You are on page 1of 8

3.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis demam


reumatik dengan biakan tenggorok, ASTO, DNAase B dan uji AH, LED, faktor
rheumathoid, uji adanya antibodi anti nuklear, dan penentuan kadar komplemen,
gamma globulin serum,elektrokardiogram dan rontgen ogram dada.
 
 Apusan tenggorok 
Biasanya kultur Streptococcus Grup A (SGA) negatif pada fase akut. Bilapositif
inipun belum pasti membantu diagnosis sebab kemungkinan akibatkekambuhan dari
kuman atau infeksi Streptococcus dengan strain yang lain.
 
 ASTO
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari
20 produk ekstrasel; yang terpenting diantaranya ialah
streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase , streptokinase, disfosforidin
nukleotidase, deoksiribonuklease serta streptococcal erythrogenic toxin. Produk-
produk tersebut merangsang timbulnya antibodi6. ASTO (anti streptolisin O)
merupakan antibodi yang paling dikenal danpaling sering digunakan untuk
indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebihkurang 80% penderita demam
reumatik/penyakit jantung reumatik akut menunjukkankenaikan titer ASTO
ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadapStreptococcus, maka
pada 95% kasus demam reumatik/penyakit jantung reumatik didapatkan
peninggian atau lebih antibodi terhadap Streptococcus.

 ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate)/LED (Laju Endap Darah)


Terjadi peningkatan LED akibat adanya proses inflamasi. Sensitivitas
tinggi,namun spesifitasnya rendah untuk demam rematik

CRP (C-Reactive Protein)


Terjadi peningkatan CRP akibat adanya proses inflamasi. Sama seperti tesLED,
CRP memiliki sensitivitas yang tinggi, namun spesifitas rendah untuk
demamrematik.
 
Foto Toraks
Pada foto toraks, tampak adanya kardiomegali, kongesti paru, dan
penemuanlain yang konsisten dengan gagal jantung. Ketika pasien ada demam
dan respiratorydistress, maka foto toraks dapat menolong untuk membedakan
gagal jantung kongestidan pneumonia rematik.
 
Pemeriksaan Histologik 
Tampak adanya badan Aschoff, yaitu infiltrat perivaskular sel besar denganinti
polimorf dan sitoplasma basofil tersusun dalam roset sekeliling pusat
fibrinoidyang avaskular. Ini merupakan lesi yang patognomonis pada DR jika
terjadi karditis.
 
Elektrokardiogram
Tidak ada pola yang khas dari EKG pada DR dengan karditis. Adanya
bisingsistolik dapat dibantu dengan kelainan EKG berupa pemanjangan interval
PR atauperubahan patern ST-T yang tidak spesifik.
 
Echocardiography
Pada DR dan PJR pemeriksaan ini juga memegang peranan,
walaupunpemeriksaan ini bukan pemeriksaan standard dalam menegakkan
diagnosis.Pemeriksaan 2D echo-Doppler dan colour flow Doppler
echocardiography cukup sensitif dan memberikan informasi yang spesifik terhadap
kelainan jantung. Pemeriksaan M-mode echocardiography dapat memberikan
informasi mengenaifungsi ventrikel. Pemeriksaan 2D echocardiography
dapat memberikan informasimengenai gambaran struktur anatomi jantung
secara realistic, sedangkan pemeriksaan 2-dimensional echo-Doppler dan
colour flow Doppler echocardiography cukup sensitive untuk mengenali adanya
aliran darah yang abnormal dan regurgitasi katupjantung. Pada pemeriksaan
orang normal bisa didapati regurgitasi katup yangfisiologis yang bervariasi:
misalnya pada regurgitasi mitral didapati 2,4-45 persen, regurgitasi aorta 0-33
persen, regurgitasi tricuspid 6,3-95 persen dan regurgitasi pulmonal 21,9-92
persen. Memperhatikan hal tersebut untuk menghindarkanmisinterpretasi maka
WHO mengemukakan peranan pemeriksaan ekokardiografidalam diagnosis
karditis pada DR dan pemeriksaan regurgitasi katup. Pemeriksaan
8 ekokardiografi pada karditis rematik bisa diperoleh keadaan mengenai ukuran
atrium,ventrikel, penebalan katup, daun katup yang prolaps dan disfungsi ventrikel.
Padakarditis DR akut didapati nodul pada daun katup sekitar 25 persen dan
dapatmenghilang pada follow-up. Gagal Jantung kongestif pada DR yang ada
berhubungandengan insufisiensi katup mitral dan aorta dan disfungsi miokard. Pada
mitralregurgitasi didapati kombinasi valvulitis, dilatasi annulus mitral, prolaps
daun katup, dengan atau tanpa pemanjangan kordae tendinea. Pemeriksaan eko-
doppler dan eko berwarna dapat membantu diagnosis rematik karditis akut pada
pasien dengan bisingjantung yang kurang jelas atau dengan poliartritis dan
minor manifestasi yang kurang jelas.
 4. Diagnosis Klinis

