You are on page 1of 121

DAFTAR ISI

Pengantar David Simon

Adebayo Adedeji Reginald Cline-Cole

Anil Agarwal Tim Forsyth

Elmar Altvater Henning Melber

Samir Amin M.A. Mohamed Salih

A.T. Ariyaratne Lakshman Yapa

Jagdish Bhagwati V.N. Balasubramanyam

Piers Blaikie Jonathan Rigg

James M. ‘Jim’ Blaut Ben Wisner

Norman Borlaug Katie Willis

Ester Boserup Vandana Desai

Harold Brookfield John Connell dan Barbara Rugendyke

Fernando Henrique Cardoso Roberto Sánchez-Rodríguez

Michael Cernea Anthony Bebbington

Robert Chambers Michael Parnwell

Hollis B. Chenery Juha I. Uitto

Diane Elson Sylvia Chant

Andre Gunder Frank Michael Watts

Paolo Freire Anders Närman

John Friedmann Gary Gaile

Mohandas (Mahatma) Gandhi Rana P.B. Singh

Susan George Cathy McIlwaine


Alexander Gerschenkron Robert Gwynne

Gerald K. Helleiner Christopher Cramer

Albert O. Hirschman John Brohman

Richard Jolly Jo Beall

Charles Poor Kindleberger Jan Toporowski

Sir William Arthur Lewis Morris Szeftel

Michael Lipton John Harriss

Reverend Thomas Robert Malthus W.T.S. (Bill) Gould

Mao Zedong Ton van Naerssen

Karl Marx Richard Peet

Manfred Max-Neef Rita Abrahamsen

Terence Gary McGee John P. Lea

Gunnar Myrdal Sarah Radcliffe

Kwame Francis Nkrumah Alfred Babatunde Zack-Williams

Julius Kambaragwe Nyerere Dani W. Nabudere

Raúl Prebisch Cristóbal Kay

Walter Rodney James Sidaway

Walt Whitman Rostow Ulrich Menzel

E.F. (Fritz) Schumacher Tony Binns

Dudley Seers Arturo Escobar

Amartya Kumar Sen Stuart Corbridge

Vandana Shiva Brenda S.A. Yeoh

Hans Wolfgang Singer John Shaw


Joseph Stiglitz Ben Fine

Paul Patrick Streeten Francis Wilson

James Tobin David Simon

Mahbub Ul Haq Marcus Power

Eric R. Wolf Reinhart Kößler dan Tilman Schiel

Peter Worsley Ronaldo Munck

Tentang kontributor 281

Indeks 291

PENGANTAR

Ajakan untuk menyunting buku ini terbukti sangat menarik, meskipun terdapat beberapa

komitmen editorial lain yang bersamaan. Yang pertama, keyakinan Routledge pada pasar

dengan titel studi pembangunan dalam seri yang mantap dan sukses, yang menjangkau

banyak bidang studi dan riset adalah membahagiakan. Lebih terutama lagi, saya

merasakan kesempatan untuk menangani kesenjangan yang sudah lama dirasakan dalam

literatur studi pembangunan, yakni referensi karya biografi dengan kualitas baik yang

membawa bersama-sama tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai bagian disiplin. Justru

karena sifat inter-(dan untuk tingkatan tertentu tetapi masih belum memadai multi-)

disiplin, sebagaimana juga teori maupun kebijakan yang sangat diuji, yang keduanya

telah berevolusi dengan cepat dalam bidang yang masih muda ini. Studi pembangunan

dengan mengherankan masih memiliki pusat atau inti yang belum berkembang. Dengan

konsekuen, terdapat pemahaman yang kurang mengenai peninggalan bersama atau

kelompok yang disepakati luas tentang tokoh dan personalitas terkemuka daripada,

misalnya, pada bidang yang sudah lama berdiri.


Lagipula, mayoritas riset akademik dan pengajaran masih berlangsung di dalam disiplin

tradisional, fitur yang baru-baru ini diperkokoh di Inggris dan beberapa negara Eropa lain

sebagai hasil penilaian riset terhadap disiplin yang ada saat ini dan audit budaya pada

tahun-tahun perampingan dan rasionalisasi dalam pendidikan yang lebih tinggi secara

keseluruhan. Lembaga-lembaga multidisiplin atau pusat-pusat studi pembangunan

dibentuk di berbagai negara di tengah optimisme dari tahun 1960-an dan awal 1970-an,

tetapi keberuntungan mereka yang berikutnya menjadi bercampuraduk. Di Amerika

Serikat, keutamaan disiplin akademik konvensional tidak pernah diuji dengan serius.

Pada tingkatan yang lain, bidang pembangunan sudah lama dirundung oleh perpecahan

nyata ‘kota versus gaun’ di antara para akademisi dan praktisi. Polemik Michael Edwards

(1989) mencerminkan dan memperburuk perasaan perpecahan itu, tetapi mengerjakan

fokus perhatian pada problem. Walaupun dia memperlunak pandangannya hanya dalam

beberapa tahun (Edwards 1993, 1994), menunjukkan kemajuan pesat menuju perbaikan

relasi yang telah dibuat, pada sekitar dekade terakhir dengan meyakinkan terlihat lebih

tersebar interaksi dan kolaborasi, menghasilkan penyempitan signifikan atas perpecahan.

Membuktikan vitalnya bidang ini, banyak buku-buku teks dan ikhtisar karangan ilmiah

ringkas baru-baru ini telah berusaha mengejar pesatnya perubahan dunia pasca-Perang

Dingin dan perdebatan sengit mengenai makna dan masa depan ‘pembangunan’. Namun,

meskipun pertanda nasib buruk pada akhirnya, dan apakah kita lebih menyukai untuk

mengindikasikan perspektif kontemporer dengan makna prefiks seperti anti- atau pasca-,

atau untuk membentuk kembali dan meremajakan istilah ‘pembangunan’ itu sendiri, tentu

saja banyak berlangsung perdebatan teoritis, riset yang secara konsep sulit dan

dinamisme dalam praktik yang digerakkan kebijakan.


Dengan demikian, seri ini bertujuan membuat kontribusi substansial melalui pencerminan

berpengetahuan mengenai kehidupan dan karya pemikir serta pelaku yang kemungkinan

berkembang di masa depan dalam bidang studi pembangunan yang didefinisikan secara

luas. Peringatan ke-50 pidato ‘Empat Poin’ Presiden Truman di tahun 1999 ditandai oleh

beberapa karya yang berhubungan dengan masa lampau sekaligus prospektif. Buku ini

akan melanjutkan tren tersebut, memeroleh dorongan oleh beberapa kematian tokoh

terkemuka baru-baru ini, dalam sebagian kasus merupakan sosok yang sangat

kontroversial, seperti Walt Rostow, Charles Kindleberger dan James Tobin. Sebagaimana

sebagian dari mereka yang terakhir bertahan pasca-Perang Dunia II mendorong

‘pembangunan’ negara-negara baru yang independen, berlalunya mereka juga

menyimbolkan perubahan generasi yang telah berlangsung dalam studi pembangunan.

Tantangan tersulit dalam memproduksi buku ini datang dari permulaan: bagaimana untuk

menyempitkan daftar panjang hampir 200 nama yang saya catat dalam waktu sangat

singkat menjadi hanya tersisa 50? Dengan cepat menjadi jelas bahwa tidak ada konsensus

universal akan dicapai, tanpa memandang pilihan akhirnya. Bahkan, ini dikonfirmasikan

melalui proses konsultasi dengan para sahabat, kolega, penerbit dan usulan-usulan

selanjutnya dari para penengah proposal untuk judul ini. Dalam mencapai daftar final,

saya tidak meragukan telah menghasilkan beberapa keputusan yang membuat sebagian

orang terkejut. Beberapa kontributor bahkan mengakui tidak mengenal sendiri seluruh 50

sosok ini, bisa jadi ini menggambarkan bias regional dan disiplin individu kita. Sedikit

kontroversi dalam bidang yang beragam dan menantang ini karenanya adalah baik dan

diperlukan.
Biarkan saya menjelaskan proses seleksi. Satu faktor yang membantu adalah sejumlah

cahaya terkemuka yang kontribusinya terhadap pembangunan lebih sebagai praktisi atau

aktivis daripada sebagai ‘pemikir’ yang dapat dikecualikan. Ini diterapkan misalnya

terhadap Chico Mendes, pahlawan para penyadap karet asli Amazon Brasil, yang dengan

brutal dibunuh pada tahun 1988 oleh agen-agen peternak dan perusahaan kayu

berpengaruh yang tindak perusakan mereka ditantang olehnya. Seiring ini terjadi, ia

masuk ke dalam Fifty Key Thinkers on the Environment (Palmer 2001). Yang menarik,

lima pemikir muncul baik pada titel di atas maupun pada volume ini (Thomas Malthus,

Karl Marx, Mohandas Gandhi, E.F. Schumacher dan Vandana Shiva), sementara Marx

dan Gandhi juga muncul dalam Fifty Major Political Thinkers (Adams dan Dyson 2003).

Pada kasus-kasus sedemikian, masing-masing masukan ditulis oleh para pengarang yang

berbeda dan membawa aspek atau interpretasi berbeda pula atas kontribusi mereka,

sehingga bagi pembaca dapat bermanfaat untuk merujuk pada lebih dari satu interpretasi.

Secara keseluruhan, pilihan Pemikir dimaksudkan untuk meningkatkan relevansi dan

sumbangsih buku ini dengan memiliki satu kelompok yang secara luas mewakili arus dan

gerakan berbeda di dunia pembangunan. Ini berarti untuk memastikan bahwa seluruh

dominasi Anglo-Amerika atas teori dan diskursus pembangunan (tidak hanya oleh

ekonom) ditantang melalui keterlibatan mereka yang bekerja dalam disiplin berbeda,

melalui periode waktu berbeda dan–secara krusial–bersentuhan dengan jalan hidup serta

kawasan geografi berbeda. Seri ini karenanya secara definisi merupakan suatu yang

berlangsung dengan sangat berbeda dari studi refleksi sendiri oleh 15 ekonom

pembangunan Utara yang terkemuka (dengan komentar dari para ekonom yang lebih

muda) dan dipesan Bank Dunia sekitar 20 tahun silam, ketika pembangunan ekonomi dan
pembangunan umumnya masih tergabung menjadi satu (Meier dan Seers 1987),

meskipun beberapa dari ekonom tersebut juga ditonjolkan di sini.

Para pembaca juga akan memerhatikan ketidakseimbangan gender yang tajam di antara

Para Pemikir yang dikemukakan di sini; ini mencerminkan dominasi kuat pria pada

sebagian besar area pemikiran pembangunan. Ilmu ekonomi merupakan pengecualian

sebagian, tetapi upaya-upaya untuk menyeimbangkan berbagai disiplin dan representasi

Utara versus Selatan dibuat untuk beberapa pilihan sulit. Satu kemungkinan penantang

wanita lain, Gro Harlem Brundtland, kepala Komisi Dunia untuk Lingkungan dan

Pembangunan PBB, ditonjolkan dalam titel Lingkungan pada seri ini (Palmer 2001).

Sedikit dari suara-suara (baik dari ‘Selatan’ maupun ‘Utara’) yang dimasukkan ke dalam

buku ini adalah jauh kurang terkenal ‘secara internasional’ daripada mereka seharusnya,

justru karena keterbatasan bahasa, budaya, disiplin dan geografi di mana yang di

bawahnya banyak dari kita bekerja dan yang–betapapun tidak dengan sengaja–terkadang

melestarikan penyederhanaan dan pemisahan yang kita klaim hendak menantangnya.

Karena itu, pencantuman mereka dengan sengaja, merupakan kontribusi kecil untuk

mengatasi keterisolasian dan mempromosikan poli-vokalitas dalam pembangunan,

sebagaimana sesuai dengan pendekatan pasca-kolonial.

Dengan serupa, satu atau dua orang seperti Norman Borlaug, leluhur Revolusi Hijau,

diikutkan karena visi mereka dan dampak mendalam dari hasil kerjanya, walaupun ini

bisa jadi dengan dapat diperdebatkan agak bersifat lebih ‘teknis’ daripada ‘konseptual’.

Namun, yang tidak terhindarkan, sebagian pilihan sulit harus dilakukan dalam

memandang batasan artifisial dari ke-50 pemikir. Misalnya, walaupun ‘teori sistem

dunia’-nya tidak diragukan lagi pengaruhnya, Immanuel Wallerstein telah ditinggalkan,


sebagian karena gagasannya terintegrasi langsung dengan lebih sedikit atas isu-isu

pembangunan daripada karya Jim Blaut yang berhubungan erat. Kriteria penting lain

untuk pencantuman, guna memungkinkan pencerminan ‘matang’ signifikansi atas

kehidupan dan kontribusi dari Para Pemikir, mereka seharusnya sudah dekat pada akhir

dari karir aktifnya, jika belum pensiun atau meninggal. Karena usia Studi Pembangunan

masih relatif muda–sebagaimana ditunjukkan oleh hanya Malthus dan Marx sebagai

Pemikir yang masuk daftar yang berasal dari abad ke-20–ini masih meninggalkan banyak

lingkup untuk kepentingan kekinian, sementara menghindari godaan bagi pengarang

untuk membuat penilaian prematur atau risiko kerikuhan personal.

Secara pribadi, proses editorial esai dan menyatukan mereka ke dalam buku yang

diharapkan kompak sangat menarik hati melampaui ekspektasi saya yang paling

optimistis. Bahkan, bukanlah merupakan tindakan membesar-besarkan untuk mengatakan

ia adalah tantangan yang paling mengganjar di mana saya pernah melakukannya hingga

saat ini. Pertama dan terutama, ia membawa saya ke dalam kontak langsung dengan dua

kelompok orang yang berbeda, para pengarang dan Pemikir, sebagian di antaranya saya

belum pernah bertemu sebelumnya atau mempunyai kontak dengan mereka. Sebagian

dari relasi baru ini tidak diragukan akan terus berlanjut. Menemukan kontributor yang

bersedia menulis mengenai Pemikir yang sudah diidentifikasi dan ditetapkan itu sendiri

merupakan suatu tantangan, terutama seiring saya meminta hanya satu masukan per

pengarang. Pada sebagian besar kasus, tugas ini terbukti secara mengherankan mudah,

bisa jadi karena gagasan mengenai buku ini juga tertangkap dalam imajinasi mereka.

Dalam beberapa contoh, adalah sulit untuk merekrut seorang penulis untuk Pemikir

tertentu atau untuk menyesuaikan kontributor yang bersedia menuliskan mengenai


Pemikir yang cocok tetapi belum ‘diambil’. Walaupun demikian, saya harus mengakui

efisiensi yang dengannya komitmen diubah menjadi esai-esai yang ditata dengan baik,

dan mayoritas dengan tenggat waktu yang disetujui, sebagai hasilnya terbukti

dimungkinkan untuk menghasilkan buku ini sesuai jadwal. Banyak penulis juga

menemukan riset dan penulisan mereka paling mencerahkan. Sebagian sebenarnya

mampu berkomunikasi, dan terkadang bahkan melakukan wawancara, kepada tokoh yang

sedang mereka kerjakan. Hasilnya, naskah tulisan ini sangat diuntungkan olehnya.

Dengan tidak terhindarkan, mencoba menangkap esensi kehidupan secara penuh dan

memesona, sebagaimana juga menilai kontribusi-kontribusi terakhir mereka, dalam

panjang tulisan sekitar 2.000 kata merupakan tantangan yang cukup signifikan.

Sumber inspirasi kedua saya sebagai editor adalah seberapa banyak saya telah memelajari

mengenai Para Pemikir dan kehidupan serta waktu mereka, tanpa memandang seberapa

banyak saya mengetahui mereka dan karyanya yang terdahulu. Ini mencerminkan

formula yang diadopsi oleh buku ini, yakni untuk menjalin ‘kisah-kisah’ biografi mereka

dan apresiasi atas karya serta peninggalan mereka.

Namun, yang ketiga, sekelompok kedalaman yang mengagumkan muncul seiring

karangan disunting dan diintegrasikan ke dalam buku naskah tulisan. Terutama ada dua

yang menjulang dan menjadi contoh ‘nilai tambah’ karangan ilmiah nan padat ini. Yang

pertama adalah dampak luar biasa rezim Nazi terhadap evolusi yang berikutnya dari Studi

Pembangunan melalui emigrasi atau pelarian banyak pengungsi pemuda Yahudi Eropa

(dan sebagian non-Yahudi) ke Inggris dan Amerika Serikat, di mana mereka kemudian

bangkit melalui universitas-universitas dan kantor politik sebagai kontributor

berpengaruh terhadap gagasan dan pendekatan yang muncul. Mereka yang selamat dari
genosida holocaust dan para pelariannya dengan mengejutkan banyak di antara Para

Pemikir yang terwakili di sini. Sementara banyak implikasi lain dari Perang Dunia II

yang kemudian berbuah menjadi Studi Pembangunan, seperti stimulus bagi perjuangan

pembebasan kolonial dan formulasi Marshall Plan, misalnya, adalah cukup dikenal, ini

tampaknya yang sebelumnya belum terdokumentasikan.

Kedua, dan agaknya lebih luas, pergeseran geopolitik serta perpecahan pada ‘akhir

kekaisaran’ yang diwakili oleh dekolonisasi membuka kemungkinan koneksi antar-

regional dan eksperimental yang baru, secara menarik bahkan penting. Ini mempunyai

pengaruh penting terhadap pemikiran yang selanjutnya dan karya Para Pemikir yang

terlibat. Ia dijadikan teladan oleh Arthur Lewis dan Walter Rodney, dua warga asli

Karibia yang belajar di Universitas London (nama yang pertama di tahun 1930-an dan

yang terakhir pada 1960-an) serta masing-masing kemudian sempat bekerja di Ghana dan

Tanzania. Juga ada contoh-contoh lain yang lebih dikenal. Berdekade-dekade

sebelumnya, pengalaman Gandhi memerangi rasisme di Afrika Selatan telah terbukti

memiliki kemungkinan berkembang di masa depan atas strategi berikutnya untuk

melakukan aksi langsung dan perlawanan tanpa kekerasan (Satyagraha) di India. Dengan

serupa, mayoritas suara-suara Utara dalam koleksi ini dengan mendalam dipengaruhi

ketika dibesarkan, berpergian dan/atau bekerja di bagian Selatan pada masa mudanya.

Kedalaman ketiga yang juga penting adalah interkoneksi yang kerapkali erat dan

berpengaruh di antara sebagian Pemikir di mana mayoritas orang saat ini terutama justru

tidak menghubungkannya dengan satu sama lain (misalnya Boserup, Lipton, Myrdal dan

Streeten dengan penghormatan pada studi Drama Asia pada 1960-an) –sesuatu yang

mungkin membantu menjelaskan proses interaksi yang menelurkan dan mempopulerkan


gagasan-gagasan kunci serta teori pada momen-momen penting sejarah pemikiran

pembangunan.

Kami berharap para pembaca akan mendapati buku ini mampu menstimulasi sebagai

bacaan yang baik sekaligus berguna untuk tujuan referensi. Bahkan, bisa jadi sebagian

akan berusaha mengeksplorasi kehidupan dan kontribusi dari tokoh-tokoh kunci lain di

bidang ini.

Referensi

Adams, I. dan Dyson, R.W. (eds) (2003) Fifty Major Political Thinkers, London dan

New York: Routledge.

Edwards, M. (1989) ‘Ketidakterkaitan Teori Pembangunan’, Third World Quarterly

11(1): 116-36.

—— (1993) ‘Seberapa Relevan Studi Pembangunan?’, dalam F. Schuurman (ed.),

Beyond the Impasse; New Directions in Development Theory, London: Zed.

—— (1994) ‘Memikirkan Kembali Pembangunan Sosial: Pencarian Relevansi’, dalam D.

Booth (ed.), Rethinking Social Development, Harlow: Longman.

Meier, G.M. dan Seers, D. (eds) (1984) Pioneers in Development, Oxford: Oxford

University Press.

Palmer, J.A. (2001) ‘Chico Mendes 1944-88’, dalam Palmer, J.A. (ed.), Fifty Key

Thinkers on the Environment, London dan New York: Routledge, halaman 302-7.

David Simon

Egham, Surrey

Maret 2005

Catatan mengenai referensi silang


Semua referensi silang di antara esai ditandai dalam teks dengan nama Pemikir yang

relevan dikutip dalam cetak tebal.

ADEBAYO ADEDEJI (1930–)

Dilahirkan pada tahun 1930 di Ijebu-Ode sebelah barat daya Nigeria, Adebayo Adedeji

menerima gelar doktor Ilmu Ekonomi dari University of London pada 1967, setelah

mengecap pendidikan Ilmu Ekonomi di level yang lebih rendah (BSc Hons, London,

1958) dan Administrasi Publik (Diploma, University College, Ibadan, 1954 dan MPA,

Harvard, 1961). Setelah semula bekerja sebagai pegawai negeri, dia bergabung ke

Universitas Ife (sekarang Universitas Obafemi Awolowo University, Ile Ife) di tahun

1963, menjadi Profesor Administrasi Publik pertama di Nigeria pada 1967 dan, sekaligus,

sebagai Direktur Institut Administrasi. Antara tahun 1971 dan 1975 dia menjabat Menteri

Ekonomi Perencanaan dan Rekonstruksi (pasca-perang sipil) Nigeria, sebelum bergabung

dengan PBB sebagai Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi untuk Afrika (UNECA)

dengan pangkat Asisten Sekretaris Jenderal di tahun 1975. Dia dipromosikan menjadi

Under-Secretary-General pada 1978. Dia mundur dari UNECA di tahun 1991 dan

kembali ke Ijebu-Ode di Nigeria, di mana Adebayo Adedeji membentuk sebuah lembaga

pemikir independen, Pusat Afrika untuk Pembangunan dan Studi Strategis (ACDESS), di

mana dia terus mengepalai sebagai Direktur Eksekutif.

Adedeji dengan jelas dipengaruhi oleh studinya dalam ilmu ekonomi pada waktu ketika

pemikiran pembangunan didominasi oleh gagasan teleologi (teori bahwa peristiwa dan

perkembangan dimaksudkan untuk memenuhi suatu tujuan dan terjadi karena itu) serta

pertumbuhan. Namun, pengaruh ini terlihat berjalan dalam suatu cara yang ‘menghina’,

dalam pengertian, pertama, mengajarkan berulang-ulang dan, berikutnya, memperkuat


apa yang terlihat sebagai keyakinan yang tidak terguncangkan mengenai

ketidakmampuan warisan kebijakan pembangunan dan ketidakcocokan praktik

pembangunan konvensional untuk memberi respons memadai terhadap kompleksitas

dinamis kondisi dan realitas Afrika pasca-kemerdekaan. Ia karenanya bisa jadi dalam

artikulasi visi ‘nasionalis’ yang progresif tetapi dengan kawasan benua yang makin (dan

dengan keanekaragaman) terintegrasi, Afrika mengamankan dirinya sendiri dan dinilai

sebagai anggota integral komunitas global, di mana terletak kontribusi Adedeji yang

paling signifikan terhadap pemikiran pembangunan. Namun, secara luas dipandang lebih

pada kontribusinya, untuk mempromosikan penggarapan cermat strategi pembangunan

asli Afrika, Adedeji juga menggambarkan demonstrasi vital dampak di mana penempatan

yang terampil atas pengelolaan pembangunan dapat berkontribusi terhadap kebijakan dan

perencanaan, guna memikirkan ulang praktik serta untuk memperluas strategi. Karena

itu, dalam analisis komprehensif dan bertalian logis terhadap kontribusi Adedeji bagi

pemikiran dan praktik pembangunan hingga saat itu, Asante (1991) mengakui

sumbangsih dari para kolega yang sepaham di UNECA bagi formulasi gagasan-gagasan

mengenai pembangunan Afrika yang dengan erat dikaitkan dengan sosok Adedeji.

Asante juga memerhatikan bagaimana masa jabatan Adedeji selaku Sekretaris Eksekutif

UNECA menyediakan platform yang tidak tergantikan bagi penyebaran ide-ide ini,

menegaskan bahwa dimulainya tantangan Adedeji yang berkelanjutan terhadap pemikiran

pembangunan ortodoks dari perspektif Afrika adalah berbarengan dengan kebangkitan

kritik-kritik radikal berbasis di Amerika Latin oleh Andre Gunder Frank dan Michael

Todaro, sementara peran Adedeji di UNECA berdiri sejajar dengan yang diperankan

Raúl Prebisch di ECLAC/CEPAL (Komisi Ekonomi untuk Amerika Latin dan Karibia).
Pemikiran Adedeji tentang pembangunan Afrika mempunyai asal-mulanya dalam

peragian dekolonisasi (proses mengakhiri penjajahan suatu daerah), kemunculan

pembangunan pasca-perang sebagai perubahan sosial ekonomi yang telah direncanakan

dan bertumbuhnya kekurangan bukti untuk benefit signifikan yang terjadi pada masa

awal pasca-kemerdekaan (Adedeji 1977, 1981). Ia juga tidak diragukan lagi dipengaruhi

oleh perdebatan yang berlangsung di dalam dan di sekitar ECLAC, dan menarik inspirasi

dari karya Raúl Prebisch serta, pada derajat yang lebih sedikit, Arthur Lewis, walaupun

dia berbeda dalam penghargaan-perhargaan penting dan hampir pasti tidak pernah

mempertimbangkan dirinya sendiri sebagai seorang yang memiliki ketergantungan

(Asante 1991). Maka tidak mengejutkan, kalau dia segera mempertanyakan mengenai

kebijaksanaan mengombinasikan pertumbuhan ekonomi dan perubahan material

(indikator yang sudah dikuantifikasi–atau sarana–pembangunan) dengan proses yang

kurang mudah diukur (karena sebagian besar adalah kualitatif dan terus-menerus

berkembang)–atau tujuan akhir–pembangunan di mana, bagi dia, adalah selalu kompleks,

holistik dan berpusatkan pada manusia, selain itu untuk mencakup ekonomi sebagaimana

juga sosial, budaya, lingkungan, politik serta bentuk-bentuk lain dari perubahan dan

transformasi non-ekonomi. ‘Pembangunan’, sebagaimana dia dikutip, ‘merupakan

tanggungjawab kolektif di mana semua harus berbagi dalam tenaga kerja sebagaimana

juga hasil’, ketika ‘masyarakat menjadi tujuan akhir dan sarana pembangunan, maka

kepentingan, nilai-nilai dan aspirasi mereka semestinya menentukan isi, strategi dan

modalitas dari pembangunan [seperti itu]’ dan, dalam prosesnya, bertindak memastikan

bahwa pembangunan tetap berlabuh pada kaitan sosial budaya, politik dan sejarah

(Asante 1991: 6). Bagi dia juga, pengalaman aktual Afrika pasca-perang atas
pembangunan beragam secara signifikan dari cita-cita ini, sebagian karena, berbagai

label-label deskriptif, sekalipun kebijakan dan taktik yang diadopsi diwariskan daripada

ditumbuhkan sendiri, dan karenanya sangat bernuansa peniruan dan bukannya kreatif

atau secara lokal responsif dan bersifat alami. Kedua, usaha-usaha pembangunan gagal

untuk mengubah status ketergantungan, atau bahkan menstimulasi distribusi ulang

kekayaan atau kesempatan, perekonomian Afrika dengan signifikan--walaupun

bervariasi--selalu memiliki ketergantungan tinggi atas strategi-strategi menguntungkan

pada sumber daya eksternal untuk input (masukan) dari segala hal serta seiring pasar

benua ini adalah terutama pada komoditas-komoditas primer (Adedeji 1981). Dia

mengemukakan, pembangunan juga dengan rutin gagal mempertimbangkan masyarakat

sebagai subjek daripada objek, dan, dengan demikian, mengabaikan penyebab rasa

kepemilikan di antara sebagian besar rakyat Afrika yang disangka merupakan target dan

penerima manfaat dari intervensi pembangunan (Adedeji 1977).

Oleh karena itu, pada pertengahan 1970-an, dan dalam pandangan Adedeji, apa yang

begitu diperlukan adalah rute menuju ‘dekolonisasi ekonomi’, melibatkan, di antaranya,

‘pem-pribumi-an’ pembangunan nasional dan ekonomi benua, serta menggembleng

Afrika yang,

Telah mewarisi atau meminjam kebijakan pembangunan sebagaimana juga teori politik,

[akan selanjutnya mampu] membangkitkan asumsi-asumsi ekonominya sendiri dan

mendesain orientasinya, sebagaimana ia datang untuk menolak banyak dari hukum neo-

kolonial beserta peninggalan organisasionalnya.

(Adedeji dan Shaw 1985: 3)


Adalah visi ini, didorong sebagian oleh keyakinan kokoh bahwa pertumbuhan ekonomi

semata-mata sebuah sarana pada akhir restrukturisasi ekonomi yang lebih diinginkan,

juga reformasi kemasyarakatan dan transformasi nasional/benua guna meningkatkan

kebergantungan pada diri sendiri (Adedeji 1977), yang memberi informasi untuk sikap

tegasnya atas kebutuhan strategi alternatif hasil formulasi Afrika bagi pembangunan

benuanya sendiri. Yang patut diperhatikan di antara elemen-elemen strategi seperti ini,

sebagaimana didetailkan dalam Rencana Aksi Lagos (LPA) tahun 1981, adalah hak

istimewanya untuk meningkatkan kebergantungan atas diri sendiri (mensyaratkan

penguatan kapasitas dan pembangunan kompetensi) serta kesinambungan oleh diri

sendiri (melibatkan baik pedesaan–perkotaan, integrasi pasar sektoral maupun nasional);

kekritisannya atas peran perdagangan luar negeri sebagai mesin pertumbuhan (sebagai

pendahuluan bagi promosi stimulus permintaan internal dengan membebani permintaan

pasar eksternal); usahanya untuk memisahkan, paling tidak secara konseptual, perubahan

internal sosial-ekonomi dari kinerja pasar ekspor; dan penolakannya terhadap asumsi

korelasi positif –daripada negatif–antara ekspansi perekonomian negara maju dan negara

berkembang (Adedeji 1985; OAU 1980).

