Professional Documents
Culture Documents
"Kami sudah sangat terbuka untuk menjelaskan mengenai kasus trasnfer pricing kepada
pihak perpajakan mulai dari Dirjen Pajak, Kanwil Pajak sampai tingkatan yang paling bawah.
Selain itu juga kami sudah melakukan mini ekspose kepada Bursa Efek Indonesia (BEI)
maupun Bapepam," kata Dirut Adaro Boy Garibaldi Thohir di Jakarta, Senin.
Boy mengatakan kasus transfer pricing yang diduga merugikan pajak negara ini pertama kali
muncul pada Oktober 2007. Kasus ini sempat ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) dan
akhirnya Kejagung menutup kasus tersebut pada awal 2008.
Dalam prospektusnya, Adaro menjelaskan, masalah pajak mereka telah selesai. Seperti
halnya Kejagung yang telah menutup kasus tersebut pada awal tahun ini karena kurangnya
bukti.
Dalam paparan publik Adaro yang berlangsung Senin (26/5), beberapa investor juga sempat
mengungkapkan kekhawatirannya mengenai kasus transfer pricing.
Namun Boy menjelaskan, hal itu sudah dijelaskan secara detil kepada pihak pajak, BEI dan
Bapepam. "Lagi pula kasus transfer pricing ini merupakan domain dari Dirjen Pajak,"
katanya.
Dia mengemukakan, dalam proses IPO ini perseroan juga telah memberikan penjelasan
secara detil kepada beberapa pihak yang menunjang dan membantu proses IPO seperti
konsultan hukum, akuntan, penjamin emisi dan lainnya.
"Mereka telah memeriksa helai-demi helai keterangan yang kami berikan secara detl itu,"
ujarnya.
Kasus transfer pricing Adaro yang beberapa waktu lalu juga sempat diberitakan sejumlah
media massa diduga berawal dari upaya perusahaan itu untuk menghindari pajak penghasilan
yang besarnya 45 persen.
Melalui perusahaan afiliasinya di Singapura yang ternyata juga dimiliki pemegang saham
yang sama dengan Adaro, Coaltrade, perusahaan itu hanya terkena pajak 10 persen.
Selain tentunya, Coaltrade mendapatkan keuntungan berlipat ganda karena batu bara yang
dibeli dari Adaro dipatok di angka 32 dolar AS per ton. Padahal, di akhir 2007, harga batu
bara telah menembus 95 dolar AS per ton. (*)
Sukanto vs Edwin
Di bagian lain, sumber SH menyebutkan mencuatnya kasus ini ke permukaan merupakan kelanjutan
pertarungan antara konglomerat Sukanto Tanoto dan Edwin Soeradjaya Cs. Dari data yang diperoleh
SH ternyata PT Adaro Indonesia-Coaltrade Services International Pte. Ltd Singapura diduga telah
melakukan penggelapan pajak dengan cara transfer pricing.
Melalui skema kepemilikan saham yang sangat rumit dan kompleks, ujung-ujungnya pemegang
saham pengendali di PT Adaro Indonesia dan Coaltrade Services International Ltd Singapura adalah
Edwin Soeradjaya dan teman-temanya seperti Sandiaga Uno, Subianto, TP Rachmat dan Garibaldi
Thohir.
Kedua perusahaan yang terafiliasi itu dengan cerdik melakukan rekayasa keuangan dengan
memanfaatkan kelemahan regulasi di Indonesia yang masih carut-marut. Secara sederhana, model
tindakan kriminal yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan perusahaan-perusahaan “boneka” di
Singapura dan negara-negara, seperti Mauritius dan Virgin Island, tempat favorit bagi konglomerat
Indonesia melakukan tindak pencucian uang (money laundering).
Kedua perusahaan itu melakukan manipulasi penggelapan pajak dengan transaksi jual beli batu bara
secara tidak wajar (tidak sesuai dengan harga batubara pasaran internasional) dengan
berargumentasi pada fluktuasi harga komoditas.
