You are on page 1of 4

Wacana adalah kata yang sering dipakai masyarakat dewasa ini.

Banyak pengertian yang


merangkai kata wacana ini. Dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama dalam
hubungan konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian linguistik, wacana adalah
unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat.Sedangkan menurut Michael Foucault (1972),
wacana; kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataan (statement), kadang kala sebagai
sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang
dilihat dari sejumlah pernyataan.

Menurut Eriyanto (Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media), Analisis Wacana
dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal (yang lebih
memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat keterkaitan di antara
unsur tersebut). Analisis wacana adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan
perhatian pada level di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level
yang lebih besar dari kalimat.

Analisis wacana dalam lapangan psikologi sosial diartikan sebagai pembicaraan. Wacana
yang dimaksud di sini agak mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik dari
pemakainya. Sementara dalam lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian
bahasa, terutama politik bahasa. Karena bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran suatu
subyek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari
dalam analisis wacana.

Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam bahasa. Pandangan pertama diwakili kaum
positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis wacana menggambarkan tata aturan kalimat,
bahasa, dan pengertian bersama. Wacana diukur dengan pertimbangan kebenaran atau
ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik (titik perhatian didasarkan pada benar
tidaknya bahasa secara gramatikal) — Analisis Isi (kuantitatif)

Pandangan kedua disebut sebagai konstruktivisme. Pandangan ini menempatkan analisis


wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna
tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek
yang mengemukakan suatu pertanyaan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri
pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang
pembicara. –Analisis Framing (bingkai)

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam paradigma ini
menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi
makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara.
Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu,
tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis
wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-
batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa
yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan. Karena
memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga dengan analisis wacana
kritis (critical discourse analysis). Ini untuk membedakan dengan analisis wacana dalam
kategori pertama dan kedua (discourse analysis).

Paradigma Kritis
Everett M. Roger, seperti dikutip oleh Eriyanto, mengemukakan bahwa “media bukanlah
entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai oleh kelompok dominan.” Saya memahami
pernyataan Everett M. Roger bahwa media memiliki kemungkinan besar dikuasai oleh
kelompok berkuasa atau kelompok-kelompok yang memegang kekuasaan.

Menurut Eriyanto ada beberapa pertanyaan yang muncul dari sebuah paradigma kritis. Yaitu:
siapa yang mengontrol media? Kenapa ia mengontrol? Keuntungan apa yang bisa diambil
dengan kontrol tersebut? Kelompok mana yang tidak dominan dan menjadi obyek
pengontrolan?

Mengapa pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi penting? Karena paradigma kritis ini


percaya bahwa media adalah sarana di mana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok
yang tidak dominan, bahkan memarjinalkan mereka dengan menguasai dan mengontrol
media. Sehingga jawaban yang diharapkan dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah
adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol suatu proses
komunikasi.

Menurut Horkheimer, seperti dikutip Eriyanto, salah satu sifat dasar dari teori kritis adalah
selalu curiga dan mempertanyakan kondisi masyarakat dewasa ini. Karena kondisi
masyarakat yang kelihatannya produktif dan bagus tersebut sesungguhnya terselubung
struktur masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran khalayak.

Mengenai paradigma kritis, Stephen W. Littlejohn, seperti dikutip Alex Sobur, menjelaskan:
“Perkembangan teori komunikasi massa yang didasarkan pada tradisi kritis Eropa (Marxis)
cenderung memandang media sebagai alat ideologi kelas dominan. Tradisi Eropa berusaha
mematahkan dominasi model komunikasi Amerika yang notabene adalah penganut aliran
Laswellian ataupun stimulus-respon, teori yang berasumsi khalayak adalah konsumer pasif
media massa. Dengan kata lain, fenomena komunikasi massa bukanlah sekedar sebuah proses
yang linear atau sebatas transmisi (pengiriman) pesan kepada khalayak massa, tetapi dalam
proses tersebut komunikasi dilihat sebagai produksi dan pertukaran pesan (atau teks)
berinteraksi dengan masyarakat yang bertujuan memproduksi makna tertentu.”

Dari pernyataan yang diberikan Stephen W. Littlejohn dan Everett M. Roger mengenai
paradigma kritis, saya dapat menyimpulkan bahwa media merupakan sebuah alat penyebaran
ideologi kelas dominan (para penguasa maupun pemilik modal). Sehingga komunikasi
didefinisikan sebagai sarana pertukaran pesan yang bertujuan memproduksi makna tertentu,
dimana komunikasi tersebut tentunya mewakili kepentingan kelompok dominan.

Menurut Stuart Hall, paradigma kritis bukan hanya mengubah pandangan mengenai realitas
yang dipandang alamiah oleh kaum pluralis, tetapi juga berargumentasi bahwa media adalah
kunci utama dari sebuah pertarungan kekuasaan. Karena melalui media, nilai-nilai kelompok
dominan dimapankan, dibuat berpengaruh, dan menentukan apa yang diinginkan oleh
khalayak.

Dalam proses pembentukan realitas, Stuart Hall menekankan pada dua titik, yaitu bahasa dan
penandaan politik. Penandaan politik disini diartikan sebagai bagaimana praktik sosial dalam
membentuk makna, mengontrol, dan menentukan makna. Menurut Hall, media berperan
dalam menandakan peristiwa atau realitas dalam pandangan tertentu, dan menunjukkan
bagaimana kekuasaan ideologi di sini berperan – karena ideologi menjadi bidang di mana
pertarungan dari kelompok yang ada dalam masyarakat.
Media massa

Menurut Alex Sobur, media (pers) sering disebut banyak orang sebagai the fourth estate
(kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini terutama
disebabkan oleh suatu persepsi tentang peran yang dapat dimainkan oleh media dalam
kaitannya dengan pengembangan kehidupan sosial-ekonomi dan politik masyarakat. Bahkan,
media, terlebih dalam posisinya sebagai suatu institusi informasi, dapat pula dipandang
sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses-proses perubahan sosial-budaya dan
politik. Oleh karena itu, dalam konteks media massa sebagai institusi informasi, Karl
Deutsch, menyebutnya sebagai “urat nadi pemerintah” (the nerves of government).

