You are on page 1of 16

FATTY LIVER & TRANSPLANTASI LIVER

Muhammad Trihatmowijoyo Bundjali


Iswan A Nusi
PENDAHULUAN
Perlemakan hati (Fatty Liver) adalah suatu keadaan dimana lemak, sebagian besar trigliserida,
yang melebihi 5 % berat hati. Hal ini disebabkan karena kegagalan metabolisme lemak hati yang
normal baik oleh karena kerusakan didalam sel hati (Hepatocyte) atau pengiriman lemak, asam lemak
atau karbohidrat terhadap kapasitas sekresi lemak hati (Sherlock, 2002).
Berdasarkan penyebab, perlemakan hati dibagi menjadi 2 kelompok besar ialah perlemakan
hati alkoholik (alkoholic Fatty Liver Disease/AFLD) dan non alkoholik (Non Alkoholic Fatty Liver
Disease/ NAFLD) ( Sears, 2011).
Spektrum penyakit perlemakan hati ini mulai dari perlemakan hati sederhana (simple
steatosis) sampai pada steatohepatitis non alkoholik (non alcoholic steatohepatitis = NASH), fibrosis
dan Sirosis hati (Nusi, 2008). NASH merupakan penyakit liver dengan prevalensi terbanyak di USA
dan negara lain karena banyak terdapat pada populasi umum dan makin meningkat prevalensinya, saat
ini sekitar 5,7-17%. Sekalipun patogenesis NAFLD masih belum jelas, makin terbukti akhir-akhir ini
resistensi insulin merupakan faktor predisposisi terbanyak pada kelainan liver ini (Nusi, 2008).
NAFLD dan NASH merupakan komplikasi-komplikasi umum obesitas yang menjangkiti
lebih dari 30 juta orang di USA, dimana 600.000 diantaranya mengalami Sirosis. Dalam seting
epidemik obesitas yang memburuk di negara-negara maju dan berkembang, prevalensi global dan
dampak NAFLD nampak meningkat. Akan tetapi hanya jumlah kecil saja pasien dengan NAFLD
berkembang menjadi end-stage liver disease. Sejumlah pasien yang di indikasikan dilakukan
transplantasi liver (LT) akan menjadi kendala utama antara jumlah donor dan resipien
(Koehler, 2008).
Fatty liver sebenarnya adalah suatu bentuk benign, hanya 3% berkembang menjadi Sirosis
dalam kurun waktu lebih 10 tahun, sedangkan bentuk NASH bila sudah disertai fibrosis khususnya
pada penderita DM, dalam waktu 5-10 tahun, 30% diantaranya berkembang menjadi Sirosis (Nusi,
2008). Pada makalah ini akan dibahas gambaran umum dan penatalaksanaan dari fatty liver
khususnya pada transplantasi liver.
EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan prevalensi Non-alcoholic Fatty Liver Disease/ NAFLD sekitar 20-40% dari
populasi di negara-negara barat. Oleh karena itu NAFLD sekarang ini merupakan penyakit hati yang
paling sering didapatkan di negara-negara barat, bahkan diseluruh dunia. Di Asia, data dari China,
Jepang dan Korea prevalensi NAFLD antara 12-29%. Di Jepang, menurut Kojima dkk. Menunjukkan

Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam,


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSU dr. Soetomo, Surabaya 2011

