Professional Documents
Culture Documents
Memang tidak terasa, lebih dari setahun telah berlalu sejak diluncurkannya buku Bahtera
pertama, Alih Bahasa: Tersesat Membawa Nikmat pada Juli 2009 di Malang, saat
dilangsungkannya acara perayaan hari ulang tahun ke-12 Bahtera, milis para penerjemah
Indonesia.
Kali ini kami datang kembali menyapa pembaca dengan membawa aneka kisah lain tentang
kehidupan para penerjemah dan juru bahasa dalam menekuni keseharian mereka, diawali dengan
dengan laporan pandangan mata dan kesan tentang penyelenggaraan konferensi Asian
Translators Forum, ajang temu penerjemah dan juru bahasa internasional di Macau yang
berlangsung tanggal 6–8 November 2010. Laporan ini ditulis dengan semangat beragih yang
merupakan perwujudan moto milis Bahtera, ’asah, asih, asuh.’
Tugas yang dipikul praktisi profesi penerjemah dan juru bahasa layaknya tugas para empu yang
menatah batu menjadi prasasti atau menatah logam menjadi keris dan berbagai peralatan untuk
kegiatan hidup manusia. Dalam melaksanakan pekerjaannya, penerjemah atau juru bahasa dapat
dikiaskan menatah makna untuk menyampaikan pesan dan memberi solusi komunikasi.
Dalam Menatah Makna ini, kami persembahkan 58 kisah yang ditulis oleh 45 orang Bahterawan,
anggota milis Bahtera. Dan, seperti juga pada buku Bahtera yang pertama, pada buku kedua ini
pun kami mengelompokkan semua naskah tersebut ke dalam beberapa bagian yang memiliki
benang merah yang sama. Memang pengelompokan ini tidak selalu mudah, tetapi kami merasa
perlu melakukannya agar Anda, pembaca, dapat menikmati aneka kisah itu dengan lebih
nyaman, tanpa perlu mengerutkan dahi dan kehilangan arah.
Dalam bagian pertama, Sebermula, kami tampilkan delapan kisah yang bercerita tentang
pengalaman pertama dalam dunia penerjemahan atau alasan yang memutuskan para penulisnya
menekuni dunia penerjemahan. Contohnya, dalam tulisan berjudul Profesi Impian, Bahterawan
Desak Nyoman Pusparini dari Bali menceritakan pengalamannya mewujudkan cita-cita menjadi
penerjemah dengan mengikuti kuliah di Jurusan Bahasa Inggris, Bidang Minat Penerjemahan,
Universitas Terbuka.
Waduuh…!! yang menjadi judul bagian kedua diisi oleh tujuh naskah yang, sesuai dengan
benang merahnya berkisah tentang pengalaman para penulisnya berkutat dengan berbagai
kesulitan saat menangani penerjemahan. Naskah berjudul CAT Tools yang ditulis oleh
Bahterawan D. Rahadi (Eddie) Notowidigdo dari Jakarta sebetulnya tidak terlalu waduuh…,
namun kami masukkan ke bagian ini karena banyak pemula melontarkan ucapan itu saat pertama
kali berkenalan dengan perangkat lunak yang dijuluki si meong ini.
Pada Seputar Profesi dikelompokkan tidak kurang dari 12 naskah yang bercerita tentang aneka
jenis pekerjaan “lain” yang ditekuni para pelakunya, namun yang masih sangat erat kaitannya
dengan kegiatan penerjemahan. Salah satu yang menarik adalah Remote Working vs. Koneksi
Internet Siputlike yang dengan memikatnya ditulis oleh Vina Andriyani dari Bandung. Seperti
apakah menjadi pegawai perusahaan di negeri Obama, menggunakan peralatan mereka, bekerja
dalam zona waktu mereka, tetapi semuanya dilakukan di rumahnya di Bandung? Apa yang
dimaksudkannya dengan koneksi siputlike? Para pendahulu kita mungkin tidak bisa
membayangkan ada jenis pekerjaan seperti itu di abad ke-21 ini.
