You are on page 1of 19

Kasus Transfer Pricing Adaro Tetap Panas

Selasa, 19 Februari 2008 - DannyDarussalam.com Tax Center


Dihentikan Kejagung, Pansus Gabungan Menanti Kejaksaan Agung (Kejagung) boleh
menghentikan penyelidikan kasus manipulasi harga (transfer pricing) penjualan batubara PT
Adaro Indonesia, tapi Komisi VII DPR tak surut langkah. Diam-diam pansus gabungan
dengan komisi XI DPR telah disiapkan untuk mengungkap kasus ini.
SEPERTI diungkapkan anggota Komisi VII DPR dari FPAN, Alvin Lie, ia akan menggalang
kekuatan di DPR untuk mengusulkan dibentuknya Pansus Batubara.
Selanjutnya, kata Alvin, BPK harus melakukan audit lanjutan. Apabila ditemukan kerugian
negara, langsung ditindak lanjuti Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) yang bisa memeriksa
semua pengusaha yang diduga terlibat dalam proses tersebut.
"Kami akan menggalang kekuatan di DPR untuk mengusulkan pembentukan pansus
gabungan dengan Komisi XI, seiring dengan penghentian penyelidikan oleh Kejagung
terhadap kasus transfer pricing yang melibatkan banyak pengusaha," tegas Alvin kepada
Probisnis di Gedung DPR/MPR, Jakarta, kemarin.
Ia menjelaskan, pansus gabungan dengan Komisi XI ini untuk membantu proses penyelesaian
kasus ini dalam hal pajak. Sedangkan, Komisi VII yang akan menyelediki proses penjualan
tersebut.
Dikatakannya, kejaksaan diminta untuk tidak main-main dengan dengan kasus ini. Kuat
dugaan, bahwa perusahaan itu telah menjual batu bara dengan harga dibawah standar. Selain
itu, dia juga meminta agar internal Departemen ESDM diperiksa seiring dengan kasus
tersebut.
"Kemungkinan terjadinya main mata antara aparat hukum, pengusaha dan pemerintah guna
mengindari dari jerat hukum itu sangat besar, sehingga dibutuhkan pemeriksaan dan
penyelidikan kembali terhadap kasus tersebut," ungkap Alvin.
Seperti diberitakan sebelumnya, kasus ini mencuat akibat pertarungan konglomerat Sukanto
Tanoto dengan Edwin Soeradjaya Cs. Dari situlah muncul dugaan PT Adaro Indonesia
menjual batubara di bawah harga pasar kepada perusahaan afiliasinya di Singapura Coaltrade
Services International Pte, Ltd pada 2005 dan 2006.
Oleh Coaltrade, batubara itu dijual lagi ke pasar sesuai harga pasaran. Hal ini dimaksudkan
guna menghindari pembayaran royalti dan pajak yang harusnya dibayarkan ke kas negara.
Dalam dokumen laporan keuangan Coaltrade pada 2002-2005, terlihat laba Coaltrade lebih
tinggi dari Adaro. Laporan keuangan, tersebut menimbulkan kecurigaan, bagaimana mungkin
Adaro yang memiliki tambang kalah dengan trader.
Ditambah lagi soal informasi terkait permohonan Mezzanine Facility PT Adaro Maret 2007
serta Bond Issuance Prospectus Adaro tahun 2005.
Kejagung sendiri telah menghentikan penyelidikan kasus manipulasi harga (transfer pricing)
PT Adaro Indonesia ini. "Penyelidikan Adaro sudah selesai. Karena tidak ada masalah kila
hentikan," kata Jaksa Agung Muda Intelijen, Wisnu Subroto di Jakarta, Senin (11/2) lalu.
Kasus transfer pricing Adaro muncul seiring meroketnya harga jual batubara di pasar
internasional. Sejumlah perusahaan pertambangan nasional diduga menjual batu bara lebih
murah melalui perusahaan terafiliasi di Singapura untuk dijual kembali ke pasar
internasional.
Menurut Wisnu, penghentian dilakukan setelah dilakukan audit oleh Direktorat Jenderal
Pajak, BPKP serta Departemen ESDM. Audit antara lain untuk mengetahui siapa pembeli,
berapa tonase yang diekspor serta pajak yang dibayarkan. "Kesimpulannya royalti dan
semuanya sudah dibayar," tegasnya.FIK
Rakyat Merdeka, 19 Februari 2008
PENGGELAPAN PAJAK
Kasus Adaro, DPR
Akan Ajukan Hak Angket

