Professional Documents
Culture Documents
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Rizal Fauzi
NIM: 105043101309
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul LEGALITAS PERKAWINAN JANDA YANG BERCERAI DI
LUAR PENGADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF (STUDI KASUS DI KECAMATAN SAWANGAN KOTA DEPOK) telah
diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 07 Desember 2009. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada
Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.
Jakarta, 07 Desember 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA (..........................)
1957031219851003
2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. (..........................)
196511191998031002
3. Pembimbing I : Dr. A. Sudirman Abbas, MA (..........................)
150294051
4. Pembimbing II : Drs. H. Hamid Farihi, MA (..........................)
195811191986031001
5. Penguji I : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag. (..........................)
196511191998031002
6. Penguji II : Drs. Heldi, MPd (..........................) 196304141993031002
BAB I
PENDAHULUAN
Agama Islam adalah agama samawi yang terakhir diturunkan kepada nabi
pedoman hidup umat manusia di dunia dan akhirat dalam mencapai tujuan
Sebagai suatu syariat yang lengkap dan sempurna maka tidak ada suatu aspek
apapun yang dibicarakan oleh Islam, karena Syariat Islam yang abadi mencangkup
semua segi kehidupan baik yang mengatur hubungan hamba dengan kholiknya dan
Begitu pula Islam mengatur dalam masalah perkawinan yang bertujuan unutuk
membentuk keluarga yang bahagia dunia dan akhirat dibawah cinta kasih dan ridho
Ilahi. Sesusai dengan firman Allah SWT. dalam surat ar-Rum (30):21, yang berbunyi:
َ F َل بَ ْينَ ُك ْم َمFا َو َج َعFFَ ُكنُوا إِلَ ْيهFق لَ ُك ْم ِم ْن أَ ْنفُ ِس ُك ْم أَ ْز َواجًا لِت َْس
ٍ اFFَكَ آليFFِ ةً إِ َّن فِي َذلFو َّدةً َو َرحْ َمF
وْ ٍمFFَت لِق َ ََو ِم ْن آيَاتِ ِه أَ ْن خَ ل
( ۲۱ :۳٠/يَتَفَ َّكرُونَ )الروم
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanya Allah Dia ciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu merasa cenderung, dan merasa tentram kepadanya,
dan dijadikanya diantaramu rasa kasih dan sayang sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (Q.S.ar –
Rum (30):21).
Ayat di atas mengandung tiga konsep yaitu konsep “sakinah”, di urai melalui
bahasa hati “saling mengerti dan pengertian” berimplikasi pada suasana keduanya
( suami istri ), selain konsep “sakinah” ayat itu juga memperkenalkan konsep
mengantarkan kepada sikap agresif satu sama lain, pada tahapan berikutnya
disempurnakan oleh konsep “rahmah” yang berarti saling menyayangi dan itu
merupakan anugrah agung dari zat maha agung (Allah) karena predikat ini kelak akan
langgeng.[1]
rumah tanggga ideal dan tauladan panutan bagi yang lain, karena rumah tangga yang
dibina oleh pasangan suami isteri akan terwujud secara baik mana kala keduanya
saling bantu membantu serta seia sekata kegunung sama mendaki, ke bawah sama
menurun, terendam sama basah, terbakar sama hangus, dan terpenting saling
memahami satu dengan lainya. Sehingga di kala tua mendatang, kekal dan bahagia,
Selain itu dalam undang-undang perkawainan No.1 Tahun 1947 bab I pasal (1)
menyebutkan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir
dan batinya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antara anggota
keluarganya.[2]
hidup dalam rumah tangga, ternyata bukanlah suatu perkara yang mudah untuk
berlayar dengan tenang, terkadang tertimpa angin atau badai. Begitupun dengan
rumah tangga seseorang tidak selamanya mulus berada dalam kasih sayang
(mawadah wa rahmah) tapi di tengah jalan ada batu sandungan yang menggangu
Maka apa bila salah seorang dari pasangan suami isteri sudah meminta rasa
tidak suka pada salah seorang pasanganya janganlah terburu-buru untuk di ceraikan,
siapa tahu di balik rasa tidak suka ada sesuatu kebaikan yang tersembunyi.[3] Sesuai
َأْتِينFَوه َُّن إِال أَ ْن يFFا آتَ ْيتُ ُمFْض َمِ ذهَبُوا بِبَعFْ Fَضلُوه َُّن لِت ُ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ال يَ ِحلُّ لَ ُك ْم أَ ْن ت َِرثُوا النِّ َسا َء كَرْ هًا َوال تَ ْع
يرًاFFِرًا َكثF ِه خَ ْيFل هَّللا ُ فِيFَ F ْيئًا َويَجْ َعFوا َشFFُى أَ ْن تَ ْك َرهFوه َُّن فَ َع َسFFإ ِ ْن َك ِر ْهتُ ُمFَُوف ف
ِ بِفَا ِح َش ٍة ُمبَيِّنَ ٍة َوعَا ِشرُوه َُّن بِ ْال َم ْعر
)۱۹ :٤/(ألنساء
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan
jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengmbil
kembali sebagian dan apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali bila mereka
malakukan pekerjaan keji yang nyata.” Dan bergaulah dengan mereka secara pahit
kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah mejadikan padanya kebaikan yang
baik”.(QS.an-Nisa (4):19)
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1947 tentang perkawianan berusaha
semaksimal mungkin adanya dapat dilakukan dan menekan angka perceraian kepada
titik yang paling rendah. Karena perceraian dilakukan tanpa kendali dan sewenang-
wenang akan mengakibatkan kehancuran bukan saja kepada pasangan suami isteri
saja, kepada anak-anak yang mestinya harus di asuh dan dipelihara dengan baik.[4]
Perceraian tidak lagi boleh dipatutkan sesuka hati kaum laki-laki di atas
penderitaan kaum perempuan, akan tetapi harus memiliki alasan-alasan yang kuat dan
disampaikan di muka sidang pengadilan. Itupun setelah pengadilan lebih dahulu
berusaha mendamaikan pasangan suami isteri tetapi tetap tidak berhasil.[5] Sesuai
Hal ini di pertegas lagi dalam pasal 115 kompilasi hukum Islam dan pasal 65
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah
pihak , “
klasik talak bisa terjadi atau jatuh dimana dan kapan saja tereserah kepada suami
karena memang talak menjadi “hak paten” suami inipun dalam ayat al-Quran selalu
lelaki jadi pelaku hukum talak pun tentu pihak suami.[6] Sesuai dengan firman Allah
nantinya, artinya bahwa jika seseorang melaksanakan perkawainan yang sah maka
tersebut telah dianggap sah sehingga dia dapat melakukan perkawinan kembali.
Akan tetapi hal ini berbeda dengan apa yang telah terjadi di kota depok
tepatnya di desa Bojong sari. Di tempat tersebut penulis menemukan hal yang berbeda
dengan ketentuan yang seharusnya berlaku, dalam hal ini ditentukan sebuah kasus
bahwa seorang wanita pada awalnya telah melakukan perkawinan yang sah menurut
membina rumah tangganya ternyata orang tua tiri dari si wanita tersebut tidak senang
dengan si laki-laki tersebut ditambah dengan keadaan si laki-laki yang tidak mapan
Oleh karena itu orang tua tiri tersebut meminta si laki-laki itu untuk
ketentuan yang berlaku dalam undang-undang. Sehingga kita dapat melihat dari kaca
mata undang-undang dapat dikatakan bahwa perceraian tersebut tidak sah, akan tetapi
melakukan perkawinan kembali secara sah dengan laki-laki dan telah di karuniai
seorang anak.
Melihat kasus di atas dapat kita analisa bahwa perceraian yang dilakukan di
atas adalah merupakan perceraian yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Akan
berlaku dan dianggap tidak sah. Dengan demikian perceraian yang tidak sah tersebut
Maka jika kita kaitkan dengan konsep di atas dengan kasus yang terjadi di kota Depok
tepatnya di daerah Bojong sari tersebut, maka akan timbul pertanyaan di benak kita
tentang status perawinan wanita tersebut, apa lagi dia telah di karuniai seorang anak
merupakan suatu masalah yang perlu dikaji dan mendapat solusi hukum tersebut baik
perspektif hukum Islam maupun hukum positif. Oleh karena itulah penulis
memudahkan penulis dalam menyusun karya ilmiahya, penulis membatasi lokasi yang
akan dijadikan objek penelitianya hanya di kota Depok. Sesuai dengan pokok
1. Bagaimana keabsahan perceraian dalam konsep hukum Islam dan hukum positif.
2. Bagaimana setatus perkawinan janda yang tidak memiliki akta cerai perspektif hukum
C. Tujuan Penelitian
hukum positif
2. Untuk mengetahui status perkawinan seorang janda yang tidak memiliki akta
berikutnya.
