You are on page 1of 16

SYSTEMIC 

LUPUSERITHEMATOSUS
terjemahan dari Harrison's PRINCIPLES OF INTERNAL MEDICINE Seventeenth Edition 

Definisi dan Prevalensi

Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun dimana


organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-
binding autoantibody dan kompleks imun. Sembilan puluh persen pasien adalah
wanita umur subur; walaupun semua jenis kalmin, umur, dan kelompok ras dapat
terkena, prevalensi SLE di Amerika Seikat adalah 15-50 dari 100.000 penduduk,
prevalensi tertinggi diantara kelompok etnis pada penilitian ini adalah kelompok
Afrika Amerika (Negro).

Etiologi dan Patogenesis

Mekanisme pathogenic dari SLE diilustrasikan pada gambar 1. Interaksi antara


faktor gen predisposisi dan lingkungan akan menghasilkan respon imun yang
abnormal. Respon ini termasuk (1) aktivasi dari imunitas innate (sel dendrit) oleh
CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam RNA/protein self-
antigen ; (2) Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-
specific T dan Limfosit B); (3) Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+
dan (4) berkurangnyatic klirens sel apoptotic dan kompleks imun. Self-
antigen (protein/DNA nukleosomal; RNA/protein pada Sm, Ro, dan La;
fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel
apoptotic; sehingga antige, autoantibody, dan kompleks imun tersebut dapat
bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan
penyakit berkembang. Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat
jaringan diikuti dengan peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis
factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B
lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL) 10. Peningkatan regulasi gen
yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE. Namun, sel
lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming
growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+.
Akibatnya adalah produksi autoantibody yang terus menerus dan terbentuknya
kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan
aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan
dengan Ig. Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan
kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada
keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factorsdan sel imun akan memicu
pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak.
Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase
kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri,
paru-paru, dan jaringan lainnya.
Gambar 1. Patogenesis SLE. Interaksi gen-lingkungan menghasilkan respon imun
abnormal yang menghasilkan autoantibody pathogen dan deposisi kompleks imun pada
jaringan, komplemen aktif, menyebabkan inflamasi dan lama kelamaan mengakibatkan
kerusakan organ irreversible.Ag, antigen; C1q, complement system; C3, complement
component; CNS, central nervous system; DC, dendritic cell; EBV, Epstein-Barr virus;
HLA, human leukocyte antigen; FcR, immunoglobulin Fc-binding receptor; IL,
interleukin; MBL, mannose-binding ligand; MCP, monocyte chemotactic protein; PTPN,
phosphotyrosine phosphatase; UV, ultraviolet

SLE merupakan penyakit yang melibatkan banyak gen. Pada individu yang memiliki
predisposisi genetik, allel normal dari beberapa gen normal masing-masing
berkontribusi terhadap respon imun abnormal yang kecil; jika beberapa variasi jumlah
berakumulasi , penyakit akan terjadi. Defisiensi homozigot pada komponen awal dari
komplemen (C1q,r,s; C2; C4) mengakibatkan predisposisi yang kuat terhadap kejadian
SLE, namun defisiensi ini jarang terjadi. Tiap gen meningkatkan resiko SLE sebanyak 1,5
hingga 3 kali lipat. Beberaa allel gen kemungkinan berperan dalam mempengaruhi
klirens sel apoptotic (C1q,MBL) atau kompleks imun (FcR 2A dan 3A), kemunculan
antigen (HLA-DR2,3,8), Maturasi sel B (IL-10), aktivasi sel T (PTPN22) atau kemotaksis
(MCP-1). Tidak satupun hipotesis ini telah terbukti. Sebagai penambahan terhadap
predisposisi penyakit pada etnis tertentu, beberapa gen berpengaruh terhadap
manifestasi klinis penyakit ini (misal, FcR2A/3A, MBL, PDCD1 untuk nephritis; MCP-1
untuk arthritis dan vasculitis). Suatu daerah pada kromosom 16 mengandung gen yang
merupakan predisposisi SLE, rheumatoid arthritis, psoriasis, dan Penyakit Chron’s,
Terdapat pula beberapa allel gen yang berfungsi sebagai proteksi. Semua kombinasi gen
ini mempengaruhi respon imun terhadap lingkungan eksternal dan internal; jika respon
tersebut terlalu tinggi atau berkepanjangan, penyakit autoimun akan terjadi.

Jenis kelamin wanita sering terkena SLE; betina dari semua spesies mamalia memang
memiliki respon antibody yang lebih kuat daripada pejantan. Wanita yang terpapar
kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih hormone memiliki
peningkatan resiko SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol berikatan dengan reseptor
pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan aktivasi dan daya tahan dari sel
ini, sehingga menunjang respon imun yang memanjang.
Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE (Gambar 1).
Paparan terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar 70%
pasien, kemungkinan dengan peningkatan apoptosis pada sel kulit atau dengan
mengubah DNA dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenic. Sepertinya
beberapa infeksi memicu respon imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan
B yang mengenal self-antigen; pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik
dan produksi autobodi kemudian terjadi. Kebanyakan pasien SLE mempunyai
autoantibody hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama penyakit ini,
menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk beberapa tahun
sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibody dan sel B dan T yang pathogen cukup
untuk menyebabkan gejala klinis. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan agen infeksi
yang dapat memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi genetic. Anak dan
orang dewasa dengan SLE cenderung terinfeksi EBV dibandingkan kelompok kendali
umur, jenis kelamin, dan etnis. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan
bertahan pada sel tersebut dalam beberapa decade; Ia juga mengandung sekuens asam
amino yang mirip dengan sekuens pada spilceosome manusia (RNA/antigen protein yang
dikenali oleh autoantibody pada seseorang dengan SLE). Sehingga, interaksi antara
predisposisi genetic, lingkungan, jenis kelamin, dan respon imun abnormal akan
mengakibatkan autoimunitas.

