You are on page 1of 11

TEKNIK PENGUMPULAN DATA

DAN PENGUKURAN

A. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang penting dalam
penelitian. Untuk mendapatkan data yang obyektif dan lengkap, maka harus
diperhatikan teknik pengumpulannya. Teknik pengumpulan data ada bermacam-
macam. Pemilihan teknik pengumpulan data harus disesuaikan dengan
karakteristik penelitiannya. Tidak semua teknik atau metode harus dipilih dan
digunakan dalam pengumpulan data. Teknik pengumpulan data sangat
berhubungan dengan permasalahan penelitian. Permasalahan penelitian memberi
arah dan mempengaruhi dalam menentukan teknik pengumpulan data. Yang harus
menjadi pertimbangan bagi peneliti ketika memilih teknik pengumpulan data,
apakah teknik tersebut sesuai dengan sifat atau karakteristik penelitian yang
dilakukan dan dapatkah teknik tersebut dilaksanakan. Apabila satu teknik saja
dianggap sudah mencukupi, maka teknik yang lain tidak usah dipergunakan.
Teknik pengumpulan data harus tepat agar data yang didapatkan benar-benar valid
dan reliabel.
Dalam penggumpulan data dapat menggunakan berbagai sumber, baik
sumber primer maupun sumber sekunder. Data yang diperoleh secara langsung
oleh peneliti dari lapangan disebut sebagai sumber primer. Sedangkan data yang
diperoleh secara tidak langsung atau melalui tangan kedua disebut sebagi sumber
sekunder. Sumber sekunder terdiri atas berbagai macam yang dapat berupa buku,
surat-surat, jurnal, dokumen-dokumen dan sebagainya.
Pengumpulan data dapat dilakukan dengan metode observasi, wawancara,
dokumentasi, angket atau kuisoner dan tes.

1. Observasi
Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui
pengamatan terhadap suatu obyek penelitian. Observasi dilakukan untuk
memperoleh informasi tentang perilaku manusia seperti yang terjadi secara nyata.
Observasi bisa dilakukan apabila obyek yang diteliti atau respondennya tidak
terlalu besar. Observasi berfungsi sebagai eksplorasi, sehingga hasil yang
didapatkan dapat memberi gambaran yang jelas tentang permasalahan dan
petunjuk dalam pemecahannya. Dalam observasi, peneliti melukiskan segala
sesuatu yang terjadi pada obyek yang diteliti dengan kata-kata secara cermat dan
tepat yang sesuai dengan kenyataan sesungguhnya, mencatatnya dan kemudian
mengolah atau menganalisa secara ilmiah dalam menjawab permasalahan
penelitian. Observasi harus dilakukan secara sistimatis, artinya pencatatn
dilakukan sesuai dengan prosedur-prosedur atau ketentuan-ketentuan tertentu
sehingga data yang dihasilkan valid dan reliabel.
Surakhmad (1990:162) menyatakan bahwa observasi dibedakan menjadi
dua yaitu observasi langsung dan observasi tidak langsung. Observasi langsung
adalah teknik pengumpulan data di mana peneliti melakukan pengamatan secara
langsung atau tanpa bantuan alat terhadap gejala-gejala subyek yang diteliti, baik
pengamatan itu dilakukan di dalam situasi sebenarnya maupun di dalam situasi

