Professional Documents
Culture Documents
EMANSIPASI WANITA
DALAM PANDANGAN ISLAM
Disusun oleh:
BAB II
PERMASALAHAN
BAB III
PEMBAHASAN
"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang
mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-
laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang
banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan
pahala yang besar".
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas ra bahwa ayat
ini turun berkenaan dengan pertanyaan para wanita: “Mengapa dalam Al-Qur’an disebutkan para
laki-laki sementara para wanita tidak?” Maka turunlah ayat ini.
Jauh sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu mengangkat
derajad wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah ke masa kemulaian wanita. Dari
ayat di atas kita bisa melihat betapa Islam tidak membedakan antara wanita dan laki-laki. Semua
sama di hadapan Allah.swt, dan yang membedakan mereka di hadapan Allah adalah mereka
yang paling bertaqwa, taqwa dalam artian menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala
laranganNya. Mari kita meneropong kebelakang, pada awal-awal berdirinya Islam telah banyak
wanita-wanita yang berjaya, mereka adalah Aisyah binti Abu Bakar(wafat 58 H), Hafsah binti
Umar (wafat 45 H), Juwairiah binti Harits bin Abu Dhirar (wafat 56 H), Khadijah binti
Khuwailid (wafat 3 SH), Maimunah binti Harits (wafat 50 H/670 M), Ummu Salamah (wafat 57
H/676 M), Zainab binti Jahsy (wafat 20 H), Fatimah binti Muhammad (wafat 11 H), Ummi
Kultsum binti Muhammad (wafat 9 H/639 M), Zainab binti Muhammad (wafat 8 H.) dan lain
sebagainya. Merekalah yang telah memberikan suri tauladan yang sangat mulia untuk
keberlangsungan emansipasi wanita, bukan saja hak yang mereka minta akan tetapi kewajiban
sebagai seorang wanita, istri,anak atau sahabat mereka ukir dengan begitu mulianya.
Tidak diragukan lagi bahwa wanita di masa jahiliah tidak memiliki nilai sedikitpun dalam
kehidupan manusia. Mereka tak ubahnya binatang ternak, yang tergantung kemauan
penggembalanya. Mereka ibarat budak piaraan yang tergantung kemauan tuannya.
Sesungguhnya, status sosial wanita menurut bangsa Arab sebelum Islam sangatlah rendah.
Hingga sampai pada tingkat kemunduran dan keterpurukan, kelemahan dan kehinaan, yang
terkadang keadaannya sangat jauh dari martabat kemanusiaan. Hak-hak mereka diberangus
meskipun hanya menyampaikan sebuah ide dalam urusan hidupnya. Tidak ada hak waris baginya
selama dia sebagai seorang perempuan. Sedangkan dalam islam kaum wanita memiliki
kedudukan yang tinggi dan memiliki hak yang sama dalam mengamalkan agama. Di mana Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memperlakukan mereka dan membebankan hukum-hukum syariat
sesuai dengan fitrah penciptaannya. Hal ini masuk dalam keumuman firman-Nya (yang artinya):
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah:
286). Islam juga telah mengabadikan nama wanita yang dalam bahasa Arab An-nisa ( )النساءke
dalam salah satu surat dalam Al-quran, dan islam juga tidak melarang wanita untuk berperang
atau berjihad di jalan Allah.Swt melawan orang-orang kafir, dalam hadits yang diriwayatkan
oleh seorang sahabat wanita terkemuka Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra berkata :
“Kami pernah bersama nabi SAW dalam peperangan, kami bertugas memberi minum para
prajurit, melayani mereka, mengobati yang terluka, dan mengantarkan yang terluka kembali ke
Madinah.” Ummu Haram ra, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra , dimana ia berkata:
“Nabi SAW bersabda : “Sejumlah orang dari ummatku menawarkan dirinya sebagai pasukan
mujahid fi sabiliLLAH. Mereka mengarungi permukaan lautan bagaikan raja-raja di atas
singgasananya.” Lalu tiba-tiba Ummu Haram ra berkata: “Ya RasuluLLAH, doakan saya
termasuk diantara mereka itu.” Lalu Nabi SAW mendoakannya…” Hal ini menunjukkan bahwa
dalam islam memang ada yang disebut emansipasi wanita dari zaman jahiliah dimana wanita
diperlakukan buruk hingga ditinggikan kedudukannya dalam islam.