Walaupun ia tidak menganjurkan autarki, LPA masih setara dengan ‘bidah’

pembangunan dalam penentangan terdepannya terhadap tujuan politik-ekonominya.

Tidak hanya ia mewakili ‘deklarasi politik, strategi pembangunan, sekelompok prioritas,

tindakan program-program sektoral, serta suatu cetak biru bagi integrasi regional dan

subregional’, tetapi ia juga mengargumentasikan ‘kepergian lengkap dari masa lalu…

penggantian…suatu strategi pembangunan yang memandang ke dalam bagi peninggalan


yang berorientasi eksternal [dan] meletakkan pembangunan pasar domestik daripada

ketergantungan pada pasar luar negeri di jantung …pembangunan…’ (Adedeji 1985: 15).

Penentangan seperti ini bermakna sedikit; sebuah tujuan kunci LPA adalah, pada

akhirnya, bagi Afrika dan rakyatnya untuk pulih, melalui kekuatan transformatif

pembangunan yang demokratis/populer, perasaan keyakinan diri yang sudah lama

dikerdilkan oleh perbudakan, kolonialisme dan neo-kolonialisme (Adedeji 1977). Lebih

jauh lagi, dengan menonjolkan keseimbangan dinamis antara autarki dan kerentanan,

LPA dipandang memiliki fleksibilitas yang cukup dan potensi untuk mengindikasikan

jalan keluar dari krisis ekonomi (Adedeji dan Shaw 1985). LPA menstimulasi perdebatan

yang meluas, menghasilkan kritik-kritik, serta bahkan menyediakan kerangka kerja bagi

pembentukan kebijakan dan implementasi strategi-strategi; ia perlu dipahami sebagai

bagian proses yang lebih besar guna mengkonstruksi filosofi pembangunan Afrika, satu

yang juga menyoroti peran UNECA ‘dalam pasar internasional ide-ide terutama

mengenai Afrika dan secara umum tentang pembangunan’ (Asante 1991: 46).

Walaupun kapasitasnya untuk menghadapi keterbatasan-keterbatasan yang ada dan

potensi untuk berkontribusi terhadap keberlanjutan jangka panjang (Adedeji dan Shaw

1985), penerapan LPA lambat, terhambat sebagian oleh krisis ekonomi di tahun 1980-an

tetapi sebagian juga oleh sifat alami berangsur-angsur atas perubahan kebijakan/proses

reformasi yang diangan-angankan (Adedeji 1985). Dikonfrontasi oleh krisis pada tahun

1980-an dan 1990-an, para pembuat kebijakan, perekonomian dan masyarakat Afrika

berkonsentrasi pada keberlangsungan sesaat daripada transformasi jangka panjang,

dengan kebijakan kunci ekonomi makro didikte oleh interpretasi dan rekomendasi yang

terdapat dalam Laporan Berg (Bank Dunia 1981), sangat antitesis dari LPA, di mana ia
berdiri dalam kontradiksi fundamental, tidak hanya pada penentangannya atas

kemandirian dan keberlanjutan pembangunan serta preferensinya bagi orientasi ekspor,

prinsip pasar dan negara minimal (Adedeji 1985). Sebagai respons, Adedeji dan para

koleganya di UNECA menghasilkan Kerangka Kerja Alternatif Afrika bagi Program

Penyesuaian Struktural untuk Pemulihan Sosial-Ekonomi dan Transformasi (AAF-SAP),

mencakup sejumlah diagnosa mengenai akar penyebab keterbelakangan ekonomi Afrika

serta kombinasi krisis politik dan sosial ekonomi yang mendera Benua Hitam itu, yang

semula dibahas di LPA (UNECA 1989). Seperti LPA, AAF-SAP dipandang penting bagi

masa depan pembangunan di Afrika; ia merupakan ‘landasan peluncuran ke dalam

dekade baru dan sesudahnya’ (Adedeji 1990: 112). Adedeji menggunakan AAF-SAP

sebagai basis untuk menantang logika, kebijaksanaan dan etika dari

penyesuaian/reformasi ortodoks, terutama mantranya bahwa ‘There Is No

Alternative/Tidak Ada Alternatif’ (TINA), dengan mengatakan lagi bahwa AAF-SAP

mewakili sebuah alternatif yang berpusatkan pada manusia, konsisten dengan tujuan-

tujuan pembangunan yang diidentifikasi dalam LPA, dan menganjurkan kombinasi

‘tujuan jangka pendek stabilisasi dan pengaturan struktural [dengan] persyaratan-

persyaratan restrukturisasi jangka panjang’ (Adedeji 1990: 71). Dia berpegang teguh

pada prinsip bahwa akan tidak bijaksana bagi tindakan-tindakan penyesuaian struktural

ortodoks pada tahun 1980-an untuk dilanjutkan ke era 1990-an, dan memperingatkan

kalau ini akan menjerumuskan benua itu ke dalam spiral yang mengarah ke bawah dan

akan sangat sulit untuk dipulihkan. Bersama-sama, LPA dan AAF-SAP dapat--dengan

perluasan--dipandang di antara kontribusi Adedeji yang paling mungkin berkembang di

masa depan bagi pemikiran pembangunan; bahkan, dia akan (dan bisa jadi) menyetujui
pesan bersama mereka: ‘tidak ada program pengelolaan atau pembangunan yang masuk

akal jika ia membuat masyarakat dengan tidak menentu menjadi lebih sengsara’. Adalah

tidak mengejutkan, kemudian, bahwa Adedeji (2002: 4) kurang optimistis bahwa baik

LPA maupun AAF-SAP ‘ditentang, dirongrong dan dibuang muatannya oleh lembaga-

lembaga Bretton Woods’ yang dengan cara ini menghalangi rakyat Afrika ‘untuk

menggunakan hak dasar dan fundamentalnya guna memutuskan masa depan mereka’.

Kepergian Adedeji dari UNECA pada tahun 1991 tidak menandai akhir sumbangsih dia

terhadap pemikiran dan pengelolaan pembangunan di Afrika. Tentu saja, di ACDESS,

yang menurut Julius Nyerere, sang presiden pendiri Dewan Penyantunnya, dibentuk

sebagai respons terhadap persepsi ‘kurangnya peluang untuk berekspresi, berdebat dan

menguji…gagasan-gagasan dalam suatu lingkungan terbuka, dalam konteks Afrika, dan

menurut kepemimpinan Afrika…didedikasikan untuk memikirkan masa depan Afrika’,

Adedeji telah menciptakan wahana demi keberlanjutan upaya mengejar ketertarikannya

mengenai ‘pemikiran strategis dan prospektik tentang Afrika’ (Adedeji 1993). Bisa jadi,

dengan sama pentingnya, ia merupakan wahana di mana seperti UNECA, dan melalui

program riset/pelatihan, konsultasi/kepenasihatan operasi dan layanan, serta konferensi

nasional dan internasionalnya yang periodik, memfasilitasi keberlanjutan interaksi

dengan (dan di antara) para politisi, pembuat kebijakan, birokrat, perencana, teknokrat,

LSM, organisasi-organisasi (sub-)regional dan lembaga internasional, universitas serta

institusi riset akademik, dengan demikian memungkinkan Adedeji untuk terus

‘mengombinasikan teori dengan pengalaman praktis’ (Asante 1991), dan riset mengenai

aplikasi kebijakan (Adedeji 1999).


Refleksinya baru-baru ini dengan berpergian di lapangan Afrika, dari LPA ke NEPAD

(Kemitraan Baru Ekonomi untuk Pembangunan Afrika) adalah bersifat instruksi terkait

pandangan ini (Adedeji 2002). Menyusul representasi menguntungkan dari NEPAD

sebagai usaha pembaruan pan-Afrika guna mengaktifkan kembali integrasi intra- dan

antar-Afrika sebagaimana juga menghidupkan lagi kemitraan Afrika dengan masyarakat

internasional, dan kehati-hatian dia terhadap pengejaran tujuan-tujuan NEPAD dengan

merugikan prinsip transformasi struktural dan diversifikasi sosial ekonomi LPA. Menurut

dia, NEPAD seharusnya mengenai ‘sumber daya dan kebijakan…para kolega

internasional diabdikan guna mencapai tujuan pembangunan Afrika dengan memiliki

determinasi’ (Adedeji 2002: 17). Pada bagian ini sebagaimana dalam banyak dari

intervensinya yang terdahulu, dia memfokuskan ulang perhatian pada pelestarian mandiri

dan kehendak politik (kolektif). Tetapi dia juga menegaskan kembali bagian lain dari

pesannya yang sejak lama: bahwa pengejaran Afrika terhadap pembangunan yang

berkelanjutan perlu dimulai dengan keberhasilan dalam perjuangan jangka panjang untuk

‘mem-pribumi-kan’ paradigma, strategi dan agenda yang harus menuntun sifat, langkah,

arah dan dinamika dari segala macam pembangunan tersebut. Ia merupakan perjuangan

dan dia berharap hal itu akan terus berlangsung.

Karya-karya utama

Adedeji A. (1977) Africa: The Crisis of Development and the Challenge of a New

International Economic Order, Addis Ababa: Komisi Ekonomi untuk Afrika.

—— (1989) Towards a Dynamic African Economy: Selected Speeches and Lectures

1975–1986, London: Frank Cass.


—— (1990) Structural Adjustment for Socio-Economic Recovery and Transformation:

The African Alternative; Selected Statements, Addis Ababa: Komisi Ekonomi PBB untuk

Afrika.

Komisi Ekonomi untuk Afrika (ECA) (1989) The African Alternative Framework to

Structural Adjustment Programs for Socio-Economic Recovery and Transformation

(AAF-SAP), Addis Ababa: ECA.

Organisasi Persatuan Afrika (OAU) (1980) Lagos Plan of Action for the Economic

Development of Africa, 1980–2000, Addis Ababa: OAU.

Bacaan lanjutan

Adedeji A. (1981) ‘Latar belakang umum pem-Pribumi-an: Ketergantungan Ekonomi

Afrika’, dalam Adedeji A. (ed.), Indigenisation of African Economies, London:

Hutchinson.

—— (1985) ‘Strategi Monrovia dan Rencana Aksi Lagos: Lima Tahun Sesudahnya’,

dalam Adedeji A. dan Shaw, T.M. (eds), Economic Crisis in Africa: African Perspectives

on Development Problems and Potentials, Boulder, CO: Lynne Rienner.

—— (1993) ‘Marjinalisasi dan Marjinalitas: Konteks, Isu dan Sudut Pandang’, dalam

Adedeji A. (ed.), Africa within the World: Beyond Dispossession and Dependence,

London: Zed Books.

—— (1999) ‘Memahami Konflik-konflik Afrika’, dalam Adedeji A. (ed.),

Comprehending and Mastering African Conflicts: The Search for Sustainable Peace and

Good Governance, London: Zed Books.


—— (2002) ‘Dari Rencana Aksi Lagos hingga NEPAD dan dari Penetapan Final Lagos

sampai pada Hukum Konstitutif: Ke mana Afrika?’, pidato utama kepada Forum Afrika

bagi Visi Afrika, Nairobi, 26-29 April.

Adedeji A. dan Shaw, T. (1985) ‘Pengantar: Kondisi dan Proyeksi Afrika bagi Masa

Depan’, dalam Adedeji A. dan Shaw, T.M. (eds), Economic Crisis in Africa: African

Perspectives on Development Problems and Potentials, Boulder, CO: Lynne Rienner.

Asante, S.K.B. (1991) African Development: Adebayo Adedeji’s Alternative Strategies,

Borough Green, Sevenoaks, Kent: Hans Zell.

Onimode, B. (ed.) (2004) African Development and Governance Strategies into the 21st

Century: Looking Back to Move Forward. Essays in Honour of Adebayo Adedeji at 70,

London: Zed Books.

Onimode, B. dan Synge, R. (eds) (1995) Issues in African Development: Essays in

Honour of Adebayo Adedeji at 65, Ibadan: Heinemann.

Sanmi-Ajiki, T. (2000) Adebayo Adedeji: A Rainbow in the Sky of his Time. A Biography,

Lagos: Newswatch Books.

Bank Dunia (1981) Accelerated Development in Sub-Saharan Africa: An Agenda for

Action, Washington, DC: Bank Dunia.

Reginald Cline-Cole

ANIL AGARWAL (1947–2002)

Seorang aktivis, jurnalis dan terdidik, Anil Agarwal merupakan pencinta lingkungan

terkenal di India yang mendefinisikan kembali masalah-masalah lingkungan melalui mata

rakyat miskin, dan yang tidak takut menentang organisasi-organisasi dan pemerintahan

yang berkuasa demi melaksanakan misinya tersebut. Semasa bangkitnya


environmentalisme (-isme lingkungan) pada tahun 1960-an dan 1970-an, menjadi lazim

untuk menyalahkan rakyat miskin atas masalah lingkungan melalui tindakan-tindakan

seperti pertumbuhan populasi dan penggundulan hutan. Agarwal adalah salah satu

pengkritik pertama yang menentang generalisasi ini, dan sebagai gantinya berfokus pada

pertanyaan-pertanyaan seputar keadilan internasional dalam politik lingkungan dan

pilihan serta risiko yang dihadapi oleh rakyat miskin. Agarwal mewariskan berbagai

peninggalan. Dia mendirikan lembaga pemikir India, Pusat Sains dan Lingkungan, yang

saat ini tetap menjadi salah satu sentral terkemuka dari pemikiran kritis mengenai

lingkungan dan pembangunan. Namun, secara lebih konseptual, Agarwal merupakan

pelopor dalam perdebatan-perdebatan yang saat ini disebut sebagai studi ekologi politik

dan sains-teknologi. Daripada sekadar menerima penjelasan mengenai lingkungan dari

organisasi-organisasi besar yang secara sains dan politik netral, Agarwal berusaha

mengekspos dasar politik dari tiap pernyataan kausalitas, dan menunjukkan bagaimana

ilmu pengetahuan seperti itu melegitimasi atau mendelegitimasi kebijakan-kebijakan

yang berbeda. Dia mendemonstrasikan bagaimana keadilan, sebagai sebuah konsep,

dapat diintegrasikan ke dalam kebijakan lingkungan di antara Utara dan Selatan. Agarwal

juga membawa gayanya sendiri dalam memengaruhi dunia politik, melalui kombinasi

karya ilmiah, jurnalisme yang tajam dan kampanye politik nan hati-hati.

Agarwal dilahirkan di Kanpur di Uttar Pradesh pada tahun 1947, putera dari seorang tuan

tanah lokal. Dia mengeyam pendidikan di Institut Teknologi India di Kanpur, di sana dia

belajar di jurusan teknik mesin, dan memeroleh informasi mengenai teknologi yang pada

kemudian hari mencirikan tulisan-tulisannya. Dalam suatu perubahan arah karir, di tahun

1973, Agarwal menjadi koresponden sains di Hindustan Times. Pada 1974, dia menulis
tentang pergerakan Chipko di Himalaya India, di mana para warga desa lokal menentang

kegiatan penebangan pohon, dan yang baru-baru ini menjadi ikon perjuangan lingkungan

lokal di Selatan. Tulisannya menarik perhatian internasional, dan di tahun 1979 dia

memenangkan A.H. Boerma Award pertama yang diberikan oleh badan PBB, Organisasi

Pangan dan Pertanian (FAO) di Roma.

Pada 1980, Agarwal mendirikan Pusat Sains dan Lingkungan (CSE) di Kota New Delhi.

CSE adalah baru karena ia merupakan organisasi non-pemerintah yang berfokus pada

persoalan-persoalan lingkungan, dan yang berusaha memengaruhi pemerintah India serta

perusahaan-perusahaan trans-nasional, peran yang terus dimainkannya sekarang ini. Pada

waktu itu, kelompok-kelompok lingkungan arus utama di India cenderung berfokus pada

konservasi, terutama konservasi hutan belukar dan kehidupan satwa liar, sebagai

perhatian utama mereka. Namun, CSE, justru menyoroti risiko lingkungan yang dihadapi

warga miskin di India pada ketika mata pencarian mereka dihadapkan pada kemerosotan

perekonomian tradisional di wilayah pinggiran yang berbasiskan biomassa (jumlah

keseluruhan benda hidup di suatu daerah) dan ketika industrialisasi bertumbuh. Agarwal

mengomunikasikan pandangan-pandangan ini secara luas melalui editorial jurnal CSE,

Down to Earth, yang meliputi suplemen untuk anak-anak, yakni Gobar Times. Banyak

dari tulisannya diterjemahkan ke dalam bahasa Hindi, Kannada dan bahasa-bahasa India

lainnya.

Pendekatan yang diadopsi oleh Agarwal dan CSE mulai memengaruhi perdebatan lebih

luas mengenai makna ‘pembangunan berkelanjutan’. Laporannya mengenai The State of

India’s Environment, ditulis dengan para kolega di CSE sejak 1982, menentang basis

paling elite dari lingkungan hidup, dan berusaha menggambarkan lingkungan sebagai
problem politik yang sebagian mencerminkan perpecahan berbasis kelas dan

menginternasional atas kekuasaan dan kekayaan. Para analis melukiskan pendekatan ini

sebagai ‘environmentalisme merah–hijau’–yang mengakui sumber daya maupun mata

pencarian–daripada sekadar pendekatan ‘hijau’, yang menekankan pada konservasi saja.

Agarwal juga meyakini bahwa pemikiran pembangunan ortodoks adalah keliru untuk

menempatkan keyakinan pada kecepatan pertumbuhan ekonomi sebagai sarana utama

guna mencapai pembangunan sosial. Dia mengusulkan bahwa suatu konsep baru ‘produk

alami bruto’ seharusnya menggantikan ‘produk nasional bruto’ guna mengekspresikan

dampak pertumbuhan terhadap lingkungan dan mata pencarian. Agarwal juga sensitif

terhadap peran wanita dalam perlindungan sumber daya, dan menjadi rentan atas risiko

lingkungan hidup. Dia berpendapat kalau kemiskinan dan lingkungan adalah saling

berhubungan, tetapi masyarakat miskin biasanya lebih protektif terhadap sumber daya

daripada pandangan umum selama ini, dan bahwa kebijakan ekonomi seharusnya

didesain lebih erat untuk mengatasi kemiskinan.

Karena tulisan-tulisannya yang seperti itu, baik Agarwal maupun CSE dengan cepat

mengembangkan reputasi internasionalnya. Sejak tahun 1983 hingga 1987, Agarwal

mengepalai Pusat Penghubung Lingkungan Internasional (ELCI), suatu jaringan pencinta

lingkungan berbasis di Nairobi. Karyanya dilaporkan dalam majalah New Scientist dan

Economist yang berbasis di Inggris, sebagaimana juga koran, Le Monde (Prancis) dan

Asahi Shimbun (Jepang). Pada tahun 1986, Perdana Menteri India, Rajiv Gandhi,

mengundang dia untuk berpidato di hadapan Dewan Uni Menteri, dan menganugerahkan

dia Padma Shri Award. Agarwal kemudian diminta berpidato di hadapan seluruh 27

anggota Komite Konsultatif Parlemen di India guna mengedukasi anggota parlemen


mengenai kekhawatiran dan kepedulian dia, serta memulai diskusi-diskusi untuk

mengidentifikasi solusi. Di tahun 1987, dia terpilih ke dalam Global 500 Honor Roll dari

Program Lingkungan PBB.

Banyak dari tulisan Agarwal mencakup sikap kritis terhadap sains lingkungan, terutama

pernyataan yang menyalahkan warga miskin sebagai penyebab kemerosotan lingkungan.

Sebagai gantinya, dia mendesak apresiasi yang lebih holistik terhadap kondisi sosial dan

politik yang membuat perubahan lingkungan menjadi problematik, dan bagaimana solusi

yang diajukan dapat memperburuk ketidakadilan sosial. Melukiskan keyakinan yang

kerapkali dikutip bahwa penebangan hutan di dataran tinggi menyebabkan banjir di

dataran rendah Himalaya, misalnya. Agarwal berpendapat fenomena banjir disebabkan

oleh berbagai faktor termasuk desakan air di dataran rendah, daripada sekadar

penggundulan hutan di dataran tinggi. Oleh sebab itu, kebijakan-kebijakan perlu

mempertimbangkan bagaimana sumber daya (dan akses terhadap sumber daya) telah

berubah, dan bagi siapa, bukannya sekadar mekanisme pengendalian sederhana terhadap

aliran air atau pemanfaatan hutan. Dia menulis dalam Down to Earth pada 1987,

Banjir dan pergeseran alur sungai…tidak terhindarkan. Penggundulan hutan dapat

mempertajam masalah tetapi penghijauan tidak dapat menghilangkan ini. Tanggul-

tanggul dan bendungan menjadi penyebab penting terjadinya banjir. Kita memerlukan

manajemen banjir yang lugas, bukan sekadar pengendalian banjir.

Kritik pernyataan sains populer dan kekhawatiran mengenai keadilan sosial ini juga

memengaruhi karya Agarwal dalam politik lingkungan internasional. Dalam salah satu

karyanya yang paling termasyhur, Global Warming in an Unequal World (dikarang

bersama dengan Sunita Narain di tahun 1991), Agarwal mengkritik kecenderungan bagi
sebagian analis untuk berasumsi bahwa perubahan iklim seharusnya dihadapi dengan

mengendalikan penggundulan hutan di negara-negara berkembang. Terutama, Agarwal

dan Narain mengecam laporan yang dirilis lembaga pemikir berbasis di Washington DC,

World Resources Institute, yang menempatkan tanggungjawab nasional untuk emisi gas

rumah kaca berdasarkan pada indeks yang sebagian besar bergantung pada tingkat

perusakan hutan serta emisi metana dari ternak dan padi basah yang terjadi sekarang ini.

Laporan itu menempatkan tiga negara berkembang Brasil, India dan China di antara

enam negara pengemisi terbesar.

Agarwal dan Narain menyanggah laporan tersebut dengan berbagai landasan. Yang

pertama, laporan didasarkan pada emisi total nasional, dan bukannya emisi per kapita,

yang, tentu saja, lebih kecil di negara-negara berkembang dibandingkan di negara maju.

Kedua, indeks menggunakan perkiraan yang sangat disederhanakan baik untuk

penggundulan hutan maupun emisi metana. Misalnya, perkiraan emisi metana padi basah

diekstrapolasi secara global dari data Italia; penggundulan hutan diperlakukan secara

seragam, tanpa pembedaan antara penebangan pohon untuk diekspor kembali dengan

produksi makanan rumah tangga kecil; serta tidak ada catatan mengenai dampak vegetasi

yang mungkin menggusur hutan. Ketiga, indeks berfokus terutama pada penggundulan

hutan tropis yang terjadi sekarang ini, dan tidak mempertimbangkan penggundulan hutan

di masa lampau yang terjadi pada negara maju (yang penting sebagaimana gas-gas rumah

kaca dapat bertahan hingga bertahun-tahun). Keempat, dan bisa jadi yang paling penting,

indeks tidak merujuk pada pertanyaan-pertanyaan mengenai keadilan sosial dalam emisi

gas rumah kaca, seperti mengakui bahwa banyak penebangan liar di negara berkembang

mungkin saja terjadi akibat himpitan kemiskinan dan demi menghasilkan makanan,
sementara di negara maju mengonsumsi bahan bakar fosil dapat dihubungkan dengan

kemakmuran penduduknya. Kritik Agarwal dan Narain terhadap indeks ini merupakan

batas air dalam politik lingkungan hidup internasional, dan mendemonstrasikan bahwa

laporan ilmiah mengenai problem lingkungan seharusnya tidak dipertimbangkan netral

secara politis, tetapi berisikan implikasi politik yang mendalam mengenai aktivitas mana

yang dipandang merusak atau tidak, dan negara atau masyarakat mana yang dinilai

bertanggungjawab. Agarwal bekerja dengan tema ini semasa mendekati KTT (Konferensi

Tingkat Tinggi) Bumi Rio 1992 (Konferensi PBB tentang Lingkungan dan

Pembangunan), dengan menjadi penasihat untuk Perdana Menteri India, P.V. Narasimha

Rao, dan mantan Presiden Tanzania, Julius Nyerere, di South Centre di Jenewa, dan

bergabung dengan delegasi resmi India dalam konferensi Rio. KTT Rio berisikan banyak

diskusi mengenai keberlanjutan pembangunan, dan memfasilitasi penandatanganan

Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, dan Konvensi tentang

Keanekaragaman Hayati.

Karya Agarwal setelah KTT Rio meliputi perhatian baru terhadap masalah lingkungan

perkotaan, dan terhadap keadilan globalisasi ekonomi. Terutama, dia memelajari

bagaimana perdagangan dan kebijakan pemerintah dapat mendorong ketersediaan

teknologi bersih bagi warga miskin di perkotaan. Di tahun 1996, CSE menerbitkan

laporan tentang polusi kendaraan di kota-kota di India, yang menyalahkan perusahaan-

perusahaan minyak, pabrikan mobil, dan regulator serta perencana. Laporan disusul oleh

kampanye media, dan pada akhirnya tindakan pemerintah untuk menggusur mobil-mobil

pemicu polusi. Di sebuah editorial yang tajam dalam Down to Earth, Agarwal menulis

(1996):
Mimpi ekonomi Barat adalah mimpi beracun. Dan tidak mendengarkan omong kosong

dari para pejabat dan ilmuwan India bahwa konsumsi serta produksi substansi racun per

kapita di India adalah tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan negara-negara

Barat. Ilmu pengetahuan yang bualan semata ini berderap membuat Anda apatis. Adalah

tingkat eksposur yang menentukan, yang bisa sangat tinggi di India, di antaranya karena

tingginya residu pestisida dalam makanan kita dan air minum berkualitas rendah.

Agarwal menulis serangkaian editorial dan tulisan yang mendesak demokrasi global yang

lebih besar mengenai bagaimana masalah-masalah lingkungan hidup dipecahkan, dan

dalam proses globalisasi. Bagi Agarwal, adalah tidak dapat diterima bahwa perdagangan

seharusnya digunakan sebagai sarana mengendalikan perilaku keliru lingkungan hidup

oleh negara-negara yang lebih kaya sementara negara yang lebih miskin menderita polusi

atau kenaikan tinggi permukaan air laut karena negara yang lebih kaya ini tidak dapat

memberlakukan sanksi perdagangan. Tetapi, globalisasi –jika dilaksanakan dengan

memerhatikan konflik politik dan aliansi di antara para pengampanye di belahan Utara

dan Selatan–juga dapat membawa peluang untuk memperkuat peran politik negara

berkembang dalam kancah internasional.

Menyusul beberapa tulisannya yang lebih awal, Agarwal dan CSE juga terus mencari

cara untuk mendemonstrasikan pengelolaan desentralisasi kawasan pinggiran melalui

komunitas-komunitas desa. Di bawah kampanye bertitel ‘Membuat Air Menjadi Urusan

Tiap Orang’, CSE mendukung eksperimen-eksperimen dalam usaha memeroleh air dan

manajemen pertanahan di Sukhomajri di Haryana, Ralegan Siddhi di Maharashtra dan

Tarun Bharat Sangh di Rajasthan. Walaupun tindakan-tindakan ini, Agarwal dikritik oleh

sebagian pihak karena hanya menawarkan dukungan tersamar untuk gerakan anti-
bendungan Narmada di sebelah barat India, dan dituduh kehilangan sebagian sikap

radikal awalnya setelah menjadi penasihat negara, karena itu memunculkan pertanyaan

apakah memungkinkan bagi seorang pencinta lingkungan hidup yang diakui itu untuk

tetap radikal. Banyak yang tidak sependapat dengan kritik ini. Di tahun 2000, dia

dianugerahi Environment Leadership Award oleh Global Environment Facility –badan

pendanaan multilateral untuk masalah-masalah lingkungan hidup global. Pada 2001,

Pemerintah India menganugerahkan kepadanya Padma Bhushan Award, sebuah status

yang diberikan kepada mereka yang menunjukkan darma bakti berbeda bagi tatanan

tinggi kenegaraan.

Anil Agarwal meninggal pada tahun 2002 di usia yang baru menginjak 54 tahun. Dia

mengalami perjuangan panjang melawan kanker, dan telah menulis mengenai perawatan

kanker di India sebagai contoh lain perhatian terhadap kesejahteraan sosial yang belum

memadai. Dia meninggalkan warisan penting melalui penciptaan CSE, dan tulisan-tulisan

pribadi dia memelopori pemikiran saat ini mengenai kemiskinan dan lingkungan serta

politik tersembunyi penilaian ilmiah lingkungan. Agarwal membuat jelas bahwa

pertanyaan-pertanyaan lokal tentang lingkungan di negara berkembang secara hakiki

terkait dengan ekonomi politik internasional, dan berpendapat bahwa menciptakan

pengetahuan tentang problem-problem lingkungan seharusnya tidak diserahkan kepada

para pakar di negara maju. Dia juga mencapai tujuan ini melalui pembentukan sistem

kampanye dan komunikasi yang menguasai sekaligus mendidik banyak pihak di negara-

negara yang lebih miskin. Anil Agarwal merupakan salah satu pemikir paling

berpengaruh serta penulis mengenai pertanyaan-pertanyaan soal lingkungan dan


pembangunan karena dia berjuang meningkatkan keterwakilan rakyat miskin baik dalam

definisi maupun solusi masalah-masalah lingkungan hidup.

Karya-karya utama

Agarwal, A. (1982) The State of India’s Environment: A Citizens’ Report, bersama Sunita

Narain, New Delhi: Pusat Sains dan Lingkungan.

—— (1989) Towards Green Villages: A Strategy for Environmentally Sound and

Participatory Rural Development, bersama Sunita Narain, New Delhi: Pusat Sains dan

Lingkungan.

—— (1991) Floods, Flood Plains and Environmental Myths, disunting dengan Sunita

Narain, New Delhi: Pusat Sains dan Lingkungan.

