Professional Documents
Culture Documents
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena dengan rahmat dan perkenaan-Nya
kami dapat menyelesaikan: Laporan Investigasi dan Monitoring Pemekaran Berdarah di Timika.
Maksud dan tujuan dari kegiatan tersebut adalah:
1. Mengidentifikasi sumber konflik
2. Mengidentifikasi pihak-pihak yang berkonflik
3. Mengidentifikasi dinamika konflik yang berkembang dan
4. Mengidentifikasi proses perdamaian yang telah terjadi. Sehingga mendapatkan gambaran
yang lengkap mengenai konflik pemekaran propinsi Irian Jaya Tengah di Timika dan segala
implikasinya.
Terima kasih yang tak terhingga kami sampaikan kepada: Penguatan Institusi dan Kapasitas
Lokal (PIKUL), Pemerintah Sipil dan TNI - POLRI, Paroki Tiga Raja Timika, Tim Zona Damai,
Senat Mahasiswa FH UPAMA Timika, YAHAMAK, LEMASA, Presidium Dewan Papua, Panel
Papua, para tokoh agama, adat, perempuan, pemuda, mahasiswa, jurnalis, aktivis HAM, teman-
teman LSM serta Bapak, Ibu, mace, pace, ipar-ipar dorang dan sobat-sobat di tanah Papua,
teristimewa yang berada di Tanah Amungsa, Timika. Secara khusus terima kasih patut kami
sampaikan kepada teman-teman yang bekerja di lapangan dengan semangat dan penuh
keberanian: harus mondar-mandir di tengah-tengah perang dan mengejar-ngejar sumber
informasi.
Terima kasih yang sama kami sampaikan juga kepada semua pihak yang namanya tak dapat
kami sebutkan satu persatu, atas segala dukungan dan kerjasama yang telah diberikan kepada
kami selama ini.
Semoga dukungan dan perjuangan kita untuk saudara-saudara kita di Timika yang telah
menjadi korban kebijakan dari konflik pemekaran provinsi Irian Jaya Tengah dan juga kepada
teman-teman yang terus berjuang untuk menciptakan perdamaian di Tanah Amungsa dapat
memberikan kontribusi positif bagi kemajuan penyelesaian konflik yang lebih adil dan ber-
martabat.
Semoga Tuhan memberkati setiap usaha kita menuju kepada penegakkan Demokrasi dan Hak
Asasi Manusia di Tanah Papua.
Salam Hangat
Pengantar
Daftar Isi
Bagian Rangkuman 1
Isi Laporan 1
Sedikit yang Bisa Dilakukan 1
Pendahuluan
3
Bagian Satu: Kondisi Geografis dan
Situasi Pra Deklarasi
5
Kondisi Geografis
5
Sejarah Perlawanan Rakyat
5
Stigma Penduduk Lokal
6
Hal yang Menjadi Perhatian
7
Bagian Dua: Kronologis Pra dan Saat Peristiwa 9
Situasi Pasca Inpres No. 1/2003 dan Pra-Deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah 9
Kronologis Deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah 10
Bagian Tiga: Beberapa Kejadian Pasca-Deklarasi
12
Pertikaian Horizontal
12
Pengrusakan dan Penjarahan Rumah Penduduk
12
Pemerkosaan Terhadap Perempuan
13
Pengungsian
14
Penculikan dan Penyekapan Terhadap Abner Daundi
14
Upaya Pembunuhan Kilat Beruntun serta Dampaknya
16
Mayat Misterius
18
Lampiran-lampiran
BAGIAN RANGKUMAN
Laporan ini disusun berdasarkan pemantauan di lapangan oleh Tim Investigasi Aliansi
Demokrasi untuk Papua (ALDP) dibantu oleh Tim Gereja Tiga Raja Timika, pada peristiwa
Tragedi Pemekaran Berdarah di Timika. Kunjungan lapangan dilakukan sebanyak dua kali,
yakni: kunjungan pertama pada 29 Agustus s/d 13 September 2003. Sedangkan kunjungan
kedua dilaksanakan pada 6 s/d 23 Oktober 2003.
Isi Laporan
Untuk memudahkan pemahaman kita dalam membaca laporan ini, maka kami memetakannya
dalam beberapa bagian, sebagai berikut:
Pendahuluan : digambarkan tentang situasi politik di daerah Papua ketika memasuki masa
transisi kepemimpinan nasional. Sikap Jakarta menanggapi pergolakan di
Papua hingga pada kebijakan – kontroversial – untuk menerbitkan Inpres No.
1/2003 yang menghidupkan kembali UU No. 45/1999, juga dijelaskan dalam
bagian ini.
Bagian Satu : tentang kondisi geografis daerah Kabupaten Mimika. Bagian ini juga sedikit
menjelaskan beberapa kejadian pada beberapa masa yang lampau yang
menimpa warga masyarakat di sekitar daerah Kabupaten Mimika. Juga
tentang melekatnya stigma OPM terhadap kelompok masyarakat.
Bagian Dua : merupakan uraian kronologis pada saat proses Deklarasi Irian Jaya Tengah.
Disebutkan juga peristiwa pascaturunnya Inpres No.1/2003. Dan sedikit
peristiwa menjelang dilaksanakannya acara deklarasi.
Bagian Tiga : adalah bagian yang membeberkan beberapa kejadian usai deklarasi Irian Jaya
Tengah. Beberapa peristiwa adalah merupakan dampak langsung dari acara
deklarasi, namun beberapa kejadian – yang oleh pemerintah daerah setempat
– dikatakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan acara deklarasi.
Bagian Empat : digambarkan tentang peran para pihak yang secara langsung maupun tidak
langsung terlibat dalam peristiwa pada saat dan pascadeklarasi.
Bagian Lima : sedikit catatan tentang etnopolitik penduduk di pegunungan tengah.
Bagian Enam : menggambarkan upaya membangun perdamaian dan prosesnya. Pada bagian
ini juga disinggung tentang situasi sosial pascaperdamaian antara kelompok
kontra dan propemekaran.
Bagian Tujuh : terdiri dari beberapa simpulan dan rekomendasi.
Kondisi Geografis
Mimika adalah sebuah kabupaten di daerah Selatan Pulau Papua. Daerah ini awalnya adalah
bagian dari kabupaten Fakfak. Tahun 1996, atas dasar PP No. 54/1996, Mimika kemudian
berubah menjadi daerah kabupaten administratif. Mimika menjadi kabupaten defenitif ketika UU
No. 45/1999 lahir. Undang-undang yang kemudian menjadi pokok persoalan dalam Tragedi
Pemekaran Berdarah di Timika.
Luas wilayah kabupaten Mimika adalah 19.592 km2 atau 4,77% dari luas wilayah provinsi
Papua. Posisinya terletak antara 4030 – 4044 LS dan 136036 – 136048 BT. Keadaan geografis-
nya sangat bervariasi, terdiri dari dataran rendah yang berawa-rawa di bagian selatan dan
daerah pegunungan di bagian Utara. Di bagian Utara berbatasan dengan kabupaten Paniai, di
bagian Selatan berbatasan dengan Laut Arafura, di bagian Timur berbatasan kabupaten
Merauke dan di bagian Barat berbatasan dengan kabupaten Fakfak.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Jayapura, jumlah penduduk kabupaten Mimika
pada tahun 2002 mencapai 110.522 jiwa, terdiri dari laki-laki dengan jumlah 62.164 jiwa dan
wanita 48.358 jiwa yang tersebar di 4 kecamatan dan 70 desa/kelurahan.
