Professional Documents
Culture Documents
2
Bentuk penyalahgunaan seksual ini dalam bentuk merangsang alat kelaminnya sendiri secara
manual (al-yadu), secara digital dengan jari-jari (al-ashobi’ah). Bisa juga dilakukan oleh dua
orang (dalam artian; laki-laki maupun perempuan). Lihat: Marzuki Umar Sa’abah, Prilaku Seks
Menyimpang dan Sekaligus Kontemporer Umat Islam, cet. ke-1 (Yogyakarta: UII Press, 2001),
hlm. 137. Mengenai masturbasi atau onani atau dalam bahasa Arab (istimna’ bil yad), yakni
memainkan kemaluannya dengan tangannya sendiri. Lacak: Prof. Drs. Masjeuk Zuhdi, Masail
Fiqhiyyah, cet. ke-2 (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1991), hlm. 45. Bandingkan dengan buku Fiqh
Sunna, bahwa onani yang dilakukan seseorang laki-laki dengan cara mengocok alat kelamin
dengan tangannya termasuk suatu hal yang merusak unsure etika dan adab. Lacak: Sayyid Sabiq,
Fiqh Sunnah, cet. ke-9 (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997), hlm. 137.
Working Thought
Tak dapat disangkal, manusia (laki-laki dan perempuan) tercipta untuk
saling berpasang-pasangan, dan bukan memaksakan jalinan terlarang (zina)
apalagi melakukan dari yang sebenarnya (istimna’). Perbuatan onani atau
masturbasi secara islami memang dipandang keluar dari ketetapan nas Qur’an
yang menyuruh manusia menjaga kemaluannya.
3
Q.S. Al-Mu’minun (273): 5-7.
berhubungan intim dengan budak dan istri.4 yaitu; Imam Syafi’ie, Imam Maliki,
dan Abu Zaid.
Adapun ulama lainnya, seperti Imam Hanbali dan Imam Hanafi
berpandangan lain dengan ketiga tokoh di atas, bahwa yang menjadi titik tekan
adalah jika perbuatan onani ataupun masturbasi haram hukumnya manakala
merangsangkan diri (unsur kesengajaan), sehingga mengeluarkan sperma dengan
paksaan sendiri.
Namun, bagi Imam Hanafi,5 bukan persoalan manakala dalam keadaan
gawat, yakni orang yang memuncak nafsu seksnya (natural) dan khawatir berbuat
zina. Maka diperbolehkan, bahkan hukumnya wajib (berbuat onani) demi
menyelamatkan dirinya dari perbuatan zina yang jauh lebih besar dosa dan
bahayanya daripada onani ataupun masturbasi. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh:
“Wajib menempuh bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya”6
Lain halnya dengan pandangan ulama madzhab Hanbali tetap
mengharamkan onani, kecuali kalau orang takut berzina (karena terdorong nafsu
seksnya yang kuat), atau khawatir terganggu kesehatannya. Sedangkan ia tidak
mempunyai istri atau amat (budak wanita), dan ia tidak mampu kawin maka ia
boleh berbuat onani.7
Menurut pendapat kedua, ketiga8 sudah barang tentu yang diperbolehkan
dalam keadaan terpaksa (dharuri), sehingga hal itu dibatasi seminimal
penggunaannya, dalam hal ini pebuatan onani. Demikian juga ketika ditautkan
pada kaidah fiqh: “sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, hanya boleh
sekedarnya saja.”
Adapun kaidah fiqh di atas berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an:
4
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, cet. ke-9 (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1997), hlm. 137
5
Beliau berpendapat bahwa andaikan seseorang dikhawatirkan akan berbuat zina. Maka wajiblah
ia menyalurkan nafsu seksualnya dengan onani. Pendapat lain, Imam Hanafi yang menjadi tesis:
Jadi berkumpul dua bahaya, maka wajiblah kalian mengambil bahaya yang paling ringan.” Jadi,
lebih lanjut mereka mengatakan bahwa onani dengan tangan sendiri itu tidak apa-apa di saat
syahwatnya sudah tidak dapat dikendalikan lagi.
6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, cet. ke-9 (Bandung: PT. Al-Maa’arif, 1997), hlm. 138
7
Ibid.
8
Dalam hal ini, hanafi dan hanbali sama-sama meneguhkan mengenai kebolehan onani
dikarenakan terpaksa.
ٳﻨﱠﻤﺎﺤﺮﱠﻢﻋﻠﻴﻜﻢ اﻠﻤﻴﺘﺘﺔ ﻮاﻠﺪﱠﻢ ﻮﻠﺤﻢا ﺨﻨﺰﻴﺮ ﻮﻤﺂ أهﻞ ﱠﺒﻪ ﻠﻐﻴﺮ اﷲ ﻔﻤﻦ اﻀﻂ ﱠﺮ ﻏﻴﺮ ﺒﺎغ
ﻮﻻ ﻋﺎﺪ ﻔﻶ إﺜﻢ ﻋﻠﻴﻪ إﻦ ﱠاﷲ ﻏﻔﻮﺮﺮﱠﺤﻴﻢ
“Barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan makanan yang
diharamkan), sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”9
Daftar Referensi
Marzuki Umar Sa’abah, Prilaku Seks Menyimpang dan Sekaligus Kontemporer Umat