Rabu, 30 April 2008


JAKARTA (Suara Karya): Komisi VII DPR berencana mengajukan hak angket terkait
kasus penggelapan pajak melalui praktik manipulasi harga (transfer pricing), dalam hal
ini yang melibatkan PT Adaro Indonesia.
Anggota Komisi VII Alvin Lie mengungkapkan, dirinya bersama sejumlah anggota
Komisi VII DPR dalam tahapan menggalang dukungan dari Komisi XI DPR untuk
menggelar hak angket atau hak penyelidikan DPR terhadap kasus transfer pricing
Adaro. "Selama ini saya sudah berulang kali bilang bahwa data-data yang saya
punya bisa dipakai Kejagung untuk memulai penyelidikan lagi terhadap Adaro.
Begitu pula dengan BPK. Tapi, belum ada tindak lanjutnya. Karena itu, dewan
akan menggunakan hak angket, yang tidak hanya melibatkan Komisi VII DPR,
tapi juga Komisi XI DPR," kata Alvin di Jakarta, Selasa (29/4).
Menurut dia, langkah tersebut dipandang mendesak untuk dilakukan setelah
Kejaksaan Agung memutuskan menghentikan penyelidikan terhadap kasus yang
merugikan negara triliunan rupiah itu. Meski di sisi lain, DPD berencana
melakukan langkah lain, yakni akan menyurati Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono agar memerintahkan aparat penegak hukum, seperti Kejaksaan
Agung dan Kepolisian serius menyelidiki kasus transfer pricing ini.
Alvin menegaskan, langkah yang akan diambil tersebut memerlukan proses yang
amat panjang, bahkan menelan waktu hingga setengah tahun. Tapi tidak ada
cara lain yang lebih tepat untuk menindaklanjuti kasus transfer pricing itu.
"Memang langkah ini cuma langkah politis. Bagaimana tindak lanjut hukumnya,
tergantung pemerintah. Tapi, bagaimana pun kasus transfer pricing ini harus
diusut tuntas agar jangan sampai terulang lagi," ujarnya.
Menurut Alvin, langkah pentingnya adalah melindungi kepentingan publik, karena
itu pemerintah perlu menahan rencana penawaran saham perdana (initial public
offering/IPO) Adaro hingga perusahaan tersebut benar-benar terbukti tidak
bersalah. "Saya sendiri heran mengapa Kejagung sampai menghentikan
penyelidikan dengan alasan tidak ada bukti. Padahal, praktik transfer pricing ini
sudah mendapat pengakuan lembaga pemeringkat internasional Moody's.
Bahkan, Adaro sudah mengakui sendiri praktik transfer pricing yang dilakukannya
ketika menerbitkan obligasi pada 2005," ucap Alvin.
Data dari analisis Moody's menyebutkan adanya keganjilan dari kontrak
penjualan dan pembelian batu bara antara Adaro dan Coaltrade. Dalam kontrak
disebutkan, harga dipatok secara tetap (fixed) yang jelas amat jauh di bawah
harga pasar. Besarnya penjualan batu bara selama 2005 dan 2006 juga
ditetapkan hampir seperempat dari total produksi Adaro.
Sementara itu, anggota DPD Marwan Batubara, ikut menyesalkan sikap
Kejagung. Dia mengungkapkan niatnya untuk menyurati langsung Presiden untuk
segera bertindak menuntaskan kasus transfer pricing tersebut. "Kalau tidak
diselesaikan, kerugian negara akan berlanjut. Jangan sampai kasus ini menjadi
seperti kasus transfer pricing Indosat," katanya.
Di samping itu, Marwan bersama anggota DPD lainnya juga berencana
mendatangi KPK untuk meminta campur tangan lembaga itu dalam masalah ini.
"Saat ini kami sedang menyiapkan bukti-buktinya. Rencananya bulan depan kami
melapor ke KPK," katanya menambahkan.
Kasus transfer pricing Adaro diduga berawal dari upaya perusahaan itu untuk
menghindari pajak penghasilan di Indonesia yang besarnya 45 persen. Melalui
perusahaan afiliasinya di Singapura, yang ternyata juga dimiliki pemegang saham
yang sama dengan Adaro, Coaltrade, perusahaan itu hanya terkena pajak 10
persen.
Selain tentunya Coaltrade mendapat keuntungan berlipat ganda karena batu bara
yang dibeli dari Adaro dipatok dengan angka 32 dolar AS per ton. Padahal, pada
di akhir tahun 2007, harga batu bara telah tembus 95 dolar AS per ton. Kejagung
telah menyelidiki kasus ini. Namun, karena dinilai kurang bukti, penyelidikan
kemudian dihentikan pada awal 2008. (Indra)

Dirut Adaro Nyatakan "Transfer Pricing"-


nya Terbuka
Senin, 26 Mei 2008 18:36 WIB | Ekonomi & Bisnis | | Dibaca 2404 kali
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Utama (Dirut) PT Adaro Energy Tbk, Boy Garibaldi
Thohir, menyatakan bahwa kasus transfer pricing yang dipersoalkan kalangan DPR, tidak
akan mengganggu proses go public perseroan, dan optimistis akan mendapat pernyataan
efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).

"Kami sudah sangat terbuka untuk menjelaskan mengenai kasus trasnfer pricing kepada
pihak perpajakan mulai dari Dirjen Pajak, Kanwil Pajak sampai tingkatan yang paling bawah.
Selain itu juga kami sudah melakukan mini ekspose kepada Bursa Efek Indonesia (BEI)
maupun Bapepam," kata Dirut Adaro Boy Garibaldi Thohir di Jakarta, Senin.

Boy mengatakan kasus transfer pricing yang diduga merugikan pajak negara ini pertama kali
muncul pada Oktober 2007. Kasus ini sempat ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) dan
akhirnya Kejagung menutup kasus tersebut pada awal 2008.

Dalam prospektusnya, Adaro menjelaskan, masalah pajak mereka telah selesai. Seperti
halnya Kejagung yang telah menutup kasus tersebut pada awal tahun ini karena kurangnya
bukti.

Dalam paparan publik Adaro yang berlangsung Senin (26/5), beberapa investor juga sempat
mengungkapkan kekhawatirannya mengenai kasus transfer pricing.

Namun Boy menjelaskan, hal itu sudah dijelaskan secara detil kepada pihak pajak, BEI dan
Bapepam. "Lagi pula kasus transfer pricing ini merupakan domain dari Dirjen Pajak,"
katanya.

Dia mengemukakan, dalam proses IPO ini perseroan juga telah memberikan penjelasan
secara detil kepada beberapa pihak yang menunjang dan membantu proses IPO seperti
konsultan hukum, akuntan, penjamin emisi dan lainnya.

"Mereka telah memeriksa helai-demi helai keterangan yang kami berikan secara detl itu,"
ujarnya.

Kasus transfer pricing Adaro yang beberapa waktu lalu juga sempat diberitakan sejumlah
media massa diduga berawal dari upaya perusahaan itu untuk menghindari pajak penghasilan
yang besarnya 45 persen.

Melalui perusahaan afiliasinya di Singapura yang ternyata juga dimiliki pemegang saham
yang sama dengan Adaro, Coaltrade, perusahaan itu hanya terkena pajak 10 persen.