Penduduk aslinya adalah suku Amungme di bagian Utara dan suku Kamoro di bagian Selatan,
tetapi ada juga masyarakat lokal yang melakukan urbanisasi (nomaden) seperti suku Dani,
Nduga, Damal, Lani, Moni dan Ekagi serta yang lainnya. Urban lain yang berasal dari luar
Papua seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan serta kepulauan Maluku yang
berprofesi sebagai PNS, aparat TNI/POLRI, karyawan perusahaan, dan pekerja swasta lainnya,
kian membaurkan komposisi penduduk kabupaten Mimika.
1
Kebijakan dana 1% tersebut, telah merubah pola hidup masyarakat loakl Timika menjadi masyarakat yang
konsumtif. Masyarakat tidak lagi meributkan Tambelo yang rusak, hutan sagu yang berubah menjadi padang pasir
atau lingkungan yang beracun. Mereka justru tenggelam dalam perdebatan pembagian dana. Segala sesuatu telah
dihargai dengan uang – model yang sama sekali tidak dikenal oleh nenek moyang mereka.
Pada saat yang sama, kini di masyarakat tengah tumbuh subur sifat malas bekerja. Dan tanpa disadari, mereka
semakin larut dalam pergelutan beribu penyakit sosial.
Tuduhan berupa stigma tersebut pada akhirnya telah cukup untuk menjustifikasi keberadaan
militer di daerah pegunungan tengah dan Timika pada khususnya dengan alasan: menjaga
integritas NKRI, sekaligus mengamankan obyek vital nasional, PT. Freeport.
Situasi Pasca Inpres No. 1/2003 dan Pra-Deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah
Turunnya Instruksi Presiden RI nomor 1 tahun 2003 menimbulkan berbagai macam reaksi. Di
Jakarta, Jayapura dan beberapa daerah lain di Papua, gelombang demonstrasi yang menuntut
pencabutan Inpres dan UU No. 45/1999 kembali menjadi model penolakan komponen
masyarakat. Beberapa LSM lokal dan nasional juga mengajukan penolakannya dengan cara
mereka sendiri. SNUP (Solidaritas Nasional untuk Papua), sebuah LSM yang intens menyuarakan
persoalan Papua, pada bulan Juni 2003 bahkan mengajukan gugatan pra peradilan kepada
pemerintah pusat, tapi kemudian ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Berbagai kajian
dan seminar yang digelar oleh berbagai komponen juga menghasilkan penolakan serupa.
Kondisi tersebut sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di kabupaten Manokwari.
Beberapa orang dan juga oknum pejabat tingkat I Papua justru tengah menyiapkan sebuah
Deklarasi Provinsi Irian Jaya Barat, sebuah cara yang sama sekali tidak dikenal dalam sistem
pemerintahan Indonesia. Keinginan mereka kemudian terlaksana setelah pada 6 Februari 2003,
Laksamana Muda (Mar) Purn. Abraham Atururi, resmi mendeklarasikan provinsi Irian Jaya Barat
dengan Manokwari sebagai ibukota provinsi. Abraham Atururi juga lantas mengangkat dirinya
sebagai pejabat sementara Gubernur Irian Jaya Barat.
Beragam reaksi dari berbagai komponen masyarakat mengiringi pendeklarasian tersebut. Di
kabupaten Mimika, sebagai ibukota provinsi Irian Jaya Tengah melalui ketua DPRD-nya,
Andreas Anggaibak menyikapi hal tersebut dengan mengatakan bahwa pendeklarasian provinsi
Irian Jaya Tengah tidak perlu terburu-buru, dan harus mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Pernyataan ketua DPRD Mimika tersebut rupanya tidak bertahan lama. Pada tanggal 16
Februari 2003, ketua dan beberapa anggota DPRD Mimika menuju Jakarta guna
memperjuangkan pemekaran provinsi Irian Jaya Tengah. Pada tanggal 15 Juni 2003, para
Bupati di daerah provinsi Irian Jaya Tengah mengadakan pertemuan di Bali dan menyepakati
deklarasi provinsi Irian Jaya Tengah yang kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan serupa di
Biak pada 25 Juli 2003.
Persiapan terus dilakukan, hingga pada tanggal 21 Agustus 2003, bertempat di ruang sidang
DPRD Mimika, panitia deklarasi mengundang pihak Muspida: Bupati, Kapolres, Ketua
Pengadilan Negeri dan kepala Kejaksaan Mimika serta anggota DPRD sendiri, untuk duduk
bicara mengenai persiapan deklarasi. Awalnya pertemuan tersebut dilaksanakan pada 20
Agustus 2003, namun Bupati dari kabupaten lain tidak hadir, maka pertemuan ditunda keesokan
harinya. Dalam pertemuan 21 Agustus 2003 tersebut, panitia melaporkan perkembangan
persiapan pemekaran kepada Muspida Mimika.
Ketika itu Bupati dan beberapa anggota dewan meminta kepada ketua panitia untuk menunda
deklarasi, hal ini mengingat derasnya tuntutan pembatalan deklarasi. Bahkan Kapolres sendiri
sempat mempertanyakan keabsahan panitia deklarasi.
Tanggal 22 Agustus 2003, untuk ke lima kalinya, ratusan massa kembali melakukan aksi damai
di halaman DPRD Mimika untuk mengajukan tuntutan pembatalan deklarasi. Pada hari itu,
massa hanya bertemu dengan puluhan aparat keamanan yang menjaga kantor DPRD, anggota
dewan sendiri tidak ada yang berada di tempat. Sampai sekitar pukul 16.00, tidak ada satupun
anggota dewan yang menemui massa kontra, akhirnya beberapa tetua adat bersepakat untuk
melakukan ritual adat di Graha TDS, rencana lokasi kantor gubernur, dengan maksud untuk
Pukul 07.00 : massa kontra pemekaran yang melakukan demonstrasi sejak beberapa hari
sebelumnya telah memenuhi ruas Jl. Cenderawasih, tepat di hadapan kantor
DPRD Mimika. Sementara itu, massa pro pemekaran telah melakukan persiapan
deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah di Graha TDS sejak malam harinya.
Pukul 08.00 : massa pro pemekaran melakukan pawai keliling kota Timika dengan
menggunakan beberapa buah truk dan ratusan ojek. Massa juga mengusung
papan nama kantor gubernur provinsi Irian Jaya Tengah di atas sebuah truk. Di
atas mobil, terlihat beberapa orang dengan pakaian seragam sekolah. Kelompok
ojek terlihat di bagian depan dan di belakang mereka menyusul beberapa buah
mobil. Rombongan pawai dipimpin langsung oleh beberapa anggota Dewan:
Hasan Adadikam dan Samsudin Labok.
Pukul 09.00 : massa pro pemekaran yang tengah melakukan pawai kini memasuki ruas jalan
Cenderawasih. Pada saat yang sama, ruas jalan tersebut – di depan kantor
DPRD – telah dipadati oleh massa kontra pemekaran yang tengah melakukan
protes. Massa pro pemekaran yang hendak meneruskan pawai dihadang dan
tidak diperbolehkan untuk lewat di depan kantor DPRD. Seketika suasana sedikit
memanas. Massa kontra tetap tidak bersedia memberikan jalan kepada massa
pro pemekaran. Setelah negosiasi, massa pro akhirnya mundur dan kembali ke
Jl. Yos Sudarso dan berputar melalui Jl. Mambruk terus ke Jl. Budi Utomo dan
hendak kembali ke Jl. Cenderawasih, sekitar 200-an meter dari kantor DPRD.