29
30

buatan yang khusus diadakan. Sedangkan observasi tidak langsung adalah teknik
pengumpulan data di mana peneliti mengadakan pengamatan terhadap gejala-
gejala subyek yang diteliti dengan bantuan sebuah alat, baik alat yang sudah ada,
maupun yang sengaja dibuat untuk keperluan pengamatan tersebut.
Pelaksanaannya dapat berlangsung di dalam situasi yang sebenarnya maupun di
dalam situasi buatan.
Menurut Nasution (2003:107) observasi dapat dilakukan dengan
partisipasi atau participant observation dan tanpa partisipasi atau non participant
observation. Observasi partisipasi merupakan observasi di mana peneliti terlibat
dalam kegiatan orang-orang yang diteliti. Sedangkan observasi tanpa partisipasi
merupakan observasi di mana peneliti tidak terlibat dengan kegiatan-kegiatan
orang yang diteliti. Dalam observasi partisipasi, peneliti selain melakukan
pengamatan juga melakukan kegiatan seperti apa yang dilakukan oleh orang-
orang yang diteliti, sehingga peneliti memiliki kedekatan dengan orang yang
diteliti dan keberadaan peneliti dianggap bukan sebagai “mahkluk asing”. Melalui
kedekatan dan keharmonisan hubungan tersebut, peneliti akan dapat memperoleh
data yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, lengkap dan dapat
mengungkapan setiap makna dari perilaku yang dimunculkan oleh orang-orang
yang diobservasi. Misalnya penelitian tentang Model Pembelajaran Sekolah
Unggulan. Peneliti dapat mengamati bagaimana perilaku setiap para siswa dan
guru dalam pembelajaran. Bagaimana hubungan guru dengan siswa, siswa dengan
siswa dan guru dengan guru.,Bagaimana hubungannya dengan kepala sekolah,
bagaimana semangat dan kesungguhan guru dalam mengajar, bagaimana dengan
kedisiplinan belajar siswa dan guru dalam mengajar, bagaimana model
pembelajaran yang diterapkan guru, bagaimana sikap siswa dalam pembelajaran
ketika guru menyampaikan materi pelajaran, dan sebagainya.
Hal yang perlu dihindari oleh peneliti, jangan sampai keberadaannya
diketahui bahwa sedang melakukan kegiatan pengamatan, sehingga menyebabkan
subyek penelitian tahu bahwa dirinya sedang dijadikan obyek pengamatan.
Apabila hal ini terjadi, maka kemungkinannya obyek yang sedang diamati akan
menunjukan perilaku yang tidak sebenarnya atau dibuat-buat dan kepercayaannya
terhadap pengamat berkurang, sehingga data yang diperoleh akan bias. Bias
adalah penyimpangan dari apa yang seharusnya, sehingga data tersebut tidak
akurat.
Menurut Sugiyono (2004:139), dilihat dari segi instrumennya observasi
dibedakan menjadi observasi terstruktur dan observasi tidak terstruktur. Observasi
terstruktur ialah observasi yang dirancang secara sistimatis, tentang apa yang
diamati dan di mana tempatnya. Observasi ini dilakukan dengan menggunakan
instrumen sebagai pedoman. Sedangkan observasi tidak terstruktur ialah observasi
yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang diamati.

2. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
percakapan dalam bentuk tanya jawab secara lisan. Proses percakapan dapat
dilakukan dengan tatap muka maupun dengan telepon. Dalam wawancara si
penanya sebagai pewawancara dan si penjawab sebagai responden. Wawancara
31

sebagai kegiatan dalam mengumpulkan data penelitian berbeda dengan


percakapan sehari-hari, meskipun wawancara juga merupakan percakapan. Dalam
wawancara materi dari percakapan dipersiapkan sedemikian rupa yang
disesuaikan dengan tujuannya, yaitu mencari data untuk menjawab permasalahan
penelitian. Peneliti sebagai pewawancara selalu mengajukan pertanyaan yang
telah dipersiapkan dan responden memberikan jawaban. Responden yang dipilih
harus benar-benar memahami dan mengetahui tentang apa yang akan ditanyakan
atau permasalahan penelitian.
Dalam wawancara biasanya antara pewawancara dengan yang
diwawancarai tidak saling mengenal. Untuk itu sangat penting bagi peneliti dalam
melaksanakan wawancara harus dapat menciptakan hubungan dan kerjasama yang
baik dengan responden Peneliti berusaha menciptakan suasana yang kondusif,
sehingga responden dapat memberikan informasi yang benar tentang
permasalahan penelitian. Pewawancara hendaknya menjadi pendengar yang baik
dan tidak menyela atau memotong ketika responden memberikan jawab. Peneliti
dalam melakukan wawancara hendaknya tidak menggiring responden kepada
jawaban yang diharapkan. Dalam wawancara dapat menggunakan alat bantu
berupa tape recorder atau alat bantu lainnya untuk merekam setiap jawaban yang
diberikan responden.
Ada dua jenis wawancara, yaitu wawancara berstruktur dan wawancara tak
berstruktur.