1
peningkatan prevalensi selama 12 tahun terakhir meningkat lebih dari 2 kali : 13% pada tahun 1988-
1989 menjadi 30% pada tahun 2004. Prevalensi NAFLD di populasi perkotaan di Indonesia
diperkirakan mencapai 30% dan obesitas sebagai faktor resiko yang paling berpengaruh. Prevalensi
NAFLD bervariasi menurut etnik. Menurut Dallas Heart Study, golongan Hispanik menunjukkan
prevalensi tertinggi (45%) untuk NAFLD, dibandingkan dengan orang kulit putih (33%) dan Afrika
Amerika (24%). Alasan prevalensi NAFLD berbeda menurut ras dan etnik belum diketahui namun
orang-orang keturunan Hispanic didapatkan kecenderungan memiliki distribusi lemak tubuh dan
prevalensi metabolic syndrome yang lebih besar. Dari hasil-hasil penelitian didapatkan bukti-bukti,
bahwa fatty liver dapat berkembang menjadi non alcoholic steatohepatitis (NASH), Sirosis dan
Hepatoma (Amarapurkar, 2007;Nusi, 2008;Reid, 2010).
Dua per tiga orang dewasa Amerika minum alcohol dan hanya sebagian kecil saja yang
merupakan peminum alkohol yang berlebihan. Meskipun demikian, jumlah alkoholik di Amerika
Serikat diperkirakan mencapai 14 juta. Berbeda dengan NAFLD, pada ALD sulit menentukan angka
pasti jumlah prevalensinya dikarenakan penderita tidak mengetahui jumlah konsumsi alkohol per hari
nya hingga akhirnya penderita mengalami end-stage liver disease (Carithers & McClain, 2010).
PATOGENESIS
Secara teoritis lemak dapat mengalami akumulasi di hati melalui paling tidak 4 mekanisme,
ialah:
1. Peningkatan pengiriman lemak atau asam lemak dari makanan ke hati. Makanan
berlemak dikirim melalui sirkulasi terutama dalam bentuk khilomikron. Lipolisis pada
jaringan adipose melepaskan asam lemak kemudian bergabung dengan trigliserida di
dalam adipocyte, tetapi beberapa asam lemak dilepaskan ke dalam sirkulasi dan diambil
oleh hati. Sisa khilomikron juga dikirim ke hati.
2. Peningkatan sintesa asam lemak atau pengurangan oksidasi di mitokhondria, keduanya
akan meningkatkan produksi trigliserida
3. Gangguan pengeluaran trigliserida keluar dari sel hati. Pengeluaran trigliserida dari sel
hati tergantung ikatannya dengan apoprotein, fosfolipid dan kolesterol untuk membentuk
VLDL.
4. Kelebihan karbohidrat yang dikirim ke hati dapat dirubah menjadi asam lemak
(Sherlock, 2002)
Hati merupakan tempat metabolisme etanol yang terbesar. Sebagian besar jaringan tubuh
termasuk otot rangka mengandung enzim-enzim untuk metabolisme etanol baik secara oksidatif
maupun non-oksidatif. Di dalam hati, ada tiga jalur utama metabolisme alkohol, Alkohol
Dehidrogenase (ADH), sitokrom P-4502E1 (CYP2E1) dan katalase peroksisomal. Yang pertama,
ADH adalah rangkaian enzyme cytoplasmik dengan multiple isoforms, dimana ADH sebagai sistem
enzyme utama yang bertanggung jawab untuk metabolisme ethanol pada konsentrasi rendah, ADH
terdapat dalam beberapa bentuk isoenzim dan ditandai oleh tiga gen terpisah yaitu ADH1, ADH2

2
dan ADH3. Variasi dalam isoform ADH ini menunjukan perbedaan bermakna pada kecepatan
eliminasi etanol, microsomal ethanol-oxidizing system (MEOS) yang menggunakan nicotinamide
adenine dinucleotide phosphate (NADPH) dan oksigen molecular. Enzim utama MEOS adalah
sitokrom P-450 2E1 (CYP2E1). Berbeda dengan ADH, CYP2E1 memberi kontribusi pada konsentrasi
ethanol pada konsentrasi yang lebih tinggi (lebih besar dari 10mM) dan diinduksi oleh adanya
paparan ethanol. Etanol meng-upregulasi CYP2E1 dan proporsi metabolisme alcohol melalui enzim
ini akan meningkat sesuai dengan lama dan banyaknya konsumsi alcohol dan terakhir, katalase
peroksisomal yang menggunakan hydrogen peroksida sebagai bahan oksidasi. Dimana hasil akhir
metabolisme ini adalah asetaldehid yang selanjutnya akan dimetabolisme menjadi asetat oleh
asetaldehid dehidrogenase (ALDH). ALDH adalah metabolit reaktif yang dapat menimbulkan cedera
(Bakry, 2007; Fairbanks, 2010; Carithers & McClain, 2010).
Patogenesis NAFLD belum banyak diketahui, namun saat ini hipotesis yang banyak diterima
adalah the two hit theory. Telah banyak bukti NAFLD erat berhubungan dengan resistensi insulin
(RI). RI disertai dengan gangguan lipolisis perifer oleh insulin yang akan meningkatkan jumlah asam
lemak bebas (free fatty acid/ FFA) yang diangkut ke hati (first hit). Selanjutnya hati akan beradaptasi
dengan cara mithochondrial fatty acid β-oxidation, re-esterifikasi asam lemak bebas menjadi
trigliserida dan dieksport sebagai very low density protein (VLDL). Steatosis hati terjadi bila
keseimbangan antara hantaran atau sintesa FFA melebihi kapasitas hati mengoksidasinya atau
mengekspornya sebagai VLDL. Percobaaan pada hewan didapatkan stress oksidatif yang mampu
memproduksi salah satu factor yang berperan pada cedera hati (liver injury) adalah stress oksidatif
yang menyebabkan peroksidasi lipid dalam organel sel (second hit). Meskipun teori two-hit sangat
popular dan dapat diterima, namun penyempurnaan terus dilakukan karena makin banyak yang
berpendapat bahwa yang terjadi sesungguhnya lebih dari dua hit (Angulo, 2002; Lesmana, 2007;
Hasan, 2010).
Hanya sedikit studi yang melaporkan frekuensi NAFLD atau NASH sebagai penyebab
gagal liver. Tidak adanya studi historis alami prospektif mempersulit kita untuk mengetahui resiko
perkembangan obesitas menjadi cirrhosis dari NASH. Adalah bukti yang bagus bila pasien beresiko
lebih besar mengalami cryptogenic cirrhosis dan memiliki NASH sebagai etiologi primernya.
Meningkatnya oksidasi asam lemak hepatik dalam cirrhosis menyebabkan hilangnya steatosis,
membuat diagnosis histologis NAFLD sulit pada tahap akhir penyakit (Koehler, 2008).
DIAGNOSA
Dalam penegakan diagnose NAFLD, kita harus memulainya dari anamnesa, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratoris, pencitraan/ imaging dan secara histopatologi. Dari anamnesa kita harus
menyingkirkan penggunaan alcohol dalam sehari mengkonsumsi 20gr untuk wanita dan 30gr untuk
pria sebagai penyebab penyakit hati. Dan penyebab penyakit hati yang lain seperti virus, metabolic
atau faktor keturunan, obat-obatan dan toxikasi harus disingkirkan terlebih dahulu. Berbeda dengan

