You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Gagal Jantung Kongestif (Congestive Heart Failure)


Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan suatu keadaan patofisiologis dimana jantung gagal
mempertahankan sirkulasi adekuat untuk kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisisan
cukup. (Paul Wood, 1958). Menurut pendapat yang lain, gagal jantung adalah suatu
sindrom dimana disfungsi jantung berhubungan dengan penurunan toleransi latihan,
insidensi aritmia yang tinggi, dan penurunan harapan hidup. (Jay Cohn, 1988) 1 .
Gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure; CHF) adalah gambaran
sindrom klinik dengan kelainan struktur atau fungsi dari jantung sehingga tidak mampu
untuk memompa darah ke seluruh tubuh dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi
metabolisme tubuh. Berdasarkan “The New york Heart Association (NYHA)” gagal
jantung (CHF) dibagi atas: 2,3
 Kelas I

Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan aktivitas fisik,


dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan sesak napas.

 Kelas II

Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya pembatasan


aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.

 Kelas III

Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya pembatasan


aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan dari kegiatan
biasa sudah memberi gejala lelah, sesak napas.

 Kelas IV
Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan kegiatan
apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat
beristirahat.
Etiologi

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh banyak faktor, infark miokard
adalah penyebab terbanyak, kemudian kardiomiopati, penyakit jantung hipertensi,
kelainan katup, dan penyakit jantung bawaan. Sedangkan faktor-faktor yang dapat
memicu timbulnya gejala-gejala gagal jantung adalah infeksi, aritmia, faktor fisik,
makanan, asupan cairan, faktor lingkungan, emosi, serangan infark miokard, emboli
paru, anemis, tirotoksikosis, kehamilan (preganancy), hipertensi, miokarditis, dan
endokarditis. 2,3,4

Patofisiologi

Mekanisme dasar dari gagal jantung adalah kontraktilitas ventrikel kiri yang
menurun menyebabkan berkurangnya volume sekuncup, dan bertambahnya volume
residu ventrikel. Dengan meningkatnya End Diastolic Volume (EDV) ventrikel, terjadi
peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri, kemudian terjadi pula peningkatan
tekanan atrium kiri, tekanan yang tinggi ini diteruskan ke belakang ke pembuluh darah
paru-paru, sehingga tekanan di kapiler paru dan vena paru meningkat. Apabila terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru, akan terjadi transudasi
cairan ke dalam ruang interstisial paru dan masuk ke alveoli mengakibatkan edema paru,
yang pada akhirnya menyebabkan hipertensi pulmonal yang mengakibatkan peningkatan
tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan, yang akhirnya mengakibatkan bendungan
sistemik dan terjadilah edema yang dimulai pada ekstremitas bawah (edema pretibial
dan dorsum pedis) karena pengaruh gravitasi. 2,3,4

Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan menimbulkan respon


simpatis, denyut dan kontraktilitas jantung akan meningkat, terjadi vasokontriksi arteri
perifer untuk menambah curah jantung. Aktivitas rennin-angiotensin-aldosteron
menyebabkan retensi natium dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel dan
menambah kontraktilitas. Respon kompensantorik terakhir pada gagal jantung adalah
hipertrofi miokkardium atau bertambah tebalnya dinding jantung. Hipertrofi
mengakibatkan peningkatan jumlah sarkomer dalam sel-sel mikokardium. 3,6

Pada awalnya, semua respon kompensantorik pada gagal jantung


menguntungkan, tapi pada akhirnya mekanisme ini dapat menimbulkan gejala, yaitu
retensi cairan yang bertujuan yang bertujuan meningktkan kontraktilitas jantung
menyebabkan edema dan kongestif paru. Vasokontriksi arteri dan redistribusi aliran
darah mengganggu perfusi jaringan pada anyaman vaskuler yang terkena, serta
menimbulkan gejala kurangnya output urine. Vasokontriksi arteri juga meningkatkan
beban akhir dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel, beban akhir juga
meningkat karena adanya dilatasi jantung., akibatnya kerja jantung dan kebutuhan
oksigen miokardium juga meningkat. Hipertropi miokardium dan rangsangan simpatis
lebih lanjut akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Jika peningkatan
kebutuhan oksigen ini tidak dapat dipenuhi dengan peningkatan suplai oksigen
miokardium, maka akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan miokardium lainnya.
Hasil akhir peristiwa yang saling berkaitan ini adalah meningkatkan beban miokardium
dan terus berlangsungnya gagal jantung. 3,6

Hipertropi ventrikel kiri merupakan kompensasi jantung menghadapi tekanan


darah tinggi ditambah dengan factor neurohormonal yang ditandai oleh penebalan
konsentrik otot jantung. Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat gangguan relaksasi
ventrikel kiri kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertropi eksentrik).
Rangsangan simpatis dan aktivitas system RAA memacu mekanisme Frank starling
melalui peningkatan volume diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya
akan terjadi gangguan kontraksi miokard. 3,6

(Dikutip dari kepustakaan 5)


Penegakan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, foto toraks, USG


abdomen, elektrokardiografi, dan ekokardiografi.

