You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Semakin maraknya privatisasi perusahaan BUMN kita perlu dikaji secara
serius mendalam. Bukan apa-apa, seperti kita ketahui BUMN adalah perusahaan
yang berkontribusi memberikan pendapatan kepada Negara dalam APBN serta
ditunjuk untuk menguasai sekaligus mengatur sektor-sektor strategis yang
menguasai hajat hidup orang banyak.1 Biasanya privatisasi dilakukan karena
buruknya performa dari BUMN yang bersangkutan, disamping alasan lain yaitu
membebani keuangan Negara (merugi) dan menjadi sarang dan sumber tindak
pidana korupsi yang merugikan. Kajian dari sudut pandang ekonomi sekilas dapat
diterima. Namun, kita lupa bahwa dalam konstitusi yaitu dalam Pasal 33 telah
mengatur rumusan dasar tentang perekonomian sebagai lex generalis yang
seharusnya berlaku normatif dan imperatif terhadap peraturan perundang-
undangan yang lebih spesifik/sektoral dan berada dibawahnya (lex specialis).
Privatisasi jelas telah mengkhianati amanah konstitusi Pasal 33, khususnya
Pasal 33 ayat 2: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”. Efek dari privatisasi
sejumlah perusahaan BUMN bukan hanya memberikan dampak terhadap
pendapatan Negara. Namun, secara tidak langsung juga akan berdampak terhadap
rakyat.
Founding Fathers Bangsa Indonesia telah mengantisipasi distorsi ini sejak
jauh-jauh hari namun hal ini seakan tidak dihiraukan oleh generasi saat ini.
Berbicara aspek politik mereka telah membangun pondasi demokrasi politik tanpa
mengenyampingkan demokrasi pada aspek ekonomi. Ekonomi kerakyatanyang
dikemas dalam format demokrasi ekonomi adalah sebuah harga mati yang harus
diemban sekaligus dijalankan oleh pemimpin Bangsa Indonesia untuk
memberikan jaminan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

1
Lihat UUD 1945 Pasal 33
Oleh karena itu fenomena kebijakan memprivatisasi tidak bisa dilakukan
serta merta tanpa suatu kajian yang mendalam tidak hanya dari segi ekonomi saja
yang hanya berlandaskan pada pragmatisme elit saja tetapi juga harus
berlandaskan pada utilitarianisme komunal (civil society). Karena kajian dari segi
hukum harus merujuk pada konstitusi dalam hal ini UUD 1945 sebagai paying
hokum yang akan memberikan kepastian hukum sekaligus perlindungan yang
jelas kepada seluruh Rakyat Indonesia untuk memperoleh kesejahteraan. Sesuai
dengan apa yang terdapat dalam weltanschaung kita khususnya sila ke-5
“Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”.
Privatisasi adalah kebijakan yang multifaset, secara ideologis bermakna
meminimalisir peran negara. Secara manajemen bermakna meningkatkan efisiensi
pengelolaan usaha. Secara anggaran, privatisasi dapat bermakna mengisi kas
negara yang sedang “bolong”. BUMN yang merupakan perusahaan pelayanan
publik telah memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan nasional. Pada
masa awal kemerdekaan, sektor korporasi di Indonesia masih kecil dan
didominasi oleh perseroan–perseroan yang dimiliki asing atau yang
kepemilikannya terpusat.

1.2 Identifikasi Masalah


Permasalahan yang akan dikaji sekaligus dibahas dalam makalah ini
adalah analisis komprehensif terhadap sepak terjang perusahaan multinasional
yang telah berhasil memprivatisasi sejumlah BUMN di Indonesia ditinjau dari
Pasal 33 UUD 1945 beserta sejauh mana dampak yang akan ditimbulkannya
terhadap Bangsa, Negara dan Rakyat Indonesia?

1.3 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi Tugas
Mata Kuliah Hukum Program Pascasarjarna Magister Kenotariatan Universitas
Jayabaya. Sedangkan tujuan dari penulisan makalah ini antara lain:
1. Mengetahui sejauh mana relevansi privatisasi terhadap UUD
1945 khususnya pada Pasal 33
2. Melakukan kajian dan analisis terhadap dampak privatisasi
BUMN oleh perusahaan multinasional.

1.4 Pembatasan Masalah


Agar penulisan makalah lebih terarah dan untuk memperoleh analisis yang
mendalam serta fokus terhadap identifikasi permasalan yang telah ditetapkan
diatas maka penulis memandang perlu untuk menetapkan pembatasan masalah.
Pada makalah ini hanya akan dibahas privatisasi yang terjadi dalam ruang lingkup
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Singkat Perusahaan Multinasional, Privatisasi dan BUMN


2.1.1 Sejarah Perusahaan Multinasional
Untuk mengetahui latar belakang sejarah pertumbuhan korporasi global,
perkembangan korporasi di Inggris dan Amerika Serikat menjadi sangat penting
untuk diperhatikan. Di dua negara inilah, korporasi bermula dan kemudian
menyebar. Jauh sebelum mendapat saingan serius dari perusahaan-perusahaan
Jerman dan Jepang, perusahaan–perusahaan Inggris dan Amerika berkembang
menjadi besar dan kemudian keluar dari batas wilayahnya untuk menjelma
menjadi multinational corporations atau MNCs2.
Gejala munculnya perusahaan multinasional ini sejak Abad Pertengahan,
seperti Bank Medici di Florence pada abad 15. Pada abad 16 hingga 18 dikenal
adanya perusahaan dagang seperti East India Company baik yang berkebangsaan
Inggris maupun Belanda dan tidak ketinggalan Hudson’s Bay Company. Mereka
beroperasi dalam lingkungan wilayah empire dan menjalankan perdagangan ke
seluruh dunia bahkan perusahaan multinasional tersebut juga melakukan kegiatan
produksi. Namun, semua itu belum diperhitungkan dalam pengertian MNCs yang
sekarang, bukan hanya dalam faktor kecepatan tetapi juga kegiatan perdagangan
yang pada umumnya terbatas pada produk-produk mewah dan merupakan bagian
kecil dari perekonomian dunia.
Kuznets pada tahun 1967 menghitung ekspor dunia pada awal abad 19
hanya menduduki 1-2 persen dari GDP (Gross Domestic Product) dunia. Para
sejarahwan sepakat bahwa perusahaan multinasional dalam pengertian di atas
muncul pada akhir abad 19 terutama di bidang pertambangan dan pertanian yaitu
pada masa yang dikenal dengan sebutan ”Gold Standard” (dari tahun 1870an
sampai Perang Dunia Pertama). Pada tahun 1914, Inggris sebagai negara paling
maju pada waktu itu menyumbang 45 persen dari total penanaman modal asing