Lantas, bagaimana sebenarnya pandangan islam tentang emansipasi wanita itu sendiri?
Persamaan hak untuk dilindungi oleh hukum, mendapatkan gaji yang setara dengan laki laki jika
berada di kedudukan atau kemampuan yang sama, dan lain sebagainya adalah segelintir contoh
dibolehkannya persamaan hak dengan kaum pria. Makna emansipasi wanita yang benar, adalah
perjuangan kaum wanita demi memperoleh hak memilih dan menentukan nasib sendiri. dalam
pandangan Islam wanita yang baik adalah wanita yang seoptimal mungkin menurut konsep al-
qur’an dan assunnah. Ialah wanita yang mampu menyelaraskan fungsi, hak dan kewajibannya:
- Seorang hamba Allah ( At-Taubah 71 )
- Seorang istri ( An-Nisa 34)
- Seorang ibu ( Al-Baqoroh 233 )
- Warga masyarakat (Al-furqan 33)
- Da’iyah ( Ali Imran104 -110)
Pertama : Segi positif yaitu dalam penerapannya mempunyai sasaran yang tepat dan terarah
sesuai dengan peraturan agama dan moral yang berlaku.
Kedua : Segi negatif yaitu kesalahan penerapan dalam praktek atau pola kehidupan yang
tidak sesuai dengan akal sehat yang tentunya tidak dibenarkan oleh agama,
sebagaimana contoh-contoh di atas.
Karena pengertian emansipasi itu bervariasi, masing-masing kelompok wanita atau
individu mereka punya pandangan dari sudut kepentingan yang berbeda-beda. Sebenarnya,
emansipasi itu tidak sekedar persamaan hak atau kewajiban dengan kaum pria dalam arti kata
yang sempit, akan tetapi harus ada batas-batas yang justru di ikuti dan disetujui oleh fitrah wanita
itu sendiri. Sedang banyak kaum wanita memaksakan pengertian emansipasi sebagai persamaan
hak dan kewajiban tanpa batas, justru merugikan derajat dan harkat wanita itu sendiri.
Jika seruan emansipasi bermotif:
1. Memperjuangkan hak-hak kaum wanita sehingga sama dalam kehidupan dengan hak-hak
kaum lelaki,
2. Mengangkat kedudukan kaum wanita agar setara dengan kaum lelaki dalam semua aspek
kehidupan,
3. Memerdekakan kaum wanita dari belenggu keterbelakangan sehingga sama dengan kaum
lelaki dalam kemajuan,
Tentunya prinsip emansipasi yang demikian sangatlah bertentangan dengan keadilan
Islam sebagai agama yang telah mengatur kehidupan setiap manusia, sekaligus juga menyelisihi
kandungan keindahan wahyu. Di mana wahyu telah memisahkan serta menentukan bagi laki-laki
dan wanita adanya hak serta kewajiban yang tidak sama. Begitu juga, wahyu telah menentukan
perbedaan-perbedaan dalam banyak perkara, seperti adanya perbedaan dalam hal penciptaan,
bersuci, shalat, pelaksanaan jenazah, zakat, puasa dan i’tikaf, haji, aqiqah, jihad, kepemimpinan
dan perang, nikah, talak, khulu’, li’an dan ‘iddah, hukum had dan qishash, serta perbedaan dalam
masalah hak waris. (Kasyful Wa’tsa` karya Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri). Berjalan di atas
ketentuan wahyu, sesungguhnya adalah sebuah pengangkatan, perjuangan dan kemerdekaan bagi
kaum wanita yang sesuai dengan fitrah penciptaan mereka.
Pada hakikatnya kita harus menerima kalau Allah menjadikan Laki-laki itu pemimpin
bagi wanita. Kita juga harus tahu bahwa Hawa diciptakan Allah untuk menemani Adam,
bukan untuk menyaingi Adam.
Hal inilah yang dijadikan propaganda oleh bangsa barat dengan mengatasnamakan
emansipasi wanita. Propaganda emansipasi wanita adalah sebuah lagu lama yang diembuskan
oleh musuh-musuh Islam yang bertujuan untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. .