a. Wawancara Berstruktur
Wawancara berstruktur merupakan wawancara yang terarah. Dalam
wawancara berstruktur, pertanyaan telah dirumuskan dan disusun secara
sistimatis. Peneliti atau pewawancara menuliskan semua pertanyaan yang telah
dirumuskan. Pertanyaan yang dipersiapkan disertai dengan alternatif jawaban
yang telah disiapkan. Dalam melaksanakan wawancara, pewawancara dapat
menggunakan daftar pertanyaan atau menghafalkan semua pertanyaan agar
wawancara dapat menjadi lancar. Setiap responden yang diwawancarai diberikan
pertanyaan yang sama. Jika pewawancara menggunakan daftar pertanyaan yang
disertai alternatif jawabannya, maka pewawancara hanya tinggal melingkari
jawaban yang dipilih oleh responden. Namun jika pertanyaan yang diajukan
kepada responden telah dihafalkan maka setiap jawaban responden yang diberikan
harus dicatat. Apabila respondennya banyak, wawancara berstruktur ini dapat
dilakukan dengan menggunakan beberapa pewawancara dalam mengumpulkan
data. Namun pewawancara tersebut diusahakan memiliki keterampilan yang sama,
mengerti isi dan makna dari pertanyaan yang akan diajukan.

b. Wawancara Tak Berstruktur


Wawancara tak berstruktur merupakan wawancara yang tak terarah.
Dikatakan demikian karena pewawancara tidak mempersiapkan atau
menggunakan pertanyaan yang dirumuskan secara sistimatis. Dalam wawancara
tak berstruktur pewawancara hanya membuat garis-garis besar permasalahan yang
akan ditanyakan. Pewawancara dapat mengajukan pertanyaan yang dianggapnya
perlu dalam situasi wawancara tersebut. Setiap pertanyaan yang diajukan oleh
32

pewawancara, responden dapat menjawab secara bebas menurut pikiran atau isi
hatinya. Keuntungan dalam wawancara tak berstruktur ini ialah responden dengan
secara spontan dapat mengungkapkan segala sesuatu yang ingin dikemukakannya,
sehingga pewawancara dapat memperoleh gambaran yang luas tentang
permasalahan. Namun kelemahan dari wawancara tak berstruktur ini ialah
kesukaran dalam memberikan kode dan data susah untuk diolah karena data yang
diperoleh secara bebas.
Wawancara tak berstruktur biasanya digunakan dalam melakukan studi
pendahuluan untuk mendapatkan gambaran tentang permasalahan yang ada pada
obyek penelitian. Hal ini dapat dilakukan dengan cara peneliti melakukan
wawancara kepada pihak-pihak yang dianggap dapat memberikan informasi
tentang permasalahan yang akan dikaji pada obyek penelitian.