Patologi

Pada SLE, biopsy dari kulit yang terkena memperlihatkan deposisi Ig pada lapisan
antara dermal dan epidermal (dermal-epidermal junction/DEJ), jejas pada keratinosit
basal, dan peradangan yang didominasi oleh limfosit T pada DEJ dan sekitar pembuluh
darah serta pada sebagian kecil dari lapisan dermal. Kulit yang tidak terkena secara
klinis juga dapat memperlihatkan deposisi Ig pada DEJ.

Pada biopsy ginjal, pola dan keparahan jejas sangat penting dalam diagnosis dan
memilih penatalaksanaan yang tepat. Penelitian klinis lupus nephritis yang banyak
dipublikasi kebanyakan menggunakan klasifikasi World Health Organization (WHO).
Tetapi, the International Society of Nephrology (ISN) dan Renal Pathology Society (RPS)
telah mempublikasikan klasifikasi yang terbaru dan menyerupai klasifikasi WHO (Tabel
1) yang kemungkinan akan mengganti standar WHO. Kelebihan dari klasifikasi ISN/RPS
adalah penambahan “a” untuk perubahan aktif dan “c” untuk kronis, sehingga
memberikan informasi kepada seorang dokter mengenai prognosis dari penyakit ini
(dapat reversible atau irreversible). Semua klasifikasi berfokus pada penyakit
glomerular, walaupun keberadaan penyakit tubular interstitial dan vaskuler juga
penting dalam manifestasi klinis. Pada umumnya, penyakit kelompok III dan IV,
begitupula dengan penyakit kelompok V yang disertai dengan kelompok III atau
IV, sebaiknya ditangani dengan imunosupresi yang agresif jira memungkinkan,
karena terdapat resiko tinggi gagal ginjal tahap akhir (end-stage renal
disease/ESRD) jira pasien tidak ditangani atau terlambat ditangani. Penanganan
lupus nephritis tidak dianjurkan pada pasien dengan penyakit kelopok I dan II atau
dengan perubahan irreversible yang luas. Pada anak, diagnosis SLE dapat
ditegakkan berdasarkan gambaran histologis renal walaupun tanpa kriteria
diagnosis lainnya.
Class I: Minimal Mesangial Lupus Nephritis
Glomerulus normal dengan mikroskop biasa, namun deposit imun mesangial nampak dengan
immunofluorescence
Class II:Mesangial Proliferative Lupus Nephritis
Hiperselularitas mesangial murni dengan derajat apapun atau perluasan matrix mesangial dengan mikroskop biasa
disertai dengan deposit imun. Beberapa deposit subepitel dan subendotel samara dapat terlihat dengan
immunofluoroscence atau mikroskop electron namun tidak tampak dengan mikroskop biasa.
Class III: Focal Lupus Nephritis
Glomerulonephritis fokal aktif atau inaktif, segmental atau global endokapilar atau ekstrakapiler terjadi pada
<50%>
Class III (A): Lesi aktif - focal proliferative lupus nephritis
Class III (A/C): Lesi aktif dan kronis - focal proliferative dan sclerosing lupus nephritis
Class III (C): Lesi inaktif kronis disertai dengan jaringan parut glomerular—focal sclerosing lupus nephritis
Class IV: Diffuse Lupus Nephritis
Glomerulonephritis difus aktif atau inaktif, segmental atau global endo atau ekstrakapiler yang melibatkan 50%
dari seluruh glomerulus, biasanya dengan depsit imun yang difus, diserta atau tanpa perubahan mesangial. Kelas
ini dibagi atas lupus nephritis segmental difus (IV-S) jika 50% dari glomerulus yang terkena memiliki lesi yang
segmental dan lupus nephritis difus global (IV-G) jika 50% dari glomerulus yang terlibat memiliki lesi yang
global. Segmental diartikan sebagai lesi glomerulus yang melibatkan tidak lebih dari setengah dari unit
glomerulus. Kelas ini termasuk kasus dengan deposisi pada loop yang difus namun dengan sedikit atau tanpa
proliferasi glomerulus.

Class IV-S (A): Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse segmental proliferative

Class IV-G (A): Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse global proliferative

Class IV-S (A/C): Lesi aktif dan kronik— lupus nephritis diffuse segmental proliferative dan lupus nephritis
sclerosing

Class IV-G (A/C): Lesi aktif dan kronik —lupus nephritis diffuse global proliferative dan lupus nephritis
sclerosing

Class IV-S (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse segmental sclerosing

Class IV-G (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse global sclerosing

Class V: Membranous Lupus Nephritis

Deposit imun subepitel global atau segmental atau dengan sekuele morfologis dilihat dari pemeriksaan mikroskop
dan dengan immunofluoroscence atau mikroskop electron, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Lupus
nephritis kelas V dapat terjadi dengan kombinasi kelas III dan IV, dimana pada kasus ini keduanya dapat
didiagnosis. Lupus nephritis kelas V dapat memperlihatkan sclerosis yang sudah berat.

