You are on page 1of 31

Akhlak Sebagai Benteng Keutuhan Rumah Tangga

Bagaimana cara menjadi muslim yang terbaik? Mungkin orang akan menyuguhkan
kriteria ubudiyah yang tinggi: Sholat malam tak pernah putus, puasa senin kamis
tak pernah tertinggal, minimal sekali dalam sebulan harus khatam Al-Qur’an, dsb.
Tapi kenyataannya Rasulullah tidak selalu mengajukan kriteria seperti itu. Kadang
Rasulullah mengajukan kriteria: “Mu’min yang kuat lebih dicintai Allah dari mu’min
yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan." (HR Muslim) Dan pernah juga
Rasulullah menyebut kriteria lain: "Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik akhlaknya
kepada istrinya". (HR Tirmidzi)

Ternyata bagi seorang suami, media untuk menjadi muslim yang terbaik itu sangat
dekat: pada "tulang rusuknya". Keberhasilan menjadi muslim yang terbaik
berbanding lurus dengan akhlak kepada istri. Semakin baik akhlak seorang suami
kepada istri, semakin baik ia di mata Allah swt.

Hikmah kriteria ini adalah akan terbentuknya keluarga yang utuh dan harmonis
dalam naungan ridho Allah swt. Ketika seorang suami berusaha menjadi yang
terbaik dengan cara menyempurnakan akhlaknya kepada istri, diharapkan akan ada
respon yang baik dari istri yaitu pelayanan yang sempurna kepada suami. Dan ini
akan menambah rasa kasih sayang di antara mereka. Anak-anak pun akan
mendapat ketauladanan yang indah dari akhlak ayahnya. Di samping itu, hubungan
orang tua yang mesra sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter seorang
anak. Anak yang besar dalam keluarga yang utuh jelas punya peluang untuk
mendapat didikan yang lebih baik daripada anak yang besar dalam keluarga yang
broken home.

Kalau mau ditarik lebih jauh hikmah dari kriteria ini, akan berdampak pada
masyarakat, negara, dan dunia. Karena kumpulan keluarga yang muslim akan
membentuk masyarakat yang damai. Masyarakat yang damai akan membentuk
negara yang sejahtera. Dan seterusnya. Semua itu berpangkal pada akhlak seorang
suami sebagai pribadi muslim. Itulah hikmah kriteria "akhlak kepada istri",
dampaknya bisa luar biasa.

*****

Bagaimana menjaga keutuhan keluarga? Biasanya akan dijawab: dengan cinta.


Memang banyak pasangan yang sudah punya modal cinta saat membangun rumah
tangganya, tapi kenyataannya tetap banyak terjadi perceraian dan perselingkuhan.
Cinta sudah selayaknya ada dalam rumah tangga, tapi kalau anda sudah menikah,
rasanya anda akan sepakat bahwa akhlak lah yang menopang keutuhan rumah
tangga.

Saya menemukan artikel yang menyebutkan bahwa hormon cinta hanya bertahan
selama 4 tahun. Penelitian tentang itu diungkapkan oleh para peneliti dari
Researchers at National Autonomous University of Mexico. Bukan hanya karena
faktor bosan semata, tapi karena kandungan zat kimia di otak yang mengaktifkan
rasa cinta itu sudah habis.

Sependek itu. Tapi saya yakin, durasi bertahannya rasa cinta akan berbeda pada
tiap orang. Yang jelas, cinta itu bisa hilang!!!

Karena itu akan sangat riskan apabila rumah tangga hanya didasari oleh rasa cinta.
Karena saat cinta itu hilang, maka ambruk lah bangunan rumah tangga itu. Bahkan
walau pun masih ada cinta di antara pasangan suami istri, namun kalau dalam
keseharian mereka tidak mampu saling menunjukkan akhlak yang baik dalam
hubungannya, maka rumah tangga itu tetap terancam rubuh. Bahkan akhlak yang
buruk itu mempercepat musnahnya cinta.

Kasih sayang bisa bersemi di atas akhlak yang kokoh. Bila suami memperlakukan
istri dengan baik, dan istri membalas dengan pelayanan yang menyenangkan,
maka saat itu lah do’a seorang pria yang minta dikaruniai istri dan anak-anak yang
menjadi ‘cahaya mata’ (qurrota a’yun) terwujud.

Akhlak adalah benteng keutuhan rumah tangga.

****

Akhlak itu harus dimiliki oleh kedua pasangan, bukan hanya suami saja. Akhlak
seorang istri kepada suami adalah saat ia menaati suaminya. Dan itu menjadi
kewajiban yang tak boleh disepelekan. "Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang baik, akan tetapi para suami
mempunyai satu tingkatan kelebihan dari isterinya. Dan Allah Maha perkasa lagi
Maha bijaksana." (Al-Baqarah: 228).
Rasulullah bersabda, "Seandainya aku suruh seseorang untuk sujud kepada orang
lain, maka aku suruh seorang istri sujud kepada suaminya." (HR Abu Daud, Al-
Hakim)

Bahkan penyebab wanita banyak menjadi penghuni neraka adalah karena


akhlaknya yang buruk kepada suami. Seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah saw:
"Suatu ketika Rasulullah keluar pada hari raya Idul Adha atau Idul Fitri menuju
tempat shalat dan melalui sekelompok wanita. Beliau saw bersabda,’Wahai kaum
wanita bersedekahlah sesungguhnya aku telah diperlihatkan bahwa kalian adalah
mayoritas penghuni neraka.’ Mereka bertanya,’Mengapa wahai Rasulullah?’ Beliau
saw menjawab,’Kalian banyak melaknat dan maksiat terhadap suami’". (HR
Bukhori)

Perkara yang mungkin sepele: mengabaikan kebaikan suami, bisa berakibat sangat
fatal. Dalam suatu sabda Rasulullah saw: “…dan aku melihat neraka maka tidak
pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan
penduduknya adalah kaum wanita. Para shahabat pun bertanya: “Wahai Rasulullah,
Mengapa (demikian)?” Beliau menjawab: “Karena kekufuran mereka.” Kemudian
mereka bertanya lagi: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau
menjawab:“Mereka kufur (durhaka) terhadap suami-suami mereka, kufur (ingkar)
terhadap kebaikan-kebaikannya. Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah
seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat
sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata: ‘Aku tidak
pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas
radliyallahu ‘anhuma)

Berterima kasih atas kelebihan pasangan, dan sabar atas kekurangannya. Itu
merupakan kunci akhlak dalam rumah tangga. "Tahu berterima kasih" bukan cuma
diharuskan untuk istri, bahkan sikap itu harus dimunculkan oleh suami manakala
terbersit ketidak-puasan terhadap istrinya. Allah berfirman, "…Dan bergaullah
dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (QS An-Nisa : 19) Begitulah tips yang
diberikan oleh Allah kepada suami untuk mempertahankan rumah tangganya:
bersabar dan memperhatikan kebaikan yang dimiliki oleh pasangan.

*****

Salah satu akhlak seorang suami yang mengokohkan rumah tangganya adalah
ekspresi yang tidak terus terang saat menemukan kekurangan istri. Ia
menyembunyikan kekecewaannya sehingga bisa menjaga perasaan istrinya. Seperi
saat merasakan ada yang kurang dari masakan istrinya, seorang suami bisa
menunjukkan akhlak yang baik saat ia malah memuji masakan itu.
Berdusta dalam rumah tangga - selama dalam kerangka kebaikan - diperbolehkan.
Ummu Kultsum rha. berkata, ""Aku tidak pernah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam memberikan keringanan (rukhshah pada apa yang diucapkan oleh
manusia (berdusta) kecuali dalam tiga perkara, yakni: perang, mendamaikan
perseteruan/perselisihan di antara manusia, dan ucapan suami kepada istrinya,
atau sebaliknya." (HR Muslim)

Ada cerita yang penuh hikmah tentang suami yang berekspresi normal saat melihat
ketidak-sempurnaan istrinya, yang diceritakan oleh ustadz Anis Matta dalam
bukunya ”Biar Kuncupnya Mekar Jadi Bunga”.

Abdurrahman Ibn Al-Jauzy menceritakan dalam Shaed Al-Khathir kisah berikut ini:
Abu Utsman Al-Naisaburi ditanya: ”amal apakah yang pernah anda lakukan dan
paling anda harapkan pahalanya?”

Beliau menjawab, ”sejak usia muda keluargaku selalu berupaya mengawinkan aku.
Tapi aku selalu menolak. Lalu suatu ketika, datanglah seorang wanita padaku dan
berkata, ”Wahai Abu Utsman, sungguh aku mencintaimu. Aku memohon—atas
nama Allah—agar sudilah kiranya engkau mengawiniku.” Maka akupun menemui
orangtuanya, yang ternyata miskin dan melamarnya. Betapa gembiranya ia ketika
aku mengawini puterinya.

Tapi, ketika wanita itu datang menemuiku—setelah akad, barulah aku tahu kalau
ternyata matanya juling, wajahnya sangat jelek dan buruk. Tapi ketulusan cintanya
padaku telah mencegahku keluar dari kamar. Aku pun terus duduk dan
menyambutnya tanpa sedikit pun mengekspresikan rasa benci dan marah. Semua
demi menjaga perasaannya. Walaupun aku bagai berada di atas panggang api
kemarahan dan kebencian.

Begitulah kulalui 15 tahun dari hidupku bersamanya hingga akhir ia wafat. Maka
tiada amal yang paling kuharapkan pahalanya di akhirat, selain dari masa-masa 15
tahun dari kesabaran dan kesetiaanku menjaga perasaannya, dan ketulusan
cintanya.