Ah, adakah yang belum mengenal singkatan UUD di zaman sekarang ini? Bukan, bukan Undang
Undang Dasar, melainkan… Ujung Ujungnya Duit! Ini salah satu unsur yang teramat penting
untuk mengukur kesuksesan seorang penerjemah. Kembali D. Rahadi Notowidigdo
menceritakan pengalamannya menempa diri menjadi penerjemah sukses dengan memasarkan
jasanya lewat internet dalam tulisannya Memanfaatkan Internet untuk Memasarkan Jasa
Terjemahan. Pengalamannya pastilah sangat bermanfaat bagi para penerjemah pemula yang
ingin merintis karier di dunia yang sangat kami cintai ini.
Seperti pada buku Bahtera 1, pastilah ada bagian yang menampung tulisan tentang pengalaman
para penulisnya sebagai anggota milis Bahtera, yang kali ini kami namai Aku dan Bahtera,
yang memuat lima tulisan. Dengan judul tanpa basa-basi, Manfaat Menjadi Anggota Bahtera,
Tarie Soetarto dari Jakarta menceritakan pengalamannya menjadi anggota Bahtera setelah
membaca artikel di The Jakarta Post pada Agustus 2007 yang memuat reportase tentang
perayaan ulang tahun ke-10 Bahtera. Judul tulisannya sudah berbicara dengan sendirinya
sehingga tidak lagi diperlukan komentar dalam Prakata ini.
Penerjemahan tidak dapat dipisahkan dari bahasa, bukan? Maka dalam bagian Cinta Bahasa
kami tampilkan lima naskah dengan benang merah ini. Dengan judul 29 Tahun Bersama PPIT,
Bahterawan Katsujiro Ueno dari Jepang berkisah tentang pengalamannya selama 29 tahun
membina hubungan baik antara masyarakat Jepang dan Indonesia.
Bagian selajutnya, Tutur, menampilkan sembilan naskah yang dengan jenaka menceritakan
pengalaman para penulisnya saat berkiprah sebagai juru bahasa atau mungkin lebih dikenal
dengan sebutan interpreter atau penerjemah lisan. Tulisan More Than Higher, More Than
Smaller yang ditulis Indra Blanquita asal Jakarta, menjabarkan informasi serius dengan cara
yang jenaka tentang sejumlah hal yang perlu diperhatikan oleh seorang juru bahasa.
Bagian terakhir sengaja diberi judul Curhat karena di sini tujuh orang Bahterawan mencurahkan
uneg-uneg mereka selama mengarungi pahit manisnya dunia penerjemahan. Pengalaman Ingrid
Nimpoeno yang harus berakrobat menyelesaikan penerjemahan novel sambil sekaligus berperan
sebagai ibu rumah tangga tentu amat menarik untuk disimak. Nah, Anda tentu penasaran untuk
mengetahui apa yang dimaksudkannya dengan istilah norak dalam tulisannya yang berjudul
Noraknya Menjadi Penerjemah Novel.
Demikian pula, di halaman 201-208 sengaja kami tampilkan sejumlah foto yang merekam
kegiatan Bahtera dalam berbagai acara serius seperti seminar dan pelatihan di berbagai kota,
serta acara santai seperti wisata bersama dan perayaan hari ulang tahunnya yang ke-12 di Malang
dan yang ke-13 di Jakarta.
Selain itu, beberapa gambar juga ikut meramaikan tampilan buku ini yang melukiskan ungkapan
khas seloroh penerjemah, seperti singa mati yang berasal dari dead line yang berarti tenggat
(atau jika dibaca dengan cara tertentu mirip bunyinya dengan dead lion). Ada pula gambar yang
mewakili masalah yang dihadapi penerjemah, seperti misalnya tenggat yang ketat dan tuntutan
klien yang kadang melampaui batas kemampuan manusiawi.
Akhirul kata, dengan segala kerendahan hati, kami ucapkan selamat membaca! Semoga ke-58
naskah ini semakin membuka wawasan Anda tentang lika-liku profesi penerjemah dan juru
bahasa.
Setelah sebelumnya artikel “Ragam Profesi dalam Bidang Penerjemahan” membahas tentang
jenis profesi terkait dengan bidang penerjemahan, tulisan ini berusaha memberikan contoh
pekerjaan yang bisa diperoleh oleh penerjemah lepas dari agensi penerjemahan. Pekerjaan yang
umum ditawarkan oleh agensi luar negeri antara lain adalah style guide creation, glossary
creation, translation memory creation (alignment), translation, editing/review, proofreading,
post-editing, back translation, quality assurance evaluation, dan project coordination.
