Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
Lihat UUD 1945 Pasal 33
Oleh karena itu fenomena kebijakan memprivatisasi tidak bisa dilakukan
serta merta tanpa suatu kajian yang mendalam tidak hanya dari segi ekonomi saja
yang hanya berlandaskan pada pragmatisme elit saja tetapi juga harus
berlandaskan pada utilitarianisme komunal (civil society). Karena kajian dari segi
hukum harus merujuk pada konstitusi dalam hal ini UUD 1945 sebagai paying
hokum yang akan memberikan kepastian hukum sekaligus perlindungan yang
jelas kepada seluruh Rakyat Indonesia untuk memperoleh kesejahteraan. Sesuai
dengan apa yang terdapat dalam weltanschaung kita khususnya sila ke-5
“Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”.
Privatisasi adalah kebijakan yang multifaset, secara ideologis bermakna
meminimalisir peran negara. Secara manajemen bermakna meningkatkan efisiensi
pengelolaan usaha. Secara anggaran, privatisasi dapat bermakna mengisi kas
negara yang sedang “bolong”. BUMN yang merupakan perusahaan pelayanan
publik telah memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan nasional. Pada
masa awal kemerdekaan, sektor korporasi di Indonesia masih kecil dan
didominasi oleh perseroan–perseroan yang dimiliki asing atau yang
kepemilikannya terpusat.
2
Selain istilah MNC’s, dikenal juga istilah TNC’s atau transnational corporation yang
ditawarkan oleh PBB.
dunia, disusul oleh Amerika Serikat (14 persen), Jerman (14 persen), Prancis (11
persen), Belanda (5 persen). Di tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia
Kedua yang sering disebut sebagai tahun pembatas karena setelah itu nampak
suatu percepatan luar biasa dalam kegiatan ekonomi internasional, kalau pada
akhir abad 19 Inggris menjadi pemimpin dan pelopor dalam hal MNCs maka
setelah Perang Dunia Kedua peran itu diambil oleh Amerika Serikat. Menurut
data pada tahuin 1967, Amerika Serikat menguasai 53,8 persen dari total
penanaman modal asing didunia. Saat itu sebagian besar perusahaan Amerika
Serikat bergerak di bidang pertambangan dan pertanian terutama industri minyak3.
3
I. Wibowo, dalam Kuasa Korporasi dari Hegemoni Rasa Sampai Hegemoni Pikiran, Wacana,
2005, hlm 19
4
wikipedia.org Perusahaan Multinasional 19/3/2011; 21.30
yaitu Perusahaan Hindia Timur Belanda yang merupakan saingan berat dari
Perusahaan Hindia Timur Britania5.
5
ibid
6
Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme. 2003 hal. 56
7
http://www.geocities.com/ekonomiindonesia/penditb.html
Landasan teoritis penting yang mendukung privatisasi adalah aplikasi
Teorema Coase: “Dalam pasar bebas biaya transaksi lebih kecil dibanding pada
suatu hirarki besar. Dalam pasar bebas pertukaran lebih fleksibel dan arus
informasi lebih efisien. Dengan makin rumitnya perekonomian maka kemampuan
memproses informasi di pusat makin tertinggal dibandingkan arus informasi yang
harus diolah8. Karenanya, pengambilan keputusan sering terlambat dan
kualitasnya pun menurun. Hal ini berdampak pada rendahnya efisiensi produksi.”
Menurut Steve H. Hanke, privatisasi adalah:
“…..is the transfer of assets and service functions from public to private hands. It
includes, therefore, activities that range from selling state – owned enterprise to
contracting out public service with private contractor…”.
Definisi Privatisasi Menurut UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN
adalah penjualan saham Persero (Perusahaan Perseroan), baik sebagian maupun
seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai
perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas
saham oleh masyarakat. Privatisasi dilakukan pada umumnya didasarkan kepada
berbagai pertimbangan antara lain sebagai berikut :
• Mengurangi beban keuangan pemerintah, sekaligus membantu sumber
pendanaan pemerintah (divestasi)
• Meningkatkan efisiensi pengelolaan perusahaan
• Meningkatkan profesionalitas pengelolaan perusahaan
• Mengurangi campur tangan birokrasi/pemerintah terhadap pengelolaan
perusahaan
• Mendukung pengembangan pasar modal dalam negeri
• Sebagai flag-carrier (pembawa bendera) dalam mengarungi pasar global.
8
Setyanto P. Santosa, Quo Vadis Privatisasi Bumn?, www.pacific.net.id
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal
dari kekayaan negara yang dipisahkan9.
Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN
yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang
seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh
Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya disebut Persero Terbuka,
adalah Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria
tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang
seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan
untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu
tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan
perusahaan.
9
Lihat Undang-undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara,
usaha yang dapat menstimulasi kegiatan ekonomi. Sedangkan, Bung Hatta
menentang pendapat ini dan memandang bahwa negara hanya cukup menguasai
perusahaan yang benar-benar menguasai kebutuhan pokok masyarakat seperti
listrik dan transportasi. Pandangan Hatta ini kemudian lebih sesuai dengan paham
ekonomi modern, dimana posisi negara hanya cukup menyediakan infrastruktur
yang mendukung proses pembangunan (Rice, Robert C., 1983, The Origin of
Basic Economic Ideas and their Impact on New Order Policies, Bulletin of
Indonesian Economic Studies)
Pasca kemerdekaan, Indonesia harus membangun ekonomi ditengah usaha
para negara imperaliasme menjajah kembali Indonesia. Perang dan
pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah terus terjadi tanpa henti hingga
Dekrit Presiden 1959. Pada awal tahun 1950-an, pendirian negara dibatasi pada
beberapa sektor vital yang sesuai Hattaconomic, namun pendirian perusahaan
negara masih tidak efektif karena adanya gangguan/guncangan keamanan dan
politik. Dan diakhir tahun 1957, pemerintah mulai melakukan nasionalisasi
hampir semua sektor yang sesuai dengan konsepsi Soekarno.
Adapun tujuan mendirikan perusahaan negara dan nasioanalisasi menurut
Bung Karno adalah untuk mendorong perekonomian nasional, terutama
perusahaan negara yang bergerak dalam bidang infrastruktur. Sederatan
perusahaan Belanda dinasionalisasi seperti PT Kereta Api atau Djawatan Kerera
Api (UU 71/1957), PT Pos (Djawatan Pos), PT Garuda Indonesia Airways, dan
diakhir pemerintah Soekarno sempat mendirikan Perusahaan Negara (PN)
Telekomunikasi. Namun, sebagian perusahaan yang dinasionalisasi oleh
Pemerintahan Soekarno banyak merugikan negara karena Belanda sudah terlebih
dahulu mengalihkan aset perusahaannya ke Belanda. Namun demikian,
perusahaan vital dan strategis pada akhirnya menjadi jati diri bangsa.
10
Dirdjosisworo, S. (1997). Hukum perusahaan mengenai bentuk-bentuk perusahaan (badan
usaha) di Indonesia. Ban-dung: Mandar Maju.
Setelah krisis ekonomi dan moneter, banyak dari BUMN masih berjalan
dengan baik dan memberi kontribusi bagi pembangunan nasional. Sedangkan
perusahaan-perusahaan besar yang dinamakan konglomerat baru tumbuh pada
akhir masa orde baru. Namun setelah krisis ekonomi dan moneter tahun 1997,
sebagian dari konglomerat ini hancur, sebabnya antara lain karena melakukan
pengembangan usaha-usaha jangka panjang dengan meminjam uang jangka
pendek dari perbankan dalam negeri dan asing. Perbuatan mereka ini tidak dapat
dicegah karena KKN dengan rezim yang berkuasa pada saat itu11.
Operasional BUMN sebagai salah satu sarana penerimaan pajak nasional
diharapkan dapat mampu memberikan kontribusi yang besar untuk pendanaan
pembangunan nasional disamping sumber-sumber lain dari dalam negeri,
sehingga bantuan dari pihak luar hanya bersifat penunjang. Penerimaan pajak
BUMN untuk tahun 2003 mencapai Rp. 17 triliun. Untuk tahun 2004 Pemerintah
mentargetkan bisa menerima pajak sekitar 20 persen dari BUMN. Total target
penerimaan pajak tahun 2004 sebesar Rp. 219,4 triliun. Diharapkan sebesar 20
persen diantaranya atau Rp 38 - 40 triliun disumbang oleh BUMN.
Untuk mewujudkan target penerimaan pajak BUMN untuk pembiayaan
pembangunan dan penyelenggaraan negara, hal ini perlu dilakukan dengan
melihat kondisi tingkat kesehatan dan kinerja BUMN untuk mencapai target
tersebut. Pencapaian target tersebut harus pula diimbangi dengan budaya
perusahaan yang melaksanakan prinsip-prinsip good corporate governance atau
tata laksana usaha yang baik. Perusahaan yang menerapkan prinsip ini, pada
umumnya memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan
yang mengabaikan prinsip-prinsip tersebut. Prinsipprinsip ini sangat berkaitan
dengan moralitas dan tanggung jawab yang tinggi dari pelaksana usaha itu sendiri.