Selain tentunya, Coaltrade mendapatkan keuntungan berlipat ganda karena batu bara yang
dibeli dari Adaro dipatok di angka 32 dolar AS per ton. Padahal, di akhir 2007, harga batu
bara telah menembus 95 dolar AS per ton. (*)

”Transfer Pricing” Batu Bara Rugikan Negara Rp 5 Triliun

Jakarta – Departemen ESDM menyerahkan sepenuhnya kepada Kejaksaan Agung (Kejakgung)


mengenai pengusutan kasus dugaan transfer pricing (permainan harga) batu bara oleh PT Adaro
Indonesia. Dirjen Mineral, Batubara, dan Panas Bumi Departemen ESDM Simon Sembiring di
Jakarta, akhir pekan lalu, mengatakan pihaknya tidak mau mencampuri kasus yang sudah masuk
wilayah hukum.
"Kita tidak usah ribut. Kan sudah ada di kejaksaan," kata Simon Sembiring.
Komisi VII DPR juga meminta pemerintah menindak tegas praktik transfer pricing tersebut. Praktik ini
dilakukan dengan tujuan menghindari royalti yang mencapai 13,5 persen dan pajak dari produksi batu
baranya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Sony Keraf mendesak pemerintah segera mengusut keterlibatan
perusahaan tambang yang melakukan praktik transfer pricing karena merugikan negara. "Kalau
praktik (transfer pricing) yang dilakukan itu terbukti, negara mengalami kerugian tidak hanya dari
pajak tapi juga royalti yang ditetapkan 13,5 persen dari total produksi mereka," katanya.
Modus yang dilakukan adalah menjual batu bara ke perusahaan terafiliasi di luar negeri dengan harga
murah. Setelah itu, perusahaan terafiliasi tersebut menjual kembali ke negara lain dengan harga
pasar. Akibat transfer pricing yang terjadi pada 2005-2006 lalu diperkirakan ada Rp 9 triliun dari hasil
penjualan yang disembunyikan. Kerugian negara terkait pajak dan royalti diperkirakan mencapai Rp
4-5 triliun.
Melalui cara tersebut, perusahaan tambang batu bara di Indonesia menjual produk batu baranya
dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar ke perusahaan terafiliasi di negara lain.
Selanjutnya, perusahaan terafiliasi itu menjual batu baranya kembali sesuai harga pasar ke negara
tujuan ekspor.
Sementara itu, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Mida pada Pidana Khusus (Jampidsus)
Kejaksaan Agung M salim mengatakan pihaknya baru mau mengecek informasi seputar penyerahan
kasus transfer pricing dari PT Adaro yang sebelumnya ditangani Direktorat Jenderal Pajak (Pajak).
“Iya benar kita mendengar informasi itu dan saya sedang cek. Hari senin pekan depan akan kita
umumkan,” kata Salim.
Salim membenarkan, kasus ini diinformasikan telah diserahkan oleh Dirjen Pajak ke pihaknya.
Namun, langkah penyelidikan belum bisa disebutkannya.

Sukanto vs Edwin
Di bagian lain, sumber SH menyebutkan mencuatnya kasus ini ke permukaan merupakan kelanjutan
pertarungan antara konglomerat Sukanto Tanoto dan Edwin Soeradjaya Cs. Dari data yang diperoleh
SH ternyata PT Adaro Indonesia-Coaltrade Services International Pte. Ltd Singapura diduga telah
melakukan penggelapan pajak dengan cara transfer pricing.
Melalui skema kepemilikan saham yang sangat rumit dan kompleks, ujung-ujungnya pemegang
saham pengendali di PT Adaro Indonesia dan Coaltrade Services International Ltd Singapura adalah
Edwin Soeradjaya dan teman-temanya seperti Sandiaga Uno, Subianto, TP Rachmat dan Garibaldi
Thohir.
Kedua perusahaan yang terafiliasi itu dengan cerdik melakukan rekayasa keuangan dengan
memanfaatkan kelemahan regulasi di Indonesia yang masih carut-marut. Secara sederhana, model
tindakan kriminal yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan perusahaan-perusahaan “boneka” di
Singapura dan negara-negara, seperti Mauritius dan Virgin Island, tempat favorit bagi konglomerat
Indonesia melakukan tindak pencucian uang (money laundering).
Kedua perusahaan itu melakukan manipulasi penggelapan pajak dengan transaksi jual beli batu bara
secara tidak wajar (tidak sesuai dengan harga batubara pasaran internasional) dengan
berargumentasi pada fluktuasi harga komoditas.
Jika mengacu pada data yang ada, jelas-jelas negara dirugikan dalam kejahatan ekonomi tingkat
tinggi ini, tetapi untuk menghitung secara tepat, perhitungannya cukup rumit dari Direktorat Jenderal
Pajak.
(novan dwi putranto/rafael sebayang/sigit wibowo/ant)
Copyright © Sinar Harapan 2003

Tidak ada Indikasi Transfer Pricing PT Adaro

JAKARTA -- Gejolak dan tudingan adanya indikasi manipulasi harga PT Adaro dibantah
keras oleh Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel), Whisnu Subroto,
mengatakan, kejaksaan tidak menemukan indikasi manipulasi harga (transfer pricing) ekspor
batu bara yang dilakukan PT Adaro. Karenanya, kejaksaan menghentikan penyelidikan kasus
tersebut. ''Ngapain kami ngobrak-abrik perusahaan orang kalau nggak ada indikasinya,'' kata
Whisnu, kepada wartawan, di gedung Kejaksaan Agung (Kejakgung), Jakarta, Kamis (29/5).
Menurut Whisnu, Kejakgung tidak bekerja sendiri dalam menyelidiki kasus Adaro. Instansi
seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan, juga
ikut mengaudit proses transaksi ekspor batu bara yang dilakukan PT Adaro.
Hasil penyelidikan, tambah Whisnu, menyimpulkan PT Adaro telah melunasi semua
kewajiban dalam proses ekspor batu bara sejak 2001 hingga sekarang. Whisnu menyebutkan,
kewajiban tersebut, antara lain, pembayaran pajak, royalti, jumlah tonase ekspor, hingga
penentuan siapa pembelinya telah dilunasi sesuai ketentuan. ''Justru, dia (Adaro) lebih tinggi
jualnya,'' tambah Whisnu.
Direktur Utama (Dirut) PT Adaro Energy Tbk, Boy Garibaldi Thohir menyatakan, kasus
transfer pricing yang dipersoalkan kalangan DPR, sebenarnya muncul pada Oktober 2007.
Kasus ini sempat ditangani kejaksaan dan akhirnya ditutup pada awal 2008. Dalam
prospektusnya, Adaro menjelaskan, masalah pajak mereka telah selesai. Seperti halnya
Kejakgung yang telah menutup kasus tersebut pada awal tahun ini karena kurangnya bukti.
Boy juga menjelaskan, hal itu sudah dijelaskan secara detail kepada pihak pajak, BEI, dan
Bapepam. ''Lagi pula kasus transfer pricing ini merupakan domain dari Dirjen Pajak,"
katanya. Dugaan kasus manipulasi harga batu bara yang melibatkan PT Adaro mencuat ke
permukaan setelah Departemen ESDM bersama Ditjen Pajak melaporkan dugaan tersebut ke
Kejakgung akhir tahun lalu. Kedua instansi tersebut melaporkan kontrak penjualan PT Adaro
kepada anak perusahaannya yang berdomisili di Singapura (Coaltrade Service International
Ltd) pada 2005 dan 2006 tidak berubah. dri/one
Kasusnya masih ditangani KEJAKGUNG, mudah2an tidak terbukti....

