Professional Documents
Culture Documents
PERINGATAN : Dilarang keras memperbanyak artikel ini untuk tujuan komersil, kecuali
untuk kepentingan pendidikan dan penyebaran informasi!
[ARSIP TULISAN A.I.G.?//JURNALSEGIEMPAT.BLOGSPOT.COM] April 9, 2011
"Hoppípolla" (HoppÃpolla) merupakan judul sebuah lagu oleh sebuah band asal Islandia, Sigur
Rós, yang dirilis sebagai single kedua pada tanggal 28 november 2005. Hal yang menarik dari
lagu ini, dan menjadi bahasan dalam Jurnal Segiempat kali ini, adalah mengenai video klip dari
lagu ini. Beberapa penghargaan telah diraih oleh band Sigur Rós ini melalui lagu-lagu dan video-
video klipnya, diantaranya tahun 2003 mendapatkan Best Video pada MTV Europe Awards, juga
menjadi nominasi pada tahun 2003: video of the Year Juno Awards, tahun 2004 Best Alternative
Music Album Grammy Awards, dan tahun 2004 Best Recording Package Grammy Awards[1].
Video musik "Hoppipolla" yang dinyanyikan oleh Sigur Rós, dibuat tahun 2005 dengan
sutradaranya, Arni & Kinski. Karya video ini merupakan sebuah karya yang dapat ditangkap
secara berbeda maknanya oleh penonton, tergantung dari bagaimana penonton melihat dan
menginterpretasikannya. Video musik ini dapat kita katakan sebagai salah satu contoh video
yang baik, karena keberhasilannya menampilkan adegan/tayangan yang dituntut harus ada dalam
sebuah video sebagai karya seni audiovisual. Hal ini dapat kita lihat dari keseluruhan gambar-
gambar yang diberikan, bahkan ketika video ini dimulai sudah ditemukan sebuah tanda-tanda
yang bagus untuk sebuah video. Awal video musik[2] ini memperlihatkan seseorang yang
sedang melangkah ke arah kiri (dilihat dari sudut penonton) dengan pasti. Gambar yang
ditayangkan awalnya hanya bagian dari lutut hingga tapak kaki.
Secara umum, dapat saja kita simpulkan filosofisnya, bahwa arah melangkah ini
menandakan sebuah cerita keseharian yang baru saja dimulai; orang-orang tersebut melangkah
maju ke depan (meskipun umumnya dalam filem, arah kiri ke kanan merupakan tanda yang
paling umum digunakan untuk menyiratkan kedatangan/awal mula, tetapi dalam konteks ini,
tanda tersebut dapat dibalik). Setelah adegan ini, barulah diperlihatkan sekumpulan orang
(sekelompok lansia) berjalan ke arah kamera. Kita melihat bahwa mereka melangkah ke depan;
berangkat menuju suatu tempat untuk bersiap-siap melakukan kegiatan di hari itu.
MV Hoppipolla bercerita tentang sekelompok orang tua yang melakukan tindakan brutal
(kenakalan/vandalisme) yang biasa dilakukan oleh anak-anak. Mulai dari mencoret-coret
dinding, iseng melemparkan sebuah petasan kepada seorang laki-laki (berusia produktif) yang
sedang membetulkan sepedanya, mengetuk pintu rumah orang lalu lari bersembunyi, menguntil
di minimarket, sampai melakukan perkelahian dengan sekelompok geng lainnya.
Dalam video ini kita juga bisa melihat kepiawaian sutradara dalam menyampaikan
pesan―kalau bukan dikatakan sebagai gambar yang puitis―visual kepada penonton. Sekilas,
mungkin saja kita melihat segerombolan orang yang sudah lanjut usia berkelahi atau melakukan
tindakan vandalisme (merusak vasilitas umum), tetapi jika kita mengaitkan hal tersebut dengan
bahasan kriminologis, maka dapat diinterpretasikan bahwa orang-orang tua ini sebenarnya
adalah anak-anak yang melakukan delinquency. Tindakan merusak fasilitas umum, mengganggu
orang lain, berkelahi dan berbuat onar merupakan suatu bentuk kenakalan, di mana pelaku
tindakan menyimpang tersebut adalah anak-anak.