Dalam kajian pustaka terdahulu ini, penulis berusaha mendata dan membaca beberapa
hasil penelitian yang ada hubungannya atau hampir sama dengan penelitian yang ada
hubungannya atau hampir sama dengan penelitian yang penulis lakukan dalam bentuk
skripsi maupun buku. Ada beberapa hasil penelitian yang penulis temukan yang
urusan Agama (Studi Kasus KUA Ciputat)”, yang ditulis oleh Yetty Elfa Riza pada
tahun 2005. Skripsi ini membahas tentang peran KUA dalam keabsahan suatu
Sodong Hilir, Tasikmalaya dan Akibat Hukumnya”, yang ditulis oleh Dede Rohyadi
pada tahun 2008. Skripsi ini membahas tentang hukum perceraian di luar pengadilan,
kendala suami istri di luar pengadilan agama, tanggapan hakim peradilan agama,
3. Skripsi yang berjudul, “Akibat Perceraian di Luar Pengadilan (Studi Kasus Pada
tahun 2005. Skripsi ini membahas tentang pemahaman dan pengetahuan masyarakat
perceraian di luar pengadilan, dampak perceraian di luar pengadilan bagi istri dan
anak.
4. Buku yang berjudul, “Perceraian dibawah tangan; peminggiran hak-hak perempuan;
yang ditulis oleh Dra. Kustini, M.Si pada tahun 2008. buku ini membahas tentang
perempuan dalam keluarga buruh migran, perempuan dan perceraian, fenomena buruh
Dari apa yang penulis kaji, tidak ada yang membahas tentang keabsahan perkawinan
janda yang tidak memiliki akta cerai , terutama pada kasus yang terjadi didaerah
sawangan. Sedangkan dalam skripsi yang penulis bahas lebih memfokuskan terhadap
masalah status perkawinan janda yang tidak memiliki akta cerai serta kegunaan akta
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil dari berbagai sunber, dengan
1. Sumber Data
mendalam dengan pegawai KUA Bojong Gede tempat perkawinan pertama, Amil
yang menceraikan di luar pengadilan, pegawai KUA Bojong Sari tempat perkawinan
kedua, juga wawancara langsung dengan pihak terkait mengenai masalah yang di
b. Metode kepustakaan yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dari literatur buku dan
teks-teks tulisan lain, membaca, dan menghayati serta menganalisa hal yang berkaitan
Seperti yang telah di sebutkan pada sumber data, penulis menggunakan teknik
pengumpulan data melalui library research dan wawancara yang sudah di buat daftar
wawancaranya. Setelah melakukan wawancara penulis mengubah hasil wawancara
tersebut ke dalam bahasa tulisan yang kedua menggunakan teknik keputusan, dari
F. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan pada lima bab dengan
BAB I : Merupakan bab yang membahas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
Penulisan.
BAB II : Merupakan bab yang menerangkan tinjaun umum tentang perkawinan dalam hukum
Islam dan hukum positif yang dibatasi hanya dalam pengertian dan dasar hukum,
BAB III : Bab ini menerangkan sekilas tentang perceraian dalam perspektif hukum Islam dan
hukum positif yang meliputi sub-sub judul pengertian dan dasar hukum, rukun dan
BAB IV : Pada bab ini menerangkan tentang duduk perkara, alasan pelaksanaan perceraian dan
BAB V : Merupakan bagian penutup bagi sistematika penulisan skripsi ini yang berisi sub-sub
judul yaitu kesimpulan, saran-saran, serta akan di lengkapi dengan daftar pustaka, dan
[1] Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan (Analisa Perbandingan Antar Madzhab)
(Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h.91
[2] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor : Kencana,2003), h. 22
[3] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika,2006), h.16
[4] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2006), h.8
[5] Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), h.178
[6] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahad (Bogor: Kencana,2003), h.208
BAB II
A. 1. Pengertian Perkawinan
nafsu syahwat, yakni keinginan untuk menyalurkan kebutuhan biologis dan psikologis
yang berlangsung dari sejak zaman dahulu. Dalam rangka itu Allah SWT pun telah
Perkawinan merupakan salah satu sunatullah yang umum berlaku pada semua
melaksanakan perkawinan yang sah baik menurut hukum agama dan hukum positif,
maka keturunannya akan mengenal orang tua dan nenek moyangnya, kehidupannya
adalam bermasyarakat pun akan tenang dan damai, sebab keturunannya jelas dan
ُ )النِ َكdan
Dalam al-Qur'an dan Hadits, perkawinan disebut dengan an-nikah (اح
(persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wath’i dan berkumpul selama
wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau
sepersusuan.”[3]
melakukan mut’ah secara sengaja”. Artinya, kehalalan seorang laki-laki untuk ber-
istimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya
[5]
mendefinisikan nikah sebagai ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari
rukun dan syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalah al-wath’ (bersetubuh).[6]
dijelaskan lebih luas dan bernuansa biologis. Nikah dilihat hanya sebagai akad yang
menurut al-Azhari makna asal ini kata nikah bagi orang Arab adalah al-wath’
(persetubuhan).[7]
Dalam redaksi lain Abu Yahya Zakariya al-Anshary di dalam Fath al-Wahhab
kebolehan hubungan seksual dengan seksual dengan lafazh nikah atau dengan kata-
perkawinan semata-mata dalam konteks hubungan biologis saja. Hal ini wajar karena
makna asal dari nikah itu sendiri sudah berkonotasi hubungan seksual. Di samping itu
harus diakui yang menyebabkan laki-laki dan perempuan tertarik untuk menjalin
kebutuhan seksualnya.
Di dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam Pasal
1 ayat 2 Perkawinan didefinisikan sebagai: “Ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.”
Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu diperhatikan:
mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda.
Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh
perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus
perkawinan tahlil.
Keempat, disebutkannya berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa
menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan
Islam di Indonesia memberikan definisi lain yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan
bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah: “Perkawinan yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.”
merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam
rumusan UU yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata
Esa” dalam UU. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam
merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah
ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti menurut
qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti
suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan menghendaki
umatnya berbuat yang sama. Hal ini sesuai dalam suatu hadits yang berasal dari Anas
حابFFرا من أصFFأن نف ّ : عن أنس، عن ثابت، ح ّدثنا ح ّماد بن سلمة، ح ّدثنا بهز،وح ّدثني أبو بكربن نافع العبدي
ام علىF ال أن:همFFال بعضF وق،اءFزوّج النّسFF ال أت:همFFال بعضFالنب ّي صلى هللا عليه وسلّم عن عمله في ال ّسرّ؟ فق
َ ُ "مابال أقوام قالوا كذاوكذا؟ لَ ِكنِّى أَنَا أ: فحمد هللا و أثنى عليه فقال،فراش
زَ َّو ُجFFَصلِّى َوأَنَا ُم َوأَصُوْ ُم َوأَ ْفطَ ُر َوأَت
َ َب ع َْن ُسنَّتِ ْى فَلَي
]11[)ْس ِمنِّ ْى (رواه مسلم َ النِّ َسا َء فَ َم ْن َرغ
Artinya: Dan diceritakan kepada kami oleh Abu Bakar Ibn Nafi al-‘Abdi, diceritakan kepada
kami oleh Bahz, diceritakan kepada kami oleh Ahmad Ibn Salamah, dari Tsabit, dari
Anas: Bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi Saw bertany kepada istri–istr Nabi
Saw tentang perbuatannya yang masih sirri (rahasia)? Sebagian dari mereka
menjawab: Aku tidak mengawini wanita, sebagian lagi menjawab: Aku tidak
memakan makanan daging, sedangkan yang sebagian lagi menjawab: Aku tidak tidur
di atas kasur, maka kemudian Nabi Saw bertahmid kepada Allah dan memujanya lalu
berkata: Bagaimanakah keadaan suatu kaum yang mengatakan seperti ini dan itu/ ?