Glossary Creation
Membuat daftar istilah dari teks sumber yang akan diterjemahkan. Istilah-istilah itu nantinya
diterjemahkan dan dipakai sebagai acuan bagi penerjemah lain yang terlibat dalam proyek
tersebut. Dalam tugas ini, penerjemah bekerja secara manual atau menggunakan perangkat lunak
khusus untuk mengekstrak terminologi dari kumpulan teks sumber. Pembuatan glosarium ini
membutuhkan pengetahuan mendalam akan materi yang diterjemahkan dan pengalaman
menerjemahkan yang luas agar penerjemah tahu istilah apa yang layak masuk ke dalam
glosarium. Glosarium yang memuat istilah-istilah terlalu umum biasanya justru akan
menyusahkan karena membatasi penerjemah lain dalam menerjemahkan.
Membuat memori terjemahan dari berkas sumber dan berkas terjemahan yang sudah ada. Proses
ini dilakukan memanfaatkan fitur pada perangkat lunak Memori Terjemahan (Translation
Memory tool). Penerjemah harus menjodohkan segmen dari teks sumber dengan segmen
padanannnya dari teks terjemahan. Hasil dari kegiatan ini adalah berkas memori terjemahan yang
bisa dimanfaatkan oleh klien untuk mengerjakan proyek baru. Penerjemah seringnya tidak
diizinkan melakukan perubahan apa pun pada terjemahan yang sudah ada.
Translation
Menerjemahkan. Definisi umumnya adalah mengubah teks dari bahasa sumber ke teks dalam
bahasa sasaran yang sepadan. Ada banyak agensi asing yang berpegangan bahwa penerjemahan
hanya bisa dilakukan dari bahasa asing ke bahasa Ibu. Ini berarti penerjemah Indonesia hanya
akan diterima oleh agensi asing untuk menerjemahkan dari bahasa asing ke Bahasa Indonesia.
Penerjemah sebaiknya tidak menawarkan jasa terjemahan dari Bahasa Indonesia ke bahasa asing
karena bisa dinilai tidak profesional.
Editing/Review
Menyunting terjemahan yang telah diselesaikan oleh penerjemah lain. Karena sejauh ini tidak
banyak orang berprofesi khusus sebagai editor terjemahan lepas, agensi biasanya menggunakan
penerjemah senior atau penerjemah inhouse mereka untuk melakukan tugas ini. Kalau mendapat
pekerjaan penyuntingan ini hendaknya penerjemah lebih berprinsip meningkatkan mutu akhir
terjemahan bukan menjatuhkan reputasi penerjemah lain dengan mencari-cari kesalahan si
penerjemah.
Proofreading
Memeriksa pekerjaan terjemahan yang telah selesai dalam bentuk akhirnya. Tidak jarang terjadi
terjemahan yang memiliki kualitas bagus dan telah disunting oleh penerjemah lain memuat
banyak kesalahan dalam bentuk akhirnya. Ini bisa terjadi baik karena penerjemah dan editor
tidak mengetahui bentuk asli teks yang diterjemahkannya atau pihak yang melakukan
pemformatan memasukkan kesalahan baru pada teks terjemahan. Pada tahap ini, teks yang
diperiksa sudah dalam bentuk dan format akhir. Fokus dalam melakukan pembacaan pruf ini
biasanya adalah mencari kesalahan terjemahan kontekstual, kesalahan ejaan, kesalahan format,
dsb.
Post-editing
Mengoreksi Machine Translation agar terjemahan dapat digunakan sesuai dengan standar yang
diharapkan. Kualitas terjemahan mesin tergantung pada engine yang digunakan. Oleh karena itu,
upaya yang harus dilakukan penerjemah dalam mengedit terjemahan seperti ini pun beragam
tingkatnya. Sebaiknya bila mendapat tawaran seperti ini, penerjemah benar-benar tahu terlebih
dulu kualitas terjemahan mesin tersebut dan kualitas yang diharapkan dari klien sesudah melalui
proses post-editing. Umumnya tarif mengedit terjemahan mesin lebih tinggi dari tarif mengedit
terjemahan manusia.
Back Translation
Menerjemahkan dengan tujuan khusus memastikan keakuratan suatu terjemahan yang sudah ada.