3. Angket atau Kuesioner


Angket atau kuesioner merupakan alat pengumpul data dalam penelitian.
Sumber datanya berupa orang yang sering dikenal dengan istilah responden. Pada
teknik ini, sejumlah pertanyaan diajukan secara tertulis dan disebarkan kepada
responden untuk memberikan jawaban. Setelah pertanyaan dijawab, selanjutnya
diberikan kepada peneliti. Angket terdiri dari dua jenis, yaitu angket langsung dan
angket tidak langsung. Angket langsung merupakan angket yang dirancang
sedemikian rupa untuk memperoleh data tentang keadaan atau kondisi yang
dialami, dirasakan sendiri oleh responden. Dalam angket langsuang ini, responden
diminta untuk memberikan informasi sesuai dengan pertanyaan yang diberikan
mengenai keadaan dirinya sendiri. Sedangkan angket tidak langsung merupakan
angket yang dirancang sedemikian rupa untuk memperoleh data tentang keadaan
atau kondisi obyek atau sumbek tertentu yang dilihat dan ketahui oleh responden.
Dalam angket tidak langsung ini, bukan mengukur mengenai diri responden
melainkan orang lain. Misalnya, dilakukan pengukuran kompetensi guru, maka
angket tersebut diberikan kepada siswa untuk memberikan informasi melalui
penilaian atau persepsinya terhadap kompetensi gurunya.
Pertanyaan yang diajukan dapat berupa pertanyaan tertutup dan
pertanyaan terbuka. Pertanyaan tertutup disebut juga angket tertutup apabila
pertanyaan yang diajukan telah disediakan sejumlah jawaban sehingga responden
tinggal memilih jawaban yang disediakan. Sedangkat pertanyaan terbuka atau
angket terbuka, apabila pertanyaan yang diajukan tidak disertai dengan pilihan
jawaban yang disediakan, sehingga responden secara bebas dapat memberikan
jawabannya. Dalam suatu penelitian menggunakan angket atau kuesioner dapat
saja seluruh pertanyaan yang diajukan berupa kalimat tertutup atau seluruhnya
berupa kalimat terbuka ataupun sebagian kalimat tertutup dan sebagian kalimat
terbuka.
Dalam menggunakan teknik pengumpulan data berupa angket, maka harus
memungkinkan bahwa responden penelitian dapat membaca dan menulis.
Keadaan responden menjadi perhatian dalam menuliskan pertanyaan penelitian.
Hal ini dilakukan agar data yang dikumpulkan dapat memberikan gambaran atau
mengungkapkan keadaan yang sebenarnya dialami dan dirasakan responden
sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Kalimat yang diajukan harus secara
33

jelas, singkat, menggunakan bahasa yang sederhana sehingga dapat dimengerti


oleh responden yang karakteristiknya heterogen, mengunakan istilah yang baku
dan tidak menimbulkan pengertian ganda dan juga perlu disertai petunjuk
pengisian sebagaimana yang dikehendaki oleh peneliti.

4. Tes
Teknik pengumpulan data juga dapat dilakukan dalam bentuk tes.
Cronbach (1984:26) menyatakan bahwa ”A test is a systematic procedures for
observing behavior and describing it with the aid of numerical scale or fixed
categories”. Dengan demikian tes dapat diartikan sebagai prosedur yang sistematis
untuk mengamati perilaku dan mendeskripsikan satu atau lebih karakteristik
seseorang dengan menggunakan skala numerik atau kategori tertentu. Anastasi
dan Urbina (1997) mengemukakan bahwa tes adalah alat ukur yang mempunyai
standar objektif sehingga dapat dipergunakan untuk mengukur dan
membandingkan keadaan psikis atau tingkah laku individu. Menurut Sudjana
(2005:35) tes pada umumnya digunakan untuk menilai atau mengukur hasil
belajar siswa, terutama hasil belajar kognitif berkenaan dengan penguasaan bahan
pengajaran sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran. Dalam teknik ini
berbeda dengan wawancara atau angket, sebab dalam wawancara dan angket
hanya untuk memperoleh informasi atau keterangan mengenai apa yang dialami,
dirasakan atau diketahui oleh responden, sedangkan dalam tes digunakan untuk
menguji atau mengukur pengetahuan dan kemampuan seseorang. Dalam sutau
penelitian, tes digunakan dalam mengukur ranah kognitif seseorang terhadap
sesuatu hal. Dalam bidang pendidikan, digunakan untuk mengukur hasil belajar
siswa. Melalui suatu tes akan diperoleh informasi seberapa baik pengetahuan,
pemahaman, dan kemampuan siswa dari materi pelajaran yang telah diajarkan.
Melalui hasi tes dapat memberikan gambaran akan perkembangan atau kemajuan
yang dicapai siswa setelah mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu
tertentu. Pengetahuan, pemahaman dan kemampuan yang dicapai siswa menjadi
ukuran akan keberhasilan program pembelajaran. Hasil yang dicapai siswa
menunjukkan apakah tujuan pembelajaran yang ditetapkan telah tercapai.
Tes memberikan informasi terhadap kualitas pembelajaran. Melalui hasil
tes siswa terhadap materi pelajaran, memberikan gambaran terhadap kualitas
pembelajaran yang sudah dan sedang berlangsung. Rendahnya pencapaian hasil
belajar siswa secara keseluruhan sebagai ukuran dari rendahnya kualitas
pembelajaran, yang menandakan bahwa tujuan pembelajaran belum tercapai.
Untuk itu, tes berfungsi sebagai informasi untuk melakukan perbaikan atas
program pembelajaran. Melalui hasil tes, dapat didiagnosa materi pelajaran yang
belum dikuasai oleh siswa, sehingga dapat dilakukan pendalaman terhadap materi
tersebut sebagai usaha dalam meningkatkan hasil belajarnya.
Dalam penulisan instrumen tes sebagai alat pengumpul data penelitian,
maka kontens dari materi tes harus sesuai dengan materi yang telah diajarkan
kepada siswa di kelas. Materi tes disusun sesuai indikator dan kompetensi dasar
yang ada dalam kurikulum. Dalam penyusunan butir-butir tes disesuaikan dengan
ranah kognitif yang diukur. Ranah kognitif yang diukur dalam suatu tes
berdasarkan pada taksonomi Bloom, mencakup ingatan (pengetahuan),
34