Kriteria Framingham dapat juga digunakan untuk diagnosis gagal jantung


kongestif. 2,3,4

KRITERIA MAYOR KRITERIA MINOR


 Paroxysmal nocturnal dyspnea  Edema ekstremitas
 Distensi vena-vena leher  Batuk malam
 Peningkatan vena jugularis  Dyspnea d’effort
 Ronki  Hepatomegali
 Kardiomegali  Efusi pleura
 Edema paru akut  Kapasitas vital berkurang 1/3 dari
 Gallop S3 normal
 Refluks hepatojugular  Takikardia (>120 denyut/menit)
Mayor atau Minor: Penurunan BB > 4.5 kg dalam 5 hari terapi

Pengobatan Gagal Jantung Kongestif

Usaha pertama dalam penanggulangan gagal jantung kongestif ialah mengatasi


sindrom gagal jantung. Kemudian mengobati faktor presipitasi seperti aritmia, anemia,
tirotoksikosis, stress, infeksi, dan lain-lain, dan memperbaiki penyakit penyebab serta
mencegah komplikasi seperti trombo-emboli.1
Pada kasus kronis pengobatan nonfarmakologik seperti memperbaiki oksigenasi
jaringan, membatasi kegiatan fisik sesuai beratnya keluhan, dan diet rendah garam,
cukup kalori dan protein. Kesemuanya ini memegang peranan penting dalam
penanggulangan gagal jantung kongestif kronis atau yang tidak akut.1
Dalam penentuan terapi CHF, ACC/AHA (American College of
Cardiology/.American Heart Associatiom) membuat guideline dimana stadium gagal
jantung diklasifikasikan menjadi Stage A-D berdasarkan ada tidaknya gejala dan
kelainan struktural. Terapi pada setiap stadium berbeda seperti yang dapat dilihat pada
bagan berikut ini:
Guideline ACC/AHA Mengenai Tahap-Tahap Perkembangan Gagal Jantung dan Terapinya

(Dikutip dari kepustakaan 7)

Berdasarkan patofisiologis yanag telah diuraikan sebelumnya, konsep terapi


faramakologis saat ini ditujukan terutama pada ;1
1. Menurunkan afterload dengan ACE-Inhibitor, atau antagonis kalsium (yang
tidak memiliki efek inotropik dan kronotropik negatif).
2. Meningkatkan kontraktilitas jantung melalui pemberian digitalis atau ibopamin.
3. Menurunkan preload melalui pemberian nitrat atau diuretik. Diuretik juga dipakai
sebagai obat untuk mengatasi retensi cairan tubuh.

B. Penyakit Jantung Koroner8

Istilah Penyakit Jantung Koroner (PJK) menggambarkan gangguan pada aliran


darah koroner. Pada kebanyakan kasus PJK disebabkan oleh aterosklesoris. Penyakit
arteri koroner dapat menyebabkan angina, infark miokard atau serangan jantung, dan
mati mendadak (sudden death).5

Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran koroner:8

Anatomi dan mekanis8

Arteri koroner bermuara di pangkal aorta pada sinus valsava, yang berada di belakang
katup aorta. arus darah yang keluar dari bilik kiri bersifat turbulen yang menyebabkan
terhambatnya aliran koroner.

