You are on page 1of 31

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TEACHER-CENTERED LEARNING (TCL)

Harden dan Crosby (2000) dalam tulisan O’Neill dan McMahon (2005)

menyebutkan bahwa teacher-centered learning (TCL) adalah sebuah paradigma

berupa metode pembelajaran dalam dunia pendidikan di mana guru selaku pakar

(expert) di bidangnya memfokuskan diri untuk menyampaikan (transfer) ilmu

pengetahuan yang ia miliki kepada siswa-siswanya selaku orang awam (novice).

McDonald (2002) dalam tulisan Brown (2003) menyatakan bahwa guru

merancang sebuah kurikulum yang dimaksudkan untuk mengantarkan siswa-

siswanya ke jenjang pengetahuan yang lebih baik.

Namun sayangnya, ketika guru bersemangat untuk mengejar standar

kurikulum yang diterapkan, para siswa justru menjadi “korban” karena

ketidakmampuan atau ketidaksiapan dalam mengikuti standar tersebut. Brown

(2003) mengatakan bahwa guru yang berada dalam lingkungan TCL lebih

memfokuskan dirinya dan siswa-siswanya untuk memahami materi-materi yang

sudah ditetapkan di dalam kurikulum ketimbang memperhatikan proses

pembelajaran yang dialami oleh siswa-siswanya sendiri.

Untuk beberapa kondisi kegiatan belajar-mengajar, TCL sebenarnya sudah

cukup baik. Namun ketika harus berhadapan dengan kondisi siswa-siswa yang

berbeda-beda, guru akan banyak mengalami kesulitan karena sulitnya mengatur

dan memfasilitasi seluruh potensi siswa.


11

2.2 STUDENT CENTERED LEARNING (SCL)

Istilah student-centered learning (SCL) digunakan secara luas di dalam

literatur yang membahas masalah-masalah pengajaran dan pendidikan. Istilah ini

seringkali dikait-kaitkan dengan istilah-istilah lain seperti flexible learning,

experiential learning, collaborative learning, constructivist learning, active

learning, vicarious learning, cooperative learning dan self-directed learning.

Oleh karena itulah, SCL seringkali didefinisikan dengan makna yang berbeda-

beda pula (Kurhila, 2004).

2.2.1 Definisi Student-Centered Learning (SCL)

Menurut Gibbs (2002) dalam tulisan Sparrow dkk (2000) menyatakan

bahwa SCL adalah suatu metode pembelajaran di dalam dunia pendidikan.

Dimana guru dan penyelenggara pendidikan memberikan otonomi dan kendali

lebih besar kepada siswa untuk menentukan materi pelajaran, model pembelajaran

dan cepat-lambat tahapan dalam pembelajaran.

Menurut Hall (2006) yang dikutip dalam blog Exploration on Learning,

SCL adalah tentang membantu siswa menemukan gaya belajarnya sendiri,

memahami motivasi dan menguasai keterampilan belajar yang paling sesuai bagi

mereka. Hal tersebut akan sangat berharga dan bermanfaat sepanjang hidup

mereka. Melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan metode SCL berarti

guru perlu membantu siswa untuk menentukan tujuan yang dapat dicapai,

mendorong siswa untuk dapat menilai hasil belajarnya sendiri, membantu mereka

untuk bekerja sama dalam kelompok, dan memastikan agar mereka mengetahui

bagaimana memanfaatkan semua sumber belajar yang tersedia.


12

Pembelajaran lebih merupakan bentuk pengembangan diri secara

keseluruhan dibandingkan kemajuan linier yang dicapai guru dengan cara pujian

dan sanksi. Kesalahan dilihat sebagai bagian konstruktif dari proses belajar dan

tidak perlu dilihat sebagai hal yang memalukan.

Lea, Stephenson, dan Troy (2003 dalam O’Neill & McMahon, 2005)

mendefinisikan SCL secara lebih luas yaitu bahwa SCL mencakup :

ketergantungan terhadap belajar aktif, penekanan terhadap belajar secara

mendalam, pemahaman, meningkatnya tanggungjawab di pihak siswa,

meningkatnya perasaan otonomi pada pembelajar, saling ketergantungan antara

guru dan siswa. SCL lebih merupakan suatu metode pembelajaran yang refleksif

baik bagi pihak siswa maupun guru.

Dalam metode pembelajaran SCL, pembelajar memiliki tanggung jawab

penuh atas kegiatan belajarnya, terutama dalam bentuk keterlibatan aktif dan

partisipasi siswa. Hubungan antara siswa yang satu dengan yang lainnya adalah

setara, yang tercermin dalam bentuk kerja sama dalam kelompok untuk

menyelesaikan suatu tugas belajar. Guru lebih berperan sebagai fasilitator yang

mendorong perkembangan siswa, dan bukan merupakan satu-satunya sumber

belajar. Keaktifan siswa telah dilibatkan sejak awal dalam bentuk disain belajar

yang memperhitungkan pengetahuan,keterampilan, dan pengalaman belajar siswa

yang telah didapatkan sebelumnya.

Dari pengalaman praktek yang ada, diharapkan setelah mengalami

pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran SCL pembelajar akan

melihat dirinya secara berbeda, dalam arti lebih memahami manfaat belajar, lebih
13

dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari, dan lebih

percaya diri (O’Neill & McMahon, 2005).

Menurut Cannon (2000), istilah Student-Centered Learning (SCL) atau yang

sering juga dikenal dengan Learner-Centered Teaching adalah suatu metode

pembelajaran di mana di dalamnya siswa memiliki tanggung jawab atas beberapa

aktivitas penting seperti perencanaan pembelajaran, interaksi antara guru dan

sesama pelajar, penelitian, dan evaluasi terhadap pembelajaran yang telah

dikerjakan (Ingleton dkk, 2000).

