan kotoran ulat yang jauh dari bangunan.
Jumlah bibit ulat sutera yang akan dipelihara juga harus disesuaikan dengan kapasitas
ruangan dan peralatan yang ada. Jangan sampai ulat dipelihara terlalu padat, karena
akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan akhirnya akan menurunkan produksi
dan kualitas kokon. Demikian pula persiapan daun murbei untuk makan ulat kecil
yang masih lemah, diperlukan daun yang lunak dan bergizi tinggi. Untuk keperluan
itu, maka pohon murbei harus dipangkas 1 bulan sebelum pemeliharaan.
Peralatan dan Bahan
Peralatan dan bahan yang diperlukan dalam pemeliharaan ulat kecil adalah sebagai berikut:
Tabel Alat dan bahan pemeliharaan ulat sutera
Desinfeksi
Salah satu pekerjaan yang penting sebelum pemeliharaan ulat sutera dilakukan adalah
desinfeksi. Pekerjaan ini bertujuan untuk mencegah timbulnya bibit-bibit penyakit yang dapat
menyerang ulat sutera. Pada lingkungan yang kotor ulat sutera mudah terjangkit penyakit,
karena bibit penyakit tersebar di luar dan di dalam ruang pemeliharaan, baik pada peralatan,
sisa makanan ulat, kotoran ulat dan pada ulat yang mati.
Sumber bibit penyakit
Tindakan pencegahan timbulnya penyakit yang harus dilakukan adalah pembersihan
dan desinfeksi lingkungan, peralatan dan ruangan pemeliharaan. Desinfeksi dapat dilakukan
dengan penyemprotan atau mencelupkan peralatan dalam larutan 2% formalin atau kaporit.
Keperluan larutan formalin untuk desinfeksi adalah 1 liter per m2, sehingga basahnya cukup
merata dan mampu membasahi ruangan selama 6 jam. Semua pintu dan jendela ditutup rapat
sekurang-kurangnya selama 24 jam.
Desinfeksi peralatan
Untuk desinfeksi peralatan seperti sasag, keranjang, tempat daun dan lain sebagainya
dapat dilakukan dengan cara dicelupkan pada bak yang berisi larutan desinfeksi. Peralatan
tersebut dibiarkan terendam larutan formalin selama 30 menit, sesudah itu alat-alat perlu
dikeringkan dengan panas matahari.
Inkubasi
Inkubasi telur adalah penyimpanan telur untuk penetasan di dalam ruangan yang
temperatur, kelembaban dan cahayanya dapat diatur agar telur ulat sutera dapat menetas
dengan baik dan merata pada waktu yang direncanakan. Kebutuhan temperatur selama
inkubasi adalah 250 C dan kelembaban 75% - 80%, dengan pengaturan cahaya 18 jam terang
dan 6 jam gelap setiap harinya. Hal ini dilakukan sampai 2 hari menjelang waktu menetas.
Adapun cara melakukan inkubasi adalah sebagai berkut :
Telur ulat disebar merata pada kotak penetasan dan ditutup dengan kertas parafin.
Simpan di tempat yang sejuk yang terhindar dari sinar matahari langsung.
Atur temperatur dan kelembaban sebagai berikut : temperatur 250 C dan kelembaban
75% - 80%, dengan pengaturan cahaya 18 jam terang dan 6 jam gelap setiap harinya
sampai 2 – 3 hari menjelang waktu menetas.
Kurang lebih 2 – 3 hari lagi sebelum telur menetas, dengan ditandai bintik-bintik biru
pada 80% telur-telur tersebut, ruangan harus dibuat gelap total, dengan menutup tirai
dan lampu ruangan dipadamkan dengan harapan telur dapat menetas secara serempak.
Periksa penetasan pada pukul 05.00 pagi pada hari perkiraan telur akan menetas.
Apabila telur baru menetas sekitar 20% maka segera tutup kembali ruang penetasan
dan biarkan sampai besok pagi lagi supaya telur menetas secara seragam. Kalau sudah
banyak yang menetas maka tutup dibuka dan diberi penerangan yang cukup supaya
telur yang belum menetas terangsang untuk cepat menetas
Kotak penetasan yang berisi ulat yang baru menetas diletakkan di atas sasag yang
telah diberi alas kertas parafin.