Selama kaum muslimin –terutama kaum wanitanya– konsekuen dengan agama dan Sunnah
Nabinya, tentunya kehidupan mereka akan baik dan bersih. Dengannya mereka akan mengetahui
seluk-beluk musuh. Ini semua membuat benci musuh-musuh Islam khususnya Yahudi dan
Nasrani. Maka disebarkanlah paham baru ini, emansipasi wanita, untuk memecah belah umat
Islam, memperluas kerusakan di antara mereka, mengeluarkan para wanita dari rumah-rumah
pingitan, serta menghilangkan rasa malu dari mereka. Setelah semuanya itu terjadi, akan mudah
bagi Yahudi dan Nasrani untuk menguasai dunia Islam serta menghinakan kaum muslimin.
Propaganda emansipasi ini disambut hangat oleh orang-orang yang di dalam hati mereka ada
penyimpangan dan penyelewengan. Orang yang hidupnya tidak lain kecuali melampiaskan hawa
nafsu birahi semata. Bahkan dukungan-dukungan materi mengucur deras untuk melariskan
propaganda ini. Dukungan terhadap propaganda Yahudi untuk menghancurkan Islam dan kaum
muslimin ini dipimpin oleh ‘Persatuan Yahudi Internasional dan Salibisme’ seperti:
1. Markus Fahmi, seorang Nasrani, menerbitkan buku yang berjudul Wanita di Timur tahun
1894 M. Dia menyerukan wajibnya menanggalkan hijab atas kaum wanita, pergaulan
bebas, talak dengan syarat-syarat tertentu dan larangan kawin lebih dari satu orang.
2. Huda Sya’rawi, seorang wanita didikan Eropa yang setuju dengan tuan-tuannya untuk
mendirikan persatuan istri-istri Mesir. Yang menjadi sasarannya adalah persamaan hak
talak seperti suami, larangan poligami, kebebasan wanita tanpa hijab, serta pergaulan
bebas.
3. Ahli syair, Jamil Shidqi Az-Zuhawis. Dalam syairnya, dia menyuruh kaum wanita Irak
membuang dan membakar hijab, bergaul bebas dengan kaum pria. Dia juga menyatakan
bahwa hijab itu merusak dan merupakan penyakit dalam masyarakat. (Lihat secara
ringkas risalah Al-Huquq Az-Zaujiyah fil Kitab was Sunnah wa Bayanu Da’wati
Hurriyyati Al-Mar`ah karya Hasyim bin Hamid bin ‘Ajil Ar-Rifa’i)
Propaganda emansipasi wanita jelas-jelas menghancurkan prinsip ketundukan terhadap
segala ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pasrah menerima segala keputusan-Nya.
Padahal semuanya dibangun di atas ilmu-Nya, keadilan, dan kebijaksanaan-Nya.
BAB IV
KESIMPULAN
Makna emansipasi wanita menurut pandangan Islam ialah perjuangan kaum wanita demi
memperoleh hak memilih dan menentukan nasib sendiri. Dalam pandangan Islam, wanita yang
baik adalah wanita yang seoptimal mungkin menurut konsep al-qur’an dan assunnah ialah wanita
yang mampu menyelaraskan fungsi, hak dan kewajibannya yaitu sebagai seorang hamba Allah,
seorang istri, seorang ibu, warga masyarakat, serta da’iyah.
Emansipasi itu tidak sekedar persamaan hak atau kewajiban dengan kaum pria dalam arti
kata yang sempit, tetapi juga harus ada batas-batas yang tetap harus di ikuti dan disetujui oleh
fitrah wanita itu sendiri. Memang seorang wanita tetap memiliki hak untuk bisa berpendapat,
bekerja, mendapat pendidikan yang tinggi, asalkan mereka tidak melupakan juga kewajiban-
kewajibannya yang juga telah diatur oleh Allah SWT. Hawa diciptakan Allah untuk menemani
Adam, bukan untuk menyaingi Adam. Pada hakikatnya kita harus menerima kalau Allah
menjadikan Laki-laki itu pemimpin bagi wanita.