You are on page 1of 11

First International Conference of

Aceh and Indian Ocean Studies

Organized by
Asia Research Institute, National University of Singapore &
Rehabilitation and Construction Executing Agency for Aceh and
Nias (BRR), Banda Aceh, Indonesia

24 – 27 February 2007

Islam, Hukum dan Masyarakat di


Aceh Tajdid Syari`at
Dalam Negara Bangsa

Al Yasa` Abubakar

Dinas Syariat Islam NAD

yasa.abubakar@gmail.com

Not to be quoted without permission from the author


First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies
24 – 27 February 2007

Sepanjang bacaan penulis, hampir semua peneliti dan buku yang menulis tentang Aceh
berkesimpulan bahwa adat masyarakat Aceh sangat terpengaruh oleh agama Islam
bahkan mungkin lebih dari itu bisa dikatakan terbentuk di atas kesadaran dan keinginan
untuk melaksanakan syari`at Islam secara penuh. Banyak bukti yang dapat dikutip untuk
mendukung kesimpulan ini. Misalnya saja, sejarah Aceh dan cerita-cerita rakyat di Aceh
selalu terkait dan dalam kerangka kesadaran keislaman. Huruf Aceh adalah huruf Arab
(Arab Melayu) yang identik dengan huruf Islam, kegiatan pendidikan dan lembaga
pendidikan di Aceh telah dianggap sebagai bagian dari Islam dan untuk menjalankan
ajaran Islam. Begitu juga sistem pemerintahan dan pembagian kekuasaan di kalangan
pemerintahan di Aceh kelihatannya didasari oleh kesadaran dan keinginan untuk
melaksanakan ajaran Islam sebagai bagian integral dari kegiatan pemerintahan tersebut.

Setelah kedatangan Belanda keadaan di atas berubah. Belanda memperkenalkan


berbagai hal baru yang tidak sejalan bahkan menyaingi serta mengenyampingkan adat
dan ajaran Islam yang ada, yang menyebabkan rakyat tidak senang kepada Belanda.
Kegiatan mengusir penjajah yang didukung dan digerakkan oleh para ulama, seperti
terekam dalam berbagai buku dan catatan, lebih banyak sebagai uapaya untuk
menegakkan ajaran Islam, daripada sekedar upaya untuk mengusir penjajah karena dia
orang asing.i Dengan alasan ini, adalah suatu hal yang wajar kalau para pemimpin dan
rakyat Aceh menganggap bahwa perjuangan kemerdekaan adalah bagian dari upaya
untuk melaksanakan kembali ajaran Islam seperti sebelum kedatangan penjajah
Belanda. Berhubung setelah kemerdekaan keinginan ini tidak terwujud seperti yang
diharapkan, maka usaha tersebut tidak berhenti bahkan semakin kuat dan terus
berlanjut sampai sekarang.

Secara sederhana keinginan di atas dapat disimpulkan dalam dua hal utama saja yaitu,
adanya keinginan kuat agar nilai-nilai Islami menjadi nilai dasar dalam pembentukan
adat dan perilaku masyarakat, bahkan institusi-institusi yang diperlukan. Kedua,
pemerintah diharapkan akan terlibat secara penuh dalam kegiatan yang pertama tadi.
Adapun polemik apakah kegiatan tersebut harus dilaksanakan di dalam negara khilafah
atau dapat juga dilaksanakan di dalam negara kebangsaan kelihatannya tidak menjadi
bahan perdebatan penting di kalangan para ulama dan pemimpin masyarakat di Aceh.

Kehadiran era reformasi, yang salah satu cirinya adalah membuka kembali peluang
adanya keragaman adat dan budaya serta keragaman pemerintahan lokal di Indonesia,
seraya menghentikan kecenderungan penyeragaman yang amat kuat dan kaku pada
hampir semua bidang di era Orde baru, serta dengan kehadiran Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (dan beberapa undang-undang lain
sebelumnya), menjadikan peluang untuk menjalankan Islam dalam semua sendi
kehidupan dan dengan keterlibatan pemerintah (paling kurang pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota serta pemerintahan gampong) di Aceh menjadi terbuka lebar dan
mempunyai landasan hukum yang sah dan memadai.

