You are on page 1of 14

A.

Latar Belakang

Bali sudah sangat terkenal di dunia, sehingga mengundang kedatangan

para wisatawan yang jumlahnya terus meningkat. Potensi yang dimiliki Bali

sebagai daya tarik selain keindahan alam adalah budaya masyarakat dalam

berbagai bentuk. Ada yang berbentuk non fisik (aktivitas, adat istiadat, dan

lain sebagainya), maupun fisik (hasil karya berupa benda seni, maupun benda

kebutuhan hidup). Salah satunya adalah wadah tempat tinggal yang umum

disebut permukiman.

Salah satu desa adat yang perkembangannya sangat pesat adalah Desa

Adat Kuta, Kabupaten Badung. Sebagai sebuah desa adat yang berada di

kawasan wisata, desa adat ini semakin dipadati dengan berbagai fasilitas

(bangunan) sesuai dengan aktivitas kepariwisataan. Tidak ada suatu kawasan

wisata di Indonesia yang memiliki perkembangan sepesat di Kuta (Paturusi,

dalam Widiastuti, 1997).

Sebagaimana lazimnya desa adat yang tersebar di seluruh Bali, Desa

adat Kuta memiliki pemerintahan adat tersendiri. Dari segi pemerintahan adat,

desa adat Kuta bersifat otonomi, desa adat mempunyai aturan tesendiri yang

hanya berlaku bagi warga desa Kuta yang bersangkutan, yang sama sekali

terlepas dari sistem pemerintahan Republik Indonesia. Walau demikian

aturan-aturan yang tertuang dalam awig-awig sama sekali tidak bertentangan

dengan peraturan yang berlaku baik di tingkat nasional maupun daerah.

Dengan adanya aktivitas pariwisata, yang mulai tampak pada awal

1970-an, yang ditandai dengan berdirinya hotel dan penginapan-penginapan


kecil, maka sampai dengan tahun awal 1980-an terlihat perkembangan yang

beragam, khususnya di bidang jenis pekerjaan masyarakat adat Kuta.

Muncullah warung-warung yang diberi nama artshop atau shop, yang tumbuh

di daerah-daerah pinggir jalan. Kemudian berkembang restaurant, bar,

persewaan kendaraan, industri garmen, dan lain sebagainya. Fasilitas-fasilitas

ini makin memangsa lahan yang tadinya berupa tegalan, atau bagian dari

pekarangan rumah. Makin lama, fasilitas kepariwisataan makin menjadi-jadi,

dan volumenya sudah melebihi dari kawasan permukiman semula. Antara

tahun 1980-1990 terjadi pertumbuhan fasilitas yang sangat pesat yang ikut

mewarnai pola desa.

Namun demikian, sejalan perkembangan kepariwisataan tersebut, ciri

khas desa adat Kuta masih sangat teguh dipegang oleh masyarakat adat Kuta.

Hal ini tidak terlepas dari peran pemerintahan adat Kuta yang senantiasa

memelihara dan menjaga kehidupan tradisional masyarakat adat Kuta agar

budayanya tidak terkikis oleh pengaruh budaya lain. Sehingga desa adat Kuta

seringkali sekaligus menjadi salah satu tujuan wisata karena keunikan

perpaduan antara tradisional dan modern.

Pada perkembangannya di zaman modern ini, desa adat Kuta juga

menghadapi berbagai masalah. Masalah yang paling nyata adalah benturan

kepentingan dengan para investor yang ingin menjadikan desa adat Kuta dan

wilayahnya sebagai kawasan pariwisata dengan berbagai sentuhan

modernisasi. Di sinilah peran pemerintahan adat Kuta untuk menyelaraskan

kepentingan-kepentingan tersebut, sehingga perkembangan kepariwisataan di


daerahnya dapat berkembang tanpa mengorbankan tatanan tradisional warisan

leluhur masyarakat adat Kuta.

Pemerintahan adat Kuta turut andil dalam menentukan kebijakan

pengembangan wisata di daerahnya. Pemerintahan adat Kuta menyadari

bahwa kepariwisataan Bali, sebagai alat pembangunan, perlu dilaksanakan

untuk sebesar-besarnya meningkatkan kesejahteraan rakyat Bali, khususnya

masyarakat adat Kuta. Pelaksanaan pembangunan kepariwisataan di desa adat

Kuta menghadapi tantangan dalam berbagai aspek. Langkah-langkah solusi

dalam menghadapi tantangan tersebut harus diambil secara dini, komprehensif

dan berwawasan jauh ke depan. Tantangan dan solusi dilihat dari kepentingan

umum masyarakat adat Kuta dalam kepentingannya untuk mampu

menentukan masa depannya sendiri.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang

akan diangkat dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peranan desa adat Kuta dalam mengelola kepariwisataan di

wilayahnya ?