Pertikaian Horizontal
Usai pendeklarasian Provinsi Irian Jaya Tengah, pertikaian bersaudara antara massa pro dan
kontra pemekaran tidak terelakan. Ribuan masyarakat lokal dengan senjata tradisional seperti
panah, tombak, parang dan tulang kasuari terlibat dalam peperangan yang oleh Muspida
setempat menyebutnya: Perang Adat. Perang berlangsung selama 4 hari.
Pada hari pertama, Minggu, 24 Agustus 2003 – usai kebaktian di gereja – ratusan orang massa
kontra pemekaran bergerak menuju Graha TDS untuk menurunkan papan nama Provinsi Irian
Jaya Tengah. Suasana seketika menjadi rusuh sewaktu Andreas Anggaibak bersama massa
pro pemekaran berusaha untuk menghalangi kelompok kontra. Pada hari ini, Jemy Kibak, salah
seorang dari massa kontra yang terkena lemparan batu dari Andreas Anggaibak langsung
meninggal dunia. Andreas Anggaibak tidak hanya menggunakan batu untuk menghalau massa
kontra pemekaran, tapi juga mengambil anak panah dari dalam Graha TDS dan kemudian
mengarahkannya kepada kelompok massa kontra. Pada hari ini, massa kontra belum membawa
senjata (panah, tombak dan lainnya) sedangkan massa pro pemekaran yang berada di dalam
Graha TDS telah mempersiapkan diri dengan berbagai jenis senjata tradisional.
Konflik berubah menjadi perang. Pada hari ke 2, Senin 25 Agustus 2003, perang terbuka
tersebut disaksikan oleh Kapolres Mimika, AKBP Drs. Paulus Waterpauw; Dandim 1710/Timika,
Letkol Togap F. Gultom serta Dansat Brimob Detasemen B Mimika, IPTU Widianto. Hari ini,
Tinus Mom, massa dari kelompok pro pemekaran meninggal dunia, kemudian menyusul Teris
Murib (kontra). Setelah itu Lambertus Uniyoma dari massa pro meninggal pada hari Rabu, 27
Agustus 2003. Pada Rabu malam, Yulita Takati menjadi korban terakhir pada pertikaian
langsung tersebut.
Beberapa hari setelah itu, ratusan massa di kelompok pro dan kontra pemekaran masih kerap
terlihat dengan senjatanya mendatangi lokasi perang (yang telah ditentukan secara adat), namun
tidak lagi terlibat dalam peperangan.
Data yang sempat kami himpun mencatat 5 orang meninggal dunia, puluhan lainnya mengalami
luka ringan dan berat selama kontak senjata. (Data korban terlampir). Angka yang disampaikan
kelompok kontra pemekaran berjumlah 120 orang.
Pengungsian
Pertikaian bersaudara ini telah menimbulkan perasaan mencekam di kalangan masyarakat
sendiri. Perasaan ini timbul setelah beberapa kelompok melakukan penjarahan dan pengejaran
terhadap masyarakat yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian. Selain itu, keluarga dari
kelompok yang bertikai juga menjadi sasaran kemarahan bagi musuhnya. Rumah-rumah milik
masyarakat yang kontra pemekaran, yang kebetulan berada pada daerah yang dikuasai oleh
kelompok pro pemekaran akan menjadi sasaran kemarahan massa pro pemekaran. Begitupun
sebaliknya. Kondisi inilah yang menyebabkan ketakutan di hati masyarakat hingga
mengakibatkan mereka mengungsi.
Umumnya mereka adalah ibu-ibu, orang tua dan anak-anak. Beberapa laki-laki dewasa yang
tidak ingin terlibat dalam pertikaian juga terlihat di dalam kelompok ini. Mereka menyelamatkan
diri dengan pakaian yang hanya ada di badan. Mereka mengungsi di rumah saudara atau
kenalan mereka. Sebagian besar ditampung di kompleks Yayasan Hak Asasi Manusia Anti
Kekerasan (YAHAMAK) milik Mama Yosepa Alomang. Beberapa di antaranya justru lari
menyelamatkan diri ke dalam hutan.
Keesokan harinya, 1 September 2003, suasana kota Timika tegang. Pasar Baru di Jl. Yos
Sudarso tutup. Para pedagang lebih memilih bergerombol membicarakan tindakan selanjutnya.
Beberapa di antara mereka terlihat membawa senjata (badik) yang diselipkan di pinggang.
Sementara itu, massa pendatang dengan jumlah mencapai ribuan orang terkonsentrasi di
Dalam suasana demikian, Ketua KKSS, H. Arsyad Ilham, menemui massa dengan membawa
senjata tajam (parang panjang) yang diikatkan di pinggangnya, dan berorasi di atas panggung, di
hadapan ribuan massa. Setiap kali berorasi, massa selalu menyambutnya dengan teriakan
bernada provokatif pula. Salah satu penggalan orasinya demikian:
“Saudara-saudara semua harus mendengarkan saya. Saya adalah kepala suku
besar pendatang, dan saya yang akan memimpin kalian semua. Saya akan
memberikan kesempatan kepada pihak keamanan untuk mengamankan kota
Timika dalam waktu 50 menit. Jika polisi tidak mampu, saya selaku panglima
perang suku pendatang akan memimpin kalian untuk mengamankan kota
Timika”.
Di tengah-tengah orasinya, Muspida kabupaten Mimika yang terdiri dari Bupati, Kapolres,
Dandim, Dan Lanud, Dan Lanal serta Ketua Pengadilan Negeri Mimika telah datang menemui
massa. Sehingga kalimat-kalimat provokatif tersebut terdengar dengan jelas oleh mereka.
Massa kemudian meminta kepada Muspida untuk melucuti senjata-senjata tradisional yang
masih dipegang oleh kelompok kontra dan pro pemekaran. Kapolres dan Bupati kemudian
memberikan jawaban dan pernyataan untuk menenangkan emosi massa. Dikatakan bahwa,
kejadian semalam adalah tindakan kriminal murni dan tidak ada sangkut pautnya dengan
kejadian yang mengiringi pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah. Selain itu, Bupati juga
mengatakan bahwa akan mengeluarkan Maklumat setelah nanti bertemu dengan semua
komponen masyarakat di kota Timika.
Suasana semakin memanas ketika seorang korban (Ismail) dihadirkan dengan mobil ambulans
ke lapangan Timika Indah. Ketika itu massa sudah tidak lagi mempedulikan Muspida, dan Ketua
KKSS kembali meneruskan orasinya. Beberapa orang terlihat berteriak histeris sambil terus
mengucapkan kalimat yang bernada provokatif. Massa kemudian membawa mayat ke rumah
duka.
Sampai pukul 13.00, suasana lambat laun berangsur tenang kembali. Pada pukul 14.00,
Muspida mengadakan pertemuan dengan seluruh komponen masyarakat, termasuk kelompok
pro dan juga konra pemekaran di Hotel Serayu dan berhasil mengeluarkan Maklumat. (Isi
maklumat terlampir). Untuk diketahui, sebelum pertemuan secara keseluruhan bersama seluruh
komponen masyarakat lainnya, Muspida terlebih dahulu mengadakan pertemuan tertutup
dengan perwakilan dari kelompok pro dan kontra pemekaran. Isi pertemuan tidak diketahui
secara pasti.