Sebelum ulat kecil diberi makan, dilakukan terlebih dahulu desinfeksi dengan cara
menaburkan campuran kapur dengan kaporit 5% ke tubuh ulat sutera.
Langkah berikutnya pemberian makan dengan daun murbei muda yang dirajang halus
dan diberikan secara merata.
Selanjutnya kotak penetasan ditutup kertas parafin atau kertas minyak dan letakkan
pada rak pemeliharaan dengan teratur.
4 jam kemudian tutup dibuka, ulat yang menempel pada daun murbei di dalam kotak
penetasan dipindahkan ke sasag.
Ulat diberi makan dengan rajangan daun murbei dan ditutup kembali dengan kertas parafin.
Pengambilan dan Penyimpanan daun murbei
Daun untuk ulat kecil adalah daun yang diambil dari kebun murbei yang telah dipangkas 1
bulan sebelumnya. Pengambilan daun sebaiknya dilakukan pagi hari atau sore hari untuk
menghindari kelayuan dan diambil sesuai dengan kebutuhan saja. Untuk masing-masing
instar diperlukan daun yang berbeda-beda. Untuk instar I diperlukan daun ke 4 – 5 dihitung
dari pucuk terpanjang, instar II daun ke 5 – 6 sedangkan untuk instar III diambil dari daun ke
7 – 8. pengambilan daun dari kebun dilakukan dengan cara memetik atau mewiwil sesuai
dengan instar ulat kecil.
Pemberian makan
Daun murbei , sebelum diberikan sebagai pakan terlebih dahulu harus dirajang untuk
memudahkan ulat makan. Ukuran rajangan berbeda untuk maing-masing instar. Ukuran
rajangan untuk instar I adalah 0,5 cm – 1 cm, instar II berukuran 1 – 2 cm, sedangkan untuk
instar III ukuran rajangan 2 – 3 cm.
Ukuran rajangan daun murbei
Memasang jaring
Sifat ulat sutera besar berbeda dengan ulat kecil, ulat besar menghendaki suhu dan
kelembaban yang lebih rendah. Sehingga suhu perlu diatur pada 23°C – 24°C dan
kelembaban 75%.
Pembersihan dan desinfeksi ruang dan peralatan
Sebelum pemeliharaan ulat besar, seperti halnya pada pemeliharaan ulat kecil perlu
dilakukan pembersihan dan desinfeksi ruang dan peralatan yang akan dipakai. Cara
pelaksanaan pembersihan dan desinfeksi sama seperti pada pemeliharaan ulat kecil.
Desinfeksi dilakukan paling lambat 2 hari sebelum pemeliharaan ulat besar dimulai. Di
samping itu juga harus selalu tersedia larutan desinfeksi untuk kaki dan tangan. Cara
disinfeksi sama seperti pada desinfeksi ulat kecil.
Daun untuk pakan ulat besar diambil bersama batangnya dengan menggunakan
gunting atau alat lain yang tajam. Batang dipotong di bagian bawah sebatas daun yang masih
hijau segar. Untuk menghindari kelayuan, daun harus diambil pagi hari atau sore hari dan
hindari pengambilan daun waktu hujan, karena daun yang basah akan mempengaruhi
terhadap kesehatan ulat sutera. Daun yang tidak langsung diberikan pada ulat sutera perlu
disimpan di tempat yang teduh dan bersih. Tempat penyimpanan daun harus terpisah dari
ruang pemeliharaan maupun ruang penyimpanan peralatan pengokonan. Cara
penyimpanannya adalah dengan menyusun daun secara berdiri tidak terlalu rapat, kemudian
daun ditutup dengan kain basah.
Pemberian makan
Ulat besar membutuhkan daun murbei untuk makan yang masih segar dan bergizi.