Untuk mensukseskan pekerjaan di atas, paling kurang ada tiga tantangan yang harus
diatasi. Tantangan pertama, bagaimana Islam (fiqih Islam) yang sebelumnya
dilaksanakan dalam negara dengan sistem khilafah, sekarang ini akan diterapkan di
dalam negara dengan sistem kebangsaan (dalam hal ini Republik Indonesia yang
berdasarkan Undang Undang Dasar 1945). Para ulama perlu memikirkan dan menata
ulang hasil pemikiran ulama masa lalu, kalau perlu menyusun sendiri pemahaman baru
yang dianggap sesuai dengan kebutuhan budaya lokal (Aceh – Melayu) serta kemajuan
ilmu dan pengetahuan di dalam bingkai negara bangsa. Berkaitan dengan ini para ulama
juga harus mampu mengelola issue-issue yang sekarang telah menjadi semangat zaman,
seperti perlindungan HAM dan kesetaraan gender, serta memasukkannya ke dalam
kegiatan pemikiran di atas tadi. Tantangan yang kedua, bagaimana melakukan
penyesuaian dan penjelasan tentang sistem ketatanegaraan Indonesia sendiri, yang telah
menetapkan pelaksanaan Syari`at Islam di Aceh sebagai sub sistem dalam sistem

Draft Copy – Not to be Quoted Without Permission from the Author 2


First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies
24 – 27 February 2007

hukum dan sistem peradilan nasional yang ada. Tantangan yang ketiga, bagaimana
menyiapkan tenaga yang memadai untuk merancang dan menyelesaikan tiga tantangan
sebelumnya.

Tulisan ini ingin menjelaskan ketiga hal di atas serta jalan keluar yang dapat ditempuh
oleh Pemerintahan Aceh. Tetapi karena keterbatasan waktu, tulisan ini difokuskan pada
bidang hukum, sedang bidang lainnya seperti pendidikan dan pemerintahan lokal akan
disinggung sekedarnya ketika perlu untuk memperjelas permasalahan.

II

Seperti telah disinggung di atas, dalam perjalanan sejarahnya, Islam di Aceh (sekiranya
dibandingkan dengan tempat lain di Nusantara) sampai batas tertentu menunjukkan
keunikan, karena lebih mampu menyerap budaya dan menyesuaikan diri dengan
kebutuhan lokal. Sebagai contoh, ulama Aceh kelihatannya sejak abad ke tujuh belas
Masehi telah dapat menerima dan bahkan mendorong kehadiran perempuan dalam ranah
kegiatan publik, seperti menjadi anggota dewan perwakilan rakyat, hakim pada
mahkamah, panglima perang sampai menjadi kepala negara (sultan), yang di banyak
tempat dianggap sebagai tidak sejalan dengan ajaran Islam. Di beberapa tempat di
Aceh, perkawinan ditetapkan bersifat matrilokal walaupun garis keturunannya tetap
patrilineal. Hal ini mereka pilih agar kedudukan perempuan tidak mengalami kesulitan
ketika terjadi perceraian, karena si suami yang harus pulang ke keluarga asalnya, atau
pergi mencari tempat tinggal baru, sedang si isteri tetap tingggal di rumah asal. Tugas
mengelola zakat (penghasilan, tabungan dan fitrah) adalah tugas pemerintahan
gampong. Pemerintah gamponglah yang menentukan besaran zakat yang harus dibayar
seseorang, lantas memungut dan menyimpannya serta menentukan orang yang berhak
menerima dan membagi-bagikannya (Pendapat bahwa pengumpulan zakat merupakan
tugas gampong sampai sekarang masih diakui oleh hampir seluruh gampong di Aceh).
Contoh lain, shalat Jum`at hanya wajib didirikan di sebuah mukim, yaitu sebuah
tingkatan pemerintahan sebagai gabungan dari beberapa gampong. Satu mukim
mempunyai satu masjid tidak boleh lebih. Masjid tidak boleh dibangun di luar mukim.
Pemekaran atau pemecahan mukim sama artinya dengan izin pendirian masjid baru (izin
mendirikan shalat Jum`at baru). Kelihatannya masjid yang tidak terikat dengan mukim
hanyalah masjid besar yaitu masjid di tingkat uleebalang dan kesultanan.

Dalam bidang pidana ketentuan tentang qisas dan diyat disesuaikan juga dengan adat
lokal. Seratus unta dipahami sama dengan seratus ekor kerbau atu lembu, dan di dalam
kenyataan hukuman qisas tidak pernah dijatuhkan karena keluarga korban atau keluarga
korban selalu memberikan pemaafan. Jumlah diyat walaupun pada dasarnya diakui
seratus ekor lembu untuk pembunuhan sengaja, di dalam kenyataan sehari-hari pada
umumnya dapat disetujui hanya dengan membayar beberapa ekor kerbau. Mengenai
ta`zir, dari penjelasan lisan pimpinan gampong dan tokoh-tokoh masyarakat, ii dapat
diketahui bahwa hukuman ta`zir pada umumnya dijatuhkan melalui musyawarah
pimpinan gampong, jarang yang sampai ke mahkamah yang waktu itu hanya ada pada
tingkatan pemerintahan uleebalang dan ibu kota kerajaan (Qadhi Malikul Adil). iii
Hukuman denda, ganti rugi, harus mengaku salah dan minta maaf secara resmi di muka
umum, dicambuk, atau diusir dari gampong (dicabut hak kewarganegaraannya)
merupakan hukuman yang kelihatannya dikenal luas dan sudah pernah dijatuhkan. iv

