You are on page 1of 10

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rinitis Alergi

Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

alergi terhadap partikel, antara lain: tungau debu rumah, asap, serbuk /

tepung sari yang ada di udara. Penyakit ini tergolong reaksi hipersensitivitas

tipe I yang diperantarai oleh IgE.13,15

Gejala utama pada hidung yaitu hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin,

keluar ingus cair seperti air bening. Gejala pada mata yaitu mata berair,

kemerahan dan gatal.13,16

Klasifikasi RA mengalami beberapa perubahan. Dahulu dikenal 2

pembagian yaitu seasonal dan parennial. Seasonal adalah gejala RA timbul

hanya pada waktu tertentu dan biasanya dihubungkan dengan adanya faktor

pencetus polen (serbuk sari), sedangkan parennial dimaksudkan sebagai

serangan yang terjadi sepanjang masa (tahunan). Saat ini ARIA (Initiative

Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma 2000) mengubah klasifikasi

tersebut menjadi tipe intermiten dan persisten. Dikatakan intermiten apabila

gejala timbul kurang 4 hari seminggu atau lamanya gejala kurang dari 4

minggu. Sedangkan dikatakan persisten apabila gejala lebih dari 4 hari per

minggu dan lamanya lebih dari 4 minggu.16,17

Universitas Sumatera Utara


Selain klasifikasi di atas juga dibedakan jenis serangannya yaitu mild

(ringan) dan moderate – severe (sedang-berat). Dikatakan ringan apabila

gejala RA tidak mengganggu aktivitas sehari-hari seperti sekolah, bekerja,

berolahraga dengan baik, tidur tidak terganggu dan dikatakan sedang sampai

berat apabila sudah terdapat satu atau lebih gangguan seperti gangguan

tidur, belajar, dan bekerja.18

2.2. Patogenesis rinitis alergi

Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Histamin

bekerja langsung pada reseptor histamin selular, dan secara tidak langsung

melalui refleks yang berperan pada bersin dan hipersekresi. Melalui sistem

saraf otonom, histamin menimbulkan gejala bersin dan gatal, serta

vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan gejala

beringus encer (watery rhinorrhoe) dan edema lokal. Reaksi ini timbul

setelah beberapa menit pasca pajanan alergi. (Gambar 2.1)13,19,20

Refleks bersin dan hipersekresi adalah refleks fisiologik yang berfungsi

protektif terhadap antigen yang masuk melalui hidung. Iritasi sedikit pada

daerah mukosa hidung menimbulkan respons hebat di seluruh mukosa

hidung. Setelah mediator histamin dilepas muncul mediator yang lain

misalnya leukotrin (LTB4, LTC), prostaglandin (PGD2). Efek mediator ini

menyebabkan vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas vaskular

sehingga menyebabkan gejala hidung tersumbat (nasal blockage),

Universitas Sumatera Utara


meningkatnya sekresi kelenjar sehingga menimbulkan gejala beringus kental

(mucous rhinorrhoe).19

Gambar 2.1. Patogenesis rinitis alergi

Universitas Sumatera Utara


2.3. Diagnosis

Riwayat atopi dalam keluarga merupakan faktor predisposisi RA yang

penting pada anak. Sesuai dengan patogenesisnya, gejala RA dapat berupa

rasa gatal di hidung dan mata, bersin, sekresi hidung, hidung sumbat, dan

bernafas melalui mulut. Gejala kombinasi bersin, ingusan serta hidung

tersumbat adalah gejala yang paling mengganggu dan menjengkelkan.