Video "Hoppipolla" ini juga sering memperlihatkan orang-orang tua (a.k.a anak-anak)
tersebut dari bayangan mereka yang ada di air kotor yang menggenang di jalanan. Selain itu,
mereka juga melompat-lompat di atas air tersebut.
Sajian gambar visual seperti ini juga akan memunculkan inteprestasi yang berbeda-beda
dari penonton, tergantung dari sudut mana mereka melihat. Terkait dengan hal itu, Kelompok
Diskusi Filem A.I.G.? juga memiliki interprestasi tersendiri dari gambar ini. Sehubungan
dengan delinquency tadi, anak-anak yang pada awalnya melihat bayangan mereka di atas air,
kemudian menceburkan kaki-kaki mereka kedalam genangan air tersebut, seolah-olah mereka
menginjak-injak bayangan tersebut. Menurut pemahaman kami, anak-anak yang diperankan oleh
orang tua tersebut sedang dalam tahap mencari jati diri mereka. Anak-anak ini yakin bahwa
mereka mampu berbuat seperti apa yang mereka inginkan. Bayangan dalam genangan air
tersebut dianggap sebagai “diri” mereka, sebagaimana yang diinginkan oleh orang dewasa. Diri
yang dimaksud adalah “Diri” yang ditemukan melalui tanggapan orang lain, yang oleh Cooley
diistilahkan sebagai “diri cerminan orang lain/cermin diri” (1902, Horton, 1993). Oleh karena
itu, mereka menginjak bayangan tersebut dengan maksud untuk menunjukkan eksistensi mereka
sebagai “seseorang” yang bebas dan benar menurut pemikiran mereka masing-masing. Pada
adegan tersebut, kita juga dapat melihat bahwa bayangan tersebut sedang melihat ke depan.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, arah bayangan ini menunjukkan bahwa mereka
sedang menuju masa depan, memiliki semanngat yang masih membara menuju tujuan akhir yang
mereka inginkan.
http://risyad-vikingpantura.blogspot.com/2010/12/viking.html
Pembuatan video ini juga melibatkann unsur sejarah dan budaya negara Islandia, di mana
simbol-simbol yang berhubungan dengan kebiasaan atau fenomena sosial yang dihadapi
masyarakat Islandia dahulu dipertunjukkan dalam video. Kostum yang dikenakkan oleh salah
seorang dari anggota geng tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa dahulunya masyarakat
Islandia dikenal dengan bajak lautnya. Kelompok bajak laut ini bernama Viking.
Mereka memanggil diri mereka sebagai Norsemen (orang utara), sedangkan sumber-
sumber utama Russia dan Bizantium menyebut mereka dengan nama Varangian.
[4] Sampai sekarang orang Skandinavia modern masih merujuk kepada diri mereka
sebagai nordbo (penduduk utara).
Lawan yang mereka hadapi adalah sekelompok geng yang dipimpin oleh orang yang
mengenakan topi, seperti topi seorang marinir (angkatan laut), yang menjadi musuh bebuyutan
dari para perompak.
Kedua kelompok ini melakukan aksi serang-menyerang dan akhirnya berkelahi dalam
jarak dekat. Dalam MV ini kelompok marinir menyerang dengan balon yang berisi air,
sedangkan kelompok bajak laut mengunakan tanah lumpur untuk menyerang. Terlihat perbedaan
alat perang yang dipergunakan oleh kedua kelompok tersebut, di mana kelompok marinir secara
faktual kita nilai sebagai kelompok yang lebih elit.