2
Selain istilah MNC’s, dikenal juga istilah TNC’s atau  transnational corporation  yang
ditawarkan oleh PBB.
dunia, disusul oleh Amerika Serikat (14 persen), Jerman (14 persen), Prancis (11
persen), Belanda (5 persen). Di tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia
Kedua yang sering disebut sebagai tahun pembatas karena setelah itu nampak
suatu percepatan luar biasa dalam kegiatan ekonomi internasional, kalau pada
akhir abad 19 Inggris menjadi pemimpin dan pelopor dalam hal MNCs maka
setelah Perang Dunia Kedua peran itu diambil oleh Amerika Serikat. Menurut
data pada tahuin 1967, Amerika Serikat menguasai 53,8 persen dari total
penanaman modal asing didunia. Saat itu sebagian besar perusahaan Amerika
Serikat bergerak di bidang pertambangan dan pertanian terutama industri minyak3.

2.1.2 Definisi Perusahaan Multinasional


Perusahaan multinasional atau PMN adalah perusahaan yang berusaha di
banyak negara; perusahaan ini biasanya sangat besar. Perusahaan seperti ini
memiliki kantor-kantor, pabrik atau kantor cabang di banyak negara. Mereka
biasanya memiliki sebuah kantor pusat di mana mereka mengkoordinasi
manajemen global4.
Perusahaan multinasional yang sangat besar memiliki dana yang melewati
dana banyak negara. Mereka dapat memiliki pengaruh kuat dalam politik global,
karena pengaruh ekonomi mereka yang sangat besar bagai para politisi, dan juga
sumber finansial yang sangat berkecukupan untuk relasi masyarakat dan melobi
politik. Karena jangkauan internasional dan mobilitas PMN, wilayah dalam
negara, dan negara sendiri, harus berkompetisi agar perusahaan ini dapat
menempatkan fasilitas mereka (dengan begitu juga pajak pendapatan, lapangan
kerja, dan aktivitas eknomi lainnya) di wilayah tersebut. Untuk dapat
berkompetisi, negara-negara dan distrik politik regional seringkali menawarkan
insentif kepada PMN, seperti potongan pajak, bantuan pemerintah atau
infrastruktur yang lebih baik atau standar pekerja dan lingkungan yang memadai.
PMN seringkali memanfaatkan subkontraktor untuk memproduksi barang tertentu
yang mereka butuhkan. Perusahaan multinasional pertama muncul pada 1602

3
I. Wibowo, dalam Kuasa Korporasi dari Hegemoni Rasa Sampai Hegemoni Pikiran, Wacana,
2005, hlm 19

4
wikipedia.org Perusahaan Multinasional 19/3/2011; 21.30
yaitu Perusahaan Hindia Timur Belanda yang merupakan saingan berat dari
Perusahaan Hindia Timur Britania5.

2.1.3 Definisi Privatisasi


Privatisasi merupakan kebijakan public yang mengarahkan bahwa tidak
ada altrernatif lain selain pasar yang dapat mengendalikan ekonomi secara efisien,
serta menyadari bahwa sebagian besar kegiatan pembangunan ekonomi yang
dilaksanakan selama ini seharusnya diserahkan kepada sector swasta6. Konsep
heald menjelaskan mengenai privatisasi dinilai sebagai interpretasi paling
sederhana dan komprehensif. Heald mengemukakan ”Terminologi Privatisasi”
yang terdiri dai 4 aktivitas yaitu :
1. Privatisasi Keuangan merupakan suatu jasa berkelanjutan yang diproduksi
oleh sektor publik.
2. Privatisasi Produksi Jasa yang dibiayai oleh sektor publik yaitu pada
kontrak dan bidang pendidikan.
3. Adanya ”Disnasionalisasi dan Penghapusan” yang diartikan sebagai
penjualan perusahaan publik dan pemindahan fungsi pengelolaan
perusahaan dari negara ke sektor swasta
4. Adanya ”Pembebasan” yang diartikan sebagai pelonggaran terhadap
”Status monopoli” atau pengaturan terhadap lisensi yang menghambat
sektor swasta dalam memasuki pasar yang disuplai sektor publik.
Menurut Dunleavy (1980an) privatisasi diartikan sebagai pemindahan
permanen dari aktivitas produksi barang dan jasa yang dilakukan oleh perusahaan
negara ke perusahaan swasta7.

5
ibid

6
Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme. 2003 hal. 56

7
http://www.geocities.com/ekonomiindonesia/penditb.html
Landasan teoritis penting yang mendukung privatisasi adalah aplikasi
Teorema Coase: “Dalam pasar bebas biaya transaksi lebih kecil dibanding pada
suatu hirarki besar. Dalam pasar bebas pertukaran lebih fleksibel dan arus
informasi lebih efisien. Dengan makin rumitnya perekonomian maka kemampuan
memproses informasi di pusat makin tertinggal dibandingkan arus informasi yang
harus diolah8. Karenanya, pengambilan keputusan sering terlambat dan
kualitasnya pun menurun. Hal ini berdampak pada rendahnya efisiensi produksi.”
Menurut  Steve H. Hanke, privatisasi adalah:
“…..is the transfer of assets and service functions from public to private hands. It
includes, therefore, activities that range from selling state – owned enterprise to
contracting out public service with private contractor…”.
Definisi Privatisasi  Menurut UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN
adalah penjualan saham Persero (Perusahaan Perseroan), baik sebagian maupun
seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai
perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas
saham oleh masyarakat. Privatisasi dilakukan pada umumnya didasarkan kepada
berbagai pertimbangan antara lain sebagai berikut :
• Mengurangi beban keuangan pemerintah, sekaligus membantu sumber
pendanaan pemerintah (divestasi)
• Meningkatkan efisiensi pengelolaan perusahaan
• Meningkatkan profesionalitas pengelolaan perusahaan
• Mengurangi campur tangan birokrasi/pemerintah terhadap pengelolaan
perusahaan
• Mendukung pengembangan pasar modal dalam negeri
• Sebagai flag-carrier (pembawa bendera) dalam mengarungi pasar global.

