Professional Documents
Culture Documents
Indonesia
08 May
Keris adalah salah satu senjata adat suku –suku bangsa di Nusantara , yang
merupakan senjata penusuk jarak pendek dikenal dan dipakai oleh sebagian
masyarakat di Asia Tenggara. Keris merupakan senjata penusuk yang dimuliakan,
dihormati bahkan dianggap keramat. Tidak hanya suku bangsa di Indonesia, juga
bangsa lain di sebagian Asia Tenggara juga mengenal dan memakainya. Misalnya saja
bangsa Malaysia, Brunai, Sabah, Tailand, Kamboja, Laos, Suku Moro di Pilliphina
Selatan juga mengenal atau memakai Keris.
Selain senjata penusuk, keris merupakan benda yang berfungsi sebagai senjata yang
dianggap mempunai daya magis, benda Pusaka, sebagai benda kehormatan, sebagai
benda sejarah, sebagai benda komoditi perdagangan, sebagai symbol, sebagai tanda
kehormatan, sebagai benda pelengkap upacara, dan sebagai benda pelengkap busana.
Bagaimana kedudukan keris keris dalam sejarah bangsa, tidak dapat dipungkiri lagi,
dalam ceritera, babad maupun sejarah modern, keris banyak berfungsi sebagai obyek
sejarah, bahkan keris kadang- kadangdapat menjadi benda penentu sejarah.
Keris selalu muncul dalam legenda, ceritera tutur atau oral tradisi, babad atau sejarah
tradisi, sampai pada sejarah modern. Ternyata bila dicari dalam ceritera tutur atau
penulisan sejarah, keterangan mengenai keris banyak yang dapat diketahui. Seperti
misalnya dalam ceritera legenda Ajisaka, Pararaton, Babad Tanah Jawi sampai
penulisan sejarah modern De Graaf, perang Diponegoro. Bahkan keris masih juga
hadir dalam masyarakat modern masa kemerdekaan contohnya panglima besar besar
Soedirman dan Bung Karno sampai kepada pak Harto.
Ceritera Jawa yang paling tua, yaitu Serat Ajisaka, walaupun ini masih merupakan
ceritera tutur yang bersifat legenda menghadirkan keterangan tentang keris. Pada masa
Sang Aji Saka telah menjadi raja menguasai tanah Jawa, maka berkenan mengambil
pusaka keris yang ditinggalkan di Gunung Kendil. Keris itu dibawa dan dikuasakan
kepada abdinya yang bernama Sambada. Sang Ajisaka mengutus abdinya yang
bernama Dora untuk mengambil pusaka keris itu. Setelah sampai di Gunung Kendhil,
Sambada tidak mau memberikan keris pusaka itu, karena dia mendapat pesan dari Sang
Ajisaka, bahwa keris itu tidak boleh diberikan kepada siapapapun kecuali sang Aji saka.
Maka terjadi percekcokan meningkat menjadi perkelahian, dua abdi tersebut mati
bersama. Sang Aji saka telah menunggu lama tetapi utusannya tak kunjung datang,
kemudian menyusul ke Gunung Kendhil. Ajisaka kemudian merasa berdosa karena
mati bersama ( sampyuh ), maka sebagai peringatan akan dosanya diciptakan aksara
yang kelak kemudian menjadi huruf Jawa , ha, na, ca , ra , ka . da ,ta, sa, wa, la . Pa,
da, ja, ya , nya . ma, ga, ba, tha, nga. Artinya : ada utusan , sama –sama berkelahi ,
sama – sama saktinya , sama- sama menjadi bangkai.
Walaupun serat Ajisaka ini merupakan legenda atau ceritera tutur, tetapi cerita ini
sampai masa sekarang masih menjadi dasar pandangan masyarakat Jawa atau Bali, ini
merupakan mantifac atau facta mental yang masih hidup dalam kehidupan masyarakat
sampai masa sekarang.