2. Bagaimanakah peranan Desa adat Kuta dalam menyelaraskan kepentingan

pengembangan kepariwisataan dengan pelestarian budaya adat masyarakat

Kuta ?
C. Kerangka Pemikiran

Desa adat menampakkan dirinya sebagai suatu organisasi

kemasyarakatn dan sekaligus merupakan suatu organisasi pemerintahan yang

berdiri sendiri di wilayah Kecamatan. Desa adat adalah desa yang otonom

sehingga mempunyai kewenangan untuk mengurus dan menyelenggarakan

kehidupan rumah tangganya sendiri. Dalam perkembangan lebih lanjut

otonomi itu hanya bersifat sosial religious dan sosial kemasyarakatan. Desa

adat memiliki struktur kepengurusan yang pada umumnya disebut Prajuru dan

di beberapa desa di pegunungan umumnya disebut Dulu atau paduluan dan

berfungsi untuk membantu tercapainya kepentingan para anggotanya secara

maksimal, terutama sekali menyangkut kebutuhan dasar sebagai manusia

(terpenuhinya kebutuhan hidup termasuk rasa aman dan nyaman).

Tentang Prajuru atau Dulu/Paduluan ini umumnya dipilih secara

demokratis (musyawarah mufakat) oleh masing-masing Krama, namun di

beberapa desa adat yang lebih tua, pengurus tersebut ditugaskan secara

bergiliran dari yang lebih tua, digantikan nantinya oleh yang lebih muda,

dilihat dari ketika mereka ikut sebagai Sekehe Taruna atau Matruna (Truna

Nyoman).

Unsur-unsur Prajuru Desa adatpun bervariasi, dengan pemimpin

tertinggi umumnya disebut Bendesa atau Kelihan Desa, sedang wakil,

sekretaris dan pembantu disebut dengan berbagai nama, seperti Patajuh

(wakil), Panyarikan (sekretaris), Kasinoman (pembantu/juru arah) dan

Sedahan untuk bendahara.


Dalam rangka pelaksanaan otonomi Desa adat dilengkapi dengan

kekuasaan mengatur kehidupan warganya sehingga segala kepentingan dapat

dipertemukan dalam suasana yang menjamin rasa aman bagi setiap warganya.

Mengenai kekuasaan Desa adat dapat dibedakan menjadi 3 macam kekuasaan,

yaitu:

1. Kekuasaan untuk menetapkan aturan-aturan yang mengikat seluruh

warganya, guna menjaga kehidupan organisasi secara tertib dan tenteram.

Kekuasaan ini diselenggarakan bersama dan disepakati dalam rapat desa

(paruman/sangkepan), seperti upaya menjaga ketertiban, ketentraman, dan

keamanan masyarakat. Mewujudkan hubungan yang harmonis antar

sesama warga, dengan lingkungan alam dan dengan Tuhan Yang Maha

Esa, sebagai perwujudan ajaran Trihita Karana.

2. Kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasi yang bersifat

keagamaan, sosial budaya, ekonomi dan hankam, seperti membina dan

mengembangkan nilai-nilai agama Hindu, mengembangkan kebudayaa,

memelihara dan melestarikan adat-istiadat yang hidup dan bermanfaat

untuk pembangunan bangsa, mengembangkan ekonomi kerakyatan,

memelihara kelestraian Kahyangan Tiga, mewujudkan pertahanan dan

keamanan bersama dalam menghadapi kondisi tertentu.

3. Kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa, kasus atau konflik, karena

berbagai hal seperti kepentingan yang bertentangan, tidakan yang

menyimpang dari aturan yang telah ditetapkan, perbuatan yang


menggangu ketertiban warga, dan lain-lain, yang umumnya ditempuh

melalui perdamaian maupun sanski adat (I Made Widnyana, 1999: 4).