2.1.4 Definisi BUMN


Menurut Undang-undang Nomer 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha
Milik Negara, definisi BUMN adalah: Badan Usaha Milik Negara, yang
selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar

8
Setyanto P. Santosa, Quo Vadis Privatisasi Bumn?, www.pacific.net.id
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan9.
Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN
yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang
seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh
Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya disebut Persero Terbuka,
adalah Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria
tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang
seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan
untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu
tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan
perusahaan.

2.2 Cikal Bakal BUMN atau Perusahaan Negara


Pokok-pokok Perusahaan negara (yang kemudian dikenal sebagai BUMN)
muncul dalam pasal 33 ayat 2 dan 3 yang mana pasal 31 ayat 1 UUD 1945
merupakan prinsip dasar kerja dari perusahaan negara yakni pengelolaan bersama
untuk kepentingan bersama.
Dalam pasal 33 ayat 2 dan 3, secara jelas menerangkan bahwa cabang-
cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak serta
bumi air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam kalimat tersebut,
secara jelas Negara Indonesia memposisikan diri sebagai negara kesejahteraan
(welfare state).
Sejak Indonesia merdeka, fungsi dan peranan perusahaan negara sudah
menjadi perdebatan dikalangan founding fathers terutama pada kata dikuasai oleh
negara. Bung Karno menafsirkan bahwa karena kondisi perekonomian masih
lemah pasca kemerdekaan, maka negara harus menguasai sebagian besar bidang

9
Lihat Undang-undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara,
usaha yang dapat menstimulasi kegiatan ekonomi. Sedangkan, Bung Hatta
menentang pendapat ini dan memandang bahwa negara hanya cukup menguasai
perusahaan yang benar-benar menguasai kebutuhan pokok masyarakat seperti
listrik dan transportasi. Pandangan Hatta ini kemudian lebih sesuai dengan paham
ekonomi modern, dimana posisi negara hanya cukup menyediakan infrastruktur
yang mendukung proses pembangunan (Rice, Robert C., 1983, The Origin of
Basic Economic Ideas and their Impact on New Order Policies, Bulletin of
Indonesian Economic Studies)
Pasca kemerdekaan, Indonesia harus membangun ekonomi ditengah usaha
para negara imperaliasme menjajah kembali Indonesia. Perang dan
pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah terus terjadi tanpa henti hingga
Dekrit Presiden 1959. Pada awal tahun 1950-an, pendirian negara dibatasi pada
beberapa sektor vital yang sesuai Hattaconomic, namun pendirian perusahaan
negara masih tidak efektif karena adanya gangguan/guncangan keamanan dan
politik. Dan diakhir tahun 1957, pemerintah mulai melakukan nasionalisasi
hampir semua sektor yang sesuai dengan konsepsi Soekarno.
Adapun tujuan mendirikan perusahaan negara dan nasioanalisasi menurut
Bung Karno adalah untuk mendorong perekonomian nasional, terutama
perusahaan negara yang bergerak dalam bidang infrastruktur. Sederatan
perusahaan Belanda dinasionalisasi seperti PT Kereta Api atau Djawatan Kerera
Api (UU 71/1957), PT Pos (Djawatan Pos), PT Garuda Indonesia Airways, dan
diakhir pemerintah Soekarno sempat mendirikan Perusahaan Negara (PN)
Telekomunikasi. Namun, sebagian perusahaan yang dinasionalisasi oleh
Pemerintahan Soekarno banyak merugikan negara karena Belanda sudah terlebih
dahulu mengalihkan aset perusahaannya ke Belanda. Namun demikian,
perusahaan vital dan strategis pada akhirnya menjadi jati diri bangsa.

2.3 Peranan BUMN


Dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tersedianya dana merupakan
factor “essential” yang harus ada disamping faktor- faktor lainnya yakni sumber
daya manusia, skill (keahlian), dan sumber daya alam. Dalam PJP II sumber dana
untuk pembiayaaan pembangunan nasional dalam bidang ekonomi diarahkan pada
tersedianya dana yang digali dari kemampuan sendiri, sedangkan sumber dana
luar negeri yang masih diperlukan merupakan pelengkap, dengan prinsip
peningkatan kemandirian dalam pelaksanaan pem-bangunan dan mencegah
keterikatan serta campur tangan asing.
Persero sangat berperan dalam perekonomian nasional sebagai penyedia
barang dan jasa untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi maupun untuk kebutuhan
proses produksi. Sejalan dengan makin meningkatnya pelaksanaan pembangunan
dan hasil-hasil yang dicapai, maka produktifitas dan efisiensi seluruh kekuatan
ekonomi nasional perlu ditingkatkan lagi, sehingga peran dan sumbangannya
dalam pembangunan dapat memberikan hasil optimal bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Soedjono Dirdjosisworo, dalam bukunya Hukum Perusahaan mengenai
Bentuk-Bentuk Perusahaan (Badan Usaha) di Indonesia, menjelaskan
sesungguhnya kedudukan Perusahaan Negara mempunyai dua ciri yakni10:
1. Sebagai aparatur perekonomian negara, yaitu lembaga yang melaksanakan
tugastugas pemerintahan di bidang usaha negara. Dalam kedudukan ini
perusahaan milik negara merupakan unsur dari kelembagaan
pemerintahan dan tunduk pada peraturan-peraturan di bidang tata
pemerintahan, khususnya yang bersangkutan dengan penguasaan dan
pengurusan kekayaan negara, yang dilimpahkan kepadanya sebagai modal
atau penyertaan negara, baik yang dipisahkan ataupun yang tidak
dipisahkan.
2. Sebagai salah satu unsur dalam kehidupan perekonomian nasional
disamping perusahaan swasta dan koperasi. Dalam kedudukan ini
perusahaan milik negara merupakan subyek hukum yang dalam lalu lintas
hukum perekonomian dan hukum perikatan hak dan kewajibannya
disesuaikan dengan badan-badan hukum lainnya.
Selama masa orde lama dan permulaan orde baru banyak BUMN baru
didirikan, disamping BUMN yang berasal dari nasionalisasi perusahaan asing.
Ketika itu perusahaanperusahaan swasta belum banyak berperan.