Daun tersebut diambil dari pohon yang dipangkas 3-4 bulan sebelum pemeliharaan. Daun
diberikan dalam bentuk utuh yang masih melekat pada cabang. Pemberian dilakukan secara
melintang pada rak pemeliharaan dan cabang diletakkan secara bergantian ujung pangkalnya
supaya ulat mendapatkan jatah daun secara merata. Frekuensi pemberian pakan sebanyak 4
kali sehari yaitu pagi, siang, sore dan malam.
Sebelum pemberian makan, pasang 2 utas tali secara memanjang, kemudian di atas
tali letakkan cabang daun sebagai pemberian makan.
Setelah ulat naik ke cabang, cabang tersebut digulung dengan tali tadi kemudian
sisihkan dari tempat tersebut.- Bersihkan sisa makanan dan kotoran ulat, kemudian
gulugan ulat diletakkan kembali sambil memperluas tempat.
Buang ke tempat yang jauh sisa makanan dan kotoran ulat tadi.Pembersihan tempat
ulat besar dilakukan 2 kali untuk instar IV yaitu hari ke 2 dan setelah tidur. Sedangkan
pada instar V dilakukan setiap 2 hari sekali dan kadang setiap hari tergantung kondisi
sisa makan dan kotoran yang ada.Untuk menghindari supaya ulat tidak terlalu rapat,
maka setiap waktu dilakukan perluasan tempat.
Adapun waktu dan luas tempat yang diperlukan dapat dilihat pada tabel di bawah.
Diakhir instar ke 5 ulat akan membuat kokon untuk tempat berubah bentuk menjadi
pupa. Kokon inilah yang dimanfaatkan oleh manusia untuk bahan benang. Sehingga dalam
pengokonan harus benar-benar ditangani dengan baik. Akan tetapi dalam mengokonkan
kadang mengalami hambatan akibat ulat tidak matang secara bersama. Kalau dibiarkan
menunggu untuk matang semua, maka akan banyak ulat yang mengokon di tempat
pemeliharaan atau mengokon di ranting murbei sisa pakan. Kalau terjadi demikian kokon
yang dihasilkan akan berkualias jelek. Hal ini dapat ditanggulangi dengan memisahkan ulat
yang pertumbuhannya seragam.
Pelaksanaan pemisahan ini dilakukan pada instar 4 dan instar 5. Adapun cara
pengelompokannya adalah sebagai berikut :
1. Waktu ulat pada instar 4 bangun tidur kurang lebih 85% - 90% taburi kapur, lalu
diberi daun segar beserta cabangnya dengan harapan ulat akan makan daun tersebut.
Bila ulat sudah berada di daun, maka daun diangkat dan tempatkan daun beserta
ulatnya di tempat lain, sehingga ini jadi kelompok ulat yang cepat. Ulat yang tinggal
dikelompokan tersendiri menjadi kelompok ulat yang lambat.
2. Waktu ulat instar 5 bangun kurang lebih 30% - 40% diberi daun segar beserta
cabangnya. Bila ulat sudah berada di daun kemudian angkat cabang dan tempatkan di
tempat lain, ini menjadi kelompok ulat yang cepat. Ulat yang tinggal dikelompokan
tersendiri menjadi ulat yang lambat.
Setelah ulat terpisah antara yang cepat dan yang lambat, masing-masin diberi makan sesuai
dengan keadaannya.
Pengokonan
Pengokonan terjadi pada ulat sutera diakhir instar ke-5, yaitu proses membungkus diri
dengan serat yang dikeluarkan dari mulutnya, sebelum berubah bentuk menjadi pupa. Kokon
inilah yang dimanfaatkan oleh manusia untuk bahan baku benang, sehingga pengokonan
harus ditangani dengan benar, baik persiapan alat pengokonan maupun pelaksanaannya,
supaya menghasilkan kokon yang berkualitas baik.
Ada berbagai macam alat yang dapat digunakan untuk pengokonan. Akan tetapi yang
terpenting adalah alat tersebut telah dicuci, dibersihkan, dijemur dan didesinfeksi, serta
tersedia dalam jumlah yang cukup.