Ceritera dari Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Ciung Wanara setelah dewasa
diserahkan oleh Ki Buyut untuk mengabdi pada pandai besi istana, setelah tahu cara
kerja pandai besi kemudian membuat banyak senjata keris, pedang, kudi, kujang.
Kemudian Ciung Wanara membuat tempat tidur kantil yang dibuat dengan terali besi,
yang dinamakan Balai Sawo. Setelah itu Ciung Wanara mengabdi pada raja Pajajaran
Arya Bangah. Karena banyak berjasa Ciung wanara dianugerahi nama Banyak Wide.
Kelak dengan tempat tidur berterali besi ini dapat membalas dendamnya kepada raja
Pajajaran Arya Bangah, yang kemudian dihanyutkan ke sungai Karawang. Ciung
Wanara menjadi raja besar di Pajajaran, begelar Harya Banyak Wide. Kemudian
berperang dengan adik Arya Bangah yang bernama Jaka Sesuruh. Jaka Sesuruh yang
kalah melarikan diri dari Pajajaran menuju ke Jawa Timur.
Dalam serat -serat Panji yang terdiri atas beberapa versi, Panji Inu Kertapati Pangeran
dari Kerajaan Jenggala yang kemudian menjadi raja dan dapat menjatukan kerajaan
Jenggala dan kerajaan Kediri, setelah menjadi raja bergelar Kameswara , adalah
seorang yang pandai mengolah curiga, atau bermain silat dengan keris. Walaupun
ceritera ini sekedar hanya sastra sejarah, atau ceritera tutur, ceritera Panji pangeran dari
Panjalu ini masa lampau menjadi suri tauladan dan menjiwai kehidupan masyarakat
Jawa yang agraris feodal. Ceritera Panji ini bahkan tersiar sampai Vietnam dan
Kamboja .
Dalam masa kerajaan di Jawa Timur dari masa Kediri sampai Singhasari sejarah keris
tampak kelam, tetapi diketahui bahwa akibat adanya kepercayaan baru yaitu
Tantrayana, keris pada masa itu berkembang mencapai bentuknya. Keris yang tadinya
berbentuk gemuk pendek berbadan lebar cenderung seperti keris Budha atau Katga
pada masa ini berubah ramping walaupun uga masihtampak dempakdan sangkuk.
Contohnya keris- keris Jenggala dan Singhasari, dalam relief di Candi Panataran, keris
sudah lebih ramping bentuknya.
Baru dalam kitab Pararaton didapatkan keterangan yang luar biasa tentang keris.
Kemelut Tumapel dengan tokoh Ken Angrok seorang rakyat jelata anak Ken Endog
yang dipercaya titisan Dewa Brahma, membuat sejarah besar. Kitab Pararaton
memberi keterangan yang banyak tentang keris. Karena Ken Angrok jatuh cinta dengan
Ken Dedes, wanita yang secara paksa menjadi istri Akuwu Tunggul Ametung. Untuk
membunuh tunggul Ametung Ken Angrok memesan keris sakti kepada Empu Gandring,
Keris Empu Gandring kemudian mulai memakan korban, pertama adalah Empu
Gandring, kemudian Tunggul Ametung, Keboijo, Ken Anggrok sendiri, Panji
Anusapati, Panji Tohjaya, dan Ranggawuni, Jadi keris Empu Gandring, telah memakan
tujuh korban diantaranya Ken Angrok sendiri dan keturunanya. Tetapi Ken Angrok
sendiri telah berhasil merebut Kerajaan Singhasari, yang kelak kemudian keturunanya
akan meneruskan menjadi raja- raja sesudahnya. Oleh sebab kitab yang memuat ceritera
itu disebut kitab Pararaton. Dalam peristiwa ini keris yang merupakan senjata penusuk
berperan serta dalam penentuan sejarah. Serat pararaton yang menghebohkan ini
ditemukan ditulis pada keropak atau Ron Tal dalam bahasa kawi. Ceritera ini menjadi
penelitian sarjana Belanda yang bernama Brandes , dan pernah diterjemahkan dalam
bahasa Belanda.