Perilaku penderita RA kronik seperti sering mengosok-gosok mata dan

hidung, timbul tanda khas seperti : allergic shiner (bayangan gelap di bawah

kelopak mata karena sumbatan pembuluh darah vena), allergic salute (akibat

sering menggosok hidung dengan punggung tangan ke arah atas), dan

allergic crease (garis melintang di sepertiga bawah dorsum nasi ).13

Pemeriksaan THT dilakukan dengan menggunakan rinoskopi kaku

atau fleksibel, sekaligus juga dapat menyingkirkan kelainan seperti : infeksi,

deviasi septum dan tumor. Pada RA ditemukan tanda klasik yaitu mukosa

edema dan pucat kebiruan dengan ingus encer. Untuk mencari penyebab

dapat dilakukan uji kulit dengan cara uji tusuk (prick test), uji gores (scratch

test). Kurang dari setengah penderita RA anak mempunyai kadar Ig E total

yang meningkat. Pemeriksaan sekret hidung dilakukan untuk mendapatkan

sel eosinofil yang meningkat >3% atau 5 sel / lapang pandang menunjukkan

kemungkinan alergi, kecuali pada saat infeksi sekunder maka sel neutrofil

segmen akan lebih dominan.13

Universitas Sumatera Utara


2.4. Pengobatan Rinitis Alergi

Penatalaksanaan RA pada anak terutama dilakukan dengan penghindaran

alergen penyebab, kontrol lingkungan dan farmakoterapi secara tepat dan

rasional.13,18 Negara berkembang merekomendasikan pilihan pertama

pengobatan RA adalah dengan AH1 oral. Hal ini juga sama dengan Unit

Koordinasi Kerja Alergi - Imunologi dimana pilihan utama pengobatan RA

adalah AH1 oral.13 Sebaiknya penderita RA menggunakan obat tidak pada

saat diperlukan saja. Tujuannya untuk mengurangi terjadinya minimal

persistant inflammation (inflamasi minimal yang menetap) serta komplikasi

pada saluran nafas.13,21,22

2.5. Antihistamin

Antihistamin merupakan salah satu obat terbanyak dan terluas digunakan

sudah lebih dari 50 tahun pada anak dan efektif untuk mengurangi gejala RA.

Dulu, AH1 dikenal sebagai antagonis reseptor histamin H1. Namun seiring

perkembangan ilmu farmakologi molekuler AH1 lebih digolongkan sebagai

inverse agonist daripada antagonis reseptor histamin H1. AH terdiri dari tiga

generasi yaitu generasi pertama, kedua dan ketiga.13, 21,23

Generasi pertama AH1 dikenal sebagai AH1 klasik bersifat lipofilik

yang mampu menembus sawar darah otak, sehingga lebih menyebabkan

sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata.13,22,23

Universitas Sumatera Utara


Generasi kedua lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul

lebih besar sehingga lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein

plasma dan berkurang kemampuannya melintasi otak. Generasi kedua AH1

mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat

diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam

mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang

efektif dalam mengatasi kongesti hidung. Farmakokinetik AH generasi kedua

pada Tabel 2.1.24

Tabel 2.1. Farmakokinetik cetirizin dan loratadin

T maks setelah % eliminasi


Antihistamin Waktu paruh Lama kerja
dosis tunggal dalam urine
(Jam) (Jam)
(Jam) dan feces
Cetirizin 1.0 ± 0.5 6.5-10 60/10 ≥ 24 jam

