Professional Documents
Culture Documents
LUPUSERITHEMATOSUS
terjemahan dari Harrison's PRINCIPLES OF INTERNAL MEDICINE Seventeenth Edition
SLE merupakan penyakit yang melibatkan banyak gen. Pada individu yang memiliki
predisposisi genetik, allel normal dari beberapa gen normal masing-masing
berkontribusi terhadap respon imun abnormal yang kecil; jika beberapa variasi jumlah
berakumulasi , penyakit akan terjadi. Defisiensi homozigot pada komponen awal dari
komplemen (C1q,r,s; C2; C4) mengakibatkan predisposisi yang kuat terhadap kejadian
SLE, namun defisiensi ini jarang terjadi. Tiap gen meningkatkan resiko SLE sebanyak 1,5
hingga 3 kali lipat. Beberaa allel gen kemungkinan berperan dalam mempengaruhi
klirens sel apoptotic (C1q,MBL) atau kompleks imun (FcR 2A dan 3A), kemunculan
antigen (HLA-DR2,3,8), Maturasi sel B (IL-10), aktivasi sel T (PTPN22) atau kemotaksis
(MCP-1). Tidak satupun hipotesis ini telah terbukti. Sebagai penambahan terhadap
predisposisi penyakit pada etnis tertentu, beberapa gen berpengaruh terhadap
manifestasi klinis penyakit ini (misal, FcR2A/3A, MBL, PDCD1 untuk nephritis; MCP-1
untuk arthritis dan vasculitis). Suatu daerah pada kromosom 16 mengandung gen yang
merupakan predisposisi SLE, rheumatoid arthritis, psoriasis, dan Penyakit Chron’s,
Terdapat pula beberapa allel gen yang berfungsi sebagai proteksi. Semua kombinasi gen
ini mempengaruhi respon imun terhadap lingkungan eksternal dan internal; jika respon
tersebut terlalu tinggi atau berkepanjangan, penyakit autoimun akan terjadi.
Jenis kelamin wanita sering terkena SLE; betina dari semua spesies mamalia memang
memiliki respon antibody yang lebih kuat daripada pejantan. Wanita yang terpapar
kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih hormone memiliki
peningkatan resiko SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol berikatan dengan reseptor
pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan aktivasi dan daya tahan dari sel
ini, sehingga menunjang respon imun yang memanjang.
Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE (Gambar 1).
Paparan terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar 70%
pasien, kemungkinan dengan peningkatan apoptosis pada sel kulit atau dengan
mengubah DNA dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenic. Sepertinya
beberapa infeksi memicu respon imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan
B yang mengenal self-antigen; pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik
dan produksi autobodi kemudian terjadi. Kebanyakan pasien SLE mempunyai
autoantibody hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama penyakit ini,
menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk beberapa tahun
sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibody dan sel B dan T yang pathogen cukup
untuk menyebabkan gejala klinis. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan agen infeksi
yang dapat memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi genetic. Anak dan
orang dewasa dengan SLE cenderung terinfeksi EBV dibandingkan kelompok kendali
umur, jenis kelamin, dan etnis. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan
bertahan pada sel tersebut dalam beberapa decade; Ia juga mengandung sekuens asam
amino yang mirip dengan sekuens pada spilceosome manusia (RNA/antigen protein yang
dikenali oleh autoantibody pada seseorang dengan SLE). Sehingga, interaksi antara
predisposisi genetic, lingkungan, jenis kelamin, dan respon imun abnormal akan
mengakibatkan autoimunitas.
Patologi
Pada SLE, biopsy dari kulit yang terkena memperlihatkan deposisi Ig pada lapisan
antara dermal dan epidermal (dermal-epidermal junction/DEJ), jejas pada keratinosit
basal, dan peradangan yang didominasi oleh limfosit T pada DEJ dan sekitar pembuluh
darah serta pada sebagian kecil dari lapisan dermal. Kulit yang tidak terkena secara
klinis juga dapat memperlihatkan deposisi Ig pada DEJ.
Pada biopsy ginjal, pola dan keparahan jejas sangat penting dalam diagnosis dan
memilih penatalaksanaan yang tepat. Penelitian klinis lupus nephritis yang banyak
dipublikasi kebanyakan menggunakan klasifikasi World Health Organization (WHO).
