You are on page 1of 27

akal dan wahyu dalam pandangan ibnu rushd dan ibn taymiyyah

Dalam sejarah pemikiran Islam persoalan hubungan antara akal dan wahyu merupakan issue yang
selalu hangat diperd ebatkan oleh mutakallimun dan filosof. Issue ini menjadi penting karena ia
memiliki kaitan dengan argumentasi -argumentasi mereka dalam pembahasan tentang konsep
Tuhan, konsep Ilmu Ilmu, konsep etika dan lain sebagainya. ( Untuk diskusi tentang etika George F
Hourani, Reason and Tradition in Islamic Ethic, Cambridge: Cambridge University Press, 1985)
Mereka berorientasi pada usaha untuk membuktikan kesesuaian atau hubungan antara akal dan
wahyu. (Lihat A.J.Arberry, Revelation and Reason in Islam). Dalam konteks ini konsep akal, wahyu
dan ta’wil menjadi topik yang penting. Filosof Muslim terpenting yang berusaha membuktikan
hubungan antara akal dan wahyu adalah Ibn Rushd (520 H/ 1126 A-595/ 1198) penulis buku Fasl al-
Maqal dan Ibn Taymiyyah 662/ 1263 – 728/1328 A.H. penulis buku Dar’ Ta’arud al-‘aql wa al-naql
(sebelumnya diberi judul muwafaqat sarih al-ma’qul ‘ala sahih al-manqul). Yang pertama mencoba
menjelaskan “hubungan” sedang yang kedua berusaha menghindarkan pertentangan atau
menjelaskan “kesesuaian”. Akan tetapi Arberry menganggap karya Ibn Rushd itu sebagai
percobaan terakhir untuk membuktikan hubungan antara akal dan wahyu, sedangkan Ibn
Taymiyyah digambarkan sebagai orang yang menghentikan percobaan ini. Sejatinya keduanya
berasumsi sama bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, tapi karena situasi sosial dan latar
belakang pemikiran mereka tidak sama kesimpulan yang mereka hasilkan berbeda . Ibn Rushd
tidak saja dipengaruhi oleh pemikiran masyarakat yang beranggapan bahwa sains dan falsafah
bertentangan dengan agama tapi juga oleh konflik-konflik yang terjadi antara ahli-ahli filsafat dan
ilmu agama. Berbeda dari Ibn Rushd, perhatian Ibn Taymiyyah difokuskan pada pemahaman
masyarakat tentang Islam yang dalam pandangannya telah dirusak oleh doktrin-doktrin sufism,
teologi dan filsafat seperti yang nampak dalam amalan-amalan bid’ah di masyarakat. (Lihat Bello,
Iysa A., Medieval Islamic Controversy Between Philosophy and Orthodoxy, Leiden, E.J.Brill,1989. Ibn
Taymiyyah, “Haqiqat Madhhab al-Ittihadiyyah” dalam Majmu‘at al-Fatawa, Cairo, Matba ‘ah al-
Hukumah, 1966).

Prinsip hubungan Ibn Rushd

Dalam membahas masalah akal dan wahyu Ibn Rushd menggunakan prinsip hubungan (ittisal)
yang dalam argumentasi -argumentasinya mencoba mencari hubungan antara agama dan falsafah.
Argumentasi-argumentasinya adalah dengan: Pertama, menentukan kedudukan hukum daripada
belajar falsafah. Menurutnya belajar falsafah adalah belajar ilmu tentang Tuhan, yaitu kegiatan
filsosofis yang mengkaji dan memikirkan segala sesuatu yang wujud (al-mawjudat) yang
merupakan pertanda adanya Pencipta (Sani‘), karena al-mawjudat adalah produk dari ciptaan.
Lebih sempurna ilmu kita tentang hasil ciptaan Tuhan (al-mawjudat ) lebih sempurna pula ilmu kita
tentang Tuhan. Karena wahyu (shar‘) menggalakkan aktiviti bertafakkur tentang al-mawjudat ini,
maka belajar falsafah diwajibkan dan diperintahkan oleh wahyu. Kedua membuat justifikasi bahwa
kebenaran yang diperolehi daripada demonstrasi (al-burhan) sesuai dengan kebenaran yang
diperolehi daripada wahyu. Disini ia berargumentasi bahwa di dalam al-Qur’an terdapat banyak
ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal (nazar) untuk memahami segala
yang wujud. Karena nazar ini tidak lain daripada proses berfikir yang menggunakan metode logika
analogi (qiyas al-‘aqli), maka metode yang terbaik adalah metode demonstrasi (qiyas al-burhani).
Sama seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas al-fiqhi), yang digunakan untuk menyimpulkan
ketentuan hukum, metode demonstrasi (qiyas al-burhan) digunakan untuk mamahami segala yang
wujud (al-mawjudat), Hasil dari proses berfikir demonstrtif ini adalah kebenaran dan tidak dapat
bertentangan dengan kebenaran wahyu, karena kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan
kebenaran. Kedua-dua thesis diatas merupakan asas bagi kesimpulan Ibn Rushd selanjutnya yang
menyatakan bahwa para filosof memiliki otoritas untuk menta’wilkan al-Qur’an.

Bagaimanapun thesis diatas masih menyimpan satu pertanyaan: adakah kebenaran yang diperoleh
akal tidak akan bercanggah dengan kebenaran wahyu? Jawapan pertanyaan ini tidak dinyatakan
secara jelas, akan tetapi dapat difahami dari teori Ibn Rushd kemampuan akal dalam memahami
wahyu, dan tentang wahyu yang diklassifikasikan kedalam makna.

