You are on page 1of 11

MU'TAZILAH

Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus
terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah
kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah
syiar akal dan kebebasan berfikir.... satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-
orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi
yang benar... sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk
pemikiran kelompok ini.... akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari
agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat
dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan
kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta
memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam
kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih
mendahulukan akal dan pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu
dari Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tiddak mereka akui karena menyelisihi
akal menurut prasangka mereka
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati
saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok
Mu'tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini
dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam
menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran mu'tazilah dengan nama-nama yang
yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka
menamainya dengan Aqlaniyah... Modernisasi pemikiran... Westernasi dan
sekulerisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan
mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha
mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh
karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan
penyempalannya dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi
beberapa pokok pembahasan.
1.Definisi Mu'tazilah
1.a.Secara Etimologi
Mu'tazilah atau I'tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arab menunjukkan
kesendirian, kelemahan dan keterputusan,
1.b.Secara Terminologi Para Ulama
Sedangkan sebagian ulama mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah
yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa
besar yang dipimpin oleh Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid pada zaman Al
Hasan Al Bashry.
Dan kalau kita melihat kepada definisi secara etimologi dan terminologi didapatkan
adanya hubungan yang sangat erat dan kuat, karena kelompok ini berjalan
menyelisihi jalannya umat Islam khususnya Ahli Sunnah dan bersendiri dengan
konsep akalnya yang khusus sehingga Akhirnya membuat mereka menjadi lemah,
tersembunyi dan terputus.
2. Perkembangannya.
Mu'tazilah berkembang sebagai satu pemikiran yang ditegakkan diatas pandangan
bahwa akal adalah sumber kebenaran pada awal abad ke dua hijriyah tepatnya
tahun 105 atau 110 H di akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah di kota bashroh di
bawah pimpinan Waashil bin Atho' Al Ghozaal. Kelompok atau sekte ini berkembang
dan terpengaruh oleh bermacam-macam aliran pemikiran yang berkembang dimasa
itu sehingga didapatkan padanya kebanyakan pendapat mereka mengambil dari
pendapat aliran pemikiran Jahmiyah, kemudian berkembang dari kota Bashroh yang
merupakan tempat tinggalnya Al Hasan Al Bashry, lalu menyebar dan merebak ke
kota Kufah dan Baghdad,akan tetapi pada masa ini mu'tazilah menghadapi tekanan
yang sangat berat dari para pemimpin bani umayah yang membuat aliran ini sulit
berkembang dan sangat terhambat penyebarannya sehingga hal itu membuat
mereka sangat membenci Bani Umayah karena penentangan mereka terhadap
mazhab (aliran) mu'tazilah dan i'tikad mereka dalam permasalahan qadar bahkan
merekapun tidak menyukai dan tidak meridhoi seorangpun dari pemimpin Bani
Umayah kecuali Yazid bin Al Waalid bin Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 126
H ) karena dia mengikuti dan memeluk mazhab mereka.
Dalam hal ini berkata Al Mas'udy :Yazid bin Al Waali telah bermazhab dengan
mazhab Mu'tazilah dan pendapat mereka tentang lima pokok (ajaran mereka) yaitu
At Tauhid, Al Adl, Al Wa'iid, Al Asma wal Ahkam -yaitu pendapat Manzilah baina Al
Manzilatain -dan amar ma'ruf nahi mungkar dan berkata lagi:(sehinga Mu'tazilah
mengedepankan Yazid bin Al Waalid dalam sisi keagamaan dari Umar bin Abdul
