You are on page 1of 9

BANTUAN HUKUM

MaPPI

20 Dec 2004, 11:40:31 WIB - pemantauperadilan.com

Kasus-kasus yang dipantau oleh MaPPI di pengadilan negeri


Jakarta timur, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta
Pusat dan Cibinong pada bulan maret 2003 menemukan sejumlah
kasus yang terdakwanya tidak didampingi penasehat hukum,
meskipun ancaman pidananya maksimal lebih dari 5 tahun penjara
(Pasal 56 ayat (1) KUHAP. Rincian kasus tersebut adalah sebagai
berikut :

• 16 kasus di PN Jakarta Pusat;


• 11 kasus di PN Jakarta Barat;
• 18 kasus di PN Cibinong;
• 3 kasus di PN Jakarta Timur;
• 13 kasus di PN Jakarta Utara

Beberapa masalah dalam bantuan hukum adalah :

a. Bantuan hukum jelas tidak hanya melibatkan advokat;

Hal ini merupakan jaminan atas equality before the law, access to
legal counsel untuk mencapai due process of law bagi masyarakat
yang tidak mampu. Semua unsur peradilan harus berperan (hakim,
polisi dan jaksa) sesuai dengan kapasitas dan perannya. Dalam
tahap pemeriksaan yang berada di wilayahnya, mereka wajib
memastikan adanya bantuan hukum. Sementara advokat sendiri
mempunyai kewajiban memberi bantuan hukum cuma-cuma jika
memang dinilai memenuhi syarat.
b. Masalah pendanaan yang tidak jelas;

Prioritas pemerintah untuk menyelenggarakan program-program


kesejahteraan bagi rakyatnya masih sangat minim. Anggaran negara
bagi sektor hukum secara keseluruhan memang paling minim
dibanding sektor-sektor lain. Romly Atmasasmita pernah
mengatakan bahwa kebijakan pemerintah saat ini masih berpihak
pada sektor fiskal dan moneter. Masalah hukum kurang
diperhatikan sehingga menyebabkan terpuruknya hukum di
Indonesia. Sektor anggaran untuk masalah hukum (seperti
anggaran buat penggajian hakim sampai ke masalah bantuan
hukum) kurang ditanggapi serius oleh pemerintah.

c. Pos Bantuan Hukum

Pos bantuan hukum (posbakum) selama ini cenderung hanya ada


di kota-kota besar. Di daerah terpencil keberadaan posbakum masih
belum terlembagakan dengan baik.

d. Kriteria dari penerima bantuan hukum. Pembuktian bahwa yang


bersangkutan tidak mampu, dll itu juga belum pernah ada peraturan;

e. Masalah sanksi bagi aparat penegak hukum yang tidak mematuhi


;

Dalam KUHAP telah ditentukan bahwa para penegak hukum


wajib memastikan bahwa pihak yang diperiksa, yang disidiknya, yang
dituntutnya itu mendapatkan bantuan hukum. Namun pelanggaran atas
hal tersebut tidak disertai sanksi. Hal ini memang menjadi kendala
dalam pelaksanaan bantuan hukum di Indonesia, karena aparat
penegak hukum bisa saja mengelak dari kewajiban itu tanpa ada
konsekuensi apapun. Dalam KUHAP (Pasal 56) hanya disebutkan
bahwa tersangka atau terdakwa yang diperiksa oleh pejabat aparat
penegak hukum itu berhak mendapatkan bantuan hukum dengan
kriteria-kriteria tertentu. Dari ketentuan tersangka atau terdakwa itu
sebenarnya bisa dikatakan sangat limitatif, karena di Indonesia dalam
proses penyidikan suatu perkara pidana itu seseorang sebelum
ditentukan, disahkan statusnya sebagai tersangka bisa jadi dia sudah
menjalani tahap-tahap pemeriksaan awal.

Jadi sebelum dia disahkan statusnya sebagai tersangka dia sama sekali
tidak punya hak, dan polisi atau jaksa tidak punya kewajiban untuk
menjamin adanya bantuan hukum. Disisi lain ketentuan untuk
memberikan bantuan hukum ini menurut Pasal 240 ayat (1) KUHAP
bersifat imperatif (harus dipenuhi), dimana tidak dipenuhinya ketentuan
tersebut merupakan kelalaian dalam penerapan hukum acara yang
bisa berakibat batalnya proses hukum yang sudah berjalan. Karena itu
diperlukan pengawasan hakim, dalam artian sejauh mana mekanisme
pengawasan hakim maupun aparat penegak hukum berjalan, baik
dalam menjalankan tugasnya dalam proses pengadilan maupun diluar
pengadilan.