(Rasul berkata ) “Tetapi aku sendiri melakukan shalat dan tidur, aku berpuasa dan
juga berbuka, dan juga menikahi seorang perempuan, maka siapa pun orang yang
tidak mengikuti sunah ku, ia bukan dari bagian dari umatku”.(HR. Muslim)
2. Dasar Hukum Perkawinan
َ F َل بَ ْينَ ُك ْم َمFا َو َج َعFFَ ُكنُوا إِلَ ْيهFق لَ ُك ْم ِم ْن أَ ْنفُ ِس ُك ْم أَ ْز َواجًا لِت َْس
ٍ اFFَكَ آليFFِ ةً إِ َّن فِي َذلFو َّدةً َو َرحْ َمF
وْ ٍمFFَت لِق َ ََو ِم ْن آيَاتِ ِه أَ ْن خَ ل
)۳٠:٢١/يَتَفَ َّكرُونَ (الروم
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-
Rum (30): 21)
Makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan, dari sinilah
Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari
juga termasuk sunnah rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul terakhir Nabi Muhammad
saw. Sesuai dengan firman Allah SWT yang tecantum dalam surat an-Nur ayat 32 dan
َ Fَوا فُقFFُائِ ُك ْم ِإ ْن يَ ُكونFFَوأَ ْن ِكحُوا األيَا َمى ِم ْن ُك ْم َوالصَّالِ ِحينَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َوإِ َم
ْ َرا َء يُ ْغنِ ِه ُم هَّللا ُ ِم ْن فF
: ۲٤/ورFF (الن...لِ ِهFض
)٣٢
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya….” (QS. an-Nur (24): 32)
)٣٨: ۱۳/ (الرعد... ًَولَقَ ْد أَرْ َس ْلنَا ُرسُال ِم ْن قَ ْبلِكَ َو َج َع ْلنَا لَهُ ْم أَ ْز َواجًا َو ُذرِّ يَّة
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan….” (QS. ar-Ra’d (13): 38)
Dalam Islam dianjurkan seorang berkeluarga karena dari segi batin orang
dapat mencapainya melalui berkeluarga yang baik, seperti dinyatakan dalam sabda
Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud:
الFFد قFFان بن يزيFFد الرّحمFFح ّدثنا عمر بن حفص بن غياث ح ّدثنا أبي ح ّدثنا األ عماش قال ح ّدثنا عمارة عن عب
الFFيئا فقFFدخلت مع علقمة و األسود على عبد هللا فقال عبد هللا كنّا مع النّب ّي صلى هللا عليه وسلّم شببا ال نجد ش
َ َزَ َّوجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِ ْلبFFَا َءةَ فَ ْليَتFFَتَطَا َع ِم ْن ُك ْم ْالبFب َم ْن اِ ْس
ِرFص َ ا َمعFFَلّم "يFFلنا رسول هللا صلى هللا عليه وس
َّ َرFْش
ِ َ باFالش
]12[) (رواه البخارى."ج ِ ْصنُ لِ ْلفَر
َ َْوأَح
Artinya: Diceritakan kepada kami oleh Umar bin Hafis bin Giyas, diceritakan kepada kami
oleh Bapakku, Diceritakan kepada kami oleh ‘Amas ia berkata: Diceritakan kepada
kami oleh I’maroh dari Abdurrahman bin Yazid ia berkata: Saya datang bersama al-
Qomah dan Aswad kepada Abdullah ia berkata: Ketika kami bersama Nabi Saw
bertemu beberapa pemuda yang tidak mempunyai sesuatu untuk menikah. Maka
Rosulullah berkata kepada kami: “Hai para pemuda, barang siapa yang telah
sanggup diantaramu untuk kawin, maka kawinlah, karena sesungguhnya kawin itu
dapat mengurangi pandangan (yang buruk/liar) dan lebih menjaga
kehormatan.”(HR. al-Bukhari)
Begitu pula perintah Nabi kepada umatnya untuk melakukan perkawinan
seperti dalam hadits Nabi dari Anas bin Malik menurut riwayat Ibnu Hibban, yang
berbunyi:
عن حفص بن أخي أنس بن، قال ح ّدثنا خلف بن خليفة، ح ّدثنا قتيبة بن سعيد: قال،أخبرنا مح ّمد بن إسحاق الثقفي
ولFF ويق، وينهى عن التّبتل نهيا شديدا، كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلّم يأمر بالباءة: عن أنس بن ملك قال.ملك
]13[) (رواه ابن حبّان."" تَ َز َّوجُوْ ا ْال ُولُوْ َد ْال َو ُدوْ َد فَإِنِّى ُم َكاثِ ٌر بِ ُك ْم ْاألَ ْنبِيَاء يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة
Artinya: Dikabarkan kepada kami oleh Muhammad bin Ishak as-Saqafi, ia berkata:
Diceritakan kepada kamioleh Qutaibah bin Sa’id, ia berkata: Diceritakan kepada
kami oleh Khalif bin Kholifah, Dari Hafis anak saudara ku yaitu Anas bin Malik.
Dari Anas bin Malik ia berkata: Rosulullah Saw memerintahkan segera melakukan
perrnikahan dan sangat melarang membujang (memperlambat pernikahan), dan
beliau berkata: “Kawinilah perempuan-perempuan yang dicintai yang subur, karena
sesungguhnya aku akan berbangga karena banyak kaum di hari kiamat.”(HR. Ibnu
Hibban)
Ibnu Rusyd menjelaskan dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-
perkawinan, hukum nikah berlaku untuk hukum-hukum syara’ yang lama, adakalanya
perkawinan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan
dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka
hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan
pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat
yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan perkawinan, sedang
menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan perkawinan itu pun wajib.
perkawinan, tetapi kalau tidak kain tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka
maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram. Sesuai dengan
firman Allah yang dikutip dalam surat al-Baqarah ayat 195 melarang orang
)١٩ ۲:٥/ (البقرة... َوال تُ ْلقُوا بِأ َ ْي ِدي ُك ْم إِلَى التَّ ْهلُ َك ِة
Artinya: “… Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan… (QS. al-
Baqarah (2):195)
4. Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh
dirinya terjerumus dalam perbuatan zina sekiranya tidak kawin. Dan orang tersebut
tidak mempnyai kerajinan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri
dengan baik.
tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga
tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk
1974 pada pasal 2 ayat (1): “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Ayat (2) mengungkapkan: “Tiap-
perkawinan diatur dalam pasal 5 dan 6. Oleh karena itu, pencatatan perkawinan
Pasal 2 KHI
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan atau akad yang sangat kuat atau
ibadah
Pasal 3 KHI
umum, maka kompilasi hukum Islam menggunakan istilah khusus yang tercantum di
rahmah.
Pasal 4 KHI
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata
tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu
yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya
tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau
tidak lengkap.
Menurut ulama Hanafiah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad
yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki.[17]
Menurut Imam Malik bahwa rukun nikah itu ada lima macam yaitu:
2. Mahar (maskawin)
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa rukun nikah itu ada lima
macam, yaitu:
3. Wali
Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun perkawinan itu ada empat,
yaitu:
syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala
haram dinikahi, baik karena haram dinikah`i untuk sementara maupun untuk
selama-lamanya.
terperinci:
Syari’at Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami
4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya
halal baginya
5) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam ‘iddah.
6) Tidak dipaksa/ikhtiyar
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul dengan lisan. Inilah yang
dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan
3. Syarat-syarat Wali
Dalam perkawinan wali itu adalah seorang yang bertindak atas nama mempelai
perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak
laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya dan pihak perempan
Seorang wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan adil
(tidak fasik). Akad nikah tidak sah apabila tanpa keberadaan seorang wali,
berdasarkan sabda Nabi saw dari Abu Burdah bin Abu Musa menurut riwayat Ibnu
عن أبي،ردةF عن أبي ب،دانيFF ح ّدثنا أبو إسحاق الهم، ح ّدثنا أبو عوانة.ح ّدثنا مح ّمد بن عبد الملك بن أبي الشوارب
]21[) قال رسول هللا صلّى هللا عليه وسلّم "الَ نِ َكا َح اِالَّ بِ َولِ ٍّي "(رواه ابن ماجة: قال: موسى
Artinya: Diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Sawarib.