Peristiwa – peristiwa besar yang melibatkan peran keris dalam masa kerajaan
Majapahit apabila dikaji dari sejarah formal maupun ceritera tutur akan banyak
ditemukan. Raja Jayanegara terbunuh oleh keris Ra Tancha yang masih termasuk
keluarga raja atau Darmaputra. Ra Tancha kemudian ditangkap dan dibunuh oleh Gajah
mada. Peristiwa ini selanjutnya mengakibatkan Hayam wuruk mewarisi takhta, dan
kebesaran kerajaan Majapahit mencapai puncaknya.
Begitu juga dalam ceritera tutur atau babad, banyak peran keris dalam sejarah yang
hadir. Ceritera Bondan Kejawan atau pangeran Lembu Peteng. Diperintahkan oleh
prabu Brawijaya untuk belajar dan mengabdi pada ki Gede Tarub. Sang Prabu
memberikan dua keris pusaka. Setelah berkelahi dengan perampok salah satu kerisna
patah tetapi mengalami kemenangan. Bondan kejawan ini kemudian dikawinkan
dengan putri ki Gede satu-satunya yang benama Nawangsih. Selanjutnya Bondan
Kejawan menurunkan sederetan nama besar dalam sejarah masa kerajaan Demak.
Cerita ini banyak ditulis dalam Babad Tanah Jawi babad Pajang, dan Babad Para Wali.
Dalam Babad Tanah Jawi Terdapat sebuah bagian khusus yang memuat banyak
keterangan tentang keris yaitu riwayat hidup dari empu – empu pande keris. Dalam
babad diceriterakan riwayat empu Supa Gati, Supa Jigja, Supa Driya, Supa Pangeran
Sendang, empu Pitrang, Empu ki Sura, dan ki Supa Anom .
Dalam babad Tanah Jawi itu diceriterakan tentang raja Majapahit, yang memesan
keris pada para empu, begitu juga para Wali yang membuat keris dapur-dapur yang
baru. Muncul nama nama keris Pusaka seperti Condong Campur, Sabuk inten,
Nagasasra, Sengkelat, Carubuk, Kala munjeng, pedang kyai lawang, kendali rangah
macan guguh, dan lain sebagainya yang kelak menjadi pusaka raja – raja Jawa
selanjutnya. Pusaka tersebut sedikit banyak ikut berperan dalam sejarah.
Pada masa kerajaan Islam di Demak begitu banyak keterangan tentang keris. Dan keris
merupakan benda sebagai penentu sejarah. banyak ceritera tutur, serat, babad, bahkan
sejarah modern tulisan H.J de Graaf menulis tentang peristiwa pembunuhan, perebutan
takhta, dan balas dendam di masa kerajaan Demak. Pembunuhan dengan keris pada
masa ini ternyata merajalela. Raja Demak pertama adalah Raden Patah atau Sultan Jim
Bun sebenarnya putra Bra Wijaya raja Majapahit, yang dipelihara oleh Harya Damar,
adipati Palembang. Setelah Sultan Fatah meninggal digantikan oleh Puteranya yang
tertua yaitu Pangeran Sabrang Lor, tetapi pangeran ini meninggal pada masa mudanya,
belum menikah dan belum mempunyai putera. Seharusnya yang menggantikan adalah
putra yang kedua yaitu Sekar Seda Lepen. Tetapi Sekar Seda Lepen dibunuh ditusuk
dengan keris dari belakang, sewaktu pulang dari sholat Jumat di masjid Demak.
Sepulang dari sholat Jumat, Seda Lepen dikutit dari belakang dan kemudian ditusuk
pingangnya dengan keris . Seda lepen meninggal di tepian sungai, oleh sebab disebut
Sekar Seda Lepen. Pembunuhan itu dilakukan oleh seorang prajurit pejineman atau
prajurit sandi bernama Surawiyata , orang suruhan atau abdi dari Raden Mukmin, yaitu
nama muda Sunan Prawata .