Berdasarkan pengalaman sejarah ini, maka upaya reinterpretasi atas berbagai


pemahaman ulama masa lalu guna disesuaikan dengan kebutuhan masa sekarang
kelihatannya tidak akan menjadi kendala yang serius. Kehadiran bank sebagai lembaga
keuangan dan diperkenalkannya berbagai jenis transaksi perdagangan dan keuangan
sebagai akibat kemajuan ilmu dan teknologi kelihatannya dapat diterima oleh
masyarakat dan ulama asalkan dilakukan atas dasar kerelaan dan tidak mengandung
riba atau gharar (ketidak jelasan atau penipuan). Pelaksanaan hukuman cambuk sebagai

Draft Copy – Not to be Quoted Without Permission from the Author 3


First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies
24 – 27 February 2007

alternatif atas hukuman penjara yang dalam dua tahun ini kembali diterapkan,
kelihatannya diterima secara luas oleh masyarakat dan para ulama. Hukuman ini
dianggap manusiawi karena harus memenuhi beberapa persyaratan seperti dilakukan di
bawah pengawasan dokter yang berwenang, tidak dilakukan atas orang yang sedang
sakit dan harus dihentikan ketika terluka atau berdarah. Lebih dari itu para ulama juga
berupaya mencari makna yang lebih pas atas beberapa hal seperti pengertian ”harus
dilaksanakan di tempat terbuka (umum).”

Lebih dari itu, menurut penulis, karena adanya kemajuan ilmu dan teknologi, para ulama
Aceh (sebetulnya semua ulama di mana saja) harus memecahkan persoalan yang lebih
serius dan mendasar dari contoh yang dikemukakan di atas. Misalnya saja, apakah
ulama Aceh akan tetap mempertahankan bentuk keluarga luas sebagai landasan
penentuan hukum keluarga (seperti yang ada di dalam fiqih sekarang) ataukah dapat
menerima bentuk keluarga inti seperti ditemukan dalam masyarakat ”modern” sebagai
dasar reinterpretasi penyususunan hukum keluarga (kalau hal ini dirasa perlu untuk
ditulis ulang). Pemilihan ini disadari atau tidak akan menimbulkan pengaruh beruntun,
dan akan mengubah beberapa hal secara relatif fundamental di bidang hukum
kekeluargaan (seperti konsep dan prioritas urutan wali dan konsep serta prioritas urutan
`ashabah, dan ini sudah dilakukan di beberapa negar Islam, yang terakhir yang penulis
ketahui adalah Marokko melalui Kodifikasi Hukum Keluarga Tahun 2004 M).v Lebih dari
itu pilihan ini juga akan berpengaruh pada kedudukan perempuan di dalam hukum, yang
sampai batas tertentu mempunyai kesejalanan dengan issue kesetaraan gender.

Mengenai masalah HAM dan juga kesetaraan gender menurut penulis merupakan
masalah yang harus dibicarakan secara serius. Memang sudah ada sarjana dan ulama
yang membahas masalah ini dari perspektif Islam dan bahkan paling kurang sudah ada
dua dokumen resmi yang dihasilkan ulama dan cendekiawan muslim yang berkaitan
dengan perlindungan HAM menurut ajaran Islam yaitu dokumen Paris dan dokumen
Kairo. Tetapi bahan-bahan yang ada ini menurut penulis belum diuraikan secara
memadai dan belum menjadi bagian yang integral dari pembahasan dan sistematika
fiqih.

Barangkali Aceh sebagai daerah yang di dalam sejaarah sudah pernah melaksanakan
Syari`at dengan penyesuaian yang relatif sangat lentur dengan budaya lokal, dapat
menjadi tempat untuk pelaksanaan Syari`at yang terkait secara erat dengan hasil
kemajuan ilmu dan teknologi termasuk masalah perlindungan HAM dan kesetaraan
gender ini.

Selanjutnya karena telah menerima pelaksanaan Syari`at (fiqih) di dalam bingkai negara
bangsa, maka para ulama tentu harus menyusun fiqih dalam bentuk peraturan
perundang-undangan dan meletakkannya dalam kerangka hirarki perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia sekarang. Lebih tegas lagi secara formal yuridis, syari`at
Islam di Aceh akan dilaksanakakan melalui Qanun Aceh yang oleh undang-undang
ditetapkan berada langsung di bawah undang-undang. Dengan kata lain pemberlakuan
Syari`at di Aceh sekarang ini adalah dalam kerangka pelaksanaan UUD 1945, dan
hirarkis perundang-undangan Indonesia, bukan semata-mata karena perintah Allah atau
perintah agama. Dengan demikian Al-qur’an dan Sunnah sebagai dalil syara’ dan di
bawah itu ijtihad para ulama sebagai dasar dan landasan penulisan qanun, menurut
penulis terpaksa diletakkan di bawah undang-undang dasar, setingkat dengan undang-
undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Selanjutnya harus juga disebutkan, karena mengikuti hirarki tertib peraturan perundang-
undangan di Indonesia, maka terhadap Qanun Aceh yang memuat syari`at Islam ini
dapat dilakukan uji materil oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dapat
membatalkan isi sebuah qanun kalau dianggap bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu undang-undang atau peraturan pemerintah