Mengantisipasi perkembangan ekonomi global dan melihat fakta yang ada,
BUMN harus segera berbenah diri untuk mengatasi berbagai permasalahan yang
ada terutama untuk mengatasi kerugian-kerugian yang diderita. Keterpurukan
beberapa kinerja BUMN yang mengalami kerugian selama ini, perlu dicari akar
permasalahannya sehingga pembenahan dapat lebih terencana. Ada banyak faktor
yang mempengaruhi buruknya kinerja BUMN tersebut, seperti budaya birokrasi
11
Sutadji, N.S. (2003). Asingisasi BUMN di Indonesia. Majalah Business dan BUMN II(03), 08
Juni – 08 Juli 2003.
dan intervensi pemerintah yang cukup besar dalam mempengaruhi kebijakan
BUMN, faktor politik, intervensi pihak asing, serta kualitas dan moralitas SDM
yang berkaitan dengan permasalahan KKN yang cukup rentan dalam tubuh
BUMN. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka langkah-langkah yang
perlu dilakukan antara lain dengan merealisasikan konsep Good Corporate
Governance atau tata laksana perusahaan yang baik harus segera dilaksanakan
untuk membekali SDM yang berkualitas dan bermoral, strategi bisnis dan
manajemen yang memperhatikan analisis kekurangan maupun kelebihan internal
dan eksternal perusahaan, serta memperhatikan perkembangan dan kebutuhan
pasar baik dalam maupun luar negeri. Selain itu satu hal yang tidak kalah
pentingnya sebagai negara hukum, kita harus tetap menempatkan hukum sebagai
panglima yang memberikan kerangka aturan pelaksanaan ekonomi yang beretika
12
Sri Edi Swasono.Pasal 33 Harus Dipertahankan Jangan Dirubah, Boleh Ditambah. 2002
kepentingan masyarakat bersama masyarakat, tanpa mengabaikan kepentingan
individu dalam berwiraswasta.
Mengutip kembali isi Pasal 33 UUD 1945 dalam sub-bab Kesejahteraan
Sosial :
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Penjelasan pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut. Landasan demokrasi
mewarnai ekonomi produksi yang dikerjakan oleh semua pihak, untuk semua
dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu
perekonmian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Jenis perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua
orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk
produksi jatuh ketangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak
ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak
boleh ada ditangan orang-seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
untuk kedaulatan ekonomi.
Meskipun sistem utama ekonomi negara menganut paham demokrasi
ekonomi berdasar “kebersamaan dan asas kekeluargaan”, namun pada saat itu,
negara tetap menjamin paham individualisme atau asas perorangan dalam
berwiraswasta seperti tertuang dalam Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang
salah satunya tetap menggunakan ketentuan Wetboek van Koophandel (KUHD).
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi “Segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini.” merupakan salah satu ruang yang diberikan
kepada pihak swasta untuk mengerakkan sektor ekonomi yang tidak dominan,
yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak.
Jadi sesungguhnya peran persiapan privatisasi sebagian besar berada di
pundak Direksi BUMN bukan pada pemerintah. Ketidakinginan ataupun
ketidakmampuan Direksi melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan dapat
menggambarkan pula ketidakmampuannya di dalam mengelola perusahaan
terutama bila dikaitkan dengan era globalisasi yang ditandai oleh adanya
persaingan tingkat tinggi (hyper-competition). Seharusnya seluruh Direksi BUMN
diberikan tugas oleh Pemerintah untuk menyiapkan BUMN nya memasuki pasar
modal melalui privatisasi guna menghadapi pasar global, jadi tidak hanya terbatas
kepada 12 BUMN yang telah diprogramkan untuk jangka pendek saja. Sedangkan
kapan waktu yang tepat untuk memasukinya disesuaikan dengan kondisi pasar
pada saat yang memungkinkan. Kinerja keberhasilan Direksi dan Dewan
Komisaris seharusnya dinilai pula dari keberhasilan mereka menyiapkan BUMN
nya untuk privatisasi. Dan ini seharusnya menjadi program utama Pemerintah
dalam rangka mendayagunakan BUMN. Direksi dalam perseroan memiliki 2
(dua) fungsi, yakni fungsi pengurusan (manajemen) dan fungsi perwakilan
(representasi). Hal ini sesuai dengan Pasal 92 ayat (1 dan 2) UUPT.
