You are on page 1of 7

RESUME ANTROPOLOGI

IRRESTRY NARITASARI
(281041/05676)

Paradigma Ilmiah
Kuhn merupakan tokoh yang berperan dalam pengembangan konsep
kajian paradigmatik. Kuhn menentang keyakinan yang menyatakan bahwa
kemajuan ilmu berlangsung melalui proses akumulasi. Ia justru berpendapat
bahwa terjadinya perubahan-perubahan yang berarti tidak pernah terjadi
berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah (falsifikasi) suatu teori
melainkan berlangsung melalui revolusi-revolusi ilmiah. Revolusi ilmiah di
mengerti oleh Kuhn sebagai episode-episode perkembangan nonkumulatif dimana
paradigma yang lama digantikan seluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru
yang tidak dapat didamaikan dengan paradigma sebelumnya.
Pengertian paradigma sendiri pada dasarnya terbagi dalam dua episode.
Pertama, paradigma adalah suatu konstelasi dan teknik yang dimiliki bersama oleh
suatu masyarakat. Kedua, paradigma sebagai eksemplar yang berarti suatu model
pemecahan masalah yang ditanggaipi sebagai model ideal dalam pemecahan atas
teka-teki ilmu pengetahuan. Paradigma terdiri dari asumsi dan prinsip ontologis
dan epistemologi khusus yang meliputi pula prinsip teoretis, sehingga ketika suatu
paradigma ditegakkan,, paradigma ini menghimpun sejumlah teori eksplanatoris
tertentu yang nantinya teori eksplanatoris ini, jika sukses, akan diterapkan sebagai
bentuk eksplanasi.
Pendapat Kuhn mengenai perubahan paradigma lama menjadi paradigma
baru dikritik oleh Lakatos. Lakatos menyebutkan bahwasanya revolusi ilmu
pengetahuan adalah munculnya suatu paradigma progresif, sehingga paradigma
dikatakan mengalami kemajuan jika paradigma tersebut mengantisipasi suatu
yang tidak diantisipasi oleh paradigma lain.
Paradigma menurut Kuhn dapat dibandingkan dan dievaluasi. Sehingga
dalam hal ini terdapat paradigma yang sepadan dan tidak sepadan. Namun konsep
ini dikritik oleh Popper. Popper menyebutkan bahwa konsep kesepadanan itu
hanyalah dogma-dogma yang berbahaya, sebagaimana dua bahasa yang tidak
dapat saling memahami satu sama lain.
Laudan menegaskan bahwa evaluasi paradigma adalah persoalan
komparatif: “ Yang penting dalam setiap penilaian kognitif suatu teori adalah
bagaimana nilanya berkaitan dengan paradigma pembandingnya.” Kuhn
mengemukakan bahwa paradigma superior ditandai oleh ketepatan prediksi yang
lebih tinggi, ketajaman definisi permasalahan yang lebih besar, dan keberhasilan
lebih besar dalam pemecahan masalah.
Lebih mudah untuk menentukan tingkat superior paradigma sepadan
daripada tidak sepadan. Namun bukan berarti paradigma tidak sepadan tidak
mampu dievaluasi. Caranya yakni dengan mengevaluasi menurut konteks
paradigma itu sendiri tanpa mengacu pada paradigma lain yang tidak sepadan atau
dibandingkan dengan acuan kepada pertanyaan tentang nilai.

Paradigma Antropologi
Dalam upaya membangun pemahaman ilmiah tentang pengalaman
manusia yang komprehensif dan progresif, antropolog menyandang dua tugas.
Pertama, mengonstruksi paradigma yang bermakna dan prodiktif yang mampu
memperjelas fenomena manusia yang signifikan. Kedua, mempertajam paradigma
dengan analisi kritis dan komparatif. Sasaran kajian antropologi adalah untuk
mengembangkan paradigma secara lebih tajam daripada paradigma sebelumnya
untuk menjelaskan kondisi manusia. Paradigma antropologi sendiri pada dasarnya
terbagi menjadi dua arus besar, yakni sinkronis dan diakronis.
Paradigma-paradigma antropologi yang berkembang :
a. Evolusionisme Klasik
b. Difusionisme
c. Partikularisme Historis
d. Struktural-Fungsionalisne
e. Antropologi Psikologi
f. Strukturalisme
g. Materialisme Dialetik
h. Cultural Materialisme
i. Etnosains
j. Antropologi Simbiolik
k. Sosiobiologi
Dalam penelitian, seorang antropolog tidak dapat menduga terlebih dahulu
strategi mana yang paling produktif dalam setiap kasus serta tidak ada jaminan
bahwa semua paradigma harus memiliki kemungkinan yang sama dalam
penggunaannya. Hal ini seperti yang diungkapkan Harris dalam bukunya Cultural
Materialism bahwa strategi penelitian sejawatnya adalah eklektisisme. Esensi dari
eklektisisme ini berarti bahwa semua pilihan strategi (dalam hal ini paradigmatik)
bisa jadi memiliki kemungkinan yang sama serta berarti bahwa semua sektor
sistem sosial budaya memiliki kemungkinan yang sama menentukan.