*****

Berkata ulama salaf: "Seorang suami yang sholih, bila dia mencintaimu maka
bersyukurlah kepada Allah. Bila dia tidak menyukaimu, maka dia pasti tidak akan
menzholimimu." (Seperti dikutip dari tulisan ustadz Dzulqarnain bin Muhammad
Sunusi di milis nashihah)


Untuk Istriku, mohon maaf atas segala kekurangan akhlakku, selama pernikahan
kita. Tapi aku akan terus berusaha menyempurnakannya.

13 Sifat Laki-laki Yang Tidak Disukai Perempuan


Baitul Muslim
3/6/2008 | 28 Jumadil Awal 1429 H | Hits: 25.991
Oleh: DR. Amir Faishol Fath

dakwatuna.com – Para istri atau kaum wanita adalah manusia yang juga mempunyai hak tidak
suka kepada laki-laki karena beberapa sifa-sifatnya. Karena itu kaum lelaki tidak boleh egois,
dan merasa benar. Melainkan juga harus memperhatikan dirinya, sehingga ia benar-benar bisa
tampil sebagai seorang yang baik. Baik di mata Allah, pun baik di mata manusia, lebih-lebih baik
di mata istri. Ingat bahwa istri adalah sahabat terdekat, tidak saja di dunia melainkan sampai di
surga. Karena itulah perhatikan sifat-sifat berikut yang secara umum sangat tidak disukai oleh
para istri atau kaum wanita. Semoga bermanfaat.

Pertama, Tidak Punya Visi

Setiap kaum wanita merindukan suami yang mempunyai visi hidup yang jelas. Bahwa hidup ini
diciptakan bukan semata untuk hidup. Melainkan ada tujuan mulia. Dalam pembukaan surah An
Nisa’:1 Allah swt. Berfirman: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan
daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu”. Dalam ayat ini Allah dengan tegas menjelaskan bahwa tujuan hidup berumah
tangga adalah untuk bertakwa kepada Allah. Takwa dalam arti bersungguh mentaati-Nya. Apa
yang Allah haramkan benar-benar dijauhi. Dan apa yang Allah perintahkan benar ditaati.

Namun yang banyak terjadi kini, adalah bahwa banyak kaum lelaki atau para suami yang
menutup-nutupi kemaksiatan. Istri tidak dianggap penting. Dosa demi dosa diperbuat di luar
rumah dengan tanpa merasa takut kepada Allah. Ingat bahwa setiap dosa pasti ada
kompensasinya. Jika tidak di dunia pasti di akhirat. Sungguh tidak sedikit rumah tangga yang
hancur karena keberanian para suami berbuat dosa. Padahal dalam masalah pernikahan Nabi
saw. bersabda: “Pernikahan adalah separuh agama, maka bertakwalah pada separuh yang
tersisa.”

Kedua, Kasar

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Ini
menunjukkan bahwa tabiat wanita tidak sama dengan tabiat laki-laki. Karena itu Nabi saw.
menjelaskan bahwa kalau wanita dipaksa untuk menjadi seperti laki-laki tulung rusuk itu akan
patah. Dan patahnya berarti talaknya. Dari sini nampak bahwa kaum wanita mempunyai sifat
ingin selalui dilindungi. Bukan diperlakukan secara kasar. Karena itu Allah memerintahkan para
suami secara khusus agar menyikapi para istri dengan lemah lembut: Wa’aasyiruuhunna bil
ma’ruuf (Dan sikapilah para istri itu dengan perlakuan yang baik) An Nisa: 19. Perhatikan ayat
ini menggambarkan bahwa sikap seorang suami yang baik bukan yang bersikap kasar, melainkan
yang lembut dan melindungi istri.

Banyak para suami yang menganggap istri sebagai sapi perahan. Ia dibantai dan disakiti
seenaknya. Tanpa sedikitpun kenal belas kasihan. Mentang-mentang badannya lebih kuat lalu
memukul istri seenaknya. Ingat bahwa istri juga manusia. Ciptaan Allah. Kepada binatang saja
kita harus belas kasihan, apalagi kepada manusia. Nabi pernah menggambarkan seseorang yang
masuk neraka karena menyikas seekor kucing, apa lagi menyiksa seorang manusia yang
merdeka.

Ketiga, Sombong

Sombong adalah sifat setan. Allah melaknat Iblis adalah karena kesombongannya. Abaa
wastakbara wakaana minal kaafiriin (Al Baqarah:34). Tidak ada seorang mahlukpun yang
berhak sombong, karena kesombongan hanyalah hak priogatif Allah. Allah berfirman dalam
hadits Qurdsi: “Kesombongan adalah selendangku, siapa yang menandingi aku, akan aku
masukkan neraka.” Wanita adalah mahluk yang lembut. Kesombongan sangat bertentangan
dengan kelembutan wanita. Karena itu para istri yang baik tidak suka mempunyai suami
sombong.

Sayangnya dalam keseharian sering terjadi banyak suami merasa bisa segalanya. Sehingga ia
tidak mau menganggap dan tidak mau mengingat jasa istri sama sekali. Bahkan ia tidak mau
mendengarkan ucapan sang istri. Ingat bahwa sang anak lahir karena jasa kesebaran para istri.
Sabar dalam mengandung selama sembilan bulan dan sabar dalam menyusui selama dua tahun.
Sungguh banyak para istri yang menderita karena prilaku sombong seorang suami.
Keempat, Tertutup

Nabi saw. adalah contoh suami yang baik. Tidak ada dari sikap-sikapnya yang tidak diketahui
istrinya. Nabi sangat terbuka kepada istri-istrinya. Bila hendak bepergian dengan salah seorang
istrinya, nabi melakukan undian, agar tidak menimbulkan kecemburuan dari yang lain. Bila nabi
ingin mendatangi salah seorang istrinya, ia izin terlebih dahulu kepada yang lain. Perhatikan
betapa nabi sangat terbuka dalam menyikapi para istri. Tidak seorangpun dari mereka yang
merasa didzalimi. Tidak ada seorang dari para istri yang merasa dikesampingkan.

Kini banyak kejadian para suami menutup-nutupi perbuatannya di luar rumah. Ia tidak mau
berterus terang kepada istrinya. Bila ditanya selalu jawabannya ngambang. Entah ada rapat, atau
pertemuan bisnis dan lain sebagainya. Padahal tidak demikian kejadiannya. Atau ia tidak mau
berterus terang mengenai penghasilannya, atau tidak mau menjelaskan untuk apa saja
pengeluaran uangnya. Sikap semacam ini sungguh sangat tidak disukai kaum wanita. Banyak
para istri yang tersiksa karena sikap suami yang begitu tertutup ini.

Kelima, Plinplan

Setiap wanita sangat mendambakan seorang suami yang mempunyai pendirian. Bukan suami
yang plinplan. Tetapi bukan diktator. Tegas dalam arti punya sikap dan alasan yang jelas dalam
mengambil keputusan. Tetapi di saat yang sama ia bermusyawarah, lalu menentukan tindakan
yang harus dilakukan dengan penuh keyakinan. Inilah salah satu makna qawwam dalam firman
Allah: arrijaalu qawwamuun alan nisaa’ (An Nisa’:34).

Keenam, Pembohong

Banyak kejadian para istri tersiksa karena sang suami suka berbohong. Tidak mau jujur atas
perbuatannya. Ingat sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh ke tanah. Kebohongan
adalah sikap yang paling Allah benci. Bahkan Nabi menganggap kebohongan adalah sikap
orang-orang yang tidak beriman. Dalam sebuah hadits Nabi pernah ditanya: hal yakdzibul
mukmin (apakah ada seorang mukmin berdusta?) Nabi menjawab: Laa (tidak). Ini menunjukkan
bahwa berbuat bohong adalah sikap yang bertentangan dengan iman itu sendiri.

Sungguh tidak sedikit rumah tangga yang bubar karena kebohongan para suami. Ingat bahwa
para istri tidak hanya butuh uang dan kemewahan dunia. Melainkan lenbih dari itu ia ingin
dihargai. Kebohongan telah menghancurkan harga diri seorang istri. Karena banyak para istri
yang siap dicerai karena tidak sanggup hidup dengan para sumai pembohong.

Ketujuh, Cengeng

Para istri ingin suami yang tegar, bukan suami yang cengeng. Benar Abu Bakar Ash Shiddiq
adalah contoh suami yang selalu menangis. Tetapi ia menangis bukan karena cengeng melainkan
karena sentuhan ayat-ayat Al Qur’an. Namun dalam sikap keseharian Abu Bakar jauh dari sikap
cengeng. Abu Bakar sangat tegar dan penuh keberanian. Lihat sikapnya ketika menghadapi para
pembangkang (murtaddin), Abu Bakar sangat tegar dan tidak sedikitpun gentar.
Suami yang cenging cendrung nampak di depan istri serba tidak meyakinkan. Para istri suka
suami yang selalu gagah tetapi tidak sombong. Gagah dalam arti penuh semangat dan tidak kenal
lelah. Lebih dari itu tabah dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.

Kedelapan, Pengecut

Dalam sebuah doa, Nabi saw. minta perlindungan dari sikap pengecut (a’uudzubika minal jubn),
mengapa? Sebab sikap pengecut banyak menghalangi sumber-sumber kebaikan. Banyak para
istri yang tertahan keinginannya karena sikap pengecut suaminya. Banyak para istri yang tersiksa
karena suaminya tidak berani menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Nabi saw. terkenal
pemberani. Setiap ada pertempuran Nabi selalu dibarisan paling depan. Katika terdengar suara
yang menakutkan di kota Madinah, Nabi saw. adalah yang pertama kaluar dan mendatangi suara
tersebut.

