You are on page 1of 6

Tugas Fiqh Kontemporer

MASTURBASI DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM


Oleh Fathorrazi1
Prolog
Sejatinya manusia tercipta ke muka bumi ini sudah ditentutkan oleh Allah
swt., sebagai makhluk yang sempurna. Dengan kesempurnaan itu, manusia diberi
akal untuk berpikir, diberi tangan untuk sarana bekerja, diberi kaki untuk berjalan,
mata untuk melihat, hidung untuk mencium bebauan. Segala bentuk keinginan
(hasrat) masing-masing individu telah diatur oleh-Nya. Namun, jika berbicara
hasrat liar (nafsu) tentu tak lepas dari hal-hal negatif.
Seperti halnya manusia memiliki nafsu seksual yang mempunyai kadar
berbeda, tentu apabila pelampiasan nafsu itu dengan pasangan yang sah secara
agama, maka dibenarkan oleh Islam. Sebaliknya, jika melampiaskan nafsu itu
dengan pasangan (persetubuhan di luar ikatan pernikahan antara laki-laki dan
perempuan), maka hal itu tidak dibenarkan oleh agama Islam.
Nafsu seksual manusia bisa timbul kapan saja dan di mana saja. Hal ini
disebabkan adanya rangsangan dari luar sehingga timbul gejolak hasrat untuk
melampiaskan sekaligus memuaskan nafsu yang muncul. Kendatipun demikian,
selayaknya manusia yang tahu agama, kita harus berhati-hati (ihtiyãt) dalam
menjaga pandangan-pandangan yang bisa menimbulkan syahwat, sehingga bukan
tidak mungkin (absurd) kita bisa terjerembab ke dalam bujuk rayu birahi semata
(mengerjakan kemaksiatan dan melanggar larangan-Nya).
Jika kita berkaca pada realitas sesungguhnya (era saat ini), di mana
kehidupan masyarakat sudah mengalami pergeseran tingkah laku yang semula
masyarakat khususnya kaum muda masih memegang adat ketimuran yang
terkenal dengan akhlak yang terpuji (akhlaqul karimah), tampak sopan-santun
dalam berpakaian maupun tingkah laku. Akan tetapi, sekarang ini para muda-
mudi sudah mulai berubah secara drastis; baik secara berpakaian banyak
mengadopsi budaya barat dengan mengatasnamakan anak “gaul” berpakaian tidak
senonoh yang bisa menimbulkan syahwat para remaja (laki-laki). Dapat
                                                            
1
 Mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 
dipastikan pelampiasan nafsu dapat menghipnotis laki-laki untuk melakukan hal-
hal yang kurang baik (onani).
Terlebih lagi, menyebarnya situs-situs porno (video) sangat mudah diakses
di pelbagai media informasi Internet yang sangat digemari, hasilnya kita lihat
(apakah hal itu berdampak baik atau buruk). Apalagi Kecendrungan masyarakat
untuk menyaksikan itu timbul, dan bahkan menyimpan video porno (blue film)
untuk dijadikan konsumsi pribadi maupun menyebarluaskan kembali. Hal ini
berdampak negatif terhadap prilaku di masyarakat itu sendiri, khususnya para
remaja dan tidak menutup kemungkinan terjadi pada orang dewasa yang telah
menikah. Contoh kecil dari dampak negative yang timbul adalah prilaku seksual
yang menyimpang (salah satunya dengan cara onani atau masturbasi).2
Dari pemaparan di atas, saya berinisiatif untuk membahas masalah prilaku
seksual menyimpang yaitu onani atau masturbasi. Hal ini saya anggap segar
dikemukakan lagi (relevan) dengan tugas yang diberikan dosen pada mata kuliah
Fiqh Kontemporer.

                                                            
2
Bentuk penyalahgunaan seksual ini dalam bentuk merangsang alat kelaminnya sendiri secara
manual (al-yadu), secara digital dengan jari-jari (al-ashobi’ah). Bisa juga dilakukan oleh dua
orang (dalam artian; laki-laki maupun perempuan). Lihat: Marzuki Umar Sa’abah, Prilaku Seks
Menyimpang dan Sekaligus Kontemporer Umat Islam, cet. ke-1 (Yogyakarta: UII Press, 2001),
hlm. 137. Mengenai masturbasi atau onani atau dalam bahasa Arab (istimna’ bil yad), yakni
memainkan kemaluannya dengan tangannya sendiri. Lacak: Prof. Drs. Masjeuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyyah, cet. ke-2 (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1991), hlm. 45. Bandingkan dengan buku Fiqh
Sunna, bahwa onani yang dilakukan seseorang laki-laki dengan cara mengocok alat kelamin
dengan tangannya termasuk suatu hal yang merusak unsure etika dan adab. Lacak: Sayyid Sabiq,
Fiqh Sunnah, cet. ke-9 (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997), hlm. 137.
 