—— (1991) Global Warming in an Unequal World, bersama Sunita Narain, New Delhi:

Pusat Sains dan Lingkungan.

—— (1992) Towards a Greener World: Should Global Environmental Management be

Built on Legal Convention or Human Rights?, New Delhi: Pusat Sains dan Lingkungan.

—— (1997) Homicide by Pesticides: What Pollution does to our Bodies, disunting, New

Delhi: Pusat Sains dan Lingkungan, Kondisi Lingkungan Seri 4.

—— Down to Earth, jurnal yang diterbitkan Pusat Sains dan Lingkungan.

Bacaan Lanjutan

Hingga saat ini, belum ada buku yang secara spesifik melukiskan kehidupan Anil

Agarwal, tetapi informasi mengenai kehidupannya dapat diperoleh dari publikasi Down

to Earth, dan Pusat Sains dan Lingkungan (CSE), serta obituari di bawah ini.

Baviskar, A. (2002) ‘Seorang aktivis-pencinta lingkungan, Anil Agarwal, 1947–2002’,

Frontline 19: 2, 1 Februari 2002.


Jupiter, T. (2002) ‘Anil Agarwal: pengampanye lingkungan hidup terkemuka di India’,

Guardian, 11 Januari.

Tim Forsyth

ELMAR ALTVATER (1938–)

Sebagai perwakilan sekolah Critical Political Economy, Altvater telah menganalisis

batasan cara produksi dominan (kapitalis) secara serius dan kreatif. Dia tanpa pernah

lelah menekankan bahwa struktur produksi Fordist dan pola-pola konsumsinya tidak

dapat diterjemahkan ke dalam jalan universal yang dapat diterapkan bagi pembangunan

sosial untuk semua pihak. Secara tidak biasa di antara para ilmuwan sosial, dia telah

membuka dirinya sendiri terhadap hukum dasar ilmu pengetahuan alam dalam pencarian

bagi model-model eksplanatori yang dapat berjalan untuk pembangunan sosial yang

berorientasi ke masa depan. Dia menegaskan bahwa prinsip entropi menetapkan batasan-

batasan.

Dilahirkan pada tanggal 24 Agustus 1938, Altvater memelajari ilmu ekonomi dan

sosiologi di Munich dan menulis disertasi mengenai ‘Masalah-masalah Lingkungan

Hidup di Uni Soviet’. Mengajar ekonomi politik (atau lebih cenderung pada kritik

ekonomi politik) sejak tahun 1971 sebagai profesor di Jurusan Sains Politik Freie

Universität di Berlin (Barat), dia telah memengaruhi seluruh generasi mahasiswanya.

Ketertarikan Altvater yang beragam tidak menderita kerugian dari kekacauan tahapan-

tahapan terkemudian dari ‘pemberontakan mahasiswa’ yang kian menurun. Sebagai

seorang representatif Marxisme yang tidak dogmatis, dia mengisi seminar-seminarnya

sesuai kemampuan. Penurunan tingkat laba, internasionalisasi modal, dan teori-teori

pasar global adalah banyak di antara kuliahnya sebagaimana pengantar Das Kapital oleh
Karl Marx dan seminar-seminar mengenai teori-teori kenegaraan. Kisaran lebar tematik

karyanya telah selalu berfokus pada aplikasi kreatif teori Marxis.

Analisis Altvater tentang modal keuangan internasional, kebijakan moneter dan fiskal

sebagaimana juga pertanyaan-pertanyaan soal intervensi negara terkait dengan regulasi

pasar dan masyarakat memeroleh keterkenalannya sejak awal 1970-an. Selama era tahun

1980-an, krisis utang yang makin memburuk di negara-negara periferi membuatnya

menjadi pengkritik kuat atas pembangunan dengan didanai pinjaman (Altvater et al.

1991). Terinspirasi oleh sabatikal (cuti panjang dari kerja) di wilayah timur Amazon

Brasil, dia mengabdikan suatu studi kasus yang langka terhadap isu-isu Brasil tetapi

menggeneralisirnya dalam cara yang relevan dengan mempresentasikan studi perintis

tentang ‘pasar dunia sebagai sebuah kekuatan keadaan’ (Sachzwang Weltmarkt). Dalam

analisis perintis ini, dia memahami ruang sebagai landasan riil ekonomi dan proses sosial

serta strukturnya dan menyelidiki hubungan sistemik-sistematik antara identitas regional,

kebijakan pembangunan negara dan kecenderungan krisis ekonomi di pasar global. Dari

dominasi yang terakhir ini atas strategi pembangunan nasional dan kondisi lokal dari

produksi yang diatur secara ekologi, strategi industrialisasi yang dikejar Fordist pastilah

tidak menghasilkan apapun. Dalam sebuah bab (dalam Sachzwang Weltmarkt) tentang

‘Ekonomi dan Ekologi’, dia mengeksplorasi hukum fisika termodinamika. Bagi dia suatu

argumen sentral yang kian meningkat tentang keterbatasan alami pembangunan sosial

sebagai proses konversi material, produksi dan konsumsi merupakan subjek bagi

peningkatan entropi. Karena itu, sistem ekonomi beserta tendensinya tidak dapat

dibayangkan tanpa pembatasan oleh hukum alam.


Pendekatan Altvater terbantu dari karya-karya fundamental Nicholas Georgescu-Roegen

(1906–94), seorang matematikawan Rumania, yang juga belajar di Sorbonne dan

dibimbing dalam bidang ekonomi di Harvard oleh Joseph Schumpeter, salah satu nama

terkemuka dalam teori ekonomi dan terutama internasionalisasi kapitalisme. Georgescu-

Roegen, yang pada akhirnya menetap di Universitas Vanderbilt di Amerika Serikat, telah

memeroleh pengaruh yang kian meningkat dalam teori ekonomi mutakhir karena

kemampuannya menggabungkan biologis baru atau pendekatan evolusi dengan teori

ekonomi. Dalam magnum opus-nya (Georgescu-Roegen 1971), dia menekankan batasan

pertumbuhan ekonomi berdasarkan Hukum Kedua Termodinamika (yang dapat

diterjemahkan sebagai ‘energi yang bermanfaat dihamburkan’) (lihat juga Georgescu-

Roegen 1976). Sebagian besar diabaikan oleh ilmu ekonomi arus utama, pendekatan baru

Georgescu-Roegen terhadap teori ekonomi memiliki efek panjang pada kesukaan

Altvater, yang menemukan relevansinya dari perspektif pemikiran ilmiah yang sensitif

secara lingkungan, membuka diskursus baru di bidang ekonomi evolusioner.

Pionir lain yang menginspirasi beberapa ilmuwan sosial–dan bahkan lebih sedikit

ekonom–seperti Altvater dalam aplikasi teori-teori ekonomi untuk studi pembangunan

adalah seorang kelahiran Rusia, Ilya Prigogine (1917–2003), Direktur Pendiri Pusat

Mekanika Statistik dan Termodinamika di Universitas Austin/Texas sejak tahun 1967

(sekarang Pusat Studi Mekanika Statistik dan Sistem Kompleks Ilya Prigogine). Dia

memenangkan Hadiah Nobel bidang kimia di tahun 1977. Seperti halnya Georgescu-

Roegen, dia berkontribusi penting terhadap kombinasi baru ilmu pengetahuan alam dan

ilmu sosial pada teori-teori relevansi aspek ekonomi dan lingkungan hidup dalam

reproduksi komunitas. Karya-karya utamanya juga menyoroti relevansi penghamburan


struktur dan berkontribusi signifikan untuk memahami proses-proses yang tidak dapat

dikembalikan/dibalikkan, terutama dalam sistem-sistem yang jauh dari keseimbangan

(lihat Kondepudi dan Prigogine 1998; Prigogine dan Stengers 1986, 1997).

Altvater menurunkan masalah-masalah lingkungan hidup dari dinamika spesifik

kapitalisme saat ini, yang menurut pandangannya bukanlah ‘akhir cerita’ dalam

pemahaman Fukuyama mengenai masa depan pembangunan yang akan tetap ada, tetapi

merupakan suatu tuntutan pencarian terus-menerus untuk alternatif bagi reproduksi

sistem sosial. Pada jalur tuntutan ini, Altvater berhubungan dengan integrasi hukum

entropi ke dalam teori sains sosial sebagaimana terdokumentasi dalam dua karyanya, Die

Zukunft des Marktes (Masa Depan Pasar) dan Der Preis des Wohlstands (Harga

Kemakmuran). ‘Keseimbangan termo’ merupakan konsep kunci dalam pendapatnya.

Kritik mencela dia atas ‘dinamisasi-termo terhadap sains sosial’. Yang lainnya mencaci-

maki dia untuk permainan utopia istana pasir di mana dia sekarang mendesakkan sebuah

surya sebagai ganti revolusi sosialis tanpa menekankan kontradiksi-kontradiksi yang

tetap ada (pasca-) produksi kapitalis Fordist atau pemanfaatan pembaruan ‘transformis’

dari tatanan dunia kapitalis. Penolakan-penolakan ini dapat dilawan dengan menunjuk

pada kebaikan introduksinya terhadap dimensi baru ke dalam diskursus pembangunan

yang mempertimbangkan kriteria metabolisme hati-hati dalam pengertian perilaku sosial

dan tidak mereduksi lingkungan serta alam menjadi semata-mata objek eksploitasi tanpa

akhir (Köhn 1995). Terhadap sebagian penolakan yang diangkat oleh kritik (Hein 1993),

Altvater merespons langsung dengan menunjuk bahwa 10 generasi manusia telah muncul

sejak revolusi industri ‘Promethean ’ atas pasar global. Alam adalah terbatas dan telah

mencapai batasan beban serta, sebagaimana dipelihara Altvater, pendekatan teoritis yang
tidak mengupayakan integrasi limit ekologi dalam dunia konseptual mereka adalah tidak

up to date (Altvater 1994: 104). Dia menentang teori sosial-ekonomi untuk mengingat

jangkauan global formasi sosial kapitalis dan (seakan-akan global) ancaman ekologi. Dia

juga menolak celaan karena meminjam dari istilah fisika termodinamika untuk kategori-

kategori ‘entropi’ dan ‘syntropi’ yang berada di luar perdebatan sosial ekonomi. Bahkan

jika proses kosmis dipahami sebagai terbuka dan bumi sebagai sistem terbuka nan

energik, batasan termodinamika tetap eksis. Energi material yang eksis (fosil atau nuklir)

menjadi bahan bakar untuk siklus produksi industri dan dengan cara demikian

berkontribusi memanaskan (melalui emisi) lingkungan alami (ibid.: 108). Sebagaimana

dia berargumentasi lebih jauh, pertimbangan kategori-kategori fisika termodinamika

dalam analisis sosial ekonomi membantu menyingkapkan konsekuensi untuk produksi.

Namun dia bersikeras atas ekspansi konsep sosial ekonomi sejak teori-teori konvensional

saat ini tidak memadai untuk memahami masalah ekologi dan dia mengacu pada

kebutuhan kecocokan antara produksi dan sistem energi dalam sejarah manusia. Tesisnya

yang mendasari adalah bahwa masa produksi berbasiskan sumber energi fosil akan

berakhir dalam beberapa dekade ke depan, dan transisi ke masyarakat energi surya

menanti serta pertukaran sumber energi primer tidak dapat terjadi tanpa perubahan sosial

radikal dalam sistem sosial transformasi material dan energi (ibid.: 110). Dia

menggambarkan proses restrukturisasi sosial, ekonomi dan politik yang dibutuhkan

sebagai ‘revolusi surya’ tanpa substansi konkrit tetapi vital sebagai suatu visi yang

berorientasi ke masa depan.

Bersama dengan rekan semasa hidupnya, Birgit Mahnkopf, Altvater menerangi Grenzen

der Globalisierung (Batas terhadap Globalisasi) dan membawa ini lebih jauh ke dalam
Globalisierung der Unsicherheit (Globalisasi Ketidakamanan). Dia menganalisis proses

sosial ekonomi dunia yang mempertahankan persaingan antara negara-negara dan

kawasan dalam suatu pasar dunia yang kian dideregulasi, dan pada saat yang sama

memicu ‘klub komunitas para pemilik aset-aset finansial’ global, melalui globalisasi

pasar keuangan dan hilangnya otonomi negara dalam pengertian kemungkinan regulasi

miliknya sendiri. Referensi dia terhadap karakter terbatas model pembangunan Fordist

juga menjadi sentral argumentasinya. Tidak ada kualitas politik atau sosial ekonomi dari

negara-negara industri dapat digeneralisasi di seluruh dunia. Dia memformulasikan inti

pendekatan tematik ini dalam sebuah esai yang ringkas (Altvater 1996) dengan

memperingatkan bahwa, dalam cara yang fatal, dunia adalah terbatas dan pengejaran

pembangunan oleh negara-negara Dunia Ketiga dengan tipe industrialisasi Fordist dari

jenis yang dilakukan negara industri Barat adalah tidak dapat dimengerti. Bagi Altvater,

koherensi sosial lokal terbukti dalam batasan ekonomi global melalui tumpang-tindih

ruang-ruang fungsional (lihat Sachzwang Weltmarkt, terutama bab 2–5: 56–194).

Pembangunan dipatok dua. Pengamatan batasan-batasan dapat berhasil hanya ketika

institusi-institusi politik menetapkan limit. Proposal pembangunan harus mematuhi

aturan-aturan umum dan menjadi sangat spesifik. Dia mengakui bahwa hasil tantangan

politik mengandung kurangnya prasyarat kebebasan keputusan lokal. Keadaan saling

tergantung tidak dapat muncul sebagai ketergantungan.

Sebagaimana editor Festschrift pada ulang tahunnya yang ke-60 mengakui dalam

pengantar seri (Heinrich dan Messner 1998), pendekatan holistik Altvater bisa jadi

kontroversial tetapi melaksanakan orientasi dan integrasi dalam dunia sains yang sangat

berbeda di mana kita makin memahami detail tetapi kian kekurangan koneksi yang
lengkap. Karyanya yang berkesinambungan sejauh ini paling berpengaruh pada

perdebatan-perdebatan yang merisaukan reproduksi kapitalisme dan pasar dunia,

keterbatasan ekologi, teori kenegaraan dan yang lebih baru adalah tentang barang-barang

publik global. Karena itu, kontribusi guna menghormati ulang tahunnya yang ke-65

berpusatkan pada isu dengan topik hangat ini (Brunnengräber 2003). Altvater

memohonkan regulasi konsumsi energi, kondisi kerja dan pergerakan modal di tingkatan

supra-nasional. Dalam salah satu dari beberapa karyanya yang diterbitkan dalam bahasa

Inggris, dia meringkaskan posisinya sebagai berikut:

Di era globalisasi, paradigma konvensional tentang kebijakan ekonomi memerlukan

pemikiran ulang yang radikal. Namun, pergeseran paradigma seperti ini, akan perlu

disertai oleh usaha-usaha praktis memancangkan kembali sistem ekonomi global dalam

hubungan sosial baru secara kualitatif dan bentuk-bentuk regulasi politik, baik di

tingkatan lokal maupun global.

(Altvater 2002: 88)

Sumbangsih Altvater membantu kita untuk tetap melihat hal-hal penting, termasuk etika

politik-moral teori pembangunan, dan menyediakan motivasi untuk tetap terlibat. ‘Pada

suatu waktu atau lainnya, kita harus memulai,’ kata dia, dalam justifikasi mengenai

keyakinannya sendiri:

Ini terdengar idealis dan kritik idealisme menjadi sangat tajam sejak Marx. Walaupun

demikian, suatu proses diprakarsai di mana moneterisasi yang fatal dan materialisme

jangka pendek dicabut. Semoga kita akan mempunyai masa ini. Ini tidak meyakinkan.

Sayangnya, bencana tidak dapat dikecualikan. Namun, tidak ada proyek kiri untuk

bencana yang berkembang tetapi lebih pada proyek untuk menghindari malapetaka.
(Altvater 2004: halaman tak tersusun)

Karya-karya utama

Altvater, E. (1987) Sachzwang Weltmarkt. Verschuldungskrise, blockierte

Industrialisierung, ökologische Gefährdung – der Fall Brasilien, Hamburg: VSA.

—— (1991) Die Zukunft des Marktes. Ein Essay über die Regulation von Geld und

Natur nach dem Scheitern des ‘real existierenden Sozialismus’, Münster: Westfälisches

Dampfboot.

—— (1992) Der Preis des Wohlstands oder Umweltplünderung und neue

Welt(un)ordnung, Münster: Westfälisches Dampfboot.

—— (2002) ‘Obsesi Pertumbuhan’, dalam Panitch, L. dan Leys, C. (eds), Socialist

Register 2002: A World of Contradictions, London: Merlin Press, halaman 73–92.

Altvater, E. dan Mahnkopf, B. (1999) Grenzen der Globalisierung. Ökonomie, Ökologie

und Politik in der Weltgesellschaft, Münster: Westfälisches Dampfboot (edisi ke-4, edisi

yang direvisi dan diperluas; orisinal 1996).

—— (2002) Globalisierung der Unsicherheit. Arbeit im Schatten, schmutziges Geld und

informelle Politik, Münster: Westfälisches Dampfboot.

Bacaan lanjutan

Altvater, E. (1994) ‘Tchernobyl und Sonnenbrand oder: Vom Sinn physikalischer

Kategorien in den Sozialwissenschaften. Replik auf die Kritik von Wolfgang Hein’,

Peripherie 14 (54): 101–112.

—— (1996) ‘Von möglichen Wirklichkeiten. Hindernisse auf der Entwicklungsbahn’,

Entwicklung und Zusammenarbeit 37 (2): 44–49.


—— (2004) ‘Waktu Memerlukan Radikalisme dan Radikalisme Memerlukan Waktu’,

diterjemahkan dari teks asli Jerman tahun 1998.

Altvater, E., Hübner, K., Lorentzen, J. dan Rojas, R. (eds) (1991) The Poverty of

Nations: A Guide to the Debt Crisis – From Argentina to Zaire, London: Zed Books

(aslinya diterbitkan pada tahun 1987 sebagai Die Armut der Nationen. Handbuch zur

Schuldenkrise von Argentinien bis Zaire, West Berlin: Rotbuch).

Brunnengräber, A. (ed.) (2003) Globale Öffentliche Güter unter Privatisierungsdruck.

Festschrift für Elmar Altvater, Münster: Westfälisches Dampfboot.

Georgescu-Roegen, N. (1971) The Entropy Law and the Economic Process, Cambridge,

MA dan London: Harvard University Press.

—— (1976) Energy and Economic Myths: Institutional and Analytical Economic Essays,

New York dan Toronto: Pergamon Press.

Hein, W. (1993) ‘Elmar Altvater: Entropie, Syntropie und die Grenzen der Metaphorik’,

Peripherie 13(51/52): 155–170.

Heinrich, M. dan Messner, D. (eds) (1998) Globalisierung und Perspektiven linker

Politik. Festschrift für Elmar Altvater zum 60. Geburtstag, Münster: Westfälisches

Dampfboot.

Köhn, R. (1995) ‘Gesellschaftliche Grenzen der Entropie. Wider die

Thermodynamisierung der Sozialwissenschaften’, Peripherie 15 (59/60): 180–193.

Kondepudi, D. dan Prigogine, I. (1998) Modern Thermodynamics: From Heat Engines to

Dissipative Structures, New York: Wiley.

Prigogine, I. dan Stengers, I. (1986) Order Out of Chaos, New York: Bantam.
—— (1997) The End of Certainty: Time, Chaos, and the New Laws of Nature, New

York: Free Press.

Henning Melber

SAMIR AMIN (1931–)

Samir Amin merupakan pemikir Mesir/Arab yang paling dikenal di bidang teori

pembangunan ‘Marxis’, pengkritik kuat kapitalisme, ekonom politik radikal, dan salah

satu penyokong fanatik aktivitas anti-globalisasi. Kontribusinya terhadap teori politik

hanya dapat disejajarkan dengan para pengkritik kapitalisme kontemporer Marxis, seperti

Paul Baran, Andre Gunder Frank dan Immanuel Wallerstein. Umumnya, mereka

menerapkan teori-teori pembangunan Marxis dalam usaha menjelaskan konsekuensi

ekonomi kapitalis, pembangunan politik, budaya dan militer serta ekspansi ke negara-

negara berkembang.

Tulisan-tulisan akademik awal Amin mengawali kemunculan apa yang sekarang lazim

dikenal sebagai studi pembangunan. Sebagai seorang ekonom, Amin memulai risetnya

(1957–1970) dengan studi ekonomi terhadap negara-negara individual: Mali, Kongo

Brazzaville (Ibu Kota Kongo), Mesir, Senegal, Ghana, Côte d’Ivoire dan Maghreb. Sejak

itu, karya Amin telah dinotifikasikan oleh teori pembangunan awal ini, yang bermula dari

sejarah Marxisme.

Dipengaruhi oleh ekonomi Perang Dingin dan persaingan ideologi serta pembangunan

dekade pertama yang mengecewakan, empat karya Amin yang berbasis empiris, The

Maghreb in the Modern World (1970), Neo-colonialism in West Africa (1973), Unequal

Development (1976) dan The Arab Nation: Nationalism and Class Struggle (1976),

menggemakan frustrasi dari generasi intelektual kiri di negara-negara berkembang yang


menyaksikan pemusnahan optimisme euforia dekolonisasi. Melukiskan ‘kemerdekaan’

sebagai neokolonialisme, hubungan antara Maghreb yang baru saja merdeka dengan

negara-negara Afrika Barat dan bekas kekuatan kolonial yang secara ekonomi dominan,

Amin mampu meramalkan pola-pola yang menggantikan dari pembangunan ekonomi

masa depan negara-negara ini dan negara berkembang secara umum. Realisasi ini

memengaruhi pengembangan intelektualnya selama berdekade-dekade, sebagaimana

tercermin dalam pengembangan teorinya. Disertasi doktoral dia (Institute of Economics,

University of Paris, 1957) berjudul ‘Dampak Struktural Integrasi Internasional Ekonomi

Prakapitalis: Studi teoritis mekanisme, yang telah menimbulkan apa yang disebut sebagai

perekonomian “terbelakang”’.

Kontribusi utama Amin yang pertama terhadap teori pembangunan begitu kuat dan terus

melingkupi sebagian besar dari karya intelektualnya saat ini. Karya dua seri,

Accumulation on a World-Scale (1974), serta-merta diakui sebagai kontribusi besar,

kemungkinan bukan karena orisinalitasnya, tetapi untuk orientasi Marxis-nya yang

menemukan resonansi dalam perpecahan ideologi Perang Dingin. Pada studi ini, Amin

berpendapat bahwa salah satu anomali teori pembangunan kapitalis adalah ia

mencampuradukkan keterbelakangan dengan kemiskinan (ibid.: 261–2). Karena ia

melukiskan karakteristik ekonomi negara berkembang dengan telanjang, teori

pembangunan kapitalis secara artifisial memisahkan ekonomi dari domain sosial dan

organisasi politik, dan dengan melakukan ini ia mengabaikan bahwa keterbelakangan

berisikan lebih dari penampilan keluar terhadap kemiskinan. Keterbelakangan

digambarkan sebagai jumlah kumulatif keseluruhan sejarah ekspansi kapitalis yang

secara struktural dikonstruksi sebagai suatu sistem dunia dengan pusat dan periferi
(pinggiran). Amin menyebut ini ‘teori formasi sosial kapitalis’-nya, yang menampilkan

ciri-ciri tertentu dari keterbelakangan pembangunan (ibid.: 15–20).

Amin menjelaskan keterbelakangan pembangunan sebagai hasil dari tiga faktor. (1)

Ketidakmerataan produktivitas di antara bidang-bidang atau ‘ketidakmerataan

produktivitas sektoral’ antara pusat dan periferi. (2) Tiadanya artikulasi, lemahnya

struktur atau distorsi perekonomian periferi (pinggiran) yang terbelakang beranggotakan

sektor-sektor yang tidak terintegrasi, dengan kurangnya aliran pertukaran internal dalam

upaya memuaskan permintaan eksternal yang diterapkan atas mereka oleh perekonomian

pusat. (3) Pusat yang mendominasi secara ekonomi, sosial dan politik terhadap periferi.

Jika ketergantungan dan integrasi ke dalam sistem dunia kapitalis menyebabkan

keterbelakangan, alternatif Amin terhadap ketiadaan artikulasi menjadi tidak

terhubungkan. Pada dasarnya, teori pembangunan Amin erat terkait dengan teori

ketergantungan dan peninggalan intelektualnya.

Salah satu kontribusi utama Amin bagi teori pembangunan adalah kemampuannya

menemukan ulang kedalaman Marxisme–Leninisme dan Maoisme (ibid.: 63 dan 112–16)

terhadap pertanyaan nasional guna menjelaskan asal-mula keterbelakangan. Secara

metodologi, dia menggali jasad Marxisme dari anteseden Baratnya dan menempatkannya

kembali untuk menjelaskan keterbelakangan sebagai hasil akhir dari pengalaman kolonial

di masa lalu atau hegemoni kekuatan-kekuatan eks-kolonial, pusat atas eks-koloni

mereka–yang membentuk periferi. Sebagai sebuah proses sejarah, keterbelakangan

merupakan hasil kumulatif dari pertukaran yang tidak setara, pembangunan yang tidak

setara dan imperialisme (Unequal Exchange, 1973; Unequal Development, 1976; 1977).

Premis sentral adalah bahwa sementara pertumbuhan ekonomi mencirikan sektor-sektor


ekonomi yang berada di pusat, ia berkontribusi terhadap berkembangnya keterbelakangan

dan disartikulasi formasi sosial periferi (pinggiran).

Bagi Amin,

Ketidakterhubungan tidak terkait dengan pengecualian atau penarikan autarki. Ia

merupakan masalah memaksakan hubungan saling menguntungkan antara berbagai

bangsa dan kawasan dari keseluruhan dunia hingga pada berbagai keharusan

pembangunan internal miliknya sendiri dan bukan kebalikannya.

Ketidakterhubungan karenanya merupakan manifesto perubahan, penolakan gagasan

bahwa ekspansi kapitalisme, dan kemudian paradigma neoliberal yang saat ini dominan,

adalah tidak terhindarkan dan karenanya tidak meninggalkan kemungkinan untuk

otonomi nasional. Dia menawarkan poli-sentralitas (misalnya satu planet dengan

beberapa sistem yang bersaing) (Amin 1990: xii) sebagai sebuah alternatif terhadap

pengecualian neo-liberal dan polarisasi pembangunan, juga dikenal sebagai

maldevelopment (ibid.: 80, 94–7, 129–36).

Untaian teoritis Amin, kecenderungan ideologi dan aktivisme paling baik digambarkan

sebagai sebuah pencarian cara melakukan yang dapat diterima atau teori praktik. Banyak

dari tulisan-tulisannya selama penutupan dekade abad ke-20 dan sampai saat ini telah

diabdikan bagi kritik globalisasi, yang dilukiskannya sebagai bentuk baru yang ganjil

untuk mengelola perekonomian internasional. Implikasi globalisasi bagi pembangunan

dan teori pembangunan adalah dahsyat. Dalam Capitalism in the Age of Globalisation

(1997), Amin mengunjungi kembali gagasan globalisasi polisentris dan berpendapat

bahwa diperlukan untuk ‘memperbarui kembali perspektif sosialisme global’ (ibid.: 6)

guna mengantarkan ke dalam era ‘proyek globalisasi alternatif yang manusiawi’ (ibid.:
10). Agenda seperti ini tidak dapat diwujudkan dan krisis pembangunan ditetapkan

hingga kekuatan demokratis populer yang mampu mendominasi masyarakat kembali

bersama-sama (ibid.: 135). Dalam skema ini, para cendekiawan ditugasi peran pelopor

untuk membentuk ikatan antara pemikiran produktifnya sendiri dan aspirasi-aspirasi

dengan aksi kelas-kelas populer, membuat mereka menjadi partner sosial untuk

perubahan.

Obsolescent Capitalism: Contemporary Politics and Global Disorder (2003) merupakan

uraian pamungkas Amin terhadap ekspansi kapitalisme dari Perang 30 Tahun (1914–

1945) hingga masa sekarang globalisasi neo-liberal. Di sini, Amin mengambil banyak

dari tulisan-tulisan terdahulunya, termasuk Maldevelopment: Anatomy of a Global

Failure (1990); Transforming the Revolution: Social Movements and the World System

(1990); Empire of Chaos (1992) dan Re-reading the Post-war Period (1994). Masa depan

kapitalisme telah ‘diramalkan’ dengan tujuan utama menjawab satu pertanyaan penting,

‘Apakah perkembangan sekarang ini dari sistem kapitalis dunia adalah permanen atau

sementara’ atau ‘adakah, tanda-tanda keusangan sistem yang harus diatasi kalau

peradaban manusia hendak bertahan?’ (Amin 2003: 1). Secara teoritis, seri ini

menawarkan konfirmasi terhadap interpretasi Marxis dari Amin mengenai keadaan

Dunia, mengklaim bahwa ‘Hukum Marx tentang pemiskinan yang diakibatkan oleh

akumulasi kapitalis telah lebih menonjol terkonfirmasikan pada skala dunia selama dua

abad terakhir’ (ibid.: 3).

Perwujudan di mana negara-negara bekas komunis seperti Rusia dan China yang tunduk

pada kekuatan ekonomi kapitalisme global (Empire of Chaos, 1992) menciptakan

kebutuhan bagi Amin untuk memikirkan kembali teori pembangunan. Pada tulisan-
tulisannya yang terakhir, dia mendefinisikan pembangunan sebagai konsep yang tidak

berkonotasi ‘mengejar’, tetapi sebagai gantinya ia ‘meliputi proyek masyarakat

(alternatif) yang sangat berbeda’, yang tujuan dua kali lipatnya adalah: (a) membebaskan

kemanusiaan dari keterasingan ekonomi; dan (b) mengakhiri peninggalan polarisasi pada

skala dunia. Tujuan ini, menurut Amin, tidak dapat direalisasikan tanpa partisipasi aktif

keseluruhan populasi dunia karena masalah yang dihadapi umat manusia telah menjadi

dimensi global yang lebih mendalam (ibid.: 3–4).