Gibbs (2002) dalam tulisan Sparrow dkk (2000) menyatakan bahwa SCL

adalah suatu metode pembelajaran dimana guru dan penyelenggara pendidikan

memberikan otonomi dan kendali lebih besar kepada siswa untuk menentukan

materi pelajaran, model pembelajaran dan cepat-lambat tahapan dalam

pembelajaran. McCombs (1997) dalam tulisan Brown (2003) menyatakan bahwa

yang menjadi fokus dalam metode ini adalah siswa-siswa itu sendiri dengan

segenap pengalaman, perspektif, latar belakang, bakat, minat, kemampuan, dan

kebutuhannya. Oleh karena itu, suatu kegiatan pembelajaran harus dirancang

sedemikian rupa agar (hampir) semua siswa yang berada di dalamnya dapat

meraih kesuksesan.

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa inti dari

pembelajaran SCL itu adalah meliputi consrtuktivisme, Active Learning, dan

Experiental Learning. Sehingga untuk mencapai inti pembelajaran tersebut

dibutuhkan suatu pendekatan. Sedangkan yang dilakukan pada penelitian ini

meliputi Cooperative Learning, Problem Based Learning, dan Presentation.


14

Gambar 2.1 Konsep Pembelajaran SCL (Rt. Nuqi B – BPPT 2006/ 2007)

Menurut HC. Whiterington dan W.H Burton (Syaiful Bahri Djamarah,

2002) bahwa : The process of leaarning is doing, reacting, underdoing,

experiencing. The product of learning are all achieved by the learner through his

own activity. Sedangkan menurut Chutima Thamraksa (2003) mengatakan bahwa:

Student Centered Learning merupakan metode pembelajaran yang menempatkan

siswa sebagai pusat pembelajaran sehingga mendorong siswa untuk belajar lebih

aktif (active learning) dan bermakna (experiental learning)

Pembelajaran SCL dapat terjadi apabila ada proses transformasi dari guru

dalam membentuk (construktivisme) siswa untuk mencapai tujuan yang

dikehendaki yaitu active Learning dan experiental learning sesuai dengan

pendekatan pembelajaran yang digunakan. Adapun desain pembelajaran SCL

Berbasis Classroom Blogging pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Constructivisme

Menurut pandangan ahli construktivisme merupakan proses belajar yang

didasarkan pada suatu anggapan bahwa anak membangun sendiri pengetahuan


15

dan memperoleh banyak pengetahuannya dari luar sekulah (Dahar, 1996). pada

tahapan ini guru berusaha membantu dalam membangun pemahaman siswa dari

pengalaman baru berdasarkan pengetahuan awal siswa.

2. Cooperative Learning

Rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan siswa dalam kelompuk untuk

mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Menurut Tatang kurnia

(2005) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif sebagai suatu lingkungan

belajar dimana siswa bekerja sama dalam kelompok heterogen untuk

menyelesaikan tujuan bersama.

3. Problem Based Learning (PBL)

Pembelajaran berbasis PBL dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas

pembelajaran yang menekankan pada proses penyelesaian masalah melalui

diskusi yang dilakukan oleh tiap kelompok. menurut Stepien dan Gallagher

(1993) menyatakan bahwa dalam pembelajaran guru memberikan kekuasaan pada

siswa untuk dapat mencari dan mendiskusikan informasi secara autonom dan

dapat dipertanggungjawabkan.

4. Presentation

Presentation adalah penyampaian informasi pengetahuan. Kegiatan

presentasi ini dilakukan oleh tiap kelompok tentang pokok bahasan atau masalah

yang diberikan oleh guru.

5. Reflection

Pada tahapan ini guru me-review proses pembelajaran yang dilakukan serta

siswa mencatat apa yang telah dipelajarinya.


16

Gambar 2.2 Langkah-langkah penerapan SCL (Rt. Nuqi B – BPPT 2006/ 2007)

2.2.2 Elemen-Elemen dalam SCL

Untuk memenuhi standard SCL, Seitzinger (2006) mendaftar empat (4)

elemen yang harus dipenuhi oleh lembaga yang ingin mengimplementasikan

paradigma ini.Berikut keempat elemen tersebut:

1. Adanya kontrol dari siswa/pembelajar. Ini berarti bahwa guru lebih

bertindak sebagai fasilitator dibandingkan hanya berfungsi sebagai


17

pemberi materi. Pada saat yang sama, siswa diberi kesempatan lebih besar

untuk aktif dalam kegiatan belajar-mengajar.

2. Siswa memiliki sifat-sifat pembelajar aktif (active learner). Pembelajar

aktif adalah siswa yang mampu mengerjakan hal-hal berikut ini:

a. Mampu menentukan topik, masalah, kasus, serta membuat keputusan

berdasarkan opini yang masuk akal (logis).

b. Berani menyajikan/mempresentasikan karyanya kepada publik,

mengajari orang lain, memberi tanggapan serta dukungan kepada

rekan kerja.

c. Berani memilih dan menentukan cara untuk menyelesaikan tugas

masing-masing.

d. Mampu mengaplikasikan materi-materi yang telah dipelajari serta

mengimplementasikan ide-ide sesuai dengan konteks yang diinginkan.

e. Berani, mampu, sekaligus aktif turut serta dalam diskusi, baik itu

sebelum, selama, atau setelah kelas/forum berakhir (baik itu forum

yang bersifat online maupun off-line).

3. Refleksi dan artikulasi. Hal ini berkaitan dengan keberadaan suatu area

atau aktivitas yang bisa digunakan oleh para siswa untuk menuangkan

pemahamannya atas sesuatu yang selama ini telah dipelajarinya. Misalnya

dengan membuat semacam jurnal harian atau aktivitas semacamnya.

4. Fleksibel. Ini bisa berarti dua hal. Pertama, suatu kegiatan belajar-

mengajar yang fleksibel harusnya memberikan kesempatan bagi para

siswa untuk memilih bahkan menentukan beberapa elemen pembelajaran


18

seperti waktu, tempat, cepat lambat tahapan belajar (pace), sekaligus

kemudahan akses, kenyamanan, serta kebebasan. Kedua, para siswa

memiliki kemudahan untuk mentransfer dan menggunakan ilmu yang

dimiliki untuk kasus-kasus lain, juga kesempatan untuk mengaplikasikan

keahliannya di situasi lain yang diinginkan.