Rgds,
Dok

Jakarta- Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta


Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Pusat Pelaporan Analisis dan
Transaksi Keuangan (PPATK) melakukan investigasi ke luar negeri da-lam
kasus transfer pricing (permai-nan harga) dalam proses penjualan
batu bara yang melibatkan PT Adaro. Investigasi ini diharapkan dapat
untuk mengusut pihak pembeli (buyer) dan mengetahui secara pasti
berapa nilai transfer sesungguhnya (melalui pencatatan transaksi
keuangan).
Pertemuan dan rapat koordinasi antara ESDM dan Kejagung mencetuskan
bahwa dimungkinkan adanya investigasi ke luar negeri untuk
pengungkapan praktik transfer pricing yang sudah sangat merugikan
negara. Temuan dari luar negeri, khususnya nilai tranfer, akan
memberi gambaran perbandingan dengan data-data yang telah dimiliki
Kejagung saat ini yang bersumber dari ESDM dan PT Adaro sendiri.
“Kita sudah melakukan investigasi kasus ini sejak awal 2007.
Hanya
saja untuk investigasi ke luar negeri bukan otoritas kita.
Justru
kejaksaanlah yang memiliki wewenang dan sedang diupayakan untuk
itu,”
kata Staf Ahli Departemen ESDM yang juga pernah menjabat sebagai
Jaksa Agung Muda pada Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Sudhono
Iswahyudi, kepada SH, Selasa (15/1).

Mengingat dugaan kerugian negara yang sangat besar, dan kemungkinan


terulangnya kasus serupa di kemudian hari, Sudhono meminta agar PT
Adaro mau membuka diri membantu kejaksaan memberikan data yang
sebenarnya.
Ihwal data-data yang telah diberikan ESDM kepada kejaksaan,
Sudhono
menjelaskan bahwa data tersebut merupakan data-data volume
ekspor
dan pajak dari ekspor selama tahun 2006 hingga tahun 2007.
“Data-data inilah nanti yang perlu dibandingkan dengan nilai
transfer yang diperoleh dari pembeli di luar negeri,” katanya.

Sudhono menambahkan kasus transfer pricing yang menyeret nama PT


Adaro tersebut merupakan modus baru yang terjadi dalam dunia
ekspor-impor pertambangan di Indonesia. Tujuannya menghindar dari
kewajiban membayar royalti maupun pajak dari pemerintah.
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Intelijen Kejagung Wisnu
Subroto
kepada SH, secara terpisah, mengatakan belum ada rencana
investigasi
ke luar negeri sebagaimana disebutkan oleh Sudhono. Wisnu
mengatakan
pihaknya saat ini telah memiliki data pembanding dari PT Adaro,
selain data dari Departemen ESDM. Dari ke dua data tersebut, sejauh
ini pihaknya menurut Jamintel masih dipelajari adanya perbedaaan
nilai dalam proses penjualan batu bara.

“Sejauh ini kita belum menemukan adanya kejanggalan. Data dari ESDM
dan PT Adaro klop dan tidak ada perbedaaan,” kata Wisnu, ketika
dihubungi (15/1).

Sebelumnya, Komisi VII DPR juga meminta pemerintah menindak tegas


praktik transfer pricing tersebut. Praktik ini dilakukan dengan
tujuan menghindari royalti yang mencapai 13,5 persen dan pajak dari
produksi batu baranya. Wakil Ketua Komisi VII DPR Sony Keraf mendesak
pemerintah segera mengusut keterlibatan perusahaan tambang yang
melakukan praktik transfer pricing karena merugikan negara.
“Kalau
praktik yang dilakukan itu terbukti, negara mengalami kerugian
tidak hanya dari pajak, tapi juga royalti yang ditetapkan 13,5
persen dari total produksi mereka,” katanya.

Modus yang dilakukan dalam praktik ini adalah menjual batu bara
ke
perusahaan terafiliasi di luar negeri dengan harga murah.
Setelah
itu, perusahaan terafiliasi tersebut menjual kembali ke negara
lain
dengan harga pasar. Akibat transfer pricing yang terjadi pada
2005-2006 lalu, ada sekitar Rp 9 triliun dari hasil penjualan yang
disembunyikan. Kerugian negara terkait pajak dan royalti
diperkirakan mencapai Rp 4-5 triliun.(rafael sebayang)

20/02/2008 - 23:50

Usut Tuntas Kasus Adaro!