Draft Copy – Not to be Quoted Without Permission from the Author 4


First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies
24 – 27 February 2007

pengganti undang-undang dan Undang-Undang Dasar. Dengan demikian ijtihad para


ulama Aceh yang telah dituangkan ke dalam Qanun Aceh dapat dibatalkan oleh
Mahkamah Agung sekiranya mereka anggap bertentangan dengan undang-undang,
peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Undang-Undang Dasar.

Sekiranya menggunakan tabel, maka tertib urutan peraturan perundang-undangan


untuk pelaksanaan syari`at Islam di Aceh dibandingkan dengan tertib urutan peraturan
perundang-undangan lainnya di Indonesia lebih kurang adalah sebagai berikut:

JENIS DAN HIERARKI JENIS DAN HIERARKI JENIS DAN HIERARKI


PERATURAN PERUNDANG- PERATURAN PERUNDANG- PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN NASIONAL UNDANGAN PELAKSANAAN UNDANGAN PELAKSANAAN
(UU No. 10/04 Pasal 7) OTONOMI KHUSUS SYARI`AT ISLAM
(UU. No 11/06) (UU. No 11/06)
1 2 3
UUD 1945 UUD 1945 UUD 1945
Undang-Undang/PERPPU /
Undang-Undang/PERPPU Undang-Undang/PERPPU Syari`at Islam

(Al-qur’an / Sunnah /
Ijtihad / Mazhab)
Peraturan Pemerintah
Peraturan Presiden
Peraturan Daerah Provinsi / Qanun Aceh /
Kabupaten / Kota /
Qanun Kabupaten / Kota / Qanun Aceh
Peraturan Desa
Reusam Gampong /
qanun kabupaten / kota /
reusam gampong

III

Mengenai pelaksanaan Syari`at Islam sebagai bagian dari sistem hukum nasional dan
sistem peradilan nasional, dapat diuraikan sebagai berikut. Di dalam Undang-undang
Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (seluruhnya berisi 40 bab, 273 pasal) ada
tiga bab yang berkaitan dengan pelaksanaan Syari`at Islam yang diletakkan secara
berurutan yaitu Bab XVII Syari`at Islam dan Pelaksanaannya, Bab XVIII Mahkamah
Syar`iyah, dan Bab XIX Majelis Permusyawaratan Ulama. Untuk memudahkan dan
menghindari kesalah pahaman, terutama bagi pihak yang belum membaca Undang-
undang Nomor 11/2006, maka penulis akan mengutip secara lengkap beberapa pasal
yang dianggap penting.

Mengenai keberadaan dan kewenangan Mahkamah Syar`iyah, serta hukum materil dan
formil yang akan digunakannya dalam pasal 128 ditemukan uraian (1) Peradilan
Syari`at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan
peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar`iyah yang bebas dari pengaruh
pihak manapun. (2) Mahkamah Syar`iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang

Draft Copy – Not to be Quoted Without Permission from the Author 5


First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies
24 – 27 February 2007

beragama Islam dan berada di Aceh. (3) Mahkamah Syar`iyah berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al
syakhsiyah (hukum keluarga), mu`amalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana)
yang didasarkan atas syari`at Islam. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal
al syakhsiyah (hukum keluarga), mu`amalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum
pidana) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.

Ada beberapa catatan yang akan diberikan atas kutipan di atas, yang pertama,
Mahkamah Syar`iyah merupakan badan peradilan untuk semua orang yang beragama
Islam yang berada di Aceh dalam bidang hukum perdata kekeluargaan, hukum perdata
keharta bendaan, serta hukum pidana. Dengan ketentuan ini pembuat undang-undang
kelihatannya menginginkan Mahkamah Syar`iyah menjadi badan pengadilan utama di
Aceh yang pada saatnya nanti akan menggantikan peran Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Agama. Pengadilan Agama memang sudah tidak ada lagi di Aceh karena
sudah diubah menjadi Mahkamah Syar`iyah. Sedang Pengadilan Negeri masih ada dan
akan tetap ada tetapi kewenangannya akan berkurang, karena beralih menjadi
kewenangan Mahkamah Syar`iyah. Pengadilan Negeri tidak akan ditutup karena--seperti
akan terlihat di bawah, orang yang tidak beragama Islam yang berada di Aceh akan
tetap memerlukan dan berurusan dengan badan pengadilan ini. Yang kedua, hukum
materil dalam ketiga bidang yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar`iyah (peradilan
Syari`at Islam) tersebut akan ditulis dalam Qanun Aceh. Dengan kata lain, Aceh diberi
izin untuk mempunyai hukum materil sendiri dalam bidang perdata dan pidana
berdasarkan Syari`at Islam. Sedang mengenai hukum formil akan diuraikan di bawah.
Perlu dicatat kasasi atas putusan Mahkamah Syar`iyah Aceh akan dilakukan ke
Mahkamah Agung, karena mahkamah ini merupakan pengadilan tertinggi dan puncak
semua pengadilan di Indonesia.