PEMBAHASAN

A. Peranan Desa Adat Kuta Dalam Mengelola Kepariwisataan Di

Wilayahnya

Semua pihak menyadari bahwa pembangunan pariwisata di Bali

memberikan dampak positif bagi kesejahtraan masyarakat, tetapi di balik

dampak positif itu tentu tidak lepas dari sisi negatifnya, yang bila tidak

ditangani dengan sungguh-sungguh nantinya dapat merupakan penyakit yang

dapat menggerogoti budaya Bali.

Bila ingin melihat Bali secara komprehensif, sorotan kita tidak dapat

lepas untuk melihat masyarakat Bali sebagai satu persekutuan hukum yang

disebut dengan desa adat. Desa adat mengatur hubungan manusia dengan

dengan Tuhan Yang Maha Esa, Para Dewata dan Leluhur, dengan sesamanya,

dan dengan alam lingkungannya. Ketiga komponen ini menyatu dalam

kehidupan masyarakat Bali.

Bila kita memperhatikan dengan seksama pengembangan Pariwisata

Budaya, atau singkatnya pembangunan kepariwisataan, maka disini penulis

kutipkan pendapat Tri Budhi Satrio yang menyatakan:

"Pembangunan kepariwisataan yang bermodal dasar kebudayaan


daerah yang dijiwai oleh agama Hindu diarahkan pada peningkatan
kegiatan pariwisata agar menjadi sektor andalan yang mampu
menggalakkan kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan sektor lain yang
terkait, sehingga mampu meningkatkan lapangan kerja, pendapatan
masyarakat, pendapatan daerah dan pendapatan negara serta
meningkatkan penerimaan devisa melalui upaya pengembangan dan
pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan yang ada di
daerah.Bersamaan dengan itu, dalam pembangunan kepariwisataan
yang dilakukan haruslah dijaga tetap terpeliharanya budaya dan
kepribadian bangsa serta kelestarian fungsi dan mutu lingkungan
hidup. Kepariwisataan perlu ditata secara menyeluruh dan terpadu
baik antar daerah, antar sektor mauiun antar usaha kepariwisataan,
baik yang berskala kecil, menengah, maupun besar sehingga dapat
terwujudnya pemerataan dan keseimbangan pengembangannya.”

Desa adat Kuta mempunyai peranan yang strategis dalam

pengembangan pariwisata budaya. Semua orang memaklumi bahwa daya

tarik Bali, termasuk didalamnya Desa adat Kuta, terhadap wisatawan,

tidaklah semata karena keindahan alamnya, lebih dari pada itu adalah

budayanya yang dijiwai oleh agama Hindu. Dengan memantapkan peranan,

fungsi, dan wewenang Desa adat Kuta, maka sesungguhnya semua aspek

budaya yang didukung oleh masyarakat adat Kuta akan menjadi daya tarik

kepariwisataan yang bila dipelihara dan dikembangkan dengan baik akan

menjamin kalangsungan kehidupan pariwisata (sustainable tourism) di daerah

ini.

Dalam Desa adat Kuta berkembang seni budaya, kehidupan

masyarakat yang sejahtera, pengamalan ajaran agama dalam prilaku dan

aktivitas ritual agama yang senantiasa akan menarik wisatawan sepanjang

masa. Di samping itu Desa adat Kuta berperanan pula dalam pengembangan

kawasan wisata, mengawasi penyalahgunaan simbol-simbol keagamaan dan

juga berperanan dalam mencegah pendatang liar yang masuk ke Bali,

utamanya di wilayah pemukiman Desa adat Kuta di Bali.


Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Desa adat Kuta di Bali

sesungguhnya sangat berperanan dalam pengembangan pariwisata budaya di

daerahnya. Peran tersebut akan maksimal dapat dilaksanakan bila fungsi,

peranan dan wewenang Desa adat Kuta berjalan dengan baik.

B. Peranan Desa Adat Kuta dalam Menyelaraskan Kepentingan

Pengembangan Kepariwisataan dengan Pelestarian Budaya Adat

Masyarakat Kuta
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Peranan dan Fungsi Desa adat

Masyarakat Bali yang tradisional dan penghidupannya yang bersifat

agraris tampak sebagai satu kesatuan yang utuh, kepentingan bersama lebih

diutamakan dibandingkan kepentingan kelompok dan individu sebagai warga

masyarakat. Warga masyarakat satu dengan yang lainnya terikat berdasarkan

ikatan solidaritas mekanis dan dalam masyarakat demikian, dunia kehidupan

masih menyatu. Jika terjadi suatu perselisihan antar warga, masyarakat

berusaha menyelesaikannya secara musyawarah mufakat (konsensus)

berdasarkan pada asas kepatutan melalui lembaga sangkepan. Penyelesaian

perselisihan secara musyawarah mufakat dalam forum sangkepan tersebut

berfungsi untuk mengembalikan masyarakat ke dalam suasana kehidupan

yang rukun dan damai (harmonis).