Berdasarkan gejala dan tanda yang ada pada kasus, maka diagnosis klinisnya adalah demam
rematik  

5. Diagnosis Demam Rematik 

 Gambaran klinis demam rematik bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi
klinis yang tampak bisa tunggal atau merupakan gabungan sistem organ yangterlibat.
Berbagai komponen DR seperti artritis, karditis, korea, eritema marginatum, nodulsubkutan
dan lainnya telah dijelaskan secara terpisah atau kolektif pada awal abad ke-17. DeBaillou
dari Perancis adalah epidemiologis pertama yang menjelaskan rheumatism artikuler akut dan
membedakannya dari gout 1,7 dan kemudian Sydenham dari London menjelaskankorea,
tetapi keduanya tidak menghubungkan kedua gejala tersebut dengan penyakit jantung. Pada
tahun 1761 Morgagni, seorang patolog dari Itali menjelaskan adanya kelainan katuppada
penderita penyakit tersebut dan deskripsi klinis PJR dijelaskan setelah didapatinyastetoskop
pada tahun 1819 oleh Laennec. Pada tahun 1886 dan 1889 Walter
Butletcheadlemengemukakan rheumatic fever syndrome
´
yang merupakan kombinasi artritis akut,penyakit jantung, korea dan belakangan termasuk
manifestasi yang jarang yaitu eritemamarginatum dan nodul subkutan sebagai komponen
sindroma tersebut. Pada tahun 1931,Coburn mengusulkan hubungan infeksi Streptokokus
grup A dengan demam rematik dansecara perlahan-lahan diterima oleh Jones dan peneliti
lainnya.

Kombinasi kriteria diagnostik dari manifestasi rheumatic fever syndrome pertamasekali


diusulkan oleh T. Duckett Jones pada tahun 1944 sebagai kriteria untuk
menegakkandiagnosis DR setelah ia mengamati ribuan penderita DR selama beberapa dekade
dan sebagai panduan dalam penatalaksanaan DR dan atau RHD eksaserbasi akut. Terbukti
kriteria yang dikemukan Jones sangat bermanfaat bagi para dokter untuk menegakkan
diagnosis DR danatau RHD eksaserbasi akut.

Berikutnya pada tahun 1956 atas saran Dr.Jones telah dilakukan modifikasi atas kriteria Jones
yang asli untuk penelitian “The Relative Effectiveness of ACTH, Cortisone” and  “Aspirin in
the Treatment of Rheumatic Fever”.