Berasaskan pada kemampuan akal manusia, Ibn Rushd membahagi masyarakat kedalam tiga
kelompok: Pertama kelompok yang tidak dapat menafsirkan al-Qur’an, Kedua, kelompok yang
memiliki kemampuan menafsirkan secara dialektik dan ketiga kelompok yang mampu menafsirkan
secara demonstratif yang disebut ahl al-burhan. (Lihat G.Hourani, Averoes On the Harmony of
Religion and Philosophy, London, Luzac & Co, 1976, 65) Akal dalam klassifikasi ini difahami sebagai
kemampuan untuk berfikir dan memahami. Sedangkan wahyu dibahagi kedalam tiga bentuk makna
yang terkandung didalamnya yaitu : 1) Teks yang maknanya dapat difahami dengan tiga metode
yang berbeda (metode retorik, dialektik dan demonstratif); 2) Teks yang maknanya hanya dapat
diketahui dengan metode demonstrasi. Makna yang terkandung dalam teks ini terdiri dari: a)
makna zahir, yaitu teks yang mengandungi simbol-simbol (amthal ) yang dibuat untuk
menerangkan idea-idea yang dimaksud. b) makna batin yaitu teks yang mengandungi idea-idea itu
sendiri dan hanya dapat difahami oleh yang disebut ahl al-burhan.; 3) teks yang bersifat ambiguos
antara zahir dan batin. Klassifikasi teks wahyu ini juga merujuk kepada kemungkinan untuk dapat
difahami dengan akal. Nampaknya, yang dimaksud Ibn Rushd sebagai hubungan (ittisal) adalah
hubungan antara ayat-ayat yang mengandungi makna batin dan kemampuan akal untuk
memahami dengan metode demonstratif. Maka itu menurutnya perkataan al-rasikhun fi al-ilm.
(Qur’an (3:7) adalah mereka yang memiliki pengetahuan berdasarkan metode demonstrasi, yaitu
para filosof. Dari klassifikasi diatas agaknya jawapan yang diberikan Ibn Rushd jelas bahwa
pertentangan antara akal dan wahyu tidak terjadi apabila akal difahami sebagai al-burhan. Namun
demikian, Ibn Rushd tetap mengakui adanya kemungkinan pertentangan antara ahl al-burhan dan
teks wahyu. Dan untuk itu solusi yang terbaik menurutnya adalah seperti cara pengambilan hukum
Fiqh. Dalam kes tertentu pengetahuan tentang al-mawjud “tidak disebutkan” dalam wahyu dan
dalam kes yang lain “disebutkan”. Jika tidak disebutkan maka ia harus disimpulkan daripadanya,
seperti qiyas dalam Fiqh. Jika pengetahuan itu disebutkan dan makna zahirnya betentangan
dengan hasil pemikiran demonstratif maka diselesaikan dengan dua cara: Pertama dengan
interpretasi secara majazi (alegorik) atau kiasan makna zahir itu sesuai dengan aturan-aturan
bahasa Arab yang berlaku, yaitu “menterjemahkan arti sesuatu ekspresi dari yang bersifat
metaforikal kepada pengertian yang sesungguhnya.” Kedua dengan mencari semua makna zahir
dalam al-Qur’an yang bersesuaian dengan interpretasi alegorik atau yang mendekati makna
alegorik itu. Akan tetapi untuk menta’wilkan secara majazi makna ayat zahir pada alternatif
pertama Ibn Rushd tidak hanya bersandar pada aturan-aturan Bahasa Arab sahaja, ia juga
menetapkan aturan berasaskan pada kejelasan simbol dan benda yang disimbolkan untuk
menentukan apakah sesuatu ayat zahir boleh dita’wilkan atau tidak. Jika makna zahir sesuatu ayat
adalah seperti arti yang dimaksudkan (al-ma’na al-mawjud fi nafsihi), ayat itu tidak perlu
dita’wilkan. Jika zahir ayat-ayat itu adalah simbol-simbol belaka dan bukan arti yang sesungguhnya
daripada zahirnya ayat-ayat itu harus dita’wilkan sesuai dengan kesesuaian antara simbol (al-
mithal ) dengan benda yang disimbolkan (al-mumaththal ). Jika simbol dan benda yang disimbulkan
dapat mudah diketahui maka setiap orang boleh menta’wilkannya. Tapi jika simbol dan benda yang
disimbolkan sukar diketahui atau jika simbol-simbol itu mudah diketahui tapi benda yang
disimbolkan sukar untuk diketahui atau jika benda yang disimbulkan dapat difahami dengan mudah
tapi simbol-simbol ayat itu tidak dapat begitu saja diketahui, maka ayat-ayat ini hanya boleh
dita’wilkan oleh yang berilmu dan tidak boleh diungkapkan kepada orang awam kecuali dengan
penjelasan yang berbeda . Disini Ibn Rushd tidak menjelaskan lebih jauh tentang standard
pengetahuan al-mithal dan al-mumaththal atau kreteria untuk membenarkan kesahihan
pengetahuan mereka tentang kedua-dua hal itu. Nampaknya asas yang digunakan Ibn Rushd dalam
ta’wil adalah Bahasa Arab yang merujuk kepada kebiasaan (adat lisan al-‘Arab) dan kejelasan
simbol serta benda yang disimbolkan, terutama adalah kemampuan akal memahami maknanya
dengan menggunakan metode demonstratif. Akan tetapi standard bahasa Arab dengan simbol-
simbol itu tidak dikaitkan dengan bahasa sebagai simbol suatu konsep yang dijelaskan Nabi dan
difahami oleh para sahabat dan tabi’in. Demikian pula proses ta’wil yang dijelaskan seakan-akan
menggambarkan bahwa pengetahuan ahl al-burhan adalah taken for granted, benar. Ini bermakna
bahwa kebenaran wahyu perlu dikaji ulang dan tidak memberikan ruang untuk menjelaskan proses
bagaimana seharusnya pengetahuan demonstrasi dikaji ulang . Pandangan ini boleh difahami
sebagai mendahulukan akal daripada wahyu, yaitu pandangan yang bertentangan dengan
pemikiran salaf, seperti al-Ghazzali, Ibn Hazm, Ibn Taymiyyah atau lainnya. Dengan membatasi
makna perkataan al-rasikhun fi al-ilm berarti ia memberikan otoritas menta’wilkan makna batin al-
Qur’an kepada filosof, tanpa mempertimbangkan otoritas Nabi dan para sahabat. Hal ini
membahayakan kemutlakan kebenaran wahyu, walhal pengetahuan para filosof tentang realitas
(wujud), yang diperolehi dari metode demonstrasi belum dapat dikatakan final. Dalam masalah
doktrin ketuhanan atau konsep tentang Tuhan, misalnya, falsafah Yunani masih mengandung
pertentangan dan berbeda dari konsep dalam al-Qur’an. Jika Ibn Rushd membahas lebih detail
konsep akal tanpa membatasi pada metode demonstrasi falsafah Yunani kesesuaian akal dan
wahyu dapat difahami lebih jelas. Prinsip kesesuaian Ibn Taymiyyah Prinsip “kesesuaian” Ibn
Taymiyyah yang berarti tanpa pertentangan tercemin dari judul kitabnya yang menggunakan
perkataan muwafaqat dan dar’ ta’arud. Meskipun implikasi makna perkataan ini hampir sama
dengan perkataan ittisal dalam pandangan Ibn Rushd, tapi prinsip-prinsip yang digunakan berbeda,
terutama dalam memahami makna akal (’aql ) dan dalam menjabarkan wahyu (al-naql, al-sam’).
Prinsip-prinsip Ibn Taymiyyah ini dapat difahami dari komentar dan jawabannya terhadap masalah
yang dibahas oleh filosof dan mutakallimun khususnya Fakhr al-Din al-Razi, yaitu : bagaimanakah
penyelesaiannya jika terjadi “pertentangan antara akal dan wahyu”. Dari kesemua pembahasan Ibn
Taymiyyah sekurang-kurangnya terdapat tiga prinsip utama yang dimaksud untuk menjawab
masalah itu dan membangun prinsip kesesuaian antara akal dan wahyu. Ketiga-tiga prinsip itu ialah
sebagai berikut: Pertama, bahwa rasional atau tradisional bukanlah sifat yang boleh menentukan
sesuatu itu benar atau salah, diterima atau ditolak. Ia hanyalah metode atau jalan untuk
mengetahui sesuatu. Jika sesuatu itu berasal dari tradisi (al-sam’) semestinya ia bersifat rasional,
sifat tradisional tidak bertentangan dengan sifat rasional. Shariah terkadang bersifat tradisional dan
terkadang rasional; bersifat tradisional (sam’iyyan) jika ia menetapkan dan menunjukkan sesuatu,
dan bersifat rasional jika ia memperingatkan dan menunjukkan sesuatu hal. Kedua, jika terjadi
pertentangan antara akal dan wahyu, maka prioritas diberikan kepada wahyu dan menolak akal.
Akal tidak mungkin diberi prioritas karena melalui akal kebenaran wahyu dibuktikan. Jika akal diberi
prioritas sedangkan akal itu sendiri boleh berbuat salah, maka ia tidak boleh menjadi alat untuk
menentukan kebenaran, lagipun disini wahyu akan dianggap mengandung kesalahan. (Ibn
Taymiyyah, Dar’ Ta’arud, vol.I). Prinsip ini masih bersifat umum dan tidak termasuk pertentangan
antara pengetahuan tradisional (wahyu) dan rasional (akal). Ketiga, jika pertentangan terjadi antara
proposisi akal dan wahyu maka harus dikaji apakah proposisi itu qat’i atau zanni. Jika kedua-dua
proposisi itu qat’i, maka tidak mungkin terjadi pertentangan dan jika kedua-dua proposisi itu zanni
maka dipilih proposisi yang lebih pasti (rajih). Jika proposisi yang dihasilkan akal lebih pasti (qat’i),
maka prioritas diberikan kepada proposisi akal daripada proposisi dari pengetahuan wahyu (al-
sam’i) dan sebaliknya. Tapi proposisi akal diutamakan bukan karena ia berasal dari akal tapi karena
sifat qat’i-nya itu. (Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud, vol.I) Secara umum pandangan Ibn Taymiyyah
menolak prinsip akal sebagai asas wahyu dan asas bagi menentukan kesahihan wahyu yang berarti
mendahulukan akal daripada wahyu. Alasannya, karena keberadaan wahyu berasal dari nabi (al-
sam’) dan bukan dari akal. Meskipun kebenaran wahyu dapat diketahui dengan pengetahuan akal,
tapi pengetahuan akal tidak dapat menetapkan adanya (thubut) wahyu. Kesahihan wahyu tidak
mungkin bergantung pada pengetahuan yang diperoleh akal, sebab sifat dapat difahami atau
diketahui oleh akal bukanlah sifat lazim (sifah lazimah) sesuatu benda. Seandainya kebenaran
wahyu itu tidak diketahui atau dibuktikan oleh akal sekalipun ia tetap memiliki sifat kebenaran,
karena itu kita tidak dapat menjadikan semua pengetahuan akal sebagai asas bagi wahyu atau dalil
bagi kebenarannya. Baginya, asas kesahihan wahyu adalah kebenaran Nabi (sidq al-rasul ).
Mendahulukan akal berarti pada mengutamakan pendapat filosof, mutakallim atau sufi daripada
risalah Nabi, dan dapat mengakibatkan bid’ah dan kekufuran. (Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud, vol.V,
320-322. Naqd al-Mantiq, 55) Meskipun demikitan, Ibn Taymiyyah sama sekali tidak merendahkan
makna akal jika akal difahami sebagai a) watak (gharizah) atau b) pengetahuan yang diperoleh dari
akal (al-ma’rifa al-hasila bi-l-‘aql). Sebagai gharizah akal menjadi syarat bagi segala macam ilmu,
apakah rasional ataupun irrasional, dan dalam kedudukannya sebagai syarat, akal tidak dapat
bertentangan dengan wahyu. Demikian pula sebagai pengetahuan yang diperoleh dari gharizah
tadi akal difahami sebagai pengetahuan akal yang jelas dan pasti kebenarannya (‘aqli qat’i). Pada
poin ini Ibn Taymiyyah tidak memberikan penjelasan lebih detail atau contoh tentang apa hakekat
pengetahuan akal yang pasti (‘aqli qat’i) itu. Mungkin maksudnya adalah pengetahuan yang
diperoleh melalui fitrah, seperti yang ia jelaskan dalam kitabnya Naqd al-Mantiq. Tapi mungkin juga
bermaksud ‫( علم الضروري‬necessary knowledge), yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui proses
tawatur dan yang menjamin pengetahuan yang pasti (’ilm al-yaqini ) secara lafzi atau maknawi.
Pengetahuan ini dimiliki oleh Sahabah, tabi‘un dan tabi‘ al-tabi’un, sebab baginya mereka itu
adalah sumber ilmu pengetahuan tradisi yang harus dipercayai. Tapi yang jelas pengertian ‘aqli
qat’i ini merujuk kepada pengetahuan yang bukan berasal dari pemikiran spekulatif atau al-burhan
seperti pandangan Ibn Rushd. Selanjutnya dalam mendahulukan wahyu Ibn Taymiyyah berprinsip
bahwa wahyu itu benar dan disampaikan melalui argumentasi-argumentasi tradisional dan rasional,
karena itu tidak dapat bertentangan dengan pengetahuan akal yang benar. Pertentangan itu
mungkin terjadi karena pengetahuan tentang wahyu yang tidak jelas atau pengetahuan akal yang
salah. Pengetahuan wahyu yang benar diperoleh dari proses berfikir yang benar dan pengetahuan
terminologi yang sesuai dengan tradisi, dan bukan diluar itu. Maka itu ia membedakan terminologi
(alfaz) yang digunakan dalam sunnah dan disepakati oleh ahl al-ijma’ dari terminologi yang tidak
terdapat dalam tradisi (shari’ah, nusus wahyu dan sunnah). Untuk membedakan keduanya yang
diperlukan adalah pemahaman terhadap tradisi (al-sam’, al-sunnah) yang merujuk pada perkataan
Nabi, Sahabah, tabi‘un and tabi‘ al-tabi’un. Dari mereka inilah otoritas memahami wahyu bermula,
sebab Nabi Muhammad SAW adalah makhluk yang paling tahu kebenaran dan karena itu ia adalah
orang paling mampu untuk menerangkan kebenaran. Maka itu ia memahami istilah ta’wil sebagai
menjelaskan seperti yang dimaksud Allah atau merujuk kepada apa yang dikehendaki Allah dan
kreteria ta’wil yang dapat diterima (ta’wil al-maqbul), adalah ta’wil yang sesuaia dengan arti yang
dimaksud oleh “pembicara” atau Tuhan melalui Nabi. Maka dari itu Ibn Taymiyyah tidak membatasi
obyek ta’wil kepada perkataan majazi dalam al-Qur’an seperti dibahas Ibn Rushd. Meskipun ia
mengartikan ta’wil sebagai penafsiran dan penjelasan ucapan, ia tetap menekankan pada
kesesuaiannya dengan makna zahir dari lafaz ucapan itu. Dalam pandangannya perkataan zahir
yang dapat difahami dari lafaz bermacam-macam bentuknya, ada yang menurut konteksnya dan
ada pula yang difahami sesuai dengan ikatan-ikatan (quyud) yang ada didalamnya. Ianya tidak
memiliki denotasi yang uniform sehingga harus dita’wilkan apa adanya seperti yang dilakukan Ahl
al-Ithbat, dan tidak memiliki denotasi batin yang harus selalu difahami secara batin seperti yang
dilakukan Nufat al-Sifat. Jadi perkataan zahir diketahui dari denotasi lafaz secara mutlak, atau dari
denotasi konteksnya atau dari kesamaannya dengan konteks yang lain. Untuk itu ia menetapkan
tiga sharat agar ta’wil itu dapat diterima: 1) menjaga agar lafaz itu sesuai dengan makna yang
terdapat dalam Bahasa Arab dan maksud al-shari’ serta tidak memahami dengan makna lain. 2)
menjaga agar maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pembicara dalam konteks
lafaznya. 3) memperhatikan ikatan-ikatan (quyud ) yang terdapat dalam lafaz dan yang mengikat
maknanya, sebab perbedaan satu lafaz dengan lafaz lain ditentukan oleh ikatan yang
menyertainya. Oleh itu kita tidak boleh menta’wilkan lafaz-lafaz al-Qur’an dengan sesuka hati tanpa
mengkaji maksud yang sesungguhnya sesuai dengan konteks masing-masing lafaz. Selanjutnya ia
membagi ta’wil menjadi dua: Pertama, ta’wil yang berkaitan dengan perintah kepada manusia
untuk berbuat, disebut dengan al-ta’wil al-talabi, yaitu ta’wil tengang perintah dan larangan (al-amr
wa al-nahy). Disini Ibn Taymiyyah menerima adanya kontradiksi antara satu teks dengan yang lain,
berkaitan dengan teks-teks nasikh dan mansukh. Kedua, ta’wil yang berkaitan dengan apa-apa
yang disampaikan Tuhan (akhbar) tentang diriNya, tentang Hari Akhir dan lain-lain yang benar
belaka sifatnya. Ta’wil dalam masalah yang kedua ini hanya Allah saja yang mengetahuinya,
sedangkan manusia hanya dapat mengetahui arti literal teks itu, tapi tidak mengetahui ta’wil atau
realitas yang sesungguhnya. Dalam masalah-masalah doktrin (akhbar) ini Ibn Taymiyyah tidak
melihat adanya kontradiksi teks wahyu seperti dalam al-ta’wil al-talabi, kontradiksi itu wujud hanya
dalam akal orang yang memahami Jelaslah bahwa Ibn Taymiyyah dan Ibn Rushd berbeda dalam
memahami makna ta’wil. Bagi yang pertama ta’wil sama dengan tafsir dan menekankan pada
kesesuaian zahir lafaz dengan makna dan makna dengan maksud al-shari’, sedangkan yang kedua
menekankan makna ta’wil pada penjelasan makna sebenar (haqiqi) dari makna majazi atau makna
batin sesuatu teks. Perbedaan ini dapat difahami lebih jelas melalui pemahaman mereka dalam
menta’wilkan ayat-ayat mutashabihat yang diterangkan dalam al-Qur’an (3:7). Ibn Rushd
memahami bahwa ta’wil ayat mutashabihat hanya diketahui oleh Allah dan orang-orang yang
memiliki ilmu berfikir demonstratif, sedangkan bagi Ibn Taymiyyah hanya Allah saja yang tahu. Ia
meletakkan titik setelah perkataan ‫ إل ال‬dan bukan sesudah perkataan al-rasikhun fi al-ilm. Karena
menurutnya para sahabah dan tabi’un memahami ayat mutashabihat, tapi mereka tidak
mengetahui realitas sesungguhnya (modalitas) dari khabar yang disampaikan Allah itu dan hanya
Allah saja yang tahu la ya’lamu ta’wilahu illallah. Inilah sebabnya mengapa Ibn Taymiyyah tidak
menjelaskan perkataan al-rasikhun fi al-ilm, karena ia tidak berkaitan dengan otoritas
menta’wilkan. Abrahamov mendakwa ayat ini mematahkan pendapat Ibn Taymiyyah, karena
kalimat “hanya Allah saja yang tahu ta’wil ayat mutasyabihat”, menunjukkan bahwa Nabi dan dari
para sahabat tidak mengetahui maknannya. Tapi nampaknya Abrahamov salah faham sebab ta’wil
yang difahami Ibn Taymiyyah dalam ayat ini adalah realitas atau modaliti atau dalam bahasa salaf
disebut al-kayf. Kesimpulan Usaha Ibn Rushd untuk menghubungkan akal dan wahyu sangat
sistimatis, akan tetapi pembatasan makna akal pada kemampuan berfikir demonstratif yang hanya
dimiliki oleh filosof mengundang berbagai pertanyaan. Ia nampak seperti berlebihan dalam menilai
kemampuan akal dan metode demonstrasi, tapi ia tidak mengamalkan ta’wil yang berasaskan al-
burhan dalam membahas issue-issue falsafahnya. Demikian pula apabila ia memberikan otoritas
kepada filosof untuk menta’wilkan wahyu, melebihi yang lain, ia telah mendahulukan akal daripada
wahyu dan ini boleh mengurangi kemutlakan wahyu. Pandangan Ibn Taymiyyah adalah sebaliknya,
yaitu memberi prioritas kepada wahyu tapi ia tidak mengesampingkan akal sama sekali. Akal dan
pengetahuan akal yang berfikir benar tidak akan bertentangan dengan wahyu. Akal bagi Ibn
Taymiyyah tidak memiliki status independent seperti pandangan Ibn Rushd. Dan berbeda dari al-
Razi akal tidak dapat menjadi asas bagi wahyu, tapi justru wahyu adalah asas bagi akal. Karena ia
tidak mengakui adanya pertentangan antara akal dan wahyu maka ia melihat itu hanya karena
pengetahuan tentang wahyu yang tidak jelas atau pengetahuan akal yang salah. Untuk itu ia
memandang perlunya pengetahuan tentang tradisi dan pendekatan linguistik yang benar, dan
inilah esensi konsep ta’wil Ibn Taymiyyah. Mungkin kesimpulan Abrahamov benar bahwa dalam
Islam reaksi terhadap trend penggunaan akal dapat di gambarkan sebagai berada pada dua kutub:
a) menolak secara mutlak anggapan bahwa akal adalah sumber pengetahuan agama dan b)
menerima akal sebagai satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Tujuan Ibn Taymiyyah dan Ibn
Rushd hakekatnya sama tapi posisi mereka tidak sama, meskipun kedua-duanya tidak berada pada
salah satu kutub secara ekstrim, tapi mereka memiliki kecenderungan masing-masing pada salah
satunya. Akhirnya, dari pandangan kedua-dua pemikir ini kita mengetahui bahwa konsep akal dan
konsep berfikir serta pengetahuan yang benar dan tidak bertentangan dengan wahyu masih
merupakan sesuatu poin yang perlu pembahasan lebih detail.
Kedudukan akal dalam islam