Suasana kehidupan harmonis, pada masyarakat tradisional yang

tersebut, kini tampaknya telah berubah karena pengaruh modernisasi,

industrialisasi dan lebih-lebih lagi setelah masyarakat mengalami proses

globalisasi. Kehidupan non agraris dan globalisasi tersebut telah mengubah

masyarakat homogen menjadi masyarakat majemuk (plural) yang di dalamnya

terdapat suasana kehidupan yang hetrogen.

Di Bali, proses globalisasi telah dirasakan jauh sebelum masyarakat

Indonesia lainnya mengalami hal tersebut. salah satu penyebab terjadinya


proses globalisasi lebih awal di daerah ini adalah karena perkembangan

pariwisata yang telah berlangsung sejak lama.

Suasana demikian, mencerminkan diferensiasi dalam berbagai bidang

antara lain dalam pekerjaan, profesi, pendidikan dan kepentingan.

Kemajemukan masyarakat dapat juga dilihat dari tumbuhnya berbagai

kelompok dan hubungan sosial baru yang timbul sebagai tuntutan kehidupan

dunia modern.

Menurut Adiyoga (2002), suatu komunitas tradisional di Bali dapat

disebut sebagai suatu desa adat apabila memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :

1. Desa Adat biasanya mempunyai batas-batas geografis yang jelas, yang

umumnya berupa batasan alam seperti sungai, hutan, jurang, bukit dan

pantai ataupun batas buatan seperti tembok penyengker.

2. Mempunyai anggota atau krama yang jelas, dengan persyaratan tertentu

dan sebagian besar krama desa adat berdomisili di wilayah desa adat

bersangkutan.

3. Mempunyai kahyangan tiga atau kahyangan desa, atau pura lain yang

mempunyai fungsi dan peranan sama dengan kahyangan tiga.

4. Mempunyai otonomi, baik ke luar maupun ke dalam. Otonomi ke dalam

berarti kebebasan atau kekuasaan untuk mengatur rumah tangganya

sendiri, sedangkan otonomi ke luar diartikan sebagai kebebasan untuk

mengadakan kontak langsung dengan institusi di luar desa adat.


5. Mempunyai suatu pemerintahan adat, dengan kepengurusan (prajuru adat)

sendiri yang berlandaskan kepada peraturan-peraturannya sendiri (awig-

awig), baik tertulis maupun tidak tertulis.

6. Adanya catur dresta (empat aturan) yang melandasi adat istiadat Bali

menyebabkan terjadinya variasi yang sangat besar antar Desa Adat di Bali.

Sesuai dengan hakekat pengertian otonomi desa sebagai kekuasaan

untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, maka jelaslah bagi kita

bahwa pelaksanaan kekuasaan seperti tersebut berlaku di wilayah desa yang

bersangkutan. Selain mengikuti asas personalitet, khususnya terhadap warga

desa (pangrep), yang karena suatu hal berada di luar desanya, namun masih

tetap menjalin ikatan dengan desa asalnya.

Berkenaan dengan setiap warga desa adat wajib menjunjung

kekuasaan yang telah disepakati dalam rangka mewujudkan kehidupan

masyarakat yang sejahtra dan tentram seperti yang dicita-citakan, maka

bentuk konkrit otonomi Desa adat dapat dilihat pada:

1. Bendesa (Kelihan) Desa adat. Dalam sturuktur pengurus Desa adat,

Bendesa atau Kelihan Desa memiliki posisi sentral dan utama, sebagai

orang yang dituakan oleh masyarakat (primus interpares). Dengan

demikian Bendesa (Kelihan) Desa adat memiliki kharisma atau wibawa di

lingkungan desa nya.

2. Paruman (Sangkepan) Desa adat. Paruman atau Sangkepan Desa adat

adalah bentuk musyawarah yang sangat demokratis (demokrasi asli),

karena setiap Krama (warga) Desa adat memiliki hak suara yang sama.
Paruman umumnya membahas hal-hal yang dianggap perlu dan biasa

diselenggarakan secara rutin (nityakala) atau juga insidental (padgatakala).