10
Dirdjosisworo, S. (1997). Hukum perusahaan mengenai bentuk-bentuk perusahaan (badan
usaha) di Indonesia. Ban-dung: Mandar Maju.
Setelah krisis ekonomi dan moneter, banyak dari BUMN masih berjalan
dengan baik dan memberi kontribusi bagi pembangunan nasional. Sedangkan
perusahaan-perusahaan besar yang dinamakan konglomerat baru tumbuh pada
akhir masa orde baru. Namun setelah krisis ekonomi dan moneter tahun 1997,
sebagian dari konglomerat ini hancur, sebabnya antara lain karena melakukan
pengembangan usaha-usaha jangka panjang dengan meminjam uang jangka
pendek dari perbankan dalam negeri dan asing. Perbuatan mereka ini tidak dapat
dicegah karena KKN dengan rezim yang berkuasa pada saat itu11.
Operasional BUMN sebagai salah satu sarana penerimaan pajak nasional
diharapkan dapat mampu memberikan kontribusi yang besar untuk pendanaan
pembangunan nasional disamping sumber-sumber lain dari dalam negeri,
sehingga bantuan dari pihak luar hanya bersifat penunjang. Penerimaan pajak
BUMN untuk tahun 2003 mencapai Rp. 17 triliun. Untuk tahun 2004 Pemerintah
mentargetkan bisa menerima pajak sekitar 20 persen dari BUMN. Total target
penerimaan pajak tahun 2004 sebesar Rp. 219,4 triliun. Diharapkan sebesar 20
persen diantaranya atau Rp 38 - 40 triliun disumbang oleh BUMN.
Untuk mewujudkan target penerimaan pajak BUMN untuk pembiayaan
pembangunan dan penyelenggaraan negara, hal ini perlu dilakukan dengan
melihat kondisi tingkat kesehatan dan kinerja BUMN untuk mencapai target
tersebut. Pencapaian target tersebut harus pula diimbangi dengan budaya
perusahaan yang melaksanakan prinsip-prinsip good corporate governance atau
tata laksana usaha yang baik. Perusahaan yang menerapkan prinsip ini, pada
umumnya memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan
yang mengabaikan prinsip-prinsip tersebut. Prinsipprinsip ini sangat berkaitan
dengan moralitas dan tanggung jawab yang tinggi dari pelaksana usaha itu sendiri.
Mengantisipasi perkembangan ekonomi global dan melihat fakta yang ada,
BUMN harus segera berbenah diri untuk mengatasi berbagai permasalahan yang
ada terutama untuk mengatasi kerugian-kerugian yang diderita. Keterpurukan
beberapa kinerja BUMN yang mengalami kerugian selama ini, perlu dicari akar
permasalahannya sehingga pembenahan dapat lebih terencana. Ada banyak faktor
yang mempengaruhi buruknya kinerja BUMN tersebut, seperti budaya birokrasi
11
Sutadji, N.S. (2003). Asingisasi BUMN di Indonesia. Majalah Business dan BUMN II(03), 08
Juni – 08 Juli 2003.
dan intervensi pemerintah yang cukup besar dalam mempengaruhi kebijakan
BUMN, faktor politik, intervensi pihak asing, serta kualitas dan moralitas SDM
yang berkaitan dengan permasalahan KKN yang cukup rentan dalam tubuh
BUMN. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka langkah-langkah yang
perlu dilakukan antara lain dengan merealisasikan konsep Good Corporate
Governance atau tata laksana perusahaan yang baik harus segera dilaksanakan
untuk membekali SDM yang berkualitas dan bermoral, strategi bisnis dan
manajemen yang memperhatikan analisis kekurangan maupun kelebihan internal
dan eksternal perusahaan, serta memperhatikan perkembangan dan kebutuhan
pasar baik dalam maupun luar negeri. Selain itu satu hal yang tidak kalah
pentingnya sebagai negara hukum, kita harus tetap menempatkan hukum sebagai
panglima yang memberikan kerangka aturan pelaksanaan ekonomi yang beretika