Tabel 2.1 Perbandingan antara Teacher Centered Learning dan Student Centered
Learning
Variabel Pendekatan Instruksional

Instruksional Teacher Centered Learning Student Centered Learning

• Informasi dan
 Informasi verbal yang
pengetahuan interdisiplin
secara spesifik mengacu
 Tingkat ketrampilan
pada bidang ilmu tertentu
Hasil belajar berpikir tinggi (problem
 Tingkat keterampilan
solving)
berpikir rendah
(Learning  Keterampilan
(mengingat, mengenal,
memproses informasi
menjelaskan)
outcomes) (mengakses,
 Menghafalkan suatu fakta,
mengorganisasikan,
rumus, atau besaran yang
menginterpretasikan,
abstrak dan terpisah-pisah
mengkomunikasikan
atau terkotak-kotak
informasi)
 Siswa bekerja bersama
guru untuk memilih
 Guru menentukan tujuan
tujuan belajar
instruksional berdasarkan
berdasarkan
Tujuan pengalaman, praktek yang
permasalahan yang
telah dilakukan, ataupun
dihadapi, hal-hal yang
belajar standar yang telah
telah dipelajari dan
ditentukan menurut
dikuasai siswa
kurikulum negara yang
sebelumnya,
berlaku
ketertarikan, dan
pengalaman sebelumnya.
 Strategi belajar ditentukan • Guru berkerja sama
Strategi oleh guru dengan siswa untuk
 Didisain untuk kemajuan menentukan strategi
belajar seluruh kelompok dan belajar
berbasis pada kemampuan • Didisain untuk
rata-rata memenuhi kecepatan
19

 Informasi terutama diatur dan kebutuhan belajar


dan diberikan oleh guru, mandiri setiap siswa
seperti kuliah, ditambah • Siswa diberikan akses
bahan bacaan wajib, dan langsung ke berbagai
tugas. sumber informasi seperti
buku, database online,
sumber masyarakat.
• Pengukuran adalah
bagian integral dari
 Pengukuran dilakukan proses belajar
untuk mengelompokkan • Pengukuran berbasis
siswa kinerja siswa digunakan
 Tes atau ujian diadakan untuk menilai
untuk mengukur kemampuan siswa
Pengukuran
keberhasilan siswa mengaplikasikan
menguasai informasi pengetahuannya
dan penilaian
tertentu • Siswa bersama guru
 Guru menentukan kriteria bekerja sama
keberhasilan untuk siswa menentukan kriteria
• Siswa berusaha keberhasilan
mengetahui apa keinginan • Siswa mengembangkan
guru keterampilan menilai diri
sendiri dan rekan lain
atas keberhasilan belajar.
• Guru menyediakan
• Guru mengatur dan
berbagai cara untuk
mempresentasikan
mengakses informasi
informasi kepada siswa
• Guru berperan sebagai
• Guru berperan sebagai
Peran guru fasilitator yang
penjaga ilmu pengetahuan
membantu siswa untuk
dan engontrol pilihan
mendapatkan dan
siswa atas bahan belajar
memproses informasi
• Guru memimpin proses
• Guru memfasilitasi
belajar
proses belajar
o Siswa mengharapkan guru • Siswa bertanggung
untuk mengajar mereka jawab terhadap proses
sehingga dapat lulus ujian belajar
o Siswa berperan pasif • Siswa berperan aktif
Peran siswa
sebagai penerima dalam mencari
informasi pengetahuan
 Siswa merekonstruksi • Siswa mengkonstruksi
pengetahuan dan pengetahuan dan
informasi makna
• Siswa duduk berjajar  Siswa belajar di
Lingkungan
dalam format kelas suatu tempat dengan
• Informasi dipresentasikan akses penuh kepada
20

belajar melalui kuliah, buku, dan sumber belajar


media lain  Siswa lebih banyak
bekerja secara
mandiri dan pada
waktu tertentu
ekerjasama secara
kelompok kecil
Sumber: Diadaptasi dari Hirumi, (2005)
2.2.3 Implikasi SCL Dalam Proses Pembelajaran

Dalam kenyataannya aplikasi proses pembelajaran tidak selalu diterapkan

dan sesuai dengan kenyataan yang mendasarinya. Proses Pembelajaran yang lebih

realistis akan dapat terjadi apabila kita memandang kedua konsep baik SCL dan

TCL sebagai sebuah kontinuitas, seperti yang digambarkan pada gambar dibawah

ini.

Tabel 2.2 Kontinum Teacher-centered dan Student –centered

(O’Neill & McMahon, 2005).

Tabel diatas menunjukkan seberapa jauh praktek yang telah dilakukan,

bergerak dari TCL ke SCL dalam kontinum tersebut. Setelah memahami posisi

dari praktek yang dilakukan,guru dapat menentukan bagaimana bergerak maju

selanjutnya (O’Neill & McMahon, 2005). Untuk mengimplementasikan

pembelajaran SCL, perhatian harus diberikan antara lain pada aspek

pembelajaranseperti tujuan belajar dan hasil yang ingin dicapai yang tercermin
21

dalam kurikulum, strategi pembelajaran, peran guru, peran siswa, pengukuran

hasil belajar, dan lingkungan belajar.

2.2.4 Implikasi SCL Dalam Strategi Pembelajaran

Untuk dapat mengimplementasikan SCL dengan baik maka strategi belajar

mengajar harus diadaptasikan atau dipilih dari berbagai alternatif yang ada.

Strategi yang dipilih tentunya yang menekankan dan mendorong siswa lebih aktif

dalam mendapatkan dan menguasai pengetahuan dan keterampilan. Hal tersebut

antara lain dapat dilakukan melalui latihan di kelas, studi lapangan, penggunaan

paket computer assisted learning (CAL), dan belajar mandiri sebagaimana

praktek yang dilakukan dalam pendidikan jarak jauh (PJJ). Selain itu strategi

tersebut akan membuat siswa lebih sadar tentang apa yang mereka lakukan dan

mengapa mereka melakukan kegiatan belajar tersebut.

