You are on page 1of 4

22 November 2009

Homoseksual, Nature or Nurture?


Anggi Mustika
Psikologi, Universitas Paramadina

Setiap orang memiliki orientasi seksual yang berbeda-beda. Orientasi seksual dalam
diri manusia pada dasarnya terbagi menjadi tiga yaitu heteroseksual, homoseksual dan
biseksual. Orientasi heteroseksual merupakan kecenderungan seseorang untuk menyukai
dan memiliki ketertarikan terhadap orang lain yang berbeda gender. Orientasi homoseksual
merupakan kecenderungan seseorang untuk menyukai dan memiliki ketertarikan terhadap
sesama jenis. Orientasi biseksual merupakan gabungan dari keduanya yaitu kecenderungan
menyukai dan memiliki ketertarikan terhadap sesama maupun lawan jenisnya.
Homoseksual merupakan permasalahan seksual yang paling sering diperbincangkan
masyarakat saat ini. Homoseksual dinilai menyimpang dari norma dan agama. Di Indonesia
(Riyanti & Putra, 2008) berdasarkan hasil statistik menunjukkan bahwa sekitar 8-10 juta pria
pernah terlibat dalam hubungan homoseksual.
Homoseksual terbagi menjadi dua yaitu gay dan lesbian. Gay merupakan sebutan
bagi seorang laki-laki yang mengalami homoseksual yakni menyukai sesama laki-laki.
Lesbian merupakan sebutan bagi perempuan yang menyukai sesama perempuan.
Ada tiga teori yang umum digunakan dalam memperdebatkan faktor penyebab
seseorang mengalami homoseksual yaitu nature, nurture dan kombinasi keduanya.
Perbedaan pandangan tersebut mengakibatkan munculnya istilah nativist dan empiricist.
Nativist merupakan golongan yang menekankan bahwa homoseksual disebabkan karena
adanya faktor heritabilitas (keturunan), keterkaitan gen dan karakteristik dasar (yang ada
sejak lahir) atau nature. Empiricist merupakan golongan yang lebih menitikberatkan pada
proses belajar, pengalaman dan pengaruh lingkungan atau nurture.
Golongan nativist telah melakukan eksperimen-eksperimen untuk membuktikan
adanya hubungan antara orientasi seksual –homoseksualitas– dengan faktor fisiologis. Satu
diantara penelitian itu dilakukan oleh D.F. Swaab pada tahun 1990. Swaab (1990)
melakukan bedah otak pada mayat laki-laki homoseksual dan mayat laki-laki heteroseksual.
Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui perbedaan fisiologis struktur anatomi otak
dari keduanya. Dalam penelitian tersebut, Swaab menemukan perbedaan pada sebagian
dari hipotalamus otak secara struktural.
Hipotalamus adalah bagian dari otak manusia yang secara langsung berkaitan
dengan fungsi dan dorongan seksual. Hipotalamus homoseksual memiliki ukuran inti
suprachiasmatic (SCN) dua kali lebih besar dibandingkan dengan hipotalamus
heteroseksual. Hasil penelitian ini didukung oleh Simon Levay yang telah melakukan
penelitian serupa pada tahun 1991. Levay menyimpulkan bahwa "Terdapat perbedaan
dalam mekanisme saraf pusat –yang mengendalikan perilaku seksual– antara laki-laki
homoseksual dan heteroseksual".
Penelitian ilmiah yang dilakukan oleh golongan nativist tersebut tidak membuat
golongan empiricist berubah perspektif. Golongan empiricist tetap berpendapat bahwa
faktor lingkungan merupakan faktor utama dalam pembentukan perilaku dan kepribadian
seseorang termasuk orientasi seksual. Dua contoh budaya yang berperan sebagai agen
penyebab ekspresi homoseksual yaitu di New Guinea dan Kreta. Beberapa suku di New
Guinea, anak-anak muda usia 8-15 tahun diinseminasi setiap hari oleh prajurit muda. Di
Kreta, setiap anak laki-laki remaja melakukan hubungan homoseks sebagai ritual peralihan
menuju kedewasaan. Dalam kedua kasus tersebut, homoseksualitas dapat diterima namun
