You are on page 1of 13

Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya

dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional
yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional
sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme
biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut
merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama
halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk
mencapai keteraturan sosial. Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran
Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert
Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan
lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat
dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite
functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak
analisa fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology
organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan
dimana didalamnya terdapat bagian – bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut
mempunyai fungsi masing – masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut
saling interdependensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi
maka akan merusak keseimbangan sistem. Pemikiran inilah yang menjadi sumbangsih Durkheim
dalam teori Parsons dan Merton mengenai struktural fungsional. Selain itu, antropologis
fungsional-Malinowski dan Radcliffe Brown juga membantu membentuk berbagai perspektif
fungsional modern.

Selain dari Durkheim, teori struktural fungsional ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Max
Weber. Secara umum, dua aspek dari studi Weber yang mempunyai pengaruh kuat adalah

 Visi substantif mengenai tindakan sosial dan


 Strateginya dalam menganalisa struktur sosial.

Pemikiran Weber mengenai tindakan sosial ini berguna dalam perkembangan pemikiran Parsons
dalam menjelaskan mengenai tindakan aktor dalam menginterpretasikan keadaan.

[sunting] Perkembangan Teori Struktural Fungsional


Hingga pertengahan abad, fungsionalisme menjadi teori yang dominan dalam perspektif
sosiologi. Teori fungsional menjadi karya Talcott Parsons dan Robert Merton dibawah pengaruh
tokoh – tokoh yang telah dibahas diatas. Sebagai ahli teori yang paling mencolok di jamannya,
Talcott Parson menimbulkan kontroversi atas pendekatan fungsionalisme yang ia gulirkan.
Parson berhasil mempertahankan fungsionalisme hingga lebih dari dua setengah abad sejak ia
mempublikasikan The Structure of Social Action pada tahun 1937. Dalam karyanya ini Parson
membangun teori sosiologinya melalui “analytical realism”, maksudnya adalah teori sosiologi
harus menggunakan konsep-konsep tertentu yang memadai dalam melingkupi dunia luar.
Konsep-consep ini tidak bertanggungjawab pada fenomena konkrit, tapi kepada elemen-elemen
di dallamnya yang secara analitis dapat dipisahkan dari elemen-elemen lainnya. Oleh karenanya,
teori harus melibatkan perkembangan dari konsep-konsep yang diringkas dari kenyataan empiric,
tentunya dengan segala keanekaragaman dan kebingungan-kebingungan yang menyertainya.
Dengan cara ini, konsep akan mengisolasi fenomena yang melekat erat pada hubungan kompleks
yang membangun realita sosial. Keunikan realism analitik Parson ini terletak pada penekanan
tentang bagaimana konsep abstrak ini dipakai dalam analisis sosiologi. Sehingga yang di dapat
adalah organisasi konsep dalam bentuk sistem analisa yang mencakup persoalan dunia tanpa
terganggu oleh detail empiris.

Sistem tindakan diperkenalkan parson dengan skema AGILnya yang terkenal. Parson meyakini
bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu tindakan, yakni Adaptation, Goal Atainment,
Integration, Latency. Sistem tindakan hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini.
Dalam karya berikutnya , The Sociasl System, Parson melihat aktor sebagai orientasi pada situasi
dalam istilah motivasi dan nilai-nilai. Terdapay berberapa macam motivasi, antara lain kognitif,
chatectic, dan evaluative. Terdapat juga nilai-nilai yang bertanggungjawab terhadap sistem
sosoial ini, antara lain nilai kognisi, apresiasi, dan moral. Parson sendiri menyebutnya sebagai
modes of orientation. Unit tindakan olehkarenaya melibatkan motivasi dan orientasi nilai dan
memiliki tujuan umum sebagai konsekuensi kombinasi dari nilai dan motivasi-motivasi tersebut
terhadap seorang aktor.