Sebagai tambahan perlu dipertimbangkan pula kegiatan yang mendorong

interaksi siswa dalam kerjasama kelompok (O’Neill & McMahon, 2005). O’Neill

dan McMahon (2005) memberikan beberapa contoh metode pembelajaran yang

dapat dipilih guru, yang tertera pada Tabel 3. Metode tersebut terbagi menjadi

kegiatan di dalam kelas dan kegiatan di luar kelas. Metode belajar tersebut, yang

tentunya dapat dikombinasikan dan diadaptasikan, dimaksudkan untuk memberi

contoh ide yang dapat dilakukan oleh guru dalam metode pembelajaran SCL.
22

Tabel 2.3 Contoh pelaksanaan Student Centered Learning

2.2.5 Peran Guru Dalam Penerapan Metode Pembelajaran SCL

Guru yang cenderung menggunakan pembelajaran terpusat pada siswa

memiliki karakteristik umum yang menjadikan mereka menjadi guru yang efektif.

Afiatin (2004) secara umum menyebutkan bahwa :

a. Mengakui dan menghargai keunikan masing-masing siswa dengan cara

mengakomodasi pemikiran siswa dengan gaya belajarnya msing-masing,

tingkat perkembangannnya, kemampuan, bakat, persepsi diri serta

kebutuhan akademis dan non akademis siswa.

b. Memahami bahwa pembelajaran adalah suatu proses konstruktivis oleh

karena itu harus diyakini bahwa siswa diminta untuk mempelajadi sesuatu

yang relevan dan bermaksa bagi diri mereka. selai itu juga mencoba

mengembangkan pengalaman belajar dimana siswa dapat secara kahtif

mencitpakan dan membangun pengetahuannya sendiri serta mengaitkan

apa yang sudah diketahuinya dengan pengalaman yang diperoleh.

c. Menciptakan ilkim pembelajaran yang positif dengan cara memberikan

kesempatan pada siswa untuk berbicara dengannya secara personal,


23

memahami siswa dengan sebaik-baiknya, menciptakan dukungan pada

siswa, mengakui dan menghargai siswa.

d. Memuilai pembelajaran dengan asumsi dasae bahwa semua siswa

memiliki kondisi masing-masing dan ingin melakukan dengan sebaik-

baiknya serta memiliki minat instrinsik untuk memperkaya kehidupannya.

Perubahan peran guru dari fokus utama menjadi fasilitator atau

pendamping dalam SCL tidaklah mudah. Menurut Doyle (2006) ada berbagai

penyebab resistensi guru, antara lain: mereka lebih senang menjadi pusat

perhatian; ada perasaan kurang berarti karena hanya sebagai pendamping siswa

sedangkan siswa yang mengontrol seluruh kegiatan belajar; dan guru menganggap

bahwa siswa tidak dapat menangani tanggung jawab atas belajarnya sendiri. Pada

kenyataannya banyak guru yang tidak mengetahui bagaimana memegang peran

yang baru tersebut.

Untuk mengatasi hambatan peralihan peran tersebut, langkah yang harus

dilakukan guru adalah mengurangi hal-hal yang biasa dilakukan seperti: ceramah,

mengorganisasikan materi pelajaran, membuat contoh, menjawab pertanyaan,

merangkum diskusi, dan memecahkan permasalahan. Disamping itu, yang harus

lebih banyak dilakukan adalah mendisain aktivitas dan tugas, memperbolehkan

siswa menemukan sendiri dan belajar di antara sesamanya, dan menciptakan

suasana belajar aktif dalam kelas. Dengan kata lain guru perlu mengulangi

pengalaman proses belajarnya sendiri dan menempatkan diri sebagai siswa,

sehingga siswa dapat mengalami proses belajar yang menarik dan menyenangkan

(Doyle, 2006).
24

2.2.6 Peran Siswa Dalam Penerapan Metode Pembelajaran SCL

Ciri utama SCL adalah siswa berpartisipasi aktif dalam kegiatan

belajarnya. Siswa memutuskan sendiri apa yang akan dipelajari dan bagaimana

cara mempelajarinya. Dalam kegiatan belajar, guru mengajak siswa agar

memahami bahwa pembelajaran adalah suatu proses konstruktif, oleh karena itu,

siswa harus mempelajari sesuatu yang relevan dan bermakna bagi diri mereka.

Selain itu siswa juga mencoba mengembangkan pengalaman belajar secara aktif,

menciptakan, dan membangun pengetahuannya sendiri, serta mengaitkan apa

yang sudah diketahuinya dengan pengalaman yang diperoleh sebelumnya

(Afiatin, 2004).

Siswa diharapkan memahami tanggung jawab atas kegiatan belajarnya

yang dibangun atas pengetahuan dan keterampilan yang sebelumnya telah

dimiliki. Selain itu, siswa memonitor kemajuan belajarnya secara teratur. Siswa

bahkan dapat dilibatkan dalam penilaian hasil belajar. Hal tersebut dapat

dilakukan dalam penyelesaian tugas dan ujian yang lebih bersifat evaluasi

formatif. Dalam SCL siswa secara intrinsik lebih memiliki motivasi diri untuk

mencapai tujuan belajar yang mereka tetapkan sendiri (O’Neill & McMahon,

2005).

2.3 MEDIA PEMBELAJARAN

Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada

penerima pesan. Gerlach dan Ely menyatakan bahwa media secara garis besar

dapat dipahami sebagai manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi

yang membuat pembelajar mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau


25

sikap (Sheal,1989). Menurutnya pengalaman belajar sangat bervariasi, yaitu:

Kemampuan seseorang dalam menangkap informasi pastilah berbeda beda.

Dalam hal ini maka peran guru dalam inovasi dan pengembangan media

pembelajaran sangatlah diperlukan, mengingat peran guru sangat signifikan dalam

menentukan kesuksesan proses belajar dan mengajar. Guru hendaknya dapat

mengolah kemampuannya untuk membuat media pembelajaran yang lebih efektif

dan efisien. Hal ini, menurut Wijaya dkk (1991), disebabkan perkembangan

jaman yang terus terjadi tanpa henti dengan kurun waktu tertentu.