Class VI:Advanced Sclerotic Lupus Nephritis

90% dari glomerulus telah mengalami sclerosis secara global tanpa aktivitas residual

Diagnosis

Kriteria diagnosis Systemic Lupus Erythematous adalah beberapa gejala pada table 2


dibawah ini :
No Gejala Pengertian

1 Malar Rash (Butterfly rash) Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah
pipi sekitar hidung (wilayah malar)

2 Discoid rash Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai dengan sisik keratotik
adherent. Jaringan parut atropi dapat terjadi

3 Fotosensitivitas Paparan terhadap sinar UV yang dapat menimbulkan bercak-bercak

4 Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan

5 Arthritis arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri,
bengkak, atau efusi

6 Serositis Pleurits atau pericarditis yang ditemukan melalui ECG atau bukti
adanya efusi pleura

7 Gangguan Ginjal Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atas serpihan seluler

8 Gangguan neurologik Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas

9 Gangguan hematologik Anemia atau leucopenia hemolytic (<4000/l)>

10 Gangguan Imunologis Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-phospholipid

11 Antibodi Antinuklear Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan immunofluoroscence


atau pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada pemberian obat yang
dapat memicu ANA sebelumnya.

Tabel 2.Kriteri klinis untuk diagnosis SLE

Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya autoantibody.
Kriteria terkini untuk klasifikasi telah dijelaskan diatas dan sebuah algoritme klasifikasi
terdaftar pada gambar 2. Kriteria ini bertujuan untuk mengkonfirmasi diagnosis SLE
pada pasien yang termasuk dalam suatu penelitian; penyusun penilitian menggunakan
kriteria ini pada beberapa individu untuk menilai kecenderungan terjadinya SLE.
Kombinasi 4 dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun dalam riwayat
medis pasien, membuat pasien cenderung memiliki SLE (spesifitas dan sensitivitas
secara berurutan 95% dan 75%). Pada beberapa pasien, gejala semakin b dalam selang
waktu tertentu. Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien selama
perjalanan penyakit; pemeriksaan ANA berulang yang negative menandakan
diagnosisnya bukan SLE, kecuali jika autoantibody lainnya ditemukan (Gambar 2).
Antibodi IgG dengan jumlah banyak pada DNA dan antibody pada antigen Sm spesifik
untuk SLE dan mendukung diagnosis terutama dengan keberadaan gejala klinis.
Keberadaan beberapa autoantibody pada seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya tidak
didiagnosis SLE, walaupun pada orang tersebut terjadi peningkatan resiko karena SLE
secara klinis terjadi pada pasien setelah beberapa tahun ditemukannya autoantibody.

Gambar 2. Algoritme diagnosis dan penatalaksanaan SLE (klik gambar untuk memperbesar)

Interpretasi dari Manifestasi klinis

Jika diagnosis SLE ditegakkan, penting untuk mengetahui tingkat keparahan dan
kemungkinan reversible pada penyakit ini dan untuk memperkirakan konsekuensi dari
beberapa intervensi terapeutik. Pada paragraf berikutnya, deskripsi dari beberapa
manifestasi penyakit bermulai dengan permasalahan yang relatif ringan dan
berkembang menjadi yang lebih mengancam nyawa.

Pembahasan umum dan Manifestasi sistemik

Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ; dalam selang
waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi spesifik dapat
ditemukan pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparajan SLE beragam mulai
dari ringan dan intermediate sampai parah dan fulminan. Beberapa pasien mengalami
eksaserbasi diantarai oleh masa yang relatif tenang; remisi permanen sempurna
(Hilangnya gejala tanpa pengobatan) jarang terjadi.Gejala sistemik, utamanya malaise
dan myalgia/arthralgia, didapatkan kebanyakan. Penyakit sistemik yang berat
memerlukan terapi glukokortikoid dapat terjadi dengan demam, letih, berat badan
berkurang, dan anemia disertai atau tanpa manifestasi organ target lainnya.
Manifestasi Muskuloskeletal

Kebanyakan pasien SLE memiliki polyarthritis intermitten, berderajat mulai ringan


hingga kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri pada sendi,
paling sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas sendi (tangan dan
kaki) terjadi hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran x-ray sendi jarang
ditemukan; keberadaannya menandakan peradangan arthropathy non lupus seperti
rheumatoid arthritis; beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi dapat juga terjadi
pada SLE. Jika nyeri bertahan pada satu sendi, seperti lutut, bahu, atau pinggang,
diagnosis nekrosis iskemik tulang perlu dipertimbangkan, utamanya jika tidak ada
manifestasi SLE aktif lainnya. Prevalensi nekrosis iskemik tulang meningkat pada SLE,
terutama pada pasien yang ditangani dengan glukokortikoid sistemik. Myositis dengan
kelemahan otot klinis, peningkatan kadar creatinin kinase, MRI Scan positif, dan
nekrosis otot dan peradangan pada biopsy dapat terjadi, walaupun kebanyakan pasien
mengalami myalgia tanpa myositis yang jelas. Terapi glucocoticoid dan antimalaria
dapat juga menyebabkan kelemahan otot; efek samping ini mesti dibedakan dari
penyakit aktif

Manifestasi Penyakit Kulit

Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus (DLE),


bercak sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau “lainnya”. Lesi
discoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit peninggian, lingkaran
eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat depigmentasi dengan atropi dimana
semua bagian demal secara permanent rusak.Lesi dapat memburukkan rupa, terutama
pada wajah dan kulit kepala. Pengobatan utamanya merupakan kortikosteroid topikal
atau injeksi lokal dan antimalaria sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE
(walaupun setengahnya memiliki ANA yang positif); namun, diantara individu dengan
SLE, sebanyak 20% memiliki DLE. Kebanyakan bercak SLE yang umum bersifat
fotosensitive, eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah (utamanya pada pipi dan
sekitar hidung –the ”buterfly rash”), telinga, dagu, daerah V pada leher, punggung
atas, dan bagian ekstensor dari lengan.Memberatnya bercak ini kadang disertai dengan
serangan penyakit sistemik. SCLE mengandung bercak merah bersisik mirip dengan
psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini sangat
fotosensitif; kebanyakan memiliki antibody terhadap Ro (SS-A). Bercak SLE lainnya
termasuk urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bullar, dan pannikulitis
(“lupus profundus”). Bercak dapat ringan atau berat;p mereka dapat menjadi
manifestasi utama penyakit ini. Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral dan nasal umum
pada SLE; lesinya mirip dengan ulkus pada sariawan.