Karya Parson dengan alat konseptual seperti empat sistem tindakan mengarah pada tuduhan
tentang teori strukturalnya yang tidak dapat menjelaskan perubahan sosial. Pada tahun 1960,
studi tentang evolusi sosial menjadi jawaban atas kebuntuan Parson akan perubahan sosial dalam
bangunan teori strukturalnya. Akhir dari analisis ini adalah visi metafisis yang besar oleh dunia
yang telah menimpa eksistensi manusia. Analisis parson merepresentasikan suatu usaha untuk
mengkategorisasikan dunia kedalam sistem, subsistem, persyaratan-persyaratan system,
generalisasi media dan pertukaran menggunakan media tersebut. Analisis ini pada akhirnya lebih
filosofis daripada sosiologis, yakni pada lingkup visi meta teori. Pembahasan mengenai
fungsionalisme Merton diawali pemahaman bahwa pada awalnya Merton mengkritik beberapa
aspek ekstrem dan keteguhan dari structural fungsionalisme, yang mengantarkan Merton sebagai
pendorong fungsionalisme kearah marxisme. Hal ini berbeda dari sang guru, Talcott Parson
mengemukakan bahwa teorisi structural fungsional sangatlah penting.Parson mendukung
terciptanya teori yang besar dan mencakup seluruhnya sedangkan parson lebih terbatas dan
menengah.

Seperti penjelasan singkat sebelumnya, Merton mengkritik apa yang dilihatnya sebagai tiga
postulat dasar analisis fungsional( hal ini pula seperti yang pernah dikembangkan oleh
Malinowski dan Radcliffe brown. Adapun beberapa postulat tersebut antara lain:

 Kesatuan fungsi masyarakat , seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standard
bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu dalam
masyarakat, hal ini berarti sistem sosial yang ada pasti menunjukan tingginya level
integrasi. Dari sini Merton berpendapat bahwa, hal ini tidak hanya berlaku pada
masyarakat kecil tetapi generalisasi pada masyarakat yang lebih besar.
 Fungsionalisme universal , seluruh bentuk dan stuktur sosial memiliki fungsi positif. Hal
ini di tentang oleh Merton, bahwa dalam dunia nyata tidak seluruh struktur , adat istiadat,
gagasan dan keyakinan, serta sebagainya memiliki fungsi positif. Dicontohkan pula
dengan stuktur sosial dengan adat istiadat yang mengatur individu bertingkah laku
kadang-kadang membuat individu tersebut depresi hingga bunuh diri. Postulat structural
fungsional menjadi bertentangan.
 Indispensability, aspek standard masyarakat tidak hany amemiliki fungsi positif namun
juga merespresentasikan bagian bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan. Hal ini
berarti fungsi secara fungsional diperlukan oleh masyarakat. Dalam hal ini pertentangn
Merton pun sama dengan parson bahwaada berbagai alternative structural dan fungsional
yang ada didalam masyarakat yang tidak dapat dihindari.

Argumentasi Merton dijelaskan kembali bahwa seluruh postulat yang dijabarakan tersebut
berstandar pada pernyataan non empiris yang didasarakan sistem teoritik. Merton mengungkap
bahwa seharusnya postulat yang ada didasarkan empiric bukan teoritika. Sudut pandangan
Merton bahwa analsisi structural fungsional memusatkan pada organisasi, kelompok, masyarakat
dan kebudayaan, objek-objek yang dibedah dari structural fungsional harsuslah terpola dan
berlang, merespresentasikan unsure standard.

Awalnya aliran fungsionalis membatasi dirinya dalam mengkaji makamirakat secara


keseluruhan, namun Merton menjelaskan bahwa dapat juga diterapkan pada organisasi, institusi
dan kelompok. Dalam penjelasan ini Merton memberikan pemikiran tentang the middle range
theory. Merton mengemukakan bahwa para ahli sosiologi harus lebih maju lagi dalam
peningkatan kedisiplinan dengan mengembangkan “teori-teori taraf menengah” daripada teori-
teori besar. Teori taraf menengah itu didefinisikan oleh Merton sebagai : Teori yang terletak di
antara hipotesa kerja yang kecil tetapi perlu, yang berkembang semakin besar selama penelitian
dari hari ke hari, dan usaha yang mencakup semuanya mengembangkan uato teori terpadu yang
akan menjelaskan semua keseragaman yang diamati dalam perilaku social. Teori taraf menengah
pada prinsipnya digunakan dalam sosiologi untuk membimbing penelitian empiris. Dia
merupakan jembatan penghubung teori umum mengenai istem social yang terlalu jauh dari
kelompok-kelompok perilaku tertentu, organisasi, ddan perubahan untuk
mempertanggungjawabkan apa yang diamati, dan gambaran terinci secara teratur mengenai hal-
hal tertentu yang tidak di generaliasi sama sekali. Teori sosiologi merupakan kerangka proposisi
yang saling terhubung secara logis dimana kesatuan empiris bisa diperoleh.