Pada bagian akhir video ini memilki setting di daerah pemakaman, di mana di sanalah
kedua kelompok ini melakukan aksi perkelahian (peperangan). Salah seorang anggota dalam
kelompok bajak laut dipukul sampai berdarah oleh kelompok mariner, yang kemudian
menyebabkan kelompok marinir melarikan diri ketika melihat musuhnya terluka. Adegan
tersebut menjadi sebuah gambaran dari kecenderungan anak-anak nakal, yang lempar batu
sembunyi tangan; melakukan suatu kenakalan tanpa pikir panjang, kemudian lari dari kesalahan
mereka agar tidak kena marah oleh orang dewasa, seperti misalnya jikalau mereka membuat
teman sepermainan terluka.
Kelompok Diskusi Filem A.I.G.? menilai bahwa sutradara MV Hoppipolla ini adalah seorang
sutradara yang baik, tidak hanya dari segi pengambilan tema dan gambar saja. Dari sisi teknik,
dapat dilihat―berdasarkan berbagai penjelasan di atas―bahwa sang sutradara konsisten dengan
apa yang telah dibuatnya. Akhir dari video ini memperlihatkan sebuah akhir yang sempurna, di
mana penonton dapat menebak dengan jelas bahwa video ini telah berkahir. Gambar kelompok
bajak laut yang pulang disuguhkan dengan menarik yang konsisten dengan prinsip;
pemberitahuan awal dan akhir bukan dengan kata-kata atau tulisan, tetapi dengan bahasa gambar.
Pada awal video dimulai, kelompok bajak laut ini datang dari arah kanan ke kiri maupun ke arah
depan, kemudian diakhir video ditampilkan gambar kelompok bajak laut yang membelakangi
kamera (sisi penonton) melangkah menuju arah kanan.
Secara umum yang digambarkan dalam video ini adalah tentang orang tua yang sudah berusia
lanjut melakukan tindakan-tindakan yang biasanya hanya dilakukan oleh anak-anak. Bahkan
beberapa tindakannya bisa digolongkan kepada kenakalan anak (juvenile delinquency).
Tingkah laku anak-anak yang dikatakan nakal juga tergantung kepada orang-orang yang
memandang tindakan dari anak-anak tersebut yang disebut sebagai sebuah kenakalan.
Bagaimanapun anak-anak pada umumnya mempunyai cara sendiri untuk mengungkapkan
keinginan atau hal yang mereka ingin lakukan dengan tanpa memikirkan apakah hal tersebut
bertentangan dengan kontruksi masyarakat atau tidak.
dengan sebutan vandalism yang artinya tindakan membinasakan atau merosakkan harta benda
awam atau harta benda orang lain. Termasuk dalam hal ini adalah melakukan tindakan seperti
mencoret-coret dinding atau tembok jalanan, rumah, dan bangunan lainnya[5]. Dalam beberapa
konteks vandalisme ini ditunjukan oleh anak-anak atau remaja sebagai upaya mengekspresikan
apa yang mereka inginkan. Tidak jarang coretan-coretan yang mereka buat menampilkan seni
dan keindahan.
Dalam teori kriminologi hal ini disebut sebagai suatu proses labeling yang muncul karena
adanya interaksionisme simbolik. Pemberian cap ini melalui proses interaksi sosial. Dalam hal
ini juga terdapat kaitannya dengan penggunaan stigma oleh seseorang (dewasa) kepada tindakan
anak-anak yang cenderung melakukan kenakalan. Dalam video ini tokoh pemerannya adalah
orang tua yang bertingkah seperti anak-anak, dan orang-orang yang menjadi korban kejahilan
mereka adalah orang-orang muda (orang yang memperbaiki sepeda dan pemuda yang bel
rumahnya dibunyikan). Dalam adegan tersebut bisa diinterpretasikan mempunyai unsur sindiran
bahwasanya yang cenderung memberikan label bahwa tindakan tertentu yang dilakukan anak-
anak merupakan kenakalan adalah orang dewasa dalam usia produktif. Teori stigma
mengungkapkan bahwa reaksi sosial masyarakat terhadap perilaku menyimpang dan aktor yang
terlibat dalam perilaku seperti itu merupakan unsur utama dalam menentukan kriminalitas dari
orang dan perilaku.