pemahaman, aplikasi, analisis, sistesis dan evaluasi. Untuk menentukan ranah


kognitif yang hendak diukur, disesuaikan dengan kata-kata kerja operasional dari
setiap indikator.
Tes dapat berbentuk tes obyektif dan non obyektif. Tes obyektif berupa tes
pilihan ganda, menjodohkan, dua alternatif pilihan (tes benar salah), dan isian
singkat. Sedangkan tes non obyektif berupa tes essai.

B. Pengukuran
1. Pengertian Pengukuran
Dalam Bahasa Inggris pengukuran dikenal dengan istilah meansurement
yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan untuk memberi angka terhadap obyek
yang diukur. Angka-angka hasil pengukuran adalah suatu kontinu yang nyata dari
sifat-sifat tertentu. Misalnya peneliti melakukan pengukuran terhadap pendapat
seseorang yang dinyatakan dengan sangat tidak setuju sampai dengan sangat
setuju yang diberikan angka dari 1 sampai dengan 5, di mana kontinu tersebut
adalah: sangat tidak setuju yang diberikan angka 1, tidak setuju diberikan angka 2,
netral diberikan angka 3, setuju diberikan angka 4, dan sangat setuju yang
diberikan angka 5. Namun pemberian angka tidak selalu dari 1 sampai dengan 5
tetapi yang terpenting menunjukan suatu kontinu yang nyata dari sifat-sifat
tertentu.
Menurut Surakhmad (1990:79) pengukuran merupakan sebuah proses
kuantitatif, artinya menetapkan sesuatu jumlah, dimensi atau taraf dari sesuatu
yang diukur. Hasil dari pengukuran menunjukan jumlah, dimensi atau taraf yang
harus dapat diungkapkan dalam bentuk bilangan. Menurut Wiersma dan Jurs
(Djaali, 2004:3), pengukuran adalah penilaian numerik terhadap fakta-fakta dari
obyek yang akan diukur menurut kriteria tertentu. Sedangkan Djaali (2004:3)
memberikan definisi pengukuran sebagai suatu proses memasangkan fakta-fakta
suatu obyek dengan satuan-satuan ukuran tertentu.

2. Skala Pengukuran
Skala pengukuran merupakan seperangkat aturan dalam mengubah fakta-
fakta kualitatif dalam pengukuran suatu obyek penelitian menjadi urutan
kuantitatif. Dilihat dari bentuk data yang dihasilkan dari kegiatan pengukuran,
maka skala pengukuran dibagi menjadi empat macam, yaitu: sakala nominal,
skala ordinal, skala interval dan skala rasio.

a. Skala Nominal
Skala nominal adalah pengkelompokan atau pengklasifikasian obyek ke
dalam dua kategori atau lebih. Skala nominal merupakan skala pengukuran yang
paling mudah untuk dilakukan, karena hanya mengelompokkan subyek
pengukuran dengan memberikan label atau nomor. Nomor yang diberikan hanya
sebagai lambang atau simbol dari suatu kategori. Misalnya jenis kelamin yang
terdiri dari dua kategori yaitu laki-laki yang diberikan nomor 1 dan perempuan
diberikan nomor 2. Pemberian nomor pada kategori tersebut bukan berarti
35

perempuan lebih baik atau lebih tinggi nilainya dari laki-laki, tetapi hanya sebagai
label untuk membedakan saja. Begitu juga dengan kategori-kategori yang
diberikan nomor dari 1 sampai dengan 4. Hal ini hanya untuk membedakan
kategori yang diberi label 1 dengan kategori yang diberi label 2, 3 atau 4. Dalam
skala nominal tidak berlaku perhitungan matematika.