Oki Baren, M Husni Nanang, & Ahmad Munjin

(Istimewa)
INILAH.COM, Jakarta �" Desakan mengusut tuntas kasus dugaan praktik
manipulasi harga (transfer pricing) penjualan batu bara yang dilakukan PT Adaro
Indonesia makin kuat. Praktik itu telah menimbulkan kerugian negara. Padahal,
pemerintah tengah gencar menggenjot penerimaan negara.
Ketua Program Studi Administrasi Perpajakan Universitas Indonesia, Dr Haula Rosdiana,
mengatakan pemerintah harus melakukan penelusuran terhadap dugaan bentuk
penyimpangan seperti yang dilakukan Adaro.
Kasus transfer pricing tersebut merupakan implikasi kelemahan dalam ketentuan sistem
perpajakan nasional. Terbukti dari belum adanya pedoman mengenai transfer pricing atau
bisa juga diindikasikan tax avoidance.
“Dalam kasus seperti ini, bukan lagi konteks tax avoidance (menghindari pajak), tapi
ranahnya murni penyelundupan. Kalau praktik ini terus dibiarkan, kasihan negara yang
akhirnya tidak dapat apa-apa,” ungkap perempuan pertama yang meraih gelar doktor bidang
perpajakan itu, kepada INILAH.COM, Rabu (20/2), di Jakarta.
Sementara itu, Dirjen Pajak Darmin Nasution, usai rapat dengar pendapat di Komisi XI DPR,
Rabu (20/2), menyebutkan sebenarnya penelusuran tindak pidana mengemplang pajak di
industri batu bara oleh PT Adaro sudah tuntas.
Artinya, sudah ada keputusan final untuk kasus tersebut. Modus melarikan diri dari jeratan
pajak bervariasi. Mulai dari melakukan transaksi fiktif ke anak perusahaan, pinjam dari pasar
internasional, bahkan melalui fund manager.
“Ada modus yang lebih complicated. Penjelasannya sangat mudah. Namun bagaimana
pembuktian melalui dokumen, itu yang sangat susah,” ujarnya.
Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Marwoto Mitrohardjono,
yang diwawancarai terpisah, menekankan optimalisasi penerimaan pajak dalam 2008 ini
harus dilakukan melalui penegakan aturan hukum (law enforcement). Terutama bagi wajib
pajak yang terbukti tersangkut kasus pidana.
“Karena menyangkut tindak pidana fiskal, kami menyarankan kasus hukumnya diproses
secepat-cepatnya dan secermat-cermatnya. Dalam arti didukung dan dilengkapi data-data
yang komplit agar tidak kalah di pengadilan,” tegas Marwoto.
Haula menyoroti kelemahan aturan perpajakan yang menimbulkan banyak celah sehingga
harus dibenahi. Berdasarkan pasal 18 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan, mencantumkan mekanisme anti tax avoidance. Hanya saja, modus
operandi pengemplang pajak itu makin canggih.
“Kemudian bergulir wacana agar dibuat semacam general accepted tax avoidance. Intinya,
harus ada sebuah pedoman yang mana yang bisa dikategorikan sebagai tax avoidance, dan
mana yang tergolong tax efficient. Sebab praktik transfer pricing sudah berkembang sangat
canggih dan makin berani,” tandasnya.
Sebelumnya, tuntutan penuntasan kasus dugaan manipulasi harga batu bara oleh Adaro juga
disuarakan Anggota Komisi VII DPR, Alvin Lie. Menurutnya, ini bertujuan menjaga iklim
investasi di sektor pertambangan.
Upaya pembuktian terhadap indikasi manipulasi harga itu memang sangat sukar. Permainan
itu tidak akan dapat dibuktikan apabila hanya ditelisik dari mekanisme audit akuntansi biasa
yang dilakukan setiap tahun oleh perusahaan yang bersangkutan. Untuk itu, dalam upaya
penelusurannya butuh mekanisme audit investigasi.
Praktik manipulasi harga muncul seiring melambungnya harga jual batu bara di pasar
internasional. Tindak pidana itu ditengarai biasa dilakukan perusahaan pertambangan
nasional melalui perusahaan terafiliasi di Singapura guna dilempar ke pasar dunia.
Kasus PT Adaro mencuat seiring laporan masyarakat ke Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral, akhir November silam. Dari laporan itu, Adaro diduga menjual batu bara di
bawah standar harga internasional dengan rata-rata US$ 26,3 per ton selama 2005-2006.
Penjualannya dilakukan Adaro dengan perusahaan afiliasinya yang bermarkas di Singapura,
Coaltrade Service International Ltd. Akibat praktik manipulasi harga itu diperkirakan negara
merugi sedikitnya Rp 10 triliun.
Ironisnya, hasil penyelidikan tim Kejaksaan Agung menyimpulkan tidak ditemukan bukti
pelanggaran dalam kasus dugaan manipulasi harga batu bara oleh Adaro. Jaksa Agung Muda
Intelijen, Whisnu Subroto, beberapa waktu lalu, mengutarakan Adaro telah melunasi semua
kewajiban dalam ekspor batu bara sejak 2001 hingga sekarang.
Kewajiban itu antara lain pembayaran pajak, royalti, kuota tonase ekspor, hingga penetapan
calon pembeli, sudah mengikuti aturan baku.
Dalam penyelidikan tersebut, Kejakgung tidak bekerja sendiri. Pengusutan kasus yang
dimulai awal Januari itu juga melibatkan Departemen ESDM, Ditjen Pajak, serta Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Hak Angket 'Transfer Pricing' PT Adaro Ditolak


KIRIM EMAIL KE TEMAN

Informasikan ke teman-teman Anda mengenai berita di bawah melalui email.


Top of Form
Nama Anda
Alamat Email Anda

Kirim Ke

Nama

Email
kirim copy ke email saya

new s true Kirim

Bottom of Form
Top of Form
KOMENTAR PEMBACA

Berikan komentar Anda untuk berita di bawah.


Komentar akan ditampilkan di halaman ini, diharapkan sopan dan bertanggung
jawab.

Nama Anda

Email Anda

Komentar

KapanLagi.com berhak menghapus komentar yang tidak layak ditampilkan

234229 Hak%20Angket%

Bottom of Form
Top of Form
KOMENTAR FANS
Anda fans ? Berikan komentar Anda. Komentar akan ditampilkan di halaman
biografi , diharapkan sopan dan bertanggung jawab.

Nama Anda

Email Anda

Pesan

KapanLagi.com berhak menghapus komentar yang tidak layak ditampilkan

Bottom of Form
NEWSLETTER KAPANLAGI.COM

Dapatkan berita terbaru di email Anda setiap hari.

Top of Form
Nama:

Email:
1
Kategori berita yang diinginkan:

Selebriti

Film

Musik

Televisi

Hollywood

Bollywood

Asian Star

Sinetron

Bola Internasional

Bola Nasional

Seleb-OR

Olahraga Lain-lain

Hukum-Kriminal

Kasus Narkoba

Politik Nasional
Politik Internasional

Ekonomi Nasional

Ekonomi Internasional

Daftar

Bottom of Form
Selasa, 17 Juni 2008 18:35

BERI KOMENTAR

CETAK BERITA INI

KIRIM KE TEMAN

Ikuti Kuis Berhadiah, King Vs Queen of Pop

Kapanlagi.com - Usul 34 Anggota DPR RI mengenai hak angket terhadap


dugaan "transfer pricing" yang dilakukan PT Adaro Indonesia akhirnya kandas
setelah sembilan dari 10 fraksi menolak usul tersebut.