Diceritakan kepada kami oleh Abu Awanah. Diceritakan kepada kami oleh Abu Ishak
al-Hamdani, dari Abu Burdah, Dari Abi Musa ia berkata: Rosulullah Saw berkata:
“tidak boleh nikah tanpa wali”(HR. Ibn Majah)
4. Syarat-syarat Saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah baru berhak menjadi wali bila memenuhi
b. Muslim
c. Baligh
d. Berakal
e. Merdeka
g. Melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah[22]
Berbeda dengan perspektif fikih, UU No. 1/1974 tidak mengenal adanya rukun
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang lebih diantara mereka tidak
orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
menurut tata cara yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila tidak dilakukan demikian, banyak orang yang menyebut perkawinan itu
1. Pemberitahuan
Dalam Pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975 ditetapkan, bahwa seorang orang yang
Pemberitahuan tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 ditentukan
pengecualiannya terhadap jangka waktu tersebut karena sesuatu alasan yang penting
Perkawinan itu dapat dilakukan oleh calon mempelai, orang tua mempelai atau
wakilnya. Sesuai Pasal 4 PP ini pemberitahuan dapat secara lisan atau tulisan.
Kemudian isi pemberitahuan tersebut telah ditentukan secara limitatif oleh Pasal
pekerjaan, tempat kediaman, calon mempelai pernah kawin disebutkan juga nama istri
2. Penelitian
Ayat (1) PP No. 9 tahun 1975 Pegawai Pencatat meneliti apakah syarat-syarat
perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan baik menurut Hukum
4. Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian, bagi
3. Pengumuman
Setelah dipenuhi tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada suatu
formulir yang ditetapkan pada kantor catatan perkawinan pada suatu tempat yang
4. Pelaksanaan
Batalnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan dalam hal ini
berarti berakhirnya hubungan suami istri. Batalnya perkawinan itu ada dalam
beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk
batalnya perkawinan. Dalam hal ini ada beberapa kemungkinan terjadinya batal
perkawinan yaitu:
1. Batalnya perkawinan atas kehendak Allah SWT sendiri melalui matinya salah satu
seorang suami istri. Dengan kematian berakhir pula dengan sendirinya hubungan
perkawinan.
2. Batalnya perkawinan karena kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan
kehendaknya itu dengan ucapan tertentu, bentuk ini disebut dengan sebab talaq.
3. Batalnya karena khulu yaitu batal atas kehendak si istri karena si istri melihat sesuatu
untuk itu, kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan. Si istri dengan
cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk
memutus perkawinan.
4. Batalnya karena fasakh yaitu batalnya atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga
setelah melihat adanya sesuatu pada suami atau pada istri yang menandakan tidak
5. Batalnya perkawinan karena zhihar yaitu karena seorang suami telah menyamakan
istrinya dengan ibunya dan seorang suami tersebut tidak boleh menggauli istrinya,
jika ia ingin meneruskan hubungan suami istrinya maka harus membayar kaffarah
terlebih dahulu.
6. Batalnya perkawinan karena ila’ yaitu seorang suami tidak boleh menggauli istrinya
karena ia telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam masa tertentu,
7. Batalnya perkawinan karena li’an yaitu eorang suami telah menyatakan sumpah atas
kebenaran tuduhan terhadap istrinya yang berbuat zina dan ia tidak boleh menggauli
perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Sedang di dalam penjelasannya disebutkan pengertian
“dapat” dalam pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bila mana menurut
perkawinan lebih lanjut dimuat dalam pasal 27 Peraturan Menteri Agama RI Nomor 3
Dengan demikian suatu perkawinan bisa batal demi hukum dan bisa
nikah karena sudah empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat
3. Seorang suami yang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhinya dengan
tolak tiga kali, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria
lain yang kemudian bercerai lagi setelah dicampuri pria tersebut dan telah habi
masa iddahnya.
dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
6. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan semenda,
yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
(sesusuan) yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi atau
paman susuan.
8. Perkawinan dilakukan dengan saudara kandung dari istri, atau sebagai bibi,
5. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak
seperti seorang pria yang mengaku sebagai jejaka pada waktu nikah kemudian
pengadilan.
[1]Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), h.43
[2]Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka
Progressif,1997), h.1565
[3]Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut, Dar al-Fikr) Juz VII, h.29
[4]Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana,2006),
h.39
[5]Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al- fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, (Dar Ihya’: Turas al-
Qarabi) Juz IV, h.3
[6]Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar fi Hal Ghayat al-Ikhtiyar (Surabaya: Darul Ihya) Juz
II, h.36
[7]Ibid., h.36
[8]Abu Yahya Zakariya al-Anshary, Fath al-Wahhab (Singapura: Sulaiman Mar’iy), Juz II,
h.30
[9]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana,2007), h.40
[10]Ibid., h.41
[11] Abi Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairy an-Naisabury, Sahih Muslim (Beirut: Dar Ihya
al-Kutub Arabi,1954), h.1020
[12] Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar Ihya al-
Kutub Arabi), Juz III, h.238
[13] ‘Alauddin ‘Ali Ibn Balban al-Farisi, Sahih Ibn Hibban (Beirut: al-Resalah), h.338
[14]Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (Beirut: Dar al-Fikr) Juz II,
h. 2
[15]Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqih ‘Ala Mazahib al-Arba’ah (Mesir: Dar Irsyad), Jilid
IV, h. 4
[16]Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat I, (Bandung: CV. Pustaka Setia), h.31-36
[17]Wahbah al-Juhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatihu (Beirut: Dar al-Fikr) Juz IX, h. 6521
[18]Zainuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in (Surabaya: al-Hidayah), h.99
[19]Wahbah al-Zuhaily, h.6521
[20]Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi) Juz II, h.56
[21] Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid al-Qozwini, Sunan Ibn Majah (Indonesia: Maktabah
Dahlan), Juz I, h.605
[22] Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2007), h.76-78
[23]Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana,2006),
h.39
[24]Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis Undang-undang No.
1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara1996), h.170-186
[25]Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan hukum Islam dan Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana,2006),
h.127
[26]Moh. Rifa’i, Fikih Islam Lengkap (Kuala Lumpur, Pustaka Jiwa,1996), h. 43
[27]Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam Kompetensi Peradilan Agama tentang
Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shodaqoh (Bandung: Mandar Maju,1997), h.26
BAB III
A. 1. Pengertian Perceraian
Pada prinsipnya, kehidupan rumah tangga harus didasari oleh mawaddah,
rahmah dan cinta kasih, yaitu bahwa suami istri harus memerankan peran masing-
masing, yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Di samping itu harus juga
yang lain sehingga rumah tangga menjadi hal yang sangat menyenangkan, penuh
Karena itu “ikatan antara suami istri” adalah ikatan paling suci dan paling
kokoh. Dan tidak ada sesuatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat
kesuciannya yang demikian agung itu, lain dari pada Allah sendiri, yang menamakan
kokoh) sesuai firman Allah dalam surat an-Nisa’ (4): 21 yang berbunyi:
ْ َ َوأ...
)٤:٢١/خَذنَ ِم ْن ُك ْم ِميثَاقًا َغلِيظًا (النساء
Artinya: “ … Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.”
(QS. an-Nisa’(4): 21)
Jika mata air cinta dan kasih sayang sudah kering dan tidak lagi memancarkan
airnya, sehingga hati salah satu pihak atau keduanya (suami istri) sudah tidak lagi
merasakan cinta kasih, lalu kedua-duanya sudah tidak saling mempedulikan satu
dengan lainnya serta sudah tidak menjalankan tugas dan kewajibannya masing-
masing, sehingga yang tinggal hanyalah pertengkaran dan tipu daya, kemudian
keduanya berusaha memperbaiki namun tidak berhasil, begitu juga keluarganya telah
berusaha melakukan perbaikan, namun tidak kunjung berhasil pula. Maka pada saat
itu, tidak adalah kata yang paling tepat seakan-akan ia merupakan setrika yang di
dalamnya terdapat obat penyembuh, namun ia merupakan obat paling akhir diminum.