Kapitalisme menjadi usang karena ia merupakan sebuah sistem tua yang telah memasuki

kondisi kekacauan permanen, memicu pada transisi panjang terhadap sosialisme atau

malapetaka dan bunuh diri kemanusiaan. Kapitalisme adalah usang karena: (1) revolusi

sains dan teknologi yang terjadi sekarang ini menunjukkan bahwa kapitalisme telah

kelelahan atas ketergantungannya pada tenaga kerja, karena itu menghambat

kemungkinan keberlanjutan akumulasi; (2) Tiga serangkai1 imperialisme kolektif yang

beroperasi pada skala dunia tidak lagi memungkinkan cita-cita ketergantungan

pembangunan kapitalis di periferi. Dalam pandangan Amin, jika:

Tiga serangkai imperialisme kolektif, terutama di pusatnya pusat Amerika, tidak lagi

berfungsi sebagai eksportir modal ke wilayah pinggiran (periferi), tetapi bergantung pada

surplus yang dihasilkan di seluruh dunia, tiga serangkai ini tidak lagi signifikan sekaligus

tergantung pada diskursus media manufaktur untuk bertahan, ‘apakah ini tidak

menyimbolkan keusangan sistem yang tidak memiliki apapun untuk ditawarkan kepada

80% populasi dunia?’

(2003: 93–4)
Karena hegemoni Amerika Serikat dan proyek neo-liberal kanannya tumbuh subur pada

kapitalisme yang sudah usang, alternatifnya adalah abad ke-21 non-Amerika yang

persyaratan dasarnya meliputi: (1) pergeseran sistem dunia unipolar saat ini dengan yang

multipolar (demokratis dan berbasis regional), berimplikasi bahwa keusangan kapitalisme

berkaitan dengan ‘kediktatoran modal transnasional, menyerang segala gagasan

“swasembada,” dan mengancam “ketidakterhubungan” serta “konstruksi nasional”

sebagai proteksionisme regresif’ (ibid.:30). (2) Abad ke-21 seharusnya lebih radikal

daripada abad ke-20 dan sebagai ganti menoleh kembali pada sejarah Marxisme, sejarah

Keynesianisme dan populisme nasional, neo-Marxisme, neo-Keynesianisme dan pasca-

kapitalisme menjadi respons pelawan terhadap kapitalisme liberal yang mengglobal

(ibid.: 136–8). (3) Abad ke-21 non-Amerika memerlukan pembangunan konvergensi

pergerakan sosial dan politik yang memberi ekspresi terhadap para korban kapitalisme

neo-liberal global, sebuah tugas yang pada akhirnya menuntut penghormatan atas

keberagaman. Tidak seperti abad ke-20, abad ke-21 memerlukan pembangunan suatu Kiri

dengan strategi dan taktik alternatif untuk sebuah front bersatu guna mendukung keadilan

sosial dan internasional (ibid.: 140–7).

Sumbangsih Amin terhadap teori pembangunan dapat diringkaskan pada empat poin:

Pertama, aplikasi kritis dan inovatif teori Marxis klasik untuk menjelaskan

keterbelakangan atau kekeliruan pembangunan (maldevelopment) sebagai fenomena yang

dibentuk oleh sistem kapitalis, berimplikasi bahwa nasib negara-negara terbelakang tidak

dapat dipisahkan dari pembangunan di dunia kapitalis. Kedua, keterbelakangan

pembangunan merupakan produk neo-kolonialisme sebagaimana ditransformasikan

selama dekade-dekade akhir abad ke-20 ke dalam apa yang digambarkannya sebagai
kapitalisme neo-liberal global, yang membawa lambang dan asal-usul keusangan

kapitalisme. Ketiga, ketidakterhubungan dalam dunia yang poli-sentris dan meregional

didasarkan pada kerjasama antara negara-negara ‘autosentris’ yang mampu mengarahkan

perekonomian mereka agar tidak ‘terkejar’ oleh kapitalisme usang tetapi untuk

menciptakan alternatif bagi hegemoninya yang terbaik dan memercayai kematian yang

terburuk. Keempat, transformasi tatanan global saat ini dimungkinkan hanya melalui

pembangunan konvergensi di dalam keanekaragaman pada suatu masyarakat dengan

keadilan global di mana pergerakan sosial menciptakan ruang bagi partisipasi rakyat

(Amin 1987). Tujuan keseluruhan solidaritas dan keterlibatan dengan keadilan sosial

adalah untuk menimbulkan ‘transisi panjang ke sosialisme dunia, menyiratkan

ketidakterhubungan sistem kriteria rasionalitas ekonomi dari sistem kriteria yang

diturunkan dari kepatuhan ke nilai dunia yang mengglobal’ (Amin 2003: 159). Agaknya,

Amin masih merupakan seorang ‘Marxis yang optimistis’, berharap bahwa tujuan akhir

pembangunan adalah transisi panjang ke dunia sosialisme, yang pada akhirnya akan

menggantikan keusangan kapitalisme.

Catatan

1 Tiga serangkai mengacu pada dogma Marxis bahwa sejarah manusia ditentukan

sebelumnya, berkembang dalam tiga tahapan dasar (triad), dengan dua tahapan akhir

adalah sosialisme dan komunisme.

Karya-karya utama

Amin, S. (1970) The Maghreb in the Modern World, Harmondsworth: Penguin.

—— (ed.) (1972) ‘Migrasi Modern di Afrika Barat’, Studi yang dipresentasikan dan

didiskusikan pada Seminar Afrika Internasional ke-11, Dakar, April.


—— (1973) Neo-colonialism in West Africa, Harmondsworth: Penguin Books.

—— (1973) Unequal Exchange, Imperialism and Underdevelopment: An Essay on the

Political Economy of World Capitalism, Ranjit Sau: Calcutta dan Oxford University

Press.

—— (1974) ‘Akumulasi dan Pembangunan: Sebuah Model Teoritis’, Review of African

Political Economy 1: 19–26.

—— (1974) Accumulation on a World-Scale: A Critique of the Theory of

Underdevelopment, New York: Monthly Review Press.

—— (1976) The Arab Nation: Nationalism and Class Struggle, London: Zed Press.

—— (1976) Unequal Development: An Essay on the Social Formations of Peripheral

Capitalism, Hassocks: Harvester Press.

—— (1977) Imperialism and Unequal Development, Brighton: Harvester Press.

—— (1978) The Law of Value and Historical Materialism, New York: Monthly Review

Press.

—— (1980) The Arab Economy Today, London: Zed Press.

—— (1981) The Future Maoism, New York: New Left Review.

—— (1987) ‘Demokrasi dan Strategi Nasional di Periferi’, Third World Quarterly 9:

1129–1156.

—— (1990) Delinking: Towards a Polycentric World, London: Zed Books.

—— (1990) Maldevelopment: Anatomy of a Global Failure, London: Zed Books.

—— (1990) Transforming the Revolution: Social Movements and the World System, New

York: Monthly Review Press.


—— (1991) ‘Sistem Dunia Kuno versus Sistem Dunia Kapitalis Modern’, New Left

Review 14(3): 349–385.

—— (1992) ’30 Tahun Kritik Sistem Soviet’, Monthly Review 44(1): 43–50.

—— (1992) Empire of Chaos, New York: Monthly Review Press.

—— (1993) ‘Sejarah dan Etika Materialisme’, Monthly Review 45(1): 44–56.

—— (1994) Re-reading the Postwar Period: An Intellectual Itinerary, New York:

Monthly Review Press.

—— (1997) Capitalism in the Age of Globalisation, London: Zed Books.

—— (1998) Specters of Capitalism: A Critique of Current Intellectual Fashions, New

York: Monthly Review Press.

—— (2003) Obsolescent Capitalism: Contemporary Politics and Global Disorder,

London: Zed Books.

M.A. Mohamed Salih

A.T. ARIYARATNE (1931–)

Kontribusi distingtif A.T. Ariyaratne sebagai pemikir kunci terletak pada usaha-usaha

seumur hidupnya untuk mengikuti jalur baru pembangunan, independen baik dari

kapitalisme maupun sosialisme. Dia adalah pemimpin gerakan Sarvodaya Shramadana,

organisasi non-pemerintah (LSM) terbesar yang terlibat dalam pembangunan dan

pengurangan beban kemiskinan di Sri Lanka sekarang ini. Visi Sarvodaya untuk suatu

masyarakat baru ‘tanpa kemiskinan’ dan ‘tanpa kekayaan’ didasarkan pada filosofi

Gandhi tentang ‘kebenaran’, ‘tanpa kekerasan’, dan ‘pengorbanan diri’. Istilah

‘Sarvodaya’ berasal dari dua kata Sansekerta ‘sarva’ (universal) dan ‘udaya’

(kebangkitan). Ariyaratne menggunakan kata ‘sarvodaya’ dalam dua cara, untuk


memaksudkan kebangkitan seluruh rakyat dan kebangkitan individu-individu di semua

bidang–psikologi, moral dan spiritual, sebagaimana juga sosial, ekonomi dan politik.

Istilah ‘shramadana’ juga diturunkan dari dua kata Sansekerta, ‘shrama’ (tenaga kerja)

dan ‘dana’ (anugerah), yakni, anugerah tenaga kerja.

Dalam bahasa Sinhala dua kata ‘sarvodaya shramadana’ memiliki makna ‘membagikan

waktu, pemikiran dan energi seseorang untuk kebangkitan semuanya’ (Dana, Feb. 1987:

15). Sarvodaya meyakini bahwa pembangunan mencakup lebih daripada pertumbuhan

material. Ia mencakup dimensi psikologi, moral dan spiritual sebagaimana juga sosial,

ekonomi dan politik. Shramadana atau anugerah tenaga kerja mengisyaratkan baik tenaga

kerja fisik maupun mental. Shramadana-nya Ariyaratne menggambarkan jaringan sosial,

sumbangan tenaga kerja, keahlian dan kerjasama, menunjukkan bagaimana modal sosial

dapat menciptakan kekayaan material.

Dr Ariyaratne dilahirkan di desa Unawatuna, Distrik Galle, dan setelah lulus bekerja

sebagai guru di Kota Galle sebelum mengikuti sekolah pelatihan guru. Pada tahun 1958,

sebagai seorang guru sains yang baru di Nalanda College, sebuah sekolah menengah

Buddha di Kolombo (di mana dia mengabdi di sana sampai tahun 1972), bersama dengan

para muridnya dia mengorganisir pelatihan sukarela (shramadana) pertama dari beberapa

yang diadakannya di salah satu desa termiskin di pulau itu. Pelatihan kerja berisikan cara-

cara menggali sumur, membangun lubang kakus, berladang dan berkebun, serta

membuka jalanan pinggiran dengan menggunakan tenaga kerja siswa dan warga desa

yang kooperatif. Melakukan pekerjaan manual bersama para warga desa miskin

merupakan pengalaman transformatif bagi para siswa yang berasal dari kelas menengah
dan kelas atas perkotaan. Ini merupakan sebuah contoh dini dari apa yang sekarang kita

sebut sebagai ‘pembelajaran pelayanan’.

Ariyaratne menerima gelar umum Bachelor of Arts dari Universitas Vidyodaya Sri

Lanka, lulus dalam bidang ilmu ekonomi, bahasa Sinhala dan pendidikan. Belakangan dia

menerima gelar doktor kehormatan dari universitas yang sama, dan doktor humaniora

dari Universitas Amelio Aguinaldo di Filipina. Sebagai pendiri sekaligus pemimpin

gerakan Sarvodaya Shramadana, Ariyaratne menerima sejumlah penghargaan

internasional termasuk Raman Magsaysay Award for Community Leadership dari

Filipina (1969), Feinstein World Hunger Award dari Universitas Brown di Rhode Island

(1986), Hadiah Perdamaian Niwano dari Jepang (1992) dan Hadiah Perdamaian

Mahatma Gandhi dari India (1996).

Walaupun ada banyak publikasi atas nama dia (Ariyaratne 1988, 1999) dan banyak lagi

mengenai dia (Bond 2004; Macy 1985), Ariyaratne tidak secara luas dipandang sebagai

ahli teori pembangunan. Menurut situsnya sendiri, ‘dia tidak dituntun oleh teori. Dia

ingin mempraktikkan lebih dulu dan melafalkan teorinya belakangan. Dan praktik

haruslah bermakna; teori seharusnya hanya mengikutinya.’ Sekarang di usia 74 tahun,

Ariyaratne tetap aktif dalam pengembangan komunitas, tetapi kian mengalihkan

perhatiannya pada salah satu masalah sentral Sri Lanka, kekerasan politik dan konflik

militer yang sudah lama berlangsung dengan Macan Pembebasan Tamil Eelam (LTTE).

LTTE telah berperang sejak tahun 1983 bagi sebuah negara terpisah untuk minoritas etnis

Tamil dengan alasan mereka menderita diskriminasi di tangan mayoritas Sinhala.

Sejak permulaannya di tahun 1958, Sarvodaya tampak telah berkembang melalui empat

fase (Bond 2004: 7–42). Selama periode 1958–1967, Sarvodaya terutama adalah gerakan
kamp kerja sukarela. Kamp kerja dimulai oleh Ariyaratne plus para siswanya di tahun

1958 yang sangat berhasil dan ia meluncurkan gerakan sosial yang lebih besar dan

dengan cepat tersebar ke sekolah-sekolah menengah serta desa-desa lainnya. Pada masa

ini sumber daya berasal sepenuhnya dari donasi lokal dan tenaga kerja sukarela. Pada

periode kedua (1967–1983), Sarvodaya menjadi sebuah LSM (lembaga swadaya

masyarakat) formal. Pada 1972 gerakan ini diakui oleh UU Parlemen dan dimasukkan

sebagai badan hukum. Ia mulai menarik banyak pendanaan asing, menjadi LSM

sepenuhnya dengan portofolio besar proyek-proyek untuk pembangunan ekonomi

pedesaan, dan mengadopsi metode akuntansi biaya, pemantauan dan evaluasi. Seiring ia

mulai bertumbuh, Sarvodaya menjauh dari ideologi revolusi sosial, bekerjasama dengan

lebih erat bersama pemerintah, dan bertindak dalam kapasitas sebagai badan

perpanjangan. Terpisah dari skema-skema desa lokal, Sarvodaya juga menjalankan

beberapa proyek nasional yang didanai secara memadai untuk pembangunan usaha,

teknologi alternatif dan perawatan anak. Semasa periode ketiga (1983–1997), konflik

antara pemerintah dengan milisi LTTE makin intensif dan menyebar; korban sipil baik

dari etnis mayoritas Sinhala maupun etnis minoritas Tamil berjatuhan. Dengan

pendanaan dari asing, Sarvodaya mengoperasikan program besar yang menawarkan

rehabilitasi dan bantuan kerja di desa-desa yang paling terpengaruh oleh pemberontakan

Macan Tamil.

Selama periode ini kerjasama erat dengan pemerintah mencapai akhirnya karena

Ariyaratne menentang kebijakan mengupayakan solusi militer terhadap masalah LTTE.

Mengambil dari prinsip-prinsip non-kekerasan Gandhi dan Buddha, Sarvodaya

meletakkan rencana bagi resolusi damai konflik melalui sarana-sarana spiritual tetapi
konflik yang lebih besar justru berlanjut. Pada periode akhir (1997– ), kita menyaksikan

bukti nyata Sarvodaya bahkan mengambil sikap yang lebih kuat menentang solusi militer.

Sarvodaya dengan terbuka mendeklarasikan bahwa baik pemerintah maupun LTTE tidak

dapat ‘memenangkan’ perang; seluruh yang mereka dapat kerjakan adalah menarik diri

dari konflik. Di sisi lain, Sarvodaya mengklaim pihaknya mengetahui bagaimana

membantu untuk melampaui perang. Karena itu ia mengorganisir gerakan damai berskala

besar, mengumumkan kerangka kerja kekuasaan alternatif demi resolusi konflik, dan

menggelar beberapa meditasi damai yang dihadiri banyak pihak. Ia juga memulai

program ‘sister village’ dengan para warga desa dari wilayah selatan berpergian ke desa-

desa yang dikoyak perang di utara guna melakukan pekerjaan rehabilitasi seperti

memperbaiki rumah, sumur, tangki air, sekolah, toilet dan tempat ibadah. Karena

Ariyaratne tetap sentral bagi Sarvodaya, sejarah singkat ini menunjukkan potensi

filosofinya untuk mencapai pemberdayaan pribadi dan rekonsiliasi nasional melalui aksi

non-kekerasan, spiritualitas, belas kasihan dan prinsip-prinsip Buddha tentang ‘kehidupan

yang benar’.

Filosofi Sarvodaya memiliki landasan moral dan spiritual yang kuat. Ariyaratne sangat

menyadari bahwa agama, dalam bentuk institusionalnya, secara sejarah tidak memainkan

peran progresif pada transformasi material masyarakat. Dan lagipula dia memilih

wahana ini untuk program kemajuan sosialnya, suatu jalur yang tidak seperti yang

diambil oleh Gandhi di India, dan oleh para pekerja rohaniwan pada komunitas berbasis

Katolik di Amerika Latin. Filosofi Sarvodaya didasarkan pada pengajaran Buddha;

kontribusi Ariyaratne adalah menunjukkan bahwa Buddhisme dapat dipergunakan untuk

mengurusi dua masalah prinsip yang dihadapi Sri Lanka saat ini–kemiskinan dan
kekerasan. Filosofi Sarvodaya adalah luas tetapi untuk tujuan aplikasi ini saya akan

menghadirkannya dalam tiga haluan.

Perwakilan pribadi dalam perubahan struktural: Sarvodaya memegang bahwa perubahan

struktural dalam masyarakat harus dimulai dengan perubahan pribadi. Menurut

Buddhisme, prinsip-prinsip kehidupan yang bermoral meliputi mencintai kebaikan,

menghormati seluruh makhluk hidup, belas kasihan bagi pihak lain, berbagi sukacita

dalam penyelesaian proyek-proyek yang ditujukan bagi kebaikan orang lain dan bahkan

berlapang dada dalam menghadapi baik kegembiraan maupun kesedihan. Semua pekerja

Sarvodaya didesak untuk mempraktikkan ini pada keseharian keterlibatan rutin mereka.

Dimulai dengan kebangunan pribadi (puroshodaya), Sarvodaya berekspansi ke luar

kepada kebangkitan masyarakat atau desa (gramodaya), dan melampaui itu kepada

kebangkitan negara (deshodaya), serta akhirnya pada kebangkitan dunia (vishovodaya).

Semua perubahan sosial harus terasakan dari keterwakilan kehidupan individu dan

mempraktikkan kehidupan yang benar.

Teori Buddha untuk mengatasi penderitaan: sentral bagi filosofi Sarvodaya adalah

gagasan Buddha mengenai empat ‘kebenaran yang patut dipuji’. Yang pertama

menyatakan bahwa kondisi normal eksistensi adalah penderitaan (Dukkha). Kedua, akar

penyebab penderitaan adalah keserakahan, idaman dan keinginan (Thanha). Ketiga

adalah klaim bahwa penderitaan dapat diatasi (Niradha). Pada akhirnya adalah ‘Marga’,

jalan Buddha untuk mengatasi penderitaan di dunia. ‘Marga’ mengandung delapan

elemen: pemahaman yang benar, pemikiran yang benar, berbicara yang benar, tindakan

yang benar, mata pencarian yang benar, usaha yang benar, kesadaran yang benar dan

konsentrasi yang benar. ‘Jalur Rangkap Delapan’ merujuk pada sentralitas keterwakilan
pribadi baik dalam Buddha maupun filosofi Sarvodaya. Ariyaratne menggunakan yang

pertama dari ‘Empat Kebenaran Mulia’ (yakni penderitaan di dunia) dengan memulai

dari sebuah desa aktual dengan kemiskinan berat. Ini menjadi dasar untuk analisis dan

refleksi realitas di desa itu. Prinsip kedua (idaman/keinginan sebagai penyebab

penderitaan) dihadapkan ke desa-desa yang menggambarkan bagaimana kecurigaan,

persaingan, permusuhan dan egoisme telah melemahkan energi para warga desa. Prinsip

ketiga (penderitaan dapat dihentikan) diterjemahkan ke dalam diskursus tentang afeksi,

belas kasih, kata-kata yang baik, saling berbagi dan membantu dengan swadaya.

Akhirnya, delapan jalur ‘Marga’ merekomendasikan menghindari dua ekstrim–

kesenangan pemuasan hawa nafsu dan penderitaan dari aib diri sendiri. Ariyaratne

mengadaptasi konsep Buddha ‘Jalan Tengah’ ini dengan merekomendasikan jalur

pembangunan ‘tanpa kemiskinan, tanpa kekayaan’. Sarvodaya tidak meyakini bahwa

kemiskinan dapat dikikis melalui penciptaan kekayaan dan pembangunan ekonomi.

Sarvodaya memulai tugas ini dengan menegaskan sebuah manifesto 10 kebutuhan dasar

manusia yang meliputi: lingkungan fisik yang bersih dan sehat, air, pakaian, makanan,

rumah, perawatan kesehatan, komunikasi, bahan bakar, pendidikan, dan kebutuhan

spiritual serta kebudayaan. Kebutuhan ini bisa dipuaskan dengan memanfaatkan sumber

daya lokal, swasembada, dan shramadana. Sarvodaya meyakini bahwa model-model

dominan pembangunan ekonomi merintangi untuk memenuhi kebutuhan dasar karena

model seperti itu menekankan pada peningkatan produksi, perluasan keinginan,

pertumbuhan tanpa batas dan pasar terbuka.

Tanpa kekerasan dalam resolusi konflik: prinsip inti Buddhisme dan Hinduisme adalah

tanpa kekerasan yang menganjurkan penghormatan bagi semua makhluk hidup.


Mengikuti contoh-contoh Gandhi dan Vinoba Bhave di India, Ariyaratne berpendapat

bahwa perubahan sosial fundamental dapat dicapai melalui tanpa kekerasan.

Pengadopsian delapan jalur kehidupan yang benar secara otomatis mengecualikan

penggunaan kekerasan fisik sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Sarvodaya telah

menjangkau etnis Tamil melalui keanggotaan organisasi dan dengan melakukan karya

bantuan dan rehabilitasi di desa-desa Utara. Ia mengorganisir aksi jalan kaki damai,

meditasi massal, dan menawarkan memediasi antara pemerintah dengan LTTE.

Ariyaratne menganggap masalah-masalah ekonomi Sri Lanka saat ini disebabkan oleh

imperialisme Inggris yang menghancurkan kemandirian ekonomi pedesaan. Dalam kaitan

itu analisisnya sangat serupa dengan para ahli teori ketergantungan seperti Andre

Gunder Frank (Frank 1966) dan Fernando Henrique Cardoso. Ariyaratne juga

meyakini bahwa struktur global yang tidak setara dan organisasi-organisasi raksasa

transnasional bertanggungjawab atas meningkatnya kemiskinan, konflik bersenjata dan

penghancuran ekologi di Sri Lanka dan di seluruh dunia. Walaupun analisis struktural

tersebut, proposal dia tidak berfokus untuk mengubah struktur global tetapi pada

keterwakilan pribadi dan kehidupan yang benar. Dengan menolak gagasan bahwa

perilaku manusia merupakan akibat dari kekuatan-kekuatan yang lebih besar di mana

para aktornya tidak dapat mengendalikan atau memahami, pandangan Ariyaratne

konsisten dengan teori-teori sosial Barat seperti strukturisasi (Giddens 1984) dan pasca-

strukturalisme (Foucault 1980).

Kritik material Sarvodaya atas pembangunan berasal dari penolakan eksplisit terhadap

kekayaan. Penolakan intensif modal, teknologi tinggi dan perekonomian terbuka jelas

merupakan keganjilan dengan model dominan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi


memerlukan ekspansi konstan atas konsumsi dan keinginan, yang menurut teori Buddha

keinginan/idaman adalah apa yang memicu pada penderitaan. Pada prinsipnya, para

ekonom mengukur standar hidup dengan seberapa banyak masyarakat melakukan

konsumsi. Sarvodaya menolak jalur pembangunan ini.

Bahkan meskipun konsep tanpa kekayaan memiliki potensi untuk membuahkan kritik

pembangunan yang serius, Sarvodaya telah melemahkan argumentasi dengan

membingkainya secara menyeluruh di dalam konteks anjuran Buddha untuk

mengendalikan keinginan. Keinginan dihadirkan dalam filosofi Sarvodaya sebagai

kondisi intrinsik manusia yang harus diatasi melalui refleksi dan peningkatan moral.

Tetapi adalah tidak cukup untuk menganjurkan pembatasan konsumsi sukarela tanpa juga

membahas kekuatan-kekuatan kapitalisme modern yang begitu berlimpah dan telah

menggerakkan konsumsi.

Anjuran Sarvodaya terhadap solusi tanpa kekerasan masalah etnis di Sri Lanka adalah

sangat bernyali. Sejumlah pekerja Sarvodaya dari etnis Tamil telah dibunuh oleh milisi

Macan Tamil, dan Ariyaratne sendiri terus-menerus hidup di bawah ancaman. Namun

terdapat beberapa ironi terhadap tawaran Sarvodaya mengenai tanpa kekerasan sebagai

solusi konflik etnis. Walaupun tampilannya yang terlihat umum dan mencakup semua

kalangan, Sarvodaya di Sri Lanka terutama dipersepsikan sebagai sebuah organisasi

Buddha. Konflik di Sri Lanka saat ini timbul dari reaksi Tamil terhadap apa yang mereka

persepsikan sebagai hegemoni nasionalisme Sinhala Buddha. Identitas etnis Sinhala dan

persepsi diri mereka, keduanya dengan rumit terkait pada Buddhisme, yakni sejarah

sosial dan mitologinya. Sebaliknya, persepsi Sinhala tentang Tamil yakni bahwa ‘lainnya

sebagai non-Buddha’, sebuah dinamika di mana etnis Tamil pada akhirnya juga terikut ke
dalam persepsi yang sama mengenai Sinhala maupun diri mereka sendiri. Menyodorkan

signifikansi Buddhisme terhadap kedua pihak yang berkonflik, adalah penting untuk

mencerminkan batasan gerakan sosial yang menggunakan teologi Buddha guna

menghasilkan resolusi tanpa kekerasan atas konflik etnis yang berkepanjangan ini.

Walaupun demikian, filosofi Sarvodaya dapat berkontribusi bagi perdamaian di Sri

Lanka dengan dua cara penting. Pertama, sebagaimana ditunjukkan oleh bukti, ia

menyediakan sarana untuk terlibat dalam negosiasi damai. Kedua, penekanan jalan

tengah pada tanpa kekayaan dan tanpa kemiskinan menggeser persaingan intensif atas

sumber daya yang merupakan salah satu kekuatan penggerak konflik etnis di Sri Lanka.

Karya-karya utama

Ariyaratne, A. T. (1988) The Power Pyramid and the Dharmic Cycle, Ratmalana, Sri

Lanka: Sarvodaya Vishva Lekha Press.

—— (1999) Collected Works, 7 seri (editorial oleh N. Ratnapala), Ratmalana, Sri Lanka:

Sarvodaya Vishva Lekha Press.

Bacaan lanjutan

Bond, G.D. (2004) Buddhism at Work: Community Development, Social Empowerment

and the Sarvodaya Movement, West Hartford, CT: Kumarian Press.

Dana: Journal of the International Sarvodaya Shramadana, 1987.

Foucault, M. (1980) Power/Knowledge, New York: Pantheon Books.

Frank, A. G. (1966) ‘Pembangunan dari Ketertinggalan’, Monthly Review 18: 17–31.

Giddens, A. (1984) The Constitution of Society, Berkeley, CA: University of California

Press.
Macy, J. (1985) Dharma and Self Development: Religion as Resource in the Sarvodaya

Self-Help Movement, West Hartford, CT: Kumarian Press.

Lakshman Yapa

JAGDISH BHAGWATI (1934–)

Jagdish Bhagwati saat ini menjabat profesor di Columbia University dan Senior Fellow di

Dewan Hubungan Luar Negeri. Dia dilahirkan dan mengemuka di Bombay serta dididik

di Cambridge, Oxford dan MIT. Bhagwati menjadi penasihat sejumlah organisasi

internasional, termasuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hasil karyanya yang

dipublikasikan secara luas meliputi lebih dari 300 artikel dan 50 seri buku. Karya Jagdish

Bhagwati begitu mendominasi pemikiran pada sejumlah isu-isu kebijakan ekonomi di

masa kita di mana Paul Samuelson merujuknya sebagai ‘Zaman Bhagwati’. Esai ini

memberikan ikhtisar ringkas tentang karya Bhagwati yang berpusat pada advokasinya

mengenai perdagangan bebas dan tanpa diskriminasi, kecamanannya terhadap kebijakan

proteksionis yang salah arah dan analisisnya dari fenomena yang disebut sebagai brain

drain (kerugian suatu negara karena warganya yang ahli dan bertalenta meninggalkan

negara tersebut untuk bertempat tinggal dan bekerja di negara lain).

Advokasi Bhagwati yang tanpa henti mengenai perdagangan bebas seringkali dipandang

sebagai militan dan agresif. Ini bisa jadi demikian, tetapi perspektifnya beralaskan pada

teori ekonomi dan analisis serta pengamatan dia mengenai biaya kesejahteraan rezim

perdagangan dan investasi proteksionis India.

Para mahasiswa ekonomi internasional akrab dengan keuntungan-keuntungan dari

perdagangan bebas berdasarkan pada keunggulan komparatif perdagangan bangsa-

bangsa. Namun, terdapat daftar panjang pengecualian teoritis bagi kasus perdagangan
bebas, termasuk argumentasi industri yang masih bayi, pendapat yang didasarkan pada

distorsi tenaga kerja dan pasar produk dalam perekonomian domestik, serta eksternalitas.