b. Skala Ordinal
Skala ordinal adalah skala pengukuran yang mengurutkan obyek dari
tingkatan terendah ke tingkatan tertinggi atau sebaliknya dengan jarak yang tidak
sama. Skala ordinal menempatkan obyek dalam suatu peringkat dalam
kelompoknya. Angka dalam skala ordinal tidak digunakan sebagai lambang
seperti pada skala nominal, namun merupakan gradasi atau perbedaan tingkat.
Contoh dari skala ini adalah penilaian prestasi belajar siswa di sekolah yang
dikenal dengan istilah rangking I, II, III dan seterusnya. Rangking menunjukan
adanya suatu perbedaan atau tingkatan. Skala ordinal tidak memiliki nilai angka 0
mutlak dan jarak dari tingkatan yang satu ke tingkatan yang lain tidak sama.
Misalnya, berdasarkan hasil tes mata pelajaran Bahasa Inggris didapatkan nilai
93,87,85,70,66 dan sampai yang terendah. Maka nilai tersebut mendapatkan
rangking I untuk nilai 93, rangking II untuk nilai 87, rangking III untuk 85,
rangking IV untuk nilai 70, rangking V untuk nilai 66 dan seterusnya hingga nilai
terendah. Dari nilai tersebut, jarak antara nilai pada rangking I dan II (93 dan 87)
dengan jarak nilai pada II dan III (87 dan 85) tidak sama yaitu jarak pada rangking
I dan II sebesar 6 sedangkan jarak pada rangking II dan III adalah 2.

c. Skala Interval
Skala interval adalah skala pengukuiran yang memiliki jarak nilai antara
yang satu dengan yang lainnya adalah sama. Angka dalam skala interval
menunjukan perbedaan, besar atau kecil, tinggi atau rendah. Dalam skala interval
tidak memiliki nilai nol mutlak. Sehingga anak yang mendapatkan nilai 0 dari
hasil tes prestasi belajar Matematika tidak berarti anak tersebut sama sekali tidak
memiliki pengetahuan tentang Matematika. Begitu juga dengan anak yang
memperoleh nilai 60, bukan berarti memiliki pengetahuan dua kali lipat dari yang
mendapatkan nilai 30. Tes IQ dalam pengukuran psikologi dan prestasi belajar
atau indeks prestasi dalam bidang pendidikan adalah contoh dari skala
pengukuran interval.

d. Skala Rasio
Seperti halnya pada skala ordinal, skala rasio juga menunjukan tingkatan
atau perbedaan dengan membandingkan nilainya, besar-kecil, tinggi-rendah dan
sejenisnya. Skala rasio memiliki jarak atau interval yang sama antara nilai yang
satu dengan nilai yang lainnya seperti pada skala interval. Kalau dalam skla
interval tidak terdapat nilai nol mutlak, namun skala rasio memiliki nilai nol yang
mutlak. Maka dapat diartikan skala rasio adalah skala pengukuran yang memiliki
jarak yang sama antara nilai yang satu dengan nilai yang lainnya dan memiliki
nilai nol mutlak. Nilai nol dalam skala rasio menunjukan bahwa tidak adanya
36

variable atau gejala sama sekali. Misalnya angka 0 yang ditunjukan dari hasil
pengukuran berat suatu benda, maka angka tersebut menunjukan bahwa benda itu
tidak memiliki berat. Begitu juga dengan persembahan kasih nol rupiah bagi para
pelayan gereja yang berarti mereka tidak menerima uang sedikit pun.