Konsekuensinya ia dapat lepas, karena makna dasar dari thalak itu adalah melepaskan
seekor unta yang terlepas yaitu terlepas tanpa ikatan dan seperti halnya tahanan yang
bebas yaitu terlepas ikatannya, akan tetapi secara kebiasaan thalak itu melepaskan
ikatan. Secara terminologi adalah melepas tali pernikahan, atau melepas akad nikah
thalak diambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau
kata tertentu.[3]
menjelaskan bahwa thalak secara bahasa, thalak berarti pemutusan ikatan. Sedangkan
Definisi thalak yang lebih panjang dapat dilihat dalam kitab Kifayat al-Akhyar
yang menjelaskan thalak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan
thalak adalah lafazh jahiliyah yang setelah Islam datang menetapkan lafazh itu
sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang thalak itu berdasarkan al-
Dari definisi thalak di atas, jelaslah bahwa thalak merupakan sebuah institusi
ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus dan tata caranya telah diatur baik dalam
aturan-aturan yang lebih rinci meskipun tampak mengikuti alur yang digunakan oleh
dalam Pasal 113 menyatakan perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian,
thalak, KHI menjelaskan pada Bab XVI dalam Pasal 117 yang dimaksud dengan
thalak adalah: “Ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah
satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
sebagai berikut:
وتِ ِه َّن َوالFFُوه َُّن ِم ْن بُيFFوا هَّللا َ َربَّ ُك ْم ال تُ ْخ ِر ُجFFُ َّدةَ َواتَّقFيَا أَيُّهَا النَّبِ ُّي إِ َذا طَلَّ ْقتُ ُم النِّ َسا َء فَطَلِّقُوه َُّن لِ ِع َّدتِ ِه َّن َوأَحْ صُوا ْال ِع
َ يَ ْخرُجْ نَ إِال أَ ْن يَأْتِينَ بِفَا ِح َش ٍة ُمبَيِّنَ ٍة َوتِ ْل
ُ ِدFْ َّل هَّللا َ يُحF ْد ِري لَ َعFَهُ ال تFك ُحدُو ُد هَّللا ِ َو َم ْن يَتَ َع َّد ُحدُو َد هَّللا ِ فَقَ ْد ظَلَ َم نَ ْف َس
ث
)۱ :٦۵/ك أَ ْمرًا (الطالق َ ِبَ ْع َد َذل
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar
kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah,
Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak
mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.( QS.
at-Thalaq (65): 1)
2. Surat al-Baqarah (2): 229
اFFَ ْيئًا إِال أَ ْن يَخَافF وه َُّن َشFF ُذوا ِم َّما آتَ ْيتُ ُمFْري ٌح بِإِحْ َسا ٍن َوال يَ ِحلُّ لَ ُك ْم أَ ْن تَأْ ُخ ِ ُوف أَوْ تَسٍ ك بِ َم ْعر ُ الطَّال
ٌ ق َم َّرتَا ِن فَإ ِ ْم َسا
دُوهَا َو َم ْنFFَك ُحدُو ُد هَّللا ِ فَال تَ ْعت َ َت بِ ِه تِ ْل
ْ أَال يُقِي َما ُحدُو َد هَّللا ِ فَإ ِ ْن ِخ ْفتُ ْم أَال يُقِي َما ُحدُو َد هَّللا ِ فَال ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما فِي َما ا ْفتَد
)۲۲۹ :۲/يَتَ َع َّد ُحدُو َد هَّللا ِ فَأُولَئِكَ هُ ُم الظَّالِ ُمونَ (البقرة
Artinya:“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil
kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri
untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah
orang-orang yang zalim. (QS. al-Baqarah (2): 229)
3. Surat al-Baqarah (2): 230
هFFق امرأتFFه طلFFّا أنFFح ّدثنا إسماعيل بن عبد هللا قال ح ّدثني مالك عن نافع عن عبد هللا بن عمر رضي هللا عنهم
كFFوهي حائض على عهد رسول هللا صلّى هللا عليه وسلّم فسأل عمر بن جطّاب رسول هللا عليه وسلّم عن ذال
ا َءF َكهَا َحتَّى تَطَهَّ َر ثُ َّم ت َِحيْضُ ثُ َّم تَطَه ََّر ثُ َّم إِ ْن َشFا ثُ َّم لِيُ ْم ِسFFَرهُ فَ ْليُ َرا ِج ُعهFF م: فقال رسول هللا صلّى هللا عليه وسلّم
]7[) (رواه البخاري.ق لَهَا النِّ َسا ُء َ َّك ْال ِع َّدةُ الَّتِ ْى أَ َم َر هللاُ أَ ْن تُطَلَ ق قَ ْب َل أَ ْن يَ ُمسَّ فَتِ ْل َ أَ ْم َس
َ َّك بَ ْع ُد َوإِ ْن َشا َء طَل
Artinya; Diceritakan kepada kami oleh Ismail Ibn Abdullah, ia berkata: diceritakan kepada
kami oleh Malik dari Nafi’,dari Abdullah Ibn Umar. Bahwa sanya ia telah menthalak
istrinya dalam keadaan haid pada masa Rasulallah Saw. Kemudian Umar Ibn
Khatab bertanya kepada Rasulullah tentanghal itu.Maka Rasulullah Saw
bersabda:”Perintahkan anakmu itu supaya rujuk (kembali) kepada istrinya itu,
kemudian hendaklah ia teruskan pernikahan tersebut sehingga ia suci dari haid, lalu
haid kembali dan kemudian suci dari haid yang kedua. Maka, jika berkehendak, ia
boleh meneruskan sebagaimana yang telah berlalu, dan jika menghendaki, ia boleh
mencerikannya sebelum ia mencampurinya. Demikianlah iddah diperintahkah Allah
Swt saat wanita itu dicerikan.” (HR. al-Bukhari).
Meskipun para ulama sepakat membolehkan thalak, jika keadaan hubungan
pernikahan suami istri dalam keadaan kritis, terancam perpecahan, serta pertengkaran
yang tidak membawa keuntungan sama sekali. Dan pada saat itu, dituntut adanya
jalan untuk menghindari dan menghilangkan berbagai hal negatif tersebut dengan cara
thalak.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa begitu kuat dan kokohnya hubungan antara
suami istri, maka tidak sepantasnya apabila hubungan tersebut dirusak dan
disepelekan. Oleh karena itu, apabila terjadi perselisihan antara suami istri, sebaiknya
bisa diselesaikan hingga tidak terjadi perceraian. Karena bagaimanapun, baik suami
maupun istri tidak menginginkan hal itu terjadi. Lebih-lebih sebuah hadits
menjelaskan bahwa meskipun thalak itu halal, tetapi sesungguhnya perbuatan itu
dibenci oleh Allah SWT sebagaimana sabda Rasulullah saw yang berbunyi:
َ F ع َْن إبْنُ ُع َم،ارFFارب بن دثFF عن مح،لFF عن معرّف بن واص، ح ّدثنا مح ّمد بن خالدF،ح ّدثنا كثير بن عبيد
ر عنF
ُ َ أَ ْبغَضُ ْال َحالَ ِل اِلَى هللاِ الطَّال:صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل
]8[.)ق (رواه أبو داود َ َِرسُوْ ِل هللا
Artinya: Diceritakan kepada kami oleh Katsir Ibn ‘Ubaid, diceritakan kepada kami oleh
Muhammad Ibn Kholid, dari Mu’arif Ibn wasil, dari Muharib Ibn Ditsar, dari Ibnu
Umar, dari Nabi Saw bersabda: “Perbuatan halal yang sangat dibenci Allah Azza
wajalla adalah thalak.” (HR. Abu Daud
Sedangkan tentang hukum cerai para ahli fiqih berbeda pendapat sehingga
dilihat dari kemaslahatan atau kemudharatannya, maka hukum perceraian atau thalak
1. Wajib
Apabila terjadi perselisihan antara suami istri lalu tidak ada jalan yang dapat
ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus perkara kedua.
Jika kedua hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih baik bagi mereka,
maka saat itulah thalak menjadi wajib. Jadi, jika sebuah rumah tangga tidak
baginya.
2. Makruh
Yaitu thalak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan, thalak
seperti itu dibenci karena dilakukan tanpa adanya sebab yang membolehkan. Dan
kebaikan yang memang disunahkan. Sehingga thalak itu menjadi makruh hukumnya.