Al Ustadz Qomar Suaidi LcAkal adl ni’mat besar yg Allah titipkan dalam jasmani manusia.
Nikmat yg bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah yg sangat menakjubkan.
{Al-’Aql wa Manzilatuhu fil Islam hal. 5}Oleh karenanya dalam banyak ayat Allah memberi
semangat utk berakal {yakni menggunakan akalnya} di antaranya:‫س َواْلَقَمَر‬ َ ‫شْم‬ ّ ‫ل َوالّنَهاَر َوال‬
َ ‫خَر َلُكُم الّلْي‬
ّ‫س‬ َ َ‫و‬
َ ‫ك لَياتٍ ِلَقْوٍم َيْعِقُلْو‬
‫ن‬ َ ‫ي َذِل‬ْ ‫ن ِف‬ّ ‫ت ِبَأْمِرِه ِإ‬
ٌ ‫خَرا‬
ّ‫س‬ ُ ‫“َوالّن‬Dan Dia menundukkan malam dan siang matahari dan
َ ‫جْوُم ُم‬
bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan dgn perintah-Nya. Sesungguhnya pada yg
demikian itu benar-benar ada tanda-tanda bagi kaum yg memahami.” ‫ت‬ ٌ ‫جاِوَرا‬ َ ‫طٌع ُمَت‬
َ ‫ض ِق‬ِ ‫لْر‬ َ ‫َوِفي ْا‬
‫ت ِلَقْوٍم‬ٍ ‫ك لَيا‬ َ ‫ي َذِل‬
ْ ‫ن ِف‬
ّ ‫ل ِإ‬ِ ‫لُك‬ُ ‫ض ِفي ْا‬ ٍ ‫عَلى َبْع‬ َ ‫ضَها‬ َ ‫ل َبْع‬ ُ‫ض‬ ّ ‫حٍد َوُنَف‬
ِ ‫سَقى ِبَماٍء َوا‬
ْ ‫ن ُي‬
ٍ ‫صْنَوا‬
ِ ‫غْيُر‬
َ ‫ن َو‬
ٌ ‫صْنَوا‬
ِ ‫ل‬
ٌ ‫خْي‬
ِ ‫ع َوَن‬ٌ ‫ب َوَزْر‬ٍ ‫عَنا‬ْ ‫ن َأ‬ْ ‫ت ِم‬ٌ ‫جّنا‬َ ‫َو‬
َ ‫“َيْعِقُلْو‬Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yg berdampingan dan kebun-kebun anggur
‫ن‬
tanaman- tanaman dan pohon korma yg bercabang dan yg tidak bercabang disirami dgn air yg
sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yg lain tentang rasanya.

bersabda:‫حَراٍم‬ َ ‫سِكٍر‬ ْ ‫ل ُم‬ّ ‫“ُك‬Setiap yg memabukkan itu haram.” Asy-Syinqithi rahimahullah


mengatakan: “Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had bagi peminum khamr.”
4. Tegaknya dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan akal. Artinya keimanan tidak
berarti mematikan akal bahkan Islam menyuruh akal utk beramal pada bidangnya sehingga
mendukungρ berfirman:‫جَتِنُبْوُه َلَعّلُكْم‬ ْ ‫ن َفا‬ِ ‫طا‬ َ ‫شْي‬
ّ ‫ل ال‬ِ ‫عَم‬
َ ‫ن‬ ْ ‫س ِم‬ ٌ ‫ج‬ْ ‫لُم ِر‬َ ‫لْز‬َ ‫ب َوْا‬ُ ‫صا‬
َ ‫لْن‬ َ ‫سُر َوْا‬ِ ‫خْمُر َواْلَمْي‬
َ ‫ن آَمُنْوا ِإّنَما اْل‬َ ‫َيا َأّيَها اّلِذْي‬
َ ‫حْو‬
‫ن‬ ُ ‫“ُتْفِل‬Hai orang-orang yg beriman sesungguhnya khamar berjudi berhala mengundi nasib dgn
panah adl perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.” Nabi Ι mengharamkan khamr utk menjaga akal. Allah
Ι bersabda:‫حَتِلُم‬ ْ ‫حّتى َي‬ َ ‫ي‬ ّ ‫صِب‬ّ ‫ن ال‬ ِ‫ع‬َ ‫ظ َو‬
َ ‫سَتْيَق‬
ْ ‫حّتى َي‬ َ ‫ن الّناِئِم‬
ِ‫ع‬ َ ‫حّتى َيْبَرَأ َو‬َ ‫عْقِلِه‬
َ ‫ى‬َ ‫عل‬ َ ‫ب‬ِ ‫ن اْلَمْغُلْو‬
ِ ‫جُنْو‬
ْ ‫ن اْلَم‬ِ‫ع‬َ ‫لَثٍة‬َ ‫ن َث‬ ْ‫ع‬َ ‫“ُرِفَع اْلَقَلُم‬Pena
diangkat dari tiga golongan: orang yg gila yg akalnya tertutup sampai sembuh orang yang tidur
sehingga bangun dan anak kecil sehingga baligh.” {HR. Ibnu Khuzaimah Ibnu Hibban dan Ad-
Daruquthni dari shahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Umar Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Shahih”
dalam Shahih Jami’ no. 3512}2. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yg
harus dilindungi yaitu: agama akal harta jiwa dan kehormatan. 3. Allah ρ menjadikan akal
sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga orang yg tidak berakal tidak dibebani hukum.
Nabi Ι telah memuji amal akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat serta
mencela keadaan yg sebaliknya di beberapa tempat…” Kitapun dapat melihat agama Islam
dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan terhadap akal seperti:1. Allah Ι
pujian dan sanjungan bagi yg tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah ρ
serta dalam Sunnah Rasulullah Ι Sesungguhnya pada yg demikian itu terdapat tanda-tanda bagi
kaum yg berfikir.” Sebaliknya Allah mencela orang yg tidak berakal seperti dalam ayat-Nya:
‫سِعْيِر‬ّ ‫حابِ ال‬َ‫ص‬
ْ ‫ل َما ُكّنا ِفيْ َأ‬ ْ ‫“َوَقاُلْوا َلْو ُكّنا َن‬Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan
ُ ‫سَمُع َأْو َنْعِق‬
atau memikirkan niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yg menyala-
nyala’.” Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “ tidak berakal dan tidak punya tamyiz …
Bagaimanapun tidak terpuji dari sisi itu sehingga tidaklah terdapat dalam kitab Allah
kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun yg memuliakan akal sebagaimana Islam
memuliakannya tidak menyepelekan dan tidak pula berlebihan.

bersabda:‫ل‬ّ َ‫عّز َوج‬


َ ‫ل‬
ِ ‫يا‬
ْ ‫ل َتَفّكُرْوا ِف‬
َ ‫ل َو‬
ِ ‫لِء ا‬ ْ ‫“َتَفّكُرْوا ِف‬Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan
َ ‫ي َأ‬
jangan berpikir pada Dzat Allah.” {HR. Ath- Thabrani Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar
lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya} ‫ح‬ ُ ‫ل الّرْو‬
ِ ‫ح ُق‬
ِ ‫ن الّرْو‬
ِ‫ع‬
َ ‫ك‬
َ ‫سَأُلْوَن‬
ْ ‫َوَي‬
ً ‫ل َقِلْي‬
‫ل‬ ّ ‫ن اْلِعْلِم ِإ‬ ْ ‫“ِم‬Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh
َ ‫ن َأْمِر َرّبي َوَما ُأْوِتْيُتْم ِم‬
itu termasuk urusan Tuhan-ku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” Oleh
karenanya akal diperintahkan utk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak
mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena tidak semua hikmah dan sebab di balik hukum
syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi justru terlalu banyak hal yg tidak manusia ketahui
sehingga akal wajib tunduk kepada syariat.Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan
antara akal dgn syariat bagaikan kedudukan seorang awam dgn seorang mujtahid. Ketika ada
seseorang yg ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yg berfatwa maka orang awam itu
pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa terjadi perbedaan pendapat
antara mujtahid yg berfatwa dgn orang awam yg tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi
yg meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yg berfatwa dan tidak mengambil
pendapat orang awam tersebut krn orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid
dan bahwa dia lbh tahu . {Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201}Al-Imam Az-Zuhri t
mengatakan: “Risalah datang dari Allah kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita
menerima.” Orang yg menggunakan akal tidak pada tempatnya berarti ia telah
menyalahgunakan dan melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab
filasafat dan ahli kalam yg ingin memuliakan akal dan mengangkatnya –demikian perkataan
mereka– belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa yg
telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan mereka telah
berbuat jahat dgn sejahat- jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan akal masuk ke
tempat yg tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. Akal yg terpuji dan akal yg
tercelaMenengok penjelasan yg telah lalu dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang
terpuji yaitu ketika pada tempatnya. Dan terkadang tercela yaitu ketika bukan pada
tempatnya.ρ dan sifat-sifat-Nya arwah surga dan neraka yg semua itu hanya dapat diketahui
melalui wahyu.Nabi Ι telah tetapkan maka ia akan membabi buta…” Untuk itu kita perlu
mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal tidak mampu
menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yg kita saksikan ini seperti pengetahuan
tentang Allah Ι menjadikan padanya batas yg ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya
bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya pada lingkup
dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya ia akan tepat dgn ijin Allah. Tetapi jika ia
menggunakan akalnya di luar lingkup dan batasnya yg Allah Ι menciptakan akal dan
memberinya kekuatan adl untuk berpikir dan Allah Ι Sedangkan yg dilakukan para pengkultus
akal yg mereka beritikad memuliakan akal pada hakikatnya mereka justru menghinakan akal
serta menyiksanya krn mambebani akal dgn sesuatu yg tidak mampu.Walaupun akal dimuliakan
tapi kita menyadari bahwa akal adl sesuatu yg berada dalam jasmani makhluk. Maka ia
sebagaimana makhluk yg lain memiliki sifat lemah dan keterbatasan.As-Safarini rahimahullah
berkata: “Allah