Bantuan hukum oleh negara dan advokat

Pada awalnya dulu bantuan hukum hanya sebagai belas


kasihan. Namun pada perkembangannya pemberian bantuan hukum
kewajiban karena itu merupakan hak asasi. Dalam UUD 1945
disebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh
negara. Artinya Negara sebagai tolak pangkalnya. Bahwa kemudian
advokat mempunyai tanggung jawab sosial untuk mengalokasikan
waktu dan juga sumber daya yang dimilikinya untuk orang miskin
adalah hal yang ideal. Tapi tahapan normatifnya tentu tidak seabsolut
yang dibebankan UUD 1945 kepada Negara. Bantuan hukum yang
diberikan oleh advokat memang lebih mengarah kepada fungsi sosial
dari profesi advokat.

Oleh sebab itu secara historis dikatakan pro bono, dimana


advokat tidak boleh menolak menangani perkara semata-mata karena
tidak sanggup membayar. Namun hal ini juga mengandung
pembatasan. Artinya jika kantor advokat tersebut sudah berkelebihan
adalah wajar dan tepat sesuai dengan prinsip-prinsip bermasyarakat
untuk berfungsi secara social memberikan bantuan hukum pro
bono/secara cuma-cuma. Advokat juga dapat menolak melakukan pro
bono, dan tidak ada sanksi yang dapat diberikan kepada advokat yang
menolak karena sifat dari pro bono ini masih berupa moral obligation
(nilai-nilai yang idiil tanpa ada akibat hukum tertentu). Dari hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh PSHK, 62.6% para advokat yang
telah diwawancarai mengatakan bahwa pengadilan bersama organisasi
para advokat dengan anggaran yang disediakan oleh negara
bertanggungjawab melaksanakan bantuan hukum di Indonesia.
Sisanya menjawab pengadilan dengan anggaran yang disediakan oleh
negara. Ada juga yang menjawab advokat sendiri dengan cuma-cuma
dengan distribusi oleh organisasi advokat tanpa mengandalkan
anggaran dari negara. Dari semua advokat yang telah diwawancarai itu
82,8% diantaranya pernah menangani perkara bantuan hukum. Artinya
hal itu memang sudah inheren dengan tanggung jawab profesinya.

Dalam kode etik profesi advokat sebenarnya juga sudah diatur


bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum dan tidak
membeda-bedakan klien yang ditangani walaupun klien tersebut
menerima jasa hukum dari advokat tersebut secara cuma-cuma. Hal
ini dipertegas lagi dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor Tahun
tentang Advokat (Bab 6 : Bantuan hukum secara cuma-cuma kepada
pencari keadilan yang tidak mampu) yang menyebutkan bahwa advokat
wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari
keadilan yang tidak mampu. Hal itu sudah merupakan kewajiban
historical dari profesi advokat yang juga diadopsi di dalam UU ini dan
merupakan salah satu dampak positif dari mulai ditatanya asosiasi
advokat Indonesia akibat pengundangan UU advokat sehingga proses
penyelenggaraan bantuan hukum bisa dilakukan secara lebih
terstruktur dan distribusinya bisa dilakukan secara lebih merata.

Dalam UU advokat memang ada pengaturan yang lebih tegas.


Artinya, kalau si advokat tidak mau menerima klien yang tidak mampu
maka akan ada akibat hukumnya. Karena memang dalam banyak hal
itu masuk dalam kebijakan kesejahteraan sosial, artinya pemerintah
yang harus mengalokasikan biaya untuk terselenggaranya bantuan
hukum secara cuma-cuma. Selanjutnya dalam UU advokat disebutkan
bahwa ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemberian bantuan
hukum secara cuma-cuma itu akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Hal ini masih menjadi perdebatan, karena ada juga pihak-
pihak yang mengatakan perlu ada UU khusus tentang bantuan hukum
agar perhatian negara dalam hal ini pemerintah dan alokasi anggaran
bantaun hukum menjadi lebih besar. Namun menurut Dafi politik
hukum pemerintah Indonesia ini harus total dirubah. Dalam artian
keberpihakan kebijakan anggaran kepada kepentingan masyarakat
tidak mampu yang memang seharusnya dijamin negara itu harus
dikedepankan, salah satunya dengan menyediakan dana atau
anggaran untuk bantuan hukum.