The middle range theory adalah teori-teori yang terletak pada minor tetapi hipotesis kerja
mengembangkan penelitian sehari-hari yang menyeluruh dan keseluruhan upaya sistematis yang
inklusif untuk mengembangkan teori yang utuh. The middle range theory Merton ini memiliki
berbagai pemahaman bahwa secara prinsip digunakan untuk panduan temuan-temuan empiris,
merupakan lanjutan dari teori system social yang terlalu jauh dari penggolongan khusus perilaku
social, organisasi, dan perubahan untuk mencatat apa yang di observasi dan di deskripsikan,
meliputi abstraksi, tetapi ia cukup jelas dengan data yang terobservasi untuk digabungkan
dengan proposisi yang memungkinkan tes empiris dan muncul dari ide yang sangat sederhana.
Dalam hal ini Merton seakan melakukan tarik dan menyambung, artinya apa yang dia kritik
terhadap fungsionalis merupakan jalan yang dia tempuh untuk menyambung apa yang dia
pikirkan. Atau dianalogikan, Merton mengambil bangunan teori kemudian di benturkan setelah
itu dia perbaiki lagi dengan konseptual yang menurut kami sangat menarik.

Para stuktural fungsional pada awalnya memustakan pada fungsi dalam struktru dan institusi
dalam amsyarakat. Bagi Merton hal ini tidaklah demikian, karrena dalam menganalis hal itu ,
para fungsionalis awal cenderung mencampur adukna motif subjektif individu dengan fungsi
stuktur atau institusi. Analisis fungsi bukan motif individu. Merton sendiri mendefinisikan fungsi
sebagai konsekuensi-konsekuensi yang didasari dan yang menciptakan adaptasi atau penyesuian,
karena selalu ada konsekuensi positif. Tetapi , Merton menambahkan konsekuensi dalam fakta
sosial yang ada tidaklah positif tetapi ada negatifnya. Dari sini Merton mengembangkan gagasan
akan disfungsi. Ketika struktur dan fungsi dpat memberikan kontribusi pada terpeliharanya
sistem sosial tetapi dapat mengandung konsekuensi negative pada bagian lain.Hal ini dapat
dicontohkan, struktur masyarakat patriarki c memberkan kontribusi positif bagi kaum laki-laki
untuk memegang wewenang dalam keputusan kemasyarakatan, tetapi hal ini mengandung
konsekuensi negative bagi kaum perempuan karena aspirasi mereka dalam keputusan terbatas.
Gagasan non fungsi pun , dilontarkan oleh Merton. Merton mengemukakan nonfungsi sebagai
konsekuensi tidak relevan bagi sistem tersebut. Dapatkonsekuensi positif dimasa lalu tapi tidak
dimasa sekarang.Tidaklah dapat ditentukan manakah yang lebih penting fungsi-fungsi positif
atau disfungsi. Untuk itu Merton menambahkan gagasan melalui keseimbangan mapan dan level
analisis fungsional.

Dalam penjelasan lebih lanjut , Merton mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi
laten.Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, laten adalah yang tidak dikehendaki.Maka
dalam stuktur yang ada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungso laten dipenagruhi secara
fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan
selalu ada. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang
dilakukan Merton dalam fungsi manifest dan laten , menunjukan penjelasan Merton yang begitu
kabur dengan berbagari cara. Hal ini Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori tindakan
dengan fungsionalisme. Hal ini berimplikasi pada ketidakpasan antara intersionalitas dengan
fungsionalisme structural. Kami rasa dalam hal ini pun Merton terlalu naïf dalam
mengedepankan idealismenya tentang struktur dan dengan beraninya dia mengemukakan dia
beraliran fungsionalis, tapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya. Tetapi, lebih
jauh dari itu konsepnya mengenai fungsi manifest dan laten telah membuka kekauan bahwa
fungsi selalu berada dalam daftar menu struktur. Merton pun mengungkap bahwa tidak semua
struktur sosial tidak dapat diubah oleh sistem sosial. Tetapi beberapa sistem sosial dapat
dihapuskan. Dengan mengakui bahwa struktur sosia dapat membuka jalan bagi perubahan sosial.