Pada hari ke 6 atau ke 7 pada instar ke-5, ulat sutera harus diamati dengan cermat. Pada
waktu itu ulat sutera sudah waktunya mau mengokon dengan ciri-ciri sebagai berikut :
Apabila yang mau mengokon baru 10% atau kurang, maka pengokonan dilakukan
dengan cara diambil satu persatu kemudian dipindahkan. Bila ulat sutera yang mau
mengokon sudah 75% atau lebih, maka pengumpulan ulat dilakkukan dengan cara
mengangkat cabang yang ditempeli ulat lalu menggoyang-goyangkannya di atas sasag
penampung yang sudah diberi alas hingga ulat jatuh tertampung. Kemudian pindahkan ke
tempat pengokonan.
Alat pengokonan yang telah diisi ulat sutera segera tempatkan pada pada tempat yang
telah disediakan. Kemudian bersihkan tempat pemeliharaan dari kotoran ulat dan sisa
makanan buang ke tempat yang jauh atau membakarnya.
Panen kokon
Panen kokon harus dilakukan tepat waktu, yaitu ketika kulit pupa sudah menjadi
keras. Hal ini terjadi setelah 5 atau 6 hari sejak ulat sutera mengokon. Jangan melakukan
panen kokon terlalu cepat atau terlalu lambat. Kalau panen terlalu cepat, pupa masih
berwarna kuning, kulitnya masih lunak. Apabila pupu ini terkena guncangan waktu panen,
pupa akan pecah yang menyebabkan kokon menjadi kotor. Kalau terlalu lambat
dikhawatirkan pupu sudah menjadi kupu dan keluar, sehingga kokon menjadi berlubang dan
tidak terpakai.
Setelah panen dilakukan, kokon harus segera dibersihkan dari serabut serat sutera yang
menyelimuti kokon. Pembersihan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu pembersihan dengan
tangan dan pembersihan dengan menggunakan alat.
Tidak selamanya kokon yang dipanen menghasilkan kokon baik semua, pasti akan
ditemui kokon yang cacat dan kokon abnormal. Kedua kokon tersebut tidak boleh dicampur,
sehingga perlu dilakukan seleksi. Adapun ciri-ciri kokon cacat dan kokon abnormal adalah
sebagai berikut :
Penjemuran
Penjemuran dilakukan dengan memanfaatkan sinar matahari, dengan cara sebagai berikut :
Pengovenan
Pengeringan dengan pengovenan mempunyai kelebihan dibanding dengan pengeringan yang
lain, karena selain mematikan pupu juga dapat menurunkan kadar air sesuai dengan yang
diharapkan.
Adapun cara pengovenan adalah sebagai berikut :
Penyimpanan
Penyimpanan kokon ini diperlukan apabila kokon tidak langsung dipintal atau dijual.
Lamanya ketahanan kokon untuk disimpan akan tergantung pada cara pengeringan yang
dilakukan dan kadar air kokon. Sebelum kokon disimpan kokon ditempatkan pada kantong
atau kardus yang telah dilubangi. Tempat penyimpanan kokon harus kering dan terhindar dari
gangguan serangga, tikus dan binatang lainnya yang bisa merusak kokon. Dengan kondisi
kokon yang baik dan tingkat kekeringan yang optimal kokon akan tahan disimpan selama 3 -
4 bulan.
Penyakit Virus
Penyakit Grasserie
Penyakit ini disebabkan oleh patogen Borcelina virus yang menyerang sel-sel larva dengan
gejala serangan seperti berikut :
kulit ulat akan membengkak
ulat akan bergerak mengelilingi tempat pemeliharaan
kulit ulat mudah terluka
ulat akan membentuk kokon yang lembek dan kemudian mati
ulat yang mati menjadi lembek dan hitam.
Penyakit ini dapat dikendalikan dengan melakukan desinfeksi ruangan dan alat-alat
pemeliharaan setelah selesai panen. Memisahkan larva yang sakit dengan yang masih
sehat, pemberian pakan yang berkualitas dan menjaga kondisi ruang pemeliharaan
supaya tetap optimal.
Penyakit Cendawan
Penyakit Aspergillus
Penyakit ini disebabkan oleh patogen Aspergillus oryzae. Spora cendawan ini
menempel pada kulit larva kemudian berkembang masuk ke badan sampai masa inkubasi.