Adapun pendapat akal yg terpuji seca sifat-sifat dan perbuatan- Nya dgn teori atau qiyas yg
batil yg dibuat oleh para pengikut filsafat.4. Pendapat yg mengakibatkan tumbuhnya bid’ah
dan matinya As Sunnah.5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dgn anggapan baik
dan prasangka. Jadi manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dgn akal kita kemudian
ternyata hasilnya adalah salah satu dari lima yg tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu
pendapat yg tercela dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada
syariat.Akal yg sehat tidak akan menyelisihi syariatDisebutkan dalam kaidah ahlul kalam –
ringkasnya– bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu maka mesti dikedepankan
akal. Dengan prinsip ini mereka menolak sekian banyak nash yg shahih dulu maupun
sekarang.Ι ra ringkas adl yg sesuai dgn syariat dgn tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang
akal yg tercela adl sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yg menyebutkan bahwa pendapat
akal yg tercela itu ada beberapa macam:1. Pendapat akal yg menyelisihi nash Al Qur’an atau
As Sunnah.2. Berbicara masalah agama dgn prasangka dan perkiraan yg dibarengi dgn sikap
menyepelekan mempelajari nash-nash memahaminya serta mengambil hukum darinya.3.
Pendapat akal yg berakibat menolak asma Allah

kemudian ia membangkang dan menentang dgn akalnya.‫خْيٌر ِمْنُه‬ َ ‫ل َأَنا‬


َ ‫ك َقا‬
َ ‫جَد ِإْذ َأَمْرُت‬
ُ‫س‬ْ ‫ل َت‬
ّ ‫ك َأ‬
َ ‫ل َما َمَنَع‬
َ ‫َقا‬
ٍْ ‫طي‬
‫ن‬ ِ ‫ن‬
ْ ‫خَلْقَتُه ِم‬
َ ‫ن َناٍر َو‬ َ “Allah berfirman: ‘Apakah yg menghalangimu utk bersujud di waktu Aku
ْ ‫خَلْقَتِني ِم‬
menyuruhmu?’ Iblisυ begitu besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya.Oleh karenanya Ibnul
Qayyim mengatakan: “Jika dalil naqli bertentangan dgn akal maka yang diambil adl dalil naqli
yg shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki tempatkan di mana Allah
meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.” {Mukhtashar As- Shawa’iq hal. 82-83
dinukil dari Mauqif Al-Madrasah Al-‘Aqliyyah 1/61-63}Abul Muzhaffar As-Sam’ani t ketika
menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah berkata: “Adapun para pengikut kebenaran mereka
menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa
yg terbetik dalam akal dan benak mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka
dapati sesuai dgn keduanya mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah
perlihatkan hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dgn keduanya maka
mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab dan As Sunnah kemudian menuduh salah
terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya {Al Kitab dan As Sunnah} tidak akan
menunjukkan kecuali kepada yg hak sedang pendapat manusia kadang benar kadang salah.”
Bila akal didahulukanJika akal didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak
bahaya:1. Menyerupai Iblis –semoga Allah melaknatinya– ketika diperintahkan utk sujud kepada
Nabi Adam ρ dgn pendapatnya walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat
ternyata maslahat dari keputusan Nabi ρ dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti
dikatakan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab: “Wahai manusia curigailah akal kalian terhadap agama
ini.” {Riwayat Ath-Thabrani lihat Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah hal. 177 301}Beliau
mengatakan demikian krn pernah membantah keputusan Nabi ρ Tentu kita tahu bahwa
pendapat mereka adl salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat
mereka dgn singkat dan mudah cukup dgn kita merujuk kepada lima hal yg disebutkan Ibnul
Qayyim t di atas.Lebih rinci para ulama seperti Ibnu Taimiyyah t menjelaskan: Sesuatu yg
diketahui dgn jelas oleh akal sulit dibayangkan akan bartentangan dgn syariat sama sekali.
Bahkan dalil naqli yg shahih tidak akan bertentangan dgn akal yg lurus sama sekali. Saya telah
memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yg diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati
sesuatu yg menyelisihi nash yg shahih dan jelas adl syubhat yg rusak dan diketahui
kebatilannya dgn akal. Bahkan diketahui dgn akal kebenaran kebalikan dari hal tersebut yang
sesuai dgn syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dgn sesuatu yang
mustahil menurut akal tapi mengabarkan sesuatu yg membuat akal terkesima. Para Rasul itu
tidak mengabarkan sesuatu yg diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun akal
tidak mampu utk menjangkaunya.Karena itu wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yg menjadikan
akal mereka sebagai hakim terhadap nash-nash wahyu demikian pula bagi mereka yg berjalan
di atas jalan mereka serta meniti jejak mereka agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu
haditspun di muka bumi yg bertentangan dgn akal kecuali hadits itu lemah atau palsu. Wajib
bagi mereka utk menyelisishi kaidah kelompok Mu’tazilah kapan terjadi pertentangan antara
akal dan syariat menurut mereka maka wajib utk mengedepankan syariat. Karena akal telah
membenarkan syariat dalam segala apa yg ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan
segala apa yg dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dgn
semua yg dikabarkan oleh akal.” Ketika dalil bertentangan dgn akalSesungguhnya pertentangan
akal dgn syariat takkan terjadi manakala dalilnya shahih dan akalnya sehat. Namun terkadang
muncul ketidakcocokan akal dgn dalil walaupun dalilnya shahih. Kalau terjadi hal demikian
maka jangan salahkan dalil namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami
maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yg sedang dibahas
dgn benar. Sedangkan dalil maka pasti benarnya.Hal ini berangkat dari ajaran Al Qur’an dan As
Sunnah yg mengharuskan kita utk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para
shahabat yg berpengalaman dgn Nabi menjawab. Mereka katakan:‫ل‬ ٍ‫ج‬ُ ‫عَلى َر‬ َ ‫ن‬ ُ ‫ل َهَذا اْلُقْرآ‬ َ ‫ل ُنّز‬َ ‫وََقاُلْوا َلْو‬
‫ظْيٍم‬
ِ‫ع‬ َ ‫ن‬ َ ‫“ِم‬Dan mereka berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang
ِ ‫ن اْلَقْرَيَتْي‬
besar dari salah satu dua negeri ini?’.” 3. Tidak mengambil faidah dari Rasul sedikitpun krn
mereka tidak merujuk kepadanya pada perkara-perkara ketuhanan. Sehingga adanya Rasul
menurut mereka seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lbh jelek krn mereka tidak
mengambil manfaat sedikitpun justru butuh utk menolaknya.4. Mengikuti hawa nafsu dan
keinginan jiwa. Allah berfirman:‫ل‬ ِّ ‫ن ا‬
َ ‫ن اّتَبَع َهَواُه ِبَغْيِر ُهًدى ِم‬
َ ‫ل ِمّم‬
ّ‫ض‬
َ ‫ن َأ‬
ْ ‫ن َأْهَواَءُهْم َوَم‬
َ ‫عَلْم َأّنَما َيّتِبُعْو‬
ْ ‫ك َفا‬
َ ‫جْيُبْوا َل‬
ِ ‫سَت‬
ْ ‫ن َلْم َي‬
ْ ‫َفِإ‬
َ ‫ظاِلِمْي‬
‫ن‬ ّ ‫ل َيْهِدي اْلَقْوَم ال‬َ ‫ل‬ ّ ‫“ِإ‬Maka jika mereka tidak menjawab ketahuilah bahwa sesungguhnya
َّ ‫ن ا‬
mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka . Dan siapakah yg lbh sesat daripada orang
yang mengikuti hawa nafsunya dgn tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.ρ ‘Saya lbh
baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” 2.
Menyerupai orang kafir yg menolak keputusan Allah dgn akal mereka seperti penentangan
mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yg zalim.” 5. Menyebabkan


kerusakan di muka bumi sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim.6. Berkata dgn
mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.‫ن‬ َ ‫ل ِمّم‬ّ‫ض‬َ ‫ن َأ‬ْ ‫ن َأْهَواَءُهْم َوَم‬
َ ‫عَلْم َأّنَما َيّتِبُعْو‬
ْ ‫ك َفا‬َ ‫جْيُبْوا َل‬
ِ ‫سَت‬
ْ ‫ن َلْم َي‬
ْ ‫َفِإ‬
َ ‫ظاِلِمْي‬
‫ن‬ ّ ‫ل َيْهِدي اْلَقْوَم ال‬
َ ‫ل‬َّ ‫ن ا‬ ّ ‫ل ِإ‬
ِّ ‫ن ا‬َ ‫“اّتَبَع َهَواُه ِبَغْيِر ُهًدى ِم‬Dan di antara manusia ada orang-orang yg
membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan tanpa petunjuk dan tanpa kitab yg
bercahaya.” Ini termasuk larangan terbesar.‫ي ِبَغْيِر‬ َ ‫لْثَم َواْلَبْغ‬
ِ ‫ن َوْا‬
َ‫ط‬َ ‫ظَهَر ِمْنَها َوَما َب‬
َ ‫ش َما‬ َ ‫ح‬ ِ ‫ي اْلَفَوا‬َ ‫حّرَم َرّب‬ َ ‫ل ِإّنَما‬ ْ ‫ُق‬
َ ‫ل َتْعَلُمو‬
‫ن‬ َ ‫ل َما‬ ِّ ‫عَلى ا‬
َ ‫ن َتُقْوُلْوا‬
ْ ‫طاًنا َوَأ‬
َ ‫سْل‬
ُ ‫ل ِبِه‬
ْ ‫ل َما َلْم ُيَنّز‬
ِّ ‫شِرُكْوا ِبا‬
ْ ‫ن ُت‬
ْ ‫ق َوَأ‬ّ‫ح‬ َ ‫“اْل‬Katakanlah: ‘Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yg keji baik yg nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan
dosa melanggar hak manusia tanpa alasan yg benar mempersekutukan Allah dgn sesuatu yg
Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan mengada-adakan terhadap Allah apa yg tidak
kamu ketahui’.” 7. Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.8. Terjatuh dalam
keraguan dan bimbang. (Al-Mauqih 1/81-92)Pantaslah kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan
tentang orang-orang yg tetap mengedepankan akalnya: “Jika kamu melihat ahlul kalam ahli
bid’ah mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari Al Qur’an dan hadits ahad dan tampilkan akal’ maka
ketahuilah bahwa ia adl Abu Jahal.”
sumber : file chm Darus Salaf 2
AKAL DAN WAHYU DALAM PANDANGAN IBN RUSHD DAN IBN TAYMIYYAH

Kontribusi dari Hamid Fahmy Zarkasyi

Pendahuluan

Dalam sejarah pemikiran Islam persoalan hubungan antara akal dan


wahyu merupakan issue yang selalu hangat diperd

ebatkan oleh mutakallimun dan filosof. Issue ini menjadi penting karena
ia memiliki kaitan dengan argumentasi -

argumentasi mereka dalam pembahasan tentang konsep Tuhan, konsep


Ilmu Ilmu, konsep etika dan lain sebagainya. (

Untuk diskusi tentang etika George F Hourani, Reason and Tradition in


Islamic Ethic, Cambridge: Cambridge University

Press, 1985) Mereka berorientasi pada usaha untuk membuktikan


kesesuaian atau hubungan antara akal dan wahyu.