Penerjemah dapat disebut melakukan back-translation apabila teks bahasa sumber yang
diterjemahkan sebenarnya adalah terjemahan. Misalnya, jika seorang klien ingin mengetahui
apakah teks terjemahan Inggris-Indonesia yang ia miliki sudah akurat, ia akan mengirimkan teks
terjemahan itu ke penerjemah Indonesia-Inggris untuk diterjemahkan kembali ke bahasa Inggris.
Pada jenis terjemahan ini, keakuratan lebih diutamakan daripada gaya dan keterbacaan. Tulisan
lebih panjang mengenai back-translation bisa dibaca dalam artikel berikut.
Mengevaluasi terjemahan dengan acuan-acuan tertentu yang telah ditetapkan oleh agensi.
Pekerjaan ini kurang lebih sama dengan menyunting. Perbedaannya, kalau menyunting bertujuan
sekadar memperbaiki terjemahan, evaluasi ini mengukur apakah terjemahan sudah sesuai dengan
standar yang diharapkan. Penerjemah yang mendapat pekerjaan ini akan diberi terjemahan yang
akan dievaluasi dan sebuah formulir evaluasi yang memuat kriteria dan cara penilaian. Setiap
kesalahan yang ditemukan dicatat dalam formulir tersebut.
Project Coordination
Selain pekerjaan-pekerjaan di atas tentu saja masih ada banyak pekerjaan lain yang bisa
dikerjakan oleh penerjemah. Beberapa contoh di atas dipilih dalam tulisan ini karena kurang
lebih menggambarkan kemungkinan alur proses terjemahan mulai dari awal hingga akhir.
Dua profesi dalam bidang penerjemahan yang telah dikenal luas oleh
masyarakat dan diakui secara resmi oleh pemerintah di Indonesia adalah penerjemah dan juru
bahasa. Seiring dengan berjalannya waktu, kebutuhan pengguna jasa di bidang penerjemahan
semakin bervariasi dan profesi di bidang ini pun semakin beragam. Dalam siaran pers untuk
menyambut Hari Penerjemahan Internasional 2010 pada tanggal 30 September yang lalu,
Federasi Penerjemah Internasional (FIT, Fédération Internationale des Traducteurs) pun
menyebut satu profesi lain di bidang penerjemahan: juru istilah (terminologist). Selain itu, di
milis penerjemah Bahtera pun sudah sering dibahas tentang berbagai aspek dari profesi
penerjemah film dan editor terjemahan. Jadi, sebenarnya apa saja ragam profesi dalam bidang
penerjemahan itu?
Dari berbagai sumber yang tersedia di internet, Language Resource Center Wake Forest
University (LRS WFU) memberikan daftar profesi dalam bidang penerjemahan yang paling
komprehensif dan deskriptif. Mereka mencantumkan 11 kategori yang terdiri dari translator,
interpreter, terminologist, editor/proofreader, subtitler, transcriptionist, localizor,
lexicographer, linguist, project manager, dan language engineer. Berikut jabaran dari masing-
masing profesi tersebut menurut LRS WFU.
1. Penerjemah (translator) adalah orang yang mengonversi suatu naskah dari satu bahasa
ke bahasa yang lain. Penerjemahan dapat dikelompokkan menurut tiga dimensi:
pendekatan, bidang, dan alat yang digunakan.
2. Juru bahasa (interpreter) bertugas menerjemahkan pesan lisan secara verbal dari satu
bahasa ke bahasa yang lain. Penjurubahasaan dapat dikategorikan
menurut lingkungan (pengadilan, komunitas, konferensi, dan telepon) serta cara
penyampaian (konsekutif dan simultan).
3. Juru istilah (terminologist) bertugas mencari padanan istilah tertentu dari satu bahasa ke
bahasa yang lain untuk memfasilitasi komunikasi. Dalam hal ini, istilah merujuk pada
istilah teknis yang digunakan pada suatu bidang khusus serta penyelidikan untuk
menemukan istilah yang paling tepat menggambarkan suatu konsep.
4. Editor terjemahan (editor) bertugas meninjau naskah terjemahan untuk memperbaiki
tata bahasa dan istilah, termasuk makna keseluruhan wacana serta keselarasan budaya
suatu naskah.