Manifestasi Renal

Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan
infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada decade pertama penyakit ini.
Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pada pasien SLE, urinalysis sebaiknya
dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari lupus nephritis
berdasar dari gambaran histologis (lihat “Patologi” diatas, dan table 1). Biopsi renal
berguna untuk merencanakan terapi terkini atau dimasa akan datang. Pasien dengan
bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya (ISN III dan IV) biasanya memiliki
hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam); sekitar setengah pasien
mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi. Jika
glomerulonephritis proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani, kebanyakan pasien akan
mengalami ESRD dalam 2 tahun diagnosis. Sehingga, imunosupresi agresif diindikasikan
(kebanyakan kortikosteroid sistemik disertai dengan obat sitotoxic), kecuali kerusakan
irrversibel. Etnis African American lebih cenderung mengidap ESRD dibandingkan
dengan ras Kaukasia, bahkan dengan kebanyakan terapi terkini. Di Amerika Serikat,
sekitar 20% individu dengan lupus DPGN meninggal atau mengalami ESRD setelah 10
tahun diagnosis ditegakkan. Individu tersebut membutuhkan pengendalian SLE yang
agresif dan dari komplikasi penyakit ginjal. Segelintir pasien SLE dengan proteinuria
(biasanya nephrotik) memiliki perubahan glomerulus membranous tanpa proliferasi
pada pemeriksaan biopsy ginjal. Prognosisnya lebih baik daripada mereka dengan
DPGN, namun proteinuria cenderung merupakan keadaan yang berkelanjutan, disertai
dengan serangan yang membutuhkan penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk
kebanyakan orang dengan lupus nephritis, percepatan atherosclerosis menjadi penting
setelah beberapa tahun , perhatian berlebih diberikan untuk mengendalikan tekanan
darah, hyperlipidemia, dan hyperglycemia.

Manifestasi Sistem Saraf

Ada banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer pada SLE,
pada beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas dan
mortalitas. Penting untuk melakukan pendekatan diagnostic dengan menanyakan
apakah gejalanya akibat SLE atau penyakit lain (seperti infeksi pada individu
immunocompromised). Jika gejala berhubungan dengan SLE, sebaiknya
ditentukan apakah mereka disebabkan oleh proses difus atau penyakit oklusif
vaskuler. Manifestasi klinis SSP paling umum adalah disfungsi kognitif, termasuk
kesulitan dalam mengingat dan memberikan alasan. Sakit kepala juga umum
terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini menandakan serangan SLE; jika
lebih ringan, sulit dibedakan dengan migraine atau sakit kepala tipe tegang.
Kejang dari beberapa tipe dapat disebabkan oleh lupus, penanganan seringkali
membutuhkan antiseizure dan immunosupresif. Psikosis dapat menjadi
manifestasi dominant pada SLE; hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat
glukokortikoid. Yang terakhir biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian
glukokortikoid, pada dosis prednisone 40 mg harian atau sederajat. Psikosis
sembuh beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid diturunkan atau
dihentikan. Myelopathy tidak jarang dan seringkali menimbulkan kecacatan;
terapi immunosupresif segera dimulai dengan glukokortikoid merupakan standar
terapi.

Oklusi Vaskuler

Prevalensi dari transient ischemic attacks, stroke, dan infark myocard meningkat pada


pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak ekslusif, pada pasien SLE
dengan antibody terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya antibody antifosfolipid ini
berkaitan dengan hiperkoagulabilitas dan kejadian thrombotik akut, dimana penyakit
kronis berkaitan dengan percepatan atherosclerosis. Iskemia pada otak dapat
disebabkan oleh oklusi fokal (baik noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis) atau
dengan embolisasi dari plaq arteri carotid atau dari vegerasi fibrinous dari Libman-Sack
endocarditis. Pemeriksaan yang tepat untuk aPL (lihat dibawah) dan untuk sumber
emboli sebaiknya dilakukan pada pasien seperti ini untuk memperkirakan kebutuhan,
intensitas, durasi dari terapi antiinflamasi dan/atau antikoagulasi. Pada SLE, infark
myokard merupakan manifestasi utama pada atherosclerosis. Peningkatan resiko
kejadian vaskuler dapat mencapai 7 hingga sepuluh kali lipat secara keseluruhan, dan
lebih tinggi pada wanita < style="" lang="IT">Peran dari terapi statin pada SLE masih
dalam investigasi.

Manifestasi Pulmoner

Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis dengan atau
tanpa efusi pleural. Gejala ini, jika ringan, dapat berespon dengan pemberian terapi
NSAID (nonsteroidal antiinflammatory drugs); jika lebih berat, pasien membutuhkan
terapi glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadu sebagai manifestasi SLE
aktif dan sulit dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Manifestasi pulmoner
yang membahayakan nyawa termasuk peradangan interstitial yang menyebabkan
fibrosis, sindrom paru menyusut, dan perdarahan intraalveolar; semua kemungkinan ini
membutuhkan terapi immunosuppresif yang agresif secara dini begitupula dengan
perawatan suportif.