Jika mengacu pada data yang ada, jelas-jelas negara dirugikan dalam kejahatan ekonomi tingkat
tinggi ini, tetapi untuk menghitung secara tepat, perhitungannya cukup rumit dari Direktorat Jenderal
Pajak.
(novan dwi putranto/rafael sebayang/sigit wibowo/ant)
Copyright © Sinar Harapan 2003
JAKARTA -- Gejolak dan tudingan adanya indikasi manipulasi harga PT Adaro dibantah
keras oleh Kejaksaan Agung. Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM Intel), Whisnu Subroto,
mengatakan, kejaksaan tidak menemukan indikasi manipulasi harga (transfer pricing) ekspor
batu bara yang dilakukan PT Adaro. Karenanya, kejaksaan menghentikan penyelidikan kasus
tersebut. ''Ngapain kami ngobrak-abrik perusahaan orang kalau nggak ada indikasinya,'' kata
Whisnu, kepada wartawan, di gedung Kejaksaan Agung (Kejakgung), Jakarta, Kamis (29/5).
Menurut Whisnu, Kejakgung tidak bekerja sendiri dalam menyelidiki kasus Adaro. Instansi
seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan, juga
ikut mengaudit proses transaksi ekspor batu bara yang dilakukan PT Adaro.
Hasil penyelidikan, tambah Whisnu, menyimpulkan PT Adaro telah melunasi semua
kewajiban dalam proses ekspor batu bara sejak 2001 hingga sekarang. Whisnu menyebutkan,
kewajiban tersebut, antara lain, pembayaran pajak, royalti, jumlah tonase ekspor, hingga
penentuan siapa pembelinya telah dilunasi sesuai ketentuan. ''Justru, dia (Adaro) lebih tinggi
jualnya,'' tambah Whisnu.
Direktur Utama (Dirut) PT Adaro Energy Tbk, Boy Garibaldi Thohir menyatakan, kasus
transfer pricing yang dipersoalkan kalangan DPR, sebenarnya muncul pada Oktober 2007.
Kasus ini sempat ditangani kejaksaan dan akhirnya ditutup pada awal 2008. Dalam
prospektusnya, Adaro menjelaskan, masalah pajak mereka telah selesai. Seperti halnya
Kejakgung yang telah menutup kasus tersebut pada awal tahun ini karena kurangnya bukti.
Boy juga menjelaskan, hal itu sudah dijelaskan secara detail kepada pihak pajak, BEI, dan
Bapepam. ''Lagi pula kasus transfer pricing ini merupakan domain dari Dirjen Pajak,"
katanya. Dugaan kasus manipulasi harga batu bara yang melibatkan PT Adaro mencuat ke
permukaan setelah Departemen ESDM bersama Ditjen Pajak melaporkan dugaan tersebut ke
Kejakgung akhir tahun lalu. Kedua instansi tersebut melaporkan kontrak penjualan PT Adaro
kepada anak perusahaannya yang berdomisili di Singapura (Coaltrade Service International
Ltd) pada 2005 dan 2006 tidak berubah. dri/one
Kasusnya masih ditangani KEJAKGUNG, mudah2an tidak terbukti....
Rgds,
Dok
“Sejauh ini kita belum menemukan adanya kejanggalan. Data dari ESDM
dan PT Adaro klop dan tidak ada perbedaaan,” kata Wisnu, ketika
dihubungi (15/1).
Modus yang dilakukan dalam praktik ini adalah menjual batu bara
ke
perusahaan terafiliasi di luar negeri dengan harga murah.
Setelah
itu, perusahaan terafiliasi tersebut menjual kembali ke negara
lain
dengan harga pasar. Akibat transfer pricing yang terjadi pada
2005-2006 lalu, ada sekitar Rp 9 triliun dari hasil penjualan yang
disembunyikan. Kerugian negara terkait pajak dan royalti
diperkirakan mencapai Rp 4-5 triliun.(rafael sebayang)
20/02/2008 - 23:50
(Istimewa)
INILAH.COM, Jakarta �" Desakan mengusut tuntas kasus dugaan praktik
manipulasi harga (transfer pricing) penjualan batu bara yang dilakukan PT Adaro
Indonesia makin kuat. Praktik itu telah menimbulkan kerugian negara. Padahal,
pemerintah tengah gencar menggenjot penerimaan negara.