5. Penerjemah film (subtitler) bertugas memberikan teks terjemahan yang sinkron dengan
dialog dalam suatu film, video, atau televisi. Meskipun sering hanya membaca naskah
yang sudah diterjemahkan, penyulih suara (dubber) juga kadang dianggap sebagai
profesi dalam bidang penerjemahan dan bahkan dapat juga bertugas ganda sebagai
penerjemah dialog.
6. Transkripsionis (transcriptionist) bertugas mendengarkan suara dan kata-kata dari pesan
lisan dari suatu bahasa, yang biasanya direkam, dan mengubahnya menjadi terjemahan
tertulis dalam bahasa lain.
7. Pelokal (localizor) bertugas menyesuaikan suatu produk terhadap suatu lokalitas, pasar
sasaran, atau kelompok bahasa tertentu. Pelokalan umunya dikaitkan dengan industri
perangkat lunak yang merupakan konsumen terbesar layanan pelokalan, meskipun
pelokalan juga diperlukan dalam konteks lain.
8. Leksikografer (lexicographer) bertugas mengembangkan entri atau definisi suatu kata,
istilah, atau konsep untuk disertakan dalam suatu kamus ekabahasa atau dwibahasa..
9. Linguis (linguist) bertugas mencari padanan tepat suatu unit bahasa dalam naskah
sumber tanpa merujuk pada faktor-faktor budaya atau kontekstual. Linguis membuat
aturan sintaksis dan gramatikal untuk program penerjemahan.
10. Manajer penerjemahan (project manager) bertugas mengawasi seluruh proses
penerjemahan, berhubungan dengan klien, menjadi petugas penghubung antara tim
penerjemah dan klien, mengelola semua arahan teknis, serta mendukung dan melacak
kemajuan proyek penerjemahan.
11. Insinyur bahasa (language engineer) bertugas membuat perangkat lunak yang mudah
disesuaikan ke dalam bahasa lain dan membuat proses pelokalan menjadi lebih
sederhana. Metode yang digunakan meliputi pengorganisasian dan penerapan program,
kerangka, dan skrip perangkat lunak atau laman web yang membuat lancar pengalihan
suatu perangkat lunak dari satu bahasa ke bahasa lain.
Dalam The Globalization Industry Primer, LISA, Localization Industry Standards Association,
mendefinisikan lokalisasi (localization) sebagai proses mengubah produk atau layanan untuk
dapat memenuhi kebutuhan yang berbeda di pasar yang berbeda (Arle, 2007:11). Definisi ini
menunjukkan bahwa proses lokalisasi tidak melulu tentang penerjemahan; namun juga tentang
beberapa faktor lainnya yang juga sama pentingnya dengan penerjemahan. Tidak seperti
penerjemahan pada umumnya yang mengubah teks dalam sebuah bahasa ke bahasa yang lain;
proses lokalisasi mengubah sebuah produk atau layanan keseluruhan yang ditujukan untuk
sebuah pasar menjadi produk atau layanan yang dapat terima untuk pasar yang lain. Dalam
terbitan yang sama, disebutkan bahwa lokalisasi selain mencakup masalah linguistik juga
mencakup masalah fisik, masalah bisnis dan budaya, dan masalah teknis.
Lokalisasi sebuah produk telepon seluler, misalnya, kurang lebih akan melalui tahapan-tahapan
sebagai berikut.
Terlepas dari kenyataan ini, banyak pendapat yang berusaha membedakan penerjemahan dalam
proses lokalisasi dari penerjemahan pada umumnya. Penerjemahan pada proses lokalisasi bahkan
sering dikatakan dapat menghasilkan terjemahan yang lebih baik. Beberapa contoh pendapat
yang sering dikemukakan misalnya (1) bahwa penerjemahan dalam lokalisasi bukan sekadar
menerjemahkan biasa, tapi lebih ke pelokalan, menyesuaikan isi ke sistem linguistik dan budaya
wilayah yang menjadi tujuan lokalisasi; (2) bahwa penerjemahan dalam lokalisasi tidak
menerjemahkan secara harfiah teks bahasa sumber tapi disesuaikan dengan pasar sasaran atau
pengguna sasaran; serta (3) bahwa penerjemahan dalam lokalisasi tidak memindahkan mentah-
mentah suatu konsep dalam budaya bahasa sumber ke bahasa target; dan sebagainya.