Tresna (2005) menjelaskan bahwa peranan media dalam pembelajaran

mempunyai pengaruh sebagai berikut : 1) Media dapat meyiarkan informasi yang

penting, 2) Media dapat digunakan untuk memotivasi pembelaja pada awal

pembelajaran; 3) Media dapat mengambah pengayanaan dalam belajar; 4) Media

dapat menunjukkan hubungan-hubungan; 5) Media dapat menyajikan

pengalaman-pengalaman yang tidak dapat ditunjukkan oleh guru; 6) Media dapat

membantu belajar perorangan; dan 7) Media dapat mendekatkan hal-hal yang ada

di luar ke dalam kelas. Sedangkan Latuheru (2005) berpendapan bahwa peran

media dalam pembelajaran adalah ;1) membangkitkan motivasi belajar

pembelajar; 2) Mengulang apa yang telah dipelajari pembelajar; 3) merangsang

pembelajar untuk belajar penuh semangat; 4) Mengaktifkan respon pembelajar;

dan 5) segera diperoleh umpan balik dari pembelajar.


26

2.4 CLASSROOM BLOGGING

Weblog berasal dari kata web dan log. Seperti telah kita ketahui bahwa

web diartikan sebagai jaringan internet, sedangkan log berasal dari kata logbook.

To log adalah kata kerja yang diturunkan dari kata benda logbook, yang berarti

melakukan pencatatan kedalam buku log. Dalam dunia Teknologi Informasi, kata

log berkembang sedemikian rupa sehingga memiliki arti pencatatan secara

sistematis terhadap pemrosesan data (data processing).

Sejarah blog kemungkinan besar berawal dari sejarah internet itu sendiri.

Bahkan sebuah sumber mengatakan bahwa situs web yang pertama kali ada

merupakan blog yang pertama juga. Situs web tersebut adalah http://info.cern.ch/

situs yang dibuat olehTim Berners-Lee di CERN.

Pada awal dimulainya era internet, komunitas digital sering

“menggoreskan” catatan-catatan mereka pada media seperti Usenet, GENIE

(General Electric Network for Information Exchange), BBS (Bulletin Board

System), serta mailing list. Sebelum akhirnya berevolusi menjadi blog modern

seperti saat ini, pada tahun 1994 mulai bermunculan orang-orang yang sering

melakukan pencatan kegiatan mereka di web. Catatan tersebut dikenal dengan

nama Online Diary atau Online Journal dan biasanya dicantumkan pada situs

pribadi mereka. Penulis online diary tersebut dikenal dengan nama diarist atau

sering juga disebut dengan escibitionist. Para diarist ini akhirnya saling

berkenalan dan membentuk webring berisi online diary mereka. Dari komunitas

kecil pada diartist atau escibitionist inilah akhirnya blog berkembang menjadi

seperti sekarang.
27

Istilah blog atau blogging juga menguraikan tindakan

pengeposan/pencatatan penting untuk jurnal online (Bock, 2004). Kebanyakan

pengarang setuju bahwa weblog atau catatan adalah suatu situs web yang sering

diperbaharui yang terdiri dari posting-posting yang ditanggali dan diurutkan

sesuai waktu kebalikan, artinya posting terbaru akan muncul terlebih dahulu.

Begitu cepatnya perkembangan weblog, hingga kini juga digunakan untuk

mendukung pembelajarran di dalam pendidikan tinggi. “Sejumlah universitas

dibeberapa negara sudah memulai dengan pemakaian perkakas blogging, sebagai

contoh, Universitas Iowa, Beras University dan RMIT University di Melbourne”

(Williams dan Jacobs, 2004).

Para siswa dapat saling berbagi dan mengetahui pola pikir satu sama lain,

dan alat ini juga memungkinkan para guru untuk mengetahui bagaimana mereka

melakukan pembelajaran, apakah yang menjadi permasalahan dari para siswa, apa

saja kesulitan yang sedang dihadapi para hadapi, dll. Weblogs juga bisa

digunakan guru yang memberi beberapa bimbingan dan beberapa informasi

tambahan tentang proses pembelajaran.

Namun, pihak universitas/sekolah tidak merekomendasikan untuk

menggunakan weblog sebagai media pembelajaran yang wajib untuk digunakan di

kalangan universitas/sekolah, tetapi akan menjadi lebih baik untuk dipahami oleh

para siswa dan guru keuntungan-keuntungan apa saja yang akan didapat ketika

menggunakan weblog.
28

2.5 BLOG SEBAGAI ALAT PENDUKUNG STUDENT-CENTERED

LEARNING

Menurut laporan yang diterbitkan oleh ECAR (EDUCAUSE Center for

Applied Research) pada tahun 2005 memuat komentar seorang siswa mengenai

manfaat blog bagi aktivitas akademiknya, “Mata kuliah mengenai percetakan dan

desain media elektronik yang saya ambil merupakan mata kuliah online yang

mengharuskan kami untuk belajar secara mandiri. Selain itu, kami juga belajar

untuk menangani proyek menggunakan Photoshop, Dreamweaver, dan Quark.

Perluasan dari apa yang telah kami pelajari sepenuhnya diserahkan kepada kami

sendiri, tapi menyampaikan (posting) kritik melalui blog benar-benar sesuatu yang

sangat membantu, dan kami bisa belajar banyak darinya.” (Kvavik dan Caruso,

2005).

Menyampaikan kritik sebagai salah satu bentuk komentar dalam dunia

blog (blogosphere) adalah sesuatu yang sangat lazim terjadi. Selain untuk

mengkritik, semua siswa yang diwawancarai dalam laporan ECAR tersebut

sependapat bahwa blog memang dapat meningkatkan kemampuan siswa-siswa

dalam hal tulis-menulis. Khususnya dari sisi gaya (style) dalam menulis, tapi

bukan (baca: belum) pada tanda baca dan pengejaan (Kvavik dan Caruso, 2005).

Dari Inggris, laporan yang dikeluarkan oleh Information Service Working

Group on Collaborative Tools (2006) menyajikan hasil yang sedikit berbeda.

Menurut studi yang dilakukan oleh grup yang beranggotakan tujuh peneliti ini,

blog banyak digunakan oleh dosen dan mahasiswa sebagai venue atau “tempat
29

penampungan” untuk refleksi, opini, fakta, dan pertanyaan terkait suatu mata

kuliah atau topik-topik tertentu (Adie dkk, 2006).