Kurangnya pertimbangan klinis oleh para dokter dalam menerapkan Kriteria Jones
menyebabkan terjadinya overdiagnosis dalam menegakkan diagnosis DR. Pada tahun
1965telah dilakukan revisi terhadap Kriteria Jones Modifikasi oleh Ad Hoc Committee to
revisethe Modified Jones Criteria of the Council on Rheumatic Fever and Congenital Heart
Disease of the American Heart Association (AHA)´yang diketuai oleh Dr. Gene
H.Stollerman. Revisi ini menekankan perlu ada bukti infeksi streptokokus sebelumnya
sebagai syarat mutlak untuk menegakkan diagnosis DR atau PJR aktif untuk menghindarkan
overdiagnosis, agar menghindarkan kecemasan pada pasien dan familinya. Juga akan
efektif dalampenatalaksanaan biaya medik karena akan mencegah pemakaian dan biaya
kemoprofilaksis jangka panjang untuk DR dan RHD aktif. Bukti adanya infeksi streptokokus
sebelumnya termasuk riwayat demam skarlet, kultur apus tenggorokan yang positip dan atau
ada bukti peningkatan infeksi streptokokus pada pasien dengan korea dan pasien dengan
‘karditis subklinik atau derajat rendah’. AHA Committee juga memperbaiki beberapa
penjelasan berbagai manifestasi klinis DR akut tetapi tidak ada membuat perobahan.
Pada tahun 1984 telah dilakukan perbaikan Kriteria Jones yang dikenal sebagaiKriteria Jones
yang diedit yang isinya tidak banyak berbeda dari Kriteria Jones yang direvisi.Pada tahun
1960 Roy mengemukakan pengamatan bahwa poliartritis jarang didapati diantarapopulasi
orang India dan artralgia sering didapati. Pengamatannya ternyata sama dengan yangdiamati
di Boston yang memperlihatkan poliartritis sering didapati pada DR. Roy
kemudianmerekomendasikan trias berupa sakit sendi, LED yang meningkat atau C-Reaktif
Protein dantiter ASTO > 400 unit untuk dipertimbangkan sebagai  kriteria major untuk
diagnosis DR. Ia menyarankan trias tersebut merupakan manifestasi yang sering ditemui
dinegara berkembangdan diberi nama diagnosis “presumptive” dari DR akut dan
dikonfirmasi atau ditolak setelah observasi selama 4-6 minggu. Pengamatan ini memulai ide
adanya Kriteria Jones yangdirubah (Amended jones Criteria [1988]) yang diusulkan oleh
Agarwal. Pada lampiran 5dapat dilihat Kriteria Jones yang dirubah (Amended Jones Criteria
[1988]). Pada tahun 1992 Special Writing Group of the Committee on Rheumatic
Fever, Endocarditis and Kawasaki Disease of the ‘Council on Cardiovascular Disease in the
Young of the American Heart Association’ melakukan update kriteria Jones yang
telah dimodifikasi,direvisi dan diedit selama beberapa tahun dan disebut sebagai Kriteria
Jones Update dan digunakan untuk menegakkan diagnosis demam rematik sampai saat ini.
Kriteria update ini menjelaskan alat yang tersedia dan perannya dalam mendiagnosis,
mendeteksi infeksistreptokokus sebelumnya. Kriteria update ini juga mempertahankan gejala
major dan 1gejala major ditambah minor untuk menegakkan diagnosis, tetapi kriteria ini
menyebabkanhanya dapat digunakan pada serangan awal DR akut 1,4. Riwayat DR atau
adanya PJR dikeluarkan dari kriteria minor. Alasan untuk merubahnya karena pada beberapa
penderitadengan riwayat DR atau PJR kurang memperlihatkan gejala dan tanda serangan
berulang dankarena itu tidak cukup memenuhi Kriteria Jones. Penggunaan ekokardiografi
juga telahdidiskusikan dan mempunyai peran sebagai parameter diagnostik bila pada
auskultasi tidak didapati valvulitis pada pada DR akut.

Tabel 1. Kriteria Jones (Updated 1992)


Manifestasi mayor Manifestasi minor

Karditis Klinis

Poliartritis - Artralgia

Korea - Demam

Eritema marginatum -Laboratorium


 
Nodulus subkutan -Peninggian reaksi fase akut(LED
meningkat dan atau C reactive
protein)Interval PR memanjang

Ditambah

Disokong adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya berupa kultur apus


tenggorok (+) atautes antigen streptokokus yang cepat atau titer ASTO yang
meningkat. 
 
Jika disokong adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya, adanya 2 manifestasi mayor
atau adanya 1 manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi minor
menunjukkankemungkinan besar adanya demam rematik.
 