Dari beberapa pendapat tersebut, menarik untuk dicatat bahwa semua yang disebutkan sebagai
pembeda penerjemahan dalam proses lokalisasi dari penerjemahan pada umumnya sebenarnya
juga sudah tercakup dalam pembahasan studi penerjemahan sejak puluhan tahun yang lalu.
Contoh yang pertama misalnya dalam studi penerjemahan dikenal sebagai strategi domestikasi.
Dalam strategi ini, penerjemahan dilakukan dengan gaya yang transparan, lancar, “tembus
pandang” untuk meminimalisir kenampakan unsur-unsur asing dari teks sumber dalam teks
sasaran (Munday, 2001:146). Strategi ini sendiri sudah digunakan semenjak zaman Romawi
Kuno (Baker, 2001:241). Contoh yang kedua, yang berbicara tentang menyesuaikan terjemahan
dengan pasar atau pengguna sasaran, erat sekali hubungannya dengan teori Skopos dalam studi
penerjemahan. Teori ini merupakan salah satu pendekatan dalam penerjemahan yang
dikembangkan di Jerman pada tahun 1970-an. Teori ini memandang bahwa proses
penerjemahan, seperti kegiatan manusia lainnya, memiliki tujuan tertentu. Tujuan inilah yang
menentukan jalannya proses penerjemahan, bukan teks sumber (Baker, 2001:235). Contoh
pendapat yang ketiga pada paragraf di atas dalam konteks studi penerjemahan akan mengacu
pada konsep ekuivalensi dinamis. Penerjemahan ekuivalensi dinamis bertujuan untuk mencapai
kealamiahan ekspresi yang utuh dan mencoba untuk mengaitkan pembaca dengan sesuatu yang
relevan dengan konteks budayanya sendiri (Hatim, 2005:167).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pendapat yang mengatakan penerjemahan dalam proses
lokalisasi lebih baik daripada penerjemahan pada umumnya tidaklah tepat karena sejatinya
keduanya adalah sama. Hingga saat ini, belum ada ciri khusus penerjemahan dalam proses
lokalisasi yang dapat secara nyata menjadi pembeda, baik dalam hal kualitas hasil atau pun
metode, dari penerjemahan pada umumnya. Pendapat tersebut kemungkinan muncul karena
kurangnya pengetahuan teoritis penerjemah terkait dengan studi penerjemahan.
Penerjemah harusnya lebih dapat memanfaatkan berbagai teori penerjemahan yang telah ada
dalam bahasan studi penerjemahan saat terlibat dalam proses lokalisasi.
Dengan berbekal hasil penelitian dalam studi penerjemahan yang telah berlangsung sangat lama,
penerjemah juga dapat menawarkan perspektif atau pertimbangan-pertimbangan yang biasanya
tidak ditemukan dalam proses lokalisasi (Pym, 2004:5).
Namun demikian, sebaliknya, tidak dapat dimungkiri, dengan adanya faktor-faktor lain yang
terlibat dalam lokalisasi (faktor teknis, fisik, bisnis, dan budaya), praktik penerjemahan dalam
proses lokalisasi pasti juga terpengaruh oleh proses lokalisasi secara keseluruhan.
Keterbatasan ruang dalam penerjemahan teks perangkat lunak, misalnya, akan memaksa
penerjemah untuk membatasi panjang terjemahannya dengan memilih kata-kata bahasa sasaran
yang lebih pendek. Dalam memilih istilah yang akan digunakan dalam terjemahannya,
penerjemah juga akan mempertimbangkan faktor bisnis. Penggunaan kata dalam bahasa sasaran
yang kurang populer mungkin terpaksa akan dihindari karena akan menurunkan tingkat
keterbacaan dan penerimaan pengguna terhadap produk yang dilokalkan tersebut. Dengan
demikian, dalam pengambilan keputusan, penerjemah tidak lagi hanya mempertimbangkan
aspek-aspek linguistik dan penerjemahan saja.
Penutup
Lokalisasi melibatkan banyak tahapan proses. Penerjemahan sendiri adalah salah satu tahapan di
dalamnya. Dalam kaitannya dengan peran penerjemah dalam lokalisasi, kerja penerjemahan
dalam lokalisasi tidak banyak berbeda dengan penerjemahan secara umum. Penerjemah dapat,
dan memang sudah seharusnya, memanfaatkan teori-teori penerjemahan yang telah ada saat
terlibat dalam proses lokalisasi. Hanya saja, mengingat adanya faktor-faktor teknis non-
penerjemahan yang terlibat, praktik penerjemahan yang dilakukan oleh penerjemah dalam
proses lokalisasi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Pada akhirnya nanti, atau bahkan
telah dan sedang terjadi, proses lokalisasi akan turut membentuk teori-teori penerjemahan baru
yang dapat mengembangkan studi penerjemahan secara umum.