Di satu sisi, menyaksikan video dari lagu "Hoppipola" ini, juga memunculkan interpretasi
yang berbeda dari cara kita melihatnya. Terlepas dari teori tentang juvenile delinquency, tindakan
yang dilakukan oleh lansia itu bisa dikatakan sebagai sebuah gambaran dari pemikiran Teori
Perkembangan Psikososial, yang digagas oleh Erik Erikson, khususnya pada tahap ke delapan,
yaitu integrity vs depair (integritas vs putus asa) yang terjadi selama masa akhir dewasa (60an
tahun). Selama fase ini, seseorang cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.
Dimana dalam teori ini dijelaskan bahwasanya orang tua bisa kembali kepada sifat anak-anak
ketika dia sudah berusia lanjut, hal ini seperti terjadinya siklus dalam perkembangan psikologis
manusia tersebut.
Persoalan yang ada di dalam video ini bisa dikaitkan dengan kenakalan anak-anak dalam
kelompok geng. M. Frederic Thrasher (1927: 46) menyatakan bahwa geng dipelajari secara
sistematis, dengan menganalisis aktivitas geng dan perilaku. Ia mendefinisikan geng sebagai
proses mereka berjalan sendiri melalui sebuah cara dengan membentuk grup:
"Geng adalah kelompok yang awalnya dibentuk secara spontan, dan kemudian
diintegrasikan melalui konflik. Hal ini ditandai oleh jenis perilaku berikut:.. Muka
bertemu muka, penggilingan, gerakan melalui ruang sebagai sebuah unit, konflik, dan
perencanaan Hasil perilaku kolektif merupakan pengembangan dari tradisi, struktur
internal unreflective, esprit de corps, solidaritas, moral, kesadaran kelompok, dan
lampiran ke wilayah setempat. "
Thrasher menyatakan bahwa geng muncul secara alami ketika seseorang berusia remaja,
dari kelompok bermain, secara spontan masuk ke berbagai macam kondisi yang rusak. Mereka
menjadi geng ketika mereka menggairahkan ketidaksetujuan dan oposisi, sehingga memperoleh
kelompok yang lebih memastikan kesadaran. Seperti Durkheim dan Merton, Thrasher
menggambarkan bagaimana lingkungan dapat kondusif untuk perilaku kenakalan ini, bahwa
subkultur geng muncul pada retakan, atau "celah," dari sikap mengabaikan perkotaan
dikombinasikan dengan keretakan dalam identitas yang terjadi pada tahun-tahun yang penuh
gejolak masa remaja[6].
Og ég fæ blóðnasir En ég stend alltaf upp ( And I get a nosebleed but I always stand up).
Melihat hal tersebut, reaksi yang muncul dari lawannya adalah merasa ketakutan dan
meninggalkan tempat perkelahian yang dilakukan dalam area kuburan tersebut. Melihat
lawannya kabur, maka reaksi yang ditunjukan selanjutnya adalah senyum bahagia dari kelompok
yang menang.
Sesungguhnya, banyak hal yang dapat dikaji dari video klip ini, baik dilihat dari sisi
konten isi yang bisa dikaitkan dengan kenakalan anak (Juvenile Delinquency), dan apabila
menggali lebih dalam, kita juga bisa mengaitkannya dengan pemaknaan yang diberikan
masyarakat terhadap anak-anak dalam tindakan-tindakan yang dilakukannya.
_________________________
Endnote:
[5] http://www.scribd.com/doc/20619834/Vandalisme
[6] http://en.wikipedia.org/wiki/Subcultural_theory