3. Awig-awig Desa adat. Awig-awig adalah aturan-aturan yang dibuat oleh

Krama Desa melalui Paruman Desa adat dan umumnya banyak yang tidak

disuratkan. Namun karena perkembangan, dewasa ini telah berhasil

disuratkan awig-awig tersebut sebagai pedoman bagi pengurus Desa adat

dalam melaksanakan kewajibannya maupun bagi warga, dan di dalam

awig-awig tersebut kita jumpai sanksi-sanksi bagi warga desa yang

melanggarnya. Di dalam awig-awig desa ini dapat dilihat perbuatan atau

tindakan yang dilarang serta sanksi-sanksinya baik sanksi itu dijatuhkan

kepada warga atau keluarganya atau dibebankan kepada masyarakat desa

sendiri (I Made Widnyana, 199: 5).

B. Pariwisata Budaya di Bali

Masyarakat dan Pemerintah Daerah Bali telah menetapkan bahwa

pariwisata yang dikembangkan di daerah Bali adalah Pariwisata Budaya, yang

secara tegas diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Bali, Nomor 3 Tahun

1991, tanggal 1 Februari 1991 yang disahkan oleh Kepmendagri Nomor

556.61.-573, tanggal 24 Juni 1991, yang secara tegas (dalam Ketentuan

Umum, Bab I, Pasal 1, butir j) merumuskan pengertian Pariwisata Budaya,

sebagai berikut:

"Pariwisata Budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam


perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan
daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian
dari kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang paling dominan,
yang di dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal
balik antara pariwisata dengan kebudayaan, sehingga keduanya
meningkat secara serasi, selaras dan seimbang".

Lebih jauh tentang azas dan tujuan Pariwisata Budaya, diatur dalam

Bab II , pasal 2 dan 3 sebagai berikut:

"Penyelenggaraan pariwisata budaya dilaksanakan berdasarkan azas


manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, percaya
pada diri sendiri dan perikehidupan keseimbangan, keserasian serta
keselarasan, yang berpedoman kepada falsafah Tri Hita Karana"

"Penyelenggaraan pariwisata budaya sebagaimana dimaksud pasal 2 (di


atas) bertujuan untuk:
a. memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan
meningkatkan mutu obyek dan daya tarik wisata;
b. memupuk rasa cita tanah air dan meningkatkan
persahabatan antar bangsa;
c. memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan
lapangan kerja;
d. meningkatkan pendapatan daerah dalam rangka
peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;
e. mendorong pendayagunaan produksi daerah dalam rangka
peningkatan produksi daerah dalam rangka peningkatan produksi
nasional;
f. mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai kebudayaan,
agama dan keindahan alam Bali yang berwawasan lingkungan
hidup;
g. mencegah dan meniadakan pengaruh-pengaruh negatif
yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan kepariwisataan".

Memperhatikan pengertian, azas dan tujuan Pariwisata Budaya seperti

di atas, kiranya telah cukup bagi kita untuk memahami pengertian pariwisata

budaya yang telah dan kini terus menerus dikembangkan. Pembangunan dan

pengembangan kepariwisataan di Propinsi Bali telah menunjukkan

keberhasilan dalam menunjang berbagai bidang kehidupan sesuai dengan

kebijaksanaan pembangunan lima tahunan daerah. Kita telah merasakan


berbagai program pembangunan yang dilaksanakan telah menunjukkan

keberhasilan baik di tingkat nasional maupun regional. Pertumbuhan ekonomi

Bali cukup tinggi (melebihi pertumbuhan rata-rata nasonal) bila dibandingkan

dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, dalam situasi krisis ekonomi dan

moneter saat ini. Partisipasi masyarakat sangat menentukan keberhasilan

pembangunan nasional, bahwa pembangunan nasional diselenggarakan oleh

masyarakat bersama pemerintah. Dalam hubungan ini pemerintah

berkewajiban untuk memberi pengarahan dan bimbingan, serta menciptakan

iklim yang mendorong peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan.

-------------------------

Daftar Pustaka:

Widiastuti. 1997. Panduan Penataan Sistem Penghubung Kawasan Pariwisata

Kuta, Bali. Bandung: Tesis Program Magister Arsitektur, Institut Teknologi

Bandung.

You might also like