Ketua Program Studi Administrasi Perpajakan Universitas Indonesia, Dr Haula Rosdiana,
mengatakan pemerintah harus melakukan penelusuran terhadap dugaan bentuk
penyimpangan seperti yang dilakukan Adaro.
Kasus transfer pricing tersebut merupakan implikasi kelemahan dalam ketentuan sistem
perpajakan nasional. Terbukti dari belum adanya pedoman mengenai transfer pricing atau
bisa juga diindikasikan tax avoidance.
“Dalam kasus seperti ini, bukan lagi konteks tax avoidance (menghindari pajak), tapi
ranahnya murni penyelundupan. Kalau praktik ini terus dibiarkan, kasihan negara yang
akhirnya tidak dapat apa-apa,” ungkap perempuan pertama yang meraih gelar doktor bidang
perpajakan itu, kepada INILAH.COM, Rabu (20/2), di Jakarta.
Sementara itu, Dirjen Pajak Darmin Nasution, usai rapat dengar pendapat di Komisi XI DPR,
Rabu (20/2), menyebutkan sebenarnya penelusuran tindak pidana mengemplang pajak di
industri batu bara oleh PT Adaro sudah tuntas.
Artinya, sudah ada keputusan final untuk kasus tersebut. Modus melarikan diri dari jeratan
pajak bervariasi. Mulai dari melakukan transaksi fiktif ke anak perusahaan, pinjam dari pasar
internasional, bahkan melalui fund manager.
“Ada modus yang lebih complicated. Penjelasannya sangat mudah. Namun bagaimana
pembuktian melalui dokumen, itu yang sangat susah,” ujarnya.
Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Marwoto Mitrohardjono,
yang diwawancarai terpisah, menekankan optimalisasi penerimaan pajak dalam 2008 ini
harus dilakukan melalui penegakan aturan hukum (law enforcement). Terutama bagi wajib
pajak yang terbukti tersangkut kasus pidana.
“Karena menyangkut tindak pidana fiskal, kami menyarankan kasus hukumnya diproses
secepat-cepatnya dan secermat-cermatnya. Dalam arti didukung dan dilengkapi data-data
yang komplit agar tidak kalah di pengadilan,” tegas Marwoto.
Haula menyoroti kelemahan aturan perpajakan yang menimbulkan banyak celah sehingga
harus dibenahi. Berdasarkan pasal 18 UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan, mencantumkan mekanisme anti tax avoidance. Hanya saja, modus
operandi pengemplang pajak itu makin canggih.
“Kemudian bergulir wacana agar dibuat semacam general accepted tax avoidance. Intinya,
harus ada sebuah pedoman yang mana yang bisa dikategorikan sebagai tax avoidance, dan
mana yang tergolong tax efficient. Sebab praktik transfer pricing sudah berkembang sangat
canggih dan makin berani,” tandasnya.
Sebelumnya, tuntutan penuntasan kasus dugaan manipulasi harga batu bara oleh Adaro juga
disuarakan Anggota Komisi VII DPR, Alvin Lie. Menurutnya, ini bertujuan menjaga iklim
investasi di sektor pertambangan.
Upaya pembuktian terhadap indikasi manipulasi harga itu memang sangat sukar. Permainan
itu tidak akan dapat dibuktikan apabila hanya ditelisik dari mekanisme audit akuntansi biasa
yang dilakukan setiap tahun oleh perusahaan yang bersangkutan. Untuk itu, dalam upaya
penelusurannya butuh mekanisme audit investigasi.
Praktik manipulasi harga muncul seiring melambungnya harga jual batu bara di pasar
internasional. Tindak pidana itu ditengarai biasa dilakukan perusahaan pertambangan
nasional melalui perusahaan terafiliasi di Singapura guna dilempar ke pasar dunia.