Para istri sangat tidak suka suami pengecut. Mereka suka pada suami yang pemberani. Sebab
tantangan hidup sangat menuntut keberanian. Tetapi bukan nekad, melainkan berani dengan
penuh pertimbangan yang matang.

Kesembilan, Pemalas

Di antara doa Nabi saw. adalah minta perlindingan kepada Allah dari sikap malas: allahumma
inni a’uudzubika minal ‘ajizi wal kasal , kata kasal artinya malas. Malas telah membuat
seseorang tidak produktif. Banyak sumber-sumber rejeki yang tertutup karena kemalasan
seorang suami. Malas sering kali membuat rumah tangga menjadi sempit dan terjepit. Para istri
sangat tidak suka kepada seorang suami pemalas. Sebab keberadaanya di rumah bukan
memecahkan masalah melainkan menambah permasalah. Seringkali sebuah rumah tangga
diwarnai kericuhan karena malasnya seorang suami.

Kesepuluh, Cuek Pada Anak

Mendidik anak tidak saja tanggung jawab seorang istri melainkan lebih dari itu tanggung jawab
seorang suami. Perhatikan surat Luqman, di sana kita menemukan pesan seorang ayah bernama
Luqman, kepada anaknya. Ini menunjukkan bahwa seorang ayah harus menentukan kompas
jalan hidup sang anak. Nabi saw. Adalah contoh seorang ayah sejati. Perhatiannya kepada sang
cucu Hasan Husain adalah contoh nyata, betapa beliau sangat sayang kepada anaknya. Bahkan
pernah berlama-lama dalam sujudnya, karena sang cucu sedang bermain-main di atas
punggungnya.

Kini banyak kita saksikan seorang ayah sangat cuek pada anak. Ia beranggapan bahwa mengurus
anak adalah pekerjaan istri. Sikap seperti inilah yang sangat tidak disukai para wanita.

Kesebelas, Menang Sendiri

Setiap manusia mempunyai perasaan ingin dihargai pendapatnya. Begitu juga seorang istri.
Banyak para istri tersiksa karena sikap suami yang selalu merasa benar sendiri. Karena itu Umar
bin Khaththab lebih bersikap diam ketika sang istri berbicara. Ini adalah contoh yang patut ditiru.
Umar beranggapan bahwa adalah hak istri mengungkapkan uneg-unegnya sang suami. Sebab
hanya kepada suamilah ia menemukan tempat mencurahkan isi hatinya. Karena itu seorang
suami hendaklah selalu lapang dadanya. Tidak ada artinya merasa menang di depan istri. Karena
itu sebaik-baik sikap adalah mengalah dan bersikap perhatian dengan penuh kebapakan. Sebab
ketika sang istri ngomel ia sangat membutuhkan sikap kebapakan seorang suami. Ada pepetah
mengatakan: jadilah air ketika salah satunya menjadi api.

Keduabelas, Jarang Komunikasi

Banyak para istri merasa kesepian ketika sang suami pergi atau di luar rumah. Sebaik-baik suami
adalah yang selalu mengontak sang istri. Entah denga cara mengirim sms atau menelponnya.
Ingat bahwa banyak masalah kecil menjadi besar hanya karena miskomunikasi. Karena itu sering
berkomukasi adalah sangat menentukan dalam kebahagiaan rumah tangga.

Banyak para istri yang merasa jengkel karena tidak pernah dikontak oleh suaminya ketika di luar
rumah. Sehingga ia merasa disepelekan atau tidak dibutuhkan. Para istri sangat suka kepada para
suami yang selalu mengontak sekalipun hanya sekedar menanyakan apa kabarnya.

Ketigabelas, Tidak Rapi dan Tidak Harum

Para istri sangat suka ketika suaminya selalu berpenampilan rapi. Nabi adalah contoh suami yang
selalu rapi dan harum. Karena itu para istrinya selalu suka dan bangga dengan Nabi. Ingat bahwa
Allah Maha indah dan sangat menyukai keindahan. Maka kerapian bagian dari keimanan. Ketika
seorang suami rapi istri bangga karena orang-orang pasti akan berkesan bahwa sang istri
mengurusnya. Sebaliknya ketika sang suami tidak rapi dan tidak harum, orang-orang akan
berkesan bahwa ia tidak diurus oleh istrinya. Karena itu bagi para istri kerapian dan kaharuman
adalah cermin pribadi istri. Sungguh sangat tersinggung dan tersiksa seorang istri, ketika melihat
suaminya sembarangan dalam penampilannya dan menyebarkan bahu yang tidak enak. Allahu
a’lam
Tiga Langkah Meraih Kebahagiaan Rumah Tangga
Al-Qur'an, Baitul Muslim
12/5/2008 | 06 Jumadil Awal 1429 H | Hits: 12.386
Oleh: DR. Amir Faishol Fath

110Share
0diggsdigg
19
Comments
Email
Print

dakwatuna.com - Allah swt. berfirman,


َ ُ ‫فسك‬ َ ‫خل َق ل َك ُم م‬ َ
َ ِ ‫ن ِفي ذ َل‬
‫ك‬ ّ ِ‫ة إ‬ً ‫م‬
َ ‫ح‬
ْ ‫موَد ّة ً وََر‬ َ ‫م‬ ْ ُ ‫ل ب َي ْن َك‬ َ َ‫سك ُُنوا إ ِل َي َْها و‬
َ َ ‫جع‬ ْ َ ‫جا ل ِت‬
ً ‫م أْزَوا‬
ْ ِ ُ ْ ‫ن أن‬
ْ ِ ْ َ َ ‫ن‬ ْ ‫ن َءاَيات ِهِ أ‬
ْ ‫م‬
ِ َ‫و‬
21 ‫ن )الروم‬ َ ‫فكُرو‬ّ َ َ ‫قوْم ٍ ي َت‬
َ ِ‫ت ل‬ ٍ ‫(لَيا‬ َ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Ar Rum:21

Menikah Bukti Keagungan Allah


Ayat ini sebenarnya bagian dari cerita tanda-tanda keagungan Allah swt. dan kekuasaan-Nya.
Bahwa semua yang ada di langit dan di bumi dan segala yang terjadi datang dari-Nya. Termasuk
diciptakannya manusia berpasang-pasangan yang dengannya terjadi kelanjutan hidup, seperti
yang disebutkan pada ayat di atas. Karenanya hakikat pernikahan dan rumah tangga bagi Allah
swt. adalah ikatan yang sangat agung. Karena dengannya nampak keagungan-Nya.

Sebaliknya, ketika manusia hidup di alam perzinaan, yang nampak hanyalah kebinatangan. Bila
kebinatangan yang menonjol dalam hidup manusia, kerusakan pasti akan meraja lela. Paling
tidak yang pertama kali hancur adalah kemanusiaan. Manusia tidak lagi perduli dengan rumah
tangga. Bila rumah tangga hancur, garis nasab akan hilang. Lama ke lamaan manusia tidak tahu
lagi siapa sebenarnya yang ia gauli. Tidak mustahil suatu saat – bahkan ini sudah banyak terjadi
– akan lahir seorang anak dari hubungan ayah dengan anaknya, atau hubungan ibu dengan
anaknya, atau hubungan antara saudara seayah dan sebagainya.

Karena itu pada ayat di atas, Allah swt. menjadikan hakikat berpasang-pasangan sebagai bukti
keagungan-Nya, supaya manusia tidak begitu mudah merendahkan dirinya dengan menganggap
bahwa berhubungan dengan siapa saja boleh-boleh saja. Tidak, janganlah sekali-kali perbuatan
ini dilakukan. Sebab dengan melakukan perzinaan seseorang tidak saja mengahancurkan
kemanusiaannya sendiri melainkan lebih dari itu ia telah merendahkan Allah swt. dengan
meremehkan tanda-tanda keagungan-Nya.

Jelasnya bahwa dari ayat di atas setidaknya ada tiga langkah yang bisa kita bahas secara
mendalam dalam tulisan ini untuk mencapai kebahagiaan dalam rumah tangga:

(a) Bangun Jiwa Sakinah

(b) Hidupkan Semangat Mawaddah

(c) Pertahankan Spirit Rahmah.

Dan ketiga langkah ini adalah bekal utama setiap rumah tangga. Bila salah satunya hilang, rumah
tangga akan rapuh dan mudah retak. Karena itu hendaklah ketiga langkah tersebut benar-benar
dicapai secara maksimal, atau paling tidak mendekatinya.

Bangun Jiwa Sakinah

Allah berfirman: litaskunuu ilaihaa, artinya agar kau berteduh wahai para suami kepada istrimu.
Kata litaskunuu diambil dari kata sakana yaskunu artinya berdiam atau berteduh. Dari kata
sakana ini di ambil istilah sakinah yang kemudian diartikan tenang. Memang bisa saja kata
sakana diartikan tenang, tetapi pengertian dalam ayat ini lebih dalam lagi dari sekedar tenang.