(Lihat A.J.Arberry, Revelation and Reason in Islam). Dalam konteks ini


konsep akal, wahyu dan ta’wil menjadi

topik yang penting. Filosof Muslim terpenting yang berusaha


membuktikan hubungan antara akal dan wahyu adalah Ibn

Rushd (520 H/ 1126 A-595/ 1198) penulis buku Fasl al-Maqal dan Ibn
Taymiyyah 662/ 1263 – 728/1328 A.H.

penulis buku Dar’ Ta’arud al-‘aql wa al-naql


(sebelumnya diberi judul muwafaqat sarih alma’qul ‘ala
sahih al-manqul). Yang pertama mencoba menjelaskan
“hubungan” sedang yang

kedua berusaha menghindarkan pertentangan atau menjelaskan


“kesesuaian”. Akan tetapi Arberry

menganggap karya Ibn Rushd itu sebagai percobaan terakhir untuk


membuktikan hubungan antara akal dan wahyu,

sedangkan Ibn Taymiyyah digambarkan sebagai orang yang


menghentikan percobaan ini. Sejatinya keduanya

berasumsi sama bahwa akal dan wahyu tidak bertentangan, tapi karena
situasi sosial dan latar belakang pemikiran
mereka tidak sama kesimpulan yang mereka hasilkan berbeda . Ibn
Rushd tidak saja dipengaruhi oleh pemikiran

masyarakat yang beranggapan bahwa sains dan falsafah bertentangan


dengan agama tapi juga oleh konflik-konflik yang

terjadi antara ahli-ahli filsafat dan ilmu agama. Berbeda dari Ibn Rushd,
perhatian Ibn Taymiyyah difokuskan pada

pemahaman masyarakat tentang Islam yang dalam pandangannya telah


dirusak oleh doktrin-doktrin sufism, teologi dan

filsafat seperti yang nampak dalam amalan-amalan bid’ah di


masyarakat. (Lihat Bello, Iysa A., Medieval Islamic

Controversy Between Philosophy and Orthodoxy, Leiden, E.J.Brill,1989. Ibn


Taymiyyah, “Haqiqat Madhhab alIttihadiyyah” dalam
Majmu‘at al-Fatawa, Cairo, Matba ‘ah al-Hukumah, 1966).

Prinsip hubungan Ibn Rushd

Dalam membahas masalah akal dan wahyu Ibn Rushd menggunakan


prinsip hubungan (ittisal) yang dalam argumentasi -

argumentasinya mencoba mencari hubungan antara agama dan falsafah.


Argumentasi-argumentasinya adalah dengan:

Pertama, menentukan kedudukan hukum daripada belajar falsafah.


Menurutnya belajar falsafah adalah belajar ilmu

tentang Tuhan, yaitu kegiatan filsosofis yang mengkaji dan memikirkan


segala sesuatu yang wujud (al-mawjudat) yang

merupakan pertanda adanya Pencipta (Sani‘), karena al-mawjudat


adalah produk dari ciptaan. Lebih sempurna

ilmu kita tentang hasil ciptaan Tuhan (al-mawjudat ) lebih sempurna pula
ilmu kita tentang Tuhan. Karena wahyu

(shar‘) menggalakkan aktiviti bertafakkur tentang al-mawjudat ini,


maka belajar falsafah diwajibkan dan

diperintahkan oleh wahyu. Kedua membuat justifikasi bahwa kebenaran


yang diperolehi daripada demonstrasi (alburhan) sesuai dengan
kebenaran yang diperolehi daripada wahyu. Disini ia berargumentasi
bahwa di dalam alQur’an terdapat banyak ayat-ayat yang
memerintahkan kita untuk menggunakan akal (nazar) untuk memahami
segala yang wujud. Karena nazar ini tidak lain daripada proses berfikir
yang menggunakan metode logika analogi

(qiyas al-‘aqli), maka metode yang terbaik adalah metode


demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama seperti qiyas

dalam ilmu Fiqh (qiyas al-fiqhi), yang digunakan untuk menyimpulkan


ketentuan hukum, metode demonstrasi (qiyas alburhan) digunakan untuk
mamahami segala yang wujud (al-mawjudat), Hasil dari proses berfikir
demonstrtif ini adalah

kebenaran dan tidak dapat bertentangan dengan kebenaran wahyu,


karena kebenaran tidak mungkin bertentangan

dengan kebenaran. Kedua-dua thesis diatas merupakan asas bagi


kesimpulan Ibn Rushd selanjutnya yang menyatakan

bahwa para filosof memiliki otoritas untuk menta’wilkan al-


Qur’an.

Bagaimanapun thesis diatas masih menyimpan satu pertanyaan: adakah


kebenaran yang diperoleh akal tidak akan

bercanggah dengan kebenaran wahyu? Jawapan pertanyaan ini tidak


dinyatakan secara jelas, akan tetapi dapat

difahami dari teori Ibn Rushd kemampuan akal dalam memahami wahyu,
dan tentang wahyu yang diklassifikasikan

kedalam makna.

Berasaskan pada kemampuan akal manusia, Ibn Rushd membahagi


masyarakat kedalam tiga kelompok: Pertama

kelompok yang tidak dapat menafsirkan al-Qur’an, Kedua,


kelompok yang memiliki kemampuan menafsirkan

secara dialektik dan ketiga kelompok yang mampu menafsirkan secara


demonstratif yang disebut ahl al-burhan. (Lihat

G.Hourani, Averoes On the Harmony of Religion and Philosophy, London,


Luzac & Co, 1976, 65) Akal dalam klassifikasi

ini difahami sebagai kemampuan untuk berfikir dan memahami.


Sedangkan wahyu dibahagi kedalam tiga bentuk makna

yang terkandung didalamnya yaitu : 1) Teks yang maknanya dapat


difahami dengan tiga metode yang berbeda (metode
retorik, dialektik dan demonstratif); 2) Teks yang maknanya hanya dapat
diketahui dengan metode demonstrasi. Makna

yang terkandung dalam teks ini terdiri dari: a) makna zahir, yaitu teks
yang mengandungi simbol-simbol (amthal ) yang

dibuat untuk menerangkan idea-idea yang dimaksud. b) makna batin


yaitu teks yang mengandungi idea-idea itu sendiri

dan hanya dapat difahami oleh yang disebut ahl al-burhan.; 3) teks yang
bersifat ambiguos antara zahir dan batin.

Klassifikasi teks wahyu ini juga merujuk kepada kemungkinan untuk dapat
difahami dengan akal. Nampaknya, yang

http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The Study of Islamic


Thought and Civilization Powered by Mambo Generated: 12 November,
2007, 06:35dimaksud Ibn Rushd sebagai hubungan (ittisal) adalah
hubungan antara ayat-ayat yang mengandungi makna batin dan

kemampuan akal untuk memahami dengan metode demonstratif. Maka


itu menurutnya perkataan al-rasikhun fi al-ilm.

(Qur’an (3:7) adalah mereka yang memiliki pengetahuan


berdasarkan metode demonstrasi, yaitu para filosof.

Dari klassifikasi diatas agaknya jawapan yang diberikan Ibn Rushd jelas
bahwa pertentangan antara akal dan wahyu

tidak terjadi apabila akal difahami sebagai al-burhan. Namun demikian,


Ibn Rushd tetap mengakui adanya kemungkinan

pertentangan antara ahl al-burhan dan teks wahyu. Dan untuk itu solusi
yang terbaik menurutnya adalah seperti cara

pengambilan hukum Fiqh. Dalam kes tertentu pengetahuan tentang al-


mawjud “tidak disebutkan” dalam

wahyu dan dalam kes yang lain “disebutkan”. Jika tidak


disebutkan maka ia harus disimpulkan

daripadanya, seperti qiyas dalam Fiqh. Jika pengetahuan itu disebutkan


dan makna zahirnya betentangan dengan hasil

pemikiran demonstratif maka diselesaikan dengan dua cara: Pertama


dengan interpretasi secara majazi (alegorik) atau

kiasan makna zahir itu sesuai dengan aturan-aturan bahasa Arab yang
berlaku, yaitu “menterjemahkan arti
sesuatu ekspresi dari yang bersifat metaforikal kepada pengertian yang
sesungguhnya.” Kedua dengan mencari

semua makna zahir dalam al-Qur’an yang bersesuaian dengan


interpretasi alegorik atau yang mendekati makna

alegorik itu. Akan tetapi untuk menta’wilkan secara majazi makna


ayat zahir pada alternatif pertama Ibn Rushd

tidak hanya bersandar pada aturan-aturan Bahasa Arab sahaja, ia juga


menetapkan aturan berasaskan pada kejelasan

simbol dan benda yang disimbolkan untuk menentukan apakah sesuatu


ayat zahir boleh dita’wilkan atau tidak.

Jika makna zahir sesuatu ayat adalah seperti arti yang dimaksudkan (al-
ma’na al-mawjud fi nafsihi), ayat itu tidak

perlu dita’wilkan. Jika zahir ayat-ayat itu adalah simbol-simbol


belaka dan bukan arti yang sesungguhnya

daripada zahirnya ayat-ayat itu harus dita’wilkan sesuai dengan


kesesuaian antara simbol (al-mithal ) dengan

benda yang disimbolkan (al-mumaththal ). Jika simbol dan benda yang


disimbulkan dapat mudah diketahui maka setiap

orang boleh menta’wilkannya. Tapi jika simbol dan benda yang


disimbolkan sukar diketahui atau jika simbolsimbol itu mudah diketahui
tapi benda yang disimbolkan sukar untuk diketahui atau jika benda yang
disimbulkan dapat

difahami dengan mudah tapi simbol-simbol ayat itu tidak dapat begitu
saja diketahui, maka ayat-ayat ini hanya boleh

dita’wilkan oleh yang berilmu dan tidak boleh diungkapkan


kepada orang awam kecuali dengan penjelasan yang

berbeda . Disini Ibn Rushd tidak menjelaskan lebih jauh tentang standard
pengetahuan al-mithal dan al-mumaththal

atau kreteria untuk membenarkan kesahihan pengetahuan mereka


tentang kedua-dua hal itu. Nampaknya asas yang

digunakan Ibn Rushd dalam ta’wil adalah Bahasa Arab yang


merujuk kepada kebiasaan (adat lisan al-

‘Arab) dan kejelasan simbol serta benda yang disimbolkan,


terutama adalah kemampuan akal memahami
maknanya dengan menggunakan metode demonstratif. Akan tetapi
standard bahasa Arab dengan simbol-simbol itu

tidak dikaitkan dengan bahasa sebagai simbol suatu konsep yang


dijelaskan Nabi dan difahami oleh para sahabat dan

tabi’in. Demikian pula proses ta’wil yang dijelaskan seakan-


akan menggambarkan bahwa pengetahuan

ahl al-burhan adalah taken for granted, benar. Ini bermakna bahwa
kebenaran wahyu perlu dikaji ulang dan tidak

memberikan ruang untuk menjelaskan proses bagaimana seharusnya


pengetahuan demonstrasi dikaji ulang .

Pandangan ini boleh difahami sebagai mendahulukan akal daripada


wahyu, yaitu pandangan yang bertentangan

dengan pemikiran salaf, seperti al-Ghazzali, Ibn Hazm, Ibn Taymiyyah


atau lainnya. Dengan membatasi makna

perkataan al-rasikhun fi al-ilm berarti ia memberikan otoritas


menta’wilkan makna batin al-Qur’an kepada

filosof, tanpa mempertimbangkan otoritas Nabi dan para sahabat. Hal ini
membahayakan kemutlakan kebenaran wahyu,

walhal pengetahuan para filosof tentang realitas (wujud), yang diperolehi


dari metode demonstrasi belum dapat

dikatakan final. Dalam masalah doktrin ketuhanan atau konsep tentang


Tuhan, misalnya, falsafah Yunani masih

mengandung pertentangan dan berbeda dari konsep dalam al-


Qur’an. Jika Ibn Rushd membahas lebih detail

konsep akal tanpa membatasi pada metode demonstrasi falsafah Yunani


kesesuaian akal dan wahyu dapat difahami

lebih jelas. Prinsip kesesuaian Ibn Taymiyyah Prinsip


“kesesuaian” Ibn Taymiyyah yang berarti tanpa

pertentangan tercemin dari judul kitabnya yang menggunakan perkataan


muwafaqat dan dar’ ta’arud.