Mengenai asas personal atau teritorial dari pemberlakukan Syari`at Islam ini, dalam UU
11/06 Pasal 129 ditemukan uraian, (1) Dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya beragama
Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara
sukarela pada hukum jinayah. (2) Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan
perbuatan jinayah yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau
ketentuan pidana di luar Kitab Undang Undang Hukum Pidana berlaku hukum Jinayah.
(3) Penduduk Aceh yang melakukan perbuatan jinayah di luar Aceh berlaku Kitab Undang
Undang Hukum Pidana. Pasal 129 ini kelihatannya merupakan penjelasan tambahan atas
ketentuan dalam pasal 128 ayat (2) di atas, yang perlu diberikan karena adanya
“penyimpangan” atas asas umum di bidang hukum pidana, bahwa hukum pidana
biasanya berlaku berdasar asas territorial. Jadi Syari`at Islam yang telah dituangkan ke
dalam qanun Aceh baik di bidang perdata atau pidana pada dasarnya hanya berlaku
untuk orang Aceh. Ketentuan ini perlu dicamkan secara baik, agar kritik mengenai
pembedaan hukum pidana yang berlaku untuk orang Islam dan bukan Islam di Aceh
tidak dialamatkan kepada Syari`at Islam, tetapi harus dialamatkan kepada UU No. 11/06
ini, karena undang-undang inilah yang memerintahkannya.

Mengenai hukum formil ditemukan aturan dalam Pasal 132 sebagai berikut. (1) Hukum
acara yang berlaku pada Mahkamah Syar`iyah adalah hukum acatra yang diatur dalam
Qanun Aceh. (2) Sebelum Qanun Aceh tentang hukumacara pada ayat (1) dibentuk: a.
hukum acara yang berlaku pada Mahkmah Syar`iyah sepanjang mengenai ahwal al
syakhsiyah dan mu`amalah adalah Hukum Acara sebagaimana yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama kecuali yang diatur secara khusus dalam
undang-Undang ini. b. hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar`iyah sepanjang
mengenai jinayah adalah hukum acara sebagaimana yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum kecuali diatur secara khusus dalam undang-Undang
ini. Dari rumusan ini jelas terlihat bahwa hukum formil pun diminta untuk ditulis di dalam
Qanun Aceh. Jadi dengan ketentuan dalam dua pasal di atas dapat disimpulkan bahwa

Draft Copy – Not to be Quoted Without Permission from the Author 6


First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies
24 – 27 February 2007

hukum yang akan digunakan oleh Mahkamah Syar`iyah di Aceh, baik hukum materil
(bidang perdata dan pidana)ataupun hukum formil (bidang perdata dan pidana) akan
dituliskan di dalam Qanun Aceh berdasarkan Syari`at Islam dan itulah yang akan
menjadi hukum positif di Aceh.

Mengenai sanksi (uqubat) yang dapat dimuat di dalam Qanun, dalam Pasal 241
dinyatakan, (1) Qanun dapat memuat ketentuan pembebanan biaya paksaan penegakan
hukum, seluruhnya atau sebagian, kepada pelanggar sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. (2) Qanun dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(3) Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. (4)
Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dikecualikan dari ketentuan ayat (1), ayat (2)
dan ayat (3). Dengan aturan ini jelas bahwa Qanun Jinayat Aceh dapat menggunakan
dan menuliskan semua sanksi yang ada dalam Syari`at Islam, tentunya sepanjang
dianggap perlu dan relevan. Menurut penulis ketentuan ini terasa sangat bijak, karena
Aceh diberi izin untuk melaksanakan Syari`at Islam secara relatif penuh tanpa
pembatasan, dalam bidang hukum materil dan hukum formil dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya izin penulisan sanksi dalam Qanun sesuai
dengan ketentuan atau prinsip yang ada dalam Syari`at Islam itu sendiri, maka menurut
penulis, tidak ada lagi alasan untuk menimpakan kekurangan dan kelemahan dalam
aturan yang akan ditulis nanti kepada pembatasan yang diberikan oleh undang-undang.