Mayat Misterius
Pada tanggal 30 Agustus 2003, sesosok mayat ditemukan terapung di sebuah kolam sekitar
bandara. Korban diidentifikasi sebagai etnis pendatang dan berjenis kelamin laki-laki. Pada
tanggal 12 September 2003, kembali sesosok mayat perempuan pribumi ditemukan di sebuah
kebun milik Ny. Halija, suku Buton, di dekat kantor KPKN Jl. Cenderawasih, dekat markas
kelompok pro pemekaran. Kondisi mayat sudah rusak, bahkan tengkorak kepalanya sudah
kelihatan sehingga wajah sudah tidak dikenali. Korban diperkirakan telah meninggal dunia
seminggu sebelum ditemukan.
Kepolisian
Ketika pihak kepolisian (Kapolres) diundang pada pertemuan dengan panitia pada tanggal 21
Agustus 2003 dan 22 Agustus 2003, Kapolres sudah menghimbau kepada ketua panitia untuk
menunda deklarasi. Ketika itu Kapolres mempertanyakan keabsahan panitia deklarasi Provinsi
Irian Jaya Tengah. Bahkan Kapolres juga sempat mengatakan bahwa jika keabsahan panitia
tidak jelas, maka aparat kepolisian tidak siap untuk mengamankan jalannya deklarasi. Dapat
diindikasikan bahwa pihak Polres telah memprediksikan kemungkinan adanya konflik jika hal ini
dipaksakan, namun ketika itu, Kapolres tidak secara tegas melarang pelaksanaan acara
deklarasi.
Terhadap pertikaian yang terjadi – sama halnya dengan Bupati Mimika – Kapolres menilai
bahwa pertikaian masyarakat pro dan kontra terhadap pemekaran sebagai persoalan adat:
Perang Adat. Atas persoalan ini, Polisi senantiasa mengedepankan pendekatan persuasif
berpola adat. Hal ini tampak dari setiap kali pernyataan Kapolda Papua tentang perlunya
memahami tradisi daerah setempat dan menjadikan adat sebagai pola penyelesaian masalah.
Hal ini yang menyebabkan penanganan dari pihak terkesan sangat lamban dalam meminimalisir
lokasi, waktu dan korban yang timbul akibat pertikaian. Aparat keamanan hanya setia berjaga-
jaga di dalam kota dan beberapa kantor pemerintahan. Meski kasus penjarahan dan
pemerkosaan di beberapa daerah pinggiran kota telah dilaporkan ke pihak kepolisian, toh aparat
keamanan tidak segera menempatkan personilnya di daerah-daerah rawan tersebut atau
komunitas-komunitas lainnya yang rawan konlfik. Kelambanan aparat kepolisian ini diakui juga
oleh beberapa anggota DPRD Mimika. John Letsoin bahkan menyebutkan bahwa aparat
keamanan menjadikan kasus ini sebagai proyek.
Selama Timika dalam status siaga I, pihak kepolisian hanya mendatangkan 1 SSK pasukan
Brimob dari Polda Sulawesi Selatan dan 1 SSK dari Polda Papua. Ketika Maklumat Bupati
keluar, aparat keamanan masih belum terlihat tegas dalam mengamankan maklumat tersebut.
Di beberapa lokasi di dalam kota, masih nampak terlihat beberapa orang dengan membawa
senjata panah dan tombak yang hanya dibiarkan begitu saja oleh aparat keamanan. Ketika ada
rumah-rumah penduduk yang dijarah oleh sekelompok orang, polisi bersikap malas tahu, tapi
DPRD Mimika
Ketika Inpres No. 1/2003 turun dan Provinsi Irian Jaya Barat telah resmi dideklarasikan, maka
pada 15 Februari 2003, sebanyak 23 dari 25 jumlah keseluruhan anggota DPRD Mimika segera
menghadap Jakarta untuk menyampaikan dukungannya terhadap Inpres No.1/2003 terutama
tentang pembentukan propinsi Irian Jaya Tengah. Selain itu sebanyak 24 orang anggota dewan
kemudian menindaklanjutinya dengan membuat dan menandatangani pernyataan dukungan
terhadap Inpres No. 1/2003 tersebut. Seorang anggota dewan mengakui bahwa aspirasi yang
telah disampaikan ke Pusat tersebut tidak melalui mekanisme pengambilan keputusan formal di
DPRD seperti rapat Panmus, rapat dewan atau rapat paripurna misalnya. Aspirasi yang mereka
sampaikan tersebut – menurut beberapa anggota dewan, bertujuan hanya untuk mengamankan
perintah presiden dan menjalankan amanat UU No. 45/1999, karena memang UU ini belum
dicabut. “Kenapa daerah lain (maksudnya: daerah Irian Jaya Barat) bisa melakukannya sementara
di sini tidak”. Demikian salah satu pernyataan mereka.
Menurut ketua panitia deklarasi yang juga ketua DPRD Mimika, bahwa semua anggota DPRD
Mimika adalah juga merupakan panitia deklarasi, meski mereka sendiri tidak pernah mengetahui
atau melihat, atau diperlihatkan adanya SK kepanitiaan tersebut. Sejak acara deklarasi, tidak
ada satupun anggota dewan yang berada di kantor. Sampai ketika tim Komnas HAM Jakarta
menemui mereka pada tanggal 9 September 2003 lalu, itupun hanya 12 orang yang hadir.
Sampai sekarang, belum ada satupun pernyataan resmi dari DPRD Mimika guna menyikapi
pertikaian masyarakat yang mereka wakili serta impilikasi yang timbul karenanya. Justru di
beberapa kesempatan anggota DPRD Mimika sangat menyayangkan sikap yang telah diambil
oleh kelompok kontra pemekaran, dan menuduh bahwa kelompok kontra telah menjadi
kekuatan yang bergabung dengan kelompok TPN/OPM. Beberapa di antara mereka justru
menyalahkan kebijakan pemerintah pusat, atau juga melemparkan kesalahan kepada beberapa
oknum anggota DPRD sendiri yang terkesan hanya mencari pembenaran. Selain itu, mereka
juga menyampaikan penyesalannya atas kelambanan pihak kepolisian dalam menyikapi
persoalan yang terjadi.
Pernyataan beberapa anggota DPRD berikut ini mungkin menarik untuk disimak. Pernyataan ini
disampaikan pada pertemuan DPRD Mimika dengan tim Komnas HAM pada 9 September 2003
lalu, sebagai berikut:
HM. Arsyad Ilham (fraksi Golkar):
“Bagi saya, ini bukan lagi persoalan pro atau kontra Pemekaran. Tapi sudah ada
indikasi kelompok yang mau Merdeka di belakang kontra Pemekaran. Komnas
HAM harus selidiki ini, jangan sampai bendera naik sebentar malam.
TNI
Secara umum, peran pihak TNI sama sekali tidak terdeteksi. Kehadiran DANDIM, DANLANAL
dan DANLANUD Mimika dalam setiap pertemuan yang berkaitan dengan pertikaian konflik
pemekaran propinsi Irian Jaya Tengah seolah-olah hanya menjadi pelengkap unsur Muspida
kabupaten Mimika. Tidak ada satupun pernyataan resmi yang signifikan dari unsur militer di
daerah Mimika – minimal memberikan pernyataan yang bersifat meneduhkan emosi. Hal yang
cukup menjadi perhatian adalah ketika Timika berjibaku dalam kubangan konflik horizontal,
Komandan KODIM 1710/Tmk diserah-terimakan dari Letkol Togap F. Gultom kepada Letkol
Siburian pada tanggal 6 September 2003, hanya 13 hari pasca deklarasi. Pergantian terkesan
sangat mendadak, karena sama sekali tidak ada publikasi sebelumnya.