Manifestasi Penyakit Jantung

Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi; biasanya ini
berespon dari terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan tamponade jantung.
Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah myocarditis dan endocarditis Libman-Sacks
fibrinous. Keterlibatan endocardial dapat menyebabkan insufisiensi valvular,
kebanyakan katup mitral atau aorta, atau kejadian embolik. Belum terbukti bahwa
terapi glukokortikoid atau imunosuppressif dapat menyebabkan perbaikan lupus
myocarditis atau endocarditis, namun umum dilakukan pemberian dosis tinggi steroid
bersamaan dengan terapi suportif yang tepat untuk gagal jantung, aritmia, atau
kejadian embolik. Seperti yang didiskusikan diatas, pasien dengan SLE mengalami
peningkatan resiko infark myocard, biasanya akibat percepatan terjadinya
atherosclerosis, dimana kemungkinan diakibatkan oleh peradangan kronis dan/atau
kerusakan oksidatif pada lipid dan pada organ.

Manifestasi Hematologik

Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia, biasanya
normochromic normocytic, menandakan adanya penyakit kronis. Hemolysis dapat cepat
dalam onsetnya dan berat, sehingga membutuhkan terapi glukokortikoid dosis tinggi,
dimana efektif pada kebanyakan pasien. Leukopenia juga sering dan hampir selalu
mengandung limphophenia, bukan granulositopenia; ini jarang memudahkan terjadinya
infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi. Thrombositopenia merupakan masalah
yang berulang. Jika hitung platelet >40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi.
Terapi glukokortikoid dosis tinggi (misal, 1 mg/kg per hari dengan prednisone atau yang
seimbang) biasanya efektif untuk beberapa episode pertama thrombositopenia berat.
Anemia hemolitik dan thrombositopenia rekuren atau berkepanjangan, atau penyakit
yang membutuhkan dosis yang sangat tinggi dari glukokortikoid harian, sebaiknya
ditangani dengan strategi tambahan.

Manifestasi Gastrointestinal

Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu
serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebakan oleh peritonitis autoimun
dan/atau peritonitis. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine
aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini biasanya membaik
secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang
melibatkan usus dapat mengancam nyawa; perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis
adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi immunosuppressice dengan glukokortikoid
dosis tinggi disarankan untuk pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi
merupakan indikasi dari terapi tambahan.

Manifestasi Okuler

Sindrom Sicca (Sindrom Sjögren's) dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE
namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan vaskulitis retinal dan
neuritis optic yang merupakan manifestasi berat: kebutaan dapat terjadi dalam
beberapa hari atau minggu. Immunosuppresi agresif dianjurkan, walaupun tidak ada
penelitian untuk membuktikan efektivitasnya. Komplikasi dari terapi glukokortikoid
termasuk katarak dan glaucoma.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium dapat memberikan (1) penegakkan atau menyingkirkan suatu


diagnosis; (2) untuk mengikuti perkembangan penyakit, terutama untuk menandai
terjadinya suatu serangan atau sedang berkembang pada suatu organ; (3) untuk
mengidentifikasi efek samping dari suatu pengobatan.

Pemeriksaan Autoantibodi

Tabel 3 Autoantibodi yang ditemukan pada Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Antibody Prevalensi, Antigen yang Dikenali Clinical Utility


%
Antinuclear 98 Multiple nuclear Pemeriksaan skrining terbaik;
antibodies hasil negative berulang
menyingkirkan SLE
Anti-dsDNA 70 DNA (double-stranded) Jumlah yang tinggi spesifik
untuk SLE dan pada beberapa
Antibody Prevalensi, Antigen yang Dikenali Clinical Utility
%
pasien berhubunfan dengan
aktivitas penyakit, nephritis,
dan vasculitis.
Anti-Sm 25 Kompleks protein pada 6 jenis Spesifik untuk SLE; tidak ada
U1 RNA korelasi klinis; kebanyakan
pasien juga memiliki RNP;
umum pada African American
danAsia dibanding Kaukasia.
Anti-RNP 40 Kompleks protein pada U1 Tidak spesifik untuk SLE;
RNAγ jumlah besar berkaitan dengan
gejala yang overlap dengan
gejala rematik termasuk SLE.
Anti-Ro (SS-A) 30 Kompleks Protein pada hY Tidak spesifik SLE; berkaitan
RNA, terutama 60 kDa dan 52 dengan sindrom Sicca,
kDa subcutaneous lupus subakut,
dan lupus neonatus disertai
blok jantung congenital;
berkaitan dengan penurunan
resiko nephritis.
Anti-La (SS-B) 10 47-kDa protein pada hY RNA Biasanya terkait dengan anti-
Ro; berkaitan dengan
menurunnya resiko nephritis
Antihistone 70 Histones terkait dengan DNA Lebih sering pada lupus
(pada nucleosome, chromatin) akibat obat daripada SLE.
Antiphospholipid 50 Phospholipids,β2glycoprotein 1 Tiga tes tersedia –ELISA
cofactor, prothrombin untuk cardiolipin dan β2G1,
sensitive prothrombin time
(DRVVT); merupakan
predisposisi pembekuan,
kematian janin, dan
trombositopenia.