Putera laki laki Sekar Seda Lepen bernama Haryo Penangsang, yang masih kecil
diangkat menjadi murid terkasih Sunan Kudus. Haryo Penangsang kelak kemudian
setelah menjadi Adipati di Jipang akan membalas dendam. Kerajaan Demak jatuh ke
tangan putra ketiga bernama Sultan Trenggana. Tetapi Sultan Trenggana gugur waktu
berperang melawan Kerajaan Brang Wetan atau Blambangan di Beteng Panarukan.
Yang menggantikan menjadi raja kemudian adalah putra Trenggana yaitu Sunan
Prawata. Tetapi masa pemerintahanya dipenuhi oleh kemelut persaingan kekuatan dan
perebutan takhta. Harya Penangsang, putra Seda Lepen mulai membalas dendam.
Pertama kali yang menjadi korban adalah Sunan Prawata sendiri, sewaktu Sunan
Prawata sedang sakit tiduran duduk dipangku atau di” sundang “ oleh Permaisurinya,
datanglah dua orang prajurit Sureng yang berhasil menyelinap ke tempat tidurnya.
Prajurit sureng suruhan Arya Penangsang ini segera menusuk Sunan Prawata, tusukan
begitu kuat sehingga menembus dada sampai kepunggung, permaisuri yang
memangkunya ikut tertusuk dan langsung mati. Sunan Prawata yang sakti walaupun
terluka belum juga mati. Sunan Prawata meraih kerisnya Kyahi Bethok, dilemparkan
kearah prajurit Sureng. Sureng itu hanya tersentuh keris sedikit pada kakinya luka
tergores, prajurit Sureng itu kemudian segera mati. Sunan Prawata kemudian mati
menebus dosanya karena telah membunuh Sekar Seda lepen .
Sasaran ketiga adalah Hadiwijaya ( Jaka Tingkir ) Adipati Pajang, yang merupakan
menantu Sultan Trenggana paling muda. Hadiwijaya pada masa itu telah menjadi
Adipati di Pajang. Harya Penangsang kembali mengutus dua orang prajurit Sureng
untuk membunuh Hadiwijaya. Para Sureng berhasil masuk ke tempat tidur
menemukan Hadiwijaya yang baru tidur. Kemudian Sureng itu menusuk dengan keris.
Hadiwijaya memang sakti, tidak mempan ditusuk dengan keris, bahkan kedua Sureng
terjengkang pingsan karena kibasan kain dodot selimut sakti Hadiwijaya. Para Sureng
kemudian diampuni disuruh kembali ke Jipang, bahkan diberi uang yang banyak. Para
Sureng kemudian melapor kepada Harya Penangsang. Harya Penangsang marah besar
dan membunuh dua Sureng dengan kerisnya Kyai Brongot Setan Kober. Kedua Sureng
telah mempermalukan Penangsang dan gagal dalam melakukan tugas .
Harya Penangsang kemudian gugur ditangan kerabat Sela. Ki gede Pemanahan, Ki gede
Penjawi, dan putra Pemanahan. Danang Sutawijaya yang berperang dengan segala
taktik dan tipu daya. Akhirnya Adipati Jipang Haryo penagsang gugur . Maka
tinggallah hanya satu orang terkuat pewaris kerajaan Demak. Jaka Tingkir atau Adipati
Hadiwijaya kemudian menjadi Sultan di Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya.
Pada jaman kerajaan Mataram Islam yang ber ibukota di Kotagede kemudian berpindah
ke Plered, sejak pemerintahan Panembahan Senapati sampai Amangkurat Agung,
diketahui keterangan yang banyak tentang keris.