Berkaitan dengan unsur militer, beberapa sumber informasi menyebutkan bahwa di Timika
setidaknya ada sepuluh orang anggota KOPASSUS yang tidak di-BKO-kan ke KODAM
XVII/Trikora. Hal ini juga diakui oleh Kahar Rasyid (yang ditugaskan oleh Eurico Guterres untuk
membentuk Front Pembela Merah Putih di Timika). Kahar Rasyid menyebutkan bahwa hubungan
mereka dengan KOPASSUS sangat dekat, dan antara mereka selalu melakukan koordinasi
2
Mus Pigay (Wilhelmus Pigay) adalah seorang anggota DPRD Mimika dari fraksi PDKB. Adalah satu-satunya
anggota DPRD yang tidak mau menandatangani dukungan DPRD Mimika terhadap Inpres No. 1/2003. Fraksi PDKB
juga yang menjadi satu-satnya fraksi yang tidak ke Jakarta untuk menyatakan dukungannya setelah Inpres No.
1/2003 dan Radiogram Mendagri terbit.
Partai Politik
Awal pembentukan panitia pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah, satu-satunya fraksi di DPRD
Mimika yang tidak menandatangani pernyataan dukungan terhadap pelaksanaan UU No.
45/1999 adalah PDKB. Dan menjelang acara deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah, serta ketika
masyarakat pro dan kontra pemekaran bentrok dalam perang, beberapa partai politik terjun
langsung mengerahkan massa. Ketua-ketua partai yang cenderung antusias tersebut adalah
juga merupakan tokoh-tokoh pro pemekaran, yakni: Philipus Wakerkwa, Partai Amanat Nasional
(PAN); Markus Timang, Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK); Heronimus Taime,
Partai Indonesia Tanah Air Kita (PITA). Sedangkan Partai Buruh, Yopi Kilangin, adalah salah
satu tokoh di kelompok kontra.
Sulit dipahami secara transparan mengapa para pemimpin partai turut terlibat sebagai tokoh-
tokoh sehubungan dengan konflik pemekaran, apakah karena – secara sederhana – konflik
tersebut dapat dijadikan momentum dalam mencari dukungan massa, ataukah karena
berkepentingan terhadap pengembangan partai dari level kabupaten menjadi level propinsi,
money politik? Ataukah karena sebagian besar dari tokoh-tokoh tersebut sejak lama merupakan
tokoh-tokoh yang selalu berperan dalam dinamika sosial politik dan kemasyarakatan di Mimika,
tidak hanya karena konflik pemekaran tetapi jauh sebelum itu. Dana 1%, misalnya.
Lembaga Adat
LEMASA adalah lembaga adat yang terang-terangan menolak pemekaran Provinsi Irian Jaya
Tengah. Beberapa pengurusnya bahkan menjadi motor penggerak kekuatan massa kontra
pemekaran. Meski demikian, pada prakteknya para tokoh dan masyarakat suku Amungme
sendiri dalam perang ini terpecah ke dalam dua kubu yang berkonflik: kontra dan pro
pemekaran.
Pilihan politik LEMASA tersebut tidak diikuti oleh LEMASKO (Lembaga Masyarakat Adat Suku
Kamoro). Secara kelembagaan, LEMASKO lebih menunjukan sikap yang netral, sebagian besar
tokoh dan masyarakat adatnya juga tidak ingin terlibat dalam konflik. Pilihan ini justru
menimbulkan konsekwensi tersendiri bagi mereka. Masyarakat yang tidak mengambil bagian
dalam perang, justru menjadi korban dari dua kelompok yang berkonflik.
Paguyuban Pendatang
KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) dan Kerukunan Keluarga Kei, adalah dua
paguyuban yang sejak awal mendukung adanya pemekaran Provinsi Irian Jaya Tengah. Bahkan
jauh sebelum konflik terjadi ketua KKSS telah sering memberikan pernyataan dukungannya
terhadap pemekaran propinsi. Tetapi ketika konflik pecah, mereka memilih mundur dan tidak
berkomentar. Paguyuban lainnya cenderung memilih tidak terlibat dalam perdebatan seputar
pemekaran propinsi.
Ketika peristiwa 31 Agustus 2003 (pembunuhan beruntun terhadap tukang ojek), KKSS adalah
kelompok yang secara lembaga memperlihatkan sikap yang sangat reaktif. Ketua KKSS, yang
juga salah satu anggota DPRD Mimika, sering kali mengeluarkan kalimat bernada provokatif di
hadapan massa pendatang. Bahkan dengan tegas beliau memberikan ultimatum kepada
Kapolres untuk mengamankan kota Timika dalam waktu 50 menit.
“Jika tidak, saya selaku panglima perang dan kepala suku besar pendatang yang
akan memimpin pendatang untuk mengamankan Timika”,
Kelompok Mahasiswa
Kelompok cendekiawan muda ini relatif kecil dan masih belum memahami posisinya di tengah
masyarakat. Ketika perang pecah, mahasiswa dari etnis pribumi justru ikut meleburkan diri di
dalam kelompok yang berkonflik. Beberapa di antara mereka bahkan menjadi panglima perang.
Sedangkan mahasiswa dari etnis pendatang lebih memilih diam. Kesan ketidakpedulian
mahasiswa ini juga harus dipahami karena rata-rata usia lembaga perguruan tinggi di Timika
masih sangat muda dan relatif sedikit dengan media komunikasi yang sangat terbatas pula.
Setelah beberapa saat, komponen mahasiswa mulai menyadari situasi yang terjadi dan
pentingnya membangun kekuatan bersama. Mereka kemudian mencoba melakukan upaya-
upaya konsolidasi di kalangan mereka, mendekati teman-teman mahasiswa satu persatu,
membangun ruang yang lebih netral dalam satu kelompok kecil. Pekerjaan ini nampak dimotori
oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Penyalur Aspirasi Massa Amungsa Timika (FH
UPAMA). Kelompok kecil ini kemudian menyatukan diri ke dalam Tim Zona Damai yang
beranggotakan Paroki Tiga Raja Timika, LBH Pos Timika dan ALDP Jayapura, yang kemudian
memprakarsai bantuan-bantuan kemanusiaan, seperti mengumpulkan bahan makanan untuk
masyarakat yang mengungsi.
Masyarakat
Beberapa pengakuan masyarakat menarik untuk diketahui. Salah seorang dari kelompok pro
mengatakan sebagai berikut:
“Kami tidak tahu tiba-tiba ada truk yang menjemput kami dan mereka mengajak
kami untuk mengikuti pesta bakar batu di Graha TDS. Kami juga tidak tahu kalau
pesta yang kami ikuti ini dalam rangka apa. Kami sama sekali tidak pernah
membayangkan kalau nantinya kami sendiri akan terlibat dalam perang dengan
saudara kami sendiri”.
Ditambahkan pula oleh beberapa masyarakat pro pemekaran bahwa pada hari Minggu, 17
Agustus 2003 usai kebaktian di Gereja, ada pengumuman untuk mengikuti acara bakar batu dan
makan babi di Graha TDS pada 23 Agustus 2003 nanti.