3. Mubah
Yaitu thalak yang dilakukan karena ada kebutuhan. Misalnya karena buruknya
akhlak istri dan kurang baiknya pergaulannya yang hanya mendatangkan mudharat
4. Sunnah
Yaitu thalak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan hak-hak Allah SWT
yang telah diwajibkan kepadanya, misalnya shalat, puasa dan kewajiban lainnya.
Sedangkan suami juga sudah tidak sanggup lagi memaksanya, atau istrinya sudah
tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya. Hal itu mungkin saja terjadi,
karena seorang wanita itu mempunyai kekurangan dalam hal agama. Dalam kondisi
seperti itu dibolehkan bagi suaminya untuk mempersempit ruang dan geraknya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an-Nisa (4): 19 yang berbunyi:
dapat mengurangi keimanan suami, tidak membuat aman ranjangnya dari perbuatan
rusaknya, dan dapat melemparkan kepadanya anak yang bukan dari darah dagingnya
sendiri.
Ibnu Qudamah berkata: Thalak dalam salah satu dari dua keadaan di atas
(Yaitu tidak taat kepada Allah dan kurang rasa malunya) barang kali wajib. Dan
berkata pula: Thalak sunnah yaitu thalak karena perpecahan antara suami istri yang
sudah berat dan bila istri keluar rumah dengan minta khulu’ karena ingin terlepas dari
bahaya.[9]
5. Mahzhur (terlarang)
Yaitu thalak dilakukan ketika istei sedang haid, para ulama di Mesir telah
sepakat untuk mengharamkannya. Thalak ini disebut thalak bid’ah. Disebut bid’ah
karena suami yang menceraikan itu menyalahi sunnah Rasul dan mengabaikan
ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam bahasa KHI disebut dengan mistagan ghalizha
(ikatan yang kuat). Namun dalam realitanya seringkali perkawinan tersebut kandas di
tengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian,
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan
perundangan sendiri.
Pasal 113, dan 114 yang membagi perceraian kepada dua bagian, perceraian yang
Berbeda dengan UUD yang tidak mengenal istilah thalak KHI menjelaskan
pada Pasal 117 yang dimaksud dengan thalak adalah: “Ikrar suami di hadapan sidang
pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara
Rukun thalak ialah unsur pokok yang harus ada dalam thalak dan terwujudnya
thalak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun thalak tersebut
1. Suami.
Suami adalah yang memiliki hak thalak dan yang berhak menjatuhkannya.
perkawinan. Oleh karena itu thalak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata
Sebagaimana sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari
عن،برةFF عن الن ّزال بن س، عن الضحّاك،عن جوبير، أنبأنا معمر، ح ّدثنا عبد ال ّر ّزاق،ح ّدثنا مح ّمد يحيى
]11[)اح" (رواه إبن ماجة َ َعلي بن أبي طالب عن النّب ّي صلّى هللا عليه وسلّم قال"الَ طَال
ٍ ق ق ْب َل نِ َك
Artinya:Diceritakan kepada kami oleh Muhammad Ibn Yahya, diceritakan kepada
kami oleh Abdul Rozak, dikhabarkan kepada kami oleh Ma’mar, dari jubair, dari
Dohak, dari an-nazal Ibn Sabroh, dari Ali Ibn Abi Tholib, Nabi saw bersabda: “tidak
ada thalak kecuali setelah akad perkawinan”.(HR.Ibnu Majah)
Thalak akan sah apabila suami yang menjatuhkan thalak tersebut memenuhi
a. Berakal sehat, maka tidak sah thalaknya anak kecil atau orang gila
2. Istri
Tidak dipandang jatuh thalak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain.
Thalak akan sah apabila istri yang dijatuhkan thalak memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalin
masa iddah thalak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada
b. Kedudukan istri yang dithalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah
c. Perempuan yang masih dalam ikatan nikah yang sah atau ismah.
3. Sighat thalak
Sighat thalak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya
yang menunjukkan thalak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik
berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan
orang lain.
disertai pernyataan thalak, maka yang demikian itu bukan thalak. Demikian pula niat
thalak atau masih berada dalam pikiran dan angan-angan tidak diucapkan, tidak
C. Prosedur Perceraian
hubungan suami istri, baik dinyatakan dengan kata-kata, dengan surat kepada istrinya,
isyarat oleh orang yang bisu, maupun dengan mengirimkan seorang utusan.
Adakalanya kata-kata yang digunakan itu terus terang, tetapi adakalanya dengan
sindiran. Yang dengan kata terus terang yaitu kata-kata yang mudah dipahami artinya
waktu diucapkan, seperti: “engkau terthalak”, atau dengan segala kata-kata yang
diambil dari kata dasar thalak. Sedangkan kata-kata sindiran yang bisa digunakan itu
berarti thalak dan lainnya, seperti: “engkau terpisah”, atau dengan kata “perkaramu
menulisnya mampu berkata-kata. Karena suami boleh menolak istrinya dengan lafadz
(ucapan), iapun berhak untuk menolak melalui surat, dengan syarat suratnya itu jelas
Isyarat orang bisu merupakan alat menjelaskan maksud hatinya kepada orang
lain. Karena itu, isyarat seperti ini dipandang sama nilainya dengan kata-kata yang
diucapkan dalam menjatuhkan thalak apabila orang bisu memberikan isyarat yang
kepada istrinya yang berada di tempat lain bahwa ia telah ditolak. Dalam hal ini,
utusan tadi bertindak selaku orang yang menolak. Karena itu, tolaknya sah.[13]
Islam itu secara umum dijelaskan bahwasannya perceraian hanya dapat dilakukan di
depan pengadilan, dalam hal ini sesuai dengan apa yang telah tercantum dalam UU 1
tahun 1974 Pasal 39 Ayat 3 dan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 129-148.
[1]Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu (Beirut: Dar al-Fikr) Juz IX, h. 6864
[2]Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah alih bahasa Moh. Tholib, (Bandung: PT al-Maarif, 1980) Juz
VIII, h. 7
[3]Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqih ‘Ala Mazahib al-Arba’ah (Mesir: Dar Irsyad) Juz
IV, h. 249
[4]Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, al-Jami’ fil Fiqhi an-Nisa Alih bahasa M. Abdul
Ghoffar, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 427
[5]Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Aakhyar fi Hal Ghoyat al-Ikhtiyar (Surabaya: Darul Ihya) Juz
II, h. 84
[6]Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Inter Masa, 2003), h. 42
[7] Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Bairut, Dar Ihya al-
Kutub Arabi) Juz III, h. 226
[8] Abi Daud Sulaiman Ibn Asa’s as-Sijistani, Sunan Abi Daud (Beirut: Dar al-A’lam,2003),
h. 351
[9]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah alih bahasa Moh. Tholib, (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1980) Juz
VII, h. 12
[10]Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga Alih Bahasa M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2001), h. 208-210
[11]Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazidal-Qozwini, Sunan Ibn Majah (Indonesia: Maktabah
Dahlan), Juz I, h.660
[12]Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor: Kencana, 2003), h. 2001-2004
[13]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Juz III, Alih bahasa Nor Hasanuddin, 2006, (Jakarta: Pena
Pundi Aksara), h. 146-150
BAB IV
A. Duduk Perkara
Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang
bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini merupakan bunyi pasal 1 UU
No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dari maksud kata “Ketuhanan Yang Maha
Esa” , hal ini memberikan isyarat bahwa suatu perkawinan harus dilaksanakan
berdasarkan landasan agama. Akan tetapi hal ini tidak cukup, karena dalam
landasan hukum Islam saja tetapi juga harus juga berlandaskan kepada aturan
perundang-undangan. Hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam pasal 2 ayat 1
dan 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi : “perkawinan adalah
Dari dua pasal diatas dapat kita simpulkan bahwa suatu pernikahan baru
dianggap sah apabila dilakukan berdasarkan hukum Islam dan berdasarkan peraturan
perceraian pun harus dilakukan di depan pengadilan. Hal ini sesuai dengan apa yang
tercantum dalam pasal 39 ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang
belah pihak” .Akan tetapi, hal ini berbeda dengan apa yang terjadi dilapangan.