Determinasi Kebudayaan
Materialisme kebudayaan adalah paradigma yang menggabungkan
sejumlah asumsi teoritis umum. Salah satu asumsi teoritis yang mendasar dari
determinisme kebudayaan adalah manusia memiliki kapasitas untuk mengadopsi
rentang luas keyakinan dan perilaku. Konsep kebudayaan adalah sentral bagi
paradigma determinisme kebudayaan, sebagaimana halnya sentral bagi semua
paradigma antropologi oleh karena itulah kebanyakaan antropolog kebudyaan
menolak determinisme biologi. Supaya menjadi ilmu pengetahuan normal,
determinis kebudayaan harus mengidentifikasi keluasan dan diversitas pikiran dan
perilaku manusia, serta menjelaskan keluasan dan diversitas tersebut dengan
mengacu kepada pengaruh kebudayaan sebagai penentu.

Ranah Kajian Antropologi


Ranah kajian antropologi berawal dari pandangan Arendt mengenai
manusia. Arendt menyatakan bahwa manusia sebagai sosok yang hidup di dunia
yang nyata dan artifisial memiliki dua tugas berbeda namun berkaitan satu sama
lain, yaitu mempertahankan kehidupan manusia dan mempertahankan identitas
manusia.
Namun apabila diperhatikan lagi, pembedaan yang tegas antara upaya
mempertahankan kehidupan dan upaya mempertahankan identitas tidak dapat lagi
digunakan kalau dikaitkan dengan aktivitas manusia. Hal ini dikarenakan sebagian
besar dari aktivitas manusia melibatkan dipeliharanya kegidupan maupun identitas
bersama-sama. Esensi mendasar dari kondisi keberadaan manusia sendiri adalah
saling terpadunya dua aspek yaitu dipertahankannya kehidupan manusia dan
dipertahankannya identitas manusia. Dalam ranah kajian antropologi, penting
untuk membedakan kedua dimensi tersebut. Hal ini terkait dengan perbedaan
antara ranah kajian antropologi dan etnologi.
Ranah kajian antropologi sendiri meliputi apa yang dimaksud tentang asal
muasal, konsekuensi dan implikasi dari upaya manusia untuk mempertahankan
kehidupan dan identitas. Pembedaan antara dipertahankannya kehidupan manusia
dan identitas manusia dimaksudkan untuk mengangkat karakter esensial dari
kondisi manusia, yakni “keartifisialan manusia”. Dalam perspektif antropologi
keartifisialan manusia adalah kebudayaan, sedangkan konsep kebudayaan sendiri
merupakan unsur mendasar dalam perspektif antropologi.