Analisi Merton tentang hubungan antara kebudayaan, struktur, dan anomi. Budaya didefinisikan
sebagai rangkaian nilai normative teratur yang mengendalikan perilaku yang sama untuk seluruh
anggota masyarakat. Stuktur sosial didefinisikans ebagai serangkaian hubungan sosial teratur dan
memeprnagaruhi anggota masyarakat atau kelompok tertentu dengan cara lain. Anomi terjadi
jika ketika terdapat disjungsi ketat antara norma-norma dan tujuan cultural yang terstruktur
secara sosial dengan anggota kelompok untuk bertindak menurut norma dan tujuan tersebut.
Posisi mereka dalam struktur makamirakat beberapa orang tidak mampu bertindakm menurut
norma-norma normative . kebudayaan menghendaki adanya beberapa jenis perilaku yang
dicegah oleh struktur sosial. Merton menghubungkan anomi dengan penyimpangan dan dengan
demikian disjungsi antara kebudayan dnegan struktur akan melahirkan konsekuensi
disfungsional yakni penyimpangan dalam masyarakat. Anomi Merton memang sikap kirits
tentang stratifikasi sosial, hal ini mengindikasikan bahwa teori structural fungsionalisme ini
aharus lebih kritis dengan stratifikasi sosialnya. Bahwa sturktur makamirakat yangselalu
berstratifikasi dan masing-masing memiliki fungsi yang selama ini diyakini para fungsionalis,
menurut dapat mengindikasikan disfungsi dan anomi. Dalam hal ini kami setuju dengan
Merton,dalam sensory experiences yang pernah kami dapatkan, dimana ada keteraturan maka
harus siap deng ketidakteraturan, dalam struktur yang teratur, kedinamisan terus berjalan tidak
pada status didalamnya tapi kaitan dalama peran. Anomi atau disfungsi cenderung hadir
dipahami ketika peran dalam struktu berdasarkan status tidak dijalankan akibat berbagai factor.
Apapun alasannya anomi dalam struktur apalagi yang kaku akan cenderung lebih besar. Dari
sini, Merton tidak berhenti dengan deskripsi tentang struktur , akan tetapi terus membawa
kepribadian sebagai produk organisasi struktur tersebut. Pengaruh lembaga atau struktur
terhadap perilaku seseorang adalah merupakan tema yang merasuk ke dalam karya Merton, lalu
tema ini selalu diilustrasikan oleh Merton yaitu the Self Fullfilling Prophecy serta dalam buku
Sosial structure And Anomie. Disini Merton berusaha menunjukkan bagaimana struktur sosial
memberikan tekanan yang jelas pada orang-orang tertentu yang ada dalam masyarakat sehingga
mereka lebih , menunjukkan kelakuan non konformis ketimbang konformis. Menurut Merton,
anomie tidak akan muncul sejauh masyarakkat menyediakan sarana kelembagaan untuk
mencapai tujuan-tujuan kultur tersebut.

Dari berbagai penajabaran yang ada Pemahaman Merton membawa pada tantangan untuk
mengkonfirmasi segala pemikiran yang telah ada. Hal ini terbukti dengan munculnya
fungsionalisme gaya baru yang lebih jauh berbeda dengan apa yang pemikiran Merton. Inilah
bukti kedinamisan ilmu pengetahuan, tak pelak dalam struktural fungsionalisme.

Pendekatan struktural fungsional. Pada tahun 1956, 3 tahun setelah David Easton meluncurkan
karyanya The Political System (1953), Gabriel A. Almond menerapkan teori sistem tersebut atas
sistem politik suatu bangsa sebagai bentuk metode trial and error layaknya sebuah teori. Namun,
Almond melakukan sejumlah modifikasi atas teori Easton. Jika Easton membangun suatu grand
theory, maka Almond membangun suatu middle-range theory. Secara umum, teori sistem yang
dibangun Almond terdiri atas 3 tahap.