Sedangkan kelompok kontra pemekaran, kita akan temui pengakuan sebagai berikut:
“Waktu itu kami tidak tahu apa-apa tapi tiba-tiba ada mama-mama dari HAMAK
(maksudnya: kelompok ibu-ibu dari YAHAMAK) dengan truk dan mengajak kami
untuk ke Graha TDS, katanya untuk tolak pemekaran. Kami tidak tahu kalau
nantinya akan terjadi perang”.
Pada kelompok pro pemekaran, kita akan banyak bertemu dengan masyarakat yang tidak
mengetahui apa itu pemekaran, apa itu Otonomi, apalagi dengan UU No. 45/1999, UU No.
21/2001 atau bahkan Inpres No. 1/2003 dan Radiogram Mendagri. Kondisi ini juga akan kita
dapatkan di kelompok kontra. Banyak masyarakat yang tidak tahu menahu duduk persoalannya,
karena mereka hanya ikut-ikutan saja terhadap keramaian yang ada. Namun ketika sudah
timbul perang, semua lantas membagi diri menjadi dua kekuatan dan saling berlawanan.
Sedangkan di kalangan masyarakat urban. Tidak ada satupun yang mencoba untuk melakukan
gerakan reaktif apalagi proaktif sampai ketika peristiwa pembunuhan tukang ojek terjadi. Ketika
itu, reaksi yang ditimbulkan oleh masyarakat pendatang cenderung memancing timbulnya
pertikaian yang lebih luas: SARA. Jika situasi saat itu tidak segera diatasi, kemungkinan
terburuk tersebut tidak mustahil terjadi.
Ada pernyataan menarik dari seorang tukang ojek yang ikut melakukan pawai bersama
kelompok pro pemekaran lainnya pada saat acara deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah, 23
Agustus 2003 lalu, sebagai berikut:
“Keikutsertaan saya dengan teman-teman ojek yang lain dalam pawai itu jujur
hanya karena kami dibayar. Satu orang 50 ribu rupiah dalam waktu yang relatif
singkat kan lumayan”.
Mama Theresia, salah satu anggota kelompok ibu-ibu dari YAHAMAK, yang melihat langsung
pembagian jatah kepada kelompok ojek ini mengatakan sebagai berikut:
“Waktu itu saya lihat dengan mata kepala sendiri, dorang (panitia pemekaran) bagi
uang seperti bagi kartu saja”.
Sehari setelah deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah, terjadi pertikaian yang tidak dapat dihindari
antara massa pro dan kontra pemekaran. Atas peristiwa ini, pemerintah pusat dan juga
pemerintah daerah langsung memberikan stempel Perang Adat kepadanya. Sosialisasi perang
adat ini kian lengkap setelah beberapa surat kabar memblow up peristiwa tersebut dengan font
berukuran besar pada setiap headline-nya. Kendati propaganda perang adat tersebut telah coba
untuk dibantah oleh beberapa orang seperti tokoh adat: Tom Beanal, Ketua Dewan Adat Papua,
akan tetapi isu perang adat tetap dikedepankan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, hingga
menenggelamkan klarifikasi tersebut.
Pertanyaannya, benarkah tragedi yang mengiringi deklarasi Provinsi Irian Jaya Tengah pada 23
Agustus 2003 lalu adalah perang adat? Tentu sangat tidak mudah untuk menjawab pertanyaan
ini, namun kita akan mencoba mengeksplorasi sejumlah fakta untuk sampai pada kesimpulan:
konflik tersebut merupakan perang adat atau bukan.
Pada umumnya, suku-suku yang berdiam di daerah pegunungan tengah memiliki karakteristik
yang hampir sama, namun dalam beberapa hal setiap suku memiliki aturan adat yang spesifik.
Tipe kepemimpinan masyarakat yang hidup di daerah pegunungan adalah Big Man, atau Pria
Berwibawa yang didapat melalui usaha dan kerja keras. Ciri terpenting dari tipe kepemimpinan
ini adalah kecakapannya untuk memanipulasi orang dan sumber daya guna mencapai maksud
dan tujuan politiknya. Keberanian yang diperlihatkan dalam hal berperang dan memimpin
perang adalah salah satu syarat yang sangat penting dalam tipe kepemimpinan Big Man.3
Dalam kehidupan sosial, setiap anak yang sudah dianggap dewasa harus hidup terpisah dari
orang tua dan tinggal bersama rekan-rekannya di Rumah Bujang. Di sinilah seorang anak diuji
kemandiriannya. Seorang anak laki-laki yang hendak menikah harus memenuhi syarat yang
antara lain: sanggup memanah babi, membuat kebun dan ikut berperang. Begitupun juga
halnya dengan perempuan yang sudah menginjak dewasa.
Hal inilah yang membuat masyarakat yang hidup di daerah pegunungan gemar – Bupati Mimika
bahkan menyebutnya kecanduan – berperang. Di kalangan kelompok pemuda, situasi perang
ini justru ini dijadikan sebagai ajang untuk memperlihatkan kemampuan berperangnya dengan
maksud agar mendapatkan simpati dari seorang perempuan.
Jika seseorang mempunyai masalah dan tidak sanggup mengatasinya sendiri, maka dia bisa
meminta orang lain untuk membantunya. Bantuan yang diberikan biasanya didasarkan atas
ikatan emosional, atau berdasarkan hubungan kekerabatan, atau juga sejarah masa lalu di
antara mereka. Orang yang punya masalah ini disebut Way Mum (sebutan dalam suku Amungme).
Segala kebutuhan pasukan perang ditanggung oleh Way Mum. Termasuk memberikan uang
kepala kepada (jika ada) korban yang meninggal dunia, juga memberikan uang pengobatan
kepada mereka yang terluka. Seorang Way Mum tidak berhak menolak berapapun uang kepala
yang diajukan oleh korban. Jika Way Mum tidak sanggup membayarnya, maka korban bisa
mengambil apa saja kepunyaan sang Way Mum, termasuk anak gadisnya sekalipun. Perang
biasanya timbul karena persoalan perempuan, babi, tanah dan atau pembunuhan bermotif
kriminal. 4
3
Lihat Yulfita Raharjo dalam Proseding Seminar: Membangun Masyarakat Irian Jaya. Diterbitkan oleh Puslitbang
Kependudukan dan Ketenagakerjaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1995.
4
Wawancara dengan Bupati Mimika tanggal 9 September 2003 dan tokoh masyarakat Amungme pada beberapa
kesempatan.
Betapa etisnya mereka mengatur kehidupan sosial mereka sendiri. Bahkan ketika berperang
sekalipun penghormatan terhadap hak milik orang lain dan eksistensi perempuan dan kelompok
yang rentan dengan konflik lainnya begitu besarnya. Dalam kondisi perang saja demikian,
apalagi dalam situasi yang aman.
Meski demikian, Semua masyarakat adat pada suku-suku di pegunungan yang memiliki tradisi
perang juga memiliki tradisi damai. Sehingga walaupun perang sering terjadi namun selalu ada
mekanisme untuk membangun perdamaian . Tradisi tersebut melambangkan kearifan lokal.
Semenjak pecahnya perang ( konflik pemekaran propinsi Irja Tengah ), kenyataan di lapangan
menyadarkan kita bahwa tidak satupun unsur perang dalam aturan adat di atas yang terpenuhi.