Working Thought
Tak dapat disangkal, manusia (laki-laki dan perempuan) tercipta untuk
saling berpasang-pasangan, dan bukan memaksakan jalinan terlarang (zina)
apalagi melakukan dari yang sebenarnya (istimna’). Perbuatan onani atau
masturbasi secara islami memang dipandang keluar dari ketetapan nas Qur’an
yang menyuruh manusia menjaga kemaluannya.

Sebagaimana Firman Allah di dalam al-Quran:


‫ﻮاﻠﺬﻴﻦهﻢ ﻠﻔرﻮﺠﻬﻢ ﺤﻔظﻮﻦ‬
‫إﻻﻋﻠﻰأزﻮاﺠﻬﻢ أﻮﻤﺎﻤﻠﻜﺖ أﻴﻤﻨﻬﻢ ﻔﺈﻨﻬﻢ ﻏﻴﺮﻤﻠﻮﻤﻴﻦ‬
‫ﻔﻨﺒﺘﻐﻰ ﻮﺮﺁﺀ ﺬﻠﻚ ﻔﺄﻮﻠﺌﻚهﻢ اﻠﻌﺎدﻮن‬
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-
istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang kebalikan
itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”3

Walaupun nas tersebut menyebutkan sebenarnya (terbaik dan terpuji).


namun sebaliknya merujuk pandangan para ulama (interpretation-orientied) juga
berhak meretaskan apa yang relevan (rasional) ketika masalah masturbasi atau
onani menjadi controversial (debate-table) demi mengkaji hukum Islam,
khususnya menyangkut masalah tersebut. Hal ini membuktikan titik penekanan
hokum onani menjurus kepada hal negatif.
Beberapa ulama (madzăhib) memiliki perannya masing-masing untuk
sama-sama meneguhkan interpretasinya, seperti; Imam Syafi’ie, Imam Maliki,
Imam Hanafi, Imam Hanbali, Abu Zaid dan Ibnu Abbas. Di antara yang
mengatakan haram melakukan onani maupun masturbasi, dikarenakan Allah
menyuruh manusia menjaga farji/dzakar dalam segala keadaan kecuali hanya

                                                            
3
Q.S. Al-Mu’minun (273): 5-7.  
berhubungan intim dengan budak dan istri.4 yaitu; Imam Syafi’ie, Imam Maliki,
dan Abu Zaid.
Adapun ulama lainnya, seperti Imam Hanbali dan Imam Hanafi
berpandangan lain dengan ketiga tokoh di atas, bahwa yang menjadi titik tekan
adalah jika perbuatan onani ataupun masturbasi haram hukumnya manakala
merangsangkan diri (unsur kesengajaan), sehingga mengeluarkan sperma dengan
paksaan sendiri.
Namun, bagi Imam Hanafi,5 bukan persoalan manakala dalam keadaan
gawat, yakni orang yang memuncak nafsu seksnya (natural) dan khawatir berbuat
zina. Maka diperbolehkan, bahkan hukumnya wajib (berbuat onani) demi
menyelamatkan dirinya dari perbuatan zina yang jauh lebih besar dosa dan
bahayanya daripada onani ataupun masturbasi. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh:
“Wajib menempuh bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya”6
Lain halnya dengan pandangan ulama madzhab Hanbali tetap
mengharamkan onani, kecuali kalau orang takut berzina (karena terdorong nafsu
seksnya yang kuat), atau khawatir terganggu kesehatannya. Sedangkan ia tidak
mempunyai istri atau amat (budak wanita), dan ia tidak mampu kawin maka ia
boleh berbuat onani.7
Menurut pendapat kedua, ketiga8 sudah barang tentu yang diperbolehkan
dalam keadaan terpaksa (dharuri), sehingga hal itu dibatasi seminimal
penggunaannya, dalam hal ini pebuatan onani. Demikian juga ketika ditautkan
pada kaidah fiqh: “sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, hanya boleh
sekedarnya saja.”
Adapun kaidah fiqh di atas berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an:

                                                            
4
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, cet. ke-9 (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997), hlm. 137 
5
Beliau berpendapat bahwa andaikan seseorang dikhawatirkan akan berbuat zina. Maka wajiblah
ia menyalurkan nafsu seksualnya dengan onani. Pendapat lain, Imam Hanafi yang menjadi tesis:
Jadi berkumpul dua bahaya, maka wajiblah kalian mengambil bahaya yang paling ringan.” Jadi,
lebih lanjut mereka mengatakan bahwa onani dengan tangan sendiri itu tidak apa-apa di saat
syahwatnya sudah tidak dapat dikendalikan lagi. 
6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, cet. ke-9 (Bandung: PT. Al-Maa’arif, 1997), hlm. 138 
7
Ibid. 
8
Dalam hal ini, hanafi dan hanbali sama-sama meneguhkan mengenai kebolehan onani
dikarenakan terpaksa. 
‫ٳﻨﱠﻤﺎﺤﺮﱠﻢﻋﻠﻴﻜﻢ اﻠﻤﻴﺘﺘﺔ ﻮاﻠﺪﱠﻢ ﻮﻠﺤﻢا ﺨﻨﺰﻴﺮ ﻮﻤﺂ أهﻞ ﱠﺒﻪ ﻠﻐﻴﺮ اﷲ ﻔﻤﻦ اﻀﻂ ﱠﺮ ﻏﻴﺮ ﺒﺎغ‬
‫ﻮﻻ ﻋﺎﺪ ﻔﻶ إﺜﻢ ﻋﻠﻴﻪ إﻦ ﱠاﷲ ﻏﻔﻮﺮﺮﱠﺤﻴﻢ‬
“Barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan makanan yang
diharamkan), sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”9

Sebagaimana diungkapkan Ibnu Abbas, ia berani mengatakan


“memperbolehkan” onani. Adapun kata Hasan; “Orang Islam dahulu
melakukannya dalam waktu peperangan (jauh dari keluarga/istri).” Dan para
Mujahid (pejuang Islam), seseorang ahli tafsir maupun murid Ibnu Abbas, “Orang
Islam dahulu (sahabat Nabi) mentolerir para remaja dan pemudanya melakukan
onani atau masturbasi.10 Kendatipun, berbuat onani ini berlaku baik untuk laki-
laki (ar-rijal) maupun perempuan (al-mar’ah).
Tidak salah, walaupun nas Qur’an dan pandangan ulama madzhab yang
sekaligus menyebutkan argumentasi hingga saling memmpunyai paying hokum
sendiri, tidak lain adalah perbedaan (Rasul bersabda: “perbedaan itu rahmat”).
Oleh karena itu, tarik ulur pemakaman yang berbeda bukanlah untuk memperkosa
wujud asli dalam firman-Nya. Namun, para tentara Tuhan (madzahib) mempunyai
pandangan yang menurutnya rasional. Hal ini membuktikan titik penekanan
hokum onani atau masturbasi bisa menjurus kepada hal negatif dan positif.
Dus, masalah ini bukan pula menjadi hal asing jika sudah mendarah
daging di dalam jiwa kita. Tinggal memilih keyakinan yang mana (jika pandangan
ulama saling mengunggulkan interpretasinya) akan kita ambil (untuk dijadikan
pijakan hidup)?
Epilog
Dari pemaparan di atas, saya mencoba untuk mencari titik temu
permasalahan penentuan haram tidaknya onani ataupun masturbasi. Jika kita
                                                            
9
Q.S. Al-Baqarah (2): 173 
10
Dalam hal ini Ibnu Abbas, Mubah dari segi penerapan hokum berkenaan dengan onani maupun
masturbasi. Lihat: Masjeuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, cet. ke-2 (Jakarta: CV. Haji Masagung,
1991), hlm. 45-47 
melihat perbedaan perkembangan zaman antara dahulu dan sekarang, tentu kita
bisa meraba, bahwa banyak perbedaan kebudayaan di sana. Pengharaman secara
mutlak yang dilakukan oleh Syafi’ie, Maliki, Zaid yang berdasarkan kepada surat
al-Mu’minun ayat 5-7. Lain halnya jika dilihat dari keterangan di atas, adanya
kekurangtetapan pemakaian dalam menghukumi perbuatan onani atau masturbasi.
Karena menurut saya, ayat tersebut mengatur dalam penyaluran seksual kepada
pasangannya dalam ikatan pernikahan dengan pasangannya. Jadi di sana tidak
secara tegas melarang perbuatan onani.
Sementara dalam menyikapi hokum yang memakruhkan dan
memperbolehkan onani maupun masturbasi, saya hamper senada dengan pendapat
seperti apa yang mereka tuturkan. Akan tetapi, kami tidak menganjurkan
perbuatan itu ketika tidak adanya rangsangan dari luar.jika memaksakan diri
dengan mencoba untuk memunculkan syahwat dan kemudian menimbulkan nafsu
untuk melakukan onani maupun masturbasi, saya mengharamkan tersebut (tidak
ada ‘illatnya). Karena bagi saya, untuk orang-orang yang belum menikah
(khususnya) ketika melakukan onani ataupun masturbasi dengan faktor
kesengajaan itu tidaklah etis dan melanggar syariat Islam.

Daftar Referensi

Masjeuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1991.

Marzuki Umar Sa’abah, Prilaku Seks Menyimpang dan Sekaligus Kontemporer Umat

Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001.

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Bandung: PT. Al-Maa’arif, 1997.

You might also like