Syaikh Ibn Asyur dalam tafsirnya At Tahrir wat Tanwiir mengartikan kata litaskunuu dengan
dengan tiga makna:

(1) lita’lafuu artinya agar kamu saling mengikat hati, seperti uangkapan ta’liiful quluub. Dalam
surah Al Anfal: 63 Allah berfirman: wa allafa baina quluubihim (Dialah Allah yang telah
mempersatukan hati di antara mereka). Dengan makna ini maka antara suami istri hendaknya
benar-benar membangun ikatan hati yang kuat. Dan sekuat-kuat pengikat hati adalah iman. Maka
semakin kuat iman seseorang, semakin kuat pula ikatan hatinya dalam rumah tangganya.
Sebaliknya semakin lemah iman seseorang, bisa dipastikan bahwa rumah tangga tersebut akan
rapuh dan mudah retak.

(2) Tamiiluu ilaihaa artinya kau condong kepadanya. Condong artinya pikiran, perasaan dan
tanggung jawab tercurah kepadanya. Dengan makna ini maka suami istri bukan sekedar basa-
basi untuk bersenang-senang sejenak. Melainkan benar-benar dibangun di atas tekad yang kuat
untuk membangun masa depan rumah tangga yang bermanfaat. Karenanya harus ada
kecondongan dari masing-masing suami istri. Tanpa kecondongan pasti akan terjadi
keterpaksaan.

Karena itu orang tua jangan memaksakan kehendaknya jika memang ternyata dalam diri anaknya
tidak ada kecondongan. Saya sering menemukan seorang anak muda mengeluh karena dipaksa
orang tuanya untuk menikah dengan si fulanah. Sementara dalam diri anak muda tersebut tidak
ada kecondongan sama sekali. Tapi orang tuanya mengancam dan bahkan menganggap ia bukan
anaknya jika tidak mengikuti keinginannya.

Ini tentu sikap yang tidak pada tempatnya. Orang tua harus tahu bahwa sakinah dalam rumah
tangga tidak akan di capai tanpa adanya kecondongan. Pun orang tua harus tahu bahwa yang
akan hidup bersama istrinya adalah sang anak. Maka tidak benar menggunakan kartu merah
orang tua, untuk memaksakan kecondongannya supaya anak mengikutinya.

Seringkali rumah tangga hancur karena orang tua tidak meperhatikan kecondongan sang anak.
Karena itu untuk membangun sakinah harus ada dalam diri masing-masing suami istri
kecondongan.

(3) Tathma’innuu biha artinya kau merasa tenang dengannya.

Dalam surah Ar Ra’d:28 Allah berfirman: alaa bidzikrillahi tathma’innul quluub (Ingatlah,
hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram). Dari sini nampak bahwa untuk
mencapai ketenangan dalam rumah tangga hanya dengan banyak berdzikir kepada Allah.

Para ulama menyebutkan bahwa dzikir ada tiga dimensi: dzikurullisan (dzikir dengan lidah),
dzikrul qalb (dzikir dengan hati) maksudnya hatinya selalu sadar dan ingat kepada Allah, dan
dzikrul haal (dzikir dengan perbuatan), maksudnya seluruh perbuatannya selalu dalam ketaatan
kepada Allah swt. Maka sungguh tidak mungkin mencapai sakinah rumah tangga yang penuh
dengan kemaksiatan kepada Allah swt.

Termasuk kemaksiatan ketika masing-masing suami suka berbohong. Banyak rumah tangga
yang retak karena ketidak jujuran masing-masing suami istri. Bila seorang suami suka berbohong
pasti sang istri akan gelisah. Selanjutnya ketenangan akan hilang dalam rumah tangga.
Sebaliknya bila istri suka berbohong, sang suami pasti tidak akan merasa tenang bersamanya.
Bila suami tidak tenang, bisa jadi kelak rumah tangga akan terancam. Dari sini perceraian demi
perceraian terjadi. Asal muasalnya karena kebiasaan tidak jujur dan dosa-dosa.
Hidupkan Semangat Mawaddah

Mawaddah artinya cinta. Imam Hasan Al Bashri mengartikan kata mawaddah sebagai metafor
dari hubungan seks. Jelasnya bahwa mawaddah adalah perasaan cinta dan senang dengannya
rumah tangga menjadi bergairah dan penuh semangat. Tanpa mawaddah rumah tangga akan
kering. Mawaddah biasanya sangat personal. Ia tidak tergantung kepada kecantikan istri atau
ketampanan suami. Boleh jadi di mata banyak orang wanita itu tidak cantik, tetapi sang suami
sangat mencintainya. Pun boleh jadi wanita itu disepakati sebagai wanita cantik, tetapi sang
suami ternyata sangat membencinya.

Sebagian ulama tafsir mengatakan bahwa cinta biasanya sering menggebu di masa muda atau di
awal-awal pernikahan. Lama ke lamaan setelah masuk dalam rutinitas rumah tangga, getaran
cinta menjadi melemah. Karenanya Allah swt. bekali rahmah sebagai pengimbangnya, supaya
ketika sinyal cinta mulai redup, masih ada semangat rahmah yang akan menyelamatkan rumah
tangga tersebut. Lain halnya dengan orang-orang yang membangun rumah tangga hanya dengan
modal cinta, rumah tangga rentan mudah roboh dan tidak kokoh.

Ibarat mesin, mawaddah adalah dinamo penggerak yang mengairahkan. Dengan mawaddah
rumah tangga menjadi dinamis dan produktif. Sebaliknya bila jiwa mawaddah hilang, rumah
tangga akan menjadi monoton tanpa dinamika sama sekali. Dalam penelitian saya minimal ciri
mawaddah ada tiga:

(a) Katsratut tahaady (selalu saling memberi hadiah), karena seperti kata Nabi saw. dengan
saling memberi hadiah cinta akan selalu hangat.

(b) Katsratu dzikrihi (selalu saling mengingat kebaikannya). Sebab dengan mengingat
kebaikannya seseorang akan selalu merasa berhutang budi. Hindari melihat keburukan dan
kekurangannya, karena itu akan menumbuhkan kebencian dan perselisihan tiada henti.

(c) Katsratul ittishaali ma’ahu (selalu saling berkomunikasi) sebab dari kemunikasi akan hilang
prasangka. Banyak hal yang sebenarnya dimaksudkan untuk kebaikan, tetapi karena lemahnya
komunikasi seringkali kesalahpahaman terjadi.

Pertahankan Spirit Rahmah

Rahmah artinya kasih sayang, diambil dari kata rahima yarhamu. Dari kata ini pula diambil kata
ar rahmaan salah satu nama Allah swt. Bahwa Allah Maha Penyayang. Para ahli tafsir
mengatakan bahwa rahman-Nya Allah meliputi seluruh mahluk-Nya: manusia, binatang, dan
mahluk-mahluk lainnya. Termasuk orang-orang yang tidak beriman, karenanya mereka masih
bisa hidup dan bisa menikmati fasilitas kehidupan dari Allah, padahal mereka setiap hari tidak
mentaati-Nya. Kata rahmah lebih bermakna kesungguhan untuk berbuat baik kepada orang lain,
apa lagi kepada keluarga.

Memang setiap orang mempunyai kekurangan, dan tidak ada seorang pun yang mecapai
kesempurnaan. Maka jika setiap manusia selalu mempersepsikan adanya pasangan yang
sempurna, pasti pada akhirnya ia tidak akan pernah punya pasangan. Dalam pepatah Arab
dikatakan: “Man talaba akhan bilaa ‘aibin laqiya bilaa akhin (orang yang mencari kawan tanpa
cacat, pasti pada akhirnya ia tidak akan punya kawan).

Kata rahmah lebih mencerminkan sikap saling memahami kekuarangan masing-masing lalu
berusaha untuk saling melengkapi. Sikap rahmah menekankan adanya sikap saling tolong
menolong dalam bersinergi, sehingga kekurangan berubah menjadi kesempurnaan.

Sikap rahmah seringkali berperan ketika semangat cinta mulai menurun. Biasanya itu terjadi
setelah usia suami istri sama-sama mencapai tahap tua. Cucu sudah mulai banyak. Badan banyak
sakit-sakitan. Pada saat itu kebertahanan rumah tangga sangat ditopang oleh kekuatan rahmah
(kasih sayang).

Karena itu mawaddah dan rahmah ibarat dua sayap bagi burung. Bila kedua sayap itu berfungsi
dengan baik, maka rumah tangga akan berjalan penuh kebahagiaan. Ibarat burung terbang di
angkasa, ia menikmati keindahan alam semesta dan penuh dengan kelapangan dada. Tanpa
sedikit pun ada beban di hatinya. Terbang ke mana saja ia mau, tidak ada hambatan dan
kesulitan.

Kesadaran Akhirat

Pada penutup ayat di atas Allah swt. berfirman: inna fiidzaalika laayatil liqawmiyyatafakkaruun
maksudnya bahwa itu semua merupakan bukti bagi orang-orang yang berpikir. Yaitu orang-
orang yang menggunakan akalnya untuk memahami ajaran Allah swt.

Dalam Al Qur’an banyak sekali penegasan bahwa kelak di hari Kiamat banyak manusia
menyesal karena selama di dunia tidak menggunakan akalnya. Allah swt. berfirman,

“Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu)
niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” Al Mulk:10

Dari sini nampak bahwa yang membedakan antara manusia dan mahluk lainnya adalah karena
manusia Allah bekali akal. Dan di antara ciri orang-orang berakal bahwa ia selalu menegakkan
kedamaian dalam hidupnya terutama minimal dalam rumah tangganya. Maka ketika ia tidak bisa
membangun kedamaian dalam rumah tangganya, bisa dipastikan ia akan gagal dalam lapangan
kehidupan yang lain.