Didaerah tersebut terdapat kasus dimana sepasang suami istri yang awalnya
menikah secara sah sebagaimana aturan yang berlaku. Namun beberapa bulan
kemudian timbul keresahan dari pihak keluarga istri karena si suami belum kunjung
mempunyai pekerjaan. Kemudian, pihak keluarga dari wanita terus meminta si suami
untuk menceraikan si istri karena keluarga tersebut mengangap bahwa si suami
Meskipun antara suami istri tersebut masih saling menyayangi, akan tetapi
karena kuatnya terus desakan dari pihak si istri dan pada saat itupun si suami belum
suami terhadap istrinya dan ia pun menyadari kekurangannya dalam hal ekonomi atau
memberi nafkah kepada istri, maka si suami pun menceraikan istrinya walaupun
dengan perasaan hati yang sangat berat dan terpukul. Akan tetapi, perceraian yang
dilakukan di hadapan amil dan pihak keluarga saja. Hal ini berimplikasi bahwa
perceraian yang dilakukan tersebut hanya sah di hadapan hukum Islam saja tetapi
tersebut pindah ke daerah Bojong Sari. Dan setelah beberapa bulan ia menetap di
daerah tersebut, si perempuan itu kembali dijodohkan dengan pria lain pilihan orang
tuanya. Dan si perempuan itu pun menurut kepada pilihan orang tuanya, sampai
kepada pernikahannya pun disiapkan oleh orang tuanya. Dan hal yang sangat
mengejutkan dalam kasus ini adalah ternyata pernikahan yang dilakukan kedua
tersebut adalah pernikahan yang sah berdasarkan hukum positif dan hukum Islam.
Padahal kalau kita kaji dari perceraian yang dilakukan sebelumnya maka
terlihat bahwa perceraian yang dilakukannya hanya sah berdasarkan hukum Islam
saja, akan tetapi secara legalitas hukum positif perceraian tersebut tidak diakui. Hal
ini yang kemudian menurut penulis menjadi suatu masalah yang sangat besar, karena
pernikahan kedua yang dilakukan oleh perempuan tersebut masih menduduki posisi
perceraian tersebut, yang juga sekaligus sebagai pelaku perkawinan yang didahului
pelaku bahwa perceraian dengan suaminya adalah karena didasari oleh dua faktor
materinya tidak atau kurang dari kecukupan. Bahkan sampai suami tersebut
melanggar sighat taklik yang pernah diucapkan, salah satunya yaitu tidak memberi
nafkah kepada istrinya tiga bulan lamanya. Pelaku mengaku bahwa ketidakcukupan
ekonomi di antara keduanya menyebabkan orang tua pelaku tidak senang dengan
suaminya sehingga orang tua pelaku meminta suaminya untuk segera mengakhiri
mahligai rumah tangganya yang baru seumur jagung yakni kurang lebih dua tahun
lamanya. Sementara itu, pihak suami yang memang sejak dulu sudah merasa rendah
diri (minder) dengan lawannya karena tidak bisa mencukupi kebutuhan nafkah sang
istri serta tidak bisa berbuat banyak atas permintaan istri. Akibatnya kedua belah
pihak (istri dan suami) sepakat untuk mengakhiri hubungan pernikahannya dengan
jalan cerai.
Dan dari faktor eksternalnya, bahwa orang tua dari pihak istri, dengan
mengetahui ananknya tidak dinafkahi selama masa tiga bulan lamanya oleh suaminya
(menantu), maka atas alasan ini pulalah pihak orang tua si istri menghendaki agar
anaknya bisa berpisah atau bercerai dengan suaminya, demi mendapat kehidupan
yang lebih layak nantinya. Sehingga istri, dalam hal ini lebih yakin untuk
melaksanakan perceraiaan dengan suaminya, sebagaimana alasan-alasan yang
dimaksud di atas.
keduanya tidaklah diproses dalam sidang di pengadilan agama tempat pelaku tinggal,
namun perceraian tersebut terjadi begitu saja di antara pelaku dengan hanya ucapan
“talak” dari suami kepada istri yang juga disaksikan oleh orang tua atau pihak
keluarga saja dan seorang amil setempat atau atau perceraian tersebut dapat dikatakan
tangan).
terjadi dengan akad nikah yang sah dan tertulis secara di KUA sehingga menimbulkan
pertanyaan apakah perceraian tersebut sah baik secara hukum Islam maupun hukum
positif. Selain itu permasalahan yang juga akan di bahas selanjutnya adalah bahwa
laki lain yang dilakukan secara resmi dan tertulis di Kantor Urusan Agama.
Dalam hal ini yang menjadi landasan perkawinan kembali wanita tersebut
adalah bahwa dia telah melakukan perceraian yang sah secara Islam. Menurutnya
perceraian tersebut telah memenuhi syarat sesuai dengan hukum Islam. Di samping
itu ia pun telah melewati masa iddahnya selama 3 bulan 10 hari. Sehingga hal inilah
yang mendasarinya melakukan pernikahan kembali dengan laki-laki lain. Selain itu,
kondisinya pada saat itu pun dalam keadaan kosong artinya di sini bahwa ia dalam
kondisi tidak ada ikatan apapun dengan laki-laki lain sehingga tidak ada lagi hal yang
murni semuanya diurus oleh pihak keluarganya dan wanita tersebut tidak tahu
paham dengan masalah hukum jadi dia hanya mengikuti prosedur yang telah
C. Analisa Masalah
Indonesia adalah Negara bangsa (nation state), bukan Negara agama (religion state).
Hukum yang berlaku adalah hukum konvensional (positif), bukan hukum agama. Ini
mirip dengan konsep sekuler yang memisahkan antara agama dengan Negara. Urusan
agama diserahkan kepada masing-masing individu, sebagai warga Negara yang baik
selain taat beragama kita juga dituntut untuk mentaati peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk dalam hal perkawinan yang notabene domain
agama. Apalagi Indonesia bukanlah Negara sekuler, tapi juga Negara agama lebih
mengakomodasi hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama, salah satunya dalam
Dalam perspektif hukum Islam tidak ada korelasi dan relevansi ada atau tidak akta
akta cerai merupakan bukti legalitas pengakuan oleh Negara terhadap putusnya
hubungan perkawinan antara suami dan istri. Tanpa akta cerai tersebut seseorang
tidak dapat melakukan pernikahan berikutnya karena dianggap masih terikat dengan
perkawinan sebelumnya. Dalam UUD No.1 tahun 1974 diterangkan bahwa prinsip
dasar perkawinan adalah monogami disinilah letak pentingnya keberadaan akta cerai
pertama, melihat pada status perceraian yang dilakukan bukan di depan hakim, pada
satu sisi perceraian tersebut sah secara hukum Islam karena dalam literatur hukum
jatuh apabila seorang suami telah mengucapkan kata talak kepada istrinya baik secara
اردك ) عن: ةFFريب والخالصFFرحمن بن ادرك (فى التقFFد الFFماعيل عن عبFFا تم بن اسFFدثنا حFF ح: قال, حدثنا قتيبة
: ٌّدFزلُه َُّن ِجFَ ٌ َ ثَال: لمFه وسF قال رسول هللا صلى هللا علي، عن ابي هريرة، عن ابن ماهك: عطاء
ْ ٌّد َوهF ٌّد ه َُّن ِجFث ِج
]3[) َوالرَّجْ َعةُ (رواه الترمذى،ُ َوالطَّالَق،ُاَلنِّ َكاح
Artinya: Diceritakan kepada kami oleh Qutaybah, ia berkata : Diceritakan kepada kami oleh
Hatim Ibn Ismail dari Abdurrahman Ibn Adrak (didalam kitab at-Taqrib dan
Khulasoh : Ardak) dari Atho: dari Ibn Mahak, dari Abi Hurairah, berkata Rasulullah
saw : “tiga perkara kesungguhannya di pandang benar dan main-mainnya di
pandang benar pula, yaitu: nikah, thalak, rujuk.(HR. at-Tirmidzi)
Dengan demikian perceraian tersebut sah secara syara’ akan tetapi jika
yang mengacu kepada undang-undang No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
perceraian tersebut tidak sah secara hukum hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 39
ayat 1 UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbuyi : “ Perceraian hanya
Maka secara Yuridis dapat dikatakan perceraian tersebut tidak sah dan harus
dibatalkan dan si istri secara hukum masih terikat dengan suami yang lama. Dengan
demikian menurut hemat penulis perceraian tersebut tidak sah karena sistem
harus dilaksanakan di depan hakim pengadilan. Selain itu, dari segi kemaslahatan
sembarangan dan exploitasi suami terhadap istri dengan kekuasaan yang otoritatif dari
walaupun tanpa pengetahuan istri hal tersebut tetap tidak dapat di benarkan karena
secara yuridis si istri masih terikat dalam perkawinan dengan suami nya yang lama
sebagai akibat perceraian yang tidak sah secara hukum positif. Sehingga perkawinan
perkawinan dinyatakan bahwa pernikahan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
menjaga terjadinya tindak poliandri dari istri yang memang jelas-jelas di larang oleh
adalah bisa batal bilamana menurut ketentuan hukum agamanya tidak menentukan
lain, dengan demikian dapat dipahami bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan
oleh seseorang bisa batal demi hukum dan bisa dibatalkan apabila cacat hukum dalam
pelaksanaannya. Pada kasus diatas harus dibatalkan karena cacat hukum yaitu
diketahuinya perempuan yang dikawini masih bersetatus istri pria lain yang secara
hukum positif.[4] Akan tetapi kalau kita merujuk kepada hukum Islam maka
adalah sah secara hukum Islam dan dia pun telah memenuhi persyaratan secara
hukum Islam untuk melakukan suatu pernikahan. Sehingga pernikahan kedua yang
wanita yang bercerai diluar sidang pengadilan harus dibatalkan secara hukum positif,
maka setatus perkawinan tersebut menjadi perkawinan sirri karena menurut hukum
Islam sah-sah saja sebab perceraiannya pun dianggap sah menurut hukum Islam.