Antierythrocyte 60 Membran eritrosit Diukur sebagai tes Coombs’


langsung; terbentuk pada
hemolysis.
Antiplatelet 30 Permukaan dan perubahan Terkait dengan
antigen sitoplasmik pada trombositopenia namun
platelet. sensitivitas dan spesifitas
kurang baik; secara klinis
tidak terlalu berarti untuk SLE
Antineuronal 60 Neuronal dan permukaan Pada beberapa hasil positif
(termasuk anti- antigen limfosit terkait dengan lupus CNS
glutamate aktif.
receptor)
Antiribosomal P 20 Protein pada ribosome Pada beberapa hasil positif
terkait dengan depresi atau
psikosis akibat lupus CNS

Catatan: CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid;


DRVVT, dilute Russell viper venom time; ELISA, enzyme-linked
immunosorbent assay.

(Tabel 3) Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA
karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada
beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga
pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun
keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan
dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Jumlah IgG yang besar pada dsDNA
(bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE. Tidak ada pemeriksaan berstandar
internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara
laboratorium sangat tinggi. ELISA dan reaksi immunofluorosensi rpada sera dengan
dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar ~60% sensitivitas untuk SLE;
identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive
namun terhubung lebih baik dengan nephritis

Pemeriksaan Staandar untuk Diagnosis

Pemeriksaan skrining dapat dengan pemeriksaan darah lengkap, hitung platelet, dan
urinalysis dapat mendeteksi abnormalitas yang berperan terhadap diagnosis dan
mempengaruhi keputusan penatalaksanaan

Pemeriksaan untuk Menilai Perkembangan Penyakit

Sangat berguna untuk mengikuti hasil pemeriksaan yang mengindikasikan status dari
keterlibatan organ yang diketahui keberadaannya saat serangan SLE berlangsung.
Pemeriksaan mencakup kadar hemoglobin, platelet, urinalysis, dan kadar kreatinin atau
albumin serum. Terdapat minat yang tinggi dari identifikasi marker tambahan lainnya
untuk menilai aktivitas penyakit. Kandidat marker termasuk kadar antibody anti-DNA,
beberapa komponen komplemen (C3 tersedia luas), produk komplemen teraktifasi
(termasuk yang berikatan dengan reseptor C4d pada eritrosit), gen penginduksi IFN, IL-
2, dan adiponektin urin atau monosit kemotaktik protein.1. Tidak ada yang disetujui
sebagai indikator terpercaya pada serangan atau respon dari intervensi. Dokter
sebaiknya menginformasikan kepada tiap pasien pemeriksaan laboratorium yang
berubah dapat memprediksi serangan. Jika terjadi, perubahan terapi berespon dengan
perubahan hasil laboratorium dapat mencegah suatu serangan. Sebagai tambahan,
karena meningkatnya prevalensi atherosclerosis pada SLE, dianjurkan untuk mengikuti
rekomendasi dari National Cholesterol Education Program untuk memeriksa dan
menangani, termasuk menilai SLE sebagai faktor resiko independent, seperti diabetes
mellitus

Penatalaksanaan Systemic Lupus Erythematosus

Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi.
Sehingam dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang
berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar yang
dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Biasanya pasien akan mengalami
beberapa efek samping pada medikasi. Pilihan terapi bergantung pada (1) apakah
manifestasi penyakit membahayakan nyawa atau sepertinya menyebabkan kerusakan
organ, segera rencanakan terapi agresif (2) apakah manifestasinya berpotensial
reversible, dan (3) pendekatan terbaik untuk mencegah komplikasi penyakit dan
penanganannya. Terapi, dosis, dan efek samping terdaftar pada table 4.

Terapi Konservatif untuk Penanganan Keadaan yang Tidak Membahayakan Nyawa


Pada pasien dengan letih, nyeri, dan adanya autoantibody untuk SLE, namun tidak
disertai dengan keterlibatan pada organ utama, penatalaksanaan diarahkan untuk
menekan gejala. Analgesik dan antimalaria merupakan yang sering digunakan. NSAID
merupakan analgesic/antiinflamasi yang bermanfaat, terutama untuk
arthritis/arthralgia. Namun 2 masalah penting dalam pemakaian NSAIDs. Pertama,
pasien SLE dibandingkan dengan populasi pada umumnya memiliki peningkatan resiko
terjadinya meningitis aseptic terinduksi NSAID, peningkatan serum transaminase,
hipertensi, dan disfungsi renal. Yang kedua, semua jenis NSAIDs, terutama yang
mencegah siklooksigenase-2 secara spesifik, dapat meningkatkan resiko untuk infark
myokard. Acetaminophen untuk mengendalikan nyeri mungkin strategi yang baik,
namun NSAIDs dapat lebih efektif pada beberapa pasien, dan perbandingan antara
bahaya pada NSAID dengan kortikosteroid belum diketahui. Antimalaria
(hydroxychloroquine, chloroquine, and quinacrine) dapat meringankan dermatitis,
arthritis, dan keletihan. Obat ini juga dapat menurunkan kerusakan jaringan. Karena
potensi toksik pada retina, pasien yang mendapatkan antimalaria sebaiknya menjalani
pemeriksaan ophtalmologi paling tidak tiap tahun. Jika kualitas hidup belum cukup
membaik dengan pemberian terapi konservatif ini, maka dosis glukokortikoid sistemik
mungkin diperlukan.