Dalam Rapat Paripurna DPR RI di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa (17/6) yang dipimpin
Ketua DPR Agung Laksono, hanya Fraksi PAN yang mendukung hak angket tersebut.
Dengan demikian, usul hak angket tersebut tidak dapat dilanjutkan.
Berdasarkan pandangan fraksi-fraksi yang sebagian besar menolak hak angket, Agung
Laksono menyatakan, usul itu tidak dapat diproses lebih lanjut melalui hak angket oleh DPR
RI.
Pengusul hak angket ini, Alvin Lie sebelum persidangan telah memperkirakan bahwa usulan
yang telah digalang bersama 33 anggota DPR lainnya akan kandas. "Saya perkirakan akan
kandas karena pimpinan fraksi tidak memberi dukungan," katanya.
Anggota Fraksi PAN DPR RI ini mengemukakan, usulan menggunakan hak angket
disampaikan untuk mengungkap kerugian negara akibat dugaan "transfer pricing" yang
dilakukan PT Adaro. Data yang diterima pengusul menyebutkan dugaan akibat "transfer
pricing" yang dilakukan PT Adaro merugikan negara Rp400 miliar/tahun.
Mengenai hak angket yang hanya difokuskan kepada satu perusahaan, Alvin menyebutkan,
tidak terkait dengan siapapun, termasuk dengan perusahaan yang berkepentingan terhadap
kasus PT Adaro.
Alvin mengemukakan, data yang dimilikinya hanya menyangkut PT Adaro, sehingga usul
hak angket ini pun baru menyangkut satu perusahaan. "Yang lain belum ada data yang kita
terima," katanya.
Semula beredar informasi bahwa Fraksi PKB mendukung penggunaan hak angket "transfer
pricing" PT Adaro. Namun dalam pandangan akhirnya, Juru Bicara FKB DPR Muhammad
Zubair menyatakan, pihaknya menolak usul 34 anggota DPR tersebut.
"Terkait dengan dugaan `transfer pricing` yang dilakukan oleh PT. Adaro Indonesia yang
menimbulkan kerugian negara, hal ini perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh
dari kita semua," katanya. Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah perlu terus dilakukan
dan ditingkatkan secara tuntas, terukur dan transparan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
FKB DPR berharap, ketika DPR memutuskan untuk melakukan penyelidikan kasus ini,
substansi masalahnya harus diperjelas terlebih dahulu, khususnya hal-hal yang nantinya
menjadi titik bagi DPR dalam melakukan penyelidikan kasus ini.
Dalam penilaian FKB, latar belakang pengusulan penggunaan hak angket ini substansi masih
kabur dan belum memuat substansi yang lebih baru.
"Jika itu yang menjadi dasar. Kami takutkan nantinya kita tidak mendapatkan temuan dan
jawaban yang cukup dan bisa dijadikan pijakan dan dasar dalam penyelidikan dan
menuntaskan kasus ini," katanya.
Karena itu, terkait dengan usulan penggunaan hak angket terhadap `transfer pricing` PT
Adaro Indonesia, FKB DPR RI menyatakan sikap menolak penggunaan hak angket DPR RI
terkait dengan masalah tersebut.

"Kami melihat bahwa masalah `transfer pricing` ini lebih


bersifat `corporate` (perusahaan). Karena itu tanpa
menegasikan arti dan strategisnya masalah ini, kami
bersikap untuk lebih mendahulukan memperjuangkan
penggunaan hak angket lainnya, seperti kenaikan harga
bahan pokok dan kenaikan BBM yang lebih menyentuh
secara langsung kepentingan mMeskipun terjegal kasus
transfer pricing, saham Adaro tetap oversubscribed

yulyanto — June 17, 2008 / 10:17 am


Topik: Berita, IPO, Saham
Meskipun khawatir dijegal kasus transfer pricing, namun minat pembeli pada saham PT
Adaro Energy Tbk (Adaro Energy) pada awal pemesanan saham perdana dalam proses
bookbuilding IPO PT Adaro Energy Tbk sejak tanggal 26 Mei 2008 sampai dengan 5 Juni
2008 telah mengalami kelebihan permintaan (oversubscribed) hingga 6,57 kalinya.
Pada penawaran saham tersebut perseroan menjual 11.139 miliar lembar saham yang setara
dengan 34,83% dari total saham yang dimiliki Perseroan dengan harga penawaran perdana
saham Rp. 1.100 per lembar sahamnya, jika mampu terserap dengan baik artinya perusahaan
akan meraih dana segar sekitar Rp. 12,3 triliun.
Dari data yang terkumpul, hampir 81,3% pembeli berasal dari investor asing sedangkan
sisanya yang sebesar 18,7% berasal dari investor lokal yang didominasi oleh investor
institusi.
Sementara itu pernyataan efektif dari BAPEPAM-LK diharapkan akan diperoleh pada
tanggal 20 Juni 2008 mendatang. Sehingga masa penawaran akan dapat dilakukan pada
tanggal 24 hingga 26 Juni 2008, dan diharapkan dapat listing pada Bursa Efek Indonesia
(BEI) pada awal Juli 2008 (www.mediaindonesia.com).
asyarakat banyak," katanya. (kpl/rif)