Ini dan pendapat lain begitu sering dipakai untuk melembagakan proteksi baik di negara

maju maupun negara berkembang di mana proteksionisme tampak menguasai dan

perdagangan bebas menjadi pengecualian. Dalam sebuah artikel yang memiliki

kemungkinan berkembang di masa mendatang (1963), dikarang bersama dengan

mendiang V.K. Ramaswami, dengan menggunakan perangkat konvensional teori

perdagangan, Bhagwati menunjukkan bahwa cara terbaik untuk mengatasi distorsi atau

kegagalan pasar domestik adalah melalui kebijakan domestik sementara mempertahankan

perdagangan bebas. Kebijakan terbaik dalam kehadiran berbagai distorsi adalah subsidi

yang cocok untuk memperbaiki distorsi pada sumbernya, tetapi membiarkan harga

internasional tetap tidak berubah dan menghindari kerugian surplus konsumen yang

dikaitkan dengan bea masuk. Jika distorsi terjadi di bidang perdagangan, seperti kekuatan

monopoli/monopsoni pada perdagangan internasional, ia seharusnya dikoreksi dengan

instrumen kebijakan perdagangan yang sesuai seperti pajak ekspor atau bea masuk impor.

Pesan yang berhubungan dengan perdagangan ini membawa pada kebijakan-kebijakan

terkait aliran masuk modal asing. Adalah aliran modal masuk pada kehadiran tarif bea

masuk yang dapat menenggelamkan. Bhagwati menyatakan konsep penenggelaman

dalam sebuah artikel (1958) yang ditulis semasa dia menjadi mahasiswa program sarjana

yang membaca Economics Tripos di Cambridge. Pesan artikel itu adalah pertumbuhan

ekonomi bisa jadi memperburuk kondisi perdagangan, sehingga ia sebenarnya

mengurangi kesejahteraan ekonomi. Perluasan gagasan oleh Bhagwati sendiri (1968,

1973) dan lainnya mendemonstrasikan bahwa aliran modal masuk dalam keberadaan tarif
bea masuk barang impor pada model dua barang dua negara dapat menenggelamkan.

Sementara aliran modal masuk menginduksikan pertumbuhan pada bea tarif konstan

terhadap harga-harga domestik, bea tarif membebani biaya produksi dan konsumsi, dan

imbalan yang tumbuh terhadap modal asing juga harus dihitung sebagai beban biaya.

Tetapi resep lain kebijakan Bhagwati terkait dengan perdagangan dan aliran modal di

mana negara-negara mengejar kebijakan promosi ekspor (EP) tampaknya akan menarik

investasi asing langsung ke sektor riil (FDI) dalam jumlah lebih besar sekaligus

mengalami imbalan yang secara substansial lebih tinggi daripada kalau negara-negara

mengejar kebijakan substitusi impor (IS) (1978). Kebijakan EP di sini didefinisikan

sebagai sesuatu yang netral dalam pengertian proteksi yang disediakannya terhadap

komoditas impor serta insentif yang sanggup diberikan bagi komoditas ekspor. Dalam

lingkungan seperti itu, keputusan investasi perusahaan asing akan berbasiskan pada

keunggulan komparatif yang didikte oleh kekuatan pasar dan bukan pada insentif

kebijakan buatan yang tidak pasti. Uji ekonometri mengungkapkan bahwa proposisi

kembar Bhagwati adalah kuat (Balasubramanyam, Salisu dan Sapsford 1996). Adalah

penting untuk memperhatikan bahwa interpretasi Bhagwati atas kebijakan EP tidak

mengecualikan bea tarif, ia semata-mata mensyaratkan agar keputusan investasi

seharusnya didasarkan pada keunggulan komparatif dan tidak seharusnya dipengaruhi

oleh kebijakan insentif buatan yang mendistorsi tenaga kerja dan pasar produk.

Bhagwati dikenal untuk mengidentifikasi berbagai kebijakan yang mengurangi

kesejahteraan dan melabeli mereka dengan frase yang dapat diingat. Pertumbuhan yang

menenggelamkan, dalam hubungan dengan FDI dan Pencarian Laba yang Secara

Langsung Tidak Produktif (Directly Unproductive Profit Seeking/DUP, dilafalkan


DUPE) sekarang seluruhnya menjadi bagian kosa kata ilmu ekonomi. DUP, sebagaimana

didefinisikan oleh Bhagwati (1982), merujuk pada cara menghasilkan laba dengan

melakukan aktivitas yang tidak menghasilkan barang dan jasa. Keseluruhan susunan

aktivitas termasuk permintaan bea masuk/bea keluar, lobi, penghindaran bea masuk/bea

keluar, memeroleh lisensi impor dan berusaha mendapatkan harga premium untuk lisensi

seperti itu serta menyelundupkan pembentukan DUP. Keseluruhan aktivitas seperti itu,

dengan pengecualian yang jarang, mengurangi kemakmuran dengan menjauhkan sumber

daya dari aktivitas-aktivitas berorientasi produksi dan aktivitas yang meningkatkan

utilitas ke dalam perusahaan dengan orientasi non-produksi sekaligus mencari

keuntungan. Sebagian besar aktivitas DUP muncul karena berbagai jenis distorsi yang

diinduksikan oleh intervensi kebijakan dalam perdagangan.

Keunggulan menarik dari karya Bhagwati adalah kualitasnya yang bertahan lama;

kedalamannya kepada kebijakan perdagangan dapat diterapkan pada skenario-skenario

yang berubah dalam perekonomian dunia. Salah satu skenario seperti itu, di mana

Bhagwati merujuknya sebagai ‘peran ironis pembalikan’, adalah bertumbuhnya

kekhawatiran mengenai globalisasi di negara-negara maju, yang mencerminkan

ketakutan yang diekspresikan oleh negara berkembang. Kecemasan negara berkembang

terhadap investasi asing dan perdagangan sudah sangat dikenal; integrasi dengan

perekonomian global akan memperburuk kesenjangan pendapatan, melanggengkan

kemunduran dan mengakibatkan ketergantungan. Penentangan negara maju terhadap

perdagangan bebas dengan negara-negara berkembang didasarkan pada upah yang relatif

rendah dan buruknya standar terkait dengan proteksi lingkungan di negara-negara

berkembang. Bhagwati terus-menerus mempertanyakan kearifan dari argumentasi ini


bagi proteksi dan menyatakan kembali proposisi, yang dia ucapkan pada tahun 1960-an,

bahwa kegagalan pasar seharusnya diperbaiki dengan kebijakan domestik yang sesuai

dan perdagangan bebas seharusnya dipelihara secara eksternal. Buku terbarunya yang

provokatif tentang globalisasi (2004) mengecam banyak buah pikiran keliru tetapi

populer yang dikaitkan dengan arus globalisasi baik di negara maju maupun negara

berkembang.

Selama akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, Bhagwati menghasilkan serangkaian

artikel dan buku yang menganalisis implikasi kesejahteraan dari emigrasi orang-orang

terampil dan ahli dari negara berkembang ke negara maju (1974, 1977). Di sini kembali

analisisnya mempertanyakan kearifan yang didapat serta diikhtisarkan dalam apa yang

disebut sebagai ‘model kosmopolitan’ brain drain (kerugian suatu negara karena

warganya yang ahli dan bertalenta meninggalkan negara tersebut untuk bertempat tinggal

dan bekerja di negara lain), yang berpendapat bahwa emigrasi masyarakat yang

ahli/terampil justru akan meningkatkan kesejahteraan di sekelilingnya–dari emigran,

negara yang mereka tinggalkan dan negara yang menerima mereka. Bhagwati mendeteksi

berbagai situasi di mana emigrasi warga yang terampil dapat membebani biaya

kesejahteraan pada negara yang mereka tinggalkan. Ini termasuk kondisi-kondisi di mana

upah yang dibayarkan kepada para calon emigran itu lebih kecil daripada produk marjinal

sosial mereka dan pada sebagian kasus lebih sedikit daripada produk marjinal pribadi

mereka, juga dalam kasus di mana mereka yang pergi harus digantikan oleh lainnya di

pasar tenaga kerja dengan pendanaan subsidi pemerintah untuk pelatihan dan

pendidikannya.
Ini dan efek pengurangan kesejahteraan lain dari brain drain mendasari anjuran Bhagwati

tentang pajak otak (brain tax) atau apa yang sekarang dikenal sebagai ‘pajak Bhagwati’,

yang mensyaratkan kaum migran terampil untuk membayar suatu pajak khusus selain

pajak yang mereka bayar di negara di mana mereka melakukan emigrasi. Pajak yang

berlaku itu akan ditransfer ke negara asal mereka. Logika ekonomi untuk brain tax adalah

imigrasi orang-orang ahli tersebut menguntungkan negara-negara maju, terdapat aliran

modal yang terikut dalam aliran orang-orang yang terampil dari negara berkembang ke

negara maju, dan negara yang ditinggalkan berhak memeroleh kompensasi dari transfer

modal yang diterima oleh negara maju. Adalah penting memerhatikan bahwa anjuran

Bhagwati mengenai pajak atas emigran terampil berdasarkan pada pertimbangan

pemerataan dan efisiensi serta bukan sebagai sarana untuk melarang emigrasi. Advokasi

perdagangan bebas juga merupakan dorongan aliran bebas tenaga kerja, apakah mereka

merupakan jenis tenaga terampil atau tanpa keahlian. Dia kerapkali mendukung

pendekatan humanistis liberal terhadap regulasi imigran ilegal ke Amerika Serikat.

Ikhtisar ringkas kontribusi Bhagwati ini bagi kepustakaan ilmu ekonomi internasional

sulit untuk menilai keluasan pengetahuan dia, dan banyak kedalaman serta filosofi

ekonominya yang telah berkembang selama tiga dekade aktivitas riset dan mengajar.

Gerakan perjuangannya untuk perdagangan bebas, didasarkan pada keyakinan bahwa

perdagangan bebas merupakan kekuatan moral penting bagi kelayakan, telah berkembang

selama tahun-tahun panjang kerja teoritis dan analisis kebijakan perdagangan pada negara

maju maupun negara berkembang. Gagasan ini memengaruhi kebijakan ekonomi baik di

India maupun di luar negerinya.

Karya-karya utama
Bhagwati, J.N. (1958) ‘Pertumbuhan yang Menenggelamkan: Catatan Geometris’,

Review of Economic Studies 25 (June): 201–205.

—— (1968) ‘Distorsi dan Pertumbuhan yang Menenggelamkan: Sebuah Generalisasi’,

Review of Economic Studies vol. 35, no. 104: 481–485.

—— (1971) ‘Teori Umum Distorsi dan Kesejahteraan’, dalam J.N. Bhagwati et al. (eds),

Trade, Payments and Growth, Amsterdam: North Holland, halaman 69–90.

—— (1973) ‘Teori Pertumbuhan yang Menenggelamkan: Aplikasi Lanjutan’, dalam

Swoboda, A. dan Connolly, M. (eds), International Trade and Money, London: George

Allen dan Unwin, halaman 45–54.

—— (1977) ‘Aliran Intelektual: Akuntansi Aliran Sumber Daya Internasional,

Kompensasi, Perpajakan dan Usulan Kebijakan Terkait’, Disiapkan untuk Divisi Transfer

Teknologi, UNCTAD.

—— (1978) ‘Anatomi dan Konsekuensi Rezim Pengendalian Nilai Tukar’, Studies in

International Economic Relations, 1(10): 232, New York: Biro Nasional Riset Ekonomi.

—— (1982) ‘Aktivitas Pencarian Laba yang Secara Langsung Tidak Produktif (DUP)’,

Journal of Political Economy 90(5): 988–1022.

Bhagwati, J.N. dan Hamada, K. (1974) ‘Aliran Intelektual, Integrasi Internasional Pasar

bagi Profesional dan Pengangguran: Sebuah Analisis Teori’, Journal of Development

Economics 1(1): 19–24.

Bhagwati, J.N. dan Ramaswami, V.K. (1963) ‘Distorsi Domestik, Bea Masuk/Keluar dan

Teori Subsidi Optimum’, Journal of Political Economy 71(1): 44–50.

Bacaan lanjutan
Balasubramanyam, V.N. (ed.) (1997) Jagdish Bhagwati: Writings on International

Economics, Oxford: Oxford University Press.

Balasubramanyam, V.N., Salisu, M.A. dan Sapsford, D. (1996) ‘Investasi Asing

Langsung dan Pertumbuhan di Negara EP dan IS’, The Economic Journal 106(434): 92–

105.

Bhagwati, J.N. (1998) A Stream of Windows: Unsettling Reflections on Trade,

Immigration and Democracy, Cambridge, MA: MIT Press.

—— (2004) In Defense of Globalisation, Oxford: Oxford University Press.

V.N. Balasubramanyam

PIERS BLAIKIE (1942–)

Piers Blaikie memiliki reputasi sebagai seorang yang suka merusak doktrin-doktrin yang

dianggap keliru. Frank Ellis, dalam penghormatan ketika Blaikie pensiun dari Sekolah

Studi Pembangunan di University of East Anglia (UEA) pada tahun 2003, menuliskan

suatu ‘sepenuhnya karakter yang berada di atas, memberikan isyarat mewah dan bahkan

penjajaran gagasan-gagasan yang lebih boros’.1 Karakteristik kedua dari karir akademik

Blaikie adalah keinginannya, bahkan dengan suka cita, dalam membalikkan dan

menantang asumsi-asumsi serta tulisannya sendiri guna mendorong batas riset ke bagian

baru.

Blaikie mengambil gelar pertamanya dalam bidang Geografi di Universitas Cambridge

pada 1963. Di tahun 1964, dengan didanai oleh Hayter Studentship, dia memulai studi

doktoral (PhD) di Cambridge di bawah bimbingan Profesor Benny Farmer,

menghabiskan setahun di India dan melakukan penelitian lapangan di Punjab dan

Rajasthan. Dia berhasil mempertahankan disertasinya mengenai ‘Organisasi ruang


beberapa desa di India Utara’ pada tahun 1967 (lihat Blaikie 1971). Dia kemudian

bergabung dengan Jurusan Geografi di University of Reading sebagai dosen, dan dia

bertahan di sana hingga 1972. Sejak tahun 1972 hingga 2003 Blaikie berturut-turut

menjabat dosen, dosen senior, reader dan, sejak tahun 1990, profesor di Sekolah Studi

Pembangunan di UEA. Adalah di sini dia mencetak prestasinya. Dia juga menjabat posisi

dosen tamu di Universitas Sains dan Teknologi Norwegia di Trondheim; Jurusan

Geografi Universitas California, Los Angeles; Jurusan Geografi di Berkeley; East–West

Center di Hawaii; dan Jurusan Geografi di Universitas Hawaii di Manoa. Semenjak dia

menerbitkan buku pertamanya pada 1975, Blaikie telah mengarang atau menjadi

pengarang bersama sembilan judul buku utama. Secara kontras, karya jurnalnya relatif

sederhana: hanya 30 karya ilmiah akademik utama sejak tahun 1970. Karena itu,

agaknya, Blaikie berhasil melawan tuntutan publikasi dari Research Assessment

Exercise, Inggris.

Sumbangsih Blaikie bagi pemikiran pembangunan, dalam urutan tingkat kepentingan,

pada tiga bidang kunci: lingkungan, proses lingkungan dan perubahan lingkungan;

perubahan agraria, terutama di Nepal; dan AIDS serta perencanaan keluarga.

Dari seluruh buku Blaikie, satu yang telah memiliki dampak terbesar pada mayoritas

orang adalah karyanya Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries

(1985). Seperti banyak buku-buku lain yang berpengaruh, gagasan inti di mana terletak

argumentasi yang lebih lebar, dengan peninjauan hal-hal yang sudah terjadi, adalah

begitu jelas dan tidak menonjol di mana sulit untuk meyakini bahwa tidak seorang pun

memikirkannya sebelumnya. Adalah erosi tanah yang bukan disebabkan salah kelola,

populasi berlebih atau konteks lingkungan, namun dipicu kecenderungan surplus yang
diekstrak dari pertanian rumah tangga oleh sifat alami sistem politik dan ekonomi,

mengharuskan petani, pada akhirnya, untuk mengekstraksi surplus dari tanah, sehingga

memicu erosi dan degradasi. Dengan cara ini, hubungan kelas menjadi secara sentral

tersangkut dalam proses. ‘Sebuah kesimpulan prinsip dari buku ini’, tulis Blaikie, ‘adalah

erosi tanah di negara yang lebih sedikit kemajuannya tidak akan secara substansial

terkurangi kecuali ia dengan serius mengancam akumulasi kemungkinan kelas-kelas

dominan’ (ibid.: 147).

Aspek mengejutkan lain dari buku ini adalah ia dipasarkan sebagai teks pengantar untuk

‘perguruan tinggi dan universitas’, dituliskan dalam karangan yang jelas dan mudah

dicapai, serta panjangnya hanya 188 halaman. Meskipun ia kekurangan kesombongan,

saya sendiri dapat mengingat kegembiraan ketika saya membaca buku itu setelah baru

saja menyelesaikan studi doktoral. Ia adalah ilmuwan sosial yang menyerbu domain

tradisional sains alam untuk berpendapat bahwa proses fisik—erosi tanah–hanya dapat

dipahami dalam pengertian ekonomi politik. Bahkan sekarang para mahasiswa di kelas

yang saya ajar dari 200 mahasiswa sarjana tahun pertama menjadi tercerahkan ketika

saya mengatakan kepada mereka bahwa proses fisik seperti erosi tanah dan degradasi

lahan memerlukan lebih dari sekadar solusi teknis serta merupakan produk dan

pencerminan dari ranah politik, sosial dan ekonomi. Ini, tentu saja, merupakan pendapat

yang umum sekarang, tetapi buku ini mempunyai kemungkinan berkembang di masa

depan dengan membawa pandangan tersebut ke arus utama dan membantu

pengembangan suatu bagian kecil baru dari upaya intelektual di bawah lingkup ekologi

politik. Para cendekiawan seperti Nancy Peluso, Raymond Bryant, James Fairhead, Jules

Pretty dan Melissa Leach semuanya berutang intelektual terhadap hal yang tidak
menonjol ini dan sekadar merupakan ekspresi buku teks kuliah program sarjana. Buku ini

telah dikritik karena pendekatannya yang agak mendasar dan tidak dinamis terhadap

politik (lihat Watts dalam PIHG 1997) tetapi bagi saya ia terlihat mengharapkan terlalu

banyak dari seri buku yang sudah dipasarkan sebagai teks pengantar bagi para mahasiswa

tingkat sarjana dan bahkan melabuhkan harapan bahwa para siswa di bawahnya akan

menggunakan buku ini! Terdapat sedikit karya yang berpotensi berkembang di masa

mendatang (pada tahun 1997 ia dilabeli ‘klasik’ dalam geografi manusia, lihat PIHG

1997) yang sudah begitu rendah hati dikenakan pakaian.

Blaikie mengembangkan lebih jauh gagasan-gagasan ini, dengan Harold Brookfield,

dalam karangan bersama, dan disunting bersama-sama sebagian Land Degradation and

Society (1987). Pada buku ini argumentasi bahwa degradasi lahan merupakan isu

antardisiplin par excellence dipromosikan dengan vitalitas dan para pengarangnya juga

mengajukan bahwa tugas penjelasan terletak, pada sebagian besar, ilmuwan sosial dengan

alasan bahwa ilmuwan sains alam telah meringkaskan proses degradasi lahan dari

konteks politik, sosial dan ekonomi. Kalimat pertama dari bab pertama dengan lancang

meletakkan kartu para pengarang di atas meja: ‘Degradasi lahan seharusnya menurut

definisi merupakan masalah sosial’ (1987: 1).

Yang masih lebih baru, Blaikie menulis bersama dengan Terry Cannon, Ian Davis dan

Ben Wisner At Risk: Natural Hazards, People’s Vulnerability and Disasters (1994).

Seperti dua buku sebelumnya, At Risk memunculkan ketidakpuasan bersama dengan

pandangan yang merata bahwa bencana ‘adalah “alami” dalam suatu cara yang lugas’

(ibid.: xiii). Dalam buku tersebut, para pengarang menghubungkan risiko dengan

kerentanan serta kerentanan terhadap mata pencarian dan kehidupan normal: ‘Titik
krusial mengenai pemahaman mengapa bencana terjadi adalah ia tidak hanya peristiwa

alam yang menyebabkannya. Ia merupakan juga produk lingkungan sosial, politik, dan

ekonomi karena cara ia menstrukturkan kehidupan berbagai kelompok masyarakat’ (ibid.:

3). Buku ini diperbarui dan direvisi pada 2003 (Wisner et al. 2003).

Yang kurang terkenal, tetapi sama berpengaruhnya di antara kelompok cendekiawan dan

praktisi pembangunan yang lebih kecil, adalah karya Blaikie (dengan kolaborator)

tentang Nepal. Nilai utama, sebagaimana saya lihat, dalam seri buku dan karya ilmiah ini

adalah dimensi longitudinal (membujur). Dengan mengatakan longitudinal saya tidak

sekadar memaksudkan dalam pengertian biasa bahwa Blaikie dan para kolaboratornya

telah kembali ke lapangan untuk memperbarui karya mereka, tetapi longitudinal juga

dalam pengertian eksplanatori kerangka kerja yang dipakai untuk merekam pola-pola

serta proses identifikasi.

Pada tahun 1973 Overseas Development Group di Uni Emirat Arab memeroleh

pendanaan dari Komite Ekonomi dan Sosial untuk Riset Luar Negeri (ESCOR)

Kementerian Pembangunan Luar Negeri (MOD) guna mengevaluasi dampak jalanan di

Nepal Tengah-Barat. Pemberi dana itu memeroleh lebih daripada apa yang mereka

negosiasikan. Tiga direktur proyek menuliskan laporan panjang tiga jilid yang,

sebagaimana juga merincikan dampak jalanan tersebut, juga menempatkan ini secara

tepat di dalam konteks politik-ekonomi yang lebih luas. Laporan itu kemudian dipadatkan

ke dalam ringkasan tunggal yang lebih dapat dicerna, The Effects of Roads in West-

Central Nepal (1977). Tiga tahun dari ini, Nepal in Crisis: Growth and Stagnation at the

Periphery (1980) diterbitkan. Neo-Marxis pada visinya dan menggunakan bahasa

ketergantungan, buku ini dengan mendalam mengungkapkan pandangan pesimistis


mengenai Nepal di masa kini dan tampaknya di masa depan. Blaikie bersama ko-

penulisnya meyakini bahwa keberadaan jalanan dan integrasi yang dipimpin pasar ‘tidak

akan menghantarkan manfaat meningkatnya produksi pertanian, meningkatnya

komersialisasi dan perdagangan sebagaimana diprediksi dalam dokumen-dokumen

penilaian ekonomi’ (Blaikie et al. 2002: 1256). Tetapi agaknya, hasilnya justru

ketergantungan yang lebih dalam serta tumbuhnya keterbelakangan pembangunan. (Salah

satu alasan mengapa otoritas melarangnya untuk sementara waktu adalah kaum kiri di

Nepal dengan cepat berusaha mendapatkan buku itu dan duta besar Inggris di Kathmandu

menginginkan ia tidak pernah dituliskan. Ia menjadi, sebagaimana dipasang para

pengarang dengan keterangan yang mengecilkan persoalan dalam cetak ulang pada 2001,

‘sedikit “kentang panas” politik’ (Blaikie et al. 2001: 276).)

Blaikie dan para kolaboratornya kembali ke perbukitan Nepal pada 1998 untuk

melakukan tinjauan kembali serta memperbarui kesimpulan mereka (Blaikie et al. 2002).

Sementara tidak mengatakan kalau mereka keliru pada diagnosa tahun 1980-nya (mereka

tepat dalam memprediksi bahwa pertanian tidak akan menghidupkan dan kalau

ketergantungan akan kian dalam), mereka mengakui kalau peristiwa itu tidak akan

berkembang dalam cara yang memadai seperti yang mereka antisipasi. Terutama, mereka

gagal menyadari bagaimana pembangunan peluang-peluang non-pertanian akan

menghasilkan stagnasi dalam pertanian yang kurang kritis pada pengertian mata

pencarian. Mereka menyimpulkan: ‘Model awal meremehkan kapasitas pasar tenaga

kerja global untuk menyediakan pekerjaan dan remitansi demi memelihara kehidupan

pedesaan dan guna menahan krisis yang lebih umum…’ (2002: 1268–1269). Pengakuan

ini juga--dan dengan menarik--menyediakan lensa yang berharga untuk menoleh kembali
pada The Political Ecology of Soil Erosion. Sebagaimana Nepal in Crisis gagal untuk

mengukur lintasan peluru perubahan global dan nasional serta tingkatan di mana

individu-individu akan bisa diuntungkan daripada kehilangan kelas-kelas (tetapi siapa

yang melakukannya?), begitu juga dengan volume erosi tanah. Perspektif ketergantungan,

pesimisme umum, dan pandangan kalau individu-individu sebagai anggota kelas-kelas

akan dihimpit serta dikendalikan terlihat agak ketinggalan zaman dalam apa yang

sebenarnya terjadi selama tahun-tahun intervensi.

Area final di mana Blaikie telah menghasilkan kontribusi terhadap pemikiran

pembangunan–walaupun tidak, dalam pandangan saya, untuk level yang sama–adalah

dalam perencanaan keluarga dan riset AIDS. Ketertarikan Blaikie pada perencanaan

keluarga dapat ditelusuri kembali pada tahun 1970 ketika ia memutuskan pergi sementara

dari pekerjaannya dan aktif pada penyebaran teknologi perencanaan keluarga (dan

pertanian) di Bihar (India). Menyusul karya ilmiah mengenai Population Studies di tahun

1970 (Blaikie 1970), Blaikie menerbitkan sebuah monografi (tulisan mengenai suatu

subjek tertentu) riset tentang Family Planning in India: Diffusion and Policy (1975).

Dengan lokasional yang kuat, pendekatan modelnya menunjukkan ia suatu produk yang

sangat sesuai pada masa itu. Kita menyaksikan, sekali lagi, beresonansi dengan karya

Blaikie lain dalam pandangan pesimistisnya tentang masa depan dan pandangannya

bahwa masyarakat tidak merencanakan bagi keluarga-keluarga dalam konteks miskin di

pinggiran India sebagian besar adalah karena alasan struktural. Riset ini juga memberi

inspirasi bagi karya ilmiah Progress in Human Geography tentang penyebaran inovasi

(Blaikie 1978). Sumbangsih utama Blaikie bagi riset AIDS adalah sebuah buku, dikarang

bersama dengan Tony Barnett, AIDS in Africa: Its Present and Future Impact (1992).
Buku ini merupakan salah satu yang pertama menggambarkan karya lapangan

menyeluruh (pada contoh ini di Uganda) untuk memetakan kecenderungan dinamika

penyakit tersebut.

Melangkah kembali dari detail, adalah dimungkinkan untuk menghasilkan tiga

pertanyaan umum mengenai karya Blaikie serta kontribusinya bagi pengetahuan.

Pertama, publikasi-publikasinya menunjukkan argumentasi dan ekspresi yang jelas serta

menjadi kian langka. Ia akan terlihat bahwa keyakinannya di mana dia memiliki sesuatu

yang penting dan bernilai untuk dikatakan berarti dia tidak khawatir untuk

mengungkapkan sebagaimana adanya. Kedua, karya Blaikie adalah selalu perpaduan

hati-hati antara empiris dengan teoritis. Dia terjun ke lapangan, mengumpulkan data dan

terlibat pada ujung runcing pemikiran pembangunan. Tetapi, sebagai seorang akademisi

dan bukan seorang konsultan, dia juga membuat menjadi misinya untuk memunculkan

teori (sebagaimana menurunkannya) dan untuk memancangkan hasil-hasilnya dalam

pertimbangan dan perspektif yang lebih luas. Fitur ketiga dari kerja dia adalah benang

merah bersama yang berjalan melalui serta menghubungkan publikasi-publikasi

terbaiknya, apakah mengenai degradasi lahan atau perubahan pertanian: keinginan untuk

menantang mereka yang mungkin menerapkan solusi-solusi sederhana bersifat teknis

atau manajerial dari ‘masalah’ yang sejatinya justru mempunyai akar rumit politik-

ekonomi. Waktu dan kembali karya dia menekankan bahwa ‘ruang adalah apa yang

dihasilkan oleh politik’ (1978: 289).

Catatan

1 Frank Ellis, ‘Perpisahan kepada Piers Blaikie dan Stephen Biggs’.

Karya-karya utama
Blaikie, P. (1975) Family Planning in India: Diffusion and Policy, London: Edward

Arnold.

—— (1985) The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries, Harlow,

Essex: Longman.

Blaikie, P. dan Barnett, T. (1992) AIDS in Africa: Its Present and Future Impact,

London: Belhaven Press.

Blaikie, P. dan Brookfield, H. (1987) Land Degradation and Society, London: Methuen.

Blaikie, P., Cameron, J. dan Seddon, D. (1980) Nepal in Crisis: Growth and Stagnation

at the Periphery, Oxford: Clarendon Press.

—— (2002) ‘Memahami 20 Tahun Perubahan di Nepal Tengah-Barat: Keberlanjutan dan

Perubahan dalam Kehidupan dan Gagasan’, World Development 30(7): 1255–1270.

Blaikie, P., Cannon, T., Davis, I. dan Wisner, B. (1994) At Risk: Natural Hazards,

People’s Vulnerability and Disasters, London: Routledge.

Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T. dan Davis, I. (2003) At Risk: Natural Hazards,

People’s Vulnerability and Disasters, London: Routledge, edisi ke-2.

Bacaan lanjutan

Blaikie, P. (1970) ‘Implikasi-implikasi Umpan Balik Selektif dalam Aspek-aspek Riset

Perencanaan Keluarga bagi Pembuat Kebijakan di India’, Population Studies 26(3): 437–

444.