Akan tetapi apabila pihak-pihak terkait ingin meneruskan perkawinan dan diakui oleh
hukum Islam dan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Maka seorang tersebut
harus terlebih dahulu mengurus surat-surat bukti perceraian (Akta Cerai) dari
Sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 7 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam yang
berbunyi : “ Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat
diajukan Isbat Nikahnya di Pengadilan Agama. Sebagai contoh kasus Ayu Azhari
yang mengajukan Isbat Nikah demi mendapatkan aspek legal perkawinannya serta
menyelamatkan masa depan anak dan keturunannya, sebab Isbat Nikah merupakan
saluran yang tepat agar para pihak terkait terhindar dari kesimpangsiuran hukum.[5]
Nikah dibawah tangan apabila tidak dilegalkan akan berimplikasi terhadap hukum
diantaranya hukum kewarisan, antara suami istri tidak bisa saling waris-mewarisi
demikian pun antara anak-anak yang dilairkan dari hasil perkawinan dengan orang
tuanya. Begitu juga dalam hukum perwalian dalam nikah, seorang bapak tidak berhak
[1] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2006), Cet. 1, h. 48
[2] Responden. Wawancara pribadi, Depok, 2 November 2009
[3] Abi Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Suroh, Sunan at-Tirmidzi (kairo: Darul Hadits,1999),Juz
III, h.319
[4] Zaenuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. 1,
h. 33
[5] http:// www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2007030202140450, tgl akses 5
november 2009
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada hakekatnya perceraian yang diucapkan oleh seorang suami kepada
seorang istri dalam Hukum Islam dapat saja terjadi kapan dan dimana pun seorang
suami mengucapkan ikrar “thalak” maka saat itu pun terjadi perceraian dan sudah
dianggap sah. Akan tetapi hal tersebut menjadi suatu pengecualian dalam kondisi
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, karna dalam sistem
dihadapan hakim atau sidang pengadilan sesuai dengan pasal 39 ayat 1 Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dengan demikian jika perceraian
mengacu pada UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian
kita pahami ketika suatu perkawinan harus dilaksanakan sesuai peraturan perundang-
undangan maka perceraian pun harus dilakukan di depan sidang pengadilan dan
apabila suatu perkawinan kedua dilakukan tanpa adanya Akta Cerai dari pengadilan
maka menurut Hukum Islam sah-sah saja, akan tetapi menurut Hukum Positif tidak
dibatalkan dan perkawinan tersebut menjadi pernikahan sirri , karena hanya sah
menurut Hukum Islam. Dan jika perkawinan tersebut ingin dilanjutkan dan sah
menurut hukum Islam dan diakui oleh Undang-Undang yang berlaku, maka pihak
Perkawinan sirri (dibawah tangan) apabila tidak diresmikan atau dilegalkan maka
tidak sah menurut UU No.1 Tahun 1974 karena bertentangan dengan pasal 2 ayat 2
perkawinan di bawah tangan sukar untuk dibuktikan, kecuali semua para pihak yang
terlibat dalam perkawinan itu tetap hidup sepanjang zaman dan tidak akan mati.
B. Saran-Saran
1. Sebaiknya pihak Kantor Urusan Agama dan Pengadilan Agama perlu meningkatkan
pencatatan nikah dijadikan rukun nikah dan perceraian di depan Pengadilan Agama
baik dari segi prosedur ataupun materi sehingga bagi pihak-pihak tertentu tidak lagi
4. Pelaksanaan Undang-Undang dalam hal ini Kantor Urusan Agama dan Pengadilan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No: 1 Tahun 1974 sampai KHI,
Jakarta: Kencana, 2006, Cet. Ke-3.
Rifai, Moh. Fikih Islam Lengkap, Kuala Lumpur: Pustaka Jiwa, 1996.
Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinaan Islam: Suatu Analisis Undang-Undang No: 1
Tahun 1974 dan KHI, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan (Analisa Perbandingan Intar Madzhab),
Jakarta : PT. Prima Heza Lestari, 2006, Cet. Ke-1.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007, Cet. Ke-
2.
Tholib, Muhammad. 15 Penyebab perceraian dan Penanggulangannya, Bandung: Irsyad
Baitus Salam, 1997.
Ghazali, Abd. Rahman. Fiqih Munakahat, Bogor : Kencana, 2003, Cet. Ke-1.
Nasution, Bahder Johan. Hukum Perdata Islam Kompetensi Peradilan Agama Tentang
Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Shadaqoh, Bandung: Mandar Maju,
1997.
Abidin Slamet dan Aminudin. Fikih Munakahat I, Bandung: CV. Pustaka Setia,1999, Cet.
Ke-1.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Inter Masa, 2003, Cet. Ke-31.
Taqiyuddin, Imam. Kifayat al-Akhyar Fi Hal Ghayat al-Ikhtiyar, Surabaya: Darul Ihya, Juz
II.
al-Zuhaily, Wahbah Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fiqr, 2004, Juz VII, Cet.
Ke-4.
Ibn Abdul Aziz, Zainuddin, Fathul Mu’in, Surabaya: al-Hidayah.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, Juz II.
Husain, Abi Muslim Ibn Hajaj al-Qusyairi an-Naysyaburi. Sahih Muslim, Beirut: Dar Ihya al-
Kutub Arabi, 1954.
Ali, Alaudin Ibn Balyan al-Farisi. Sahih Ibnu Hibban, Beirut: al-Resalah.
Isa, Abi Muhammad Ibn Isa Ibn Sawrah. Sunan Tirmidji, Beirut: Dar al-Marefah, 2002, Cet.
Ke-I.
Daud, Abi Sulaiman Ibn As’as as-Sijistani. Sunan Abi Daud, Beirut: Dar al-Alam, 2003, Cet.
Ke-I.
Muhammad, Kamil Uwaidah. Al-Jami Fil Fiqh an-Nissa, Alih Bahasa M.Abdul Ghoffar.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998, Cet. Ke-1.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Alih Bahasa Moh, Tholib, Bandung: PT. al-Ma’arif, 1981, Juz
VII, Cet. Ke-I.
Abdurrahman al-Jaziri. Kitab ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Irsyad, Juz IV.
Abdillah, Abi Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari. Sahih Bukhari, Beirut: Dar Ihya al-Kutub
al-Arabi, Juz III.
Warson, Ahmad Munawwir. Al- Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997.
Abdillah, Abi Muhammad Ibn Yazid al-Qozwini. Sunan Ibnu Majah, Indonesia: Maktabah
Dahlan, Juz I
http:// www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2007030202140450, tgl akses 5 november 2009
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.