Mengenai tugas penyelidikan dan penyidikan, dalam Pasal 133 disebutkan, Tugas
penyelidikan dan penyidikan untuk penegakan syari`at Islam yang menjadi kewenangan
Mahkamah Syar`iyah sepanjang mengenai jinayah dilakukan oleh Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Sedang dalam Pasal 134
disebutkan, (1) Perencanaan, pengadaan, pendidikan dan pelatihan serta pembinaan
teknis terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam pasal 133
difasilitasi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia Aceh sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan,
persyaratan dan pendidikan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Qanun Aceh. Lebih lanjut dalam Pasal 244
dinyatakan, (1) Gubernur, bupati/walikota dalam menengakkan qanun dalam
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dapat membentuk
Satuan Polisi Pamong Praja. (2) Gubernur, bupati/walikota dalam menegakkan qanun
syar`iyah dalam pelaksanaan syari`at Islam dapat membentuk unit Polisi Wilayatul
Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja. (3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pembentukan dan penyusunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam qanun yang berpedoman pada
peraturan perundang-undangan. Pasal 245 berbunyi, (1) Anggota Satuan Polisi Pamong
Praja dapat diangkat sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil. (2) Penyidikan dan
penuntutan terhadap pelanggaran atas qanun dilakukan oleh pejabat penyidik dan
penuntut umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dari ketentuan ini terlihat bahwa tugas penyelidikan dan penyidikan akan dilakukan oleh
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Sedang tugas penegakan qanun untuk menyelenggarakan ketertiban umum dan
ketenteraman masyarakat, akan dilaksankan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL
PP), yang sebagiannya dapat berbentuk unit Wilayatul Hisbah. Mengenai tata cara
pengangkatan, persyaratan dan pendidikan PPNS, begitu pula tata cara pembentukan
dan penyusunan organisasi SATPOL PP termasuk unit Wilayatul Hisbah akan dilakukan
dengan qanun.

Mungkin sekali pemberian kewenangan kepada PPNS dan SATPOL PP yang agak luas ini
didasari oleh dua hal; pertama memang ada keizinan dalam berbagai undang-undang

Draft Copy – Not to be Quoted Without Permission from the Author 7


First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies
24 – 27 February 2007

bahwa penegakan hukum di luar bidang pidana umum akan dilakukan oleh polisi khusus
(termasuk SATPOL PP) dan PPNS. Alasan kedua, barangkali ada prediksi di kalangan
kepolisian bahwa hukum yang akan berlaku di Aceh nanti relatif akan berbeda banyak
dengan aturan yang ada dalam hukum pidana yang sekarang dipakai secara nasional,
yang nota bene adalah hukum peninggalan Belanda. Dengan demikian tugas penegakan
hukum akan sangat merepotkan anggota kepolisian yang bertugas di Aceh karena
mereka tidak dibekali secara memadai tentang hukum yang berlaku di Aceh; dan lebih
dari itu sekiranya diberikan pembekalan akan tetap merepotkan karena mobilitas di
kalangan anggota kepolisian relatif tinggi sekali. Boleh jadi sebelum mereka mahir
memahami dan melaksanakan aturan jinayah yang berlaku di Aceh, mereka sudah
dipindah tugaskan lagi ke luar Aceh.

Di pihak lain ada kekuatiran keadaan ini masih akan memunculkan kesulitan baru.
Aturan untuk PPNS dan SATPOL PP di Aceh adalah aturan yang berlaku secara nasional,
bukan aturan khusus. Namun begitu karena Aceh diberi izin melaksanakan syari`at Islam
melalui Qanun Aceh, maka tugas dan kewenangan PPNS dan SATPOL PP di Aceh menjadi
relatif sangat besar sekiranya dibandingkan dengan tugas dan kewenangan PPNS dan
SATPOL PP di luar Aceh. vi Sedang aturan yang berlaku untuk kedua badan ini relatif
sama, sehingga ada kekuatiran, Pemerintah Pusat ketika merancang peraturan ini, hanya
mempertimbangkan tugas dan kewenangan PPNS dan SATPOL PP di luar Aceh dan tidak
mempertimbangkan tugas dan kewenangan PPNS dan SATPOL PP di Aceh. Kalau hal ini
terjadi maka PPNS dan SATPOL PP di Aceh akan mengalami kesulitan.

Sedang mengenai penuntutan dan pelaksanaan hukuman atas pelanggaran Qanun Aceh
di bidang syari`at Islam, sepenuhnya menjadi tugas kejaksaan, bahkan lebih ketat dari
tugas penyidikan tadi, UU No 11/2006 kelihatannya tidak membuka peluang bagi aparat
di provinsi atau kabupaten untuk ikut membantu petugas kejaksaan ini. Dengan
demikian kesulitan yang diduga akan terjadi pada petugas kepolisian di atas, kuat
dugaan akan terjadi juga pada petugas kejaksaan ini.