SLE Membahayakan Nyawa : Bentuk Proliferative dari Lupus Nephritis

Penanganan utama untuk semua manifestasi inflamasi yang membahayakan nyawa atau
organ pada SLE adalah glukokortikoid sistemik (0.5–2 mg/kg per hari PO atau 1000 mg
methylprednisolone sodium succinate IV harian untuk 3 hari diikuti dengan 0.5–1 mg/kg
prednisone per hari). Bukti bahwa terapi glukokortikoid menyelamatkan nyawa
disimpulkan dari suatu penelitian retrospektif dari era predialisis; harapan hidup lebih
baik pada pasien dengan DPGN yang disembuhkan dengan glukokortikoid dosis tinggi
(40–60 mg prednisone harian selama 4-6 bulan) dibandingkan dengan dosis yang lebih
rendah. Saat ini, dosis tinggi direkomendasikan untuk jangka waktu yang lebih singkat;
penelitian terkini pada intervensi SLE berat membutuhkan 4-6 minggu dari dosis
tersebut. Setelah itu, dosis ditappering-off jika keadaan klinis mengizinkan, biasanya
hingga dosis maintenans mulai dari 5 hingga 10 mg prednisone per hari atau 10 hingga
20 mg tiap 2 hari. Kebanyakan pasien dengan episode SLE berat membutuhkan terapi
maintenans ini untuk beberapa tahun, dimana dosisnya dapa ditingkatkan untuk
mencegah atau mengobati serangan. Usaha-untuk mengurangi kebutuhan glukokortikoid
dibutuhkan karena pada kebanyakan orang mengalami efek samping yang bermakna
(Tabel 4). Penelitian prospektif pada lupus nephritis menunjukkan bahwa pemberian
glukokortikoid dosis tinggi melalui intravenaupus (Methylprednisolone 1000 mg/hari
selama 3 hari) lebih mempersingkat waktu penyembuhan dibandingkan dengan
pemberian oral namun tidak lebih baik dalam memperbaiki fungsi ginjal. Telah menjadi
umum pada praktek untuk memulai terapi SLE dengan pemberian glukokortikoid IV,
berdasar dari penelitian tentang lupus nephritis. Pendekatan ini harus dipertimbangkan
tingkat keamanannya, seperti keberadaan efek samping yang disebabkan glukokortikoid
(infeksi, hyperglycemia, hipertensi, osteoporosis, dll)

Agen immunosupresif/sitotoksik yang diberikan dengan glukokortikoid


direkomendasikan untuk mengatasi SLE yang berat. Kebanyakan penelitian prospektif
pada SLE melibatkan agen sitotoksik telah dilakukan pada pasien dengan lupus
nephritis, dan selalu dengan kombinasi bersama glukokortikoid. Sehingga,
pemberiannya direkomendasikan untuk mengatasi nephritis. Baik siklophosphamid atau
micophenolat mofetil (inhibitor spesifik limfosit) merupakan pilihan yang dapat
diterima untuk mendapatkan erbaikan pada pasien dengan penyakit yang berat;
azathioprine (suatu analog purin dan antimetabolik) dapat efektif namun lebih lama
berespon. Pada pasien dengan biopsy ginjalnya menunjukkan stadium III atau IV
(klasifikasi ISN), terapi dini dengan kombinasi glukokortikoid dan siklophosphamide
mengurangi progresi ESRD dan meningkatkan harapan hidup. Penelitian jangka pendek
terhadap glukokortikoid disertai mycophenolate mofetil menunjukkan bahwa regimen
ini lebih aman dan tidak lebih jelek daripada siklophosphamide dalam mempertahankan
perbaikan setelah 6 bulan fase induksi. Jika siklophosphamide digunakan, dosis yang
direkomendasikan adalah 500-700 mg/m2 secara intravena, setiap bulan selama 3
hingga 6 bulan, kemudian pemberiannya dihentikan dan melanjutkannya dengan
mycophenolate atau azathioprin. Insiden dari gangguan ovarium, merupakan efek
umum dari terapi siklophosphamide, dapat dikurangi dengan terapi agonist hormone
gonadotropin-releasing sebelum pemberian siklophosphamide. Penelitian di Eropa
menyimpulkam bajwa siklophosphamide dengan dosis 500 mg tiap 2 minggu untuk 6
dosis sama efektifnya dengan dosis yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama yang
direkomendasikan sebelumnya, selama masa 5-7 tahun. Pada umumnya mayoritas
pasien adalah Kaukasia; tidak jelas apakah data itu dapat belaku untuk etnis lainnya.
Siklophosphamide dan mycophenolate mulai berespon setelah 3-16 minggu terapi
dimulai, dimana glukokortikoid berespon dalam waktu 24 jam pertama. Pasien dengan
kadar kreatinin serum yang tinggi [misal, 265 mol/L (3,0 mg/dL)] selama beberapa
bulan dan angka kronisitas pada biopsy renal sepertinya tidak berspon dengan baik.
Durasi yang direkomendasikan untuk pemberian siklophosphamide masih controversial.
Terdapat data untuk menunjang penanganan (1) tiap bulan IV selama 6 bulan diikuti
dengan 2 tahun dengan dosis seperempatnya, (2) selama 12 minggu diikuti dengan
azathioprine, dan (3) selama 6 bulan diikuti dengan azathioprine atau myciophenolate.
Pada umumnya, siklophosphamide dan glukokortikoid dapat dihentikan jika sudah
terjadi perbaikan yang jelas pada pasien; kemungkinan dari serangan penyakit
diturunkan dengan melanjutkan terapi dengan salah satu dari obat
sitotoksik/immunosupresif yang telah didiskusikan sebelumnya. Respon terhadap lupus
nephritis terhadap siklophosphamide dan glukokortikoid lebih baik pada etnis kaukasia
dibandingkan kaum African American, namun hasil dari penelitian jangka panjang
diperlukan sebelum rekomendasi ini divalidasi. Efek samping sepertinya kebanyakan
mempengaruhi pilihan pasien terhadap siklophosphamide yang memiliki angka tinggi
kejadian kegagalan ovarium dan testis seiring dengan akumulasi dosis obat yang
meningkat, mual dan malaise yang sering mengikuti tiap dosis IV adalah alopesia dan
infeksi oportunis.