3
AFLD, dimana harus ada riwayat penggunaan alcohol kronis (Bakry, 2007;Koehler, 2008;Fairbanks,
2010)
Pada gambaran klinik, NAFLD maupun AFLD sebagian besar asimtomatis, tetapi keluhan
umum yang biasa ditemukan, termasuk nyeri kuadran kanan atas atau rasa tidak enak (discomfort),
kelemahan dan lesu. Namun pada stadium lanjut dapat ditemui tanda klinis seperti hepatomegali
akibat steatohepatis dan edema hepatosit, gangguan fungsi hati atau hipertensi portal antara lain
ikterik dengan urin berwarna gelap, splenomegali, asteriksis, edema perifer dan asites (Bakry, 2007;
Lesmana, 2007)
Pada pemeriksaan laboratorium, abnormalitas yang akan kita didapatkan adalah peningkatan
alanine aminotransferase (ALT), aspartate aminotransferase (AST), dan Alkaline phospatase.
Billirubin dan serum albumin biasanya didapatkan dalam batas normal( Sherlock, 2002)
Pada pencitraan/ imaging, pemeriksaan secara ultrasonografi (USG), infiltrasi lemak pada hati
menimbulkan gambaran peningkatan ekogenik difus yang disebut bright liver, tergantung dari
keparahannya (Angulo, 2002; Lesmana, 2007). USG mempunyai sensitivitas 89 % dan specificitas
93% untuk mendeteksi steatosis dan sensitivitas 77 % dan specificitas 89 % untuk mendeteksi adanya
fibrosis. Pada CT-Scan, infiltrasi lemak memberikan gambaran parenkim hati dengan densitas rendah
(Angulo, 2002). Pada NAFLD steatosis bisa difus pada sebagian besar kasus, tetapi kadang- kadang
fokal sehingga dapat keliru dengan massa liver ganas. Pada MRI dapat menentukan letak infiltrasi
lemak (Angulo, 2002). CT-Scan mempunyai spesificitas yang tinggi dalam mendiagnosis perlemakan
hati (mempunyai angka positif palsu yang rendah) apabila perlemakan hati bersifat difus, tetapi
mempunyai sensitivitas yang relative rendah, terutama bila kandungan lemak secara histologi kurang
dari 10 %. CT-Scan dan MRI sebagai second line tests (Sherlock, 2002)
Perlemakan hati merupakan diagnosis histologi sehingga biopsi hati merupakan metode
diagnosis yang terbaik. Biopsi hati tidak dapat mendiagnosis penyebab perlemakan hati. Gambaran
biopsy hati pada NAFLD dan AFLD tidak dapat dibedakan. Gambarannya adalah steatosis, campuran
infiltrasi sel dan inflamasi, hepatosit ballooning , nekrosis, glycogen nuclei, Mallory’s hyaline dan
fibrosis. Dengan biopsy hati dapat ditentukan apakah perlemakan hati masih dalam taraf steatosis,
steatohepatitis, atau sudah terjadi Sirosis hati (Angulo, 2002;Sherlock, 2002)
Perlemakan hati secara morfologis dibagi menjadi dua, yaitu makrovesikuler dan
mikrovesikuler. Keduanya dapat terjadi secara bersamaan atau kombinasi. Makrovesikuler steatosis
secara umum adalah ringan dan reversible, sedangkan mikrovesikuler statosis dapat diikuti disfungsi
hati yang berat (Sherlock, 2002).
TERAPI SEBELUM TRANSPLANTASI LIVER
Terapi Non Farmakologis
Penurunan berat badan secara bertahap sangat dianjurkan pada pasien dengan obesitas /
overweight. Tahapan penurunan berat badan sangat perlu diperhatikan karena dapat meningkatkan
atau justru memperburuk keadaan, penurunan berat badan yang terlalu cepat akan menimbulkan