2.4 Kontroversi Privatisasi Perusahaan BUMN


Pihak yang setuju dengan privatisasi BUMN berargumentasi bahwa
privatisasi perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja BUMN serta menutup
devisit APBN. Dengan adanya privatisasi diharapkan BUMN akan mampu
beroperasi secara lebih profesional lagi. Logikanya, dengan privatisasi di atas
50%, maka kendali dan pelaksanaan kebijakan BUMN akan bergeser dari
pemerintah ke investor baru. Sebagai pemegang saham terbesar, investor baru
tentu akan berupaya untuk bekerja secara efisien, sehingga mampu menciptakan
laba yang optimal, mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak, serta
mampu memberikan kontribusi yang lebih baik kepada pemerintah melalui
pembayaran pajak dan pembagian dividen.
Pihak yang tidak setuju dengan privatisasi berargumentasi bahwa apabila
privatisasi tidak dilaksanakan, maka kepemilikan BUMN tetap di tangan
pemerintah. Dengan demikian segala keuntungan maupun kerugian sepenuhnya
ditanggung oleh pemerintah. Mereka berargumentasi bahwa devisit anggaran
harus ditutup dengan sumber lain, bukan dari hasil penjualan BUMN. Mereka
memprediksi bahwa defisit APBN juga akan terjadi pada tahun-tahun mendatang.
Apabila BUMN dijual setiap tahun untuk menutup defisit APBN, suatu ketika
BUMN akan habis terjual dan defisit APBN pada tahun-tahun mendatang tetap
akan terjadi. Kontroversi privatisasi BUMN juga timbul dari pengertian privatisasi
dalam Pasal 1 (12) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang BUMN yang
menyebutkan: “Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun
seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai
perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas
pemilikan saham oleh masyarakat”.
Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa privatisasi yaitu penjualan saham
sebagian dan seluruhnya. Kata seluruhnya inilah yang mengandung kontroversi
bagi masayarakat karena apabila dijual saham seluruhnya kepemilikan pemerintah
terhadap BUMN tersebut sudah hilang beralih menjadi milik swasta dan beralih
namanya bukan BUMN lagi tetapi perusahaan swasta sehingga ditakutkan pelayan
publik ke masyarakat akan ditinggalkan apabila dikelola oleh pihak swasta dan
apabila diprivatisasi hendaknya hanya sebagian maksimal 49% dan pemerintah
harus tetap sebagai pemegang saham mayoritas agar aset BUMN tidak hilang dan
beralih ke swasta dan BUMN sebagai pelayan publik tetap diperankan oleh
pemerintah.
Sementara itu, pemerintah sendiri terdesak untuk melakukan privatisasi
guna menutup defisit anggaran. Defisit anggaran selain ditutup melalui utang luar
negeri juga ditutup melalui hasil privatisasi dan setoran BPPN. Dengan demikian,
seolah-olah privatisasi hanya memenuhi tujuan jangka pendek (menutup defisit
anggaran) dan bukan untuk maksimalisasi nilai dalam jangka panjang. Jika
pemerintah sudah mengambil langkah kebijakan melakukan privatisasi, secara
teknis keterlibatan negara di bidang industri strategis juga sudah tidak ada lagi dan
pemerintah hanya mengawasi melalui aturan main serta etika usaha yang dibuat.
Secara kongkret pemerintah harus memisahkan fungsi-fungsi lembaga negara dan
fungsi bidang usaha yang kadang-kadang memang masih tumpang tindih dan
selanjutnya pengelolaannya diserahkan kepada swasta.
Fakta memang menunjukkan bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh
swasta hasilnya secara umum lebih efisien. Berdasarkan pengalaman negara lain
menunjukkan bahwa negara lebih baik tidak langsung menjalankan operasi suatu
industri, tetapi cukup sebagai regulator yang menciptakan iklim usaha yang
kondusif dan menikmati hasil melalui penerimaan pajak.
Oleh karena itu, privatisasi dinilai berhasil jika dapat melakukan efisiensi,
terjadi penurunan harga atau perbaikan pelayanan. Selain itu, privatisasi memang
bukan hanya menyangkut masalah ekonomi semata, melainkan juga menyangkut
masalah transformasi sosial. Di dalamnya menyangkut landasan konstitusional
privatisasi, sejauh mana privatisasi bisa diterima oleh masyarakat, karyawan dan
elite politik (parlemen) sehingga tidak menimbulkan gejolak.
 
2.5 Manfaat Privatisasi BUMN
Ada beberapa manfaat Privatisasi perusahaan pelayanan publik seperti
BUMN, yaitu :
1. BUMN akan menjadi lebih transparan, sehingga dapat mengurangi praktek
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
2. Manajemen BUMN menjadi lebih independen, termasuk bebas dari
intervensi birokrasi.
3. BUMN akan memperoleh akses pemasaran ke pasar global, selain pasar
domestik.
4. BUMN akan memperoleh modal ekuitas baru berupa fresh money sehingga
pengembangan usaha menjadi lebih cepat.
5. BUMN akan memperoleh transfer of technology, terutama teknologi proses
produksi.
6. Terjadi transformasi corporate culture dari budaya birokratis yang lamban,
menjadi budaya korporasi yang lincah.
7. Mengurangi defisit APBN, karena dana yang masuk sebagian untuk
menambah kas APBN.
8. BUMN akan mengalami peningkatan kinerja operasional/ keuangan, karena
pengelolaan perusahaan lebih efisien.
Privatisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai
tambah perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan
saham Persero.
 
2.6 Privatisasi BUMN oleh Perusahaan Multinasional dalam Kaitannya
dengan Peran Negara dalam Pembangunan Ekonomi
Secara teori, privatisasi membantu terbentuknya pasar bebas,
mengembangnya kompetisi kapitalis, yang oleh para pendukungnya dianggap
akan memberikan harga yang lebih kompetitif kepada publik. Sebaliknya, para
sosialis menganggap privatisasi sebagai hal yang negatif, karena memberikan
layanan penting untuk publik kepada sektor privat akan menghilangkan kontrol
publik dan mengakibatkan kualitas layanan yang buruk, akibat penghematan-
penghematan yang dilakukan oleh perusahaan dalam mendapatkan profit.
Betapapun secara teoritik-akademis, para ekonom sudah bersusah payah
menjelaskan manfaatnya, privatisasi telah sangat menimbulkan aroma tak sedap.
Masalahnya privatisasi telah dianggap sebagai obral asset pada asing. Lebih jauh,
banyak orang telah melihat privatisasi dari kacamata politik dan kacamata uang
(komisi). Padahal tujuan utama privatisasi adalah membuat usaha itu sendiri
menjadi lebih sehat, karyawannya lebih sejahtera dan usahanya tidak menjadi
beban negara.