Back Translation
“Back translation” adalah istilah teknis dalam dunia penerjemahan, yang mungkin tepat untuk
dipadankan dengan “Terjemahan balik.” Istilah ini bermakna menerjemahkan materi dari bahasa
A ke bahasa B, kemudian hasil terjemahan bahasa B diterjemahkan balik ke bahasa A oleh orang
(editor) lain. Prosedur ini sangat berguna bagi editor, terutama bagi yang belum banyak jam
terbangnya, untuk memeriksa ketepatan atau kecermatan makna aslinya seperti yang dimaksud
oleh penulisnya.
Untuk kalimat yang tampaknya mudah dan sederhana, biasanya penerjemah yang belum banyak
berpengalaman cenderung untuk segera saja mulai menerjemahkannya, tanpa pikir panjang,
tanpa mempertimbangkan konteks dan lain-lain. Terjemahan semacam itu saya namakan
“terjemahan instan.”
Terjemahan instan cenderung rentan menghasilkan kalimat yang maknanya mungkin jauh
berbeda dari maksud penulis aslinya.
Contohnya, kalimat sederhana seperti
4. David mencintai isteri orang lain (misalnya isteri Peter), saya juga mencintai isteri Peter.
6. dst … dst…
Lima kalimat Indonesia hasil terjemahan tersebut di atas kemudian diterjemahkan balik oleh
lima orang (atau lebih) ke dalam bahasa Inggris. Contoh terjemahan balik di bawah ini
menunjukkan kemungkinan bahwa lima terjemahan instan tersebut dapat ditafsirkan kembali ke
dalam lima (bahkan lebih) kalimat berbeda yang sangat mungkin bermakna beda karena berasal
dari konteks yang ditafsirkan berbeda-beda pula.
4-A. David mencintai isteri Peter, saya juga mencintai isteri Peter.
Lessons Learnt
1. Kalau ada kalimat yang tampaknya sederhana dan sangat mudah, sebaiknya kita tidak tergesa
untuk langsung menerjemahkannya. Kita justru harus “curiga” kalau menemui suatu kalimat
ganjil yang tampak sangat sederhana. Telusuri dulu konteks materi asal kalimat tersebut.
Apalagi kalau konteks keseluruhan bacaan yang kita terjemahkan bernuansa ragam non-formal,
misalnya ragam bahasa “populer” atau bahasa “gaul.”
2. Kalau kita merasa ragu apakah terjemahan kita sudah tepat dan cermat, mintalah tolong kepada
rekan lain untuk menerjemahkan balik terjemahan kita ke bahasa aslinya. Cara ini sering lebih
efektif daripada bertanya tentang “arti” atau maksud kalimat aslinya.
3. Prosedur semacam ini juga cukup efektif bagi kita sendiri untuk memperbaiki kalimat bahasa
Indonesia kita. Kalau rekan kita kesulitan menerjemahkan (balik) kalimat kita, ada kemungkinan
hal itu disebabkan oleh tatabahasa kalimat kita yang kurang benar, kurang idiomatik, ambigu,
atau sukar dipahami. Dari fakta ini kita akan terdorong merevisi atau memperbaiki bahasa
Indonesia kita. Ini juga merupakan kesempatan bagus untuk menaikkan tingkat keterbacaan
(readability) tulisan kita.
4. Bahasa yang tinggi tingkat keterbacaannya akan mudah dipahami. Kalimat yang mudah
dipahami biasanya tinggi pula tingkat keterjemahannya (translatability). Kalimat seperti itu akan
menuntun penerjemah menghasilkan karya yang berprinsip “terjemahan berdasar makna,”
(meaning-based translation) alih-alih “berdasar bentuk.” (form-based translation).
5. Bagi biro penerjemah yang mempekerjakan sejumlah penerjemah, prosedur back translation
dapat digunakan sebagai latihan untuk mengembangkan “gaya selingkung” produknya.