sebagai paksaan bukan ekspresi alami.
Seorang psikiater, Dr. Charles W. Socarides dari Albert Einstein College of Medicine
di New York menulis jurnal yang berjudul Homosexuality: Basic Concepts and
Psychodynamics. Di dalam jurnal tersebut, ia mengatakan “Homoseksualitas –yaitu
pemilihan partner dari jenis seks yang sama untuk pemuasan seks– tidak ditentukan pada
saat kelahiran. Tidak ada hubungan antara naluri seks dan pemilihan objek pemuas seks.
Pemilihan objek seks yang demikian merupakan hal yang dipelajari, sikap yang
dikembangkan di kemudian hari, tidak ada bukti genetika untuk mendukung kecenderungan
memilih partner dari jenis seks yang sama maupun dari lawan seks”.
Terlepas dari teori nature dan nurture, teori kombinasi merupakan teori yang
menggabungkan kedua teori tersebut. Selain karena sudah ada gen tertentu dalam tubuh
yang menentukan orientasi seksual, orang tersebut juga mempunyai pengalaman dan
lingkungan yang semakin mendorongnya menjadi homoseksual. George A. Rekers, seorang
profesor pada bidang Neuropsychiatry and Behavioral Science dari University of Carolina
School of Medicine mengatakan “Untuk saat ini kami boleh dengan tegas berkesimpulan
bahwa sumber utama bagi penyimpangan tingkah laku seksual dan identitas seksual
disebabkan oleh lingkungan dan faktor-faktor penentu perkembangan kondisi psikis orang
itu > tetapi kami pun sadar akan adanya kemungkinan teoritis bahwa penyimpangan
biologis dapat menjadi potensi yang sangat berbahaya dalam mendukung penyimpangan
seksualitas secara tidak langsung”.
Dari ketiga teori tersebut, menurut saya teori kombinasi dapat lebih diterima. Teori
tersebut dapat diterima karena selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan
makhluk sosial. Ketika manusia diposisikan hanya sebagai makhluk individu, gen dapat
menjadi faktor yang paling dominan mempengaruhi dirinya untuk memilih orientasi
homoseksual. Selanjutnya, ketika seseorang bersosialisasi, lingkungan sudah mulai
memberikan pengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam proses sosial
(sosialisasi) terjadi interaksi sosial yang dinamis, saling mempengaruhi dan saling meniru.
Oleh sebab itu, keduanya (nature dan nurture) saling berkaitan dan memberi pengaruh satu
dengan yang lainnya.
Dari dua teori yang menjadi bahan perdebatan –nature dan nurture– belum ada yang
mengarah pada jawaban definitif. Belum ada kepastian bahwa faktor fisiologis (struktur
anatomi) dapat menentukan orientasi seksual seseorang, meskipun telah ada penelitian
yang dilakukan oleh golongan nativist (nature). Begitu juga dengan golongan empiricist
(nurture) yang telah melakukan pengamatan. Kita tidak dapat mengabaikan faktor
heritabilitas (genetis) yang sudah menjadi bagian dari setiap individu, meskipun mereka
telah mendapat kesimpulan bahwa lingkungan mempengaruhi perilaku homoseksual.
DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, L.S. (2008, 11 Maret). Homoseksual pada Remaja. Diakses pada 18 November 2009
dari luthfis.wordpress.com/homoseksual-pada-remaja/

Budianto, B. (2005, 19 Juli). Untung Aku Sudah Bukan Remaja Lagi. Pesan disampaikan
kepada mail-archive.com/id-gmail@googlegroups.com/msg58036.html

Johnson, R.D. (2003, 30 April). Homosexuality: Nature or Nurture. Diakses pada


19 November 2009 dari allpsych.com/journal/homosexuality.html

Artikel TAKDIR? Kebenaran Tentang Homoseksualitas (t. th). Diakses pada 18 November
2009 dari pancarananugerah.org/index.php?option=com_content&task=view&id=
24&Itemid=26

You might also like