2.7 Relevansi UUD 1945 Pasal 33 dengan Privatisasi Perusahaan BUMN


oleh Perusahaan Multinasional
Berbicara tentang peran negara dalam pembangunan ekonomi, mau tidak
mau kita harus memahami sistem ekonominya. Terdapat hubungan yang sangat
erat dan timbal balik antara sistem hukum dan sistem ekonomi. Berkaitan dengan
hal ini sebaiknya secara nasional harus disepakati sistem ekonomi yang digunakan
di Indonesia, apakah kita akan mengabdi pada sistem ekonomi kapitalis, yang
mengkultuskan pasar bebas, atau sistem ekonomi Pancasila, yang cederung
berpihak pada ekonomi rakyat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 33
UUD NRI 1945. Pasal ini menggariskan makna sejahtera sebagai sejahtera secara
merata, artinya bahwa setiap individu bangsa Indonesia berhak menikmati hidup
yang sejahtera.
“….Pasal 33 :
Ayat 1 : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama  berdasar atas asas
kekeluargaan.
Ayat 2 : Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Ayat 3 : Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara di dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ayat 4 : perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbagan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Ayat 5 : Ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang”.
Di kalangan para pelopor Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) terdapat dua
cara pandang. Jalur pertama adalah jalur juridis formal. Jalur ini berangkat dari
keyakinan bahwa landasan hukum sistem ekonomi Pancasila adalah Pasal 33
UUD NRI 1945, yang dilatar belakangi oleh jiwa Pembukan UUD NRI 1945 dan
dilengkapi oleh Pasal 23, 27 Ayat (2), 34 serta Penjelasan Palas 2 UUD NRI
1945. Pelopor Jalur ini misalnya Sri Edi Swasono dan Potan Arif Harahap. Jalur
kedua adalah jalur orientasi. Jalur ini menghubungkan sila-sila dalam Pancasila.
Termasuk dalam kubu ini adalah Emil Salim, Mubyarto, dan Sumitro
Djoyohadikusumo. Pada dasarnya mereka menafsirkan sistem ekonomi pancasila
sebagai sitem ekonomi yang berorientasi pada sila I, II, III, IV dan V.
Untuk menetapkan sistem ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi
Indonesia memang tidak mudah, karena selam ratusan tahun kita telah
mengkonsumsi sistem hukum ekonomi yang berkualitas liberal atau mengabdi
kepada kepentingan negara-negara kapitalis. Kesulitan ini semakin berganda
ketika di tataran praktis masih belum ditemukan konsepsi atau bentuk konkrit
beberapa istilah seperti “usaha bersama” dan “asas kekeluargaan” dalam
pembentukan kebijakan negara.
Pasal 33 UUD NRI 1945 adalah pasal mengenai keekonomian yang berada
pada Bab XIV UUD NRI 1945 yang berjudul “Kesejahteraan Sosial”.
Kesejahteraan sosial adalah bagian tak terpisahkan dari cita-cita kemerdekaan.
Dengan menempatkan Pasal 33 UUD NRI 1945 di bawah judul “Kesejahteraan
Sosial” itu, berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah bermuara pada
peningkatan kesejahteraan sosial yang merupakan test untuk keberhasilan
pembangunan, bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi apalagi kemegahan
pembangunan fisikal. Pasal 33 UUD NRI 1945 adalah pasal yang mulia, pasal
yang mengutamakan kepentingan bersama masyarakat, tanpa mengabaikan
kepentingan individu orang per-orang. Pasal 33 UUD NRI 1945 adalah pasal
restrukturisasi ekonomi, pasal untuk mengatasi ketimpangan struktural ekonomi.
Privatisasi dilaksanakan dengan cara: penjualan saham berdasarkan ketentuan
pasar modal; penjualan saham langsung kepada investor; penjualan saham kepada
manajemen dan/ atau karyawan yang bersangkutan. Untuk membahas dan
memutuskan kebijakan tentang privatisasi sehubungan dengan kebijakan lintas
sektoral, pemerintah membentuk sebuah komite privatisasi sebagai wadah
koordinasi.
Privatisasi dalam kenyataannya memang mengalihkan kepemilikan negara
(yang diwakili oleh pemerintah) kepada sektor swasta, karena pemerintah telah
menyadari bahwa beban dan lingkup tugas pemerintah sudah menjadi lebih besar
sehingga akan lebih efektif dan efisien apabila tugas-tugas yang selama ini
menjadi tanggung jawab pemerintah (melalui BUMN) dialihkan kepada pihak
swasta. Jadi sebenarnya tidak ada yang menakutkan ataupun membahayakan
(nothing harm), apalagi bila kita menyimak bahwa privatisasi ini telah pula
dilaksanakan oleh berbagai negara di dunia, yang semuanya berakhir dengan baik.
Sesungguhnya proses privatisasi yang ideal adalah apabila dimulai dari rencana
usulan manajemen BUMN bukan berdasarkan instruksi dari pemerintah.
Privatisasi yang berasal dari usulan BUMN biasanya lebih lancar, dan pemerintah
bertindak sebagai fasilitator, hanya tinggal menentukan besarnya saham yang
akan dilepas, hari H-nya, modusnya apakah melalui penawaran umum ataukah
aliansi strategis. Sedangkan proses "housekeeping" dan sosialisasi dilakukan
sendiri oleh BUMN. Yang dimaksud dengan proses housekeeping adalah proses
pembenahan intern BUMN termasuk namun tidak terbatas kepada restrukturisasi,
golden hand-shake atau pensiun dini (dalam hal diperlukan), dan proses lain yang
diperlukan agar BUMN tersebut menjadi lebih menarik minat investor untuk
menanamkan modalnya.
Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah Persero yang bidang
usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh
BUMN; Persero yang bergerak di sektor usaha tertentu yang oleh pemerintah
diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan
dengan kepentingan masyarakat; Persero yang bergerak di bidang usaha sumber
daya alam yang secara tegas berdasarkan peraturan perundang-undangan dilarang
untuk diprivatisasi.
Modus privatisasi ditentukan pada saat semua persiapan telah selesai dan
ini merupakan kewenangan Pemerintah selaku pemegang saham, apakah akan
melalui penawaran umum (public offering atau stock-flotation), ataukah aliansi
strategis (stategic alliance) yang telah diseleksi melalui tender, pelelangan
(auction) ataupun negosiasi. Hal ini adalah untuk mencegah terjadinya kesimpang
siuran ataupun kekeruhan informasi sehingga dapat dihindari adanya pernyataan
dari Direksi BUMN bahwa yang bersangkutan lebih condong untuk memilih
penawaran umum dibandingkan dengan aliansi strategis ataupun dapat pula
sebaliknya. Karena ini bukanlah hak dari Direksi tetapi adalah kewenangan dari
pemerintah sehingga tidak perlu terjadi adanya polemik yang dapat mengacaukan
persiapan proses privatisasi.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD) 1945 merupakan
landasan konstitusi negara Indonesia. Melalui UUD 1945 pula secara jelas para
founding father merumuskan falsafah dan prinsip ekonomi yang menjadi landasan
ekonomi kita. Mengenai sistem ekonomi negara Indonesia, dapat kita lihat dalam
Bab XIV UUD 1945 yang berjudul “Kesejahteraan Sosial”, khususnya pasal 33
UUD 1945. Kesejahteraan sosial (umum) menjadi salah satu pilar, semangat
berikut tujuan berdirinya Negara Republik Indonesia, selain untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan
kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial12.
Dengan menempatkan Pasal 33 UUD 1945 dalam bagian Kesejahteraan
Sosial, ini berarti pembangunan ekonomi nasional haruslah berlandaskan pada
peningkatan kesejahteraan sosial. Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan
paramater dari keberhasilan pembangunan manusia seutuhnya yang merata, bukan
semata-mata angka pertumbuhan ekonomi apalagi kemegahan pembangunan
ekonomi fisikal. Pasal 33 UUD 1945 merupakan pasal yang mengutamakan