Aziz.
Permusuhan dan perseteruan antara Bani Umayah dengan Mu'tazlah ini
berlangsung terus menerus dengan keras sampai jatuhnya kekuasaan Bani
Umayyah dan tegaknya kekuasaan Bani Abasiyah, kemudian bersamaan dengan
berkembangnya kekuasaan Bani Abasiyah, berkembanglah Mu'tazilah dengan
mulainya mereka mengirim para dai dan delegasi-delegasi ke seluruh negeri Islam
untuk mendakwahkan mazhab dan i'tikad mereka kepada kaum muslimin dan
diantara yang memegang peran besar dan penting dalam hal ini adalah Waashil bn
Atho'. Dan kesempatan ini mereka peroleh karena mazhab mereka dengan syiar dan
manhajnya memberikan dukungan yang besar dalam mengokohkan dan
menguatkan kekuasaan Bani Abasiyah khususnya pada zaman Al Ma'mun yang
condong mengikut aqidah mereka, apalagi ditambah dengan persetujuan Al Ma'mun
terhadap pendapat mereka tentang Al Quran itu Makhluk sampai-sampai Al Ma'mun
mengerahkan seluruh kekuatan bersenjatanya untuk memaksa manusia untuk
mengikuti dan meyakini kebenaran pendapat tersebut, lalu beliau mengirimkan
mandat kepada para pembantunya di Baghdad pada tahun 218 H untuk menguji
para hakim, Muhadditsin dan seluruh Ulama dengan pendapat bahwa Al Qur'an
adalah makhluk, demikian juga beliau memerintahkan para hakim untuk tidak
menerima persaksian orang yang tidak berpendapat dengan pendapat tersebut dan
menghukum mereka, maka terjadilah fitnah yang sangat besar. Diantara para ulama
yang mendapatkan ujian dan cobaan ini adalah Al imam Ahmad bin Hambal -dan
kisah beliau ini sangat terkenal-, akan tetapi beliau tetap teguh dengan aqidah dan
pendapat Ahli Sunnah wal Jamaah tentang hal tersebut yaitu bahwa Al Qur'an
adalah kalamullah dan bukan makhluk.
Mu'tazilah terus mendapat perlindungan dan bantuan dari para penguasa Bani
Abasiyah dari zaman Al Ma'mun sampai zaman Al Mutawakil dan pada zaman
tersebut sekte mu'tazilah dijadikan mazhab dan aqidah resmi negara, satu faktor
yang membuat mereka mampu menyebarkan kekuasaan mereka dan mampu
menekan setiap orang yang menyelisihi mereka, lalu mereka menjadikan padang
sebagai ganti dari hujjah dan dalil. Maka berkembanglah aliran ini di negeri-negeri
muslimin dengan bantuan dari sebagian pemimpin-pemimpin Bani Abasyah.
Kemudian mereka terpacah menjadi dua cabang:
1. Cabang Bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Waashil bin Atho',
Amr bin Ubaiid, Utsman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al 'Alaaf, Abu Bakr Al
Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syahaam, Al Jaahidz, Abu Ali
Aljubaa'i, Abu Hasyim Al Jubaa'i dan yang lain-lainnya.
2. Cabang Baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu'tamir,
Abu Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah bin Al Asyras,
Ja'far bin Harb, Ja'far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al
Khayaath, Abul Qasim Al Balkhy Al Ka'by dan yang lain-lainnya.
Sebenarnya faktor yang mendasar yang mendorong mereka sibuk dan
memperdalam ilmu kalam adalah untuk membalas hujjah dengan hujjah dan untuk
menghancurkan hujjah-hujjah para musuh Islam serta untuk membantah semua
tuduhan dan kebohongan mereka sehingga akhirnya mereka berlebih-lebihan dalam
mengutamakan dan mengedepankan ilmu ini atas semua ilmu yang selainnya,lalu
mereka menjadikannya sebagai satu-satunya cara untuk menentukan adanya Allah
dan Rububiyah-Nya, hujah-hujah kenabian dan untuk mengenal sunnah dari bid'ah,
sebagimana yang dikatakan Al Jaahidz: dan sesuatu apakah yang lebih agung dari
segala sesuatu, seandainya tidak karena kedudukannya, tidaklah dapat ditetapkan
kerububiyahan-Robb, tidak dapat ditegakkan hujjah-hujah kenabian dan tidak dapat
dipisahkan antara hujjah dengan syubhat, dalil dengan apa yang terbayangkan
dalam bentuk dalil. Dengannya dapat dikenal Al Jamaah dari Al Firqoh (kelompok
yang menyempal) dan sunnah dari bid'ah serta keanehan dari yang masyhur.
Walaupun mu'tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan
menyelami kehidupan akal sejak abad ke dua sampai ke lima hijriyah, akan tetapi
tidak mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami
kemunduran dan kegagalan dalam bidang tersebut. Hal ini tampaknya terjadi karena