Bila seseorang gagal dalam rumah tangga otomatis ia menyesal. Menyesal karena telah menyia-
nyiakan kesempatan untuk berbuat baik selama di dunia. Penyesalan itu terjadi kelak setelah ia
tahu bahwa ternyata Allah tidak menyia-nyiakan sekecil apapun yang dilakukan manusia.
Famayya’mal mitsqaal dzarratin khairay yarah wamay ya’mal mitsqaala dzarratin syarray
yarah (Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia
akan melihat (balasan) nya pula.” Qs. Az Zalzalah:7-8.
Kesadaran akhirat seperti inilah yang harus selalu dicamkan oleh setiap suami istri, karena hanya
dengan kesadaran ini semua prilaku akan menjadi baik dan rumah tangga akan dijalankan
dengan penuh tanggung jawab. Wallahu’ alam bishshwab.

Keluarga Sakinah Dalam Masalah


Baitul Muslim
17/2/2007 | 28 Muharram 1428 H | Hits: 18.996
Oleh: Mochamad Bugi

dakwatuna.com – Kita saat ini ada di tengah arus deras pergeseran nilai sosial dalam
masyarakat kita. Pergeseran nilai sosial tampak pada kecenderungan makin permisifnya
keluarga-keluarga di masyarakat kita. Keluarga tidak lagi dilihat sebagai ikatan spiritual yang
menjadi medium ibadah kepada Sang Pencipta. Kawin-cerai hanya dilihat sebatas proses formal
sebagai kontrak sosial antara dua insan yang berbeda jenis. Perkawinan kehilangan makna sakral
dimana Allah menjadi saksi atas ijab-kabul yang terjadi.

Ini bertolak belakang dengan adagium yang menyatakan keluarga adalah garda terdepan dalam
membangun masa depan bangsa peradaban dunia. Dari rahim keluarga lahir berbagai gagasan
perubahan dalam menata tatanan masyarakat yang lebih baik. Tidak ada satu bangsa pun yang
maju dalam kondisi sosial keluarga yang kering spiritual, atau bahkan sama sekali sudah tidak
lagi mengindahkan makna religiusitas dalam hidupnya. Karena itu, Al-Qur’an memuat ajaran
tentang keluarga begitu komprehensif, mulai dari urusan komunikasi antar individu dalam
keluarga hingga relasi sosial antar keluarga dalam masyarakat.

Banyak memang problema yang biasa dihadapi keluarga. Tidak sedikit keluarga yang menyerah
atas “derita” yang sebetulnya diciptakannya sendiri. Di antaranya memilih perceraian sebagai
penyelesaian. Kasus-kasus faktual tentang itu ada semua di masyarakat kita. Dan, masih banyak
lagi kegelisahan yang melilit keluarga-keluarga di masyarakat kita. Namun, umumnya
kegelisahan itu diakibatkan oleh menurunnya kemampuan mereka menemukan alternatif ketika
menghadapi masalah yang tidak dikehendaki. Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk
mencari kunci yang bisa mengokohkan bangun keluarga kita dari hempasan arus zaman yang
serba menggelisahkan. Dan, kata kunci itu adalah sakinah.

Makna Sakinah

Istilah “sakinah” digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan kenyamanan keluarga. Istilah ini
memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun” yang berarti tempat tinggal. Jadi, mudah
dipahami memang jika istilah itu digunakan Al-Qur’an untuk menyebut tempat berlabuhnya
setiap anggota keluarga dalam suasana yang nyaman dan tenang, sehingga menjadi lahan subur
untuk tumbuhnya cinta kasih (mawaddah wa rahmah) di antara sesama anggotanya.

Di Al-Qur’an ada ayat yang memuat kata “sakinah”. Pertama, surah Al-Baqarah ayat 248.

ُ َ‫ك آ‬ ْ َ
‫سى‬َ ‫مو‬ ُ ‫ل‬ َ ‫ما ت ََر‬ّ ‫م‬ ِ ‫ة‬ٌ ّ ‫قي‬
ِ َ ‫م وَب‬ْ ُ ‫ن َرب ّك‬
ْ ‫م‬
ِ ‫ة‬ ٌ َ ‫كين‬ِ ‫س‬
َ ِ‫ت ِفيه‬ ُ ُ ‫ن ي َأت ِي َك‬
ُ ‫م الّتاُبو‬ ْ ‫مل ْك ِهِ أ‬ َ َ ‫ن آ َي‬
ُ ‫ة‬ ّ ِ‫م إ‬ ْ ُ‫ل ل َه‬
ْ ُ‫م ن َب ِي ّه‬ َ ‫وََقا‬
ِ ْ ‫مؤ‬
‫مِني‬ ُ ُ َ َ َ َ
ً َ ‫ن ِفي ذ َل ِك لي‬ َ َ ْ ُ َ
ُ ‫وَآ‬
ُ ‫م‬ْ ُ ‫ن كن ْت‬ ْ ِ‫م إ‬ ْ ‫ة لك‬ ّ ِ‫ة إ‬ ُ ‫ملئ ِك‬ َ ‫ه ال‬
ُ ‫مل‬ ِ ‫ح‬
ْ َ‫ن ت‬
َ ‫هاُرو‬َ ‫ل‬

Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja,
ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa
dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat.”

Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat yang membawa ketenangan bagi mereka. ayat di
atas menyebut, di dalam peti tersebut terdapat ketenangan –yang dalam bahasa Al-Qur’an
disebut sakinah. Jadi, menurut ayat itu sakinah adalah tempat yang tenang, nyaman, aman,
kondusif bagi penyimpanan sesuatu, termasuk tempat tinggal yang tenang bagi manusia.

Kedua, al-sakinah disebut dalam surah Al-Fath ayat 4.

‫ت‬
ِ ‫ماَوا‬َ ‫س‬ ّ ‫جُنود ُ ال‬ُ ِ‫م وَل ِل ّه‬
ْ ِ‫مان ِه‬
َ ‫معَ ِإي‬
َ ‫ماًنا‬
َ ‫دوا ِإي‬
ُ ‫دا‬
َ ‫ن ل ِي َْز‬
َ ‫مِني‬ ُ ْ ‫ب ال‬
ِ ْ ‫مؤ‬ ِ ‫ة ِفي قُُلو‬
َ َ ‫كين‬
ِ ‫س‬ َ ‫ذي أ َن َْز‬
ّ ‫ل ال‬ ِ ّ ‫هُوَ ال‬
َ
‫ما ح‬ ُ ّ ‫ن الل‬
ً ‫ه ع َِلي‬ َ َ‫َواْلْرض و‬
َ ‫كا‬ ِ
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan
Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Di ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai ketenangan yang sengaja Allah turunkan ke
dalam hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini merupakan suasana psikologis yang melekat
pada setiap individu yang mampu melakukannya. Ketenangan adalah suasana batin yang hanya
bisa diciptakan sendiri. Tidak ada jaminan seseorang dapat menciptakan suasana tenang bagi
orang lain.

Jadi, kata “sakinah” yang digunakan untuk menyifati kata “keluarga” merupakan tata nilai yang
seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan keluarga yang dapat
memberikan kenyamanan dunia sekaligus memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah
tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarga. Keluarga menjadi
tempat kembali ke mana pun anggotanya pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh
percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat.

Dengan cara pandang itu, kita bisa pastikan bahwa akar kasus-kasus yang banyak melilit
kehidupan keluarga di masyarakat kita adalah karena rumah sudah tidak lagi nyaman untuk
dijadikan tempat kembali. Suami tidak lagi menemukan suasana nyaman di dalam rumah,
demikian pula istri. Bahkan, anak-anak sekarang lebih mudah menemukan suasana nyaman di
luar rumah. Maka, sakinah menjadi hajat kita semua. Sebab, sakinah adalah konsep keluarga
yang dapat memberikan kenyamanan psikologis –meski kadang secara fisik tampak jauh di
bawah standar nyaman.

Membangun Kenyamanan Keluarga

Kenyamanan dalam keluarga hanya dapat dibangun secara bersama-sama. Tidak bisa bertepuk
sebelah tangan. Melalui proses panjang, setiap anggota keluarga saling menemukan kekurangan
dan kelebihan masing-masing. Penemuan itulah yang harus menjadi ruang untuk saling mencari
keseimbangan. Makanya, keluarga sekolah yang tiada batas waktu. Di sama terjadi proses
pembelajaran secara terus menerus untuk menemukan formula yang lebih tepat bagi kedua belah
pihak, baik suami-istri, maupun anak-orangtua.

Proses belajar itu akan mengungkap berbagai misteri keluarga. Lebih-lebih ketika kita akan
belajar tentang baik-buruk kehidupan keluarga dan rumah tangga. Tidak banyak buku yang
memberi solusi jitu atas problema keluarga. Sebab, ilmu membina keluarga lebih banyak
diperoleh dari pengalaman. Maka tak heran jika keluarga sering diilustrasikan sebagai perahu
yang berlayar melawan badai samudra. Kita dapat belajar dari pengalaman siapa pun.
Pengalaman pribadi untuk tidak mengulangi kegagalan, atau juga pengalaman orang lain selama
tidak merugikan pelaku pengalaman itu.

Masalah demi masalah yang dilalui dalam perjalanan sejak pertama kali menikah adalah
pelajaran berharga. Kita dapat belajar dari pengalaman orang tentang memilih pasangan ideal,
menelusuri kewajiban-kewajiban yang mengikat suami-istri, atau tentang penyelesaian masalah
yang biasa dihadapi keluarga. Semuanya sulit kita dapat dari buku. Hanya kita temukan pada
buku kehidupan. Bagaimana kita dapat memahami istri yang gemar buka rahasia, atau
menghadapi suami yang berkemampuan seksual tidak biasa. Dan masih banyak lagi masalah
keluarga yang seringkali sulit ditemukan jalan penyelesaiannya. Jadi, memang tepat jika rumah
tangga itu diibaratkan perahu, sebab tak henti-hentinya menghadapi badai di tengah samudra luas
kehidupan.