12
Sri Edi Swasono.Pasal 33 Harus Dipertahankan Jangan Dirubah, Boleh Ditambah. 2002
kepentingan masyarakat bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan
individu dalam berwiraswasta.
Mengutip kembali isi Pasal 33 UUD 1945 dalam sub-bab Kesejahteraan
Sosial :
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Penjelasan pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut. Landasan demokrasi
mewarnai ekonomi produksi yang dikerjakan oleh semua pihak, untuk semua
dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu
perekonmian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Jenis perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua
orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk
produksi jatuh ketangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak
ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak
boleh ada ditangan orang-seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
untuk kedaulatan ekonomi.
Meskipun sistem utama ekonomi negara menganut paham demokrasi
ekonomi berdasar “kebersamaan dan asas kekeluargaan”, namun pada saat itu,
negara tetap menjamin paham individualisme atau asas perorangan dalam
berwiraswasta seperti tertuang dalam Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang
salah satunya tetap menggunakan ketentuan Wetboek van Koophandel (KUHD).
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi “Segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini.” merupakan salah satu ruang yang diberikan
kepada pihak swasta untuk mengerakkan sektor ekonomi yang tidak dominan,
yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak.
Jadi sesungguhnya peran persiapan privatisasi sebagian besar berada di
pundak Direksi BUMN bukan pada pemerintah. Ketidakinginan ataupun
ketidakmampuan Direksi melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan dapat
menggambarkan pula ketidakmampuannya di dalam mengelola perusahaan
terutama bila dikaitkan dengan era globalisasi yang ditandai oleh adanya
persaingan tingkat tinggi (hyper-competition). Seharusnya seluruh Direksi BUMN
diberikan tugas oleh Pemerintah untuk menyiapkan BUMN nya memasuki pasar
modal melalui privatisasi guna menghadapi pasar global, jadi tidak hanya terbatas
kepada 12 BUMN yang telah diprogramkan untuk jangka pendek saja. Sedangkan
kapan waktu yang tepat untuk memasukinya disesuaikan dengan kondisi pasar
pada saat yang memungkinkan. Kinerja keberhasilan Direksi dan Dewan
Komisaris seharusnya dinilai pula dari keberhasilan mereka menyiapkan BUMN
nya untuk privatisasi. Dan ini seharusnya menjadi program utama Pemerintah
dalam rangka mendayagunakan BUMN. Direksi dalam perseroan memiliki 2
(dua) fungsi, yakni fungsi pengurusan (manajemen) dan fungsi perwakilan
(representasi). Hal ini sesuai dengan Pasal 92 ayat (1 dan 2) UUPT.
Untuk mewujudkan amanah Undang-undang No. 19 tahun 2003 mengenai
Badan Usaha Milik Negara pasal 2 ayat (1) butir (a) tentang salah satu maksud
dan tujuan pendirian BUMN yaitu “memberikan sumbangan bagi perkembangan
perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya”
maka Kementerian BUMN telah menyusun strategi penataan BUMN ke depan
yang berada dalam kerangka rightsizing policy yang tadi telah kami jelaskan.
Untuk meningkatkan kontribusi BUMN dalam pertumbuhan ekonomi
Kementerian BUMN akan memantapkan orientasi pengembangan kepada BUMN-
BUMN yang memiliki potensi bisnis maupun pelayanan, dalam besaran dan
struktur organisasi yang sesuai13.

13
Lihat Sri-Edi Swasono “Pasar-Bebas yang Imajiner: Distorsi Politik dan Pertentangan
Kepentingan Internasional”, Mimeo, Kantor Menko Ekuin, 21 Maret 1997.
Termasuk pula dari tindakan divestasi, meliputi pula tindakan privatisasi.
Bahwa tindakan privatisasi selain akan memperlihatkan kesiapan dan performa
kinerja perusahaan yang membaik yang kemudian mempunyai suatu nilai (value)
yang tinggi, maka perusahaan-perusahaan yang baik tersebut diberikan
kesempatan kepada khalayak/masyarakat dan instansi (Pemda) untuk turut
menikmati BUMN dengan cara memiliki saham Perusahaan. Dengan demikian
pengertian privatisasi tentang penjualan aset kepada asing sebenarnya hanya
terkait dengan masalah privatisasi dengan metode Initial Public Offering (IPO)
tentunya menggunakan suatu mekanisme pasar yang tidak bisa dikontrol investor-
investornya. Demikian pula sebaliknya, bagaimana perlakuan terhadap BUMN
yang usahanya sudah sunset (yang potensi perkembangan usahanya sudah turun)
bilamana Pemerintah akan bertindak sebagai regulator?. Seperti misalnya pada
kegiatan BUMN di bidang usaha penerbitan dan perdagangan buku, termasuk
pula usaha pergedungan dan pertokoan, dimana sektor swasta lebih maju dan
lebih efisien mengelolanya, apakah negara masih layak untuk memiliki dan
mengelola BUMN tersebut?

2.7 Dampak Privatisasi BUMN oleh Perusahaan Multinasional


Privatisasi BUMN memiliki sisi positif, Soeharto (2006: 217),
mengungkapkan ada 4 sisi positif privatisasi BUMN:
1. Beban pemerintah dalam membiayai BUMN semakin berkurang.
2. Memberi peluang lebih besar kepada seluruh masyarakat untuk
berpartisipasi meningkat pelayanan publik.
3. Iklim persaiangan menjadi semakin kompetitif.
4. Gaji pegawai/karyawan dapat lebih ditingkatkan.
Dampak privatisasi BUMN lebih banyak negatifnya dibanding positifnya.
Menurut Soeharto Beberapa dampak sosial dari privatisasi BUMN, adalah14:

14
Bastian, Indra, Ph.D, 2002, Privatisasi di Indonesia.
1. Harga produk berupa barang atau jasa menjadi mahal karena sudah
menjadi “barang mewah” yang sulit dijangkau oleh masyarakat luas,
khusunya warga kurang mampu.
2. Gap dalam kualitas produk dalam bentuk barang atau jasa.
3. Diskriminasi dalam pelayanan
4. Mereduksi kedaulatan dan kemandirian bangsa dan sosial
5. Stigmatisasi. Terjadi segregasi kelas sosial antara orang kaya dan miskin.
Konsekuensinya terjadi pelabelan sosial.
6. Perubahan misi pelayanan sosial. Pelayanan sosial pada mulanya bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Komersialisasi dapat menggeser
“budaya pelayanan sosia;” menjadi “budaya profit ekonomis”.
7. Memacu konsumerisme dan gaya hidup “besar pasak daripada tiang”.
8. Memperburuk kulitas SDM dan kepemimpinan masa depan
9. Rantai kemiskinan semakin mustahil diputuskan
Menurut Greeta akibat yang timbul dari privatisasi salah satunya ialah
akibat sosial. Masalah yang dapat timbul ialah apabila setelah privatisasi timbul
keresahan sosial, seperti :
1. Internal perusahaan :
1. Adanya kesenjangan pendapatan antara staf lokal dan asing (kalau
merekrut tenaga asing)
2. Perampingan pegawai karena tuntutan efisiensi dan tuntutan
kinerja SDM yang lebih tinggi yang sulit dipenuhi oleh banyak
karyawan.
2. Eksternal Perusahaan :
1. Keresahan masyarakat yang menjadi kurang terlayani karena
perubahan kebijakan subsidi, perubahan kebijakan manajemen baru
dalam melayani produk dan jasa bersibsidi.
2. Keresahan para rekanan pemasok yang telah sejak lama menikmati
fasiltas dan kemudahan dari perusahaan milik pemerintah. Sebagai
rekanan perusahaan yang telah diswastakan harus berkompetisi
dalam menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan perusahaan
sesuai dengan harga pasar.
Adapun manfaat dari privatisasi BUMN antara lain sebagai berikut:
1. BUMN akan menjadi lebih transparan, sehingga dapat mengurangi praktek
KKN. Manajemen BUMN menjadi lebih independen, termasuk bebas dari
intervensi birokrasi.
2. BUMN akan memperoleh akses pemasaran ke pasar global, selain pasar
domestik.
3. BUMN akan memperoleh modal ekuitas baru berupa fresh money
sehingga pengembangan usaha menjadi lebih cepat.
4. BUMN akan memperoleh transfer of technology, terutama teknologi
proses produksi.
5. Terjadi transformasi corporate culture dari budaya birokratis yang lamban,
menjadi budaya korporasi yang lincah.
6. Mengurangi defisit APBN, karena dana yang masuk sebagian untuk
menambah kas APBN.
7. BUMN akan mengalami peningkatan kinerja operasional / keuangan,
karena pengelolaan perusahaan lebih efisien.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
BUMN adalah salah satu amanat UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 : “Cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi keberadaan BUMN ini adalah wujud
tanggung jawab Negara secara langsung dalam berupaya mensejahterakan
rakyatnya. Sangat mengejutkan bahwsanya pemerintah hari ini memilih
memprivatisasi sejumlah BUMN tanpa didahului kajian yang mendalam terutama
dari sudut pandang hukum.
Pelepasan sejumlah BUMN kepada perusahaan multinasional adalah sama
saja mengurangi kedaulatan dan kemandirian perekonomian secara langsung
maupun tak langsung. Alasan-alasan privatisasi yang umum seperti: membebani
keuangan Negara karena merugi dan inefisien dan bahkan menjadi sumber tindak
pidana korupsi dapat diminimalisir dengan law enforcement yang tegas.
Penguasaan cabang produksi yang strategis oleh perusahaan asing (PMN) hanya
akan merugikan Negara dan rakyat. Idealnya diperlukan sebuah peraturan yang
memproteksi BUMN yang ada dari kepentingan-kepentingan segelintir elit yang
meraup keuntungan dari proses privatisasi tersebut. Memang disatu sisi privatisasi
dapat meningkat mutu pelayanan serta berakibat timbulnya harga yang kompetitif
dimata rakyat (konsumen) namun tidak sedikit pula Negara menangung
kerugiannya.

3.2 Saran
Privatisasi BUMN harus melalui suatu kajian yang mendalam dan
komprehensif sehingga tidak mengurangi kedaulatan dan kemandirian ekonomi
Indonesia. Dan yang tak kalah penting motif privatisasi harus didasari pada
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan mutu dan pelayanan serta
harga yang kompetitif bukan atas motif komersialisasi dan konglomerasi yang
menindas rakyat.
DAFTAR PUSTAKA

 
Dirdjosisworo, S. (1997). Hukum perusahaan mengenai bentuk-bentuk perusahaan (badan
usaha) di Indonesia. Ban-dung: Mandar Maju.
Rajagukguk, E. (2003). Hukum ekonom Indonesia: memperkuat persatuan nasional,
mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesejahteraan sosial.
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar 14 –
18 Juli 2003.
Sutadji, N.S. (2003). Asingisasi BUMN di Indonesia. Majalah Business dan BUMN II(03),
08 Juni – 08 Juli 2003.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
(2007). UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(1995). UU No. 8 tahun 1995 tentang pasar modal.
(2003). UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN
Irwansyah (Sekretaris Jenderal Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja) dalam
wawancara dengan APIndonesia.Com, 12 Feb 2008.
Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. Jakarta: Lentera Hati,
2002
Setyanto P. Santosa, Quo Vadis Privatisasi Bumn?, www.pacific.net.id
Sri-Edi Swasono, Pasar-Bebas yang Imajiner: Distorsi Politik dan Pertentangan
Kepentingan Internasional, Mimeo, Kantor Menko Ekuin, 21 Maret 1997.
Sugiharto, et. all., BUMN Indonesia: isu, kebijakan dan strategi, Elex Media Komputindo,
Jakarta, 2005.
Sutherland dalam Harkristuti Harkrisnowo, Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia,
Jurnal Kajian Putusan Pengadilan DICTUM, edisi I 2002, Jakarta.
UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Visimedia, Jakarta, 2004
Setyanto P. Santosa, Quo Vadis Privatisasi BUMN?, www.pacific.net.id, 5/1/2010
http://id.wikipedia.org/wiki/perusahaan_multinasional Diakses pada tanggal 19 Maret 2011
pukul 21.30 Wib
 
 

You might also like