4
necroinflamasi, Portal fibrosis dan bile stasis (Dixon.JB,2002;Sherlock,2002).Dengan menurunkan
berat badan rata-rata 230 gram / hari atau 1,6 kg/mgg relatif aman (As Dabhi, 2008,K.Das,2005).
Regimen latihan 140 menit latihan fisik per minggu (mis,4000 langkah per hari) dan restriksi kalori
(25 kcal/kg/hari) dinilai cukup efektif (Koehler,2008).
Pada penderita AFLD dapat membaik dengan berhenti minum alcohol , dengan menghentikan
konsumsi alcohol akan meningkatkan survival, tetapi tidak dapat mencegah terjadinya Sirosis hati
( Day,2002)
Terapi Farmakologis
Antidiabetik dan insulin sensitizer. Metformin meningkatkan kerja insulin pada sel hati dan
menurunkan produksi glukosa hati. Thiazolidinediones adalah obat antidiabetik yang bekerja sebagai
agonist dari peroxisome proliferator-activated receptor γ (PPARγ) dan memperbaiki sensitivitas
insulin pada jaringan adiposa. Selain itu, Thiazolidinediones juga menghambat ekspresi leptin dan
TNFα, konstituen yang dianggap terlibat dalam patogenesis steatohepatitis nonalkoholik. Terdapat 3
Thiazolidinediones yang telah diproduksi. Pertama, Troglitazone. Kedua, Rosiglitazone, Obat ketiga
adalah Pioglitazone. ketiganya telah dibuktikan dapat memperbaiki aminotransferase, dua penelitian
juga disertai perbaikan derajat steatosis dan nekroinflamasi. Sayangnya penelitian tersebut melibatkan
sampel kecil, delapan sampai sepuluh pasien, sehingga membutuhkan penelitian lanjutan dengan
sampel yang lebih besar. Efek yang bermanfaat meliputi sebagai anti hiperglikemi, mengurangi
konsentrasi insulin, trigliserida dan FFA di sirkulasi (Hasan, 2010;Comar & Sterling, 2006;Nusi,
2008)
Obat anti hiperlipidemia. Statin kompetitif menghambat hepatic hydroxymethyl-glutaryl
coenzyme A (HMG-CoA), sehingga mengurangi produksi kolesterol dan mengurangi kolesterol
serum. Penggunaan statin pada pasien dengan penyakit hati kronis telah menimbulkan kekhawatiran
tentang potensi hepatotoksisitas, tetapi sebagian besar setuju bahwa kejadian hepatotoksisitas adalah
sangat langka dan statin digunakan dalam pengaturan penyakit hati kompensasi pada dasarnya aman
(BP Lam et al, 2009).
Antioksidan. Terapi antioksidan diduga berpotensi untuk mencegah progresi steatosis menjadi
steatohepatitis dan fibrosis. Antioksidan yang pernah dievaluasi sebagai alternatif terapi pasien
perlemakan hati non alkoholik antara lain vitamin E (a-tokoferol), vitamin C, betain dan N-
asetilsistein (Nobili et al,2 006).
Hepatoprotektor. Ursodeoxycholic acid (UDCA) adalah asam empedu dengan banyak
potensi, seperti efek imunomodulator, pengaturan lipid, dan efek sitoproteksi. Dilaporkan adanya
perbaikan konsentrasi aminotransferase(Comar & Sterling, 2006).
TERAPI DENGAN TRANSPLANTASI
Dalam era pra-transplantasi, kegagalan hati dikaitkan dengan kematian. Pada penderita gagal
hati fulminan kelangsungan hidup selama 1 tahun hanya berkisar 10-20% dan pada Sirosis
dekompensata kelangsungan hidup selama 1 tahun dapat mencapai 50%. Dan bilamana dilakukan

5
transplantasi, kelangsungan hidup 1 tahun bisa lebih dari 85% dan kelangsungan hidup 5 tahun bisa
lebih dari 70%. Selain itu, dengan adanya transplantasi liver sebagian dan transplantasi liver utuh
mampu menawarkan harapan untuk pasien yang diindikasikan tranplantasi hati dimana kekurangan
organ liver terus bertambah (abecassis, 2003).
SELEKSI RESIPIEN
Ada 4 macam kategori penyakit hati diindikasikan untuk dilakukan transplantasi hati yaitu :
1) Penyakit hati kronik irreversibel oleh sebab apapun;
2) Keganasan hati non metastatik.
3) Gagal hati fulminan;
4) Gangguan metabolisme herediter (Nusi, 2009)
Indikasi Transplantasi Hati
Seorang penderita penyakit hati dimana dia tidak dapat lagi mempertahankan kualitas
kehidupan normal karena fungsi hatinya yang buruk dan yang bisa berakibat membahayakan
kehidupannya, harus dipertimbangkan sebagai kandidat transplantasi hati(Sulaiman, 2007).
Chronic noncholestatic liver disorders Metabolic disorders causing severe extrahepatic
morbidity
 Chronic hepatitis C
 Chronic hepatitis B  Amyloidosis
 Autoimmune hepatitis  Hyperoxaluria
 Alcoholic liver disease √  Urea cycle defects
Cholestatic liver disorders  Disorders of branch chain amino acids
Primary malignancies of the liver
 Primary biliary cirrhosis
 Primary sclerosing cholangitis  Hepatocellular carcinoma √
 Biliary atresia  Hepatoblastoma
 Alagille syndrome  Fibrolamellar hepatocellular carcinoma
 Nonsyndromic paucity of the intrahepatic  Hemangioendothelioma
bile ducts
 Cystic fibrosis Fulminant hepatic failure
 Progressive familial intrahepatic
cholestasis Miscellaneous conditions
Metabolic disorders causing cirrhosis
 Budd-Chiari syndrome