—— (1971) ‘Organisasi Ruang Pertanian di Beberapa Desa India Utara’, Transactions of

the Institute of British Geographers 53: 15–30.

—— (1978) ‘Teori Difusi Spasial Inovasi: Suatu Jalan Buntu yang Luas’, Progress in

Human Geography 2: 268–295.


—— (2000) ‘Pembangunan, Pasca-, Anti-, dan Populis: Suatu Tinjauan Kritis’,

Environment and Planning A 32: 1033–1050.

Blaikie, P., Cameron, J. dan Seddon, D. (1977) The Effects of Roads in West-Central

Nepal, Norwich: University of East Anglia.

—— (2001) Nepal in Crisis: Growth and Stagnation at the Periphery, New Delhi: Adroit

Publishers, edisi ke-2.

PIHG (1997) ‘Beranjangsana Kembali pada Geografi Manusia Klasik’, Progress in

Human Geography 21(1): 75–80.

Jonathan Rigg

JAMES M. ‘JIM’ BLAUT (1927–2000)

Jim Blaut merupakan pengkritik awal dan keras teori modernisasi dan kebijakan

pembangunan. Jamak bersama ahli geografi lain, David Harvey, karya Blaut telah

memberi pengaruh jauh melampaui disiplin ilmu tersebut. Namun, kritik Blaut tentang

Eurosentrisme serta difusi-isme sebagai pilar penting ideologi imperialis Barat dan

pandangan dunia adalah terutama berkenaan dengan geografi. Karya-karya yang

dihasilkan selama 10 tahun terakhir kehidupannya (Blaut et al. 1992; Blaut 1993, 2000;

tetapi lihat juga karya-karya embrioniknya yang lebih dini, 1969, 1970a, 1976, 1987a)

dibuat rinci, ilmiah, tetapi merupakan perlakukan polemik terhadap asal-mula dan

lintasan peluru sebuah sistem dunia yang kita kenal saat ini sebagai globalisasi neo-

liberal. Tentang ini dia adalah pelopor, bersama dengan para penulis seperti Immanuel

Wallerstein, Edward Said, Franz Fanon, Andre Gunder Frank dan Samir Amin, dalam

membentuk konsepsi dunia dari sudut pandang rendahan, terjajah, dan tertindas.
Blaut berpendapat bahwa para pendukung difusi (penyebaran) meyakini kalau ‘inovasi

independen adalah agak tidak lazim, dan karena itu tidak sangat penting dalam perubahan

budaya jangka pendek serta evolusi kebudayaan pada jangka panjang’ (1993: 11).

Kenyataannya, dia menemukan bahwa banyak sejarawan dan penganjur modernisasi

sebagai pembangunan meyakini kalau ‘hanya komunitas terpilih tertentu adalah kreatif’

(ibid.: 12). Model dasar difusi-isme berasumsi bahwa Eropa Raya telah menjadi, dan

merupakan Bagian Dalam (sumber modernitas dan inovasi) serta non-Eropa adalah

Bagian Luar. Pembagian ini dan dugaan superioritas hakiki Eropa didasarkan pada

asumsi kalau Eropa menikmati modalitas pemikiran (rasionalitas) yang lebih baik

sebagaimana juga iklim serta tanah yang lebih baik (Blaut 1994). Difusi-isme lantas

menghasilkan tujuh klaim (ibid.: 14–17; lihat juga Blaut 2000: 3–12):

• Eropa secara alami mengalami kemajuan dan modernisasi.

• Non-Eropa secara alami tetap stagnan, tidak berubah, tradisional dan mengalami

kemunduran.

• Pemicu dasar dari kemajuan Eropa adalah faktor intelektual atau spiritual, sebuah

sistem nilai-nilai.

• Demikian juga, kemunduran non-Eropa diatributkan pada ketiadaan nilai-nilai ini,

terutama kurangnya rasionalitas.

• Non-Eropa mengalami kemajuan oleh difusi inovasi dari Eropa.

• Sejarah pembalikan aliran material kekayaan dari non-Eropa ke Eropa dapat dibenarkan

sebagai pembayaran kembali sebagian bagi rasionalitas, inovasi dan modernitas yang

merupakan hadiah tidak ternilai.


• Pembalikan aliran non-material dari non-Eropa ke Eropa sepenuhnya terdiri dari

gagasan-gagasan yang kuno, brutal, berhubungan dengan atavisme, tidak beradab, atau

bahkan jahat.

Model dunia ini mulai mengambil bentuknya pada abad ke-15 dan ke-16, dan berbunga

sepenuhnya di abad ke-18 dan ke-19. Meskipun proporsi ini mungkin terlihat ekstrim,

pengamatan pada buku-buku laris yang agak baru seperti karya Ben Barber (1996) Jihad

vs. McWorld atau karya Thomas Barnett (2004) The Pentagon’s New Map

mengungkapkan apa yang diekspos Blaut sebagai ‘bagian dalam’ dan ‘bagian luar’

adalah benar-benar eksis. Barnett menyebut ini sebagai ‘inti’ dan ‘kesenjangan’.

Pengolahan Blaut dicirikan oleh tingkat eksepsional mengenai detail dan riset sejarah

yang cermat. Walaupun hanya dua dari tiga jilid yang direncanakan dalam proyeknya

untuk membongkar Eurosentrisme terselesaikan pada waktu kematiannya (Blaut 1993,

2000), dia telah pergi jauh menuju tujuan itu. Bagi para mahasiswa pembangunan, dua

jilid ini menyediakan vaksin esensial melawan Virus Crusader (Perang Salib) yang

berbahaya dan baru serta mulai menyapu dunia dari Gedung Putih dan Pentagon segera

setelah serangan teror terhadap Menara Kembar WTC New York pada tanggal 11

September 2001. Meskipun gagasan ‘modernisasi ruang’ adalah unik bagi geografi, dan

karenanya merupakan suatu konsep spesialis dan samar-samar, asumsi mengenai difusi

dan inovasi berlari seperti lemak di seluruh pola daging teori dan praktik pembangunan.

Bisa jadi dalil-dalil paling dikenal darinya adalah karya Walt Rostow (1960) The Stages

of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. Karena itu, kritik Blaut,

menyediakan lensa korektif yang penting sebagaimana, misalnya, arkeologi konsep


‘pembangunan’ Wolfgang Sachs (Sachs 1999) atau dekonstruksi gagasan Said mengenai

‘orientalisme’ (Said 1988).

Apa yang juga sebagian mengatur kontribusi Blaut adalah kompleksitas kisaran dan

metodologinya, sebagaimana juga kebersatuannya selama hampir 50 tahun. Memulai

karirnya pada tahun 1950-an dan 1960-an sebagai seorang ahli geografi budaya yang

memerhatikan kemanfaatan produksi pertanian tropis, dia dengan cepat mulai mengkritik

upaya top-down untuk ‘memodernisasi’ agrikultur petani melalui ‘tropikalisasi’ teknik-

teknik dari pertanian Eropa dan Amerika Utara (Blaut 1967, 1970b). Dia juga

mengapresiasi banyak hal penting lain dari apa yang telah menjadi dikenal sebagai

pengetahuan teknis pribumi–dan dia mempergunakan, sebagaimana yang dilakukan

sedikit ahli geografi dan antropolog lain dari generasinya, teknik-teknik yang kemudian

akan menjadi standar bagi para periset dan LSM di bawah nama kontemporernya, riset

partisipatoris. Sebuah contoh bagus adalah penelitian Blaut mengenai persepsi petani atas

penyebab erosi tanah di Pegunungan Biru di Jamaika (Blaut 1959). Blaut mempunyai

obsesi lama dengan pertanyaan-pertanyaan bersifat metodologi dan teoritis yang

menyeimbangkan dan menjelaskan ‘lumpur di sepatu bot’ dalam karya lapangan serta

pendekatan terhadap praktik pembangunan. Karena itu dia juga menteorikan karya

awalnya dengan para petani penggarap (Blaut 1979).

Pengalaman dia dengan kayanya pengetahuan yang dimiliki oleh para petani di

Singapura, Jamaika, St. Croix, Kosta Rika dan Venezuela menuntun Blaut pada

pertanyaan-pertanyaan yang lebih umum. Bagaimana anak-anak belajar secara informal

untuk menjadi petani? Bagaimana anak-anak belajar memetakan dan menavigasi


permukaan planet ini? Ini menelurkan rangkaian studi empiris dan perdebatan teoritis

yang dimulai pada 1970-an dan terus berlangsung saat kematiannya.

Signifikansi kontribusi Blaut terhadap studi pembangunan dari karya ini pada

pembelajaran tempat adalah dua kali lipat. Pertama, dia dan kolega dekatnya, David Stea,

menemukan bahwa keahlian pemetaan yang dipelajari dengan spontan dan dengan sangat

dini di masa anak-anak sesungguhnya ‘tidak dipelajari’ semasa sekolah formal (Blaut dan

Stea 1974; Blaut 1997; Sowden et al. 1997). Kedua, Blaut membangun serangkaian

penelitian lintas budaya tentang pembelajaran tempat anak-anak (Blades et al. 1998) guna

mengembangkan teori pemetaan sebagai universal manusia (Blaut 1991; Stea et al.

1996). Eurosentrisme dan difusi-isme–landasan imperialisme Barat hingga sekarang ini–

memerlukan keistimewaan pengetahuan dan keahlian satu kelompok terhadap pihak lain.

Sebagaimana asumsi-asumsi itu menganggap rendah dan mengabaikan pengetahuan lokal

petani penggarap, sehingga mereka juga cenderung mengabaikan dan, bahkan,

merusakkan pemetaan keahlian masa anak-anak awal. Sebagian dari polemik akademik

yang paling garang melibatkan Jim Blaut berpusatkan bukan pada gagasan politiknya

yang terang-terangan atau anti-imperialisme, tetapi terhadap apakah (mengikuti psikolog

Swiss, Piaget) anak-anak telah memiliki tahapan-tahapan dan keterbatasan asal dalam

kemampuan mereka untuk memahami hubungan spasial. Memandang ini sebagai gagasan

lain rasionalis Barat, akar yang pergi kembali pada filosof abad ke-18 Kant, Blaut

menciptakan frase ‘Can’tianism’ –memakai permainan kata-kata yang agak esoterik

(karenanya, meyakini kalau ‘anak-anak tidak dapat…’) dan mencoba membantahnya,

serta menegaskan, ‘Anak-anak Bisa!’ (Sowden et al. 1997).


Terutama, Eurosentrisme harus menolak universalitas manusia seperti memetakan dan

spontan, inovasi lokal oleh para petani. Imperialisme kontemporer mungkin memberi

basa-basi bagi universalitas hak-hak azasi manusia, tetapi asumsi-asumsi Eurosentris-nya

menuntut agar Barat menamai, menghitung, dan melindungi mereka. Para filosof Afrika–

yang karyanya dikenal Blaut–juga menyanggah klaim filosofi akademik Barat bahwa

kebudayaan Afrika tidak menghasilkan ‘filosofi’ dalam pengertian ketat, melainkan

hanya ‘kearifan rakyat’. Karena itu, dapat dilihat kesatuan dalam kontribusi Blaut yang

merangkul studi-studinya mengenai pertanian tropis, pembelajaran tempat, dan kritik dia

atas Eurosentrisme.

Blaut mengintegrasikan tema-tema ini dengan baik dalam sebuah karya ilmiah konferensi

(Blaut 1994), menuliskan bahwa difusi-isme Eurosentris menuntun pada klaim tipikal

tertentu tentang lahan tropis, dan keluarga para petani di tropis, yakni:

• Lahan sulit untuk dikelola, dan para petani skala kecil menghancurkannya ketika

mereka mencoba hal itu.

• Bimbingan Eropa dibutuhkan untuk membawa lahan ini ke dalam produksi yang

berkelanjutan.

Sejak tahun 1930-an ke atas, sains lahan tropis menghasilkan data yang berkontradiksi

dengan klaim-klaim ini, tetapi asumsi dominan tetap dan masih memengaruhi kebijakan.

Pada satu contoh yang menonjol, dia menunjukkan bagaimana penolakan ‘irasional’

untuk mengaliri pertanian di lereng bukit didasarkan pada pengetahuan lokal bahwa

drainase seperti ini cenderung memicu tanah longsor.

Sumbangsih Blaut bagi studi pembangunan yang juga penting adalah cara di mana dia

meletakkan ide-idenya ke dalam praktik. Dia merupakan penganjur kuat independensi


Puerto Rico dari Amerika Serikat dan menulis secara luas mengenai pertanyaan nasional,

diterbitkan baik dalam bahasa Spanyol maupun Inggris, guna membantu perjuangan

tersebut (Blaut 1987b; Blaut dan Figueroa 1988). Dia juga menuliskan uraian menarik

mengenai kampung orang miskin sebagai koloni internal, usaha-usaha intelektualnya

kembali dituntun oleh solidaritas dengan pemicu rakyat Puerto Rico (dan kelompok-

kelompok minoritas lain yang tertindas) (misalnya Blaut 1974). Blaut juga aktif

mempromosikan hak-hak rakyat Palestina dan mendukung perjuangan anti-aparteid di

Afrika Selatan.

Jim Blaut dilahirkan di New York City pada tahun 1927 dan berkuliah di Universitas

Chicago pada usia belia 16 tahun (Matthewson dan Stea 2003). Dia memiliki pengalaman

unik belajar di Imperial College of Tropical Agriculture di Trinidad selama senjakala

imperium Inggris. Dia kemudian menyelesaikan studi doktor (PhD) di Louisiana State

University –menulis panjang mengenai lahan pertanian keluarga seluas satu acre (4050

meter persegi) di Singapura (Blaut 1953). Sementara melaksanakan kerja lapangan ini,

dia menjadi instruktur di University of Malaysia (1951–1953).

Blaut kemudian memegang posisi akademik di Yale (1956–1961), Cornell (1960), Clark

(1967–1971) dan University of Illinois–Chicago Circle Campus (1972–2000). Dia

mempertahankan ketertarikan kuat di Karibia, seringkali mengajar dan memberikan

konsultasi di sana. Blaut menjadi konsultan pertanian untuk Pemerintah Venezuela

(1963–1964) dan sebagai penasihat UNESCO untuk Dewan Perencana Republik

Dominika di tahun 1964. Dia mengajar di University of Puerto Rico dari tahun 1961

hingga 1963 dan kemudian lagi di tahun 1971–1974. Dia memimpin Institut Riset

Karibia berbasis di Kepulauan Virgin sejak 1964 hingga 1966 dan bertindak sebagai
konsultan bagi lembaga itu sejak tahun 1966 sampai 1967. Selambatnya 1982, Blaut

kembali ke lapangan, memanjat pegunungan Grenada untuk mewawancarai pemuda yang

memproduksi arang kayu untuk dijual di Georgetown, sekali lagi mempergunakan talenta

yang telah dikembangkannya selama tiga dekade untuk melakukan wawancara dengan

gaya percakapan.

Blaut mengatakan dirinya sendiri merupakan seorang ‘aktivis sebagai kaum muda di

dalam Partai Progresif Tua (dari Henry Wallace), bekerja di Georgia’ (Blaut 2005). Dia

kemudian menjadi aktivis di Partai Sosialis Puerto Rico dan ditahan (bersama sejumlah

mahasiswa pascasarjananya) karena memblokir jalan masuk di Worcester, Massachusetts

sebagai protes atas Perang Vietnam (ibid.). Blaut merupakan seorang guru yang sangat

berbakat sekaligus efektif yang telah meninggalkan beberapa generasi pekerja intelektual

sayap kiri, menyebar di seluruh dunia (Matthewson dan Stea 2003; Wisner dan

Matthewson 2005).

Ganjaran bagi aktivis intelektual dalam masyarakat borjuis mencakup tekanan akademik.

Blaut dicekal dari promosi dan masa jabatan di Clark University walaupun datang pada

pertemuan fakultas yang menentukan dengan gerobak dorong yang dipenuhi publikasi-

publikasi ilmiahnya. Asosiasi Mahasiswa Pascasarjana di Clark University meresponsnya

dengan menyatakan tidak percaya kepada direktur Program Pascasarjana Geografi, Saul

Cohen. Kelak dalam kehidupannya Blaut menerima pengakuan, penghargaan dari

Asosiasi Geografi Amerika ‘Distinguished Scholar of the Year’ pada tahun 1997.

Karya-karya utama

Blaut, J.M. (1953) ‘Geografi Ekonomi Lahan Pertanian Satu Acre di Singapura: Suatu

Studi dalam Mikrogeografi Terapan’, Journal of Tropical Geography 1(1): 37–48.


—— (1983) ‘Nasionalisme sebagai Kekuatan Otonom’, Science and Society 46: 1–23.

—— (1987a) ‘Difusi-isme: Kritik Keseragaman’, Annals of the Association of American

Geographers 77: 30–47.

—— (1987b) The National Question: Decolonising the Theory of Nationalism, Atlantic

Highlands, NJ: Zed Books.

—— (1993) The Colonizer’s Model of the World: Geographical Diffusionism and

Eurocentric History, New York: Guilford Press.

—— (1994) ‘Eurosentrisme, Difusi-isme, dan Penilaian Produktivitas Lahan Tropis’,

makalah yang dibacakan pada Konferensi Internasional tentang Kemajuan dalam

Pertanian Tropis pada Abad ke-20 dan Prospek Abad ke-21, University of the West

Indies, Trinidad, 4–9 September.

—— (1997) ‘Pesimisme Piaget dan Pemetaan Kemampuan Anak-anak’, Annals of the

Association of American Geographers 87, 1: 168–177.

—— (2000) Eight Eurocentric Historians, New York: Guilford.

—— (2005) ‘Peninggalan Saya (Dinilai oleh Saya, Jim Blaut, pada 16 September 2000.

Tidak Lengkap dan Tergesa-gesa dengan Sebagian Redundansi)’, dalam Wisner, B. dan

Matthewson, K. (eds), The Work and Legacy of J.M. Blaut, edisi khusus Antipode, 37(5),

November.

Blaut, J.M., dengan kontribusi S. Amin, R. Dodgshon, A.G. Frank, dan R. Palan, dan

dengan pengantar oleh P.J. Taylor (1992) Fourteen Ninety-Two: The Debate on

Colonialism, Eurocentrism, and History, Trenton, NJ: Africa World Press.

Bacaan lanjutan
Barber, B. (1996) Jihad vs. McWorld: How Globalism and Tribalism Are Reshaping the

World, New York: Ballantine.

Barnett, T. (2004) The Pentagon’s New Map: War and Peace in the 21st Century, New

York: Putnam.

Blades, M., Blaut, J.M., Darvizeh, Z., Elguea, S., Sowden, S., Soni, D., Spencer, C., Stea,

D., Surajpaul, R. dan Uttal, D. (1998) ‘Suatu Penelitian Lintas Budaya tentang

Kemampuan Pemetaan Anak-anak’, Transactions, Institute of British Geographers NS

23: 269–277.

Blaut, J.M. (1959) ‘Studi Determinan Budaya Erosi Lahan dan Konservasi di

Pegunungan Biru Jamaika’, Social and Economic Studies 8: 403–420.

—— (1967) ‘Geografi dan Pembangunan Pertanian Kaum Tani’, dalam Cohen, S.B.

(ed.), Problems and Trends in American Geography, New York: Basic Books, halaman

200–220.

—— (1969) ‘Geografi Jingo: Bagian I’, Antipode 1(1): 10–13.

—— (1970a) ‘Model Geografi Imperialisme’, Antipode 2 (1): 65–85.

—— (1970b) ‘Model Realistik Pertanian Kaum Tani’, dalam Field, A.J. (ed.), Town and

Country in the Third World, Boston: Schenkman, halaman 213–224.

—— (1974) ‘Kampung Kaum Miskin sebagai Neokoloni Internal’, dalam Morrill, R. dan

Eichenbaum, J. (eds), New Perspectives in Urban Location Theory, edisi khusus

Antipode 6(1): 37–42.

—— (1976) ‘Di Mana Kapitalisme Dilahirkan?’, Antipode 8(2): 1–11.

—— (1979) ‘Beberapa Prinsip Etnogeografi’, dalam Gale, S. dan Olsson, G. (eds),

Philosophy in Geography, Dordrecht: Reidel, halaman 1–7.


—— (1991) ‘Pemetaan Natural’, Transactions, Institute of British Geographers, NS

16(1): 55–74.

Blaut, J. dan Figueroa, L. (1988) Aspectos de la cuestión nacional en Puerto Rico, San

Juan: Editorial Claridad.

Blaut, J.M. dan Stea, D. (1974) ‘Pemetaan di Usia 3 Tahun’, Journal of Geography

73(7): 5–9.

Matthewson, K. dan Stea, D. (2003) ‘James M. Blaut (1927–2000)’, Annals of the

Association of American Geographers 93(1) (Maret): 214–222.

Rostow, W.W. (1960) The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto,

Cambridge: Cambridge University Press.

Sachs, W. (1999) ‘Arkeologi Ide Pembangunan’, dalam Sachs, W. (ed.), Planet

Dialectics: Explorations in Environment and Development, London: Zed Books, bab 1,

halaman 3–22.

Said, E. (1988) Orientalism, New York: Vintage.

Sowden, S., Blaut, J., Stea, D., Blades, M. dan Spencer, C. (1997) ‘Anak-anak Bisa’,

Annals of the Association of American Geographers 87(1): 152–158.

Stea, D., Blaut, J.M. dan Stephens, J. (1996) ‘Pemetaan sebagai Budaya Universal’,

dalam Portugali, J. (ed.), The Construction of Cognitive Maps, Boston: Kluwer.

Wisner, B. dan Matthewson, K. (eds) (2005) The Work and Legacy of J. M. Blaut, edisi

khusus Antipode 37(5), November.

Ben Wisner

NORMAN BORLAUG (1914–)


Selama tahun 1960-an, peningkatan pesat hasil pertanian, terutama untuk komoditas

gandum dan beras, di sebagian wilayah Asia dan Amerika Latin dipandang sebagai

pertanda solusi bagi masalah kelaparan yang mengancam jutaan warga termiskin dunia.

Penggunaan varietas dengan hasil tinggi (HYVs), pupuk kimia, irigasi dan mesin

diistilahkan sebagai ‘Revolusi Hijau’. Perdebatan mengenai keberhasilan dan kegagalan

relatif dari perubahan ini dalam produksi pertanian berlanjut, tetapi Norman Borlaug,

terkadang disebut sebagai ‘Bapak Revolusi Hijau’, tetap hampir tidak dikenal.

Borlaug dilahirkan di Cresco, Iowa, Amerika Serikat pada tanggal 25 Maret 1914 dan

dibesarkan di lingkungan pertanian. Ketertarikannya di masa depan dengan kuat

dipengaruhi oleh lingkungan ini. Selama kurun tahun 1930-an dia belajar di University of

Minnesota, di mana dia meraih gelar BSc di bidang Manajemen Hutan pada 1937, disusul

oleh gelar Master bidang Patologi Tanaman di tahun 1939 dan doktoral pada 1942.

Disertasi doktoralnya adalah mengenai sejenis jamur biasa, rust (karat), yang menyerang

berbagai jenis tanaman. Pekerjaan dia berfokus pada gerakan spora-spora rust dan

menemukan bahwa mereka dapat berpergian menempuh jarak yang jauh. Dia kemudian

bekerja sebagai ahli mikrobiologi untuk du Pont de Nemours Foundation di Delaware, di

mana risetnya berkonsentrasi pada produk-produk kimia pertanian seperti fungisida dan

bakterisida.

Penelitian ilmiah Borlaug berfokus mengenai bagaimana teknologi dapat meningkatkan

hasil pertanian. Keyakinan dia terkait peran ilmu pengetahuan dalam pertanian tidak

hanya didasarkan pada karya ini, tetapi juga pada pengamatannya yang bertumbuh di

wilayah Midwest, Amerika Serikat. ‘Dust Bowl’ pada tahun 1930-an seringkali

digunakan sebagai contoh bagaimana metode pertanian yang tidak cocok untuk
lingkungan fisik tertentu dapat menyebabkan kerusakan lingkungan jangka panjang,

sebagaimana juga dampak sosial. Seiring depresi ekonomi pada 1930-an memburuk, para

petani berusaha meningkatkan hasil dengan mengintensifkan produksi. Ini meninggalkan

wilayah lahan yang luas tanpa perlindungan vegetasi yang sesuai, memicu tingginya

tingkat erosi tanah. Borlaug mengamati bahwa bukanlah penggunaan teknik-teknik sains

pertanian yang menyebabkan masalah ini, tetapi penyalahgunaan atau kekurangan

penggunaan. Dia berpendapat bahwa para petani yang mengadopsi praktik-praktik

informasi sains yang sesuai tidak menderita kerugian yang sama.

Era 1940-an menyaksikan permulaan skala besar ‘bantuan pembangunan’ dari belahan

Utara hingga ke belahan Selatan. Di tahun 1943, Rockefeller Foundation, bekerja sama

dengan pemerintah Meksiko, mendirikan Riset Gandum Komparatif dan Program

Produksi di Meksiko. Borlaug pergi ke Meksiko di tahun 1944 untuk mengepalai

program ini. Hal itu memberi dia peluang untuk meletakkan ide-idenya ke dalam praktik.

Program dimaksudkan untuk berkonsentrasi mengajari para petani Meksiko mengenai

bagaimana meningkatkan teknik-teknik pertanian mereka, tetapi di bawah kepemimpinan

Borlaug ia juga mengembangkan fokus yang sangat kuat pada inovasi. Borlaug dengan

gigih berusaha melahirkan bentuk gandum baru yang akan membantu meningkatkan hasil

dan mengurangi risiko bagi para petani miskin. Inovasi ini termasuk mengembangkan

jenis gandum (ceredo) yang tidak sensitif terhadap jumlah jam sinar matahari di siang

hari dan, yang paling terkenal, varietas gandum cebol. Borlaug dan para ilmuwan

koleganya berpendapat bahwa batang gandum tradisional yang panjang membatasi hasil,

sebagian karena energi yang dihabiskan untuk menumbuhkan tangkai panjang yang tidak

dapat dimakan dibandingkan kuping gandum, dan juga karena tangkai yang tinggi
seringkali dirusakkan oleh angin atau hujan, sehingga membuat panen makin sulit. Jenis

cebol memiliki hasil yang jauh lebih tinggi jika ditumbuhkan dengan pupuk dan irigasi

yang sesuai. Eksperimen tentang jenis padi cebol juga dilakukan pada saat yang sama di

Institut Riset Beras Internasional di Filipina dan Institut Riset Padi Insani di China.

Pada tahun 1963 Program Meksiko ditransformasikan ke dalam sebuah lembaga baru

yang dikenal sebagai Pusat Internasional untuk Pengembangan Jagung dan Gandum,

seringkali diacu berdasarkan singkatannya dalam bahasa Spanyol CIMMYT (Centro

Internacional de Mejoramiento de Maíz y Trigo). Dipicu oleh keberhasilan program

gandum cebol di Meksiko, Borlaug tidak sabar untuk mentransfer teknologi dan praktik

tersebut ke belahan dunia lain di mana kelaparan dan kekurangan pangan jauh lebih

meluas. Ini menuntunnya untuk fokus pada India dan Pakistan. Pada waktu itu, distribusi

bibit dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan negara, sehingga dia memusatkan

perhatiannya pada organisasi-organisasi ini. Borlaug fokus pada komoditas gandum,

daripada tanaman asli dari anak benua tersebut, yang dipicu bukan karena dia merasa

kalau gandum secara intrinsik lebih baik dibandingkan miju-miju atau makanan pokok

lokal lainnya, tetapi lebih karena varietas tanaman asli pribumi dengan hasil tinggi belum

dikembangkan, dan gandum dapat bertumbuh dalam berbagai variasi lingkungan fisik

yang lebar, serta ia menyediakan kalori dalam jumlah signifikan. Poin yang belakangan

ini merupakan kunci sebagaimana misi Borlaug adalah untuk mengatasi persepsi

ketidaksesuaian antara jumlah populasi dengan pasokan pangan.

Dengan tidak mengejutkan, terdapat halangan-halangan berarti dalam upayanya untuk

memperkenalkan HYV ke India dan Pakistan sebagaimana ia mewakili pergeseran besar

dalam penerimaan budaya dan pemahaman mengenai peran bahan makanan tertentu,
sebagaimana juga metode pertaniannya. Borlaug tidak menyerah dan pada akhirnya

pemerintah setuju pada adopsi terbatas gandum HYV karena meluasnya kelaparan di

sebagian wilayah negara mereka. Borlaug seringkali berargumentasi kalau permusuhan

militer antara India dan Pakistan pada tahun 1965 berarti dia dapat memperkenalkan

gagasannya dengan sedikit intervensi pemerintah segera setelah persetujuan diberikan.

Sebagaimana menggunakan HYV, irigasi juga adalah penting, serta pula pemanfaatan

pupuk anorganik.

Hasil panen meningkat sangat pesat dan pada tahun 1968 Pakistan mampu mencukupi

dirinya sendiri akan gandum dan di tahun 1974 India berhasil mencukupi kebutuhannya

dalam semua padi-padian. Angka ini terutama tepat waktu seiring gagasan neo-Malthus

mengenai ‘bom waktu populasi’ kian menyebar di belahan Utara. India kerapkali

digunakan sebagai contoh bagaimana pertumbuhan pesat populasi telah melampaui

pasokan pangan dan akan memicu kelaparan yang meluas, serta penyakit dan perang.

Borlaug berpendapat kalau prediksi Malthus tidak mempertimbangkan kemajuan ilmu

pengetahuan dalam produksi pangan sebagaimana yang dia promosikan. Namun, Borlaug

pernah, dan terus, mengkhawatirkan mengenai pertumbuhan penduduk dan implikasinya

terhadap keamanan pangan.