Konsep Kebudayaan
Berbagai definisi tentang kebudayaan telah muncul sejak dimulainya suatu
definisi kebudayaan yang diusulkan oleh Edward B. Taylor. Namun, apa yang
telah dicetuskan para ahli tersebut justru berdampak pada semakin dipersempitnya
konsep kebudayaan itu sendiri. Diprediksi bahwa berbagai upaya untuk
mempersempit konsep kebudayaan ini justru memecah belah, bukan menyatukan
disiplin.
Keesing mengidentifikasikan empat pendekatan terakhir terhadap masalah
kebudayaan, yakni
1. Kebudayaan sebagai sistem adaptif dari keyakinan dan perilaku yang
dipelajari yang fungsi promernya adalah menyesuaikan masyarakat
manusia dengan lingkungannya. Kebudayaan ini tampak pada kajian
arkeologi kontemporer, ekologi budaya
2. Kebudayaan sebagai sistem kognitif yang tersusun dari apapun yang
diketahui dalam berpikir menurut cara tertentu yang dapat diterima bagi
warga kebudayaan (natives) yang diteliti. Pendekatan ini diasosiasikan
dengan paradigma seperti etnosains, antropologi kognitif, atau etnografi
baru.
3. Kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol yang dimiliki
bersama yang memiliki analogi dengan struktur pemikiran manusia.
Pendekatan ini merupakan ciri khas dari strukturalisme
4. Kebudayaan sebagai simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan manusia-
manusia yang dimiliki bersama, yang dapat diidentifikasi dan bersifat
publik. Pendekatan ini diasosiasikan dengan paradigma antropologi
simbolik.
Keesing menyimpulkan bahwa secara esensial terdapat dua pendekatan
mengenai konsep kebudayaan di kalangan antropolog kontempor, yakni pertama
antropolog yang mendefinisikan kebudayaan dalam konteks pikiran dan perilaku
(pendekatan adaptif). Kedua antropolog yang mendefinisikan kebudayaan dalam
konteks pikiran semata-semata (pendekatan ideasional).
Namun ternyata hal tersebut merupakan suatu hal yang kontroversial.
Sebagian antropologi memandang kontroversi mengenai konsep kebudayaan pada
masa kini sebagai kontroversi isu pikiran versus perilaku. Kritik paling keras
muncul dari Marvin Harris dengan pendekatan ideasionalnya.
Apabila ditilik dari definisi-definisi eksplisit mengenai kebudayaan yang
di tawarkan belakangan ini, tidak ada konsensus yang jelas mengenai isu pikiran
versus perilaku, meski definisi ideasional secara murni mengenai kebudayaan
relatif jarang terjadi.
Hal yang dilupakan oleh Keesing yakni pembedaan antara kedua
pendekatan. Pendekatan adaptif memandang kebudayaan sebagai suatu sistem
sosial budaya yang terdiri dari perilaku dan keyakinan yang melekat padanya,
sedangkan pendekatan ideasional memandang kebudayaan sebagai suatu sistem
simbolik yang terdiri atas keyakinan dan perilaku yang melekat padanya. Namun
apakah konsep mengenai kebudayaan sendiri terpacu kepada sistem sosial budaya
atau sistem simbolik juga masih kontroversial. Yang esensial adalah bahwa
antropolog secara khusu menjelaskan apakah yang mereka maksud sebagai sistem
sosiobudaya atau sistem simbolik. Hall menyatakan bahwa “betapa pun kerasnya
upaya manusia mustahil baginya untuk merobak dirinya atau kebudayaan sendiri,
karena kebudayaan itu merasuki hingga ke akar-akar sistem persyaratannya dan
menentukan bagaimana ia mempersepsi dunia”. Lebih lanjut hal menyatakan
bahwa “manusia tidak dapat bertindak menurut cara bermakna kecuali melalui
medium kebudayaan.” Oleh karena itu, antropolog tidak dapat menghindari
konsep kebudayaan manakala menjelaskan kondisi manusia.

Emik dan Etik


Antropologi merupakan satu-satunya disiplin ilmu sosial yang
membangun holisme dan pembandingan sebagai sasaran ideal yang hendak
dicapai. Oleh karena itu, antropologi merupakan satu-satunya disiplin ilmu sosial
yang secara sistemik memperhatikan perbedaan antara pengetahuan emik dan etik.
Emik mengacu kepada pandangan warga masyarakat yang dikaji (native’s
viewpoint), etik mengacu kepada pandangan peneliti (scientist’s viewpoint).
Konstruksi emik adalah deskripsi dan analisi yang dilakukan dalam konteks
skema dan kategori konseptual yang dianggap bermakna oleh partisipan dalam
kejadian yang dideskripsikan dan dianalisis. Konstruksi etik adalah deskripsi dan
analisis yang dibangun dalam konteks skema dan kategori konseptual yang
dianggap bermakna oleh komunitas pengamat ilmiah.
Emik dan etik termasuk dalam konstruksi epistemologi, namun dalam
penelitian sendiri emik dan etik ini tidak berhubungan dengan metode penelitian
anamun justru dengan struktur penelitian.
Pengetahuan etik divalidasi dengan cara yang analog. Agar suatu deskripsi
atau analisi etik diakui sebagai etik, ia harus diterima oleh komunitas ilmiah
sebagai pembahasan yang sesuai dan bermakna. Berikut ini adalah beberapa hal
yang perlu diperhatikan:
a. Deskripsi harus dianggap bermakna dan sesuai oleh komunitas yang luas
pengamat ilmiah
b. Deskripsi harus divalidasi oleh pengamat secara independen
c. Deskripsi harus memenuhi persyaratan berupa aturan-aturan dalam
memperoleh pengetahuan dan bukti ilmiah
d. Deskripsi harus dapat diterapkan secara lintas budaya
e. Kajian-kajian dalam konteks teori tahap perkembangan yang dikutip
mengilustrasikan bahaya yang nantinya menimpa ilmu sosial yang gagakl
membedakan emik dan etik
Pada dasarnya pembedaan emik dan etik itu sendiri memungkinkan bagi
kita untuk menunjukkan apakah eksplanasi yang diberikan ilmuwan sosial
berbeda dari yang diberikan pihak lain. Bagaimanapun juga ilmu-ilmu sosial
berbeda dari ilmu-ilmu ilmiah.

You might also like