Larva yang terserang akan mati, yang sebelumnya menjadi lembek dan mengeluarkan cairan
pencernaan.
Pencegahannya dengan cara membersihakan alat-alat pengokonan dan menjemurnya.
Ruang pemeliharaan ditaburi kapur. Ruangan dan alat-alat pemeliharaan didesinfeksi dengan
kaporit. Desinfeksi tubuh ulat. Menjaga kondisi ruangan pemeliharaan dengan pertukaran
udara yang baik. Pemberian daun yang kering dan segar.
Penyakit Muscardine
Penyebab penyakit ini adalah jamur Beauveria bassiana, Spicariaprasina dan Isaria
farinosa. Cendawan ini hidup parasit pada berbagai serangga dan masuk ke ruangan
pemeliharaan. Penyakit ini masuk ke tubuh larva melalui kulit kemudian berkembang dan
menyebabkan matinya larva. Lava yang mati akan mengeras dan tidak membusuk.
Pengendaliannya sama seperti pada penyakit Aspergillus.
Penyakit Protozoa (Pebrin)
Penyakit ini paling berbahaya dibanding penyakit-penyakit lain yang menyerang ulat
sutera. Penyebarannya lebih banyak ditularkan melalui telur, walaupun tidak menutup
kemungkinan penyakit ini menular dari serangga yan terinfeksi dari lapangan. Dengan
penggunaan telur yang sehat, resiko serangan penyakit ini akan dihindari, asalkan dibarengi
dengan pemeliharaan yang benar.
Penyebab penyakait ini adalah patogen Microsparidia jenis Nosema bombycis. Spora
dari Microsparidia menjadi parasit pada larva setelah dimakan dan berkembang di seluruh
bagian badan larva. Bila patogen ini hidup parasit pada indung telur, maka indung telur
tersebut akan terinfeksi. Apabila telur tersebut ditetaskan dan dipelihara oleh petani, maka
akan terjadi kegagalan yang fatal.
Kalau kita lihat gejala yang timbul pada larva akibat penyakit ini adalah :
Bakteri
Jarang sekali ulat sutera mati karena bakteri. Akan tetapi kalau kondisi pemeliharaan sangat
buruk, ketahanan ulat sutera terhadap bakteri akan melemah sehingga metabolisme menurun.
Tubuh ulat sutera menjadi lunak dan mengeluarkan kotoran yang lembek (diare). Larva yang
mati akan membusuk.
Pengendaliannya dengan desinfeksi ruang dan alat pemeliharaan, pemberian daun murbei
yang sehat dan bersih, dan ventilasi ruangan yang memadai
Tikus
Selama pemeliharaan ulat sutera berlangsung tidak sedikit kerusakan larva yang disebabkan
oleh tikus. Tikus selain merusak larva, juga merusak kokon.
Cara pengendaliannya menggunakan perangkap, perekat atau racun.
Binatang kecil lainnya
Tidak sedikit ulat sutera yang kita pelihara diganggu dan dimakan oleh cecak, toke dan kadal
yang berakibat kerugian yang tidak sedikit.
Untuk mencegah hal ini terjadi pasanglah perekat di setiap tiang rak pemeliharaan.
Berdasarkan pertimbangan yang telah kami lakukan maka kami yakin bahwa
budidaya ulat Sutera di daerah ini dapat dilakukan, adapun pertimbangannya adalah sebagai
berikut:
1. Tanaman Murbei dapat tumbuh di dataran rendah.
2. Lahan perkembangbiakan ulat sutera dilaksanakan di dalam ruangan.
Maka kami simpulkan bahwa perkembangbiakan ulat sutera di daerah ini dapat dilakukan
dengan cara mengkondisikan ruangan yang ideal untuk perkembangbiakan ulat sutera
Mekanisme pembuatan lahan perkembangbiakan ulat sutera di Daerah Troso:
1. Membuat bangunan kumbung dengan sistem sirkulasi buka tutup. Pada saat siang
hari sirkulasi kumbung ditutup agar kelembapan di dalam kumbung terjaga.
Sebaliknya pada malam hari sirkulasi dibuka sehingga suhu ruangan lebih dingin.