Pada 1970, Borlaug memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian. Ini mencerminkan

kesadaran kalau kerawanan pasokan pangan dapat memicu ketegangan besar dan

kekerasan di antara individu-individu, komunitas dan negara. Pada pidato

penerimaannya, Borlaug menyatakan bahwa ‘pangan merupakan hak moral dari semua

yang dilahirkan ke dalam dunia ini’. Dia juga mengakui kalau masyarakat mempunyai

hak-hak lain, tetapi ‘tanpa itu [makanan] seluruh komponen keadilan sosial lain menjadi
tidak bermakna’. Pidato penerimaan ini menunjukkan semangatnya bagi riset yang

praktis dan efektif, dan dorongannya untuk mengatasi masalah pasokan pangan di seluruh

kawasan-kawasan termiskin di dunia. Komitmen dia untuk mengembangkan kapasitas

riset di negara-negara Selatan juga nyata. Misalnya, dalam ikhtisarnya tentang kerja awal

Program Meksiko, dia menekankan perlengkapan program pelatihan dan persaudaraan,

menekankan kalau ‘para peneliti yang mengejar kupu-kupu akademik yang tidak relevan

tidak direkomendasikan’ (Borlaug 1970). Karir Borlaug sendiri berfokus pada penerapan

praktis perkembangan ilmu pengetahuan, daripada menulis makalah-makalah akademik,

bisa jadi secara sebagian menjelaskan kerendah-hatian dia di antara komunitas akademik

yang bekerja di bidang ‘pembangunan’, terutama di kawasan global Utara.

Borlaug pensiun di tahun 1979, tetapi ini tidak mewakili akhir dari karya dia. Sejak itu

dia terutama terlibat dalam riset dan proyek-proyek untuk mempromosikan peningkatan

praktik-praktik pertanian di kawasan sub-Sahara Afrika. Walaupun dukungan finansial

sebelumnya dari lembaga-lembaga amal seperti Rockefeller dan Ford Foundations serta

badan-badan multilateral termasuk Bank Dunia, jumlah signifikan dari kerja Borlaug

yang lebih baru didanai oleh sebuah yayasan Jepang. Di tahun 1986 dia membantu

mendirikan Program Sasakawa-Global 2000. Karya dari asosiasi ini meliputi proyek-

proyek bergaya Revolusi Hijau pada banyak negara di sub-Sahara Afrika. Borlaug juga

menjabat Distinguished Professor di Jurusan Sains Pertanahan dan Tanaman di Texas A

& M University.

Borlaug dan para pendukung metodanya mengklaim kalau peningkatan keengganan

organisasi-organisasi yang berbasis di Amerika Serikat untuk mendanai kerja ini

mencerminkan pertumbuhan kekuatan gerakan lingkungan. Penggunaan tanaman non-


lokal dan HYV, sebagaimana juga peningkatan pemanfaatan irigasi, pestisida dan pupuk

anorganik dituding sebagai penyebab kemerosotan kesuburan tanah, polusi air, erosi

lahan dan masalah-masalah lingkungan lain, terutama dalam lingkungan marjinal.

Apalagi, sementara Revolusi Hijau bisa jadi membuat kenaikan dramatis pada hasil

pertanian pada permulaannya, peningkatan ini mustahil untuk dipertahankan. Pada

akhirnya, dampak sosial Revolusi Hijau telah disoroti. Pada sebagian besar kasus Borlaug

tidak dikritik secara langsung, tetapi lebih pada perubahan praktik-praktik pertanian yang

dia promosikan. Misalnya, terkait dengan biaya-biaya HYV, pestisida dan pupuk

anorganik, Revolusi Hijau, ia diargumentasikan, seringkali memperburuk perpecahan

kasta dan golongan yang sudah eksis. Sementara para petani yang lebih kaya dapat

membeli input baru ini dan memeroleh keuntungan dari peningkatan hasil panen, petani

yang lebih miskin tertinggal di belakang dan mungkin harus menjual tanah mereka serta

beralih menjadi petani penggarap atau migran perkotaan.

Kelaparan dan kekurangan pangan tetap menjadi kenyataan hidup sehari-hari bagi jutaan

orang di kawasan global Selatan sekarang ini. Teknologi-teknologi pertanian baru dan

kemungkinan membuka modifikasi genetika, sebagian berpendapat, merupakan jawaban

bagi masalah ini. Borlaug mendukung pemanfaatan rekayasan genetika, serta

berpendapat kalau para penentang yang menilai proses seperti itu adalah ‘tidak alami’

gagal memahami pembauran genetika yang terjadi secara alamiah tanpa campur-tangan

manusia. Dia juga bersemangat dalam kritiknya terhadap banyak kelompok dan individu

yang, dia mengklaim, melakukan lobi untuk menentang pemakaian pestisida, pupuk dan

tanaman rekayasa genetika dari ‘kenyamanan’ Eropa atau Amerika Serikat.


Namun, pandangan ini, tidak semestinya mencerminkan kritik kalau bentuk-bentuk

tertentu dari praktik pertanian dan penggunaan bibit rekayasa genetika, terutama, telah

diterima masyarakat yang berdiam di wilayah global Selatan. Di India dan Meksiko,

misalnya, walaupun hasil panen pertanian di masa lalu meningkat, terdapat protes-protes

yang meluas menentang tanaman rekayasa genetika. Borlaug mengakui kalau kadang-

kadang para ilmuwan tidak berhasil dalam mempresentasikan karya mereka secara

efektif, menyiratkan kalau masyarakat diberikan ‘fakta-fakta’ maka tidak akan ada protes

menentang.

Ketika mendiskusikan karyanya saat ini di sub-Sahara Afrika, sebagaimana dalam

wawancara pada tahun 2000 (Bailey 2000), Borlaug menyebutkan berlanjutnya halangan-

halangan guna memenuhi kebutuhan pangan individu-individu. Sementara teknologi

pertanian mungkin dapat meningkatkan hasil panen, terdapat isu-isu mengenai distribusi

yang harus dipertimbangkan. Ini meliputi tidak hanya distribusi fisik dalam pengertian

infrastruktur, tetapi juga distribusi sosial, melingkupi gagasan Amartya Sen tentang hak.

Pangan dalam jumlah yang mencukupi bisa jadi dapat diproduksi, namun kalau Anda

tidak memiliki cukup uang untuk membelinya maka kelaparan masih akan terjadi. Bagi

sebagian praktisi dan teoritikus pembangunan, adalah isu-isu distribusi ini yang

seharusnya sekarang memeroleh perhatian yang jauh lebih besar dibandingkan fokus

pada peningkatan pasokan pangan global.

Komitmen dan semangat Norman Borlaug dalam mengurusi perdebatan kunci

pembangunan mengenai bagaimana memberi makan populasi yang kian melonjak dengan

jumlah lahan yang terbatas patut dipuji. Fokus dia dalam menerapkan proyek-proyek,

memengaruhi pemerintah dan bekerja sama dengan masyarakat setempat


mendemonstrasikan bukan hanya kepercayaan dan pengesahan ilmu pengetahuannya,

tetapi juga kemampuan dia untuk beradaptasi dan bekerja dalam konteks sosial dan

budaya yang spesifik. Sementara antusiasme yang menyambut ‘Revolusi Hijau’ pada

tahun 1960-an dan 1970-an bisa jadi terlalu optimistis, kontribusi Revolusi Hijau untuk

menyelamatkan jutaan orang dari ancaman kelaparan tidak boleh diremehkan. Pidato

penerimaan Hadiah Nobel oleh Borlaug menekankan kalau dia hanyalah satu bagian dari

sebuah tim besar yang berhak atas pengakuan. Ini tentu saja benar, tetapi tanpa visi dan

kegigihan Borlaug, hasil dari tim tersebut bisa jadi kurang sukses dan jauh lebih sedikit

yang dapat diimplementasikan.

Karya-karya utama

Borlaug, N. (1970) ‘Revolusi Hijau: Perdamaian dan Kemanusiaan’, pidato pada

kesempatan penghargaan Hadiah Nobel Perdamaian 1970.

—— (2002) ‘Pertanian dan Perdamaian: Peran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Abad

ke-21’, Seri Diferensiasi Pengajaran U Thant, Perserikatan Bangsa-bangsa, Universitas

Tokyo, Oktober.

Bacaan lanjutan

Bailey, P. (2000) ‘Melayani Miliaran’, Reason, April.

Easterbrook, G. (1997) ‘Dermawan Kemanusiaan yang Terlupakan’, The Atlantic,

Januari 1997.

The Norman Borlaug Heritage Foundation.

The Sasakawa Africa Association.

Katie Willis

ESTER BOSERUP (1910–1999)


Ester Boserup adalah seorang ekonom pembangunan, yang bekerja sebagai pegawai

negeri selama dua dekade dan kemudian sebagai peneliti independen serta konsultan

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan badan-badannya yang menekankan pada isu-isu

serta masalah di negara berkembang.

Boserup dilahirkan di Kopenhagen pada tanggal 18 Mei 1910, berkuliah di Universitas

Kopenhagen di tahun 1929 dan lulus pada 1935 sebagai ‘cand. polit.’. Tekanan utama

studinya selama Depresi Besar adalah mengenai teori ekonomi tetapi dia juga mengikuti

perkuliahan di bidang sosiologi dan kebijakan pertanian. Bagian dari kerja studi

kesarjanaannya menuntun pada karya ilmiah yang membandingkan Marx dengan

Keynes, suatu versi yang lebih pendek dari itu diterbitkan pada jurnal ekonomi dari

Denmark, Nationaløkonomisk tidsskrift (Boserup 1936). Dia melibatkan dirinya sendiri

untuk sementara waktu bersama kelompok kecil para intelektual sosialis yang independen

dan kemudian terus berpartisipasi dalam gerakan sosialis Denmark Clarté.

Setelah lulus dia bekerja selama 20 tahun sebagai pegawai negeri, dalam dekade pertama

di administrasi ekonomi Denmark1 dan kemudian, sejak tahun 1947, di Jenewa bersama

Divisi Riset dan Perencanaan Komisi Ekonomi untuk Eropa, di mana kerja dia

berkontribusi besar bagi keberhasilan awal Survei Ekonomi tahunan.

Di tahun 1957 dia dan suaminya, Mogens, pindah ke New Delhi, menerima proposal dari

Gunnar Myrdal untuk terlibat dalam suatu studi bersama pertanian Asia Selatan dan

Asia Tenggara. Dia berpergian secara luas di dalam negeri India, berdiskusi bersama para

pakar dan penasihat pertanian India serta mengalami sistem pertanian yang belum pernah

dia jalani sebelumnya. Dia segera sampai pada opini bahwa ‘teori produktivitas marjinal

nol dan surplus populasi pertanian yang umum diterima pada negara berkembang yang
padat penduduk merupakan konstruksi teoritis yang tidak realistis’ (Boserup 1999). Dia

bersama suaminya mengembangkan kesangsian terhadap teori pembangunan yang merata

dan menempatkannya secara berlawanan dengan evaluasi Myrdal tentang situasi Asia.

Tidak dapat meneruskan studi bersama itu, mereka kembali ke Denmark ketika kontrak

habis pada Mei 1960, setelah menghantarkan bab yang disepakati kepada Asian Drama

(Myrdal 1969).

Setelah itu, dia menerima konsultasi-konsultasi jangka pendek tetapi terus merefleksikan

pengalamannya dari Asia dan karena itu menulis buku kontroversial The Conditions of

Agricultural Growth (1965). Pada buku ini dia berpendapat kalau pertumbuhan populasi

merupakan penyebab utama perubahan pertanian dan mekanisme utama perubahan itu

adalah intensifikasi penggunaan lahan melalui peningkatan frekuensi penanaman.

Sementara intensifikasi seperti ini tidak akan terjadi tanpa pertumbuhan populasi, yang

mengurangi produktivitas tenaga kerja–klaim berbantahan yang tetap tidak terbukti

(Grigg 1979) –merupakan, argumentasi dia, respons kolektif yang diperlukan terhadap

tekanan populasi. Lebih jauh lagi, intensifikasi seperti itu menuntun pada kemajuan

teknologi, seperti adopsi sistem baru yang tidak terpakai, yang memerlukan peralatan dan

teknik baru dan yang membentuk institusi-institusi, sistem pemakaian lahan serta bentuk-

bentuk permukiman (Grigg 1979). Teori ini menjungkirbalikkan arah penyebab yang

implisit dalam pendekatan Malthus dan neo-Malthus, di mana memandang perubahan

teknologi sebagai sebuah proses otonom yang menginduksikan daripada berlangsung dari

pertumbuhan penduduk. Para ekonom umumnya tidak antusias dengan model Boserup

tersebut, tetapi ia memfokuskan kembali banyak perdebatan modern dan

menstimulasikan pemikiran lebih jauh tentang isu-isu tersebut (Giovanni 2001). Respons
lain, seperti ekspansi pada batasan luas, mengadopsi tanaman baru atau migrasi ke luar,

juga dapat meringankan tekanan penduduk, serta pengaruh-pengaruh lain seperti

pertumbuhan perkotaan atau pengembangan perdagangan dapat menstimulasi perubahan

pertanian, tetapi dalil ini tetap merupakan ‘sebuah interpretasi yang berhasil mengenai

perubahan pertanian’ (Grigg 1979). Walaupun dengan segala kelemahannya, The

Conditions of Agricultural Growth, di mana Boserup diundang untuk mendiskusikannya

di Uni Geografi Internasional pada tahun 1967, tetap adalah sebuah adikarya kecil yang

abadi pentingnya.

Pada tahun 1964–1965 dia menghabiskan waktu setahun di Dakar, di mana suaminya

merupakan direktur badan PBB Institut de Développement Economique et de

Planification (IDEP). Selama periode ini dia juga menjadi konsultan Pusat Pembangunan

Industri (belakangan menjadi UNIDO) dan mulai fokus pada hubungan antara industri

dan pertanian serta baik pedesaan–perkotaan maupun pedesaan–migrasi pedesaan.

Karyanya yang lebih awal telah menolak klaim Malthus bahwa produktivitas marjinal

akan terkurangi menjadi nol pada lahan pertanian serta dia sekarang menekankan peran

keinginan akan pendapatan uang daripada kekurangan lahan dalam menghasilkan migrasi

besar tenaga kerja dari desa-desa miskin ke perkotaan, pusat pertambangan dan produksi

berorientasi ekspor. Dia tergugah oleh pentingnya pembagian gender tenaga kerja

terhadap pola migrasi Afrika. Migran laki-laki yang dominan dapat meninggalkan isteri

dan anak-anak untuk memelihara diri mereka sendiri selama kurun waktu yang lama,

karena di desa-desa tradisional adalah perempuan dan anak-anak yang memasok hampir

semua nafkah makanan dan mengambil air serta bahan bakar untuk memasak.

Ketertarikan dia membuatnya memeroleh pendanaan untuk mencari data tentang jam
kerja laki-laki dan perempuan dalam kerja yang komersial (dibayar) maupun tidak,

termasuk jasa rumah tangga, mengumpulkan bahan bakar dan air dan seterusnya, selain

pekerjaan di bidang produksi dan jasa pertanian serta non-pertanian.

Banyak mahasiswa studi gender akan pertama kali menjumpai karya Ester Boserup

melalui bukunya yang terkenal, Woman’s Role in Economic Development (1970), yang

membentuk output proyek ini dan menyediakan inspirasi intelektual bagi kesadaran atas

topik penting tersebut. Karya dia berusaha membuat ‘perempuan yang tidak terlihat’

menjadi terlihat dengan menarik perhatian pada kontribusi ekonomi yang dihasilkan,

misalnya, melalui para wanita di keluarga-keluarga pertanian, yang sebenarnya semua

dari mereka, walaupun memiliki produktivitas ekonomi, secara formal diklasifikasikan

sebagai di luar angkatan kerja, sebagai ibu rumah tangga atau orang yang ‘non-aktif’. Dia

menyoroti peran dari apa yang disebutnya sebagai ‘sektor bazar dan layanan’,

menekankan bahwa apa yang banyak dinilai sebagai sebagian besar pengangguran

tersembunyi pada faktanya justru memproduksi barang-barang dan jasa yang dibutuhkan

melalui penyediaan konsumsi berteknologi pra-industri sebagian besar untuk pasar

kelompok pendapatan rendah (1970: 175–186). Aktivitas-aktivitas seperti ini kemudian

disebut sebagai ‘sektor informal’ oleh badan PBB, Organisasi Perburuhan Internasional

(ILO). Ini menekankan bagaimana dengan gampang dia mengintegrasikan ke dalam teori,

analisis dan kebijakan resep peran wanita, baik sebagai produsen maupun entrepreneur

dan sebagai konsumen serta reprodusen, dengan cara demikian mendemonstrasikan

kemampuannya untuk membawa kesulitan teoritis dari seorang ekonom yang kritis untuk

menghasilkan bahan studi kasus.


Pada tahun 1970 dia menerima Rosenkjaer Pris dari Danish Broadcasting Company dan

mengambil kesempatan itu untuk mempopulerkan gagasan-gagasannya tentang

pembangunan ekonomi dan pembagian gender tenaga kerja dalam enam siaran radio. Dia

juga mengemukakan bahwa peningkatan pendidikan dan status perempuan mungkin akan

menuntun pada pengurangan ukuran keluarga (Boserup 1970: 224–225). Gagasan seperti

itu secara bertahap bergerak ke dalam arus utama di antara lembaga-lembaga yang

menitikberatkan pada pembangunan dan pemberdayaan kaum miskin. Ini berpengaruh

setelah dia ditunjuk sebagai wakil ketua di tahun 1972 pada Simposium PBB tentang

Kependudukan dan Pembangunan di Kairo, sebagai persiapan Konferensi Kependudukan

Dunia oleh PBB di Bucharest pada 1974.

Di tahun 1981 dia menerbitkan buku Population and Technological Change: A Study of

Long-Term Trends, di mana dia memperluas lingkup dari teorinya yang sebelumnya

tentang pertumbuhan penduduk serta pengadopsian perangkat dan teknik baru di bidang

pertanian guna mengikutkan aktivitas non-agraris. Di sepanjang sejarah, baik penemuan

teknologi-teknologi baru maupun penyebarannya telah didorong oleh permintaan.

Bahkan masyarakat yang paling ‘primitif’ berspekulasi dan bereksperimen dengan

metode-metode baru, material dan persenjataan, ketika motivasi untuk perubahan

menjadi kuat. Di sini pertumbuhan penduduk memainkan peran penting. Dia

mengemukakan banyak teknologi dapat dengan layak dimanfaatkan asalkan populasi

cukup padat. Pertumbuhan penduduk membuat peradaban perkotaan menjadi

dimungkinkan. Ukuran populasi memungkinkan spesialisasi tenaga kerja dan karenanya

membuat skala ekonomi dapat terealisasi pada produksi industri.


Melewati tahun-tahun berikutnya dia terus meneliti hubungan antara populasi, struktur

keluarga, status wanita, budaya nasional dan pembangunan ekonomi, baik di wilayah

pinggiran maupun di perkotaan, selalu memperdebatkan bagi pengakuan kompleksitas

isu-isu yang membawa seluruh determinan yang relevan ke dalam pertimbangan,

daripada sekadar menggunakan model-model demografi yang sudah disederhanakan.

Peran kesuburan tetap menjadi perhatian utama dan dia berpendapat kalau kesuburan

yang tinggi dapat menghasilkan produksi pertanian yang lebih tinggi dan investasi serta

tabungan yang lebih tinggi pula sebagai hasilnya.

Sumbangsih dia diakui melalui penghargaan tiga gelar doktor kehormatan: di bidang

Sains Pertanian oleh Agricultural University of Wageningen, Belanda, pada tahun 1978;

di bidang ilmu ekonomi oleh University of Copenhagen di tahun 1979; dan di bidang

Sains Humaniora oleh Brown University, Providence, Amerika Serikat pada 1983. Di

tahun 1989 dia terpilih sebagai Foreign Associate of the National Academy of Sciences

di Washington pada suatu pemilihan lintas disiplin. Dia menghabiskan sisa karirnya

sebagai seorang konsultan dan peneliti independen.

Adalah penting untuk meletakkan karyanya ke dalam konteks waktu ketika dia bekerja.

Dia berada dalam minoritas kecil baik sebagai seorang pegawai negeri perempuan

maupun ekonom pembangunan.2 Banyak dari karyanya muncul sebagai makalah diskusi

yang menginformasikan publikasi dan pengajaran PBB pada simposium dan konferensi-

konferensi di mana dia diundang. Dia menantang kearifan konvensional pertama terkait

dengan pandangan hubungan antara sistem pertanian dan kependudukan, serta

belakangan dengan pandangan perempuan dalam pembangunan dan perubahan teknologi.

Model-modelnya telah berdiri menghadapi ujian waktu. Gagasan dan argumentasi dia
terutama diekspos kepada komunitas akademik melalui banyak dari karyanya yang

belakangan di era 1970-an dan 1980-an (saat usianya sekitar 60 dan 70 tahunan) terutama

melalui tiga bukunya (1965, 1970, 1981) dan beberapa artikel jurnal. Semua ini

dilakukan tanpa manfaat posisi tertentu di universitas. Tidak lama sebelum kematiannya

pada 24 September 1999, dia menerbitkan catatan bersejarah dari seluruh karyanya yang

sudah dipublikasikan secara objektif dan tanpa pretensi tertentu (Boserup 1999). Karya

Ester Boserup mendorong perdebatan multidisiplin dan telah memengaruhi berbagai

disiplin, terutama antropologi, demografi, ekonomi pertanian, geografi dan sosiologi.

Meskipun dia adalah seorang lulusan ekonomi, dia melihat keterbatasan analisis ekonomi

yang sempit. Dia menitikberatkan ini terutama bagi negara-negara yang paling

terbelakang di mana penggunaan transaksi moneter untuk produksi, konsumsi, investasi

dan pendapatan (baik pendapatan personal maupun pendapatan nasional) sebagai

pendekatan total termasuk transaksi non-moneter memicu kesimpulan keliru (Boserup

1996). Dia terkadang sangat kritis terhadap ilmu ekonomi klasik dan asumsi-asumsinya

mengenai kapasitas tetap lahan, tenaga kerja dan modal, seluruhnya terkait dengan

variabel utilisasi kapasitas. Dia mengemukakan argumentasi untuk analisis jangka

panjang berfokuskan pada perubahan kapasitas itu sendiri dan menekankan perlunya

mengantisipasi perubahan pada struktur-struktur tersebut di mana para ekonom biasanya

meninggalkannya untuk dipelajari oleh disiplin ilmu lain, misalnya budaya nasional.

Model-model seperti ini karenanya perlu–seperti miliknya sendiri–untuk didasarkan pada

pemahaman antardisiplin dan dalam karya ilmiahnya belakangan dia berusaha menata

kerangka kerja untuk pemodelan antardisiplin jangka panjang (Boserup 1996). Kerangka
kerja tersebut melibatkan gambaran aliran tekanan di antara enam struktur: lingkungan;

populasi; tingkatan teknologi; struktur pekerjaan; struktur keluarga; dan budaya.

Karya dia berkonsentrasi untuk menguji komunitas manusia dan proses perubahan

sosialnya, terutama dalam konteks hubungan dinamis antara struktur alam, ekonomi,

budaya dan politik, sambil mengevaluasi faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi.

Analisis dia tentang perubahan pesat teknologi bahkan relevan sekarang ini dalam

konteks proses globalisasi dan perubahan sosial di negara-negara berkembang. Berefleksi

pada perubahan teknologi di tahun 1970-an dan 1980-an, dia menyimpulkan bahwa

perubahan pesat teknologi telah menciptakan konflik dengan budaya nasional melalui

pengaruh radikalnya dalam cara hidup: sikap dan perilaku budaya, yang mungkin rasional

sebelumnya, menjadi tidak lagi demikian. Tetapi banyak kelompok dan pemerintah

berusaha membawa pembangunan ekonomi dan perubahan teknologi tanpa perubahan

budaya, dan ini memicu konflik serius di dalam maupun di antara negara-negara.

Pentingnya masalah-masalah ini bagi pembangunan ekonomi terabaikan oleh para

ekonom, ketika mereka membuat asumsi kalau perilaku rasional adalah aturan pada

apapun kondisinya (Boserup 1995). Dia menjabarkan efek positif dan negatif perubahan

teknologi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dan mengenai perlunya

pemerintah mengendalikan sektor swasta, baik secara nasional maupun internasional,

untuk memastikan bahwa ia menggunakan teknologi yang dapat dipeliharakan.

Catatan

1 Sebagai kepala kantor perencanaan dia bertanggungjawab memprediksikan pendapatan

ekspor di masa mendatang dan mengemukakan distribusi lisensi impor berdasarkan

komoditas dan negara, melakukan diskriminasi terhadap barang mewah dan item-item
yang dapat diperoleh melalui produksi Denmark sendiri dan melawan negara-negara yang

tidak membeli banyak dari Denmark.

2 Perempuan mungkin membuat langkah maju lebih besar ke dalam retorika, tetapi masih

terdapat kekhawatiran terkait keterlibatan wanita dalam bahan sebagaimana juga personel

ekonomi. Pada seminar ABCDE Bank Dunia pada tahun 2002, Ravi Kanbur menunjuk

bahwa mayoritas profesi ekonomi masih mematuhi dan mengajarkan model tunggal

‘kotak hitam’ rumah tangga, yang secara efektif membuat alokasi gender menjadi

masalah pribadi.

Karya-karya utama

Boserup, E. (1936) ‘Nogle centrale økonomiske spørgsmål I lys af den marxistiske teori’

(Beberapa Isu Sentral Ekonomi dalam Terang Teori Marx), Nationaløkonomisk Tidsskrift

75: 421–435.

—— (1965) The Conditions of Agricultural Growth: The Economics of Agriculture

under Population Pressure, London dan Chicago: George Allen dan Unwin. (Dicetak

ulang oleh Earthscan, London, 1993.)

—— (1970) Woman’s Role in Economic Development, Earthscan, London.

—— (1981) Population and Technological Change: A Study of Long-Term Trends,

Chicago: University of Chicago Press.

—— (1995) ‘Halangan-halangan Kemajuan Perempuan dalam Pembangunan’, dalam T.

Paul Schultz (ed.), Investment in Women’s Human Capital, Chicago, IL: University of

Chicago Press, halaman 51–60.

—— (1996) ‘Teori Pembangunan: Kerangka Kerja Analitis dan Aplikasi Terpilih’,

Population and Development Review 22(3): 505–515.


—— (1999) My Professional Life and Publications 1929–1998, Kopenhagen: Museum

Tusculanum Press, Universitas Kopenhagen.

Bacaan lanjutan

Giovanni, F. (2001) ‘Tinjauan Kembali Ester Boserup, “Kondisi Pertumbuhan Pertanian:

Ekonomi Perubahan Agraris di bawah Tekanan Kependudukan’’’, Economic History

Services 16 April 2001.

Grigg, D. (1979) ‘Teori Ester Boserup tentang Perubahan Pertanian: Tinjauan Ulang

Kritis’, Progress in Human Geography 3(1): 64–83.

Myrdal, G. (1969) Asian Drama: An Enquiry into the Poverty of Nations, 3 jilid, New

York: Twentieth Century Fund.

Schultz, T.P. (1990) Economic and Demographic Relationships in Development,

Baltimore, MD: Johns Hopkins University Press. (Artikel terpilih, disunting dan

diperkenalkan oleh T. Paul Schultz.)

Vandana Desai

HAROLD BROOKFIELD (1926–)

Adalah langka bagi pakar geografi untuk dipandang sebagai pemikir kritis tentang isu-isu

pembangunan. Bahkan, koleksi ini, yang disunting oleh seorang ahli geografi, hanya tiga.

Di antaranya Harold Brookfield dapat dipastikan merupakan anggota senior yang

dihormati dalam kelompok ini. Bahkan, salah satu di antara mereka, Terry McGee,

menggambarkan Brookfield sebagai ‘”guru” yang diakui dalam bidang geografi

pembangunan’ (1978: 71). Sumbangsih dia terhadap studi pembangunan berkisar mulai

dari buku tentang saling ketergantungan pembangunan yang banyak dipuji, yang

menitikberatkan perlunya pembangunan untuk dipandang dalam suatu keberagaman cara


yang saling berkaitan, fokus lama pada studi-studi lokal (terkait dengan keyakinan kalau

pengetahuan lokal merupakan kunci pembangunan) dan lingkungan serta

keberlangsungannya. Ketertarikan yang begitu beragam terbentuk di sekitar pencarian

solusi pragmatis dan menghindari kegersangan teori, dogma, semantik yang berubah serta

kebenaran politik. Sementara sebagian merenungkan kehidupan dan mata pencarian

mereka yang dirujuknya sebagai ‘pihak lain’, Brookfield lebih menyukai bahasa

kehidupan sehari-hari, dari masyarakat biasa dan masalah-masalah mereka, serta tidak

takut untuk mempergunakan kata-kata seperti kemiskinan.

Harold Brookfield dibesarkan di sebelah selatan Inggris, menyelesaikan gelar BA dan

PhD-nya di London School of Economics. Topik disertasi PhD-nya, pembangunan

perkotaan di kawasan pesisir Sussex pasca-abad ke-18, diselesaikan pada tahun 1950,

bisa jadi sebagian telah mencatatkan kehidupan yang berjalan berkeliling mengiringinya.

Setelah sempat sebentar menjadi dosen Geografi di Birkbeck College, London, dia

menjadi dosen yang bertugas di jurusan yang baru dibuka, Departemen Geografi di

University of Natal. Di sana dia pertama-tama mulai terlibat dengan isu-isu pembangunan

dan keadilan sosial yang meliputi Afrika Selatan dan Mauritius. Setelah hampir tiga

tahun dia pergi ke University of New England (UNE) di Australia, yang pertama dari

banyak perpindahan ke dan di dalam Australia yang pada akhirnya menuntun dia

menghabiskan lebih dari separuh hidupnya di Australia, dan membuatnya menjadi ahli

geografi Australia di masa itu yang paling berbeda. Di UNE, di kota kecil Armidale, dia

menemukan sikap terhadap populasi asli Australia yang sangat mirip dengan yang terjadi

di Afrika Selatan (Rugendyke 2005). Dari sana dia pergi ke Australian National

University (ANU), pada akhirnya merupakan rumah akademik lamanya, meskipun Chairs
segera menyusul di Pennsylvania State University, McGill University dan Melbourne

University, dengan masa dua tahun sebagai anggota di Institut Studi Pembangunan,

University of Sussex. Pada tahun 1982 dia kembali ke ANU di mana dia tetap,

menerbitkan karya-karya substansial hingga masa pensiun resminya.