Faktor mekanis akibat tekanan pada arteri koroner8

Arteri koroner tidak seluruhnya berada di permukaan jantung, tetapi sebagian


besar berada di miokard, sehingga sewaktu jantung berkontraksi atau sistol tekanan
intramiokard meningkat, hala mana akan menghamabta aliran darah koroner. karena itu
dapat dipahami aliran darah koroner 80% terjadi pada saat diastole dan hanya 20% saat
sistol.8
Sistim otoregulasi

Otot polos arteriol mampu melakukan adaptasi, berkontraksi (vasokonstriksi)


maupun berdilatasi (vasodilatasi) baik oleh rangsangan metabolis maupun adanya zat-zat
lain seperti adenine, ion K, prostaglandin, dan kinin. demikian pula oleh karena adanya
regulasi saraf, baik yang bersifat alfa dan beta adrenergic maupun yang bersifat tekanan
(baroresptor).8

Tekanan Perfusi

Meskipun aliran darah dalam arteri koroner dapat terjadi, tetatpi perfusi ke
dalam jaringan memerlukan tekanan tertentu. tekana perfusi dipengaruhi oleh tekanan
cairan dalam rongga jantung, khusunya tekanan ventrikel kiri, yang secara umum
diketahui melaui pengukuran tekanan darah. Tekanan perfusi normal antara 70-130
mmHg. 8

Pada tekanan perfusi normal tersebut sisitim otoregulasi di atas dapat berjalan
dengan baik. Bila tekanan perfusi menurun di bawah 60 mmHg, maka sistim regulasi
aliran darah koroner tidak bekerja, sehingga aliran darah koroner hanya ditentukan oleh
tekanan perfusi itu sendiri. Hal ini menyebabkan kebutuhan jaringan tidak tercukupi.
Dalam klinis keadaan ini menunjukkan suatu fase hipotensif yang mengarah gagal
jantung. Artinya kerja jantung tidak mencukupi kebutuhan dirinya sendiri, karena sisitim
otoregulasi lumpuh. 8

Ketidakseimbangan Pasok dan Kebutuhan

Berbagai keadaan akan mempengaruhi antara pasok dan kebutuhan, yang pada
dasarnya melalui mekanisme sederhana, yaitu: 1) pasok berkurang meskipun kebutuhan
tak bertambah, dan 2) kebutuhan meningkat, sedangkan pasok tetap. 8

Bila arteri koroner mengalami gangguan penyempitan (stenosis) atau penciutan


(spasme), pasok arteri koroner tidak mencukupi kebutuhan, secara populer terjadi
ketidakseimbangan antara pasok (supply) dan kebutuhan (demand), hal mana akan
memberikan gangguan. manifestasi gangguan dapat bervariasi tergantung berat
ringannya stenosis atau spasme, kebutuhan jaringan (saat istirahat atau aktif), dan
luasnya daerah yang terkena. 8
Dalam keadaan istirahat, meskipun arteri koroner mengalami stenosis lumen
sampai 60% belum menimbulkan gejala, sebab aliran darah koroner masih mendukupi
kebutuhan jaringan, antara lain dengan mekanisme pelebaran pembuluh darah
(vasodilatasi) pasca stenosis. Stenosis koroner pada keadaan ini tidak member keluhan,
sering disebut penyakit jantung koroner laten atau silent ischemia. 8

Sistem kolateral

Tidak dapat dipungkiri mekanisme pertahan tubuh selalu berupaya agar


keseimbangan selalui tercapai, salah satu adalah dengan pembentukan sistim kolateral.
suatu proses stenosis maupun infark kadang kala tidak memberikan gejala, meskipun
stenosis yang terjadi sangat kritis. Ternyata stenosis kritis merangsang pembentukan
kolateral, dan hal ini akan membantu memberikan pasok ke daerah yang tadinya
mengalami kekurangan aliran darah akibat proses stenosis atau infark. Latihan fisik yang
teratur diketahui pula mampu merangsang pembentukan kolateral, salah satu
kemungkinan saat melakukan aktivitas fisik terjadi peningkatan kebutuhan miokard.
Dalam keadaan pasok tidak mencukupi namun tidak sampai menimbulkan proses yang
kritis, sudah cukup untuk merangsang terbukanya kolateral yang memang telah ada. 8

C. Fibrilasi Atrial

Fibrilasi atrial (FA) merupakan aritmia yang paling sering dijumpai dalam praktik
sehari-hari dan paling sering menjadi penyabab seorang harus menjalani perawatan di
rumah sakit. 2

Etiologi

FA mempunyai hubungan yang bermakana dengan kelaianan struktural akibat


penyakit jantung. Diketahui bahwa sekitar 25% pasien FA juga menderita penyakit
jantung koroner. 2