Menurut Richardson (2004), blogging sebagai salah satu genre dalam

dunia tulis-menulis dapat digunakan oleh siswa untuk meningkatkan

kemampuannya dalam berpikir kritis (critical thinking skills), tulis-menulis serta

meraih standar kompetensi (information literacy) di bidang-bidang tertentu.

Richardson sendiri meyakini bahwa blog memungkinkan siswa untuk melakukan

tiga hal sekaligus (Downes, 2004):

1. Merefleksikan diri melalui apa yang ditulis dan dipikirkannya.

2. Menunjukkan kepedulian atau minat pada topik yang disukai untuk

periode waktu tertentu atau bahkan untuk seumur hidupnya.

3. Menggaet para pembaca dan pengunjung melalui suatu percakapan yang

pada akhirnya bisa membawa keduanya kepada penelitian lebih lanjut.

Namun Downes (2004) dalam tulisan yang sama menganggap bahwa

blogging sendiri sebenarnya bukanlah murni soal tulis-menulis. Menurutnya, pada

awalnya, seorang siswa yang ingin memanfaatkan blog, harusnya menjadi

pembaca yang baik terlebih dahulu. Selain itu, materi yang dibaca oleh siswa di

dalam suatu blog haruslah materi yang memang disukainya (antusias), karena jika

tidak, maka akan sulit untuk membuatnya sampai pada tahapan-tahapan yang

diharapkan, yakni refleksi, kritis, berani bertanya, serta reaktif terhadap suatu isu.

Beberapa institusi pendidikan merekomendasikan bahwa menggunakan

weblog menjadi wajib di dalam universitas/sekolah lembaga pendidikan, tetapi ini

menjadi lebih baik untuk dipahami oleh para siswa keuntungan-keuntungan dari
30

menggunakan weblog. Kita dapat mengundang para siswa itu untuk menyajikan

aktifitas mereka di dalam blogs mereka, sehingga pekerjaan mereka dapat dibagi

bersama, dievaluasi, dll. Hal yang penting untuk menggunakan weblog adalah

sebagai suatu alat bukan sebagai suatu tujuan.

Namun seiring dengan perkembangan Internet dan penggunaan weblog itu

sendiri, maka pada akhirnya mulai bermunculan sejumlah universitas dibeberapa

negara sudah memulai dengan pemakaian perkakas blogging sebagai contoh,

Universitas Iowa, Rice University dan RMIT University di Melbourne (Williams

dan Jacobs, 2004). Kebanyakan weblog ditulis secara informal, sering kali sebagai

suatu pengisahan perjalanan pengarang, hasil berfikir pengarang dan

mencerminkan diri pengarang (Effimova dan Fiedler, 2004). Blogger hanya

memandang sebuah blog adalah sebagai suatu form untuk menerbitan

tulisan/mengeposkan, tetapi dari waktu ke waktu pandangan ini berubah karena

mulai untuk menyerupai suatu percakapan (Dovnes, 2004).

Blogging bagaimanapun menawarkan para siswa suatu kelebihan.

Kelebihan pertama yakni mencerminkan mereka bagaimana menulis dan berfikir

ketika mereka menuliskan hasil berfikirnya. Kedua, melanjutkan menulis atau

mengarsipkan suatu topik materi pada periode waktu tertentu. Ketiga, melibatkan

pembaca dan pendengar di suatu percakapan tertentu. Keempat, saling tukar-

menukar pengalaman belajar dan memahami hubungan dan keterkaitan mereka

secara kolektif.
31

Beberapa pembelajaran yang terjadi dalam memanfaatkan weblog sebagai

media pembelajaran diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Menciptakan Cooperative Learning

Pembelajaran konstruktivisme yakni siswa membangun sendiri

pengetahuannya dari pengetahuan yang telah diperoleh (pengalaman). Membagi

gagasan-gagasannya dengan para siswa yang lain menyediakan peluang untuk

mengkritik gagasan dan memperbaiki gagasan serta mengembangan gagasan-

gagasan tersebut menjadi gagasan baru yang lebih baik. Weblog merupakan alat

terbaik untuk menyediakan kondisi bahwa para siswa bekerja kepada satu sama

lain selagi mereka bersifat terpisah. Piaget, menekankan bahwa interaksi di dalam

kelompok dapat menolong selangkah lebih maju dalam proses pembelajaran.

Dengan catatan individu tersebut, mampu merumuskan kembali pengetahuannya.

Weblog membantu para siswa untuk bekerja dan berpikir satu sama lain keluar

dari kelas konvensional dan memisahkan satu sama lain mereka juga bisa menarik

keahlian di seluruh dunia.

Riset sudah menunjukkan bahwa cooperative learning mempunyai

manfaat bagi mereka dan di luar mereka dengan model-model yang lebih

tradisional, yang cenderung lebih kompetitif (antara bersifat perseorangan dan

bersifat prestasi) dan lebih produktif dalam pembelajaran (Johnson, 1994). Hasil-

hasil yang secara umum tidak mempertimbangkan akademis serta merangsang

kemampuan dalam bekerja dengan orang lain, rasa percaya diri dan pengertian

yang mendalam terhadap permasalahan ( McConnell, 2000). Campbell study (

2003) menyatakan,
32

“The experience of computer supported cooperative learning using weblog in the


university classroom: a phenomenological case study” showed that: “the
authenticity and sense of ownership provided by running a weblog taps into a
learner’s intrinsic motivation and encourages deep, reflective, autonomous
learning strategies. Although initially engendering a sense of exposure and
feelings of anxiety, cause insight into the way identity is constructed online, and
gives learners direct experience with learning outside the confines of the formal
institution.”