Rumah tangga juga dua sisi dari keping uang yang sama: bisa menjadi tambang derita yang
menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga yang mencerahkan. Kedua sisi itu rapat
berhimpitan satu sama lain. Sisi yang satu datang pada waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang
menyusul kemudian. Yang satu membawa petaka, yang lainnya mengajak tertawa. Tentu saja,
siapa pun berharap rumah tangga yang dijalani adalah rumah tangga yang memancarkan
pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya. Rumah tangga yang benar-benar menghadirkan
atmosfir surga: keindahan, kedamaian, dan keagungan. Ini adalah rumah tangga dengan seorang
nakhoda yang pandai menyiasati perubahan.

Rumah menjadi panggung yang menyenangkan untuk sebuah pentas cinta kasih yang diperankan
oleh setiap penghuninya. Rumah juga menjadi tempat sentral kembalinya setiap anggota
keluarga setelah melalui pengembaraan panjang di tempat mengadu nasibnya masing-masing.
Hanya ada satu tempat kembali, baik bagi anak, ibu, maupun bapak, yaitu rumah yang mereka
rasakan sebagai surga. Bayangkan, setiap hari jatuh cinta. Anak selalu merindukan orang tua,
demikian pula sebaliknya. Betapa indahnya taman rumah tangga itu. Sebab, yang ada hanya cinta
dan kebaikan. Kebaikan inilah yang sejatinya menjadi pakaian sehari-hari keluarga. Dengan
pakaian ini pula rumah tangga akan melaju menempuh badai sebesar apapun. Betapa indahnya
kehidupan ketika ia hanya berwajah kebaikan. Betapa bahagianya keluarga ketika ia hanya
berwajah kebahagiaan.

Tetapi, kehidupan rumah tangga acapkali menghadirkan hal yang sebaliknya. Bukan kebaikan
yang datang berkunjung, melainkan malapetaka yang kerap merundung. Suami menjadi bahan
gunjingan istri, demikian pula sebaliknya. Anak tidak lagi merindukan orang tua, dan orang tua
pun tidak lagi peduli akan masa depan anaknya. Bila sudah demikian halnya, bukan surga lagi
yang datang, melainkan neraka yang siap untuk membakar. Benar, orang tua tidak punya hak
membesarkan jiwa anak-anaknya, dan mereka hanya boleh membesarkan raganya. Tapi raga
adalah cermin keharmonisan komunikasi yang akan berpengaruh pada masa depan jiwa dan
kepribadian mereka.

Lunturnya Semangat Sakinah

Membangun sakinah dalam keluarga, memang tidak mudah. Ia merupakan bentangan proses
yang sering menemui badai. Untuk menemukan formulanya pun bukan hal yang sederhana.
Kasus-kasus keluarga yang terjadi di sekitar kita dapat menjadi pelajaran penting dan menjadi
motif bagi kita untuk berusaha keras mewujudkan indahnya keluarga sakinah di rumah kita.

Ketika seseorang tersedu mengeluhkan sepenggal kalimat, “Suami saya akhir-akhir ini jarang
pulang”, tidak sulit kita cerna maksud utama kalimatnya. Sebab, kita menemukan banyak kasus
yang hampir sama, atau bahkan persis sama, dengan kasus yang menimpa wanita pengungkap
penggalan kalimat tadi.

Penggalan kalimat di atas bukan satu-satunya masalah yang banyak dikeluhkan istri. Masih
banyak. Tapi kalau ditelusuri akar masalahnya sama: “tidak tahan menghadapi godaan”. Godaan
itu bisa datang kepada suami, bisa juga menggedor jagat batin istri. Karena godaan itu pula, siapa
pun bisa membuat seribu satu alasan. Ada yang mengatakannya sudah tidak harmonis, tidak bisa
saling memahami, ingin mendapat keturunan, atau tidak pernah cinta.

Payahnya, semakin hari godaan akibat pergeseran nilai sosial semakin menggelombang dan
menghantam. Sementara, ketahanan keluarga semakin rapuh karena ketidakpastian pegangan.
Maka, kita dapati kasus-kasus di mana seorang ibu kehilangan kepercayaan anak dan suaminya.
Seorang bapak yang tidak lagi berwibawa di hadapan anak dan istrinya. Anak yang lebih erat
dengan ikatan komunitas sebayanya. Bapak berebut otoritas dalam keluarga dengan istrinya,
serta istri yang tidak berhenti memperjuangkan hak kesetaraan di hadapan suami. Semua punya
argumentasi untuk membenarkan posisinya. Semua tidak merasa ada yang salah dengan semua
kenyataan yang semakin memprihatinkan itu.

Tapi benarkah perubahan zaman menjadi sebab utama terjadinya pergeseran nilai dalam rumah
tangga? Lalu, mengapa keluarga kita tidak lagi sanggup bertahan dengan norma-norma dan jati
diri keluarga kita yang asli? Bukankah orang tua-orang tua kita telah membuktikan bahwa
norma-norma yang mereka anut telah berhasil mengantarkan mereka membentuk keluarga
normal dan berbudaya, bahkan berhasil membentuk diri kita yang seperti sekarang ini? Lantas,
kenapa kita harus larut dengan segala riuh-gelisah perubahan zaman yang kadang
membingungkan?

Transformasi budaya memang tidak mudah, bahkan tidak mungkin, kita hindari. Arusnya deras
masuk ke rumah kita lewat media informasi dan komunikasi. Kini, setiap sajian budaya yang kita
konsumsi dari waktu ke waktu, diam-diam telah menjadi standar nilai masyarakat kita. Ukuran
baik-buruk tidak lagi bersumber pada moralitas universal yang berlandaskan agama, tapi lebih
banyak ditentukan oleh nilai-nilai artifisial yang dibentuk untuk tujuan pragmatis dan bahkan
hedonis. Tanpa kita sadari, nilai-nilai itu kini telah membentuk perilaku sosial dan menjadi
anutan keluarga dan masyarakat kita. Banyak problema keluarga yang muncul di sekitar kita
umumnya menggambarkan kegelisahan yang diwarnai oleh semakin lunturnya nilai-nilai agama
dan budaya masyarakat. Masyarakat kini seolah telah berubah menjadi “masyarakat baru”
dengan wujud yang semakin kabur.

Gaya hidup remaja yang berujung pada fenomena MBA (married by accident) telah jadi model
terbaru yang digemari banyak pasangan. Pernikahan yang dianjurkan Nabi menjadi jalan terakhir
setelah menemukan jalan buntu. Sementara perceraian yang dibenci Nabi justru menjadi pilihan
yang banyak ditempuh untuk menemukan solusi singkat. Kenyataan ini merupakan bagian kecil
dari proses modernisasi kehidupan yang berlangsung tanpa kendali etika. Akibatnya, struktur
fungsi yang sejatinya diperankan oleh masing-masing anggota keluarga tampak semakin kabur.

Seorang anak kehilangan pegangan. Ibu-bapaknya terlalu sibuk untuk sekadar menyapa anak-
anaknya. Anak pun dewasa dengan harus menemukan jalan hidupnya sendiri. Mencari sendiri ke
mana harus memperoleh pengetahuan, dan harus mendiskusikan sendiri siapa calon
pendampingnya. Semuanya berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika sendi-sendi keluarga itu telah
kehilangan daya perekatnya dan masing-masing telah menemukan jalan hidupnya yang berbeda-
beda, maka bangunan “baiti jannati”, rumahku adalah surgaku, akan semakin menjauh dari
kenyataan. Itu menjadi mimpi yang semakin sulit terwujud. Bahkan, menjadi mimpi yang tidak
pernah terpikirkan. Yang ada hanyalah “neraka” yang tidak henti-hentinya membakar suasana
rumah tangga.

Satu lagi yang sering menjadi akar bencana keluarga, yaitu anak. Dunia anak adalah dunia yang
lebih banyak diwarnai oleh proses pencarian untuk menemukan apa-apa yang menurut perasaan
dan pikirannya ideal. Dunia ideal sendiri, baginya, adalah dunia yang ada di depan matanya,
yang karenanya ia akan melakukan pengejaran atas dasar kehendak pribadi. Akan tetapi, di sisi
lain, perkembangan psikologis yang sedang dilaluinya juga masih belum mampu memberikan
alternatif secara matang terutama berkaitan dengan standar nilai yang dikehendakinya. Karena
itu, selama proses yang dilaluinya, hampir selalu ditemukan berbagai perubahan sesuai dengan
tuntutan lingkungan tempat di mana anak itu berkembang. Di sinilah proses bimbingan itu
diperlukan, terutama dalam ikut menemukan apa yang sesungguhnya mereka butuhkan.