Kasus PT Adaro mencuat seiring laporan masyarakat ke Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral, akhir November silam. Dari laporan itu, Adaro diduga menjual batu bara di
bawah standar harga internasional dengan rata-rata US$ 26,3 per ton selama 2005-2006.
Penjualannya dilakukan Adaro dengan perusahaan afiliasinya yang bermarkas di Singapura,
Coaltrade Service International Ltd. Akibat praktik manipulasi harga itu diperkirakan negara
merugi sedikitnya Rp 10 triliun.
Ironisnya, hasil penyelidikan tim Kejaksaan Agung menyimpulkan tidak ditemukan bukti
pelanggaran dalam kasus dugaan manipulasi harga batu bara oleh Adaro. Jaksa Agung Muda
Intelijen, Whisnu Subroto, beberapa waktu lalu, mengutarakan Adaro telah melunasi semua
kewajiban dalam ekspor batu bara sejak 2001 hingga sekarang.
Kewajiban itu antara lain pembayaran pajak, royalti, kuota tonase ekspor, hingga penetapan
calon pembeli, sudah mengikuti aturan baku.
Dalam penyelidikan tersebut, Kejakgung tidak bekerja sendiri. Pengusutan kasus yang
dimulai awal Januari itu juga melibatkan Departemen ESDM, Ditjen Pajak, serta Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kirim Ke
Nama
Email
kirim copy ke email saya
Bottom of Form
Top of Form
KOMENTAR PEMBACA
Nama Anda
Email Anda
Komentar
234229 Hak%20Angket%
Bottom of Form
Top of Form
KOMENTAR FANS
Anda fans ? Berikan komentar Anda. Komentar akan ditampilkan di halaman
biografi , diharapkan sopan dan bertanggung jawab.
Nama Anda
Email Anda
Pesan
Bottom of Form
NEWSLETTER KAPANLAGI.COM
Top of Form
Nama:
Email:
1
Kategori berita yang diinginkan:
Selebriti
Film
Musik
Televisi
Hollywood
Bollywood
Asian Star
Sinetron
Bola Internasional
Bola Nasional
Seleb-OR
Olahraga Lain-lain
Hukum-Kriminal
Kasus Narkoba
Politik Nasional
Politik Internasional
Ekonomi Nasional
Ekonomi Internasional
Daftar
Bottom of Form
Selasa, 17 Juni 2008 18:35
BERI KOMENTAR
KIRIM KE TEMAN
Dalam Rapat Paripurna DPR RI di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa (17/6) yang dipimpin
Ketua DPR Agung Laksono, hanya Fraksi PAN yang mendukung hak angket tersebut.
Dengan demikian, usul hak angket tersebut tidak dapat dilanjutkan.
Berdasarkan pandangan fraksi-fraksi yang sebagian besar menolak hak angket, Agung
Laksono menyatakan, usul itu tidak dapat diproses lebih lanjut melalui hak angket oleh DPR
RI.
Pengusul hak angket ini, Alvin Lie sebelum persidangan telah memperkirakan bahwa usulan
yang telah digalang bersama 33 anggota DPR lainnya akan kandas. "Saya perkirakan akan
kandas karena pimpinan fraksi tidak memberi dukungan," katanya.
Anggota Fraksi PAN DPR RI ini mengemukakan, usulan menggunakan hak angket
disampaikan untuk mengungkap kerugian negara akibat dugaan "transfer pricing" yang
dilakukan PT Adaro. Data yang diterima pengusul menyebutkan dugaan akibat "transfer
pricing" yang dilakukan PT Adaro merugikan negara Rp400 miliar/tahun.
Mengenai hak angket yang hanya difokuskan kepada satu perusahaan, Alvin menyebutkan,
tidak terkait dengan siapapun, termasuk dengan perusahaan yang berkepentingan terhadap
kasus PT Adaro.