Berdasarkan uraian di atas, dalam kegiatan penegakan hukum di Aceh mungkin sekali
akan muncul kesulitan dan ketegangan. Aceh diberi izin untuk membuat hukum materil
dan formil yang akan berlaku di Aceh. Tetapi lembaga (aparat) yang bertugas untuk
melaksanakannya—khususnya di bidang pidana, boleh dikatakan adalah pihak luar
(aparat pusat) yang tidak bertanggung jawab kepada DPRD Provinsi NAD atau Gubernur
Provinsi NAD. Lebih dari itu mungkin sekali aparat pusat yang bertugas di Aceh ini tidak
menguasai Qanun-qanun Aceh karena mereka memang tidak dididik dan dipersiapkan
untuk itu. Keadaan ini menurut penulis harus dicarikan jalan keluarnya, sehingga tidak
ada kekuatiran bahwa Qanun Aceh di bidang syari`at Islam ini tidak akan terlaksana,
tidak akan digunakan oleh aparat penegak hukum dalam penegakan hukum di Aceh.

VI

Dengan memperhatikan uraian di atas, barangkali dapat disimpulkan bahwa pelaksanana


Syari`at Islam di Aceh bukanlah pekerjaan yang dilakukan di dalam ruang kosong, tetapi
merupakan sebuah pekerjaan besar yang terikat dengan berbagai hal dan keadaan yang
mengitarinya dan belum mempunyai contoh dalam perjalanan sejarah bangsa masa lalu.
Karena hal tersebut pelaksanaan secara bertahap dengan skala prioritas yang jelas,
yang didahului dengan kajian kritis dan mendalam, serta kalau perlu dengan melakukan
studi banding ke berbagai negara dan daerah, atau dengan mengundang tenaga ahli
yang sudah berpengalaman, merupakan sebuah kebutuhan yang mengandung kearifan
dan bahkan sebuah keniscayaan.

Berkaca pada pengalaman Indonesia dalam usaha mengganti hukum peninggalan


penjajah Belanda, terlihat pergerakan yang relatif sangat lambat. Pada tahun 1960
Indoensai berhasil mengganti hukum agraria, dan setelah itu baru pada tahun 1981

Draft Copy – Not to be Quoted Without Permission from the Author 8


First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies
24 – 27 February 2007

berhasil mengganti hukum acara pidana. vii Sedang hukum acara perdata dan hukum
pidana sampai sekarang masih menggunakan hukum peninggalan Belanda, belum
mampu menggantikannya dengan hukum nasional buatan sendiri. Penulis berharap
kegiatan penyiapan hukum materil dan formil pelaksanaan syari`at Islam di Aceh
hendaknya bisa lebih cepat sekiranya dibandingkan dengan kegiatan mengganti hukum
peninggalan Belanda tersebut.

Untuk menutup tulisan ini, pemerintah provinsi Aceh dan DPRD Aceh diharapkan
secepatnya membentuk sebuah badan legislasi di tingkat Provinsi agar pelaksanaan
Syari`at Islam di Aceh dapat dilaksanakan secara sistematis, terarah dan terkoordinir
dan dapat dirancang secara lebih baik. Dengan cara ini Aceh dapat menunjukkan bahwa
upaya pelaksanaan Syari`at Islam adalah pekerjaan besar yang dipundakkan
masyarakat Aceh ke atas bahunya sendiri dengan senang hati, yang lantas dilaksanakan
dengan serius dan sungguh-sungguh, dan mereka tidak merasa berat dengan tugas
besar yang mulia ini.

Demikianlah semoga ada manfaatnya, kepada Allah kita berserah diri, kepada Nya kita
mohon petunjuk dan perlindungan serta kepada Nya pula kita menyerahkan amal dan
bakti. Amin.

Darussalam, 23 Pebruari 2007 M, bertepatan 5 Shafar 1428 H.

Draft Copy – Not to be Quoted Without Permission from the Author 9


First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies
24 – 27 February 2007

Daftar Kepustakaan,

1. Abu Ya`la, Al-Ahkam-us Shulthaniyyah, Darul Fikr, Bairut, 1994.

2. Al Yasa’ Abubakar, Syari`at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam:


Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Dinas Syari`at Islam Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, Banda Aceh, cet. 4, 2006.

3. Hasan Hanafi, Min-an Nash ila-l Waqi’, Markaz al-Kitab lin-Nasyr, Kairo, cet. 1,
2005.

4. Jazim Hamidi (dkk), Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam


Sorotan, Tatanusa, Jakarta, cet. 1, 2005.

5. Khaled M. Abou El Fadl, Atas Naman Tuhan (terjemahan), Serambi, Jakarta, cet.
1, 2004.

6. Mahmud Syaltut, Al-Islam `Aqidat-un wa Syari`at-un, Dar-usy Syuruq, Kairo,


cet. 17, 1997.