Tahap 1 : Gabriel A. Almond dalam Comparative Political Systems (1956)

Tipologi sistem politik Almond pertama kali ia ajukan pada tahu 1956. Perhatiannya pada tiga
asumsi :

1. Sistem menandai totalitas interaksi di antara unit-unitnya serta keseimbangan di dalam


sistem selalu berubah.
2. Hal penting dalam sistem politik bukan semata-mata lembaga formal, melainkan juga
struktur informal serta peran yang dijalankannya.
3. Budaya politik adalah kecenderungan utama dalam sistem politik, di mana budaya inilah
yang membedakan satu sistem politik dengan sistem politik lain.

Tahap 2 : Gabriel A. Almond dan James Coleman dalam The Politics of Developing Areas
(1960)
Dalam tahap 2 ini Almond berusaha menghindarkan keterjebakan analisa sistem
politik dari kontitusi/lembaga politik formal menjadi ke arah struktur serta fungsi yang
dijalankan masing-masing unit dalam sistem politik. Fungsi menggantikan konsep power,
sementara struktur menggantikan konsep lembaga politik formal.

Dalam tahap 2 ini pula Almond menandaskan bahwa sistem politik memiliki 4 karakteristik yang
bersifat universal. Karakteristik ini dapat berlaku di negara manapun. Keempat karakteristik
tersebut adalah :

1. All political systems have political structures [setiap sistem politik punya struktur-
struktur politik]
2. The same functions are performed in all political systems [fungsi-fungsi yang sama dapat
ditemui di setiap sistem politik]
3. All political structure ... is multi-functional. [setiap struktur politik … bersifat
multifungsi]
4. All political systems are mixed in the cultural sense [setiap sistem politik telah bercampur
dengan budaya politik masing-masing]

Setelah mengajukan keempat asumsi dasar, Almond memodifikasi input serta output yang
dimaksudkan David Easton. Rincian Almond ini menjelaskan fungsi-fungsi input serta output
Easton yang cukup abstrak tersebut. Bagi Almond, secara fungsional setiap sistem politik
memiliki fungsi-fungsi input serta output, yang rinciannya sebagai berikut :

Fungsi Input terdiri atas :


Sosialisasi dan rekrutmen politik Artikulasi kepentingan Agregasi (pengelompokan)
kepentingan Komunikasi politik

Fungsi output terdiri atas :


Pembuatan peraturan Penerapan peraturan Pengawasan peraturan

Sosialisasi dan rekrutmen politik meliputi rekrutmen individu dari aneka kelas masyarakat, etnik,
kelompok, dan sejenisnya untuk masuk ke dalam partai politik, birokrasi, dan sebagainya.
Artikulasi kepentingan merupakan ekspresi kepentingan politik dan tuntutan untuk melakukan
tindakan. Pengelompokan kepentingan merupakan penyatuan tuntutan dan dukungan dari
masyarakat yang diartikulasikan oleh partai politik, kelompok kepentingan, dan entitas politik
lainnya. Komunikasi politik melayani proses komunikasi di antara seluruh entitas politik yang
berkepentingan oleh sebab baik sosialisasi dan rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, dan
agregasi kepentingan semua disuarakan melalui proses komunikasi politik.
Di level fungsi output, proses yang berlangsung adalah dalam konteks pemisahan kekuasaan trias
politika menurut Montesquieu. Pembuatan peraturan dilakukan oleh lembaga legislatif,
pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga eksekutif, sementara pengawasan dilakukan oleh
lembaga yudikatif.

Penjelasan mengenai entitas politik yang melakukan seluruh proses di fungsi input adalah
sebagai berikut :

Menurut Ronald H. Chilcote,


pandangan Almond mengenai sistem politik bercorak dualistik. Artinya, Almond selalu
menganggap ada dua bentuk yang bertolak belakang dari sebuah sistem politik misalnya
tradisional vs. modern, agraris vs. industri, maju dan terbelakang, dan sejenisnya. Almond
menganggap bahwa sistem politik yang belum berkembang ditandai oleh gaya pembagian kerja
yang bercorak tradisional, bersifat partikularistik, afektif, dan turun-temurun, sementara sistem
politik yang sudah maju ditandai oleh spesifikasi kerja yang rasional, universalis, netral afektif,
dan bersifat prestasi atau pencapaian (achievement).