Cooperative learning menggunakan weblog di dalam kelas universitas

dengan suatu pendekatan studi kasus menunjukkan bahwa keaslian terhadap hasil

karyanya dan rasa kepemilikan yang lebih terhadap weblog mereka. Hal ini

mampu memotivasi intrinsik siswa dan mendorong reflective learning. Hal ini

dapat membangun identitas dan keterampilan mereka lewat online secara tidak

langsung di luar pembelajaran, dengan fokus topik/tema tertentu yang mereka

tuliskan pada blog. Clara Coutinho (2007) belajar tentang learning community di

dalam pendidikan tinggi dengan menggunakan weblog juga menunjukkan bahwa

tanggung-jawab individu atau kelompok pada hubungan antar pribadi dan

menggolongkan keterampilan para siswa dalam aktifitas belajar.

2. Membangun Knowledge Management

Knowledge management adalah suatu proses tentang mengarsipkan

tulisan, memodifikasi atau menyusun dan membagi-bagi pengetahuan ke

khalayak. Empat tujuan utama dari manajemen pengetahuan termasuk di

dalamnya pembuatan tempat penyimpanan pengetahuan, mengakses pengetahuan

dan memperbaiki, serta peningkatan lingkungan pengetahuan dan manajemen

pengetahuan sebagai suatu aset (Davenport dan Prusak, 1998).


33

Hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan membuat pengetahuan

dengan banyak cara seperti pemecahan masalah, pengamatan, mengadakan

percobaan dan belajar dari pengalaman. Kedua, harus menangkap pengetahuan

atau ekstrak tacit knowledge dari berbagai sumber seperti artikel-artikel yang

tertulis, percakapan dan praktek. Ketiga, eksplisit dan tacit knowledge harus

dibandingkan, terorganisir dan diperkenalkan pada suatu bentuk yang dapat

dipakai agar mudah dalam pengaksesan dan sharing pengetahuan. Proses ini

disebut pengetahuan penyulingan (refining knowledge). Keempat, satu organisasi

harus membuat tempat penyimpanan pengetahuan dalam satu penyimpanan yang

akurat, terbaru, konsisten dan cara serupa. Kelima, pengetahuan harus diatur. Inti

sari dari proses ini adalah untuk menyimpan dan memelihara arus pengetahuan

dan memverifikasi kaitan dan ketelitiannya.

Akhirnya, manajemen pengetahuan tidak bisa tercapai jika pengetahuan

sendiri tidak dibagi bersama (sharing). Salah satu sarana untuk melakukan sharing

knowledge tersebut dilakukan dengan online via internet, blogs, email dan web

dapat disediakan untuk sharing knowledge tersebut. Knowledge yang dimaksud

dalam hal ini adalah sebagai berikut :

a. Explicit Knowledge adalah pengetahuan yang tertulis, terarsip, tersebar

(cetak maupun elektronik) dan bisa sebagai bahan pembelajaran

(reference) untuk orang lain. Dari contoh di atas, ketika seorang member

milis memberi solusi dari buku, maka sebenarnya itu adalah bentuk

explicit knowledge.
34

b. Tacit Knowledge adalah pengetahuan yang berbentuk know-how,

pengalaman, skill, pemahaman, maupun rules of thumb. Ketika seorang

member milis menjawab berdasarkan pengalaman dia, hasil searching

secara sengaja atau tidak sengaja mendapat solusi misalnya, itu semua

adalah tacit knowledge.

Weblog merupakan suatu alat yang bermanfaat untuk manajemen

pengetahuan di dalam pendidikan tinggi sebagai proses manajemen pengetahuan.

Tabel di berikut ini menandai adanya fitur blog yang bermanfaat untuk

manajemen pengetahuan (knowledge management).

Tabel 2.4 Knowledge Management Process

No Knowledge Management Blogs as Knowledge Management


Process Tool
1 Creating knowledge Writing blogs to express knowledge
2 Capturing knowledge Reading blog contents and mining
3 Refining knowledge Categorizing blogs and mapping blog
4 Storing knowledge Archiving blogs as knowledge repository
5 Managing knowledge Arranging blog contents into categories
6 Disseminating knowledge Posting personal or professional blogs

Creating knowledge, ditunjukkan dengan menulis atau mempostingkan

tulisan di blog untuk mengekspresikan sejauh mana pengetahuan siswa dalam

menerima pelajaran. Capturing knowledge, sejauhmana menangkap isi materi dan

menyimpulkan pembelajaran dengan membaca posting tulisan di blog. Refining

knowledge, menyuling pengetahuan dengan mengkatagorikan arsip blog dan

mapping atau memetakan blog. Storing knowledge, mengeposkan pengetahuan

dengan mengarsipkan isi materi pembelajaran dalam katagori blog. Managing

knowledge, memenej dan mengorganisasi pengetahuan dengan mengatur isi


35

materi kedalam katagori. Disseminating knowledge, membagi pengetahuan secara

cuma-cuma ke dalam postingan atau tulisan yang diarsipkan pribadi sebagai

pengetahuan pribadi penulis.

3. Weblog Sebagai Riset Bidang Pendidikan

Untuk dapat melakukan penelitian online, percobaan dan simulasi proyek

telah banyak tersedia di internet. Weblog dapat berperan utama dalam proses

pembelajaran dengan menyediakan bahan materi kursus dan bahan pengganti

pelajaran seperti tugas, untuk dapat dikumpulkan dengan mengarsipkan pada blog

kelas atau blog siswa masing-masing. Weblog juga bisa digunakan pada semua

tingkat pendidikan namun akan lebih efektif pada pendidikan tinggi.

Menggunakan weblog di dalam pendidikan dapat membantu ke arah para siswa

untuk mendapat informasi yang pantas dan meneliti tentang bahanbahan kursus

mereka.

Suatu bagian proses yang terpenting dari riset atau penelitian yang

dimaksud disini adalah kemampuan untuk mencatat, merekam materi dan

mengarsipkan dari sumber dari perjalanan siswa dalam bidang pendidikan. Belajar

bagaimanapun dapat berlangsung, ketika siswa mulai menganalisis bahan,

membandingkan, membeda-bedakan dan merumuskan pendapat dan teori sekitar

bahan yang mereka teliti. (Hollingworth dan McLoughlin, 2001).