Meskipun implikasi makna perkataan ini hampir sama dengan perkataan


ittisal dalam pandangan Ibn Rushd, tapi prinsipprinsip yang digunakan
berbeda, terutama dalam memahami makna akal (’aql ) dan dalam
menjabarkan wahyu
(al-naql, al-sam’). Prinsip-prinsip Ibn Taymiyyah ini dapat difahami
dari komentar dan jawabannya terhadap

masalah yang dibahas oleh filosof dan mutakallimun khususnya Fakhr al-
Din al-Razi, yaitu : bagaimanakah

penyelesaiannya jika terjadi “pertentangan antara akal dan


wahyu”. Dari kesemua pembahasan Ibn

Taymiyyah sekurang-kurangnya terdapat tiga prinsip utama yang


dimaksud untuk menjawab masalah itu dan

membangun prinsip kesesuaian antara akal dan wahyu. Ketiga-tiga


prinsip itu ialah sebagai berikut: Pertama, bahwa

rasional atau tradisional bukanlah sifat yang boleh menentukan sesuatu


itu benar atau salah, diterima atau ditolak. Ia

hanyalah metode atau jalan untuk mengetahui sesuatu. Jika sesuatu itu
berasal dari tradisi (al-sam’) semestinya

ia bersifat rasional, sifat tradisional tidak bertentangan dengan sifat


rasional. Shariah terkadang bersifat tradisional dan

terkadang rasional; bersifat tradisional (sam’iyyan) jika ia


menetapkan dan menunjukkan sesuatu, dan bersifat

rasional jika ia memperingatkan dan menunjukkan sesuatu hal. Kedua,


jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu,

maka prioritas diberikan kepada wahyu dan menolak akal. Akal tidak
mungkin diberi prioritas karena melalui akal

kebenaran wahyu dibuktikan. Jika akal diberi prioritas sedangkan akal itu
sendiri boleh berbuat salah, maka ia tidak

boleh menjadi alat untuk menentukan kebenaran, lagipun disini wahyu


akan dianggap mengandung kesalahan. (Ibn

Taymiyyah, Dar’ Ta’arud, vol.I). Prinsip ini masih bersifat


umum dan tidak termasuk pertentangan antara

pengetahuan tradisional (wahyu) dan rasional (akal). Ketiga, jika


pertentangan terjadi antara proposisi akal dan wahyu

maka harus dikaji apakah proposisi itu qat’i atau zanni. Jika kedua-
dua proposisi itu qat’i, maka tidak
mungkin terjadi pertentangan dan jika kedua-dua proposisi itu zanni maka
dipilih proposisi yang lebih pasti (rajih). Jika

proposisi yang dihasilkan akal lebih pasti (qat’i), maka prioritas


diberikan kepada proposisi akal daripada

proposisi dari pengetahuan wahyu (al-sam’i) dan sebaliknya. Tapi


proposisi akal diutamakan bukan karena ia

berasal dari akal tapi karena sifat qat’i-nya itu. (Ibn Taymiyyah,
Dar’ Ta’arud, vol.I) Secara umum

http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The Study of Islamic


Thought and Civilization Powered by Mambo Generated: 12 November,
2007, 06:35pandangan Ibn Taymiyyah menolak prinsip akal sebagai asas
wahyu dan asas bagi menentukan kesahihan wahyu yang

berarti mendahulukan akal daripada wahyu. Alasannya, karena


keberadaan wahyu berasal dari nabi (al-sam’)

dan bukan dari akal. Meskipun kebenaran wahyu dapat diketahui dengan
pengetahuan akal, tapi pengetahuan akal tidak

dapat menetapkan adanya (thubut) wahyu. Kesahihan wahyu tidak


mungkin bergantung pada pengetahuan yang

diperoleh akal, sebab sifat dapat difahami atau diketahui oleh akal
bukanlah sifat lazim (sifah lazimah) sesuatu benda.

Seandainya kebenaran wahyu itu tidak diketahui atau dibuktikan oleh akal
sekalipun ia tetap memiliki sifat kebenaran,

karena itu kita tidak dapat menjadikan semua pengetahuan akal sebagai
asas bagi wahyu atau dalil bagi kebenarannya.

Baginya, asas kesahihan wahyu adalah kebenaran Nabi (sidq al-rasul ).


Mendahulukan akal berarti pada mengutamakan

pendapat filosof, mutakallim atau sufi daripada risalah Nabi, dan dapat
mengakibatkan bid’ah dan kekufuran.

(Ibn Taymiyyah, Dar’ Ta’arud, vol.V, 320-322. Naqd al-


Mantiq, 55) Meskipun demikitan, Ibn Taymiyyah

sama sekali tidak merendahkan makna akal jika akal difahami sebagai a)
watak (gharizah) atau b) pengetahuan yang

diperoleh dari akal (al-ma’rifa al-hasila bi-l-‘aql). Sebagai


gharizah akal menjadi syarat bagi segala macam
ilmu, apakah rasional ataupun irrasional, dan dalam kedudukannya
sebagai syarat, akal tidak dapat bertentangan

dengan wahyu. Demikian pula sebagai pengetahuan yang diperoleh dari


gharizah tadi akal difahami sebagai

pengetahuan akal yang jelas dan pasti kebenarannya (‘aqli


qat’i). Pada poin ini Ibn Taymiyyah tidak

memberikan penjelasan lebih detail atau contoh tentang apa hakekat


pengetahuan akal yang pasti (‘aqli

qat’i) itu. Mungkin maksudnya adalah pengetahuan yang diperoleh


melalui fitrah, seperti yang ia jelaskan dalam

kitabnya Naqd al-Mantiq. Tapi mungkin juga bermaksud 9DE 'D61H1J


(necessary knowledge), yaitu pengetahuan

yang diperoleh melalui proses tawatur dan yang menjamin pengetahuan


yang pasti (’ilm al-yaqini ) secara lafzi

atau maknawi. Pengetahuan ini dimiliki oleh Sahabah, tabi‘un dan


tabi‘ al-tabi’un, sebab baginya

mereka itu adalah sumber ilmu pengetahuan tradisi yang harus


dipercayai. Tapi yang jelas pengertian ‘aqli

qat’i ini merujuk kepada pengetahuan yang bukan berasal dari


pemikiran spekulatif atau al-burhan seperti

pandangan Ibn Rushd. Selanjutnya dalam mendahulukan wahyu Ibn


Taymiyyah berprinsip bahwa wahyu itu benar dan

disampaikan melalui argumentasi-argumentasi tradisional dan rasional,


karena itu tidak dapat bertentangan dengan

pengetahuan akal yang benar. Pertentangan itu mungkin terjadi karena


pengetahuan tentang wahyu yang tidak jelas

atau pengetahuan akal yang salah. Pengetahuan wahyu yang benar


diperoleh dari proses berfikir yang benar dan

pengetahuan terminologi yang sesuai dengan tradisi, dan bukan diluar


itu. Maka itu ia membedakan terminologi (alfaz)

yang digunakan dalam sunnah dan disepakati oleh ahl al-ijma’ dari
terminologi yang tidak terdapat dalam tradisi
(shari’ah, nusus wahyu dan sunnah). Untuk membedakan
keduanya yang diperlukan adalah pemahaman

terhadap tradisi (al-sam’, al-sunnah) yang merujuk pada perkataan


Nabi, Sahabah, tabi‘un and tabi‘

al-tabi’un. Dari mereka inilah otoritas memahami wahyu bermula,


sebab Nabi Muhammad SAW adalah makhluk

yang paling tahu kebenaran dan karena itu ia adalah orang paling
mampu untuk menerangkan kebenaran. Maka itu ia

memahami istilah ta’wil sebagai menjelaskan seperti yang


dimaksud Allah atau merujuk kepada apa yang

dikehendaki Allah dan kreteria ta’wil yang dapat diterima


(ta’wil al-maqbul), adalah ta’wil yang

sesuaia dengan arti yang dimaksud oleh “pembicara” atau


Tuhan melalui Nabi. Maka dari itu Ibn

Taymiyyah tidak membatasi obyek ta’wil kepada perkataan majazi


dalam al-Qur’an seperti dibahas Ibn

Rushd. Meskipun ia mengartikan ta’wil sebagai penafsiran dan


penjelasan ucapan, ia tetap menekankan pada

kesesuaiannya dengan makna zahir dari lafaz ucapan itu. Dalam


pandangannya perkataan zahir yang dapat difahami

dari lafaz bermacam-macam bentuknya, ada yang menurut konteksnya


dan ada pula yang difahami sesuai dengan

ikatan-ikatan (quyud) yang ada didalamnya. Ianya tidak memiliki denotasi


yang uniform sehingga harus

dita’wilkan apa adanya seperti yang dilakukan Ahl al-Ithbat, dan


tidak memiliki denotasi batin yang harus selalu

difahami secara batin seperti yang dilakukan Nufat al-Sifat. Jadi perkataan
zahir diketahui dari denotasi lafaz secara

mutlak, atau dari denotasi konteksnya atau dari kesamaannya dengan


konteks yang lain. Untuk itu ia menetapkan tiga

sharat agar ta’wil itu dapat diterima: 1) menjaga agar lafaz itu
sesuai dengan makna yang terdapat dalam Bahasa
Arab dan maksud al-shari’ serta tidak memahami dengan makna
lain. 2) menjaga agar maknanya sesuai dengan

yang dimaksudkan oleh pembicara dalam konteks lafaznya. 3)


memperhatikan ikatan-ikatan (quyud ) yang terdapat

dalam lafaz dan yang mengikat maknanya, sebab perbedaan satu lafaz
dengan lafaz lain ditentukan oleh ikatan yang

menyertainya. Oleh itu kita tidak boleh menta’wilkan lafaz-lafaz al-


Qur’an dengan sesuka hati tanpa

mengkaji maksud yang sesungguhnya sesuai dengan konteks masing-


masing lafaz. Selanjutnya ia membagi

ta’wil menjadi dua: Pertama, ta’wil yang berkaitan dengan


perintah kepada manusia untuk berbuat,

disebut dengan al-ta’wil al-talabi, yaitu ta’wil tengang


perintah dan larangan (al-amr wa al-nahy). Disini

Ibn Taymiyyah menerima adanya kontradiksi antara satu teks dengan


yang lain, berkaitan dengan teks-teks nasikh dan

mansukh. Kedua, ta’wil yang berkaitan dengan apa-apa yang


disampaikan Tuhan (akhbar) tentang diriNya,

tentang Hari Akhir dan lain-lain yang benar belaka sifatnya. Ta’wil
dalam masalah yang kedua ini hanya Allah

saja yang mengetahuinya, sedangkan manusia hanya dapat mengetahui


arti literal teks itu, tapi tidak mengetahui

ta’wil atau realitas yang sesungguhnya. Dalam masalah-masalah


doktrin (akhbar) ini Ibn Taymiyyah tidak

melihat adanya kontradiksi teks wahyu seperti dalam al-ta’wil al-


talabi, kontradiksi itu wujud hanya dalam akal

orang yang memahami Jelaslah bahwa Ibn Taymiyyah dan Ibn Rushd
berbeda dalam memahami makna ta’wil.

Bagi yang pertama ta’wil sama dengan tafsir dan menekankan


pada kesesuaian zahir lafaz dengan makna dan

makna dengan maksud al-shari’, sedangkan yang kedua


menekankan makna ta’wil pada penjelasan
makna sebenar (haqiqi) dari makna majazi atau makna batin sesuatu
teks. Perbedaan ini dapat difahami lebih jelas

melalui pemahaman mereka dalam menta’wilkan ayat-ayat


mutashabihat yang diterangkan dalam alQur’an (3:7). Ibn Rushd
memahami bahwa ta’wil ayat mutashabihat hanya diketahui oleh
Allah dan orangorang yang memiliki ilmu berfikir demonstratif, sedangkan
bagi Ibn Taymiyyah hanya Allah saja yang tahu. Ia

meletakkan titik setelah perkataan %D' 'DDG dan bukan sesudah


perkataan al-rasikhun fi al-ilm. Karena menurutnya

http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The Study of Islamic


Thought and Civilization Powered by Mambo Generated: 12 November,
2007, 06:35para sahabah dan tabi’un memahami ayat
mutashabihat, tapi mereka tidak mengetahui realitas sesungguhnya

(modalitas) dari khabar yang disampaikan Allah itu dan hanya Allah saja
yang tahu la ya’lamu ta’wilahu

illallah. Inilah sebabnya mengapa Ibn Taymiyyah tidak menjelaskan


perkataan al-rasikhun fi al-ilm, karena ia tidak

berkaitan dengan otoritas menta’wilkan. Abrahamov mendakwa


ayat ini mematahkan pendapat Ibn Taymiyyah,

karena kalimat “hanya Allah saja yang tahu ta’wil ayat


mutasyabihat”, menunjukkan bahwa Nabi

dan dari para sahabat tidak mengetahui maknannya. Tapi nampaknya


Abrahamov salah faham sebab ta’wil yang

difahami Ibn Taymiyyah dalam ayat ini adalah realitas atau modaliti atau
dalam bahasa salaf disebut al-kayf.