Setelah merevisi teori sistem politik dari David Easton, Almond meringkas pola pikir sistem
politiknya ke dalam skema berikut :

Melalui skema di atas, Almond membagi ada 3 level dalam sistem politik. Level pertama terdiri
atas 6 fungsi konversi yaitu : artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, komunikasi politik,
pembuatan peraturan, pelaksanaan peraturan, dan pengawasan peraturan. Fungsi-fungsi ini
berhubugnan dengan tuntutan dan dukungan pada input serta keputusan dan tingdakan pada
output.

Level kedua dari aktivitas sistem politik teletak pada fungsi-fungsi kemampuan, yaitu regulasi,
ekstraksi, distribusi, simbolik, dan respon. Almond menyebutkan bahwa di negara-negara
demokratis, output dari kemampuan regulasi, ekstaksi, dan distribusi lebih dipengaruhi oleh
tuntutan dari kelompokk-kelompok sehingga masyarakat demokratis memiliki kemampuan
responsif yang lebih tinggi. Sementara itu pada sistem totaliter, output kurang responsif pada
tuntuan, perilaku regulatif bercorak paksaan, seraya lebih mengekstraksi secara maksimal
sumber daya dari masyarakatnya. Sementara itu, yang dimaksud Almond dengan kemampuan
simbolik adalah kemampuan suatu sistem politik untuk menonjolkan diri di lingkungan
internasional.

Level ketiga ditempati oleh fungsi maintenance (pemeliharaan) dan adaptasi. Kedua fungsi ini
ditempati oleh sosialisasi dan rekrutmen politik. Teori sistem politik Gabriel A. Almond ini
kiranya lebih memperjelas maksud dari David Easton dalam menjelaskan kinerja suatu sistem
politik. Melalui Gabriel A. Almond, pendekatan struktural fungsional mulai mendapat tempat di
dalam analisis kehidupan politik suatu negara.

    Label: sistem politik indonesia

Kung Fu Panda: Film animasi, memiliki banyak nasehat Dua Pisau Bedah untuk Sastra

REVIEW KONSEP SISTEM POLITIK


Februari 9, 2010

manshurzikri Lecture Hall, Politics David easton, Gabriel A. Almond, konsep politik, Mohtar
Mas'oed 12 Komentar

Tugas Mata Kuliah Sistem Politik Indonesia

Manshur Zikri, 0906634870

REVIEW KONSEP SISTEM POLITIK [1]

A.  Konsep Sistem Politik oleh David Easton

Sistem Politik adalah merupakan alokasi dari nilai-nilai dalam mana pengalokasian dari nilai-
nilai tadi bersifat paslaan atau dengna kewenangan, dan bersifat mengikat masyarakat sebagai
siatu keseluruhan (David Easton, 1965)

Menurut Easton, suatu sistem politik memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu:

1. Ciri-ciri identifikasi, yaitu dengan menggambarkan unit-unit dasar dan membuat garis
batas yang memisahkan unit-unit tersebut dengan lingkunga luarnya.
1. Unit-unit sistem politik, yaitu unsur-unsur yang mmbentuk sistem
2. Perbatasan (garis batas).

Yang termasuk sistem politik kurang lebih yang berkaitan dengan pembuatan keputusan-
keputusan yang mengikat masyarakat.

1. 2. Input dan Output

-          Agar supaya sistem bekerja dengan baik, dibutuhkan input-input yang mengalir secara
konstan. Input akan membuat suatu sistem itu dapat berfungsi; dan dengan output kita dapat
mengidentifikasi pekerjaan yang dikerjakan oleh sistem itu.

-          Apa yang terjadi di dalam suatu sistem merupakan akibat dari upaya angggota-anggota
sistem yang menanggapi lingkungan yang selalu berubah-ubah.

1. 3. Diferensiasi dalam suatu sistem.

Anggota-anggota dari suatu sistem paling tidak mengenal pembagian kerja minimal yang
memberikan suatu struktur tempat berlangusungnya kegiatan-kegiatan itu.

1. 4. Integrasi dalam suatu sistem sosial.