 Alpha-1-antitrypsin deficiency  Metastatic neuroendocrine tumors


 Wilson disease  Polycystic disease

 NASH and cryptogenic cirrhosis √


 Hereditary hemochromatosis Retransplantation

6
 Tyrosinemia
 Glycogen storage disease type IV (Sherlock, 2002; Murray & Carithers, 2005;

 Neonatal hemochromatosis Manzarbeitia, 2011)

Kontraindikasi Transplantasi Hati


Kontraindikasi meliputi kontra indikasi absolute dan relatif. Kontraindikasi absolut adalah
kondisi di mana outcomes dari dilakukannya transplantasi hati sangat rendah sehinga tidak usah
dilakukan.Sedangkan, kontraindikasi relatif adalah kondisi yang memiliki dampak negatif terhadap
kelangsungan hidup bila dilakukan tranplantasi.

ABSOLUTE RELATIF
 Brain death  Advanced age
 Extrahepatic malignancy  Cholangiocarcinoma
 Active uncontrolled infection  HIV infection
 Active alcoholism and substance  Portal vein thrombosis
abuse  Psychologic instability
 AIDS
 Severe cardiopulmonary disease
 Uncontrolled sepsis
 Inability to comply with medical
regimen
 Lack of psychosocial support
 Anatomic abnormalities precluding
liver transplantation
 Compensated cirrhosis without
complications (Child-Turcotte-Pugh
score, 5–6) (www.medicalcriteria.com, 2011)

KRITERIA SELEKSI DAN DAFTAR TUNGGU


Pasien harus memenuhi kriteria minimal sebelum ditempatkan dalam daftar tunggu
(abecassis,2003). Pasien dengan CTP ≥ 7 dan MELD ≥ 10 perlu secepatnya dirujuk untuk dilakukan
transplantasi(Murray & Carithers,2005). The Model for End Stage Liver Disease (MELD) adalah
untuk mengukur risiko kematian pada pasien dengan penyakit stadium akhir dan sangat berguna untuk
memprediksi kelangsungan hidup jangka pendek dan menengah, juga komplikasi dari Sirosis dan
menentukan prioritas alokasi untuk donor hati.(Friedman, 2010)

7
Table. Child-Turcotte-Pugh (CTP) Scoring System to Assess Severity of Liver Disease
Points 1 2 3
Ascites None Slight Moderate- Severe
Encephalopathy (grade)* None 1 and 2 3 and 4
Bilirubin (mg/dL) <2 2-3 >3
Albumin (g/dL) > 3,5 2.8-3.5 < 2,8
Prothrombin time (seconds prolonged) 1-3 4-6 >6

Model for end Stage Liver Disease


MELD Score = 11,20 log e (INR) + 0.378 log e (bilirubin mg/dl)
+ 9,57 log e (creatinine mg/dl) + 6,43
(Friedman, 2010)
SELEKSI DONOR
Pemilihan donor dipertimbangkan sebagai berikut:
1. Usia 2 bulan - 65 tahun
2. Dengan trauma otak yang menyebabkan kematian batang otak
3. Adanya kecocokan ABO dan HLA
4. Adanya kesediaan dari keluarga donor dengan bukti informed with consent
5. Tidak ada penyakit membahayakan yang ditularkan oleh donor (Nusi, 2009)
Donasi organ harus sudah di informed with consent dari keluarga donor. Donor biasanya
mulai usia 2 bulan sampai dengan 65 tahun, korban cedera otak yang telah menyebabkan kematian
otak. Fungsi pernapasan dan kardiovaskular dipertahankan secara buatan dengan ventilasi mekanik.
Penemuan hati dan organ vital lain dari mayat yang jantungnya masih berdenyut meminimumkan
iskemia yang timbul pada suhu tubuh normal dan merupakan sokongan utama bagi keberhasilan
‘graft’. Donor tidak boleh menderita penyakit lain. Tes biokimia rutin bagi fungsi hati harus normal
pada waktu donor. Donor tidak boleh mempunyai masa anoksia atau hipotensi yang lama (Sherlock,
2002).
KOMPLIKASI
Selama dan setelah dilakukan transplantasi dapat terjadi komplikasi pada resipien yang meliputi:
1. Komplikasi berkenaan dengan prosedur
Meliputi infeksi, hernia, granuloma ada jahitan fasial, limfokeles, perdarahan, trombosis, stenosis,
peritonitis, localized bile collection, dan pseudoaneurisma.
2. Kegagalan graft perioperatif
Kecepatan re-transplantasi pada 3 bulan pertama pasca pembedahan mencapai 10-20%. Ada
empat alasan utama penyebab kegagalan ini:
a. Teknik operasi yang tidak sempuma