Peristiwa yang besar sesudah itu menyusul lagi. Pangeran Alit, atau Pangeran Mas
saudara ipar sultan Hadiwijaya yang menjabat Adipati Madiun, yang bernama
Panembahan Madiun, memberontak terhadap kekuasaan Mataram. Setelah Panembahan
Senapati memimpin perang ke Madiun, Adipati Madiun merasa takut karena
perajuritnya selalu kalah. Adipati Madiun mundur dan melarikan diri. Kadipaten
dipertahankan oleh para prajurit yang dipimpin oleh Retna Jumilah, putri Adipati
Madiun yang gagah berani. Panembahan Senapati berhasil menyeberangi bengawan
Madiun, langsung memasuki Kadipaten. Kedatangan Senapati dihadapi oleh Retna
Jumilah, yang telah siaga dengan para prajuritnya. Retna jumilah membawa keris sakti
pusaka Madiun yang bernama kyahi Gumarang ( keris dapur Kala Gumarang adalah
keris berdapur sepang dengan sogokan dan grenengan pada kedua kepet ganjana ).
Senapati menghentikan para prajurit pengawalnya di bawah pohon beringin, dan
sendirian memasuki Pendapa Kadipaten. Kedatangan senapati dihadapi oleh Retna
jumilah sendiri. Retna Jumilah menusuk – nusuk Senapati dengan keris Kyahi
Gumarang tetapi Senapati tidak terluka sedikitpun. Kemudian Retna Jumilah kehabisan
tenaga, berlutut minta ampun . Senapati mengampuni Retna Jumilah, akhirnya Retna
Jumilah putri Madiun kemudian diambil sebagai isteri Senapati. Senapati kagum pada
kecantikan dan keberaniannya. Sejarah ini banyak ditulis dalam babad, terutama Babad
Tanah Jawi, Babad Matawis, dan buku sejarah tulisan De Graaf. Peristiwa ini terjadi
pada tahun 1590.
Setelah Sultan Agung Surut, maka raja yang menggantikan adalah Susuhunan
Amangkurat I atau Amangkurat Agung. Masa pemerintahan Amang -kurat ini diliputi
suasana yang mencekam, penuh kekerasan dan pembunuhan. Begitu banak peristiwa
sejarah yang melibatkan keris sebagai alat pembunuh .
Pertama kali adalah peristiwa Pangeran Alit. Pangeran Alit sebenarnya adalah adik
Sunan sendiri, yang dicurigai akan memberontak karena banyak merekrut dan dicintai
para lurah yang menjadi bawahannya. Lurah – lurah dan para pengikut Pangeran Alit
dibunuh satu persatu dengan jalan pembunuhan politis yang rahasia. Karena marah,
Pangeran Alit memprotes dengan datang di Alun- alun Plered membawa para lurah
yang hanya sedikit jumlahnya. Terjadi perkelahian di alun- alun, para lurah bayak yang
terbunuh. Pangeran Alit kemudian mengamuk di alun -lun dengan kerisnya yang sakti.
Beberapa orang telah menjadi korban keris Pangeran Alit. Demang Malaya atau juga
disebut Cakraningrat I dari Madura membujuk agar Pangeran Alit menghentikan
pertumpahan darah, berlutut dihadapan Pangeran Alit dan memohon dengan menangis.
Karena marah yang tak tekendalikan, Demang Malaya ditusuk keris lehernya oleh
Pangeran Alit, Demang Malaya meninggal seketika. Pengikut Demang Malaya
kemudian mengeroyok pangeran alit, sampai pangeran Alit gugur. Orang-oang Madura
yang mengeroyok Pangeran Alit juga dibunuh dengan keris oleh Prajurit Amangkurat.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1647 Masehi.
Peristiwa kedua adalah pembunuhan kaum ulama. Amangkurat Agung selalu curiga dan
khawatir terhadap para ulama, yang masa itu jumlah dan pengaruhnya semakin besar
di kerajaan Mataram. Maka Amangkurat Agung menugaskan empat orang terkemuka
membentuk kesatuan prajurit rahasia khusus, yang menyelidiki kaum ulama terkemuka
di wilayah Mataram. Setiap jumat para perajurit rahasia ini mengutit para ulama ang
sedang sholat Jumat. Setelah sholat Jumat, dibunyikan meriam Sapujagad sebagai tanda
rahasia. Maka pada saat per tanda itu ratusan bahkan ribuan santri dan ulama dihabisi
dengan keris.