Loratadin 1.2 ± 0.3 7.8 ± 4.2 Trace 24

Antihistamin yang ideal jika tidak mempunyai efek antikolinergik,

antiserotonin, antiadrenergik, tidak melewati sawar darah otak, tidak

menyebabkan ngantuk dan tidak mengganggu penampilan psikomotor.21

2.5.1. Loratadin

Loratadin merupakan AH generasi kedua derivat azatadin, yang mula

kerjanya cepat dan efek kerja yang panjang. Struktur kimia terdiri dari

C22H23ClN2O2 dengan berat molekul (BM) 382.88g/mol. Struktur molekul

Universitas Sumatera Utara


terlihat pada Gambar 2.2. Loratadin berbentuk serbuk berwarna putih tulang

dan tidak larut dalam air, tetapi mudah larut dalam alkohol, aseton dan

kloroform.25

Gambar 2.2. Struktur kimia loratadin

Loratadin 97% terikat pada protein plasma dan dapat diekskresikan

melalui air susu. Loratadin dimetabolisme di hati dan menghasilkan metabolit

deskarboetoksiloratadin. Eliminasi terjadi melalui feses.10,25

Efek samping loratadin tidak memperlihatkan efek sedatif yang secara

klinis bermakna pada pemberian dosis 10 mg. Efek samping yang sering

dilaporkan rasa kecapaian, sakit kepala, mulut kering, jantung berdebar,

gangguan pencernaan seperti mual dan muntah.21,26 Studi penelitian klinis

terkontrol efek samping loratadin sebanding dengan plasebo, dimana

loratadin tidak memperlihatkan sifat sedatif atau antikolinergik yang secara

klinis bermakna.26

Universitas Sumatera Utara


2.5.2 . Cetirizin

Cetirizin merupakan metabolit aktif asam karboksilat dari antagonis reseptor

H1 generasi pertama yaitu hidroksizin dengan kerja yang lama. Struktur kimia

terdiri dari C21H25CIN2O3.2HCI dengan berat molekul (BM) 461.82. Gambar

2.3 memperlihatkan struktur kimia cetirizin. Cetirizin berbentuk serbuk putih

larut dalam air.21

Gambar 2.3. Struktur kimia cetirizin

Cetirizin 93% terikat dengan protein plasma. Metabolisme cetirizin

tidak diolah di hati sehingga efek terapeutik tidak tergantung pada

biotransformasi dan diekskresikan ke urin dan feses dalam bentuk yang tidak

berubah. Efek samping cetirizin yang sering dijumpai adalah: sakit kepala,

lelah, mulut kering, mual, muntah dan mengantuk. Studi penelitian

melaporkan cetirizin tampak lebih sedatif dibandingkan loratadin dan plasebo

dan hampir sama dengan generasi pertama.21,27

Universitas Sumatera Utara


Suatu penelitian melaporkan cetirizin mampu menurunkan gejala

mayor RA (hidung berair, bersin, hidung gatal, mata berair) lebih baik secara

bermakna dibandingkan dengan loratadin dan plasebo.28

Cetirizin bekerja memblok reseptor histamin H1 sehingga mempunyai

efek AH. Selain itu cetirizin mempunyai efek antiinflamasi terutama ditujukan

melalui penghambatan migrasi eosinofil (invivo) ke lokasi kulit yang

terstimulasi oleh alergen dan secara invitro menghambat kemotaksis eosinofil

dan adhesi ke sel endotel kultur serta aktivasi platelet, juga mempengaruhi

platelet dan neutrofil. Efek antiinflamasi cetirizin juga tercapai melalui

penghambatan ekskresi ICAM-1 invivo di nasal dan epitel konjungtiva selama

inflamasi alergi dan penarikan eosinofil di kulit, hidung, mata dan paru.29,30

Hasil studi Early Treatment of the Atopic Child (ETAC) menunjukkan cetirizin

mempunyai efektivitas yang tinggi dengan efek samping yang minimal.31

2.6. Kerangka konseptual penelitian

Tungau debu rumah, kurang tidur, stress, genetik


(keluarga riwayat atopi), perubahan cuaca (udara
dingin)
Universitas Sumatera Utara
Mukosa hidung

Reaksi Hipersensitivitas tipe 1

Granulasi sel mast

Hindari alergen
Kontrol lingkungan
Histamin Sistem syaraf
Farmakoterapi otonom
( AntiHistamin)
- Loratadine
- Cetirizin Bersin- bersin, hidung
Imunoterapi gatal, ingus encer,
hidung sumbat, mata
gatal

Kesembuhan
: yg diteliti

Gambar 2.4. Kerangka konseptual penelitian

Universitas Sumatera Utara

You might also like