3. Jenis-jenis Skala Pengukuran


Berdasarkan jenis instrumen dan pertanyaan yang dikembangkan dalam
instrumen, dikenl berbagai skala pengukuran, yaitu: skala Likert, skala Guttman,
skala Semantik Differensial, Ranting Scale dan skala Thurstone.

a. Skala Likert
Skala Likert diberi nama sesuai dengan orang yang mengembangkannya,
yaitu Rensis Likert pada tahun 1932. Skala Likert adalah skala yang digunakan
untuk mengukur sikap, pendapat atau persepsi seseorang atau sekelompok orang
tentang suatu gejala atau fenomena sosial. Gejala atau fenomena social itu disebut
sebagai variable penelitian. Dalam skala Likert variable dijabarkan menjadi sub-
sub variable atau indikator-indikator yang dapat diukur. Dari indikator-indikator
tersebut disusun item-item instrumen yang berupa pertanyaan atau pernyataan
yang akan diisi oleh responden. Pernyataan dalam skala Likert terdiri dari
pernyataan positif dan peryataan negatif. Pernyataan positif untuk mengukur
indikasi dari sikap, pendapat atau persepsi yang positif. Sedangkan pernyataan
negatif untuk mengukur indikasi dari sikap, pendapat atau persepsi yang negatif.
Skala Likert memberikan suatu nilai skala untuk tiap alternatif jawabannya dalam
lima kategori. Berikut ini contoh alternatif jawaban dan pemberian nilai pada
skala Likert, yaitu:

Alternatif Jawaban Nilai Nilai


Pernyataan Positif Pernyataan Negatif
1. Sangat setuju 5 1
2. Setuju 4 2
3. Ragu-ragu 3 3
4. Tidak setuju 2 4
5. Sangat tidak setuju 1 5

1. Selalu 5 1
2. Sering 4 2
3. Kadang-kadang 3 3
4. Hampir Tidak Pernah 2 4
5. Tidak Pernah 1 5

1. Sangat Sesuai 5 1
2. Sesuai 4 2
3. Kadang Sesuai 3 3
4. Hampir Tidak Pernah Sesuai 2 4
5. Tidak Pernah Sesuai 1 5
37

Instrumen yang menggunakan skala Likert dapat dibuat dalam bentuk


pilihan ganda maupun checklist. Berikut ini contoh instrumen dengan
menggunanaan skala Likert.

1) Contoh dalam bentuk pilihan ganda.


Nyatakan sikap anda pada setiap pernyataan berikut dengan memberikan
tanda silang (X) pada salah satu options yang tersedia.

1. Saya merasa tertantang apabila mengerjakan soal matematika yang sulit.


a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang
d. Hampir Tidak Pernah e. Tidak Pernah

2. Saya memberikan perhatian terhadap materi pelajaran yang diajarkan guru


matematika.
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang
d. Hampir Tidak Pernah e. Tidak Pernah

3. Saya merasa puas apabila nilai matematika lebih baik dari sebelumnya.
a. Selalu b. Sering c. Kadang-kadang
d. Hampir Tidak Pernah e. Tidak Pernah

2) Contoh dalam bentuk checklist


Nyatakan sikap anda pada setiap pernyataan berikut dengan memberikan
tanda (√ ) pada kolom yang tersedia.

No. Pernyataan Alternatif Jawaban


SL S KK HTP TP
1. Saya bekerja keras agar √
memiliki prestasi yang lebih
baik dari teman-teman.
2. Saya merasa tidak siap √
menghadapi ujian matematika
apabila tidak memiliki persiapan
yang matang.
3. Apabila ada tugas matematika √
yang sulit, saya berusaha
memecahkanya sendiri tanpa
meminta bantuan orang lain

Keteranga:
SL = Selalu
S = Sering
KK = Kadang-kadang
HTP = Hampir Tidak Pernah
TP = Tidak Pernah
38

b. Skala Guttman
Skala ini digunakan apabil ingin memperoleh jawaban yang tegas terhadap
sesuatu yang dipertanyakan. Jawaban dalam skala ini dapat berupa ya – tidak,
benar – salah, setuju – tidak setuju, positif –negatif dan sebagainya. Data yang
diperoleh berupa data dikotomi (dua alternative). Apabila dalam skal Likert
terdapat skor 1,2,3,4,5 dan sebagainya dari setuju sampai sangat sangat tidak
sangat setuju, dalam skala Guttman hanya ada dua pilihan yaitu setuju dan tidak
setuju.penskoran dalam skal ini apabila jawaban setuju dapat diberikan skor 1 dan
apabila tidak setuju diberikan akor 0.