Kesimpulan Usaha Ibn Rushd untuk menghubungkan akal dan wahyu


sangat sistimatis, akan tetapi pembatasan makna

akal pada kemampuan berfikir demonstratif yang hanya dimiliki oleh


filosof mengundang berbagai pertanyaan. Ia

nampak seperti berlebihan dalam menilai kemampuan akal dan metode


demonstrasi, tapi ia tidak mengamalkan

ta’wil yang berasaskan al-burhan dalam membahas issue-issue


falsafahnya. Demikian pula apabila ia
memberikan otoritas kepada filosof untuk menta’wilkan wahyu,
melebihi yang lain, ia telah mendahulukan akal

daripada wahyu dan ini boleh mengurangi kemutlakan wahyu.


Pandangan Ibn Taymiyyah adalah sebaliknya, yaitu

memberi prioritas kepada wahyu tapi ia tidak mengesampingkan akal


sama sekali. Akal dan pengetahuan akal yang

berfikir benar tidak akan bertentangan dengan wahyu. Akal bagi Ibn
Taymiyyah tidak memiliki status independent seperti

pandangan Ibn Rushd. Dan berbeda dari al-Razi akal tidak dapat menjadi
asas bagi wahyu, tapi justru wahyu adalah

asas bagi akal. Karena ia tidak mengakui adanya pertentangan antara


akal dan wahyu maka ia melihat itu hanya

karena pengetahuan tentang wahyu yang tidak jelas atau pengetahuan


akal yang salah. Untuk itu ia memandang

perlunya pengetahuan tentang tradisi dan pendekatan linguistik yang


benar, dan inilah esensi konsep ta’wil Ibn

Taymiyyah. Mungkin kesimpulan Abrahamov benar bahwa dalam Islam


reaksi terhadap trend penggunaan akal dapat di

gambarkan sebagai berada pada dua kutub: a) menolak secara mutlak


anggapan bahwa akal adalah sumber

pengetahuan agama dan b) menerima akal sebagai satu-satunya sumber


ilmu pengetahuan. Tujuan Ibn Taymiyyah dan

Ibn Rushd hakekatnya sama tapi posisi mereka tidak sama, meskipun
kedua-duanya tidak berada pada salah satu kutub

secara ekstrim, tapi mereka memiliki kecenderungan masing-masing


pada salah satunya. Akhirnya, dari pandangan

kedua-dua pemikir ini kita mengetahui bahwa konsep akal dan konsep
berfikir serta pengetahuan yang benar dan tidak

bertentangan dengan wahyu masih merupakan sesuatu poin yang perlu


pembahasan lebih detail.

http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The Study of Islamic


Thought and Civilization Powered by Mambo Generated: 12 November,
2007, 06:35
AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM
I. AKAL
Kata akal yang menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab Al `aqli yang terbentuk dalam kata
benda. Berlainan dengan kata Al wahyi ,tidak terdapat dalam Al qur`an. Dalam pemahaman Prof.
Izuttsu, kata ‘aql dijaman jahiliyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence)
yang dalam istilah psikologi modern disebut dengan kecakapan memecahkan masalah (Problem
Solving Capacity). Orang berakal menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan
untuk menyelesaikan masalah, setiap kali Ia dihadapkan pada suatu problema dan selanjutnya
dapat melepaskan diri dari bahaya yang Ia hadapi.’Aqala juga mengandung arti, memahami dan
berfikir. Tetapi timbul pertanyaan apakah pengertian, pemikiran dan pemahaman dilakukan melalui
akal yang berpusat dikepala.
Akal terbagi menjadi dua bagian :
A. Akal praktis (‘Aamilah) yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera
pengingat yang ada pada jiwa binatang.seperti contoh : insting seekor kucing ketika dipukul oleh
seseorang , maka pada suatu ketika saat dia beertemu dengan orang yang memukulnya, maka dia
akan lari namun dia tidak tahu sampai kapanpun mengenai mengapa dia dipukul.
B. Akal teoritis (‘Aalimah) yang menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah ada dalam
materi seperti Tuhan, roh dan Malaikat.
Akal praktis memutuskan perhatian kepada alam materi, menangkap kekhususan. Akal teorotis
sebaliknya bersifat metafisis, mencurahkan perhatian kepada dunia materi dan menangkap
keumuman (kulliat universals).
Akal teoritis mempunysi empat derajat antara lain :
a. Akal Materil (Al-‘aqli al-hayulani), yang merupakan potensi belaka, yaitu akal yang
kesanggupannya untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah ada dalam alam
materi.akal ini belum keluar, jadi harus dicari dan diciptakan.
b. Akal bakat (al-aqli bil malakah), yaitu akal yang kesanggupannya berfikir secara murni abstrak
telah mulai kelihatan. Ia telah dapat menangkap pengertian dan kaidah umum. Akal ini sudah
tercipta tinggal manusianya yang mengembangkan.
c. Akal aktuil (al-aqlli bil al-fi’li) yaitu akal yang telah dan lebih mudah dan lebih banyak dapat
menangkap pengertian dan kaidah dimaksud. Akal aktuil ini merupakan gudang bagi arti-arti
abstrak itu, yang dapt dikeluarkan setiap kali dikehendaki.
d. Akal perolehan (Al-‘aqli al-mustafad), yaitu akal yang didalamnya arti-arti abstrak tersebut
selamanya sedia untuk dikeluarkan dengan mudah sekali. Akal ini adalah milik para Nabi dan rasul
Allah.
Akal dalam derajat keempat inilah akal yang tertinggi dan terkuat dayanya. Maka kaum teolog Islam
mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Abu Huzail, akal adalah
daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga daya yang membuat seseorang yang dapat
memperbedakan antara dirinya dan benda-benda satu dari yang lain, akal mempunyai daya untuk
mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap panca indera.
Disamping memperoleh pengetahuan, akal juga mempunyai daya untuk membedakan antara baik
dan buruk. Akal dalam pengetian Islam, bukanlah otak, tetapi adalah daya berfikir yang terdapat
dalam jiwa manusia. Daya yang digambarkan dalam Al qur’an, memperoleh pengetahuan dengan
memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam
dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri Manusia yaitu Tuhan.
II. Wahyu
Wahyu berasal dari kata Arab Al wahyu, yaitu suara, api dan kecepatan. Disamping itu ia juga
berarti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al wahyu selanjutnya berarti pemberitahuan secara
tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti apa yang disampaikan
Tuhan kepada Nabi-nabi. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda
Tuhan kepada orang pilihannya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan
hidup.sabda Tuhan itu mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia
dalam perjalanan hidupnya baik didunia ini maupun diakhirat kelak.
Ada tiga cara penyampaian wahyu, yang pertama, melalui jantung hati seseorang dalam bentuk
ilham. Kedua, dari belakang tabir sebagaimana yang pernah dialami oleh Nabi Musa. Dan yang
ketiga, melalui utusan yang dikirim dalam bentuk malaikat.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya
komunikasi antara Tuhan yang bersifat immateri dan manusia yang besrsifat materi. Menurut ajaran
tasawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati
sanubari. Dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni, sufi mempertajam daya
rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada
pensucian jiwa, dengan banyak beribadah, melakukan shalat dan berpuasa , membaca Al qur’an
dan mengingat Tuhan, kalbu seorang sufi akan menjadi semakin bersih dan jernih sehingga Ia dapat
menerima cahaya yang dipancarkan oleh Tuhan. Dalam Tasawuf dikenal tingkatan ma’rifah, dimana
seorang sufi dapat melihat Tuhan dengan kalbunya, dan dapat pula berdialog dengan Tuhan. Dalam
pada itu komunikasi seorang sufi dengan Tuhan tidak sampai mengambil bentuk wahyu, karna
wahyu adalah khusus bagi Nabi-nabi dan Rasul-rasul.