Guru di sekolah ataupun orang tua di rumah, secara tidak sadar, seringkali menjadi sosok yang
begitu dominan dalam menentukan masa depan anak. Padahal, guru ataupun orang tua bukanlah
segala-galanya bagi perkembangan dan masa depan anak. Proses pendidikan, dengan demikian,
pada dasarnya merupakan proses bimbingan yang memerdekakan sekaligus mencerahkan. Proses
seperti itu berlangsung alamiah dalam kehidupan yang bebas dari ikatan-ikatan yang justru tidak
mendidik. Dalam kerangka seperti inilah, maka keluarga bisa berperan sebagai lembaga yang
membimbing dan mencerahkan, atau juga sebaliknya. Jika tidak tepat memainkan peran yang
sesungguhnya, bisa saja berfungsi sebagai penjara yang hanya mampu menanamkan disiplin
semu. Anak-anak bisa menjadi manusia yang paling shalih di rumah, tetapi menjadi binatang liar
ketika keluar dari dinding-dinding rumah dan terbebas dari pengawasan orang tua.

Dalam situasi seperti inilah, anak mulai mencari kesempatan untuk memenuhi kebuntuan
komunikasi yang dirasakannya semakin kering dan terbatas. Sebab berkomunikasi untuk saling
menyambungkan rasa antar anggota keluarga merupakan kebutuhan dasar yang menuntut untuk
selalu dipenuhi. Konsekuensinya, ketidaktersediaan aspek ini dalam keluarga dapat berakibat
pada munculnya ketidakseimbangan psikologi yang pada gilirannya dapat saja mengakibatkan
terjadinya penyimpangan-penyimpangan sosial seperti apa yang terjadi di masyarakat sekitar
kita. Inilah di antara kerusakan akibat lunturnya atmosfir sakinah dalam keluarga.

Empat Kunci Rumah Tangga Harmonis


Baitul Muslim
29/1/2007 | 10 Muharram 1428 H | Hits: 40.024
Oleh: Mochamad Bugi

dakwatuna.com – Harmonis adalah perpaduan dari berbagai warna karakter yang membentuk
kekuatan eksistensi sebuah benda. Perpaduan inilah yang membuat warna apa pun bisa cocok
menjadi rangkaian yang indah dan serasi.

Warna hitam, misalnya, kalau berdiri sendiri akan menimbulkan kesan suram dan dingin. Jarang
orang menyukai warna hitam secara berdiri sendiri. Tapi, jika berpadu dengan warna putih, akan
memberikan corak tersendiri yang bisa menghilangkan kesan suram dan dingin tadi. Perpaduan
hitam-putih jika ditata secara apik, akan menimbulkan kesan dinamis, gairah, dan hangat.

Seperti itulah seharusnya rumah tangga dikelola. Rumah tangga merupakan perpaduan antara
berbagai warna karakter. Ada karakter pria, wanita, anak-anak, bahkan mertua. Dan tak ada satu
pun manusia di dunia ini yang bisa menjamin bahwa semua karakter itu serba sempurna. Pasti
ada kelebihan dan kekurangan.
Nah, di situlah letak keharmonisan. Tidak akan terbentuk irama yang indah tanpa adanya
keharmonisan antara nada rendah dan tinggi. Tinggi rendah nada ternyata mampu melahirkan
berjuta-juta lagu yang indah.

Dalam rumah tangga, segala kekurangan dan kelebihan saling berpadu. Kadang pihak suami
yang bernada rendah, kadang isteri bernada tinggi. Di sinilah suami-isteri dituntut untuk
menciptakan keharmonisan dengan mengisi kekosongan-kekosongan yang ada di antar mereka.

Ada empat hal yang mesti diperhatikan untuk menciptakan keharmonisan rumah
tangga.keempatnya adalah:

1. Jangan melihat ke belakang

Jangan pernah mengungkit-ungkit alasan saat awal menikah. “Kenapa saya waktu itu mau
nerima aja, ya? Kenapa nggak saya tolak?” Buang jauh-jauh lintasan pikiran ini.

Langkah itu sama sekali tidak akan menghasilkan perubahan. Justru, akan menyeret
ketidakharmonisan yang bermula dari masalah sepele menjadi pelik dan kusut. Jika rasa
penyesalan berlarut, tidak tertutup kemungkinan ketidakharmonisan berujung pada perceraian.

Karena itu, hadapilah kenyataan yang saat ini kita hadapi. Inilah masalah kita. Jangan lari dari
masalah dengan melongkok ke belakang. Atau, na’udzubillah, membayangkan sosok lain di luar
pasangan kita. Hal ini akan membuka pintu setan sehingga kian meracuni pikiran kita.

2. Berpikir objektif

Kadang, konflik bisa menyeret hal lain yang sebetulnya tidak terlibat. Ini terjadi karena konflik
disikapi dengan emosional. Apalagi sudah melibatkan pihak ketiga yang mengetahui masalah
internal rumah tangga tidak secara utuh.

Jadi, cobalah lokalisir masalah pada pagarnya. Lebih bagus lagi jika dalam memetakan masalah
ini dilakukan dengan kerjasama dua belah pihak yang bersengketa. Tentu akan ada inti masalah
yang perlu dibenahi.

Misalnya, masalah kurang penghasilan dari pihak suami. Jangan disikapi emosional sehingga
menyeret masalah lain. Misalnya, suami yang tidak becus mencari duit atau suami dituduh
sebagai pemalas. Kalau ini terjadi, reaksi balik pun terjadi. Suami akan berteriak bahwa si isteri
bawel, materialistis, dan kurang pengertian.

Padahal kalau mau objektif, masalah kurang penghasilan bisa disiasati dengan kerjasama semua
pihak dalam rumah tangga. Tidak tertutup kemungkinan, isteri pun ikut mencari penghasilan,
bahkan bisa sekaligus melatih kemandirian anak-anak.

3. Lihat kelebihan pasangan, jangan sebaliknya


Untuk menumbuhkan rasa optimistis, lihatlah kelebihan pasangan kita. Jangan sebaliknya,
mengungkit-ungkit kekurangan yang dimiliki. Imajinasi dari sebuah benda, bergantung pada
bagaimana kita meletakkan sudut pandangnya.

Mungkin secara materi dan fisik, pasangan kita mempunyai banyak kekurangan. Rasanya sulit
sekali mencari kelebihannya. Tapi, di sinilah uniknya berumah tangga. Bagaimana mungkin
sebuah pasangan suami isteri yang tidak saling cinta bisa punya anak lebih dari satu.

Berarti, ada satu atau dua kelebihan yang kita sembunyikan dari pasangan kita. Paling tidak, niat
ikhlas dia dalam mendampingi kita karena Allah sudah merupakan kelebihan yang tiada tara.
Luar biasa nilainya di sisi Allah. Nah, dari situlah kita memandang. Sambil jalan, segala
kekurangan pasangan kita itu dilengkapi dengan kelebihan yang kita miliki. Bukan malah
menjatuhkan atau melemahkan semangat untuk berubah.

4. Sertakan sakralitas berumah tangga

Salah satu pijakan yang paling utama seorang rela berumah tangga adalah karena adanya
ketaatan pada syariat Allah. Padahal, kalau menurut hitung-hitungan materi, berumah tangga itu
melelahkan. Justru di situlah nilai pahala yang Allah janjikan.

Ketika masalah nyaris tidak menemui ujung pangkalnya, kembalikanlah itu kepada sang pemilik
masalah, Allah swt. Pasangkan rasa baik sangka kepada Allah swt. Tataplah hikmah di balik
masalah. Insya Allah, ada kebaikan dari semua masalah yang kita hadapi.

Lakukanlah pendekatan ubudiyah. Jangan bosan dengan doa. Bisa jadi, dengan taqarrub pada
Allah, masalah yang berat bisa terlihat ringan. Dan secara otomatis, solusi akan terlihat di depan
mata. Insya Allah!
Agar Pernikahan Membawa Berkah
Baitul Muslim
22/12/2006 | 01 Zulhijjah 1427 H | Hits: 25.342
Oleh: Sri Kusnaeni

400Share
0diggsdigg
48
Comments
Email
Print
dakwatuna.com - Di saat seseorang melaksanakan
aqad pernikahan, maka ia akan mendapatkan banyak ucapan do’a dari para undangan dengan
do’a keberkahan sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW; “Semoga Allah memberkahimu,
dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” Do’a
ini sarat dengan makna yang mendalam, bahwa pernikahan seharusnya akan mendatangkan
banyak keberkahan bagi pelakunya. Namun kenyataannya, kita mendapati banyak fenomena
yang menunjukkan tidak adanya keberkahan hidup berumah tangga setelah pernikahan, baik di
kalangan masyarakat umum maupun di kalangan keluarga du’at (kader dakwah). Wujud
ketidakberkahan dalam pernikahan itu bisa dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat materil
ataupun non materil.

Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari permasalahan ekonomi.
Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan menurunnya
semangat beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi sesungguhnya sangat
mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak membawa kebahagiaan dalam
pernikahannya.

Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang kapasitasnya
walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya orang yang sudah menikah kepribadiannya makin
sempurna; dari sisi wawasan dan pemahaman makin luas dan mendalam, dari segi fisik makin
sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa, trampil dalam berusaha, bersungguh-
sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas kehidupannya sehingga dirasakan manfaat
keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga, sering
muncul konflik suami isteri yang berujung dengan perceraian. Juga muncul anak-anak yang
terlantar (broken home) tanpa arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan narkoba.
Semua itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah tangga.

Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga sebagaimana


tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap diri kita, apakah
kita masih konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu berikut agar tetap
mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?

1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)


Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik. Menikah
merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana diungkap dalam Alqur’an (QS.
Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-Nya
(QS. An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan Sunnah Rasul
dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits : ”Barangsiapa yang
dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk
golonganku” (HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah Rasul,
maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan
kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak menentukan
pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria ad Dien (agama/akhlaq) sebelum hal-
hal lainnya (kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi pernikahan (walimatul
‘urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan (mubadzir), tradisi yang menyimpang
(khurafat) dan kondisi bercampur baur (ikhtilath). Kemudian dalam kehidupan berumah tangga
pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan adab dan akhlaq seperti yang
dicontohkan Rasulullah saw.

Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah
menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan syahwatnya.
Allah SWT akan memberikan pertolong-an kepada mereka yang mengambil langkah ini; “ Tiga
golongan yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah orang yang menikah
karena ingin menjaga kesucian dirinya.” (HR. Tarmidzi)

Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim (syahsiyah
islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga sebagai ladang beramal
dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam
dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu menjadi
rahmatan lil ‘alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim
pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat yang
sejahtera.

2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)

Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling terbuka saat jima’
(bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu adalah sesuatu yang diharamkan. Maka
hakikatnya keterbukaan itu pun harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syu’ur), pemikiran
(fikrah), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing dapat secara
utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri-nya dan dapat memupuk sikap saling percaya
(tsiqoh) di antara keduanya.

Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal menyangkut perasaan dan
keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang
suami/isteri memendam perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk, atau
karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang demikian terjadi hal yang
demikian, hendaknya suami/isteri segera introspeksi (bermuhasabah) dan mengklarifikasi
penyebab masalah atas dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari solusi bersama untuk
penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan maka dapat menyebabkan
interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan potensial menjadi sumber konflik berkepanjangan.

3. Sikap toleran (Tasamuh)

Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan pengalaman hidup
bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam
cara berfikir, memandang suatu permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera (makanan,
pakaian, dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap toleran (tasamuh)
dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena itu masing-masing suami/isteri harus
mengenali dan menyadari kelemahan dan kelebihan pasangannya, kemudian berusaha untuk
memperbaiki kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya. Layaknya sebagai pakaian
(seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka suami/isteri harus mampu mem-
percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan yang ada (capacity building); dan
menutup aurat artinya berupaya meminimalisir kelemahan/kekurangan yang ada.

Prinsip “hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami dan isteri harus
selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak
boleh dipandang secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan
bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan apapun yang ada pada suami
merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa tanggung
jawab bersama untuk memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan yang ada.

Sikap toleran juga menuntut adanya sikap mema’afkan, yang meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu:
(1) Al ‘Afwu yaitu mema’afkan orang jika memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu mema’afkan
orang lain walaupun tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan ampun pada Allah
untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini belum menjadi kebiasaan
yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan suami/isteri kadangkala
menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja “mema’afkan” bukan berarti “membiarkan”
kesalahan terus terjadi, tetapi mema’afkan berarti berusaha untuk memberikan perbaikan dan
peningkatan.

4. Komunikasi (Musyawarah)

Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan rumah
tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Komunikasi sangat
penting, disamping akan meningkatkan jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya
kesalahfahaman.

Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak
menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa dimanfaatkan, sehingga waktu pertemuan
yang sedikit bisa memberikan kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara memberikan
perhatian (empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa jawaban atau
alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan shalat berjama’ah, saat bersama
belajar, saat bersama makan malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat lain dalam
interaksi keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan memanfaatkan sarana
telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.

Alqur’an dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung dalam
keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : “Maka tatkala
anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata; Hai
anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu,
insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi yang timbal balik
antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta pendapat
pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah, adanya
sikap tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal kepada Allah;
sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan kehendak Allah
yang menggantikan Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan besar.

5. Sabar dan Syukur

Allah SWT mengingatkan kita dalam Alqur’an surat At Taghabun ayat 14: ”Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh
bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu mema’afkan dan tidak
memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”

Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana sikap dan tindak tanduk
suami/istri dan anak-anak kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh, misalnya
dalam bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara langsung, tuntutan
uang belanja yang nilainya di luar kemampuan, menuntut perhatian dan waktu yang lebih,
prasangka buruk terhadap suami/isteri, tidak merasa puas dengan pelayanan/nafkah yang
diberikan isteri/suami, anak-anak yang aktif dan senang membuat keributan, permintaan anak
yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya. Jika hal-hal tersebut tidak
dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati, bukan tidak mungkin akan membawa pada
jurang kehancuran rumah tangga.

Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang menjadi musuh, maka
sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran. Merupakan bagian dari kesabaran adalah
keridhaan kita menerima kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar
kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai satu “paket”, dia
dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah dia yang harus kita terima secara utuh,
begitupun penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya.
Ibaratnya kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental (asasi)
untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak berikut:“Pernikahan adalah Fakultas
Kesabaran dari Universitas Kehidupan”. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran akan meraih
banyak keberkahan.
Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga.
Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni neraka adalah kaum wanita,
disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suaminya.

Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami seberapapun besarnya dan
bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan suami orang lain,
adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan anak-anak
dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal masa depan yang harus
dipersiapkan.

Dalam keluarga harus dihidupkan semangat “memberi” kebaikan, bukan semangat “menuntut”
kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan. Inilah wujud tambahnya kenikmatan dari
Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih (QS. Ibrahim:7).

Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan dalam bentuk
mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga menjadi keturunan yang menyejukkan
hati. Keturunan yang mampu mengemban misi risalah dien ini untuk masa mendatang, maka
jangan pernah bosan untuk selalu memanjatkan do’a:

Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang mata,
dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.

Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.

Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.

Do’a diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat (muwashshofat)
ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana diabadikan Allah dalam Alqur’an (QS.
Al-Furqon:74; QS. Ash-Shaafaat:100 ; QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS. Ibrahim:40).
Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap dipandang mata (Qurrota
a’yun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad yang sempurna (thoyyiba),
ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Allah karena misi risalah dien yang diperjuangkannya
(wali radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimash-sholat).

Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat
tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang baik, lingkungan yang
sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam
keseharian, dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan do’a tersebut.

6. Sikap yang santun dan bijak (Mu’asyarah bil Ma’ruf)


Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman, maka pernikahan dan
cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan indah, diantaranya dengan mu’asyarah bil
ma’ruf. Rasulullah saw menyatakan bahwa : “Sebaik-baik orang diantara kamu adalah orang
yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang yang paling baik terhadap
isteriku.” (HR.Thabrani & Tirmidzi)

Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan berumah
tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah. Suasana yang demikian sangat
penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian suasana
untuk betah tinggal di rumah.

Ungkapan yang menyatakan “Baiti Jannati” (Rumahku Syurgaku) bukan semata dapat
diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal, akan tetapi lebih disebabkan
oleh suasana interaktif antara suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun dan bijaksana,
sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta kasih.

Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang mapan. Ketika kondisi
ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia akan bersikap emosional dan marah-marah,
sebab syetan akan sangat mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu Rasulullah saw
mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila muncul amarah
karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristigfar dan mohon perlindungan
Allah (ta’awudz billah), bila masih merasa marah hendaknya berwudlu dan mendirikan shalat.
Namun bila muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap menahan diri dan berilah
ma’af, karena Allah menyukai orang yang suka mema’afkan. Ingatlah, bila karena sesuatu hal
kita telanjur marah kepada anak/isteri/suami, segeralah minta ma’af dan berbuat baiklah
sehingga kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang. Sesungguhnya dampak dari kemarahan
sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah maupun bagi orang yang dimarahi.

7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)

Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan ruhiyah),
sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Ra’du:28. “Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati
akan menjadi tenang”. Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat dipengaruhi
oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada Allah saja (ta’alluq billah).
Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil seseorang dapat mewujudkan
tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri selalu
memanjatkan do’a agar mendapatkan keteguhan hati: “Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbiy
‘alaa diinika wa’ala thoo’atika” (wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku untuk
tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam menta’ati-Mu).

Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah),
sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam segala aktifitasnya (ma’iyatullah) dan selalu
merasa diawasi Allah dalam segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus
dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga untuk
melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan dimutaba’ah bersama, seperti : tilawah, shalat
tahajjud, shaum, infaq, do’a, ma’tsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat menjadi
sarana menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga, dan yang
penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt menjamin orang-orang yang
bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya jalan keluar
(solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”

Wujud indahnya keberkahan keluarga

Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga, baik
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak selalu identik
dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu
tenang (muthma’innah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk kebahagiaan
yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.

Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan dengan 4 (empat)
hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1) Isteri yang sholihah, (2) Rumah yang luas, (3)
Kendaraan yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik.

Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang nyaman tanpa harus
memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar, silaturahmi, atau menempati rumah dan kendaraan
dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi kebahagiaan yang
dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan syurga dengan segala
kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa, dan menjadikan segala apa
yang ada di dunia ini sebagai cobaan.

Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat, dalam wujud dijauhkannya
kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga. Itulah hakikat sukses hidup di dunia
ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam syurga,
maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.”

Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan memerintahkan kita
bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk kedalam syurga; sebagaimana
dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:

“Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan”. (QS, Az-
Zukhruf:70)

“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan,
kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan mereka (di syurga), dan Kami tiada
mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang
dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21).

Inilah keberkahan yang hakiki.

Wahai Wanita Cantik

Engkau sungguh indah…

Bagai bunga mawar yang ketika orang ingin mengambilnya, terlebih dahulu mereka harus
merasakan duri pertahanan diri yang kau punya,

Bagai bunga edelweis yang ketika menginginkanmu, terlebih dahulu mereka harus
mendaki gunung ke arah ketinggian, menantang keberanian dan cuaca yang tak
bersahabat

You might also like