Penyakit jantung yang berhubungan dengan FA: 2

 Penyakit Jantung Koroner


 Kardiomiopati Dilatasi
 Kardiomiopati Hipertrofik
 Penyakit Katup Jantung: reumatik maupun non-reumatik
 Aritmia Jantung: takikardi atrial, fluter atrial, AVNRT (AtrioVentricular Nodal
Reentrant Tachycardia), sindrom WPW, sick sinus syndrome
 Perikarditis
Penyakit di luar jantung yang berhubungan dengan FA: 2

 Hipertensi sistemik
 Diabetes mellitus
 Hipertiroidisme
 Penyakit paru: penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi pulmonal primer,
emboli paru akut
 Neurogenik: system saraf autonom dapat mencetuskan FA pada pasien yang
sensitif melalui peninggian tonus vagal atau adrenergik
Klasifikasi2

FA Paroksismal

Bila FA berlangsung kurang dari tujuh hari. Lebih kurang 50% FA paroksismal
akan kembali ke irama sinus secara spontan dalam waktu 24 jam. FA yang episode
pertamanya kurang dari 48 jam juga disebut FA paroksismal.

FA Persisten

Bila FA menetap lebih dari 48 jam tetapi kurang dari tujuh hari. Pada FA
persisten dipelukan kardioversi untuk mengembalikan ke irama sinus.

FA Kronik atau Permanen

Bila FA berlangsung lebih dari tujuh hari. Biasanya dengan kardioversi pun sulit
sekali untuk mengembalikan ke irama sinus (resisten).

Manifestasi Klinis FA2

FA dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejala-gejala FA sangat


bervariasi tergantung dari kecapatan laju irama ventrikel, lamanya FA, penyakit yang
mendasarinya. Sebagian mngeluh berdebar-debar, sakit dada terutama saat beraktivitas,
sesak napas, cepat lelah, sinkop atau gejala tromboemboli.
FA dapat mencetuskan gejala iskemik pada FA dengan dasar penyakit jantung
koroner. Fungsi kontralsi atrial yang sangat berkurang pada FA akan menurunkan curah
jantung dan dapat meneyebabkan terjadi gagal jantung kongestif pada pasien dengan
disfungsi ventrikle kiri.

Evaluasi Klinik FA2

Anamnesis

 Dapat diketahui tipe FA dengan mengetahui lama timbulnya (episode pertama,


paroksismal, persisten, permanen)
 Menentukan bertanya gejala yang menyertai:berdebar-debar, lemah, sesak napas
terutama saat aktivitas, pusing, gejala yang menunjukkan adanya iskemia atau
gagal jantung kongestif
 Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain dari FA misalnya hipertiroid
Pemeriksaan Fisis

 Tanda vital: denyut nadi berupa kecepatan dan regularitasnya, tekanan darah
 Tekanan vena jugularis
 Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif
 Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukkan kemungkinan terdapat
gagal jantung kengestif, terdapatnya bising pada auskultasi kemungkinan adanya
penyakit katup jantung
 Hepatomegali: kemungkinan terdapat gagal jantung kanan
 Edema perifer: kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif
Laboratorium

Hematokrit (enemia), TSH (penyakit gondok), enzim jantung bila dicurigai terdapat
iskemia jantung.

Pemeriksaan EKG

Dapat diketahui antara lain irama (verifikasi FA), hipertrofi ventrikel kiri, pre-eksitasi
2
ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi (sindroma WPW), identifikasi adanya iskemia.
Tidak ada gelombang P, kompleks QRS tidak teratur merupakan ciri gambaran FA
pada pemeriksaan EKG.9
Foto Rontgen toraks

Ekokardiografi

Pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk melihat antara lain kelainan katup,


ukuran dari atrium dan ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri,
obstruksi outflow dan TEE (Trans Esophago Echocardiography) untuk melihat
thrombus di atrium kiri.

Pemeriksaan Fungsi Tiroid

Pada FA episode pertama bila laju irama ventrikel sulit dikontrol.

Uji latih

Identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari control laju irama jantung

Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah holter monitoring, studi


elektrofisiologi.

Penatalaksanaan2

Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksaan FA adalah mengembalikan ke irama sinus,
mengontrol jalu irama ventrikel, dan pencegahan tromboemboli. Dalam penatalaksanaa
FA perlu diperhatikan apakah pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama
sinus atau cukup dengan pengontrolan laju irama ventrikel. Pada pasien yang masih dapat
dikembalikan ke irama sinus perlu segera dilakukan konversi, sedangkan pada FA
permanen sedikit sekali kemungkinan atau tidak mungkin dikembalikan ke irama sinus,
alternative pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel harus dipertimbangkan.

You might also like