Untuk mewujudkan amanah Undang-undang No. 19 tahun 2003 mengenai
Badan Usaha Milik Negara pasal 2 ayat (1) butir (a) tentang salah satu maksud
dan tujuan pendirian BUMN yaitu “memberikan sumbangan bagi perkembangan
perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya”
maka Kementerian BUMN telah menyusun strategi penataan BUMN ke depan
yang berada dalam kerangka rightsizing policy yang tadi telah kami jelaskan.
Untuk meningkatkan kontribusi BUMN dalam pertumbuhan ekonomi
Kementerian BUMN akan memantapkan orientasi pengembangan kepada BUMN-
BUMN yang memiliki potensi bisnis maupun pelayanan, dalam besaran dan
struktur organisasi yang sesuai13.
13
Lihat Sri-Edi Swasono “Pasar-Bebas yang Imajiner: Distorsi Politik dan Pertentangan
Kepentingan Internasional”, Mimeo, Kantor Menko Ekuin, 21 Maret 1997.
Termasuk pula dari tindakan divestasi, meliputi pula tindakan privatisasi.
Bahwa tindakan privatisasi selain akan memperlihatkan kesiapan dan performa
kinerja perusahaan yang membaik yang kemudian mempunyai suatu nilai (value)
yang tinggi, maka perusahaan-perusahaan yang baik tersebut diberikan
kesempatan kepada khalayak/masyarakat dan instansi (Pemda) untuk turut
menikmati BUMN dengan cara memiliki saham Perusahaan. Dengan demikian
pengertian privatisasi tentang penjualan aset kepada asing sebenarnya hanya
terkait dengan masalah privatisasi dengan metode Initial Public Offering (IPO)
tentunya menggunakan suatu mekanisme pasar yang tidak bisa dikontrol investor-
investornya. Demikian pula sebaliknya, bagaimana perlakuan terhadap BUMN
yang usahanya sudah sunset (yang potensi perkembangan usahanya sudah turun)
bilamana Pemerintah akan bertindak sebagai regulator?. Seperti misalnya pada
kegiatan BUMN di bidang usaha penerbitan dan perdagangan buku, termasuk
pula usaha pergedungan dan pertokoan, dimana sektor swasta lebih maju dan
lebih efisien mengelolanya, apakah negara masih layak untuk memiliki dan
mengelola BUMN tersebut?
14
Bastian, Indra, Ph.D, 2002, Privatisasi di Indonesia.
1. Harga produk berupa barang atau jasa menjadi mahal karena sudah
menjadi “barang mewah” yang sulit dijangkau oleh masyarakat luas,
khusunya warga kurang mampu.
2. Gap dalam kualitas produk dalam bentuk barang atau jasa.
3. Diskriminasi dalam pelayanan
4. Mereduksi kedaulatan dan kemandirian bangsa dan sosial
5. Stigmatisasi. Terjadi segregasi kelas sosial antara orang kaya dan miskin.
Konsekuensinya terjadi pelabelan sosial.
6. Perubahan misi pelayanan sosial. Pelayanan sosial pada mulanya bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Komersialisasi dapat menggeser
“budaya pelayanan sosia;” menjadi “budaya profit ekonomis”.
7. Memacu konsumerisme dan gaya hidup “besar pasak daripada tiang”.
8. Memperburuk kulitas SDM dan kepemimpinan masa depan
9. Rantai kemiskinan semakin mustahil diputuskan
Menurut Greeta akibat yang timbul dari privatisasi salah satunya ialah
akibat sosial. Masalah yang dapat timbul ialah apabila setelah privatisasi timbul
keresahan sosial, seperti :
1. Internal perusahaan :
1. Adanya kesenjangan pendapatan antara staf lokal dan asing (kalau
merekrut tenaga asing)
2. Perampingan pegawai karena tuntutan efisiensi dan tuntutan
kinerja SDM yang lebih tinggi yang sulit dipenuhi oleh banyak
karyawan.
2. Eksternal Perusahaan :
1. Keresahan masyarakat yang menjadi kurang terlayani karena
perubahan kebijakan subsidi, perubahan kebijakan manajemen baru
dalam melayani produk dan jasa bersibsidi.
2. Keresahan para rekanan pemasok yang telah sejak lama menikmati
fasiltas dan kemudahan dari perusahaan milik pemerintah. Sebagai
rekanan perusahaan yang telah diswastakan harus berkompetisi
dalam menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan perusahaan
sesuai dengan harga pasar.