mereka tidak mengambil sumber manhaj mereka dari Al Qur'an dan As Sunnah,
bahkan mereka mendasarinya dengan bersandar kepada akal semata yang telah
dirusak oleh pemikran filsafat yunani dan bermacam-macam aliran pemikiran. Sebab
setiap pemikiran yang tidak diterangi dengan manhaj kitabullah dan Sunnah Nabi
dan jalannya para Salaf Ash Sholeh maka akhirnya adalah kehancuran dan
kesesatan walaupun demikian hebatnya, karena mengambil sumber dan penerangan
dari Al Kitab dan Sunnah akan menerangi jalannya akal sehingga tidak salah dan
tersesat dan berjalan dengan jalannya para salafus sholeh adalah pengaman dari
kesesatan dan penyimpangan karena mereka telah mengambil sumber mazhabnya
dari sumber-sumber yang murni dari Al Kitab yang tidak terdapat padanya satu
kebathilanpun dan dari As Sunnah yang barang siapa yang berpegang teguh
dengannya berarti telah berada pada hujjah yang terang benderang.
Berkata Shodruuddin Ibnu Abil Izzi Al Hanafy dalam mengomentari ahlil kalam yang
menta'wil nash-nash Al Kitab dan As sunnah dengan akal-akal mereka,diantaranaya
Mu'tazilah:dan sebab kesesatan mereka adalah berpalingnya mereka dari meneliti
kalamullah dan kalam Rasulillah dan menyibukkah diri dengan kalam Yunani dan
bermacam-macam aliran pemikiran yang ada.
Oleh karena itu keutuhan dan kekelanggengan adalah miliknya Ahlissunnah dan
kehancuran adalah miliknya Mu'tazilah sebagai aplikasi dari firman Allah :
Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang
memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. (QS. 13:17)
3.Sebab penamaannya.
Para Ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan
nama Mu'tazilah menjadi beberapa pendapat:
Pertama: Berpendapat bahwa sebab penamaannya adalah karena berpisahnya
Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dari majlis dan halaqohnya Al Hasan Al Bashry.
Hal ini didasarkan oleh riwayat yang mengisahkan bahwa ada seseorang yang
menemui Al Hasan Al Bashry, lalu berkata:wahai imam agama...telah muncul pada
zaman kita ini satu jamaah yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan dosa besar
menurut mereka adalah kekafran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, dan
mereka adalah Al Wa'iidiyah khowarij dan jamaah yang menangguhkan pelaku dosa
besar, dan dosa besar menurut mereka tidak mengganggu (merusak) iman, bahkan
amalan menurut mazhab mereka bukan termasuk rukun iman, dan iman tidak rusak
oleh kemaksiatan, sebagaiman tidak bermanfaat ketaatan bersama kekufuran, dan
mereka adalah murjiah umat ini, maka bagaimana engkau memberikan hukum bagi
kami dalam hal itu secara i'tikad? Lalu Al Hasan merenung sebentar tentang hal itu,
dan sebelum beliau menjawab, berkata Waashl bin Atho': saya tidak akan
mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mu'min dan tidak juga kafir, akan tetapi dia
di dalam satu kedudukan diantara dua kedudukan tersebut (manzlah baina
manzilatain), tidak mu'min dan tidak kafir. Kemudian dia berdiri dan memisahkan diri
ke satu tiang dari tiang-tiang masjid menjelaskan jawabannya kepada para murid Al
Hasan, lalu berkata Al Hasan : telah berpisah (i'tizal) dari kita Washil, dan Amr bin
Ubaid mengikuti langkah Waashil, maka kedua orang ini beserta pengikutnya
dinamakan Mu'tazilah.
Berkata A Qodhi Abdul Jabaar Al Mu'tazily dalam menafsirkan sebab penamaan
mereka ini:telah terjadi dialog antara Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dalam
permasalahan ini -permasalahan pelaku dosa besar-lalu Amr bin Ubaid kembali ke
mazhabnya dan meninggalkan halaqoh Al Hasan Al Bashry dan memisahkan diri,
lalu mereka menamainya Mu'tazily, dan ini adalah asal penggelaran Ahlul Adil
dengan Mu'tazilah.
Kedua: Berpendapat bahwa mereka dinamai demikian karena ucapan imam
Qatadah kepada Utsman Ath Thowil: siapa yang menghalangimu dari kami? apakah
mereka Mu'tazilah yang telah menghalangimu dari kami? Aku jawab:ya.
Berkata Ibnu Abl Izzy : dan mu'tazilah adalah Amr bin Ubaid dan Waashil bin Atho' Al
Ghozaal serta para pengikutnya, mereka dinamakan demikian karena mereka
memisahkan diri dari Al Jamaah setelah wafatnya Al Hasan Al Bashry di awal-awal
abad kedua dan mereka itu bermajlis sendiri dan terpisah, sehngga berkata Qotadah
dan yang lainnya: merekalah Mu'tazilah.