8
b. Penyakit hati yang tidak diketahui pada donor hati
c. Iskemik jaringan graft
d. Rejeksi
3. Komplikasi non teknis
Tiga penyebab utama komplikasi ini meliputi hipertensi, infeksi, dan rejeksi (akut dan kronik).
(Nusi, 2009)
REJEKSI
Rejeksi atau biasa disebut penolakan jaringan, bisa terjadi akut atau kronis, gejalanya:
penderita subfebrile, takikardi, hepatomegali, tes fungsi hati dan koagulasi yang meningkat. Diagnosa
pasti dengan biopsi hati. Biopsi hati merupakan “standar emas” untuk monitoring terjadinya
penolakan. Terdapatnya central lobular necrosis pada biopsi hati menunjukan adanya kerusakan hati
yang parah dan menuju perubahan menjadi penolakan kronik dan etiopatogenesanya mungkin
berhubungan dengan iskemia organ donor dan faktor imunologikal (Melinda, 1996).
Penolakan akut tampak pada 5-10 hari setelah transplantasi. Penolakan kronik terjadi 6
minggu – 9 bulan pasca transplantasi, ditandai dengan kolestasis yang progresif. Penolakan kronik
tidak dapat diobati dengan imunosupresan, satu-satunya yang efektif adalah dengan transplantasi
ulang (Melinda, 1996).
Peran biopsi liver dalam diagnosis dan manajemen NAFLD post transplant atau NASH masih
berkembang, selain menentukan tingkat keparahan penyakit, biopsi liver bisa juga membantu dalam
menentukan efek-efek pengobatan medis atau perubahan pada immunosuppresi. (Koehler,2008).
Rejeksi akut umumnya revesibel dan masih dapat ditanganidengan obat-obatan, berbeda dengan
rejeksi kronik dimana harus dilakukan transplantasi ulang. Diagnosis dibuat oleh biopsi hati karena
tanda-tanda klinis dan gejala penolakan yang sangat bervariasi, tidak spesifik, dan tidak bisa
diandalkan (Nusi, 2009; abecassis, 2003).

Table. Signs and symptoms of rejection


1. Fever
2. Decreased quality and quantity of bile
3. Elevation of the bilirubin and / or transaminase levels
4. Sense of ill being
5. Increased ascites (abecassis,2003)
Berdasarkan NIDDK-LTD rejeksi dibagi 2, akut dan kronik kemudian dibagi lagi berdasarkan
berat-ringan perubahan histopatologis yang ditemukan seperti pada Lampiran dibawah ini.
Pemilihan immunosupresi
Banyak pusat transplantasi yang menggunakan obat imunosupresan untuk mempertahankan
jaringan transplantasi hati (Nusi, 2009). Keberhasilan terapi transplantasi organ sangat dipengaruhi
pada farmakoterapi yang diberikan untuk menekan respon imun penerima pada organ asing.
Penolakan transplantasi organ tetap sebagai hambatan utama untuk kelangsungan hidup jangka