Desain Atap
2. Menggunakan bahan atap yang tidak menyerap panas. Atap diusahakan berwarna
putih untuk memantulkan panas.
3.
3.
3.
3.
3.
KESIMPULAN
Budidaya ulat sutra produksi kokon merupakan salah satu komoditas yang menarik
untuk diusahakan oleh masyarakat pedesaan sebagai usaha kecil, baik perorangan maupun
berkelompok termasuk melalui koperasi karena pemasaran masih sangat terbuka baik
didalam maupun diluar negeri (ekspor) sehingga dapat menjanjikan pendapatan dan
kesempatan kerja bagi masyarakat, sementara teknologi dapat dipelajari dan dikuasai.
Model kelayakan program ini dapat dijadikan acuan bagi pengusaha inti dan pengusaha
kecil/koperasi dalam melakukan usaha ini yang memberikan tingkat kelayakan finansial,
sebagai berikut:
1. Luas lahan kebun tanaman murbei unit terkecil 1.000 m2 ditambah 100 m2 untuk
bangunan (60 m2) pemeliharaan ulat total biaya produksi Rp 8.587.500 terdiri dari
modal sendiri dalam bentuk penyediaan lahan 1100 m2 seharga Rp 1.100.000 dan dari
kredit sebesar Rp 7.487.000 terdiri dari kredit investasi Rp 6.797.500 dan modal kerja
Rp 689.500.
2. Skim kredit yang dapat dimanfaatkan adalah kredit program (KKPA, KPKM dll.)
tingkat bunga 16% atau kredit usaha kecil (KUK) dengan tingkat bunga 24% per
tahun, dengan memperhatikan tingkat kelayakan usaha, sebagai berikut :
Asumsi hasil panen kokon = 60 kg/bulan, harga rata-rata Rp 20.000/kg kokon, sehingga
pendapatan petani = Rp 1.200.000/bulan atau Rp 9.600.000/tahun (8 bulan produksi dalam
setahun), untuk tahun-1 produksi kokon 50%.
Tingkat bunga 16% : Nilai IRR = 33,22%; NPV df 16% = Rp. 4.264.910; Payback period =
3,2 tahun; B/C Ratio = 1,5; Nilai R.O.I. = 30,03%; Profit Margin = 28,14%.
Analisa sensitivitas, apabila harga kokon turun 10% sebagai berikut :
= Nilai IRR = 22,54%; NPV pada df 16% = Rp 1.535.382; Payback period = 4,05 tahun, B/C
= 1,18.
Usaha inl layak diblayai dan menguntungkan petani.
Tingkat bunga 24% : Nilai IRR = 33,22%; NPV = Rp 1.953.892; Payback period = 3,72
tahun; B/C 1,23; Nilai R.O.I. = 27,45%; Profit Margin = 26,89%.
Analisis sensitivftas, apabila harga kokon turun 10%, menjadi :
= Nilai IRR = 22,54%; NPV pada df 24% = - Rp 294.580 (negatif) ; Payback Period = 4,75
tahun, dan B/C = 0,97.
Dengan penurunan harga kokon sebesar 10% menjadikan usaha tidak layak dan tidak
menguntungkan petani. Namun Usaha masih layak dan menguntungkan petani dengan
penurunan harga kokon hingga 8%.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.ticjepara.com/2008/11/tenun-troso.html
http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=30102&idrb=42601
http://www.agrisilk.com/Halaman-Depan/ulat-sutera/Semua-Halaman.html
Anonim.__. Proyek Pengembangan Persuteraan Alam Di Indonesia. Japan International
Cooperation Agency.
Anonim. 2000. Pedoman Pelaksanaan Pemeliharaan Ulat Sutera Perum Perhutani. Perum
Perhutani. Jakarta.
Anonim. 2000. Pedoman Pelaksanaan Pembuatan Tanaman dan Pemeliharaan Kebun Murbei
Perum Perhutani. Perum Perhutani. Jakarta.
Atmosoedarjo, Sukiman dkk. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya.
Jakarta.
Guntoro, Suprio. 1994. Budidaya Ulat Sutera. Kanisius. Yogyakarta.