Karya awal pada geografi sejarah di Inggris Selatan dan Irlandia segera disusul oleh kerja

detail di Afrika Selatan, di mana dia menuliskan tentang kritik awal aparteid (Brookfield

1957), dan di Mauritius di mana dia melanjutkan ketertarikannya pada evolusi

masyarakat yang plural. Pergeseran ke ANU di tahun 1957 membawa awal dari daya

pikat seumur hidup dengan Papua Niugini (PNG) dan kerja lapangan detail di dataran

tinggi PNG di mana kontak relatif baru terjadi. Kolaborasi dengan antropolog Paula

Brown menghasilkan buku utama pertama dia tentang kawasan ini (Brookfield dan

Brown 1963). Buku-buku lain tentang tempat-tempat pasar Pasifik, dan teks Melanesia

yang luar biasa inovatif dan berhasil (Brookfield dengan Hart 1971), menandai

keterkaitannya dengan kawasan ini dan menitikberatkan komitmennya sendiri pada studi

lokal berskala kecil maupun metode komparatif, ‘dicirikan oleh pengumpulan data yang

hati-hati dan keakraban pengetahuan tentang kawasan yang dibangun selama bertahun-

tahun’ (McGee 1978: 70). Menghargai komitmen yang telah menjadi kekhasan kerja di

kawasan Pasifik, diperingati pada koleksi yang disuntingnya The Pacific in Transition

(1973) –terutama karya dari para mahasiswa dan koleganya sendiri. Fokus pada PNG

begitu kuat sehingga pakar geografi Amerika yang ternama, Marvin Mikesell,

mengidentifikasi ‘sindrom Niugini’ di mana ‘pulau yang pernah terpencil dan misterius

ini telah memainkan peran dalam sejarah baru-baru ini dari geografi budaya yang dapat
diperbandingkan dengan pengaruh Sauer dan para mahasiswanya dari Meksiko’ (1978:

8).

Sebagaimana pengamatan koleganya Oskar Spate, karya ini bernilai karena ‘realisasi di

mana masyarakat lain juga memiliki cara hidup yang tidak berdasarkan pada ekonomi

klasik, tetapi tidak irasional dan terikat dengan budaya dan lingkungan mereka serta

karena itu Brookfield memberi ragam dengan kedekatannya pada antropologi’

(Rugendyke 2005). Fokus pada masalah, metode komparatif dan otoritas asal adalah

inovatif. Brookfield sendiri meyakini kalau kunci kontribusi adalah ‘membawa ahli

geografi dan karya geografi ke dalam kontak dengan disiplin-disiplin lain yang terutama

memerhatikan masyarakat dan tanah, antropologi serta pra-sejarah’ (ibid.). Walaupun

fokus pada perbandingan, Brookfield sebagian besar menghindari metodologi penelitian

kuantitatif. Dia kritis pada penelitian pola-pola dan proses pembangunan yang diturunkan

dari metode-metode statistik, berpendapat untuk ‘suatu disiplin berorientasi proses di

mana pertanyaan “Bagaimana?” seharusnya minimal sama penting dengan pertanyaan

“Mengapa?” ’. Dalam mengurusi pertanyaan yang lampau, dia ‘menemukan kalau jauh

lebih mudah untuk mencari penyebab dan dampak pada skala mikro, di mana keputusan

individu dapat terlihat dalam wujud tindakan. Saya karenanya menganjurkan skala kerja

ini kepada para kolega’ (Brookfield 1984: 35). Dengan menakjubkan, dalam pengertian

ini, empiris dia berfokus pada skala lokal, pada interaksi-interaksi di antara masyarakat,

budaya dan lingkungan mereka, dibandingkan pada metodologi kuantitatif dan model-

model ruang, mengantisipasi refleksi-refleksi pasca-modern yang ‘tidak ada pemahaman

universal atau unik mengenai pembangunan atau lingkungan’ (Simon 2003: 35).
Kerja Brookfield di Papua Niugini terutama secara menyeluruh bersama kelompok

multidisiplin para sejarawan, ekonom dan antropolog serta, sementara di sekolah riset di

Canberra, ‘pertukaran transdisiplin adalah penting sebagaimana diskusi antardisiplin’

(Brookfield 1984: 27). Dia mengatakan, ‘Saya menjadi sangat banyak terkait dengan para

antropolog, begitu banyak sehingga pada satu tahapan Anthony Forge mengatakan

kepada saya bahwa “kamu seorang antropolog yang memeroleh bayarannya secara

menyamar sebagai seorang ahli geografi” ’ (Rugendyke 2005). Bahkan, adalah tidak

mengejutkan kalau Brookfield memilih memberi judul kenangannya pada masa geografi

itu sebagai ‘Pengalaman seorang Pria Luar’–bernuansa antropologi dan disiplin lain serta

terkejut pada ketidakterkaitan revolusi kuantitatif. Budaya dituliskan di sana dan

Brookfield mengatakan dia akan paling senang diingat untuk karyanya dalam ekologi

budaya.

Segera setelah itu karyanya diperluas ke Kepulauan Karibia yang lebih kecil (meskipun

dia hanya sedikit menulis langsung mengenai ini) dan kemudian ke Kepulauan Fiji yang

lebih kecil di timur. Mungkin yang mengejutkan dia tidak pernah secara langsung

membahas isu-isu terkait pada ukuran selain satu bab buku (Brookfield 1975b). Secara

bersamaan berbagai refleksi mengenai pembangunan yang nyata di Melanesia

dikembangkan lebih jauh dalam jilid pelengkapnya Colonialism, Development and

Independence: The Case of the Melanesian Islands in the South Pacific (1972). Bersama-

sama mereka menggambarkan bersama jalinan budaya, sejarah dan geografi, dalam

konteks politik, sosial dan ekonomi yang luas, pada waktu ketika bangsa-bangsa

Melanesia mengambil langkah terhuyung-huyung pertama menuju kemerdekaan. Isu-isu

yang beragam ini muncul bersama pada skala dunia dalam karya otoritatifnya
Interdependent Development (1975a) sebuah tour de force yang belakangan menjadi

suatu ‘klasik dalam kunjungan kembali geografi manusia’ (Corbridge 1996; O’Connor

1996). Buku itu memulai sebuah serangan balasan teoritis melawan hal yang tidak

relevan atas beberapa tradisi geografi, dan mengargumentasikan kasus untuk perspektif

yang lebih ke sejarah dan ke lingkungan, bersekutu, namun, pada sebuah posisi empiris

yang menjadi lebih kuat di masa depan.

Brookfield selalu menekankan bahwa ketertarikan utama jangka panjangnya sendiri

adalah ‘adaptasi penggunaan dan manajemen lahan pada kemampuan bervariasi dan

perubahan dalam komunitas, ekonomi dan lingkungan alami’: ‘jiwa’ dari geografi

(Brookfield 2004: 40). Adalah nyata dan dua lagi buku yang membentuk reputasinya di

bidang ini. Yang pertama, kebanyakan terabaikan karena fokus yang terlihat tidak

mengenai pokoknya, merupakan catatan rumit tentang kehidupan warga desa di sebelah

timur Kepulauan Fiji yang menyatukan bersama sejumlah ahli geografi manusia dan

geografi fisik, sementara menggambarkan karya pendahuluan dari para ekonom dan

lainnya (Bayliss-Smith et al. 1988). Dalam beberapa hal ia merupakan versi lokal dari

tulisan bersama Land Degradation and Society (Blaikie dan Brookfield 1987) yang telah

muncul pada tahun sebelumnya. Di sana dan di tempat lain Brookfield menekankan

analisis interdisiplin terhadap isu-isu lingkungan, dan berpendapat kalau proses degradasi

lahan tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteks politik, sosial dan ekonominya.

Pada kembalinya juga ia menjadi sebuah klasik untuk dicetak ulang tiga kali (lihat

Blaikie dalam volume ini). Kemudian fokus pada lingkungan, leitmotiv dari karya

Brookfield, telah ditarik ke dalam perdebatan lebih lebar mengenai pembangunan.

Interdependent Development dilukiskan sebagai ‘sebuah antisipasi menyolok dari


pemikiran pembangunan hijau’ (Corbridge 1996: 86) dan apa yang terdengar ‘dengan

mengagumkan seperti suatu panggilan untuk apa yang sekarang akan disebut

“pembangunan berkelanjutan” ’ (O’Connor 1996: 88).

Sementara Brookfield tidak pernah kehilangan ketertarikan di Pasifik, dan terutama PNG,

ketertarikannya mulai bergeser ke Asia, dan masa kerja panjang di Malaysia membawa

pembaruan yang berfokus pada masalah-masalah lingkungan. Ia juga menekankan karya

pada urbanisasi dan industrialisasi (Brookfield et al. 1991; Brookfield 1994) pada sebuah

bangsa yang berubah jauh lebih cepat daripada negara-negara pulau di Pasifik dan tempat

lainnya. Pembaruan kembali fokus atas lingkungan dalam sebuah buku mengenai

perubahan lingkungan di Borneo (Kalimantan) dan Malaysia (Brookfield et al. 1995)

serta pertumbuhan penekanan pada diversitas agro. Ini menuntun pada komitmen

Brookfield terhadap proyek lebih dari satu dekade oleh United Nations University

(Universitas PBB) mengenai Masyarakat, Manajemen Lahan dan Perubahan Lingkungan

(PLEC) yang selalu menjadi obsesinya sejak saat itu.

Proyek PLEC, sebuah akronim yang sangat dekat pada kata Tok Pisin (PNG) untuk desa,

ples, dimulai pada tahun 1992 –tahun pelaksanaan KTT Bumi di Rio de Janeiro–sebagai

sebuah inisiatif untuk mencermati hubungan antara populasi dengan perubahan

lingkungan di kawasan pinggiran. Fokus asalnya adalah pada penelitian, berpusatkan di

sekitar lima ‘klaster’ –PNG, Amazon, Afrika Barat dan Timur serta Asia Tenggara–tetapi

ia berkembang ke dalam perhatian praktis untuk diversitas pertanian, didefinisikan di

tahun 1994 sebagai ‘banyak cara di mana para petani menggunakan keanekaragaman

alami lingkungan untuk produksi, termasuk bukan hanya soal pilihan tanaman mereka

tetapi juga manajemen lahan, air dan biotanya sebagai suatu keseluruhan’ (Brookfield
dan Padoch 1994: 9). Empat tahun kemudian, PLEC bergabung dengan Fasilitas

Lingkungan Global (GEF) serta menjadi unjuk gigi besar dan proyek pembangunan

kapasitas, melibatkan partisipasi para petani kecil sebagaimana juga para pakar dalam

konservasi dan pembangunan berkelanjutan, berdampingan dengan para peneliti dan

lembaga-lembaga setempat. Kembali, proyek ini memanfaatkan metode komparatif,

untuk ‘menyatukan bersama penelitian “bottom-up” di berbagai wilayah berbeda’ (ibid.),

dan memungkinkan menghasilkan hipotesis, dengan titik berat pada praktik-praktik

manajemen asli setempat. Pada waktu ketika yang lainnya mungkin telah pensiun, atau

sekadar memandang dari kantor-kantor nan jauh, Brookfield terus menekankan dan

mendemonstrasikan nilai penelitian lapangan serta komitmen. Di antara banyak makalah

dan laporan, tiga lagi buku yang muncul dari proyek PLEC (Brookfield 2001; Brookfield

et al. 2002, 2003); ini tampaknya bukan merupakan karya yang terakhir.

Selama setengah abad Brookfield telah bekerja dalam tradisi lingkungan masyarakat,

dengan satu peninjau memerhatikan ‘banyak kontribusi orisinal dan mendalam dia bagi

isu-isu ekologi tropis manusia dan pembangunan’ yang ‘memperlengkapi serbuk mesiu

konseptual dan signifikan bagi kebangkitan tradisi lingkungan-manusia dalam geografi

yang sudah lama dinantikan’ (Airriess 1996: 3). Sebagaimana banyak ahli geografi

terkadang tidak mudah menggeser fokus mereka dari isu-isu pembangunan yang

mengganggu, Brookfield tetap meyakini perlunya disiplin ini, dan menyinergikan disiplin

tersebut, bahkan berusaha berfokus melampaui pusarannya. Dia menitikberatkan

perlunya teori dikaitkan secara erat dengan praktik, menonjolkan metode etnografi yang

memberikan suara kepada partisipan dalam pembangunan, menghargai pendekatan


antardisiplin, menuntun pada pengakuan hubungan antara ekologi budaya, lingkungan

dan pembangunan serta memunculkan kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Karya-karya utama

Bayliss-Smith, T.P., Bedford, R.D., Brookfield, H.C. dan Latham, M. (1988) Islands,

Islanders and the World: The Colonial and Post-colonial Experience of Eastern Fiji,

Cambridge: Cambridge University Press.

Blaikie, P. dan Brookfield, H. (eds) (1987) Land Degradation and Society, London dan

New York: Methuen.

Brookfield, H.C. (1957) ‘Beberapa Aplikasi Geografi Aparteid dan Kebijakan Kemitraan

di Afrika Selatan’, Transactions of the Institute of British Geographers 23: 225–247.

—— (1972) Colonialism, Development and Independence: The Case of the Melanesian

Islands in the South Pacific, Cambridge: Cambridge University Press.

—— (1973) The Pacific in Transition, London: Arnold.

—— (1975a) Interdependent Development, London: Methuen.

—— (1975b) ‘Multum in parvo: Beberapa Pertanyaan tentang Diversifikasi di Negara-

negara Kecil’, dalam P. Selwyn (ed.), Development Policy in Small Countries, London:

Croom Helm, halaman 54–76.

—— (1984) ‘Pengalaman Manusia Luar’, dalam Billinge, M., Gregory, D. dan Martin,

R., Recollections of a Revolution: Geography as Spatial Science, London: Macmillan

Press, halaman 27–38.

—— (1994) Transformation with Industrialisation in Peninsular Malaysia, Kuala

Lumpur: Oxford University Press.

—— (2001) Exploring Agrodiversity, New York: Columbia University Press.


—— (2004) ‘Geografi Amerika dan Seorang Ahli Geografi Non-Amerika’, GeoJournal,

59: 39–41.

Brookfield, H.C. dan Brown, P. (1963) Struggle for Land: Agriculture and Group

Territories among the Chimbu of the New Guinea Highlands, Melbourne: Oxford

University Press.

Brookfield, H.C., Hadi, A.S. dan Mahmud, Z. (1991) The City in the Village, Kuala

Lumpur: Oxford University Press.

Brookfield, H.C. bersama Hart, D. (1971) Melanesia: A Geographical Interpretation of

an Island World, London: Methuen.

Brookfield, H.C. dan Padoch, C. (1994) ‘Mengapresiasi Keanekaragaman Pertanian:

Pengamatan pada Dinamisme dan Diversitas Praktik-praktik Pertanian Pribumi’,

Environment 36(5): 6–45.

Brookfield, H.C., Padoch, C., Parsons, H. dan Stocking, M. (2002) Cultivating

Biodiversity, London: Intermediate Technology Publishing.

Brookfield, H.C., Parsons, H. dan Brookfield, M. (2003) Agrodiversity: Learning from

Farmers Across the World, Tokyo: United Nations University Press.

Brookfield, H.C., Potter, L. dan Byron, Y. (1995) In Place of the Forest: Environmental

and Social Transformation in Borneo and the Eastern Malay Peninsula, Tokyo: United

Nations University Press.

Bacaan lanjutan

Airriess, C. (1996) Tinjauan Kembali Brookfield, H.C., Potter, L. dan Byron, Y., 1995:

In Place of the Forest: Environmental and Socio-Economic Transformation in Borneo

and the Eastern Malay Peninsula, dalam The Geographical Review 86: 611–613.
Connell, J. (1998) ‘Studi Pembangunan dalam Geografi Australia’, Australian

Geographical Studies 26: 157–171.

Connell, J. dan Waddell, E. (2005) ‘Pengantar: Yang Paling Pelik dari Manusia Luar –

Peninggalan Intelektual Harold Brookfield’, Asia Pacific Viewpoint 46(2): 192–33.

Corbridge, S. (1996) Mengunjungi Kembali Klasik dalam Geografi Manusia, pada

Brookfield, H., 1975, Interdependent Development, Bahasan 1, Progress in Human

Geography 20: 85–86.

McGee, T. (1978) ‘Geografi Pembangunan: Beberapa Pemikiran bagi Masa Depan’,

Australian Geographer 14: 69–71.

McTaggart, D. (1974) ‘Strukturalisme dan Universalisme dalam Geografi: Refleksi pada

Kontribusi oleh H.C. Brookfield’, The Australian Geographer 12: 510–516.

Mikesell, M. (1978) ‘Tradisi dan Inovasi dalam Geografi Budaya’, Annals of the

Association of American Geographers 68: 1–16.

O’Connor, A. (1996) Mengunjungi Kembali Klasik dalam Geografi Manusia, pada

Brookfield, H., 1975, Interdependent Development, Bahasan 2, Progress in Human

Geography 20: 87–88.

Rugendyke, B. (2005) ‘Ke Mana Geografi Pembangunan di Australia?’, Geographical

Research 43(3): 306–318.

Simon, D. (2003) ‘Dilema Pembangunan dan Lingkungan dalam Dunia yang

Mengglobal: Teori, Kebijakan dan Praksis’, Progress in Development Studies 3(1): 5–41.

John Connell dan Barbara Rugendyke

FERNANDO HENRIQUE CARDOSO (1931–)


Fernando Henrique Cardoso dilahirkan di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 1931 dan

dididik sebagai sosiolog di Universitas São Paulo. Dia menjadi seorang penulis yang

produktif dan salah satu ilmuwan sosial paling berbeda di dunia, tetapi juga sekaligus

seorang pemimpin politik yang berhasil yang menjabat sebagai Presiden Brasil.

Sumbangsih dia bagi pemikiran pembangunan seringkali merujuk pada penelitiannya

tentang ketergantungan dan pembangunan di Amerika Latin semasa akhir tahun 1960-an

dan awal 1970-an. Perhatian yang lebih sedikit diberikan kepada evolusi gagasan-

gagasan dia mengenai pembangunan semasa transisinya dari sosok ilmuwan menjadi

pemimpin politik sejak tahun 1980-an. Banyak dari gagasan tersebut muncul dalam

pidato, wawancara, dan dalam kolom yang dia tulis secara reguler di koran Fohla de São

Paulo selama bertahun-tahun. Ia juga dapat ditemukan dalam kebijakan-kebijakan yang

diterapkannya selama pemerintahan dia sebagai presiden Brasil. Karir politik dan

akademiknya telah menghasilkan bahasan signifikan di kalangan kaum cendekiawan.

Karya Cardoso meliputi lebih dari 200 artikel, buku dan tinjauan buku, sebagaimana

juga ratusan pidato, wawancara dan catatan jurnalistik. Ceramah-ceramah dia yang paling

penting tersedia melalui internet dan banyak publikasi yang memfokuskan pada karyanya

tersedia dalam bahasa Inggris. Basis data dalam jumlah besar dari kehidupan dan karya

dia tersedia di Instituto Fernando Henrique Cardoso.

Bukunya yang paling terkenal, Dependency and Development in Latin America, ditulis

bersama Enzo Faletto di tahun 1969, membahas masalah-masalah pembangunan ekonomi

melalui interpretasi yang menekankan karakter politik dari proses transformasi ekonomi.

Cardoso dan Faletto (1969) melibatkan pada analisis mereka situasi sejarah ketika

transformasi ekonomi berlangsung guna memahami lebih baik perubahan-perubahan ini


dan batasan strukturalnya. Cardoso berpendapat kalau keadaan ketergantungan tidaklah

stabil atau permanen. Walaupun dia mengakui kalau elemen-elemen dinamis dari

kapitalisme internasional terletak di luar periferi dan kendalinya, dia berpendapat bahwa

ketergantungan pembangunan seharusnya tidak ditafsirkan sebagai kekurangan

dinamisme di bagian periferi (Resende-Santos 1997). Cardoso mengakui perubahan sifat

kapitalisme internasional dan konfigurasi kembali distribusi internasional tenaga kerja

yang membuka peluang bagi kawasan pinggiran/periferi (Cardoso 1973; Goertzel 1999).

Bagi Cardoso, ketergantungan adalah tentang posisi dan fungsi di dalam perekonomian

internasional, mengenai bagaimana negara-negara Amerika Latin berpartisipasi dalam

perekonomian global (Cardoso 1982). Dia menolak penegasan kalau ketergantungan

menghasilkan keterbelakangan. Bagi dia, ketergantungan secara fundamental merupakan

pertanyaan tentang kekuasaan dan dominasi, baik secara internasional maupun lokal

(Cardoso dan Faletto 1969; Cardoso 1973).

Dalil ketergantungan dan pembangunan memiliki dampak signifikan pada generasi para

cendekiawan yang memerhatikan pembangunan, tetapi sebagaimana disebutkan di atas,

akan merupakan kesalahan untuk mendasarkan kontribusi Cardoso terhadap studi

pembangunan hanya berdasarkan pada dalil tersebut. Cardoso mengembangkan lebih

jauh elemen-elemen tesisnya sebagai bagian sentral dalam pemahaman dan praktiknya

mengenai pembangunan. Perhatian dia terhadap analisis sosial sebagaimana juga analisis

institusional memungkinkannya untuk mengidentifikasi hal tersebut secara politis,

ketergantungan pembangunan di Brasil menghasilkan kecacatan institusional yang

membentuk halangan-halangan penting bagi demokrasi dan pembangunan (Font 2001).

Sistem politik Brasil dicirikan oleh klien-isme, korporatisme serta korupsi dan Cardoso
merupakan penganjur terang-terangan restrukturisasi fundamental institusional di Brasil.

Dia diyakinkan atas pentingnya memperkuat praktik-praktik demokrasi guna memastikan

transisi yang stabil ke tahapan berikutnya dalam pembangunan Brasil. Bagi dia, banyak

solusi terhadap cacat dalam sistem politik dan ekonomi Brasil terkait dengan gagasan dia

tentang sosial demokrasi (Resende-Santos 1997).

Cardoso menjadi secara progresif terpikat pada peran aktif dalam gerakan pro-demokrasi

di Brasil selama tahun 1970-an. Komitmen dia untuk membuka peluang bagi

pembangunan di Brasil menuntunnya mengambil peran aktif dalam restrukturisasi

institusi-institusi politik. Pendekatan ini kondusif terhadap karir politik yang dimulainya

pada tahun 1978 ketika dia terpilih sebagai senator alternatif, dan kemudian senator pada

1983. Keterlibatan Cardoso dalam pemahaman dan pembentukan proses politik serta

pembaruan struktural di Brasil menuntunnya untuk menjadi anggota pendiri Partai Sosial

Demokrat Brasil (PSDB) di tahun 1982 dan ke dalam karir yang sukses sebagai senator.

Menyusul masa jabatan singkat sebagai Menteri Luar Negeri pada tahun 1992/1993,

kinerjanya yang sukses sebagai menteri keuangan Brasil dalam mengendalikan

hiperinflasi di awal tahun 1990-an memposisikan Cardoso sebagai kandidat presiden

yang populer. Cardoso terpilih dan melaksanakan tugasnya dalam dua masa jabatan

sebagai Presiden Brasil (1995–2003). Filosofi politiknya menekankan perubahan dan

perlunya secara terus-menerus untuk mendefinisikan kembali gagasan dan agenda politik

sebagai perubahan keadaan. Filosofi itu memungkinkan dia untuk mempertahankan

hubungan yang efisien antara gagasan dengan pemilihan kebijakan.

Ia dengan akurat menjembatani antara gagasan dan praktik pembangunan yang

membidikkan kritik kepada Cardoso. Untuk banyak dari kritik-kritiknya, Cardoso


mengabaikan akar Marxis dia untuk menjadi pembela demokrasi liberal dan

pembangunan kapitalis. Salah satu kumpulan kritik menuding dia merangkul lembaga-

lembaga politik yang dulu pernah dikritiknya. Ini merupakan referensi langsung terhadap

karya awalnya pada tahun 1960-an dan 1970-an ketika Cardoso konon memandang

partai-partai politik dan lembaga politik lain sebagai ekspresi formal dominasi kelas; dia

dikecam karena menjadi terlibat dalam lembaga-lembaga politik yang sama sejak akhir

1970-an (Packenham 1992).

Kelompok kritik kedua berfokus pada masa jabatan Cardoso sebagai presiden Brasil,

menjuluki dia sebagai seorang neo-liberal yang melayani kepentingan-kepentingan elite

bisnis multinasional. Kritik ini berpusat pada kebijakan ekonomi makro Cardoso,

termasuk privatisasi perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh negara (Lesbaupin 1999).

Para cendekiawan yang memelajari karya dan kehidupan Cardoso mengemukakan kritik

ini didasarkan pada salah pengertian terhadap gagasan-gagasan Cardoso. Bagi Goertzel,

Cardoso tertarik dengan Marxisme sebagai teori sosial, bukan sebagai dogma politik

(1999). Analisis pemerintahan presidensial Cardoso di Brasil mendokumentasikan

pencapaian dia di bidang-bidang penting untuk pembangunan nasional, regional dan lokal

(Amann dan Baer 2000; Dantas 2003; Goertzel 2003).

Resende-Santos (1997) mengemukakan kalau kritik Cardoso memiliki masa-masa sulit

untuk merujukkan filosofi sosial progresif dan idealisme reformis yang dalam pandangan

mereka mendefinisikan tahun-tahun awal Cardoso sebagai seorang cendekiawan dengan

pemimpin politik neo-liberal. Bagi Resende-Santos, ini disebabkan kekeliruan

pemahaman atas filosofi politik Cardoso yang menekankan perubahan dan perlunya
redefinisi terus-menerus terhadap gagasan-gagasan dan agenda politik seiring perubahan

kondisi:

Cardoso telah selalu menolak pemikiran dogmatik, terutama sebagaimana

dipertunjukkan dalam proyek politik baik aliran kiri maupun kanan di Amerika Latin. Dia

selalu mempertahankan bahwa ide-ide harus berubah seiring keadaan berubah… Cardoso

adalah, dan selalu, menjadi jauh lebih menjadi seorang pragmatis daripada revolusioner.

Dia merupakan agenda moderat dan gradualis yang menekankan pada apa yang dapat

dilakukan, dibandingkan seseorang yang berkomitmen terhadap hal-hal yang absolut.

(Resende-Santos 1997: 146)

Karya intelektual dan karir politik Cardoso menggambarkan kontribusi dia terhadap studi

pembangunan dan mengundang refleksi terhadap pemahaman kita sendiri atas konsep ini.

Cardoso membentuk konsepsi pembangunan sebagai sebuah proses dinamis multidimensi

yang tidak mengajukan suatu model akhir tetapi berjalan menuju transformasi

masyarakat. Dia menekankan tiga dimensi sentral dari proses tersebut: pemerataan sosial,

pembangunan kembali institusional yang mengarah pada demokrasi, dan alternatif-

alternatif yang menuju pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Perhatian

Cardoso terhadap interaksi dinamis di antara dimensi-dimensi ini mengilustrasikan

pemahaman dia terhadap realitas kompleks hal-hal yang harus diurusi oleh

pembangunan.

Bagi Cardoso, defisiensi dalam sistem politik dan ekonomi Brasil adalah sentral untuk

memahami masalah kesetaraan sosial. Demokrasi sosial membuatnya mungkin untuk

mengoreksi kekurangan-kekurangan tersebut dan meningkatkan kesetaraan sosial. Tetapi

demokrasi sosial hanya memiliki nilai instrumental dalam pengertian bahwa ia


menciptakan jalur menuju transformasi masyarakat (Resende-Santos 1997). Elemen

sentral dalam menghadapi defisiensi ekonomi dan politik Brasil adalah peran negara.

Bagi Cardoso, alasan utama bagi reformasi kenegaraan adalah bukan ideologi neo-liberal,

sebagaimana banyak kritik telah muncul, tetapi lebih pada krisis umum negara yang

mendalam. Negara tetap menjadi faktor penting dalam pembangunan, namun ia perlu

mendefinisikan ulang misinya, melakukan fokus ulang, serta meningkatkan keefektifan

berdasarkan perubahan kondisi pada perekonomian dunia dan di dalam masyarakat Brasil

sendiri (Font 2001). Cardoso menyadari bahwa guna bersaing dengan sukses dalam

perekonomian global, Brasil memerlukan pembaruan internal untuk meningkatkan proses

penempatan internasional.

Dia mempertimbangkan kalau bagian batas luar adalah lebih berada dalam bahaya dari

menjadi tertinggal di belakang dan terkecualikan dari partisipasi dalam perekonomian

global daripada tetap tergantung sebagai suatu pemasok bahan-bahan mentah. Bagi dia,

kesempatan terbaik Brasil atas sebuah masa depan yang berhasil terletak pada

perekonomian pasar yang kuat, regulasi negara yang efisien serta program-program sosial

nan efektif. Kebijakan-kebijakan pembangunan yang dia terapkan selama masa

jabatannya sebagai presiden Brasil mencerminkan gagasan tersebut. Cardoso menerima

peran ekonomi terdepan dari pasar sementara mempertahankan bahwa ia tidak mampu

mencakup seluruh kebutuhan masyarakat, menciptakan masalah-masalahnya sendiri, dan

cenderung membubarkan solidaritas manusia. Bagi dia, negara memainkan peran

fundamental dalam mengurangi ketimpangan, kemiskinan dan problem-problem sosial

lain. Namun Cardoso mengerti kalau pembangunan juga memerlukan komunitas sipil

yang kuat:

You might also like