Termasuk dengan fenomena sejarah masa lalu mereka sendiri. Kaitannya dengan hal ini,
ucapan Pendeta Ishak Onawame, mungkin ada baiknya juga kita simak, sebagai berikut:
“Memang ini bukan perang adat, ini perang melawan kebijakan pemerintah yang
telah menggunakan orang Papua untuk melaksanakan kebijakannnya tersebut,
hingga akhirnya kami orang Papua sendiri yang saling berperang. Pemerintah ini
memang sangat terkenal dengan politik adu dombanya”.
“Bagi kami masyarakat Papua, adalah merupakan sebuah penghinaan yang
teramat besar ketika nama Irian Jaya kembali digunakan. Papua adalah
pertaruhan jati diri dan harga diri kami, maka jangan katakan ini perang adat”.
Selain itu, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik terdiri dari enam suku besar: Amungme, Dani,
Damal, Moni, Ekagi dan Nduga yang uniknya setiap suku ini terpecah menjadi dua kekuatan
yang saling berhadapan: pro dan kontra pemekaran.
Bahkan dalam keluargapun ada yang terpecah menjadi dua. Ada orang tua yang bergabung di
kelompok pro pemekaran tetapi anaknya ada di bagian kontra pemekaran, atau ada seorang
kakak di kelompok kontra tetapi adiknya ikut bersama massa pro pemekaran.
Hal yang harus mendapatkan stabilo adalah bahwa dalam sejarah perang suku-suku di
pegunungan, belum pernah sekalipun suku Amungme berkoalisi dengan suku Dani untuk
menyerang suku atau kelompok lain. Hampir dapat dipastikan bahwa tidak ada satupun issue
Bentrokan fisik antara sesama penduduk sipil di Timika, Papua yang menewaskan lima (5)
orang, korban luika-luka sebanyak seratus dua puluh (120) orang dan pemerkosaan tiga (3)
orang perempuan warga sipil pasca Deklarasi Propinsi Irian Jaya Tengah pada tanggal 23
Agustus 2003 lalu, merupakan tragedi yang dipicu oleh kepentingan elite-elite politik baik di
Pusat maupun di Daerah yang telah mengorbankan rakyat sipil.
Bahwa telah terjadi pro-kontra di antara penduduk di Kabupaten Mimika mengenai pemekaran
Propinsi Papua, adalah suatu prestasi yang telah diraih oleh elite politik di Jakarta dan di Papua
dalam menciptakan konflik horizontal di tengah masyarakat dan mengalihkan perhatian
masyarakat dari pelaksanaan Otonomi Khusus sesuai UU No. 21 tahun 2001 tanggal 21
Nopember 2001.
Oleh karena itu kami masyarakat di Timika menyadari bentrokan fisik yang telah terjadi diantara
kelompok pro dan kontra bukan semata-mata disebabkan oleh masalah pemekaran propinsi
tetapi kami menyadari bahwa ada upaya terselubung yang ingin menghancurkan rakyat Papua
dengan cara menghidupkan kembali Undang-undang No. 45 tahun 1999 untuk memekarkan
propinsi Papua, yang sebenarnya validitas UU tersebut dipertanyakan dengan dikeluarkannya
UU No.21 tahun 2001 tentang Otsus Papua.
Kami masyarakat Papua di Timika memahami bahwa bentrokan berdarah yang menimpa
penduduk sipil di Timika, Papua merupakan akibat dari dikeluarkannya Inpres No.1 tahun 2003
secara misterius dan tergesa-gesa, dan sekaligus mematahkan identitas orang Papua.
Kami berpendapat bahwa dengan UU No.45 tahun 1999 yang menjadi dasar hukum Inpres No.1
tahun 2003, justru dikhawatirkan dapat memecah-belah rakyat Papua; antara lain dengan
menginterpretasikan Papuanisasi secara sempit, dalam arti tanah Papua Barat untuk rakyat
Papua Barat, tanah Timika untuk Rakyat amungme dan Kamoro, tanah Sorong untuk rakyat
Sorong, tanah Biak untuk rakyat Biak ddan sebagainya. Oleh karena itu kami mendukung
sepenuhnya UU tentang Otonomi Khusus Papua yang bertujuan untuk menempatkan orang asli
Papua dan penduduk Papua umumnya sebagai subjek utama keberadaan pemerintah,
pemerintah propinsi, pemerintah Kabupaten/Kota serta semua perangkat di bawahnya,
uuntukmemberikan pelayanan kepada rakyat Indonesia di tanah Papua.
1. Meminta dengan tegas DPR RI untuk mendesak Presiden RI mencabut segera Inpres No.1
tahun 2003 karena selain tidak dikenal dalam hirarki perundang-undangan menurut TAP
MPR No.III/MPR/2000, juga bertentangan dengan UU No.21 tahun 2001 dan memicu
bentrokan berdarah serta mengakibatkan korban jiwa antara sesama penduduk yang tidak
bersalah.
2. Mendesak DPR RI untuk memanggil Presiden dan Mendagri untuk mempertanggung
jawabkan INPRES No.1/2003 yang dipandang sebagai bentuk kooptasi negara terhadap hak
politik rakyat Papua Barat dan merupakan bentuk KUDETA SIPIL pemerintah Pusat terhadap
pemerintah daerah Propinsi Papua yang berakibat timbulnya korban jiwa dan luka-luka di
Timika Papua Barat.
Demikian pernyataan sikap masyarakat Papua di wilayah adat Amungsa guna menghindari
adanya konflik vertikal dan horizontal di Tanah Papua.
Dibuat di : Timika
Pada tanggal : 3 September 2003
Hormat kami,
PIMPINAN LEMASA,
YOHANNES A. DEIKME
Direktur Executif LEMASA
Demikian maklumat ini dikeluarkan untuk dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung
jawab.
Bupati Timika
Klemen Tinal, SE
Pada hari ini Jumat, 26 September 2003, kami kedua pihak yang pernah bertikai
pascapendeklarasian Provinsi Irian Jaya Tengah, dengan ini menyatakan dengan sungguh-
sungguh bahwa:
1. Sepakat untuk menyelesaikan konflik dimaksud dengan cara damai dan penuh
kekeluargaan.
2. Menghentikan semua bentuk perselisihan, pertikaian, permusuhan dan segala bentuk tindak
kekerasan di antara kedua pihak.
3. Persoalan korban jiwa di antara kami akan diselesaikan secara kekeluargaan oleh masing-
masing pihak dan bukan merupakan penghalang perdamaian ini.
4. Akan meletakan dan menyimpan semua jenis senjata tajam yang kami miliki.
5. Kembali beraktivitas seperti sedia kala sebelum kami bertikai dalam suasana persaudaraan,
kekeluargaan dengan penuh cinta kasih dan rasa damai.
6. Tidak ada lagi rasa sakit hati dan dendam di antara kami.
7. Menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum untuk memproses sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku apabila di antara kami ada yang tidak
mentaati perdamaian ini
Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya dan penuh persaudaraan tanpa
paksaan atau tekanan dari siapapun juga.
L/
NO. NAMA KET. NO. NAMA L/P KET.