c. Skala Sematik Differensial


Skala sematik differensial atau perbedaan samatik dikembangakan oleh
Osgood, Suci dan Tannenbaun. Dalam skala ini, responden diminta untuk
memberikan arti atau menilai suatu obyek atau konsep dalam suatu skala bipolar.
Skala bipolar merupakan skala yang berlawanan seperti baik-buruk, besar-kecil,
berat-ringat, kuat-lemah, cepat-lambat dan sebagainya. Skala bipolar ini
mengandung tiga dimensi sikap yaitu: Evaluasi responden tentang obyek atau
konsep yang sedang diukur, persepsi responden tentang potensi obyek atau
konsep yang sedang diukur dan persepsi responden tentang aktifitas obyek
(Djaali, 2004:38).

Contoh:
Untuk mengukur sikap guru tentang program sekolah disusun skala perbedaan
sematik sebgai berikut:

Bagus 7 6 5 4 3 2 1 Buruk
Bermanfaat 7 6 5 4 3 2 1 Tidak Bermanfaat
Menarik 7 6 5 4 3 2 1 Tidak Menarik
Aktif 7 6 5 4 3 2 1 Pasif
Berpengaruh 7 6 5 4 3 2 1 Tidak Berpengaruh

Dari contoh di atas, responden melingkari terhadap nilai yang sesuai


dengan persepsinya. Responden yang memberikan nilai 5 berarti memiliki
persepsi terhadap program sekolah sangat positif. Sedangkan responden yang
memberikan nilai 3 berarti netral atau ragu-ragu. Responden yang memberikan
nilai 1 berarti memiliki persepsi yang negatif terhadap program sekolah.

d. Ranting Scale
Dari dua skala pengukuran yang telah dikemukakan, data yang diperoleh
merupakan data kualitatif yang kemudian dikuantitatifkan. Berbeda dengan
ranting scale, data yang diperoleh merupakan data yang berupa angka-angka atau
data kuantitatif yang kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif. Pada skala
ini responden tidak diminta untuk memilih salah satu jawaban kualitatif
melainkan jawaban kuantitatif yang telah disediakan. Skala ini lebih fleksibel,
yang tidak hanya untuk mengukur sikap saja, tetapi juga dapat untuk mengukur
persepsi responden terhadap fenomena lingkungan seperti skala untuk mengukur
39

status social ekonomi, pengetahuan, kemampuan dan lain-lain.


Yang terpenting dalam skala ini ialah kemampuan untuk mengartikan
setiap angka dari alternatif jawaban yang dipilih responden. Misalnya Yohanes
memilih alternatif jawaban angka 3, tetapi angka 3 bagi Yohanes belum tentu
sama maknanya bagi Lukas dan Maria yang juga sama-sama memilih jawaban
angka 3.

d. Skala Thurstone
Skala ini diukembangkan oleh Trustone untuk menilai secara spesifik
terhadap obyek atau subyek yang hendak diteliti. Skala Trustone dilihat dari
bentuknya mirip dengan skala Likert. Perbedaannya apabila skla Likert menilai
sikap dengan cara menanyakan kepada responden untuk menunjuk atau memilih
salah satu alternatif jawaban yang disediakan melalui pernyataan yang diajukan
mana yang lebih mendekati kecocokan jawaban dengan pilihan sikapnya,
sedangkan skla Trustone menilai sikap dengan cara mempresentasikan statmen
tentang topik yang disusun dari yang tidak disukai, netral dan sangat tidak disukai.
Responden dalam hal ini diajukan untuk memilih pernyataan item yang hampir
mendekati pilihan sikap mereka.

Bagaimanakan sikap anda terhadap keputusan rektor tentang kenaikan biaya


kuliah?

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

A B C D E F G H I J
Sangat Netral Sangat Tidak
Disukai Disukai

You might also like