Sebab-sebab tidak mendapat bantuan hukum :

Dari satu temuan survey yang menarik dalam studi tentang


tanggung jawab profesi ditemukan bahwa 23.5% dari masyarakat
pencari keadilan yang ditemui di pengadilan-pengadilan mengatakan
bahwa mereka mendapatkan bantuan hukum. Jumlah tersebut sangat
kecil. Apalagi jika ditarik lebih jauh lagi bahwa 10.8% dari masyarakat
itu mengatakan bahwa mereka mendapat bantuan hukum karena tidak
mampu membayar advokat, perkaranya bersifat khusus/politis dan
membutuhkan treatment khusus. Terkadang klien atau masyarakat
pencari keadilan juga tidak punya referensi untuk meminta bantuan
hukum karena mereka tidak percaya pada kualitas bantuan hukum.
Dalam pandangan masyarakat karena bantuan hukum bersifat cuma-
cuma maka pelayanannya juga apa adanya. Padahal advokat tidak
boleh melakukan diskriminasi walaupun itu dilakukan oleh secara cuma-
cuma. Selain itu tidak adanya kesempatan untuk mendapatkan
bantuan hukum juga disebabkan karena memang akses untuk
mendapatkannya masih relatif sulit, padahal kantor advokat terdapat
dimana-mana, LBH-LBH juga banyak berdiri, LKBH ada hampir di
setiap universitas yang ada bantuan hukum.

UU Advokat dan organisasi advokat


UU ditanggapi oleh masyarakat advokat dengan pro dan kontra,
karena UU itu memang tidak sempurna. Saya pribadi melihatnya
dengan penerimaan minus maklum, artinya bagaimanapun UU ini telah
memberikan suatu legitimasi terhadap advokat untuk menjalankan
profesinya dengan resmi. Karena selama ini kan belum ada satu aturan
yang mengatur advokat, sehingga profesi advokat itu bisa tidak baik
justru karena advokat yang tidak bertanggungjawab. Namun ada juga
pendapat yang mengatakan dengan adanya UU advokat maka akan
mengurangi advokat itu sendiri. Tapi saya lebih cenderung
peneerimaan UU ini dibandingkan sama sekali tidak ada UU advokat
itu. Dalam UU advokat dikatakan akan dibentuk organisasi advokat
sebagai wadah. Hal itu mengandung 2 penafsiran.

Yang pertama, semua organisasi advokat yang sekarang diakui


ada 8 akan melebur menjadi satu. Yang kedua, yang perlu disatukan itu
adalah standar profesi advokatnya, bukan wadahnya. Hal ini akan juga
mengurangi konflik, karena kita tau bahwa para advokat bertengkar
justru karena ingin menjadi pengurus. Luhut M.P. Pangaribuan lebih
cenderung pada interpretasi bahwa yang diperlukan itu adalah standar
profesi advokat, sebab dengan adanya berbagai organisasi justru
merupakan kekayaan untuk pembangunan hukum itu sendiri, termasuk
di dalamnya profesi advokat. Kalau dileburkan jadi satu justru akan
muncul kepentingan-kepentingan pribadi atau individu dari para
advokat itu.

Sejarah LBH

Keberadaan LBH di Indonesia ini tidak lepas dari peran


organisasi advokat. YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia) yang selama ini kita kenal sebenarnya lahir atas inisiatif dari
beberapa pengurus persatuan advokat Indonesia sekitar tahun 69-an
yang digodok dan direalisasikan oleh Adnan Buyung Nasution. Hal ini
merupakan prakarsa dari masyarakat profesi dan aktivis HAM dengan
tenaga yang ada dan memobilisasi dana yang ada. Oleh karena itu
adalah kewajiban Negara untuk mengalokasikan dananya. Tapi karena
Negara kita ini miskin maka dikembalikan lagi kepada masyarakat
dengan segala keterbatasan yang ada. Kemudian perlahan-lahan LBH
yang tergabung dalam YLBHI semakin berkembang. Elemen-elemen
masyarakat yang ada juga sudah mengikuti langkah LBH untuk
mendirikan LBH-LBH nya, seperti organisasi-organisasi keagamaan,
universitas-universitas dari fakultas-fakultas hukum, bahkan parpol pun
juga memiliki LBH sendiri.