P
1. Jemmy Beanal L Meninggal 29. Bole Songgonau L Luka-luka
2. Tinus Mom L Meninggal 30. Etinus Mom L Luka-luka
3. Teris Murib L Meninggal 31. Elipinus Beanal L Luka-luka
4. Yulia Takati P Meninggal 32. Yulius Onawame L Luka-luka
5. Lambert Oniowa L Meninggal 33. Tadius Karaginal L Luka-luka
6. Beni Amisim L Luka-luka 34. Deky Mom L Luka-luka
7. Peya Murib L Luka-luka 35. Alinus Katagame L Luka-luka
8. Kedianus Mom L Luka-luka 36. Ronny Pinimet L Luka-luka
9. Kibenus Kiwak L Luka-luka 37. Yunus Wandik L Luka-luka
10. Karolus Kwalik L Luka-luka 38. Yohanis Dogomo L Luka-luka
11. Yesaya Beanal L Luka-luka 39. Samuel Amisim L Luka-luka
12. Supriyadi Dani L Luka-luka 40. Tulas Tabuni L Luka-luka
13. Arinus Amisim L Luka-luka 41. Jhon Anggaibak L Luka-luka
14. Yosafat Kiwak L Luka-luka 42. Yustinus Timang L Luka-luka
15. Yohanes Mamukang L Luka-luka 43. Urbanus Murib L Luka-luka
16. Jenis Mom P Luka-luka 44. Anton Pinimet L Luka-luka
17. Petrus Katagame L Luka-luka 45. Tomer Dolame L Luka-luka
18. Elfius Umabak L Luka-luka 46. Terinus Jolemal L Luka-luka
19. Yance Solme L Luka-luka 47. Yohanes Mom L Luka-luka
20. Jhon Amisim L Luka-luka 48. Manus Kogoya L Luka-luka
21. Yuli Murib L Luka-luka 49. Kamerakon Jolemal L Luka-luka
22. Matius Wandik L Luka-luka 50. Timotius Giay L Luka-luka
23. Welmianus Mom L Luka-luka 51. Simon Anggaibak L Luka-luka
24. Ekimis Kora L Luka-luka 52. Yoab Kibak L Luka-luka
25. Sengki Lokbere L Luka-luka 53. Doni Magai L Luka-luka
26. Yermias Wandiko L Luka-luka 54. Jery Magay L Luka-luka
27. Sura Yolemal L Luka-luka 55. Anius Kula L Luka-luka
28. Anton Kiwak L Luka-luka 56. Domi Mom L Luka-luka
2. Korban Perkosaan
a. Jl. Baru
b. Jl. Cenderawasih
NO. NAMA NO. NAMA
1. Kosmas Kemong 6. Irene Timang
2. Dani Kemong 7. Lambert Oniyoma
3. Ema Kwalik 8. Niko Magal
4. Ema Magal 9. Hermina Pigay
5. David Magal
NO N A M A A S A L A L A M A T KETERANGAN
1. Saparudin Bugis Gorong-gorong Timika Meninggal
2. Gustomi Gombo Wamena Sempan Timika Luka-luka
3. Longginus Dawergudi Flores Bambu kuning koprapoka Luka-luka
4. Markus Taruk Toraja Timika indah Luka-luka
5. Anto Bugis Jl. Pendidikan Perawatan di ICU
6. Ismail Buton Koprapka Timika Meninggal
Bentrokan fisik antara sesama penduduk sipil di Timika, Papua yang menewaskan lima (5) orang, korban luika-luka
sebanyak seratus dua puluh (120) orang dan pemerkosaan tiga (3) orang perempuan warga sipil pasca Deklarasi
Propinsi Irian Jaya Tengah pada tanggal 23 Agustus 2003 lalu, merupakan tragedi yang dipicu oleh kepentingan
elite-elite politik baik di Pusat maupun di Daerah yang telah mengorbankan rakyat sipil.
Bahwa telah terjadi pro-kontra di antara penduduk di Kabupaten Mimika mengenai pemekaran Propinsi Papua,
adalah suatu prestasi yang telah diraih oleh elite politik di Jakarta dan di Papua dalam menciptakan konflik horizontal
di tengah masyarakat dan mengalihkan perhatian masyarakat dari pelaksanaan Otonomi Khusus sesuai UU No 21
tahun 2001 tanggal 21 Nopember 2001.
Oleh karena itu kami masyarakat di Timika menyadari bentrokan fisik yang telah terjadi diantara kelompok pro dan
kontra bukan semata-mata disebabkan oleh masalah pemekaran propinsi tetapi kami menyadari bahwa ada upaya
terselubung yang ingin menghancurkan rakyat Papua dengan cara menghidupkan kembali Undang-undang No. 45
tahun 1999 untuk memekarkan propinsi Papua, yang sebenarnya validitas UU tersebut dipertanyakan dengan
dikeluarkannya UU No.21 tahun 2001 tentang Otsus Papua.
Kami masyarakat Papua di Timika memahami bahwa bentrokan berdarah yang menimpa penduduk sipil di Timika,
Papua merupakan akibat dari dikeluarkannya Inpres No.1 tahun 2003 secara misterius dan tergesa-gesa, dan
sekaligus mematahkan identitas orang Papua.
Kami berpendapat bahwa dengan UU No.45 tahun 1999 yang menjadi dasar hukum Inpres No.1 tahun 2003, justru
dikhawatirkan dapat memecah-belah rakyat Papua; antara lain dengan menginterpretasikan Papuanisasi secara
sempit, dalam arti tanah Papua Barat untuk rakyat Papua Barat, tanah Timika untuk Rakyat amungme dan Kamoro,
tanah Sorong untuk rakyat Sorong, tanah Biak untuk rakyat Biak ddan sebagainya. Oleh karena itu kami mendukung
sepenuhnya UU tentang Otonomi Khusus Papua yang bertujuan untuk menempatkan orang asli Papua dan
penduduk Papua umumnya sebagai subjek utama keberadaan pemerintah, pemerintah propinsi, pemerintah
Kabupaten/Kota serta semua perangkat di bawahnya, uuntukmemberikan pelayanan kepada rakyat Indonesia di
tanah Papua.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan mendalam tersebut di atas, maka secara tegas kami masyarakat Papua
yang ada di Timika menyatakan sikap sebagai berikut :
10. Meminta dengan tegas DPR RI untuk mendesak Presiden RI mencabut segera Inpres No.1 tahun 2003 karena
selain tidak dikenal dalam hirarki perundang-undangan menurut TAP MPR No.III/MPR/2000, juga bertentangan
dengan UU No.21 tahun 2001 dan memicu bentrokan berdarah serta mengakibatkan korban jiwa antara sesama
penduduk yang tidak bersalah.
11. Mendesak DPR RI untuk memanggil Presiden dan Mendagri untuk mempertanggung jawabkan INPRES
No.1/2003 yang dipandang sebagai bentuk kooptasi negara terhadap hak politik rakyat Papua Barat dan
merupakan bentuk KUDETA SIPIL pemerintah Pusat terhadap pemerintah daerah Propinsi Papua yang berakibat
timbulnya korban jiwa dan luka-luka di Timika Papua Barat.
12. Mendesak aparat penegak hukum untuk memanggil dan meminta keterangan serta pertanggungjawaban hukum
dari Ketua DPRD Kab. Timika dan Bupati Kabupaten Yapen serta Panitia Pelaksana Pendeklarasian Propinsi
IrjaTeng dan peresmian kantor Gubernur IrjaTeng berkaitan dengan konflik fisik yang terjadi di Timika Papua
Barat.
Demikian pernyataan sikap masyarakat Papua di wilayah adat Amungsa guna menghindari adanya konflik vertikal
dan horizontal di Tanah Papua.
Dibuat di : Timika
Pada tanggal : 3 September 2003
Hormat kami,
PIMPINAN LEMASA,