Meriam besar sebagai tanda itu sebenarnya bernama Kyahi Pancawara dibuat masa
Sultan Agung, yang kemudian diganti nama dengan Kyahi Sapu Jagad. Meriam besar
itu masih dapat dilihat sampai sekarang terdapat dimuka Pagelaran Alun -alun utara
Kraton Surakarta, Peristiwa ini tidak tertulis pada ceritera tutur dan babad Jawa, tetapi
terdapat pada sejarah Banten, Cirebon dan Belanda, Peristiwa ini terjadi kira – kira
seputar tahun 1648.
Peristiwa ketiga adalah pembunuhan Kai Dalem. Kyai Wayah di Pajang adalah seorang
dhalang Wayang Gedhog yang mempunyai anak yang amat cantik tapi sudah bersuami,
Suami anak Ki Wayah benama Kyahi Dalem. Sunan menginginkan wanita tersebut
menjadi isterinya. Sekonyong – konyong Ki Dalem meninggal terbunuh oleh keris, dan
tidak ketahuan pembunuhnya. Wanita istri ki Dalem kemudian diboyong ke kraton dan
dinikahi Sunan Amangkurat walaupun telah hamil dua bulan. Wanita cantik ini
kemudian terkenal sebagai Ratu Mas Malang yang kemudian meninggal dicurigai telah
diracun. Sunan setelah kematian Ratu Malang menjadi tertekan jiwanya seperti orang
tidak waras. Bersama kematian Ratu Malang telah dihukum mati 43 orang wanita
dayang, pelayan, emban dari keputren, sebagai hukuman karena keteledoran mereka
melayani Ratu Malang.
Peristiwa lain adalah pembunuhan Pangeran Selarong, Pangeran Selarong adalah putra
Sunan Seda Krapyak dengan Putri Lungayu dari Ponorogo. Karena Pangeran Selarong
dituduh menggunakan racun Anglung Upas, maka Pangeran Selarong dihukum mati
dengan ditusuk keris, peristiwa ini terjadi didesa Bareng, Kuwel ( dekat Delanggu )
pada tahun 1669. Peristiwa itu ditulis dalam Sedjarah Dalem, Babad momana, Babad
Tanah Jawi dan catatan atau laporan Van Goens kepada Gubernur Jendral di Batavia .
Peristiwa kekejaman dengan keris muncul lagi, raja mempunyai simpanan gadis kecil
yang sangat cantik namanya Rara Oyi. Karena belum haid , maka gadis cantik itu
dititipkan kepada Pangeran Pekik, Adipati Surabaya. Sampai nanti dewasa akan
dijadikan isteri. Pangeran Pekik kemudian menyuruh Ngabehi Wirareja dan
keluarganya untuk mengasuh anak gadis itu. Setelah menanjak dewasa Rara Oyi yang
sangat cantik kebetulan berjumpa dengan Pangeran Dipati Anom, putera raja. Pangeran
Adipati Anom segera jatuh cinta pada Rara Oyi. Rara Oyi kemudian dilarikan Pangera
Dipati Anom. Amangkurat Agung sangat murka, memerintahkan membunuh Pangeran
Pekik dengan seluruh keluarganya, sejumlah 40 orang. Mereka dihukum mati dengan
ditusuk keris. Wirareja juga dihukum mati beserta keluargana jumlah korban dalam
peristiwa ini adalah 60 Orang. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1670 .
Masih begitu banyak peran keris dalam sejarah, misalnya Untung Surapati yang selalu
membawa keris kecil yang disembunyikan dalam cadik untaian daun sirih, apabila
berjumpa dengan Belanda cadik itu disabetkan pada orang Belanda, karena kesaktian
keris orang Belanda itu mati .