ADARO : SOAL TRANSFER PRICING KAMI SUDAH


SANGAT TERBUKA
Posted on Mei 26, 2008 by babah

Direktur Utama (Dirut) PT Adaro Energy Tbk, Boy Garibaldi


Thohir menyatakan, kasus “transfer pricing” yang dipersoalkan kalangan DPR,
tidak akan mengganggu proses “go public” perseroan dan optimistis akan mendapat
pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-
LK).
“Kami sudah sangat terbuka untuk menjelaskan mengenai kasus `trasnfer pricing`
kepada pihak perpajakan mulai dari Dirjen Pajak, Kanwil Pajak sampai tingkatan
yang paling bawah. Selain itu juga kami sudah melakukan mini ekspose kepada Bursa
Efek Indonesia (BEI) maupun Bapepam,” kata Dirut Adaro Boy Garibaldi Thohir di
Jakarta, Senin.
Boy mengatakan kasus “transfer pricing” yang diduga merugikan pajak negara ini
pertama kali muncul pada Oktober 2007. Kasus ini sempat ditangani Kejaksaan
Agung (Kejagung) dan akhirnya Kejagung menutup kasus tersebut pada awal 2008.
Dalam prospektusnya, Adaro menjelaskan, masalah pajak mereka telah selesai.
Seperti halnya Kejagung yang telah menutup kasus tersebut pada awal tahun ini
karena kurangnya bukti.
Dalam paparan publik Adaro yang berlangsung Senin (26/5), beberapa investor
juga sempat mengungkapkan kekhawatirannya mengenai kasus “transfer pricing”.
Namun Boy menjelaskan, hal itu sudah dijelaskan secara detil kepada pihak
pajak, BEI dan Bapepam. “Lagi pula kasus `transfer pricing` ini merupakan
domain dari Dirjen Pajak,” katanya. Dia menambahkan, dalam proses IPO ini
perseroan juga telah memberikan penjelasan secara detil kepada beberapa pihak
yang menunjang dan membantu proses IPO seperti konsultan hukum, akuntan,
penjamin emisi dan lainnya.
“Mereka telah memeriksa helai-demi helai keterangan yang kami berikan secara
detl itu,” tambahnya. Kasus “transfer pricing” Adaro yang beberapa waktu lalu
juga sempat diberitakan sejumlah media massa diduga berawal dari upaya perusahaan
itu untuk menghindari pajak penghasilan yang besarnya 45 persen.
Melalui perusahaan afiliasinya di Singapura yang ternyata juga dimiliki
pemegang saham yang sama dengan Adaro, Coaltrade, perusahaan itu hanya
terkena pajak 10 persen.
Sumber :IQP

[Selasa, 27 May 2008]


Sebanyak 34 anggota DPR mengusulkan penggunaan hak angket untuk menyelidiki transfer
pricing yang dilakukan PT Adaro Indonesia. Kalangan parlemen menganggap perusahaan ini
menjual batubara di bawah harga pasar kepada perusahaan asal Singapura, Coaltrade Services
International Pte Ltd.
Usulan itu mereka sampaikan kepada wakil ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno, di
ruang kerjanya, Selasa (27/5). "Hak angket ini salah satunya bertujuan untuk
mengetahui berapa kerugian negara," kata Alvin Lie, dari FPAN. Tujuan lainnya adalah
untuk mengungkap tingkat keseriusan instansi-instansi pemerintah yang bertanggung
jawab mengusut kasus ini. Selain itu, hak angket ini bertujuan menguak kelemahan
produk hukum dan sistem administasi yang mengakibatkan terjadinya transfer pricing
selama bertahun-tahun.

Alvin menaksir kerugian yang ditanggung negara dalam kasus ini triliunan rupiah. "Ini
akibat hilangnya potensi pajak penghasilan yang mestinya dipungut negara," jelasnya.
Negara tidak memperoleh Pajak Penghasilan (PPh) 30% dan royalti 13,5%. Padahal,
untuk setiap AS$10 selisih harga dalam praktik transfer pricing, tiap tahun kerugian
negara mencapai Rp400 miliar.

Lebih lanjut? Begini latar belakangnya �berdasarkan keterangan inisiator hak angket.
Hingga kini Direktorat Jenderal Pajak dan Kejaksaan Agung belum menunjukkan
kesungguhannya untuk mengungkap kasus ini. Koordinasi antar instansi juga
bermasalah. "Kalau urusan tambang, itu wewenangnya Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral. Kalau perdagangannya menjadi urusan Departemen Perdagangan
sedangkan pajak urusan Departmen Keuangan. Seharusnya ada koordinasi," tandas
Alvin yang dari Komisi VII �bidang energi, pertambangan, dan lingkungan.

Di sisi lain, Adaro telah mengajukan penjualan sahamnya kepada Bapepam-LK agar
masyarakat bisa membelinya melalui Bursa Efek Indonesia �dulu Bursa Efek Jakarta.
Belum lama ini Adaro memasukkan prospektus penawaran saham perdana (initial public
offerings -IPO) ke Bapepam-LK. "Kalau sudah terlanjur dijual kepada publik, kemudian
terbukti ada praktek transfer pricing, masyarakat akan dirugikan serta kredibilitas
saham-saham Indonesia akan terpukul," Alvin menjelaskan.

Tujuh tahun silam, Adaro melakukan perjanjian dengan Coaltrade Services International
Pte Ltd, sebuah perusahaan kertas (paper company) di Singapura. Perjanjian itu
menyatakan bahwa Adaro menjual batubara per tahun dengan harga tertentu, di bawah
harga yang berlaku di pasar. Coaltrade lalu menjualnya dengan harga internasional.
Yang dijual bukan sembarang batubara, melainkan batubara bermutu tinggi.

Berdasarkan perjanjian baru yang berlaku sejak Oktober 2005, Coaltrade tiap tahun
berhak membeli hingga 10 juta ton batubara dari Adaro dengan harga maksimum AS$32
per ton. Anehnya, harga batubara di akhir tahun 2007 telah menembus angka AS$95
per ton.

Ternyata Coatrade tak sekedar menjalin kerjasama dengan Adaro. Pemegang saham
Adaro adalah pemegang saham Coaltrade. Dengan begitu, pemegang kebijakan di
Coaltrade dan Adaro setali tiga uang. Kondisi ini menimbulkan negosiasi kontrak tidak
dilakukan secara arms length. Kontrak itu lebih menguntungkan pihak Coaltade.
"Tujuannya untuk menghindari pajak di Indonesia," ujar Alvin. Singapura memang
memungut pajak lebih kecil ketimbang Indonesia. Singapura hanya menarik 10% PPh
Badan, sedangkan Indonesia menarik 30 %. Selain itu, Indonesia juga mengenakan
royalti batubara sebesar 13,5% dari nilai yang dijual.

"Melalui Coaltrade, pemegang saham Adaro melakukan transfer pricing sehingga laba
dari penjualan batubara yang sedianya dinikmati Adaro, kini beralih ke Coaltrade,"
ungkap Alvin. Andai penjualan batubara dilakukan Adaro langsung kepada pembeli
sebenarnya, nilai laba Adaro lebih kecil dari nilai semestinya.

Di samping itu, pemegang saham Adaro juga berusaha membawa kabur dananya ke
Singapura. Pada 2006 lalu, Coaltrade berhasil mengucurkan dividen hingga 100% dari
laba atau mencapai USD35 juta.