Adapun manfaat dari privatisasi BUMN antara lain sebagai berikut:
1. BUMN akan menjadi lebih transparan, sehingga dapat mengurangi praktek
KKN. Manajemen BUMN menjadi lebih independen, termasuk bebas dari
intervensi birokrasi.
2. BUMN akan memperoleh akses pemasaran ke pasar global, selain pasar
domestik.
3. BUMN akan memperoleh modal ekuitas baru berupa fresh money
sehingga pengembangan usaha menjadi lebih cepat.
4. BUMN akan memperoleh transfer of technology, terutama teknologi
proses produksi.
5. Terjadi transformasi corporate culture dari budaya birokratis yang lamban,
menjadi budaya korporasi yang lincah.
6. Mengurangi defisit APBN, karena dana yang masuk sebagian untuk
menambah kas APBN.
7. BUMN akan mengalami peningkatan kinerja operasional / keuangan,
karena pengelolaan perusahaan lebih efisien.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
BUMN adalah salah satu amanat UUD 1945 Pasal 33 Ayat 2 : “Cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi keberadaan BUMN ini adalah wujud
tanggung jawab Negara secara langsung dalam berupaya mensejahterakan
rakyatnya. Sangat mengejutkan bahwsanya pemerintah hari ini memilih
memprivatisasi sejumlah BUMN tanpa didahului kajian yang mendalam terutama
dari sudut pandang hukum.
Pelepasan sejumlah BUMN kepada perusahaan multinasional adalah sama
saja mengurangi kedaulatan dan kemandirian perekonomian secara langsung
maupun tak langsung. Alasan-alasan privatisasi yang umum seperti: membebani
keuangan Negara karena merugi dan inefisien dan bahkan menjadi sumber tindak
pidana korupsi dapat diminimalisir dengan law enforcement yang tegas.
Penguasaan cabang produksi yang strategis oleh perusahaan asing (PMN) hanya
akan merugikan Negara dan rakyat. Idealnya diperlukan sebuah peraturan yang
memproteksi BUMN yang ada dari kepentingan-kepentingan segelintir elit yang
meraup keuntungan dari proses privatisasi tersebut. Memang disatu sisi privatisasi
dapat meningkat mutu pelayanan serta berakibat timbulnya harga yang kompetitif
dimata rakyat (konsumen) namun tidak sedikit pula Negara menangung
kerugiannya.
3.2 Saran
Privatisasi BUMN harus melalui suatu kajian yang mendalam dan
komprehensif sehingga tidak mengurangi kedaulatan dan kemandirian ekonomi
Indonesia. Dan yang tak kalah penting motif privatisasi harus didasari pada
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan mutu dan pelayanan serta
harga yang kompetitif bukan atas motif komersialisasi dan konglomerasi yang
menindas rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Dirdjosisworo, S. (1997). Hukum perusahaan mengenai bentuk-bentuk perusahaan (badan
usaha) di Indonesia. Ban-dung: Mandar Maju.
Rajagukguk, E. (2003). Hukum ekonom Indonesia: memperkuat persatuan nasional,
mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesejahteraan sosial.
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar 14 –
18 Juli 2003.
Sutadji, N.S. (2003). Asingisasi BUMN di Indonesia. Majalah Business dan BUMN II(03),
08 Juni – 08 Juli 2003.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
(2007). UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(1995). UU No. 8 tahun 1995 tentang pasar modal.
(2003). UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN
Irwansyah (Sekretaris Jenderal Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja) dalam
wawancara dengan APIndonesia.Com, 12 Feb 2008.
Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. Jakarta: Lentera Hati,
2002
Setyanto P. Santosa, Quo Vadis Privatisasi Bumn?, www.pacific.net.id
Sri-Edi Swasono, Pasar-Bebas yang Imajiner: Distorsi Politik dan Pertentangan
Kepentingan Internasional, Mimeo, Kantor Menko Ekuin, 21 Maret 1997.
Sugiharto, et. all., BUMN Indonesia: isu, kebijakan dan strategi, Elex Media Komputindo,
Jakarta, 2005.
Sutherland dalam Harkristuti Harkrisnowo, Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia,
Jurnal Kajian Putusan Pengadilan DICTUM, edisi I 2002, Jakarta.
UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Visimedia, Jakarta, 2004
Setyanto P. Santosa, Quo Vadis Privatisasi BUMN?, www.pacific.net.id, 5/1/2010
http://id.wikipedia.org/wiki/perusahaan_multinasional Diakses pada tanggal 19 Maret 2011
pukul 21.30 Wib