Dicopy dari tulisan: Kholid Syamhudi rohimahullahu ta'ala


www.salafyoon.net

,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Mu'tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal - Thread Not Solved Yet
Penulis: Al Ustadz Ruwaifi' bin Sulaimi Lc

Sejarah Munculnya Mu�tazilah


Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah,
antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin
Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk
Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha� Al-
Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun
131 H. Di dalam menyebarkan bid�ahnya, ia didukung oleh �Amr bin �Ubaid
(seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam
suatu pemikiran bid�ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq
Mu�ashirah, karya Dr. Ghalib bin �Ali Awaji, 2/821, Siyar A�lam An-Nubala,
karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal.
46-48)

Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu�tazilah semakin berkembang


dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami
buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak
saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang
berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur�an dan As Sunnah
-pen). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29)
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: �Akal lebih
didahulukan daripada syariat (Al Qur�an, As Sunnah dan Ijma�, pen) dan akal-lah
sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal
�menurut persangkaan mereka� maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau
ditakwil. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi �alal Mu�tazilatil-
Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65)
(Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat
maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi
perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-
Qur�an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59.
Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul
pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar
sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari
syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-
hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab
Dar�u Ta�arrudhil �Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan
kitab Ash-Shawa�iq Al-Mursalah �Alal-Jahmiyyatil-Mu�aththilah, karya Al-
Imam Ibnul-Qayyim.)

Mengapa Disebut Mu�tazilah?


Mu�tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri.
Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-
Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi�in.
Asy-Syihristani t berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan
Al-Bashri seraya berkata: �Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita
ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa
tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari
agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat
toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak
berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan
bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan
sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah
Murji�ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami
bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?�
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum
beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha� berseloroh:
�Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir,
bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga
tidak kafir.� Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil
tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya.
Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: � ‫ل‬ ً‫ص‬
ِ ‫عّنا َوا‬
َ ‫ل‬ ْ ‫� �ِا‬Washil telah memisahkan
َ ‫عَتَز‬
diri dari kita�, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan
Mu�tazilah.(Al-Milal Wan-Nihal,hal.47-48 )
Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban
Ahlussunnah Wal Jamaah: �Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik)
adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia
masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya
pun menjadi tidak sempurna).� (Lihat kitab Lamhah �Anil-Firaq Adh-Dhallah,
karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42)