Alvin menambahkan, jika diminta, DPR akan memberikan data-data kasus transfer
pricing ini kepada Bapepam-LK selaku lembaga pengawas. Namun DPR tidak akan
menuding adanya pejabat tertentu yang kemungkinan terlibat dalam kasus ini.

Tetap fokus
Usul penggunaan hak angket dalam kasus ini tak seangker penggunaan hak serupa
dalam kasus BLBI. DPR kini juga sibuk menggelar interpelasi dalam kasus kenaikan
harga barang pokok pasca pemerintah melonjakkan harga BBM. Karena itu, tidak
mengherankan jika penandatangan hak angket kasus Adaro ini cuma 34 anggota Dewan.

"Tapi ini dari seluruh fraksi," kata Ade Daud Nasution, dari FPBR. Ade juga satu komisi
dengan Alvin. Ia berharap usulan ini bisa diterima di rapat paripurna. Jika memang
diterima dan penyelidikan benar-benar dilakukan DPR, hasilnya nanti akan berupa
rekomendasi-rekomendasi.

Wakil Ketua DPR Sutardjo mengatakan, usulan ini akan dibawa ke rapat pleno pimpinan
DPR. Selanjutnya Badan Musyawarah akan menentukan waktu yang pas untuk dibahas
di rapat paripurna. "Tetap bisa fokus kok meskipun sudah ada hak angket dan
interpelasi," ujarnya
Kontroversi Transfer Pricing dan Pajak
Senin, 10 Agustus 2009 23:00 WIB

(managementfile - Tax) - Transfer pricing merupakan salah satu aktivitas yang selalu
dilakukan perusahaan multinasional dalam beroperasi. Hanya saja, transfer pricing ini
bermasalah, karena seringkali disalahgunakan untuk menghindari pajak. Bagaimana praktik
transfer pricing ini dan kaitannya dengan pajak?

Praktik transfer pricing menurut aturan OECD terdiri dari metode berikut yang disebut
metode transaksi tradisional, yakni:
· Comparable Uncontrolled Price method (CUP), harga transfer barang/jasa antara pihak
dengan hubungan istimewa, berdasarkan harga pasar barang/jasa yang sejenis
· Resale Price Method (RPM), yakni metode menentukan harga transfer dengan harga jual
kepada pihak yang tidak ada hubungan istimewa dikurangi dengan gross margin yang sesuai
· Cost Plus Method (CP method or C+), yakni harga transfer dihitung dengan sejumlah harga
pokok ditambah dengan gross margin

Selain ketiga itu, ada juga profit split method dan transactional net margin method, namun
ketiga metode sebelumnya lebih digunakan secara umum.

Intinya, transfer pricing mengacu kepada praktik harga yang terjadi di dalam satu organisasi.
Misalnya, penjualan yang terjadi antar divisi, atau barang dari induk perusahaan yang dijual
kepada anak perusahaan. Sehingga, mekanisme harga yang terjadi berbeda dengan transaksi
dengan pihak ketiga, karena akan menentukan alokasi laba yang terjadi dalam perusahaan.

Masalah utama dari transfer pricing adalah, kebijakan ini seringkali dimanfaatkan perusahaan
multinasional untuk mengurangi laba kena pajak di suatu negara. Jadi, perusahaan
multinasional mentransfer harga ke perusahaan lain afiliasinya, yang terletak di negara tax
haven. Sehingga, masalah ini juga menjadi salah satu perhatian dari regulator di seluruh
dunia.

Di Indonesia sendiri, baru-baru ini muncul kasus hangat dari PT Adaro Indonesia yang terkait
dengan praktik transfer pricing. Adaro dituduh menjual batubara jauh di bawah harga pasar
kepada perusahaan afiliasinya di Singapura, yakni Coaltrade Services International Pte, Ltd.
Harga jual yang ditetapkan yakni sebesar $25 pada tahun 2005 dan $29 pada tahun 2006,
padahal pada akhir 2007 harga batubara menembus harga $95 per ton.

Coaltrade ini semacam perusahaan boneka, karena struktur kepemilikannya pun sama dengan
Adaro. Setelah membeli dengan harga murah, kemudian Coaltrade menjual batubara tersebut
dengan harga pasar, dan mendulang untung besar. Sehingga, dengan transfer pricing tersebut
grup mereka untung, karena Coaltrade hanya terkena pajak penghasilan Singapura sebesar
10%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia yakni 45%. Praktik-praktik seperti
inilah yang diperkirakan juga marak terjadi pada perusahaan multinasional lainnya, yakni
melakukan transfer pricing demi menghindari pajak, dengan memanfaatkan negara tax haven.

Menurut analisa, transaksi yang dilakukan Adaro jelas menyalahi ketentuan transfer pricing,
dimana:
- Antara keduanya terdapat hubungan istimewa. Menurut UU PPh Pasal 18 ayat 4, hubungan
istimewa dianggap ada dalam hal: hubungan antara dua wajib pajak yang salah satunya
mempunyai penyertaan pada yang lain paling rendah 25%. Dalam kasus ini, struktur
kepemilikan kedua perusahaan bahkan sama.

- Terjadi ketidakwajaran dalam mekanisme harga, dimana harga yang diberikan jauh di bawah
harga pasar. Sehingga, ini menyalahi prinsip yang ditetapkan OECD, yakni arm's length profit
yakni kewajaran. Kewajaran disini maksudnya adalah sesuai dengan harga wajar yang terjadi
seandainya transaksi dengan pihak ketiga.

Untuk menghindari masalah-masalah seperti ini di kemudian hari, masih banyak hal yang
perlu dibenahi pemerintah, karena UU Transfer Pricing saja masih belum cukup, karena
belum terlalu spesifik.

Pemerintah rencananya akan menerbitkan peraturan berisi daftar tax haven yang juga dapat
menjelaskan perlakuan pajak yang akan diterapkan atas transaksi yang melibatkan tax haven
yang ditengarai merugikan Indonesia karena dipakai untuk menghindari pajak.

Selain itu, perlunya aparatur-aparatur pajak yang kompeten dalam menganalisa transfer
pricing yang terjadi pada perusahaan multinasional. Pemerintah rencananya akan menambah
sebanyak 6.000 auditor pajak untuk mencegah transfer pricing ke negara-negara tax heaven.
Sehingga, ke depannya potensi penerimaan pajak di Indonesia bisa lebih optimal.

Rinella Putri/RP/mgf

You might also like