Alvin mengemukakan, data yang dimilikinya hanya menyangkut PT Adaro, sehingga usul
hak angket ini pun baru menyangkut satu perusahaan. "Yang lain belum ada data yang kita
terima," katanya.
Semula beredar informasi bahwa Fraksi PKB mendukung penggunaan hak angket "transfer
pricing" PT Adaro. Namun dalam pandangan akhirnya, Juru Bicara FKB DPR Muhammad
Zubair menyatakan, pihaknya menolak usul 34 anggota DPR tersebut.
"Terkait dengan dugaan `transfer pricing` yang dilakukan oleh PT. Adaro Indonesia yang
menimbulkan kerugian negara, hal ini perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh
dari kita semua," katanya. Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah perlu terus dilakukan
dan ditingkatkan secara tuntas, terukur dan transparan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
FKB DPR berharap, ketika DPR memutuskan untuk melakukan penyelidikan kasus ini,
substansi masalahnya harus diperjelas terlebih dahulu, khususnya hal-hal yang nantinya
menjadi titik bagi DPR dalam melakukan penyelidikan kasus ini.
Dalam penilaian FKB, latar belakang pengusulan penggunaan hak angket ini substansi masih
kabur dan belum memuat substansi yang lebih baru.
"Jika itu yang menjadi dasar. Kami takutkan nantinya kita tidak mendapatkan temuan dan
jawaban yang cukup dan bisa dijadikan pijakan dan dasar dalam penyelidikan dan
menuntaskan kasus ini," katanya.
Karena itu, terkait dengan usulan penggunaan hak angket terhadap `transfer pricing` PT
Adaro Indonesia, FKB DPR RI menyatakan sikap menolak penggunaan hak angket DPR RI
terkait dengan masalah tersebut.
Alvin menaksir kerugian yang ditanggung negara dalam kasus ini triliunan rupiah. "Ini
akibat hilangnya potensi pajak penghasilan yang mestinya dipungut negara," jelasnya.
Negara tidak memperoleh Pajak Penghasilan (PPh) 30% dan royalti 13,5%. Padahal,
untuk setiap AS$10 selisih harga dalam praktik transfer pricing, tiap tahun kerugian
negara mencapai Rp400 miliar.
Lebih lanjut? Begini latar belakangnya �berdasarkan keterangan inisiator hak angket.
Hingga kini Direktorat Jenderal Pajak dan Kejaksaan Agung belum menunjukkan
kesungguhannya untuk mengungkap kasus ini. Koordinasi antar instansi juga
bermasalah. "Kalau urusan tambang, itu wewenangnya Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral. Kalau perdagangannya menjadi urusan Departemen Perdagangan
sedangkan pajak urusan Departmen Keuangan. Seharusnya ada koordinasi," tandas
Alvin yang dari Komisi VII �bidang energi, pertambangan, dan lingkungan.
Di sisi lain, Adaro telah mengajukan penjualan sahamnya kepada Bapepam-LK agar
masyarakat bisa membelinya melalui Bursa Efek Indonesia �dulu Bursa Efek Jakarta.
Belum lama ini Adaro memasukkan prospektus penawaran saham perdana (initial public
offerings -IPO) ke Bapepam-LK. "Kalau sudah terlanjur dijual kepada publik, kemudian
terbukti ada praktek transfer pricing, masyarakat akan dirugikan serta kredibilitas
saham-saham Indonesia akan terpukul," Alvin menjelaskan.
Tujuh tahun silam, Adaro melakukan perjanjian dengan Coaltrade Services International
Pte Ltd, sebuah perusahaan kertas (paper company) di Singapura. Perjanjian itu
menyatakan bahwa Adaro menjual batubara per tahun dengan harga tertentu, di bawah
harga yang berlaku di pasar. Coaltrade lalu menjualnya dengan harga internasional.
Yang dijual bukan sembarang batubara, melainkan batubara bermutu tinggi.
Berdasarkan perjanjian baru yang berlaku sejak Oktober 2005, Coaltrade tiap tahun
berhak membeli hingga 10 juta ton batubara dari Adaro dengan harga maksimum AS$32
per ton. Anehnya, harga batubara di akhir tahun 2007 telah menembus angka AS$95
per ton.