9
panjang pada pasien. Bahkan, pasien transplantasi perlu dipertimbangkan pemberian imunosupresif
seumur hidup untuk mencegah penolakan (Koehler,2008).
Disisi lain, immunosuppression merupakan faktor predisposisi eksaserbasi sindrom
metabolik post-transplant. Kortikosteroid dikenal mampu menghasilkan resistansi insulin,
penumpukan lemak, hipertensi, dan dislipidemia. Oleh karena itu, dengan cara yang tidak langsung,
imunosupresi juga dapat memberikan efek negatif pasca transplantasi. Maka meminimalisir
penggunaannya dinilai mampu mengurangi frekuensi terjadinya komplikasi pasca transplantasi
(Koehler,2008).
Sejak digunakannya terapi kombinasi siklosporin dan prednisone sebagai pencegahan, angka
kejadian penolakan jaringan makin menurun. Regimen yang biasanya dilakukan pre-operatif:
siklosporin 17,5 mg/kgbb oral atau 5 mg/kg BB iv + methyl prednisolon 20 mg/kg BB iv. Pasca
operasi digunakan kombinasi dengan dosis: siklosporin 5 mg/kg BB/hr iv dan methyl prednisolon 10
mg/kg BB/hr iv dan metil prednisolon 10 mg/kg BB/hr tapering off sampai hari ketujuh. Untuk
episode penolakan akut dapat diberikan injeksi bolus steroid atau monoclonal antibody OKT3
(Melinda R,1996). Dosis yang dianjurkan untuk Muromonab-CD3 (Orthoclone OKT3®) adalah 5 mg
IV sekali sehari selama 7-14 hari (Leung, 2001).
PROGNOSA
Data terakhir menunjukkan survival at five years adalah 35% untuk yang mendapat liver baru
dari donor yang berumur lebih 60 tahun. Bila donor kurang dari 60 tahun, kelangsungan hidup dapat
mencapai 72% (Nusi, 2009). Indikator-indikator prognostik buruk bila pada pasien HCC didapatkan
penyebaran melalui pembuluh darah, ukuran tumor lebih dari 5 cm, keterlibatan tumor bilobular,
metastasis kelenjar getah bening, tumor infiltratif, TNM lanjut, dan didapatkan penyebaran pada batas
reseksi liver yang dieksplantasi (Lau,1996). Prognosis pasien dengan HCC tergantung dari staging
tumor (Murray & Carithers, 2005).
Nonalcoholic Steatohepatitis dan Cryptogenic Cirrhosis, NASH kemungkinan dapat sebagai
underlying disease terjadinya cryptogenic cirrhocis. Dan pada saat sudah berkembang menjadi
cirrhosis maka perlu dipertimbangkan dilakukan transplantasi. Kelangsungan hidup pada pasien
cryptogenic cirrhosis dapat mencapai 5 tahun setelah transplantasi sebesar 72-81% (Murray &
Carithers, 2005).
RINGKASAN
Saat ini fatty liver merupakan penyakit hati yang banyak dijumpai baik di negara maju
maupun berkembang seiring dengan meningkatnya penyakit metabolik seperti obesitas dan diabetes.
Fatty liver dapat mengakibatkan penyakit hati lanjut serta meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pada sebagian orang, terutama mereka yang obesitas dan diabetes. Pemahaman tentang perjalanan
penyakit NAFLD merupakan hal penting untuk mengidentifikasi penderita yang mempunyai resiko
dan merupakan target pengobatan jangka panjang yang terkadang mahal. Penatalaksanaan utama
ditujukan pada perubahan gaya hidup meliputi penurunan berat badan dan latihan fisik yang dapat

10
memperbaiki sensitivitas insulin. Pengobatan farmakologis dipertimbangkan untuk mengurangi
resistensi insulin atau melindungi hati dari jejas lebih lanjut.
Konsep terapi yang dianjurkan saat ini: 1. penurunan berat badan secara gradual dengan cara
latihan fisik dan diet, 2.Antidiabetik dan insulin sensitizer, 3.Obat anti hiperlipidemia, 4.Antioksidan,
5. Hepatoprotektor dan 6. transplantasi hati.

DAFTAR PUSTAKA :
1. Abecassis MM et al.(2003).Liver Transplantation.In: ebook of Organ Transplantation.9th Page
224-637
2. Amarapurkar DN et al.(2007).How common is non alcoholic fatty liver disease in the Asia
Pacific region and are there local differences? Journal of Gastroenterology and Hepatology 22
(2007) Page 788-793
3. Angulo P.(2002).The Nonalcoholic fatty liver disease. Hepatology 45:1221-1231.available at
NEJM.org (acces on August 28th ,2010)
4. Bakry F, (2007). Hepatitis Alkohol. Dalam: Ilmu Penyakit Hati. Jaya Abadi publishing. Edisi
pertama. Hal:285-294
5. BP Lam et al.(2009) Treatment regimens for non-alcoholic fatty liver diAnnals of Hepatology
2009; 8(1): Supplement: S51-S59
6. Carithers & McClain, (2010). Alcoholic Liver Disease. In:textbook of Gastrointestinal and Liver
Disease. Saunders Elsevier Publishin. 9th edition. Sleisinger and Fordtrans. Page: 1383-1400
7. Comar KM & Sterling RK(2006) Drug Therapy For Nonalcoholic fatty liver disease, in
alimentary pharmacology & Therapeutics,Blackwel Publishing,vol.23 page 207- January 2006
8. Day CP, (2002). Non-alcoholic Steatohepatitis (NASH): where are we nowand where are we
going ? page 585-588
9. Fairbank KD, (2010). Alcoholic Liverv Disease. Available at www.clevelandclinicmeded.com
(accesed on 2011 March 23)
10. Friedman LS.(2010).Liver, billiary tract & pancreas disorders. In :Textbook of Current Medical
Diagnosis and Treatment.McGraww-hill Publishing 49th edition. Page 624-625
11. Hasan I.(2010).Perlemakan hati non alcohol. Dalam: Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.Interna
Publishing.edisi 5th . Editor, Aru W sudoyo dkk, Page 695-701
12. Koehler E.(2008)Fatty liver & Liver transplantation.In text book of clinics in liver disease,
saunders an imprint of elsevere inc.,vol.13.number 4: Page 621-630
13. Lau H. et al(1996). Liver Transplantation for Hepatocellular carcinoma.HKMJ Vol.2 No.4
December 1996.
14. Lesmana LA,(2007). Penyakit Perlemakan Hati non Alkoholik. Dalam: Ilmu Penyakit Hati. Jaya
Abadi publishing. Edisi pertama.hal:301-305
15. Leung LS(2001). An Update on Immunosuppresive medication in Transplantation.