Asas dan Landasan Mu�tazilah


Mu�tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka,
bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun.
Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan
pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:
Landasan Pertama: At-Tauhid
Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-
sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah
menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah,
menurut mereka (Firaq Mu�ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri
dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan
Allah).
Bantahan:
1. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-�Utsaimin rahimahullah berkata: �Dalil
ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam�i (naqli) dan
�aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun dalil mensifati dirinya
sendiri dengan sifat-sifat yangΙ sam�i: bahwa Allah berfirman:Ι begitu banyak,
padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal. Allah
0‫ل ِلَما ُيِريُد‬
ٌ ‫ َفّعا‬0 ‫جيُد‬
ِ ‫ش اْلَم‬
ِ ‫ ُذو اْلَعْر‬0 ‫ َوُهَو اْلَغُفوُر اْلَوُدوُد‬0 ‫ئ َوُيِعيُد‬
ُ ‫ ِإّنه ُهَو ُيْبِد‬0 ‫شِديٍد‬
َ ‫ك َل‬
َ ‫ش َرّب‬
َ ‫ط‬
ْ ‫ن َب‬
ّ ‫ِإ‬

Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang


menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai �Arsy lagi Maha
Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.� (Al-Buruuj: 12-16)
‫حَوى‬
ْ ‫غَثآًء َأ‬
ُ ‫جَعَله‬
َ ‫ َف‬0 ‫عى‬
َ ‫ج اْلَمْر‬
َ ‫خَر‬
ْ ‫ َواّلِذي َأ‬0 ‫ي َقّدَر َفَهَدى‬
ْ ‫ َواّلِذ‬0 ‫سّوى‬
َ ‫ق َف‬
َ ‫خَل‬
َ ‫ اّلِذي‬0 ‫عَلى‬
ْ‫ل‬َ ‫ك ْا‬
َ ‫سَم َرّب‬
ْ ‫حا‬
ِ ‫سّب‬
َ
�Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan
Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing)
dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan
itu kering kehitam-hitaman.� (Al-A�la: 1-5)
Adapun dalil �aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang
disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa
yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki
oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai
berbagai macam sifat � � (Al-Qawa�idul-Mutsla, hal. 10-11)
2. Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq
bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata
dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: �Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk
meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah
dengan makhluk-Nya.� Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-
shifat. Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang
terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah
tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-
Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu,
sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan
tidak ada wujudnya. Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai
sifat sama sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya
menjuluki mereka dengan �Abidul-Ma�duum (penyembah sesuatu yang tidak ada
wujudnya). (Untuk lebih rincinya lihat kitab At- Tadmuriyyah, karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah, hal.79-81)
Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Mu�aththilah, dan
penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
Landasan kedua: Al-�Adl (keadilan)
Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu
datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di :Ι . Dalilnya
adalah firman Allah Ι luar kehendak (masyi�ah) Allah

‫ساَد‬
َ ‫ب اْلَف‬
ّ ‫ح‬
ِ ‫ل ُي‬
َ ‫ل‬
ُ ‫َوا‬

�Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.� (Al-Baqarah: 205)

‫ضى ِلِعَباِدِه اْلُكْفَر‬


َ ‫ل َيْر‬
َ ‫َو‬

�Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.� (Az-Zumar: 7)


Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian
menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu
mereka menamakan diri dengan Ahlul-�Adl atau Al-�Adliyyah.
Bantahan:
Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-�Imrani t berkata: �Kita tidak sepakat bahwa
kesukaan dan keinginan itu satu. Dasarnya adalah firman :Ι Allah

َ ‫ب اْلَكاِفِري‬
‫ن‬ ّ ‫ح‬
ِ ‫ل ُي‬
َ ‫ل‬
َ ‫نا‬
ّ ‫َفِإ‬

�Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.� (Ali �Imran: 32)
Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang
kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi �Alal-
Mu�tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315)
Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan
Ι dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya. Allah berfirman:

ُ ‫شآَء ا‬
‫ل‬ َ ‫ن َي‬
ْ ‫ل َأ‬
ّ ‫ن ِإ‬
َ ‫شآُءو‬
َ ‫َوَما َت‬

�Dan kalian tidak akan mampu menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki
Allah.� (Al-Insan: 30)