Para guru mendorong siswanya untuk mengambil bagian pada weblog dan

berdiskusi untuk menggambarkan informasi dari sumber selain dari buku teks,

sehingga ini dapat membantu pemikiran para siswa untuk berfikir kritis.Weblog

merupakan suatu tempat yang dinamis bahwa para siswa bisa membuat
36

komunitas, lingkungan pembelajaran dengan para teman mereka dan para siswa

lain dan ahli-ahli dari negara-negara lainnya. Menurut Wang, Jeng, Huang dan

Wang ( 2007) mengatakan “learners make use of the blogbased learning aid in a

positive way “ .

Mortenson dan Walker (2002) menulis tentang pengalaman-pengalaman

mereka yang pribadi menggunakan weblog untuk riset atau penelitian. Ini adalah

suatu contoh yang baik dari peran dari blogging di suatu konteks pelajaran yang

lebih reflektif.

2.6 EFEKTIVITAS

Secara definitif efektivitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan

dalam mencapai tujuan atau sasarannya (Etzioni, 1964). Efektivitas ini

sesungguhnya merupakan suatu konsep yang lebih luas mencakup berbagai faktor

di dalam maupun di luar diri seseorang. Dengan semikian, efektivitas tidak hanya

dapat dilihat dari sisi produktivitas, akan tetapi juga dapat dilihat dari sisi persepsi

atau sikap orangnya. Di samping itu, efektivitas juga dapat dilihat dari bagaimana

tingkat kepuasan yang dicapai oleh orang (Robbins, 1997).

Dengan demikian efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting

karena mampu memberikan gambatan mengenai keberhasilan seseorang dalam

mencapai sasarannya atau suatu tingkatan terhadap sejauh mana tujuan-tujuan

dicapai (Prokopenko, 1987) atau tingkat pencapaian tujuan (Hoy dan Miskel,

1992).
37

Dalam penelitian ini efektivitas yang dimaksud adalah sejauh mana tingkat

produktivitas menfaat media pembelajaran dalam mencpai keberhasilan sasaran

dan tujuan berupa peningkatan hasil prestasi belajar siswa.

2.7 HASIL BELAJAR

Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan

satu sama lain. Belajar menunjuk pada apa yang harus dilakukan seseorang

sebagai subjek yang menerima pelajaran (sasaran didik), sedangkan mengajar

menunjuk pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pengajar. Belajar

bukan merupakan kegiatan menghafal dan bukan pula mengingat. Belajar adalah

suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang.

Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai

bentuk seperti berubah pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah

lakunya keterampilannya, kecakapan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya

penerimaannya, dan lain-lain aspek yang ada pada individu (Sudjana, 1987).

Dalam proses belajar dan mengajar terjadi interaksi antara guru dan siswa.

Interaksi guru dan siswa sebagai makna utama proses pembelajaran memegang

peranan penting untuk mencapai tujuan pembelajaran yang efektif.

Kedudukan siswa dalam proses belajar dan mengajar adalah sebagai

subjek dan sekaligus sebagai objek dalam pembelajaran, sehingga proses atau

kegiatan belajar dan mengajar adalah kegiatan belajar siswa dalam mencapai

suatu tujuan pembelajaran. Hasil belajar dalam kontesktual menekankan pada

proses yaitu segala kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam mencapai tujuan

pembelajaran. Nilai siswa diperoleh dari penampilan siswa sehari-hari ketika


38

belajar. Hasil belajar diukur dengan berbagai cara misalnya, proses bekerja, hasil

karya, penampilan, rekaman, dan tes (Depdiknas: 2002).

Pembelajaran merupakan suatu usaha dasar yang dilakukan oleh guru

dengan tujuan untuk membantu siswa agar dapat belajar sesuai dengan kebutuhan

dan minatnya, sehingga perubahan tingkah laku yang diharapkan dapat terwujud.

Proses belajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam mencapai tujuan

pembelajaran, sedangkan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang

dimilki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Dengan demikian hasil

belajar dapat dilihat dari hasil yang dicapai siswa, baik hasil belajar nilai),

peningkatan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah perubahan tingkah

laku atau kedewasaannya. Horward Kysley dalam Sudjana (1990) membagi tiga

macam hasil belajar, yakni (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan

pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi

dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum sedangkan Gagne membagi

lima kategori hasil belajar, yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan

intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) keterampilan motorik.

Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan

kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari

Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah

kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif berkenaan dengan

hasil belajar intelektual yang terdiri atas enam aspek, yakni: pengetahuan atau

ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek

pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk
39

kognitif tingkat tinggi. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri atas

lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan

internalisasi.

Ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan

kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotorik, yakni gerakan

refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau

ketetapan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan

interpretative (Sudjana, 1990: 22). Menurut Purwanto (1986) bahwa hasil belajar

biasanya dapat diketahui melalui kegiatan evaluasi yang bertujuan untuk

mendapatkan data pembuktian yang akan menunjukkan sampai di mana tingkat

kemampuan dan keberhasilan siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran.

Hasil belajar yang dicapai oleh siswa dipengaruhi dua faktor utama yakni

faktor dari dalam diri siswa itu dan faktor yang datang dari luar siswa atau faktor

lingkungan. Faktor yang datang dari diri siswa terutama kemampuan yang

dimilikinya. Faktor kemampuan siswa besar sekali pengaruhnya terhadap hasil

belajar yang dicapai. Seperti dikemukakan oleh Clark bahwa hasil belajar siswa di

sekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh

lingkungan. Di samping faktor kemampuan yang dimiliki oleh siswa, juga ada

faktor lain, seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan

belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis (Sudjana, 1987: 39-40).

Adanya pengaruh dari dalam diri siswa, merupakan hal yang logis dan

wajar, sebab hakikat perbuatan belajar adalah perubahan tingkah laku individu

yang diniati dan disadari. Salah satu lingkungan belajar yang paling dominan
40

mempengaruhi hasil belajar di sekolah, ialah kualitas pengajaran yaitu tinggi

rendahnya atau efektif tidaknya proses belajar dan mengajar dalam mencapai

tujuan pembelajaran. Oleh karena itu hasil belajar siswa di sekolah dipengaruhi

oleh kemampuan siswa dan kualitas pembelajaran.

You might also like