Pada negara berkembang di mana insidens dan prevalensi DR dan PJR masih tinggi
dibandingkan negara maju mempunyai gambaran dan presentasi klinis DR dan PJR yang
berbeda dibanding dinegara maju. Poliartritis, eritema marginatum dan nodul subkutan jarang
didapati dinegara berkembang dibandingkan dinegara maju, dan artralgia lebih sering
ditemuidinegara berkembang dibandingkan dengan poliartritis dinegara maju. Dua
pengecualian penggunaan Kriteria Jones disebutkan pada Revisi 1965 dan ditekankan lagi
pada Update1992 yaitu 1). Bila didapati adanya murmur regurgitasi mitral atau aorta yang
baru tanpaadanya kejadian rematik aktif seperti tanpa gejala, tanpa demam, dan mempunyai
laju endap darah yang normal dan 2). Pada korea sydenham tanpa manifestasi minor yang
lain 15. Pada 2002-2003 WHO mengajukan kriteria untuk diagnosis DR dan PJR
(berdasarkan kriteriaJones yang telah direvisi).

Revisi kriteria WHO ini memfasilitasi diagnosis untuk:

- a primary episode of RF ² recurrent attacks of RF in patients without RHD

- recurrent attacks of RF in patients with RHD

- rheumatic chorea² insidious onset rheumatic carditis

- chronic RHD.
 
Untuk menghindarkan overdiagnosis ataupun underdiagnosis dalam menegakkandiagnosi

6. Patofisiologi
Infeksi bakteri Streptococcus β hemolitik grup A diawali dengan ikatan
permukaanbakteri dan reseptor spesifik sel host dan melibatkan proses spesifik
seperti perlekatan,kolonisasi dan invasi. Ikatan permukaan dengan permukaan
sel host adalah kejadian yangpenting dalam kolonisasi dan dimulai oleh
fibronektin dan oleh streptococcal fibronectin-binding proteins. Infeksi pada
faring akan mengaktifkan proses imun. Antigen streptococcus (protein M
dan N asetil glukosamin) dipresentasikan pada sel T CD4+  naif di limponodus. Sel T
CD4+ akan berproliferasi menjadi Th2. Th2 akan mengeluarkan IL4 yang akan
merangsang sel B untuk membentuk antibodi, Th2 juga mengeluarkan IL4 dan
IL10 untuk mengaktifkan magrofag. Antibodi pertama yang dibentuk adalah IgG lalu
diikuti denganpembentukan IgE. IgG, IgE dan makrofag ini akan menuju ke
faring untuk memusnahkanbakteri yang antigennya telah dipresentasikan
(dikenali). Setelah itu, antibodi akan menyebar keseluruh tubuh melalui sirkulasi
darah untuk memusnahkan bakteri tersebut yang masihtertinggal. Antigen
streptococcus yaitu M protein dan N asetil glukosamin memilikikemiripan dengan
bagian tubuh (molecular mimicry) yaitu :
1. Miosin dan tropomiosin  pada jantung
2. Laminin pada katup jantung
3. Vimentin pada sinovial (sendi)
4. Keratin pada kulit
5. Lysogangliosida pada subtalamikus
6. Caudate nuclei pada otak 
Kesamaan molekul ini (baik reseptor maupun protein) akan  dikenali oleh
antibodimenimbulkan reaksi imun. Reaksi imun atau proses inflamasi yang
terjadi akan menyebabkankerusakan pada sel tersebut. Pajanan yang terus
menerus menyebabkan makrofag akanmeningkatkan sitoplasma dan
organellanya sehingga mirip seperti sel epitel. Sel epiteloidakan terbentuk
semakin banyak dan bergabung menjadi granuloma. Granuloma yang terbentuk
akan menjadi aschoff body. Sebagai kompensasi dari tubuh, Sel yang rusak
akandiganti dengan jaringan fibrosa.