Ternyata Coatrade tak sekedar menjalin kerjasama dengan Adaro. Pemegang saham
Adaro adalah pemegang saham Coaltrade. Dengan begitu, pemegang kebijakan di
Coaltrade dan Adaro setali tiga uang. Kondisi ini menimbulkan negosiasi kontrak tidak
dilakukan secara arms length. Kontrak itu lebih menguntungkan pihak Coaltade.
"Tujuannya untuk menghindari pajak di Indonesia," ujar Alvin. Singapura memang
memungut pajak lebih kecil ketimbang Indonesia. Singapura hanya menarik 10% PPh
Badan, sedangkan Indonesia menarik 30 %. Selain itu, Indonesia juga mengenakan
royalti batubara sebesar 13,5% dari nilai yang dijual.
"Melalui Coaltrade, pemegang saham Adaro melakukan transfer pricing sehingga laba
dari penjualan batubara yang sedianya dinikmati Adaro, kini beralih ke Coaltrade,"
ungkap Alvin. Andai penjualan batubara dilakukan Adaro langsung kepada pembeli
sebenarnya, nilai laba Adaro lebih kecil dari nilai semestinya.
Di samping itu, pemegang saham Adaro juga berusaha membawa kabur dananya ke
Singapura. Pada 2006 lalu, Coaltrade berhasil mengucurkan dividen hingga 100% dari
laba atau mencapai USD35 juta.
Alvin menambahkan, jika diminta, DPR akan memberikan data-data kasus transfer
pricing ini kepada Bapepam-LK selaku lembaga pengawas. Namun DPR tidak akan
menuding adanya pejabat tertentu yang kemungkinan terlibat dalam kasus ini.
Tetap fokus
Usul penggunaan hak angket dalam kasus ini tak seangker penggunaan hak serupa
dalam kasus BLBI. DPR kini juga sibuk menggelar interpelasi dalam kasus kenaikan
harga barang pokok pasca pemerintah melonjakkan harga BBM. Karena itu, tidak
mengherankan jika penandatangan hak angket kasus Adaro ini cuma 34 anggota Dewan.
"Tapi ini dari seluruh fraksi," kata Ade Daud Nasution, dari FPBR. Ade juga satu komisi
dengan Alvin. Ia berharap usulan ini bisa diterima di rapat paripurna. Jika memang
diterima dan penyelidikan benar-benar dilakukan DPR, hasilnya nanti akan berupa
rekomendasi-rekomendasi.
Wakil Ketua DPR Sutardjo mengatakan, usulan ini akan dibawa ke rapat pleno pimpinan
DPR. Selanjutnya Badan Musyawarah akan menentukan waktu yang pas untuk dibahas
di rapat paripurna. "Tetap bisa fokus kok meskipun sudah ada hak angket dan
interpelasi," ujarnya
Kontroversi Transfer Pricing dan Pajak
Senin, 10 Agustus 2009 23:00 WIB
(managementfile - Tax) - Transfer pricing merupakan salah satu aktivitas yang selalu
dilakukan perusahaan multinasional dalam beroperasi. Hanya saja, transfer pricing ini
bermasalah, karena seringkali disalahgunakan untuk menghindari pajak. Bagaimana praktik
transfer pricing ini dan kaitannya dengan pajak?
Praktik transfer pricing menurut aturan OECD terdiri dari metode berikut yang disebut
metode transaksi tradisional, yakni:
· Comparable Uncontrolled Price method (CUP), harga transfer barang/jasa antara pihak
dengan hubungan istimewa, berdasarkan harga pasar barang/jasa yang sejenis
· Resale Price Method (RPM), yakni metode menentukan harga transfer dengan harga jual
kepada pihak yang tidak ada hubungan istimewa dikurangi dengan gross margin yang sesuai
· Cost Plus Method (CP method or C+), yakni harga transfer dihitung dengan sejumlah harga
pokok ditambah dengan gross margin
Selain ketiga itu, ada juga profit split method dan transactional net margin method, namun
ketiga metode sebelumnya lebih digunakan secara umum.