11
16. Manzarbeita C (2011). Liver Transplantation. ,[online].Available at www.emedicine.com.
(accesed 2011 March 23)
17. Melinda R (1996).Transplantasi Hati-Perkembangan terbaru,komplikasi dan penatalaksanaannya.
18. Neuschwander-Tetri BA, (2000) Fatty liver, Nonalcoholic stetohepatitis. In: Text book of Liver
Disease: Diagnosis and Management.Churchill Livingstone Publishing.1 st edition. Page 121-139
19. Nobili V et al.(2006)Effect of Vitamin E on Aminotransferase level and insulin resistance in
children with non-alcoholic fatty liver disease.In:alimentary pharmacology &
Therapeutics,Blackwel Publishing, Page 1553-1561- January 2006.
20. Nusi IA.(2009).Transplantasi Hati.Dalam: textbook of buku ajar ilmu Penyakit Dalam. Interna
Publishing 5th edition. Page 753-756
21. Nusi, I.A. (2008). New Approach of NASH Treatment. Dalam: Pertemuan Ilmiah Berkala IX
Ilmu Penyakit Dalam; FK Universitas Andalas-RSUP Dr. M. Djamil Padang: Hal.19-30
22. Reid AE.(2010). Nonalcoholic Fatty Liver Disease. In:textbook of Gastrointestinal and Liver
Disease. Saunders Elsevier Publishin. 9th edition. Sleisinger and Fordtrans. Page: 1401-1411
23. Sears D,(2011). Fatty Liver,[online].Available at www.emedicine.com. (accesed 2011 March 23)
24. Sherlock S et al.(2002).Hepatic Transplantation.In : Textbook of Disease of the liver and biliary
system. Blackwell Publishing 11th edition. Page 657-675
25. Sulaiman HA,(2007). Transplantasi Hati. Dalam: Ilmu Penyakit Hati. Jaya Abadi publishing.
Edisi pertama. Hal 581-589
26. www.medicalcriteria.com. [accessed on 2011 March 25]

12
Pathogenesis non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) (Reid A.E, 2010)

13
Obesity
Insulin resistance
Hyperinsulinemia
Increased serum
leptin levels

Excessive dietary
Altered cytokine levels: carbohydrates,
Increased TNF-α dyslipidemia, genetic
Decreased adiponectin
mutations, drugs,
toxins, nutritional
deficiensies, other
factor

Fat-containing
hepatocytes

Direct cytotoxic Impaired β-oxidane


effects of increased of FFA
FFA

Oxidatives stress and Mithochondrial damage:


lipid peroxidation Increased ROS
Altered ATP homeostasis
Structural abnormalities
Steatohepatitis
Increased TGF – β
?Environmental,
and other
genetic, dietary
cytokines
factors

Fibrosis/cirrhosis

14
Rejeksi Akut Rejeksi Kronik
Grade Histopatologi Grade Histopatologi
A0 (none) No rejection B1 (early/mild) Bile duct loss,
without centrilobutar
cholestasis, peri
venular sclerosis or
hepato-cellular
ballooning or
necrosis and drop
out
A1 (mild) Rejection infiltration B2 Bile duct loss, with
in some, but notmost. (intemediate/moder one of the following
of the triads, ate) four findings:
confined within the centrilobular
portal spaces cholestasis, peri-
venular sclerosis,
hepato-cellular
balloonrrig, necrosis
and drop-out
A2 (moderate) Rejection infiltrate B3 (late/sovere) Bile duct loss, with
involving most or all at least two of the
of the triads, with or following four
without spill over findings.
into lobule. No centrilobular
evidence of cholestasis, peri-
centrilobular venular sclerosis,
hepatocyte necrosis hepato-cellular
or drop-out ballooning, or
centrilobular
necrosis and drop
out
A3 (severe) Infiltrate in some or
all of the triads. with
or without spill-over
into the lobule, with
or without
inflammatory cell

15
Rejeksi Akut Rejeksi Kronik
Grade Histopatologi Grade Histopatologi
linkage of the triads,
associated with
moderate-severe
lobular inflammation (Nusi IA,2009)
and lobular necrosis
and drop out

16

You might also like