Alex Sobur sendiri mendefinisikan media massa sebagai: “Suatu alat untuk menyampaikan
berita, penilaian, atau gambaran umum tentang banyak hal, ia mempunyai kemampuan untuk
berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik, antara lain, karena media juga
dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu ide atau gagasan, dan bahkan suatu
kepentingan atau citra yang ia representasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupan
yang lebih empiris.”

Berdasarkan pendefinisian media massa menurut Alex Sobur, saya memahami bahwa media
massa merupakan suatu alat yang digunakan untuk menyebarkan pendapat umum (opini
publik) dari pihak-pihak dominan, misalnya saja pemerintah. Biasanya kelompok dominan
menggunakan media massa untuk melakukan pengkonstruksian realitas yang berujung pada
upaya legitimasi masyarakat terhadap suatu wacana.

Louis Althusser, menulis bahwa, “Media, dalam hubungannya dengan kekuasaan, menempati
posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai saran legitimasi.
Media massa sebagimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan,
merupakan bagian dari alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis guna
membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa (ideological states
apparatus).”

Namun, pandangan Althusser tentang media ini dianggap Antonio Gramsci, dalam Al-
Zastrouw, mengabaikan resistensi ideologis dari kelas tersubordinasi dalam ruang media.
Bagi Gramsci, media merupakan arena pergulatan antarideologi yang saling berkompetisi
(the battle ground for competing ideologies).

Antonio Gramsci dalam Alex Sobur melihat, “Media sebagai ruang di mana berbagai
ideologi di representasikan. Ini berarti, di satu sisi media bisa menjadi sarana penyebaran
ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media
juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk
membangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga
bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan
ideologi tandingan.”

Dari semua penjabaran mengenai media massa, saya menyimpulkan, media massa merupakan
alat atau sarana penyebaran ideologi kelompok dominan, alat legitimasi, dan alat kontrol
sosial atas wacana publik. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya praktek diskursif
oleh media terhadap kelompok-kelompok marjinal, yang ditekan oleh kelompok dominan
(penguasa). Bahkan, praktek diskursif tadi dapat dimanfaatkan media sebagai alat legitimasi
atau pembenaran-pembenaran terhadap suatu konteks permasalahan yang tidak sesuai dengan
ideologi dominan.

Alex Sobur berpendapat, bahwa isi media pada hakekatnya adalah hasil konstruksi realitas
dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Begitu juga media cetak, isi media cetak
menggunakan teks dan bahasa.

Guy Cook menyebut tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan
wacana. Eriyanto kemudian menjelaskan ketiga makna tersebut, “Teks adalah semua bentuk
bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis
ekspresi komunikasi, ucapan, musik gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks
memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian
bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi. Wacana
disini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.”

Dari penjelasan diatas, saya memahami bahwa teks memiliki peranan yang signifikan dalam
pembentukan wacana.

Menurut Ibnu Hamad, benar bahwa unsur utama dalam konstruksi realitas adalah bahasa.
Kemudian ia mengutip dari Giles dan Wiemann, “bahasa (teks) mampu menentukan
konteks”. Karena lewat bahasa disini orang mencoba mempengaruhi orang lain
(menunjukkan kekuasaannya) melalui pemilihan kata yang secara efektif mampu
memanipulasi konteks.

Namun, menurut Hotman M. Siahaan: “Bahasa tak dapat dipandang sebagai alat komunikasi
atau sebuah sistem kode atau nilai yang secara wewenang menunjuk sesuatu realitas
monolitik. Bahasa merupakan bahasa sosial dan bukan sesuatu yang netral atau konsisten,
melainkan partisipan dalam proses tahu, budaya, dan politik. Bahasa bukan merupakan
sesuatu yang transparan, yang menangkap dan memantulkan segala sesuatu diluarnya secara
jernih. Secara sosial, terikat bahasa dikonstruksi dan direkonstruksi dalam kondisi khusus dan
setting sosial tertentu dan bukan semata tertata menurut hukum yang diatur secara alamiah
dan universal. Karenanya sebagai representasi hubungan sosial tertentu, bahasa senantiasa
membentuk subyek-subyek, strategi-strategi, dan tema-tema wacana atau diskursus tertentu.”

Norman Fairclough melihat bahasa sebagai praktek kekuasaan. Karena bahasa secara sosial
dan historis dianggap sebagai bentuk tindakan, dalam hubungan dialektik dengan struktur
sosial. Sehingga dalam menganalisis wacana, Fairclough memusatkan pada bagaimana
bahasa itu terbentuk dan dibentuk dari relasi sosial dan konteks sosial tertentu.

Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, saya menyimpulkan bahwa bahasa tidak hanya
sebagai bahasa verbal, melainkan juga sebagai sebuah kegiatan sosial yang tidak netral dan
tidak konsisten. Dalam konteks sosial, bahasa dapat dikonstruksi ataupun direkonstruksi pada
kondisi dan setting sosial tertentu.

Untuk kalangan kritis (critical), bahasa dipandang sebagai alat perjuangan kelas. Makna
dalam hal ini tidak ditentukan oleh struktur realitas, melainkan oleh kondisi ketika
pemaknaan dilakukan melalui praktek sosial, dimana terdapat peluang yang sangat besar bagi
terjadinya pertarungan kelas dan ideologi.

You might also like