Karena glukokortikoid disertai dengan siklophosphadie memiliki efek samping


dan sering tidak disukai oleh pasien, telah dilakukan penelitian terhadap terapi
yang kurang toksik; hal ini mengarah kepada penelitian terkini serta penggunaan
mycophenolate. Azathioprine disertai dengan glukokotikoid kemungkinan
mengurangi angka serangan SLE dan menjaga kebutuhan dosis glukokortikoid.
Table 4. Medications for the Management of SLE

Medication Dose Range Drug Interactions Serious or Common


Adverse Effects
NSAIDs, salicylates (Ecotrina and St. Doses toward A2R/ACE NSAIDs: Higher incidence of
Joseph's aspirina approved by FDA for upper limit of inhibitors, aseptic meningitis,
use in SLE) recommended glucocorticoids, transaminitis, decreased renal
range usually fluconazole, function, vasculitis of skin;
required methotrexate, entire class, especially COX-
thiazides 2-specific inhibitors, may
increase risk for myocardial
infarction

Salicylates: ototoxicity,
tinnitus

Both: GI events and


symptoms, allergic reactions,
dermatitis, dizziness, acute
renal failure, edema,
hypertension
Topical glucocorticoids Mid-potency for None known Atrophy of skin, contact
face; mid to high dermatitis, folliculitis,
potency other hypopigmentation, infection
areas
Topical sunscreens SPF 15 at least; None known Contact dermatitis
30+ preferred

Hydroxychloroquinea(quinacrine 200–400 mg qd None known Retinal damage,


(100 mg qd) agranulocytosis, aplastic
can be added or substituted) anemia, ataxia,
cardiomyopathy, dizziness,
myopathy, ototoxicity,
peripheral neuropathy,
pigmentation of skin, seizures,
thrombocytopenia

Quinacrine usually causes


diffuse yellow skin coloration
DHEA (dehydroepiandrosterone) 200 mg qd Unclear Acne, menstrual irregularities,
high serum levels of
testosterone
Methotrexate b (for dermatitis, 10–25 mg once a Acitretin, Anemia, bone marrow
arthritis) week, PO or SC, leflunomide, suppression, leucopenia,
with folic acid; NSAIDs and thrombocytopenia,
decrease dose if salicylates, hepatotoxicity,
CrCl <> penicillins, nephrotoxicity, infections,
probenecid, neurotoxicity, pulmonary
sulfonamides, fibrosis, pneumonitis, severe
trimethoprim dermatitis, seizures

Glucocorticoids, orala(several Prednisone, A2R/ACE Infection, VZV infection,


prednisolone: antagonists, hypertension, hyperglycemia,
specific brands are 0.5–1 mg/kg perantiarrhythmics hypokalemia, acne, allergic
approved by FDA for use in day for severe class III, 2, reactions, anxiety, aseptic
SLE cyclosporine, necrosis of bone, cushingoid
SLE) NSAIDs and changes, CHF, fragile skin,
0.07–0.3 mg/kg salicylates, insomnia, menstrual
phenothiazines, irregularities, mood swings,
per day or qod
for milder phenytoins, osteoporosis, psychosis
quinolones,
disease
rifampin,
Medication Dose Range Drug Interactions Serious or Common
Adverse Effects
risperidone,
thiazides,
sulfonylureas,
warfarin
Methylprednisolone sodium succinate, For severe As for oral As for oral glucocorticoids (if
IVa(approved for lupus disease, 1 g IV glucocorticoids used repeatedly); anaphylaxis
qd x 3 days
nephritis)
Cyclophosphamideb Allopurinol, bone Infection, VZV infection,
7–25 mg/kg q marrow bone marrow suppression,
suppressants, leukopenia, anemia,
IV month x 6;
consider mesna colony-stimulating thrombocytopenia,
factors, doxorubicin, hemorrhagic cystitis (less with
administration
with dose rituximab, IV), carcinoma of the bladder,
succinylcholine, alopecia, nausea, diarrhea,
zidovudine malaise, malignancy, ovarian
Oral 1.5–3 mg/kg per and testicular failure
day

Decrease dose
for CrCl <>
Mycophenolate mofetilb 2–3 g/d PO; Acyclovir, antacids,
decrease dose if azathioprine, bile
Infection, leukopenia, anemia,
CrCl <25> acid–binding resins, thrombocytopenia,
ganciclovir, iron,
lymphoma,
salts, probenecid, lymphoproliferative disorders,
oral contraceptives
malignancy, alopecia, cough,
diarrhea, fever, GI symptoms,
headache, hypertension,
hypercholesterolemia,
hypokalemia, insomnia,
peripheral edema,
transaminitis, tremor, rash
Azathioprineb 2–3 mg/kg per ACE inhibitors, Infection, VZV infection,
day PO; decrease allopurinol, bone bone marrow suppression,
frequency of marrow leukopenia, anemia,
dose if CrCl <> suppressants, thrombocytopenia,
interferons, pancreatitis, hepatotoxicity,
mycophenolate malignancy, alopecia, fever,
mofetil, rituximab, flulike illness, GI symptoms
warfarin, zidovudine

You might also like