7. Penatalaksanaan
Terapi demam reumatik akut dapat dibagi menjadi lima pendekatan :
2.1  Pengobatan Kausal
 ² Pengobatan kausal dilakukan dengan cara eradikasi kuman Streptokokus pada
saatserangan akut dan pencegahan sekunder demam rematik.² Cara pemusnahan
Streptokokus dari tonsil dan faring sama dengan pengobatan
faringitisStreptokokus, yakni pemberian penisilin benzatin intramuskuler
dengan dosis 1,2 juta unituntuk pasien dengan berat badan > 30 kg atau 600.000 sampai
900.000 unit untuk pasiendengan berat badan < 30 kg. Penisilin oral 400.000 unit ( 250
mg) diberikan 4 kali sehariselama 10 hari dapat digunakan sebagai alternatif.
Eritromisin 50 mg/kgBB sehari dibagi 4dosis yang sama, dengan maksimum
250 mg 4 kali sehari selama 10 hari dianjurkan untuk pasien yang alergi
penisilin. Obat lain seperti sefalosforin yang diberikan dua kali sehariselama 10
hari juga efektif untuk pengobatan faringitis streptokokus, seperti pada tabel dibawah ini :

Pemberian Jenis antibiotik dosis frekuensi


intramusku Benzatin penisilin G Bb > 30kg 1.2 juta Satu kali setiap 3-4
lar Bb < 30kg 600.000 mgg
oral  Penicillin V 400.000/250mg 4x/hr selama 10 hr
 Eritromisin 50mg/kgbb/hr 4x/hr selama 10 hr
 Yang lain sprt Dosis bervariasi
Sefalosporin,
klindamisin,
Nafsilin, amoksisilin
Cara pencegahan sekunder yang diajukan The American Heart Association dan
WHO yaitu dengan pemberian suntikan penisilin berdaya lama setiap bulan.
Pada keadaan-keadaankhusus, atau pada pasien resiko tinggi, suntikan diberikan
setiap 3 minggu. Meskipun nyerisuntikan dapat berlangsung lama, tetapi pasien
lebih suka dengan cara ini karena dapatdengan mudah dan teratur
melakukannya satu kali setiap 3 atau 4 minggu, dibandingkandengan tablet
penisilin oral setiap hari. Preparat sulfa yang tidak efektif untuk
pencegahanprimer terbukti lebih efektif dari pada penisilin oral untuk
pencegahan sekunder. Dapat juga digunakan sulfadiazin yang harganya lebih
murah daripada eritromisin, seperti tertera padatabel dibawah ini.

Tabel 2.2Pencegahan sekunder demam reumatik

Pemberian Jenis Antibiotik  Dosis Frekuensi


Intramuskuler Benzatin Penisilin G BB>30 kg 1,2Juta Setiap 3-4 minggu
BB<30 kg 600.000
Oral Penisilin V 250 mg 2kali sehari
Eritromisin 250 mg 2kali sehari
Sulfadiazin BB > 30 kg 1gr  Sekali sehari
BB< 30 kg 0,5 gr  sekali sehari
²

 Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung pada


berbagai faktor,termasuk waktu serangan dan serangan ulang, umur pasien dan
keadaan lingkungan.
Makinmuda saat serangan, makin besar kemungkinan untuk kumat, setelah pubertas
kemungkinankumat cenderung menurun. Sebagian besar kumat terjadi dalam 5
tahun pertama sesudahserangan terakhir. Dengan mengingat faktor-faktor
tersebut, maka lama pencegahan sekunder disesuaikan secara individual.
Pasien tanpa karditis pada serangan sebelumnya diberikan profilaksis minimum
lima tahun sesudah serangan terakhir, sekurangnya sampai berumur
18tahun.² Pencegahan sekunder harus dilanjutkan selama pasien hamil, akan
tetapi sebaiknya tidak dipakai sulfadiazin karena mendatangkan risiko terhadap
janin. Remaja biasanya mempunyaimasalah khusus terutama dalam ketaatan
minum obat, sehingga perlu upaya khusus terutamadalam ketaatannya minum
obat, sehingga perlu upaya khusus mengingat risiko terjadinyakumat cukup besar.
Untuk pasien penyakit jantung reumatik kronik , pencegahan sekunder untuk masa
yang lama, bahkan seumur hidup dapat diperlukan, terutama pada kasus yang
berat. Beberapa prinsip umum dapat dikemukakan pada tabel berikut.
 

You might also like