Suatu sistem harus memiliki mekanisme yang bisa mengintegrasi atau memaksa anggota-
anggotanya untuk bekerjasama walaupun dalam keadaan minimal sehingga mereka dapat
membuat keputusan-keputusan yang otoritatif.

Ada dua jenis pokok input, yang memberikan enerji dan bahan informasi yang akan diproses
oleh sistem tersebut dalam suatu sistem politik, yaitu:

1. Tuntutan. Tuntutan-tuntutan (bersal dari orang-orang atau kelompok-kelompok dalam


masyarakat) disalurkan dengan suatu usaha yang diorganisasikan secara khusus dalam
masyarakat yang kemudian menjadi input dalam sistem politik. Tuntutan ini terbagi dua,
yaitu tuntutan eksternal (luar sistem) dan tuntutan internal (dalam sistem)
2. 2. Dukungan. Input dukungan (support) menjadi enerji untuk menjaga keberlangusungan
fungsi sistem politik itu sendiri, yaitu berupa bentuk tindakan atau pandangan  yang
memajukan dan merintangi suatu sistem politik, tuntutan-tuntutan di dalamnya, dan
keputusan-keputusan yang dihasilkannya.
1. a. Wilayah dukungan, yaitu mengarah pada tiga sasaran: komunitas, rejim, dan
pemerintah.
2. b. Kuantitas dan Ruang-lingkup Dukungan. Jumlah dukungan tidak mesti
seimbang dengan luas ruang lingkupnya.

Output-output sebagai Mekanisme Dukungan

Output (keputusan) dari suatu sistem politik merupakan pendorong khas bagi anggota-anggota
dari suatu sistem untuk mendukung sistem itu. Dorongan dapat bersifat positif maupun negatif.
Dalam hal ini, pemerintah memiliki tanggung jawab tertinggi untuk menyesuaikan atau
menyeimbangkan output berupa keputusan dengan input berupa tuntutan.

Politisiasi sebagai Mekanisme Dukungan

Cadangan-cadangan yang telah diakumulasikan sebagai akibat dari keputusan-keputusan yang


lalu bisa ditingkatkan dengan suatu metode rumit untuk menghasilkan dukungan secara tetap
melalui proses yang disebut politisiasi. Politisiasi sendiri memiliki pengertian sebagai cara-cara
yang ditempuh anggota masyarakat dalam mempelajari pola-pola politik.

Gambar dari konsep sistem politik menurut David Easton:

B. Konsep Sistem Politik oleh Gabriel A. Almond

Menurut Almond, sistem politik adalah merupakan sistem interaksi yang terjadi dalam
masyarakat yang merdeka. Sistem itu menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi. Almond
menggunakan pendekatan perbandingan dalam menganalisa jenis sistem politik, yang mana
harus melalui tiga tahap, yaitu:

1. Tahap mencari informasi tentang sobjek. Ahli ilmu politik memiliki perhatian yang fokus
kepada sistem politik secara keseluruhan, termasuk bagian-bagian (unit-unit), seperti
badan legislatif, birokrasi, partai, dan lembaga-lembaga politik lain.
2. Memilah-milah informasi yang didapat pada tahap satu berdasarkan klasifikasi tertentu.
Dengan begitu dapat diketahui perbedaan suatu sistem politik yang satu dengan sistem
politik yang lain.
3. Dengan menganalisa hasil pengklasifikasian itu dapat dilihat keteraturan (regularities)
dan ubungan-hubungan di antara berbagai variabel dalam masing-masing sistem politik.

Menurut Almond ada tiga konsep dalam menganalisa berbagai sistem politik, yaitu sistem,
struktur, dan fungsi.

Sistem dapat diartikan sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya suatu organisasi
yang berinteraksi dengan suatu lingkungan, yang mempengaruhinya maupun dipengaruhinya.
Sistem politik merupakan organisasi yang di dalamnya masyarakat berusaha merumuskan dan
mencapai tujuan-tujuan tertentu yang sesuai dengan kepentingan bersama. Dalam sistem politik,
terdapat lembaga-lembaga atau struktur-struktur, seperti parlemen, birokrasi, badan peradilan,
dan partai politik yang menjalankan fungsi-fungsi tertentu, yang selanjutnya memungkinkan
sistem politik tersebut untuk merumuskan dan melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaannya.

