You are on page 1of 3

PENDIDIKAN UNTUK PERUBAHAN

Oleh I Wayan Artika (dosen Undiksha Singaraja Bali)

Pendidikan pada masa kolonial di Hindia Belanda memiliki tujuan yang berbeda jauh
dengan pendidikan dewasa ini. Pada masa kolonial para bumiputera yang kaya bersekolah untuk
mencapai kemerdekaan bangsa. Dewasa ini tujuan pendidikan adalah setelah tamat harus bisa
bekerja sesuai dengan jurusan atau fakultas yang diikuti selama kuliah. Atau pendidikan untuk
kaya harta.
Berdasarkan tujuan atau motif ekonomi, kita memahami bahwa pendidikan adalah
investasi. Tujuan ekonomi pendidikan menciptakan lembaga pendidikan yang berorientasi pasar
kerja. Hasil pendidikan diukur berdasarkan “apakah seorang tamatan dapat pekerjaan” atau
“menganggur” (setelah tamat). Lembaga pendidikan yang bisa membuktikan tamatannya laku di
pasar kerja, akan diburu peminat.
Tujuan ekonomi pendidikan membuka peluang dalam pengelolaan pendidikan yang
berorientasi pasar: pendidikan kursus, bukan pendidikan ideologi dan perubahan sosial.
Penyelenggaraan berbagai lembaga pendidikan adalah sebuah bisnis atau usaha.
Kuatnya tujuan ekonomi dalam pendidikan dewasa ini menggeser esensi pendidikan
dalam suatu peradaban bangsa. Hal ini membunuh mata pelajaran-mata pelajaran
“nasionalisme”, “solidaritas sosial”, “agama”, “kewarganegaraan”, “etika”, “filsafat”, dan lain-
lain. Semua mata pelajaran tersebut dipandang tidak memberi kontribusi secara ekonomi.
Pendidikan pun benar-benar tidak lebih dari prasyarat mendapat kerja setelah tamat.
Jika seseorang tidak bersekolah atau tidak kuliah, apakah mereka kelaparan dan miskin?
Tidak! Seorang sarjana menganggur (misalnya), kembali ke keluarganya; segala biaya hidupnya
ditanggung oleh keluarga. Keadaan ini bisa berlangsung antara 1-5 tahun (karena belum juga
memperoleh pekerjaan idaman). Sarjana tersebut tetap hidup dan segala kebutuhan didapat dari
keluarganya: tidak ada beda dengan ketika ia sebelum kuliah atau selama kuliah. Contoh ini
ingin mengatakan, tanpa sekolah/kuliah seseorang bisa hidup. Lalu untuk apa sekolah/kuliah?
Kuatnya tujuan ekonomi dalam pendidikan menyebabkan tamatan-tamatan lembaga
pendidikan berpikir sempit. Ilmu yang dipelajari di sekolah/universitas tidak banyak membantu
mereka dalam hidup, kecuali jika mereka bekerja di bidang yang sangat dekat hubungannya
Page2
dengan ilmu tersebut. Jika mereka tidak bekerja sesuai dengan ijazah, mereka memvonis diri
gagal. Hal ini terjadi karena mereka menganut motif ekonomi.
Esensi pendidikan adalah untuk melakukan perubahan masyarakat ke arah yang lebih
baik. Tugas dan tanggung jawab para terdidik adalah melakukan perubahan di masyarakat,
habitat hidup mereka. Hal ini tidak terjadi dalam pendidikan. Esensi ini dikalahkan oleh motif
ekonomi dalam pendidikan. Jika dibandingkan dengan pendidikan bumiputera pada masa
penjajahan, esensi pendidikan dewasa ini sangat merosot. Pengelolaan bangsa yang buruk karena
bangsa ini diperintah oleh tamatan-tamatan pendidikan yang bermotif ekonomi. Anggota dewan
(di tingkat manapun) hanya memikirkan dirinya saja. Mereka tidak berpikir melakukan
perubahan karena hal itu tidak ada dalam diri mereka.
Tanggung jawab sosial (motor perubahan) para terdidik di habitatnya tidak terbentuk
selama proses pendidikan. Mereka dijejali oleh ilmu-ilmu atau teknik-teknik yang dibutuhkan
oleh pasar kerja. Hal ini bukan tujuan sosial tetapi tujuan individual. Menjadi motor perubahan di
masyarakat tidak pernah dilakukan oleh para terdidik di Indonesia.
Persoalan pendidikan Indonesia adalah hilangnya esensi pendidikan untuk melakukan
perubahan. Untuk kembali ke tradisi pendidikan kaum bumiputera pada masa kolonial,
pendidikan harus membentuk karakter anak didik. Pendidikan harus menanamkan ideologi di
kalangan anak didik. Entah indeologi apa saja, yang dipilih oleh negara. Bukan ideologi formal
tetapi ideologi “pembebasan”, “perubahan”, “penolakan”, dan “perlawanan”. Prinsip-prinsip ide
inilah yang harus ditanamkan dan dilatih pada diri siswa dan mahasiswa selama proses belajar.
Saat ini kaum terdidik Indonesia “tidak memiliki keberanian bebas”, “tidak sanggup melakukan
perubahan-perubahan”, “tidak bernai melakukan penolakan-penolakan keadaan yang tidak
masuk akal dan tidak berahlak”, dan “tidak memiliki nyali melawan keadaan yang korup”.
Tidak jauh-jauh, hal itu tampak kasat mata pada pemimpin nasional dan para anggota DPR.
Sayang sekali, sebelum bangsa ini memiliki karakter kuat, yang dibangun melalui
pendidikan, motif ekonomi dalam pendidikan telah masuk amat dalam: belajar/sekolah untuk
dapat kerja. Dewasa ini perlu segera diambil tindakan untuk menyelenggarakan pendidikan
“ideologi hidup” bahwa setiap manusia harus “menolak penindasan dan keadaan buruk”;
“membebaskan diri dari ikatan kuno yang tidak relevan atau dari belenggu kekuasaan yang
korup”; “melakukan perubaha-perubahan dalam hidup bersama yang diinginkan”; “melakukan
Page2

perlawanan nyata terhadap segala kemunafikan”.


Menjadikan ekonomi sebagai motif pendidikan adalah instan. Pendidikan harus
melahirkan kaum terpelajar yag melakukan perubahan-perubahan. Peran dan tanggung jawab
mereka dalam melakukan perubahan-perubahan adalah esensi pendidikan. Inilah hikmah
pendidikan yang dinikmati bersama dalam ekosistem sosial, juga oleh kalangan yang tidak
mendapatkan pendidikan yang layak. Melalui perubahan-perubahan yang dimotori oleh kaum
terdidik, memuliakan lembaga pendidikan yang berkontribusi dalam pembangunan masyarakat;
bukan sebaliknya: pendidikan yang destruktif terhadap masyarakatnya sendiri.

Page2

You might also like