III. Pergulatan antara akal dan wahyu


Masalah akal dan wahyu dalan pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks – manakah diantara
keduanya, akal atau wahyu – sebagai sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang
kewajiban berterima kasih pada Tuhan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta tentang
kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Aliran mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam rasional berpendapat bahwa akal mempunyai
kemampuan mengetahui keempat hal tersebut diatas. Sementara itu, aliran maturidiyah Samarkand
yang juga penganut pemikiran kalam rasional, mengatakan bahwa kecuali kewajiban menjalankan
yang baik dan menghindari yang buruk, akal mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal lainnya.
Sebaliknya aliran asy’ariyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional, berpendapat bahwa
akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan tiga hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih
kepada Tuhan, baik dan buruk, serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang
jahat, diketahui manusia berdasarkan wahyu.sementara aliran Maturidiyah Bukhara yang juga
digolongkan kedalam pemikir kalam tradisional berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut
diatas, yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk, dapat diketahui melalui
akal, sedangkan dua hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih pada Tuhan serta kewajiban
melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk, hanya diketahui dengan wahyu.
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand untuk
menopang pendapat mereka adalah surat fushilat ayat 53,surat al-ghasyiyah ayat 17 dan surat al-
a’raf ayat 185. Tiga ayat tersebut mengisyaratkan bahwa Allah telah mewajibkan perenungan dan
pemikiran terhadap ciptaanNya agar diketahui bahwa dia Maha pencipta. Ini berarti bahwa ayat-
ayat tersebut menunjukkan bahwa wajib beriman kepada Allah sebelum turunnya wahyu. Karena
manusia dengan kemampuan akalnya dapat mengetahui bahwa kekufuran itu haram, karena
kekufuran itu sesuatu yang dibenci oleh Allah. Oleh sebab itu, dengan kemampuan akalnya manusia
mampu mengetahui bahwa beriman pada Allah itu adalah wajib.
Sementara itu. Aliran kalam tradisional mengambil beberapa ayat al-Qur’an sebagai dalil dalam
rangka memperkuat pendapat mereka. Ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat al-isra’, ayat 134
surat thaha, ayat 164 surat an-nisa’ dan ayat 8-9 surat al-mulk. Ayat-ayat tersebut menjelaskan
bahwa Allah baru memberikan ganjaran atas perbuatan manusia yang baik dan yang buruk setelah
Nabi dan Rasul di utus. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan agama hanya bisa
diketahui oleh manusia dengan perantaraan Nabi dan Rasul, tidak dengan akalnya semata-mata.
Kewajiban-kewajiban baru ada setelah diberitahukan oleh Allah. Keimanan dan kekufuran tidak
dapat diketahui kecuali dengan pengabaran seseorang yang diutus oleh Allah, demikian pula
kewajiban tidaklah tergambar kecuali sesudah diutusnya rasul.
Sedikit agak aneh memang, persoalan pertama yang muncul dalam Islam sebagai agama adalah
bidang politik, bukan bidang teologi atau keagamaan. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat
menjadi persoalan tidak pernah berhenti. Kesimpulannya, munculnya persoalan-persoalan aqidah
dalam Islaman men seperti pelaku dosa besar apakah dia mukmin hanyalah berasal dari persoalan
”rebutan kursi” , jadi sangat-sangat subjektif. Sejak saat itulah persoalan-persoalan teologi
berkembang dari hanya persoalan-persoalan pelaku dosa besar, menjadi bermacam-macam
diskursus teologi yang melahirkan banyak sekali aliran-aliran yang tetap berpengaruh hingga
sekarang.
Demikian juga persoalan wahyu dan akal, merupakan persoalan yang mendapatkan porsi
pembahasan lumayan besar dalam lingkup teologi (ilmu kalam) dalam Islam. Persoalan wahyu dan
akal muncul sebagai bentuk merespon realitas yang terjadi diluar mereka apakah harus melihat dan
memahaminya lewat akal atau lewat wahyu. Aliran-aliran teologi yang muncul dalam menyikapi ini
secara garis besar dapat dibagi kepada dua mazhab yaitu mazhab rasional (ra’yu) yang diwakili oleh
mu’tazilah dimana kemudian filosof tergabung didalamnya dan mazhab non rasional (wahyu), yang
diwakili oleh teolog-teolog Islam konservatif dan fundamentalis yang sampai hari ini pengaruhnya
ada pada ortodoksi Islam tertua yaitu Asy’ariah (Sunni/Ahlus Sunnah wal Jama’ah).
Dalam sejarah Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan kufur adalah diskursus yang telah
membawa pengaruh terhadap hasil karya besar dan spektakuler dalam kegemilangan peradaban
Islam di ranah ilmu pengetahuan. Namun tidak selamanya diskursus ini penuh dengan
kegemilangan, ada juga masa-masa suram dimana dengan diskursus ini pula telah mematikan
kebebasan berfikir, dengan vonis kafir dan sesat kepada teolog, filsuf dan tokoh-tokoh tasawuf yang
punya talenta luar biasa mengupas seluruh rahasia-rahasia semesta.
Persoalan yang dihadapi saat ini adalah, diskursus wahyu dan akal, iman dan kufur telah dikuasai
oleh ortodoksi Islam. Dalam wahyu dan akal, akal harus tunduk pada wahyu, artinya wahyu adalah
yang utama. Dalam pandangan Asy’ariah akal adalah pelayan terhadap wahyu, mereka tidaklah
memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang dilakukan oleh Mu’tazilah.
Demikian juga persoalan Iman dan kufur juga tidak terlepas dari cengkeraman ortodoksi Islam yang
mengajarkan kepada umat Islam hari ini bahwa keselamatan hanya dimiliki oleh orang-orang
beriman dan hanya ada pada golongan Asy’ariah (Sunni) yang hari ini menjelma menjadi Ahlus
Sunnah wal Jamaah, diluar golongan ini adalah golongan kufur (kafir) sehingga tidak ada
keselamatan bagi orang-orang kufur, di luar golongan mereka sudah di anggap ingkar Allah dan
ingkar Nabi, karena tidak lagi mengesakan Tuhan dengan zat maupun sifatnya.
Dalam ortodoksi Islam, persoalan wahyu dan akal, iman dan Kufur adalah seperti definisi di atas
dan ini sudah Fixed Price ( harga mati ), definisi ini semakin mendoktrinasi umat Islam ketika di
monopoli oleh lembaga formal agama seperti MUI, sehingga fatwa-fatwa yang lahir adalah : ” inilah
tauhid yang murni dan sebenarnya, yang harus dipegang umat Islam saat ini jika ingin selamat,
tidak boleh ada peran akal dalam tauhid, tidak boleh ada kebebasan berfikir dalam tauhid, iman
dan kufur sudah jelas, bahwa diluar Ahlussunnah Wal Jama’ah semuanya sesat dan kufur, tidak bisa
ditawar-tawar lagi, apalagi direlatifkan.
Persoalan selanjutnya, Dalam konteks kekinian, apakah benar tidak ada lagi tawar menawar dalam
persoalan iman dan kufur, apakah ini sesuatu yang tidak bisa di interpretasikan lagi. Apakah
persoalan tauhid sesautu yang sudah final dan hanya milik satu golongan tertentu tanpa bisa
dinterpretasikan lagi dan didekati dengan persfektif lain diluar ilmu tauhid ?. demikian juga dengan
persoalan wahyu dan akal, apakah benar sesuai dengan ortodoksi umat Islam hari ini bahwa akal
harus tunduk kepada wahyu, akal hanyalah pelayan wahyu. Apakah ortodoksi pemahaman tauhid
seperti diatas (teologi asy’ary) berpengaruh terhadap eksistensi dan etos kerja umat Islam saat ini
yang mundur, terbelakang, bergulat dengan kemiskinan.
Apakah benar tauhid adalah aqidah atau malah tauhid ini bukan aqidah dan apakah perlu kita
mengaktualisasikan kembali pemahaman tauhid sesuai dengan konteks kekinian dan dengan
pendekatan dan persfektif lain ?
Menyimak pertanyaan-pertanyanan diatas, tentu perlu kita kait dan sinergiskan dengan model dunia
dan kehidupan saat ini yang semakin lama semakin maju, modern dan canggih saja. Artinya,
keadaan yang semakin modern ini perlu diikuti oleh pola tingkah, pola kerja dan pola pemikiran
sesuai dengan konteks zaman. Jika tidak, maka akan terus tertinggal karena tidak bisa mengejar,
menyamai apalagi bersaing. Misalnya, jika sedang hujan, kita malah menjajakan es , apa yang akan
terjadi ?.
Pola tingkah, pola kerja dan pola pikir umat Islam bersumber dari ketauhidan mereka. Seperti apa
definisi tauhid yang mereka yakini, seperti itu juga turunan tingkah, kerja dan pemikiran mereka.
Hari ini, tauhid yang diyakini oleh umat Islam adalah tauhidnya Sunni, yang mengajarkan seperti
disebutkan diatas, hanya ada satu kebenaran, hanya ada satu jalan keselamatan, wahyu harus
diatas segala-galanya, sehingga kita dapat melihat di Indonesia khususnya dan belahan dunia Islam
lain pada umumnya, bahwa umat yang dihasilkan dari tauhid seperti ini adalah umat yang eksklusif,
fundamentalis, konservatif,umat yang rajin melakukan kerusakan dan tindakan bar-bar.
Fenomena diatas terjadi dikarenakan tauhid tersebut dipahami dengan menggunakan persfektif
yang memandang Islam sebagai teks (tekstual), bukan dengan perfektif kontekstual. Artinya tanpa
mau mengerti bahwa teks tauhid yang dinggap final dalam ortodoksi Islam berasal dari konfigurasi
pemikiran dan penalaran subjektif manusia. Bisa juga terjadi dikarenakan Islam yang di agungkan
dan dipraktekkan adalah Islam Syari’at yang diyakini paripurna, mutlak dan absolut, bukan Islam
peradaban, yang semuanya serba relatif, yang dengan Islam seperti ini sebenarnya telah membawa
Islam kepada puncak kejayaan dalam sejarah peradaban dan ilmu pengetahuan.
Tauhid teks – wahyu diatas segalanya, tanpa peran akal dan tidak ada keselamatan diluar komunitas
sendiri – dalam perfektif Syari’at melahirkan umat yang rigid (kaku), tidak ada kebebasan dalam
berfikir, dan suka melakukan takfir. Sedangkan Tauhid yang dipahami dalam konteks peradaban –
akal di atas wahyu dan keselamatan itu relatif – akan menghasilkan umat yang toleran, humanis,
bebas berfikir, yang semua ini merupakan sebuah syarat kemajuan dalam komunitas global.
Pertanyaan selanjutnya yang perlu diajukan adalah, dari pemaparan tauhid tekstual dan tauhid
kontektual yang penulis paparkan diatas, apakah mutlak seperti itu, dan masing-masing berdiri
sendiri. tanpa bisa didialogkan lagi. Tidak bisakah lagi mendialogkan antara wahyu dan akal, iman
dan kufur. Jawabannya bisa saja bisa dan bisa saja tidak. Tidak bisa jika persfektif yang digunakan
adalah persfektif Islam paripurna (Islam Syari’at) dan bisa jika perfektif yang digunakan adalah
persfektif Islam peradaban atau Islam pemikiran lebih jelasnya kita sebut dengan persfektif
pemikiran ke Islaman.
Tujuan mendialogkan ini adalah pertama agar kita terlepas dari pengaruh ortodoksi Islam, yang
mengharamkan kebebasan berfikir, dan tujuan mendialogkan ini adalah untuk melakukan telaah
kritis, wahyu dan akal, iman dan kufur, untuk interpretasi dan reaktualisasi tauhid dalam konteks
kekinian dengan pola adanya kebebasan berfikir diatas. Maka nantinya akan kita dapatkan jawaban,
bagaimanakah sebenarnya, apakah wahyu yang harus tunduk kepada akal, atau malah sebaliknya,
atau malah kita tidak perlu kepada wahyu, cukup dengan akal dan apakah tauhid itu aqidah
ataukah hanya sebuah pemikiran. Mari kita dialogkan ini secara kritis.
Dalam sejarah Islam sebagai khazanah dan peradaban, semua objek dalam Islam akan mudah di
pahami jika menggunakan pendekatan pemikiran, karena persoalan teologi, filsafat, tasawuf,
politik dalam Islam, ushul fiqh termasuk dalam ranah pemikiran ke Islaman. Syarat utama dari
persfektif pemkiran ke Islaman adalah adanya kebebasan berfikir, semuanya relatif, tanpa ada
vonis sesat dan takfir. Inilah yang tidak dipunyai ortodoksi Islam. Agama dilihat hanya dari satu
aspek (Syari’at), tidak di lihat dari aspek pemikiran yang sebenarnya merupakan nyawa atas
keberlangsungan sebuah agama.
Menurut Lutfi Assyauakanie, persoalan kebebasan berfikir dalam Islam berakar dari permusuhan dan
kecurigaan berlebihan terhadap peran akal. Sejak awal, kaum muslim terbelah dalam menyikapi
perubahan sosial yang terjadi disekitar mereka, apakah harus melihat dan memahaminya lewat akal
atau wahyu. Ortodoksi Islam umumnya berpegang teguh kepada wahyu, karena mereka meyakini
bahwa segala sesautu didunia ini sudah termaktub dalam al-Quran. Kalaupun tidak ada disana,
mereka meyakini bahwa al-Quran memberikan sinyalemen-sinyalemen untuk itu. Dengan kata lain,
wahyu harus didahulukan diatas akal dalam menilai apa saja. Sementara itu bagi filosof dan pemikir
muslim, akal merupakan pemberian Tuhan yang paling berharga, lebih berharga dari kitab suci itu
sendiri. Tanpa akal, kitab suci tidak akan bisa dipahami. Bagi mereka jika akal dan wahyu
berbenturan, maka wahyu haruslah diinterpretasikan.
Dalam sejarahnya, hubungan agama dan pemikiran adalah sejarah ketegangan. Dalam Islam,
pertentangan antara Islam dan ilmu pengetahuan relatife kecil, hal ini dikarenakan tidak pernah
terjadi sebuah revolusi sains seperti yang terjadi di Eropa. Kemajuan sains dan ilmu pengetahuan
dalam Islam relatif ”sejalan” dengan ideologi ortodoksi. Bahkan beberapa sains dalam Islam
berkembang pesat akibat langsung dari ketertundukan sains di atas agama. Hal ini berbeda dengan
pemikiran spekulatif yang dikembangkan dalam disiplin filsafat dan teologi. Pandangan – pandangan
filsuf dan teolog kerap berbenturan dengan keyakinan ortodoksi Islam, dan sumber utamanya
adalah kecurigaan di gunakannya unsur-unsur asing di luar konteks Arab dan Islam.
Dalam tradisi filsafat Islam, wahyu bahkan bertindak sebagai sumber pengetahuan Pengetahuan
manusia yang diperoleh melalui wahyu memiliki status yang spesifik, karena seorang penerima
pengetahuan melalui wahyu adalah orang yang memiliki otoritas keagamaan tinggi yang sering
diistilahkan dengan Nabi. Sementara manusia biasa menerima keberadaan wahyu sebagai rukun
iman yang harus dipercayai secara taken for granted, para filosof berusaha untuk mendudukkan
wahyu sebagai realitas keilmuan yang bisa dikaji secara teoretis. Artinya ada dimensi-dimensi
filsafat dalam wahyu yang bisa di kaji dalam ranah pemikiran.
Dalam filsafat ilmu terdapat dua aliran yang sering dianggap sebagai cara yang dikotomik dalam
memperoleh pengetahuan: rasionalisme di satu sisi, dan empirisisme di sisi yang lain. Aliran
pertama lebih menekankan pada dominasi akal dalam memperoleh pengetahuan, sementara yang
kedua lebih mengakui pengalaman sebagai sumber otentik pengetahuan. Kedua aliran ini, dengan
sendirinya, secara ekstrim tidak mengakui realitas lain di luar akal dan pengalaman atau fakta.
Wahyu sebagai sebuah realitas di luar realitas itu, dengan demikian, tidak diakui sebagai sumber
pengetahuan.

FUNGSI WAHYU
Wahyu bagi kaum Mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman
dan upah yang akan diterima manusia diakhirat. Sebagaimana kata ‘Abd. Jabbar, akal tak dapat
mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang ditentukan untuk
suatu perbuatan baik yang lain. Demikian pula akal tidak dapat mengetahui bahwa hukuman untuk
suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua ini
hanya dapat diketahui hanya dengan perantaraan wahyu. Demikian pula pendapat Al Jubba’i,
wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh oleh manusia
diakhirat kelak.
Wahyu bagi kaum Mu’tazilah juga mempunyai fungsi informasi dan konfirmasi, memperkuat apa-apa
yang telah diketahui oleh akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui oleh akal, dan
dengan demikian menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh oleh akal.
DAFTAR PUSTAKA
• Nasution, Harun, akal dan wahyu dalam iaslam, cet. Ke-II, Jakarta: UI Press. 1986.
• Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Perbandingan, cet. Ke-5, Jakarta: UI Press.
1986.
• Yusuf, M. Yunan, Corak Pemikiran kalam Tafsir Al azhar, Jakarta: Permadani, 2004.
• [i] . Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Harun Nasution,
UI-Press, Jakarta 1986.

You might also like