Ciri sistem politk menurut Gabriel A. Almond:

1. semua sistem politik mempunyai sturukut politik


2. semua sistem politik, baik yang modern maupun primitif, menjalankan fungsi yang sama
walaupun frekuensinya berbeda yang disebabkan oleh perbedaan struktur. Kemudian
sistem politik ini strukturnya dapat diperbandingkan, bagaimana fungsi-fungsi dari
sistem-sistem politik itu dijalankan dan bagaimana pula cara/gaya melaksanakannya.
3. semua struktur politik mempunyai sifat multi-fungsional, betapapun terspesialisasinya
sistem itu.
4. semua sistem politik adalah merupakan sistem campuran apabila dipandang dari
pengertian kebudayaan.

Gambar sistem politik (sturuktur dan fungsi) oleh Gabriel A. Almond:


C. Analisis Konsep Sistem Politik oleh Mohtar Mas’oed[2]

Keunggulan dari kedua ragam pendekatan yang dikembangkan oleh Easton dan Almond antara
lain adalah:

1. Dalam membuat analisis politik, Easton dan Almond selalu peka akan kompleksitas
antara sistem politik dengan sistem sosial yang lebih besar, yang mana sistem politik
adalah sub-sistemnya.
2. Kesederhanaan pendekatan. Konsep ini dapat dipakai untuk menganalisis berbagai
macam sistem politik, demokratis atau otoriter, tradisional atau modern, dan sebagainya.
Konsep Easton dan Almon berasumsi bahwa semua sitem memproses komponen-
komponen yang sama sehingga kedua pendekatan itu bermanfaat dalam upaya mencari
metode analisis dan pembandingan sistem politik yang seragam.
3. Konsep yang diajukan oleh Almond memberi arahan untuk mencari data baru yang dapat
meluaskan cakrawala perhatian ke masyarakat non-Barat dan non-”modern”.

Kelemahan dari konsep atau pendekatan yang dikembangkan oleh Easton dan Almond:

1. Analisis yang dikemukakan (baik sistem maupun struktural-fungsional) tidak


memberikan rumusan yang terbukti secara empirik (tidak menghasilkan teori).
2. Tidak menjelaskan hubungan sebab-akibat. Kedua pendekatan itu lebih mentitikberatkan
pada penjelasan analisis.
3. Analisis struktural-fungsional Almond memiliki masalah ketidakjelasan konsep tentang
fungsi. Almond tidak menjelaskan garis-garis yang membatasi fungsi-fungsi dalam
masyarakat politik.
4. Kedua pendekatan itu dikritik karena sangat dipengaruhi oleh ideologi demokrasi-liberal
Barat. Terlihat jelas pada asumsi Almond yang mengatakan bahwa fungsi-fungsi yang
ada di sistem politik di Barat pasti juga ada di sistem non-Barat.
5. Kedua pendekatan itu juga dikritik kecenderungan ideologisnya karena cara memandang
masyarakat yang terlalu organismik. Easton dan Almond menyamakan masyarakat
dengan organisme, yang selalu terlibat dalam proses diferensiasi dan koordinasi. Selain
itu mereka juga memandang masyarakat sebagai makhluk biologis yang selalu mencari
keseimbangan dan keselarasan.
6. Obsesi Almond tentang ekuilibrum dan kestabilan telah membuatnya keliru tentang
manfaat yang mungkin terdapat dalam dis-ekuilibrum, seperti revolusi atau perang
kemerdekaan. Dis-ekuilibrum bisa dipakai untuk mencniptakan keadilan sosial, ketika
cara-cara konvensional tidak mungkin dilakukan. Contohnya perang kemerdekaan
melawan penjajah atau pemberontakan melawan kediktatoran.

[1] Diambil dari bahan mata ajar/buku rujukan mata kuliah Sistem Politik Indonesia, Drs.
Mochtar Mas’oed dan Dr. Colin MacAndrews, ”Perbandingan Sistem Politik”, diterbitkan oleh
Gadjah Mada University Press, 1983, hlm 4-116.

[2] Diambil dari Mohtar Mas’oed,, hlm 106-116

You might also like