َ ‫خَلَقُكْم َوَما َتْعَمُلو‬


‫ن‬ َ ‫ل‬
ُ ‫َوا‬

�Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang kalian perbuat.� (Ash-
Shaaffaat: 96)
Dari sini kita tahu, ternyata istilah keadilan itu mereka jadikan yang merupakan
bagianΙ sebagai kedok untuk mengingkari kehendak Allah . Atas dasar inilah
mereka lebih pantas disebutΙ dari taqdir Allah dengan Qadariyyah, Majusiyyah, dan
orang-orang yang zalim.
Landasan Ketiga: Al-Wa�du Wal-Wa�id
Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah I untuk
memenuhi janji-Nya (al-wa�d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-
Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa�id) bagi pelaku dosa besar
(walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di
dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka
disebut dengan Wa�idiyyah.
Bantahan:
1. Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya
(seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah
pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang , karena termasuk pelecehan
terhadapΙ demikian itu kepada Allah Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan
terhadap firman-Nya:

‫ف اِلْمَيعاَد‬
ُ ‫خِل‬
ْ ‫ل ُي‬
َ ‫ل‬
َ ‫نا‬
ّ ‫ِإ‬

�Sesungguhnya Allah tidak akan menyelisihi janji (-Nya).� (Ali �Imran: 9)


Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para
hamba-Nya.
Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di
bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan
kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha
berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya
dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.
Terlebih lagi Dia telah menyatakan:

‫شآء‬
َ ‫ن َي‬
ْ ‫ن ذَاِلكَ ِلَم‬
َ ‫ك ِبِه َوَيْغِفُر َما ُدْو‬
َ ‫شَر‬
ْ ‫ن ُي‬
ْ ‫ل َيْغِفُر َأ‬
َ ‫ل‬
َ ‫نا‬
ّ ‫ِإ‬

�Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya


meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.� (An-Nisa: 48) (Diringkas dari kitab
Al-Intishar Firraddi �Alal-Mu�tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 3/676, dengan
beberapa tambahan).
2. Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi
di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat
48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah r yang artinya: �Telah
datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari
umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan
masuk ke dalam al-jannah.� Aku (Abu Dzar) berkata: �Walaupun berzina dan
mencuri?� Beliau menjawab: �Walaupun berzina dan mencuri.� (HR. Al-Bukhari
dan Muslim dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari)
(Meskipun mungkin mereka masuk neraka lebih dahulu (ed).)

Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan


Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-
tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik)
maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada
pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
Bantahan:
1.Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan :Ι dan
berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah
‫عَلْيِهْم َءاَياُته َزاَدْتُهْم ِإْيَماًنا‬
َ ‫ت‬
ْ ‫َو ِإَذا ُتِلَي‬
�Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan
mereka.� (Al-Anfal: 2)
Dan juga firman-Nya:

‫َوَأّما‬۰‫ن‬
َ ‫شُرْو‬ِ ‫سَتْب‬
ْ ‫ن آَمُنوا َفَزاَدْتُهْم ِإْيَماًنا َوُهْم َي‬َ ‫ل َأّيُكْم َزاَدْتُه َهِذِه ِإْيَماًنا َفَأّما اّلِذْي‬
ُ ‫ن َيُقْو‬
ْ ‫سْوَرٌة َفِمْنُهْم َم‬
ُ ‫ت‬
ْ ‫َوِإَذا َما ُأْنِزَل‬
َ‫سِهْم َوَماُتْوا َوهُْم َكاِفُرْون‬ِ‫ج‬ ْ ‫سا ِإَلى ِر‬ ً‫ج‬ ْ ‫ض َفَزاَدْتُهْم ِر‬ٌ ‫ي ُقُلْوِبِهْم َمَر‬ ْ ‫ن ِف‬َ ‫اّلِذْي‬

�Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik)
ada yang berkata: �Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan
(turunnya) surat ini?� Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah
imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam
hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di
samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.� (At-
Taubah: 124-125)
Dan firman-Nya:

ِّ‫عْنَد ال‬ِ ‫ك‬


َ ‫ن َذِل‬
َ ‫سّيَئاِتِهْم َوَكا‬
َ ‫عْنُهْم‬
َ ‫خاِلِدْينَ ِفْيَها َوُيَكّفَر‬
َ ‫لْنَهاُر‬
َ ‫حِتَها ْا‬
ْ ‫ن َت‬
ْ ‫ي ِم‬
ْ ‫جِر‬
ْ ‫ت َت‬
ٍ ‫جّنا‬
َ ‫ت‬
ِ ‫ن َواْلُمْؤِمَنا‬
َ ‫ل اْلُمْؤِمِنْي‬
َ‫خ‬ِ ‫ِلُيْد‬
‫ظْيًما‬
ِ‫ع‬َ ‫َفْوًزا‬

�Supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam


Al-Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan
supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah
keberuntungan yang besar di sisi Allah.� (Al-Fath: 4)
َ ‫ب َوَيْزَداَد اّلِذي‬
‫ن‬ َ ‫ن ُأْوُتوا اْلِكَتا‬َ ‫ن اّلِذْي‬
َ ‫سَتْيِق‬
ْ ‫ن َكَفُرْوا ِلَي‬
َ ‫ل ِفْتَنًة ِلّلِذْي‬
ّ ‫عّدَتُهْم ِإ‬
ِ ‫جَعْلَنا‬
َ ‫لِئَكًة َوَما‬ َ ‫ل َم‬ّ ‫ب الّناِر ِإ‬َ ‫حا‬ َ‫ص‬ْ ‫جَعْلَنا َأ‬َ ‫َوَما‬
‫ل ِبَهَذا‬ُّ ‫ن َماَذا َأَراَد ا‬
َ ‫ض َواْلَكاِفُرْو‬ٌ ‫ي ُقُلْوِبِهْم َمَر‬ ْ ‫ن ِف‬َ ‫ل اّلِذْي‬َ ‫ن َوِلَيُقْو‬
َ ‫ب َواْلُمْؤِمُنْو‬َ ‫ن ُأْوُتوا اْلِكَتا‬
َ ‫ب اّلِذْي‬
َ ‫ل َيْرَتا‬َ ‫آَمُنْوا ِإْيَماًنا َو‬
‫شِر‬ َ ‫ل ِذْكَرى ِلْلَب‬ ّ ‫ي ِإ‬َ ‫ل ُهَو َوَما ِه‬ ّ ‫ك ِإ‬َ ‫جُنْوَد َرّب‬ ُ ‫شاُء َوَما َيْعَلُم‬ َ ‫ن َي‬ ْ ‫ي َم‬ْ ‫شاُء َوَيْهِد‬ َ ‫ن َي‬
ْ ‫ل َم‬ُّ ‫ل ا‬ّ‫ض‬ِ ‫ك ُي‬ َ ‫ل َكَذِل‬
ً ‫َمَث‬

Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat. Dan tidaklah
Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan sebagai cobaan bagi orang-orang
kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang
beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-
orang mu�min itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya
ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): �Apakah yang dikehendaki Allah
dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?� Demikianlah Allah menyesatkan
orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia
sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.� (Al-
Muddatstsir: 31)

ُ ‫ل َوِنْعَم اْلَوِكْي‬
‫ل‬ ُّ ‫سُبَنا ا‬
ْ‫ح‬
َ ‫شْوهُْم َفَزاَدُهْم ِإْيَماًنا َوَقاُلْوا‬
َ‫خ‬
ْ ‫جَمُعْوا َلُكْم َفا‬
َ ‫س َقْد‬
َ ‫ن الّنا‬
ّ ‫س ِإ‬
ُ ‫ل َلُهُم الّنا‬
َ ‫ن َقا‬
َ ‫اّلِذْي‬

�(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada
orang-orang yang mengatakan: �Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan
pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka�, maka
perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: �Cukuplah Allah
menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung�.� (Ali �Imran:
173)

‫ن َقْلِبي‬
ّ ‫طَمِئ‬
ْ ‫ن ِلَي‬
ْ ‫ل َبَلى َوَلِك‬
َ ‫ن َقا‬
ْ ‫ل َأَوَلْم ُتْؤِم‬
َ ‫حِيي اْلَمْوَتى َقا‬
ْ ‫ف ُت‬
َ ‫ب َأِرِني َكْي‬
ّ ‫ل ِإْبَراِهْيُم َر‬
َ ‫َوِإْذ َقا‬

�Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: �Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku


bagaimana Engkau menghidupkan orang mati�. Allah berfirman: �Belum yakinkah
kamu?� Ibrahim menjawab: �Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap
mantap (dengan imanku)...� (Al-Baqarah: 260)
bersabda: �Keimanan itu (mempunyai) enam puluh sekian atauρ Rasulullah tujuh
puluh sekian cabang/tingkat, yang paling utama ucapan �Laa ilaaha illallah�, dan
yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu cabang dari
iman.� (HR Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah z)
2. Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan dari
keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman,
karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini
termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam
firman-Nya:
‫حوا َبْيَنُهَما‬ُ ‫صِل‬
ْ ‫ن اْقَتَتُلوا َفَأ‬
َ ‫ن اْلُمْؤِمِني‬
َ ‫ن ِم‬ِ ‫طآِءَفَتا‬
َ ‫ن‬ْ ‫َو ِإ‬
�Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertempur, maka
damaikanlah antara keduanya...� (Al-Hujurat: 9)
Landasan Kelima: Amar Ma�ruf Nahi Mungkar
Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah
(muslim) yang zalim.
Bantahan:
Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang
bertentangan dengan Al Qur�an dan As Sunnah.
berfirman:Ι Allah
‫لْمِر ِمْنُكْم‬ َ ‫ل َوُأوِلى ا‬ َ ‫سو‬ ُ ‫طيُعوا الّر‬ ِ ‫ل َوَأ‬
َ ‫طيُعوا ا‬ ِ ‫ن َءاَمُنوا َأ‬
َ ‫َيآَءّيَها اّلِذي‬
�Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil
amri (pimpinan) di antara kalian.� (An-Nisa: 59)
Rasulullah r bersabda: �Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti
petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka
yang berhati setan namun bertubuh manusia.� (Hudzaifah berkata): �Wahai
Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka?� Beliau menjawab:
�Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun
punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.� (HR. Muslim, dari shahabat
Hudzaifah bin Al-Yaman) [Untuk lebih rincinya, lihat majalah Asy�Syari�ah edisi
Menyikapi Kejahatan Penguasa]

Sesatkah Mu�tazilah?
Dari lima landasan pokok mereka yang batil dan bertentangan dengan Al Qur�an
dan As-Sunnah itu, sudah cukup sebagai bukti tentang kesesatan mereka. Lalu
bagaimana bila ditambah dengan prinsip-prinsip sesat lainnya yang mereka punyai,
seperti:
- Mendahulukan akal daripada Al Qur�an, As Sunnah, dan Ijma� Ulama.
- Mengingkari adzab kubur, syafa�at Rasulullah untuk para pelaku dosa,
ru�yatullah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, Ash-
Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di
padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah dan
An-Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain
mutawatir), dan lain sebagainya.
- Vonis mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam
pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi�in), bahwa mereka
adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan
engkau sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin
dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar.
- Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan
kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah
dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur
bahwa Al-Qur�an itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka
mentakwil sifat Istiwaa� Allah dengan sifat Istilaa� (menguasai).
Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi Allah merupakan kesyirikan, mengapa
mereka tetapkan sifat menciptakan dan Istilaa� bagi Allah?! (Lihat kitab Al-Intishar
Firraddi Alal-Mu�tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah
�an Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah dan Ash-Shawa�iq Al-
Mursalah �alal Jahmiyyatil-Mu�aththilah)
Para pembaca, betapa nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh
karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy�ari (yang sebelumnya sebagai tokoh
Mu�tazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada
hari Jum�at untuk mengumumkan baraa� (berlepas diri) dari madzhab
Mu�tazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: �Aku
lepas madzhab Mu�tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini.� Dan ketika
Allah beri karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah,
maka beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk Mu�tazilah dan kelompok sesat
lainnya dengan judul Al-Ibanah �an Ushulid-Diyanah. (Diringkas dari kitab Lamhah
�Anil-Firaq Adh-Dhallah, hal. 44-45).
Wallahu a�lam bish-shawab.
__________________
blog tutorial www.soloboys.blogspot.com

You might also like