Catatan Kaki:

i
Diantara episode sejarah yang sering dikutip dan diceritakan guru ketika penulis menjadi siswa
pada sekolah menengah adalah surat yang dikirim Tgk. Cik Di Tiro kepada Ratu Belanda yang
mengajukan tiga alternatif untuk menghentikan perang: pertama, Ratu Belanda masuk Islam dan
menjadi pelindung agama Islam di Aceh dan di luar Aceh; kedua Ratu Belanda menjadi pelindung
Aceh walaupun tidak masuk Islam, tetapi membiarkan rakyat Aceh melaksanakan ajaran Islam
secara penuh; ketiga Ratu Belanda menyuruh tentera Belanda keluar dari Aceh dan Kerajaan Aceh
akan berhubungan dan bertetangga baik dengan Belanda. Sekiranya alternatif ini tidak diterima
maka tidak ada cara bagi orang Aceh selain dari berperang sampai Belanda dapat diusir dari bumi
Aceh.
ii
Penulis telah memperoleh informasi tentang hal ini pada paroh akhir tahun 70-an, ketika
melakukan penelitian skripsi.
iii
Walaupun tidak digunakan secara merata, hirarki pemerintahan di Aceh pada masa kesultanan
dapat dirumuskan kira-kira, gampong sebagai pemerintahan (otonom) paling rendah, di atasnya
mukim sebagai koordinator gampong, dan di atasnya adalah uleebalang (sagi), yang sebagiannya
boleh dikatakan hampir merdeka penuh dan hanya dalam hal tertentu tunduk kepada sultan; di
atasnya lagi barulah sultan yang secara langsung hanya memerintah di sekitar wilayah Kota
Banda Aceh dan Aceh Besar sekarang, sedang daerah yang jauh hanya tunduk melalui
pembayaran upeti.
iv
Paling kurang ada dua buah buku yang telah ditulis oleh ulama Aceh atas permintaan sultan,
untuk menjadi pegangan hakim di seluruh wilayah Aceh waktu itu. Buku yang pertama disusun
oleh Abdurra`uf syiah Kuala pada abad ketujuh belas atas permintaan Sultan Tajul `Alam
Safiatuddin Syah (Sultan Aceh Darussalam yang ke 24, memerintah 1641 – 1675 M) dan buku
yang kedua disusun oleh Jalaluddin at-Tarusani, di abad kedelapan belas atas permintaan Sultan
Alaiddin Johansyah (Sultan Aceh Darussalam yang ke 34, memeritnah 1735 – 1760 M). Buku
pertama merupakan kitab fiqih berbahasa Melayu pertama yang disusun untuk pegangan hakim.
Sedang buku yang kedua merupakan penyempurnaan atas yang pertama, dan telah berupaya
menggunakan contoh, ukuran dan istilah Melayu sebagai ganti dari istilah Arab. Buku yang kedua
ini memuat hukum acara lebih banyak dari buku yang pertama, lebih mudah dipahami dan lebih
dekat dengan keadaan nyata lingkungannya.
v
Dalam antropologi pada dasarnya hanya ada dua bentuk keluarga: luas dan inti. Fiqih keluarga
yang sekarang ini ada seperti tercermin pada konsep wali dan `ashabah disusun ketika masyarakat
muslim mengikuti bentuk keluarga luas. Kemajuan teknologi telah menjadikan bentuk keluarga

Draft Copy – Not to be Quoted Without Permission from the Author 10


First International Conference of Aceh and Indian Ocean Studies
24 – 27 February 2007

bergeser ke bentuk inti, dimana ketika tidak ada ayah maka ibulah yang menjadi kepala keluarga,
bukan kakek atau saudara ayah. Bentuk keluarga inti ini menjadi semakin berkembang karena
secara sadar atau tidak didorong oleh kebijakan negara dan kemajuan ilmu dan teknologi. Banyak
hukum keluarga di negara muslim secara sadar atau tidak sadar menerima bentuk keluarga inti
sebagai landasan dasar penyusunan hukum kekeluargaanmereka, dan karena itu sampai batas
tertentu terpaksa melakukan penyesuaian-penyesuaian. Penyesuaian ini pada umumnya masih
bersifat tambal sulam, belum merupakan penyelesaian yang konseptual dan mendasar.
vi
Hukuman dalam PERDA paling tinggi hanyalah penjara enam bulan atau denda lima puluh juta
rupiah; sedang hukuman dalam Qanun Aceh di bidang syari`at Islam boleh lebih dari itu,
disesuaikan dengan aturan syari`at Islam itu sendiri. Jadi boleh hukuman cambuk, hukuman
penjara sampai seumur hidup, hukuman denda dan bahkan hukuman mati.
vii
Undang-undang Perkawinan disahkan pada tahun 1974, tetapi hukum perkawinan ini lebih
banyak untuk mengunifikasikan hukum perkawinan yang sebelumnya sangat beragam karena
menggunakan hukum adat, dan bukan untuk menggantikan hukum perkawinan peninggalan
Belanda yang memang tidak pernah berlaku untuk mayoritas penduduk Indonesia.

Draft Copy – Not to be Quoted Without Permission from the Author 11

You might also like