Dalam perkembangannya ada LBH yang sungguh-sungguh


memberi bantuan hukum. Namun ada juga yang LBH yang sebenarnya
hanya kedok belaka. Artinya mendirikan LBH hanya sebagai salah satu
cara untuk mendapatkan klien, atau satu cara untuk mendapatkan
dukungan berbagai lapisan masyarakat. Setelah LBH itu menjadi
populer disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih subjektif. Oleh
karena itu banyak kantor-kantor bantuan hukum yang dilakukan oleh
berbagai macam kelompok masyarakat dimana konsepnya jauh dari
konsep yang dikembangkan oleh masyarakat profesi yaitu peradin
jaman dahulu kala, yang sekarang ini menjadi YLBHI.

Bantuan hukum yang diberikan oleh LBH

LBH hanya menangani kasus-kasus yang berdimensi struktural.


Kasus-kasus individual tidak ditangani oleh LBH. Struktural disini
artinya kasus yang mempunyai dimensi kepentingan masyarakat
banyak. Dalam prakteknya, bagaimana menseleksi kasus yang
berdimensi kepentingan masyarakat banyak merupakan hal yang tidak
mudah. Sebagai contoh, ketika Luhut M.P. Pangaribuan menjabat
direktur LBH Jakarta, hal yang dijadikan sebagai parameter adalah
kasus-kasus yang berhubungan dengan 1 dari 10 subtansi HAM,
sebab pada dasarnya bantuan hukum itu perlindungan HAM (misalnya
pelanggaran hak untuk hidup, hak untuk tinggal di tanahnya sendiri, dll).
Diluar hal itu (misalnya soal perceraian, kewarganegaraan dan kasus-
kasus penipuan yang dilakukan oleh individu) tidak ditangani oleh LBH.
Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan oleh LBH adalah
pendekatan makro, bukan mikro, dalam arti mendorong ke arah
perubahan sosial, dimana tatanan hukum akan menjadi lebih baik
daripada yang sekarang.

Saran dan harapan terhadap perkembangan bantuan hukum di


Indonesia

Saran terhadap perkembangan bantuan hukum di Indonesia pertama-


tama adalah :

a. Menekankan bahwa APBN harus mengalokasikan dana untuk


bantuan hukum, karena memang kenyataannya bantuan hukum itu
mahal dan dibutuhkan untuk masyarakat banyak yang umumnya
adalah orang miskin. Yang kedua, fungsi sosial pro bono melalui
donasi-donasi ke kantor bantuan hukum terus-menerus ditingkatkan
dengan cara supra struktur melalui Mahkamah Agung dan
Departemen Kehakiman dan HAM. Jadi tidak hanya slogan dengan
berbagai bentuk kebijakan. Dengan begitu pemerataan pelayanan
hukum kepada masyarakat dapat dicapai dan pada saat kritik-kritik
terhadap pembangunan hukum yang tidak baik juga dapat
dilakukan.

b. Pengawasan hakim juga diperlukan (diharapkan melalui komisi


yudisial yang nantinya akan terbentuk) untuk memantau dan
mengawasi setiap pelanggaran agar dampaknya bias diminimalisir.
Selain itu prioritas kebijakan pemerintah juga harus lebih berpihak
kepada masyarakat, terutama dari golongan lemah yang memang
mutlak dibutuhkan, karena selama ini pengaturan bantuan hukum
oleh pemerintah hanya dibuat dalam keputusan menteri kehakiman
yang kekuatan hukumnya tidak terlalu kuat dengan alokasi anggaran
yang minim.
c. Peningkatan sosialisasi tentang kawajiban negara untuk
memberikan bantuan hukum. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
PSHK diperoleh data bahwa hanya 46.1% dari 560 orang
koresponden/masyarakat yang diwawancarai yang mengetahui
bahwa negara punya kewajiban untuk memberikan bantuan hukum.
Jika dikaitkan dengan tanggung jawab advokat, hanya 34 % yang
mengetahui bahwa advokat juga punya tanggung jawab untuk
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Sejauh ini hal itu
juga menjadi kesadaran pihak advokat bahwa mereka juga punya
tanggung jawab untuk turut mendukung penyelenggaraan bantuan
hukum oleh negara. Bahkan sempet tercetus beberapa usulan dari
beberapa advokat (yang tidak punya sumber daya atau waktu untuk
menyediakan bantuan hukum secara sendirian) bahwa mereka
harus bisa menyisihkan profit yang mereka dapat dari profesinya
untuk mensupport kegiatan bantuan hukum yang dilaksanakan oleh
pos-pos bantuan hukum yang dimiliki oleh organisasi advokat
maupun oleh lembaga-lembaga bantuan hukum.

You might also like