Intinya, transfer pricing mengacu kepada praktik harga yang terjadi di dalam satu organisasi.
Misalnya, penjualan yang terjadi antar divisi, atau barang dari induk perusahaan yang dijual
kepada anak perusahaan. Sehingga, mekanisme harga yang terjadi berbeda dengan transaksi
dengan pihak ketiga, karena akan menentukan alokasi laba yang terjadi dalam perusahaan.
Masalah utama dari transfer pricing adalah, kebijakan ini seringkali dimanfaatkan perusahaan
multinasional untuk mengurangi laba kena pajak di suatu negara. Jadi, perusahaan
multinasional mentransfer harga ke perusahaan lain afiliasinya, yang terletak di negara tax
haven. Sehingga, masalah ini juga menjadi salah satu perhatian dari regulator di seluruh
dunia.
Di Indonesia sendiri, baru-baru ini muncul kasus hangat dari PT Adaro Indonesia yang terkait
dengan praktik transfer pricing. Adaro dituduh menjual batubara jauh di bawah harga pasar
kepada perusahaan afiliasinya di Singapura, yakni Coaltrade Services International Pte, Ltd.
Harga jual yang ditetapkan yakni sebesar $25 pada tahun 2005 dan $29 pada tahun 2006,
padahal pada akhir 2007 harga batubara menembus harga $95 per ton.
Coaltrade ini semacam perusahaan boneka, karena struktur kepemilikannya pun sama dengan
Adaro. Setelah membeli dengan harga murah, kemudian Coaltrade menjual batubara tersebut
dengan harga pasar, dan mendulang untung besar. Sehingga, dengan transfer pricing tersebut
grup mereka untung, karena Coaltrade hanya terkena pajak penghasilan Singapura sebesar
10%, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia yakni 45%. Praktik-praktik seperti
inilah yang diperkirakan juga marak terjadi pada perusahaan multinasional lainnya, yakni
melakukan transfer pricing demi menghindari pajak, dengan memanfaatkan negara tax haven.
Menurut analisa, transaksi yang dilakukan Adaro jelas menyalahi ketentuan transfer pricing,
dimana:
- Antara keduanya terdapat hubungan istimewa. Menurut UU PPh Pasal 18 ayat 4, hubungan
istimewa dianggap ada dalam hal: hubungan antara dua wajib pajak yang salah satunya
mempunyai penyertaan pada yang lain paling rendah 25%. Dalam kasus ini, struktur
kepemilikan kedua perusahaan bahkan sama.
- Terjadi ketidakwajaran dalam mekanisme harga, dimana harga yang diberikan jauh di bawah
harga pasar. Sehingga, ini menyalahi prinsip yang ditetapkan OECD, yakni arm's length profit
yakni kewajaran. Kewajaran disini maksudnya adalah sesuai dengan harga wajar yang terjadi
seandainya transaksi dengan pihak ketiga.
Untuk menghindari masalah-masalah seperti ini di kemudian hari, masih banyak hal yang
perlu dibenahi pemerintah, karena UU Transfer Pricing saja masih belum cukup, karena
belum terlalu spesifik.
Pemerintah rencananya akan menerbitkan peraturan berisi daftar tax haven yang juga dapat
menjelaskan perlakuan pajak yang akan diterapkan atas transaksi yang melibatkan tax haven
yang ditengarai merugikan Indonesia karena dipakai untuk menghindari pajak.
Selain itu, perlunya aparatur-aparatur pajak yang kompeten dalam menganalisa transfer
pricing yang terjadi pada perusahaan multinasional. Pemerintah rencananya akan menambah
sebanyak 6.000 auditor pajak untuk mencegah transfer pricing ke negara-negara tax heaven.
Sehingga, ke depannya potensi penerimaan pajak di Indonesia bisa lebih optimal.
Rinella Putri/RP/mgf