Begitu Juga Paku Buwana II telah memberikan keris Kyahi Kopek kepada pangeran
Mangkubumi yang kemudian menjadi Sultan Hamengku Buwana I di Kasultanan
Yogyakarta. Ini tertulis dengan jelas pada sejarah sesudah perjanjian Gianti. Keris
Kyahi Kopek menjadi lambang pengakuan kedaulatan Kasultanan Yogyakarta oleh
Paku Buwana II.
Bagaimanapun juga keris keris tunggul, dan pusaka kraton Jawa tentunya mempunai
karisma sendiri-sendiri, kedudukanya, dan sejarahnya masing-masing.
Sejarawan keris masih harus banyak menggali latar belakang dan sejarah tentang keris
– keris pusaka seperti , Kyai Joko Piturun , Kyai Mahesa Nempuh , Kyahi Mega
Mendhung , Kyahi Banjir, Kyai Babar Layar, Kanjeng Ki ageng , Kyahi Kebo Nengah,
Kyai Karawelang , dan masih banyak lagi keris pusaka yang harus dikaji sejarahnya
lebih lanjut.
Keris juga masih saja berperan, dan muncul dalam sejarah modern. Pada masa revolusi
fisik Panglima Besar Soedirman memimpin perang gerilya melawan pendudukan
Belanda. Jendral Soedirman tidak memakai seragam militer modern dengan pistol atau
senapan. Jendral Soerdirman justru memakai udheng ikat kepala , dan memakai jubah
di pinggangnya terselip keris. Jendral Soedirman lebih suka memakai pakaian rakyat
seperti pendeta atau kyai pedesaan, karena akan terasa lebih akrab berintegrasi dengan
rakyat pedesaan.
Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia. pada masa kejayaanya selalu
membawa keris. Keris yang dibawa Bung Karno sebenarnya bukan keris melainkan
pedang suduk yang memakai ganja, atau keris dapur Cengkrong yang diberi warangka
perak yang ditatah. Menurut ceritera pedang tangguh Belambangan itu pusaka dari
ayah Bung Karno. Raden Mas Sosro pemberian Sunan Paku Buwana ke X. Menurut
kepercayaan pada masa itu, Bung Karno menjadi sangat berani, berwibawa dan
ditakuti , karena pusaka kerisnya. Keris atau pedang suduk ini sering terlihat pada foto
– foto Bung Karno.
Pak Harto, semasa menjadi Presiden Republik Indonesia, dalam hubungan diplomasi
denbgan negara sahabat, sering memberikan tanda mata untuk kepala negara atau wakil
negara sahabat cideramata berupa keris. Keris yang diberikan adalah keris Bali dan
ada juga keris Jawa. Peristiwa ini berlangsung berkali kali, dan pada masa itu sering
ditayangkan oleh media masa .
Begitu banyaknya peran keris dalam sejarah bangsa ini. Tulisan ini dibuat sebenarnya
hanya menghadirkan serba sedikit peran keris dalam sebagian besar sejarah bangsa
Indonesia. Untuk mengkajinya diperlukan waktu yang panjang, tenaga dan biaya yang
besar. Tentunya para ahli dan pecinta keris sangat memaklumi masalah itu. Terlebih lagi
masa kini, keris sudah dianggap menjadi milik dunia .
Keris adalah salah satu senjata adat suku –suku bangsa di Nusantara , yang merupakan
senjata penusuk jarak pendek dikenal dan dipakai oleh sebagian masyarakat di Asia
Tenggara . Keris merupakan senjata penusuk yang dimuliakan , dihormati bahkan
dianggap keramat. Tidak hanya suku bangsa di Indonesia , juga bangsa lain di sebagian
Asia Tenggara juga mengenal dan memakainya. Misalnya saja bangsa Malaysia ,
Brunai , Sabah , Tailand , Kamboja , Laos, Suku Moro di Pilliphina Selatan juga
mengenal atau memakai Keris .