Tetapi, the International Society of Nephrology (ISN) dan Renal Pathology Society (RPS)
telah mempublikasikan klasifikasi yang terbaru dan menyerupai klasifikasi WHO (Tabel
1) yang kemungkinan akan mengganti standar WHO. Kelebihan dari klasifikasi ISN/RPS
adalah penambahan “a” untuk perubahan aktif dan “c” untuk kronis, sehingga
memberikan informasi kepada seorang dokter mengenai prognosis dari penyakit ini
(dapat reversible atau irreversible). Semua klasifikasi berfokus pada penyakit
glomerular, walaupun keberadaan penyakit tubular interstitial dan vaskuler juga
penting dalam manifestasi klinis. Pada umumnya, penyakit kelompok III dan IV,
begitupula dengan penyakit kelompok V yang disertai dengan kelompok III atau
IV, sebaiknya ditangani dengan imunosupresi yang agresif jira memungkinkan,
karena terdapat resiko tinggi gagal ginjal tahap akhir (end-stage renal
disease/ESRD) jira pasien tidak ditangani atau terlambat ditangani. Penanganan
lupus nephritis tidak dianjurkan pada pasien dengan penyakit kelopok I dan II atau
dengan perubahan irreversible yang luas. Pada anak, diagnosis SLE dapat
ditegakkan berdasarkan gambaran histologis renal walaupun tanpa kriteria
diagnosis lainnya.
Class I: Minimal Mesangial Lupus Nephritis
Glomerulus normal dengan mikroskop biasa, namun deposit imun mesangial nampak dengan
immunofluorescence
Class II:Mesangial Proliferative Lupus Nephritis
Hiperselularitas mesangial murni dengan derajat apapun atau perluasan matrix mesangial dengan mikroskop biasa
disertai dengan deposit imun. Beberapa deposit subepitel dan subendotel samara dapat terlihat dengan
immunofluoroscence atau mikroskop electron namun tidak tampak dengan mikroskop biasa.
Class III: Focal Lupus Nephritis
Glomerulonephritis fokal aktif atau inaktif, segmental atau global endokapilar atau ekstrakapiler terjadi pada
<50%>
Class III (A): Lesi aktif - focal proliferative lupus nephritis
Class III (A/C): Lesi aktif dan kronis - focal proliferative dan sclerosing lupus nephritis
Class III (C): Lesi inaktif kronis disertai dengan jaringan parut glomerular—focal sclerosing lupus nephritis
Class IV: Diffuse Lupus Nephritis
Glomerulonephritis difus aktif atau inaktif, segmental atau global endo atau ekstrakapiler yang melibatkan 50%
dari seluruh glomerulus, biasanya dengan depsit imun yang difus, diserta atau tanpa perubahan mesangial. Kelas
ini dibagi atas lupus nephritis segmental difus (IV-S) jika 50% dari glomerulus yang terkena memiliki lesi yang
segmental dan lupus nephritis difus global (IV-G) jika 50% dari glomerulus yang terlibat memiliki lesi yang
global. Segmental diartikan sebagai lesi glomerulus yang melibatkan tidak lebih dari setengah dari unit
glomerulus. Kelas ini termasuk kasus dengan deposisi pada loop yang difus namun dengan sedikit atau tanpa
proliferasi glomerulus.
Class IV-S (A): Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse segmental proliferative
Class IV-G (A): Lesi aktif —Lupus nephritis diffuse global proliferative
Class IV-S (A/C): Lesi aktif dan kronik— lupus nephritis diffuse segmental proliferative dan lupus nephritis
sclerosing
Class IV-G (A/C): Lesi aktif dan kronik —lupus nephritis diffuse global proliferative dan lupus nephritis
sclerosing
Class IV-S (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse segmental sclerosing
Class IV-G (C): Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut —lupus nephritis diffuse global sclerosing
Deposit imun subepitel global atau segmental atau dengan sekuele morfologis dilihat dari pemeriksaan mikroskop
dan dengan immunofluoroscence atau mikroskop electron, disertai atau tanpa perubahan mesangial. Lupus
nephritis kelas V dapat terjadi dengan kombinasi kelas III dan IV, dimana pada kasus ini keduanya dapat
didiagnosis. Lupus nephritis kelas V dapat memperlihatkan sclerosis yang sudah berat.
90% dari glomerulus telah mengalami sclerosis secara global tanpa aktivitas residual
Diagnosis
1 Malar Rash (Butterfly rash) Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah
pipi sekitar hidung (wilayah malar)
2 Discoid rash Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai dengan sisik keratotik
adherent. Jaringan parut atropi dapat terjadi
4 Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan
5 Arthritis arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri,
bengkak, atau efusi
6 Serositis Pleurits atau pericarditis yang ditemukan melalui ECG atau bukti
adanya efusi pleura
7 Gangguan Ginjal Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atas serpihan seluler
Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya autoantibody.
Kriteria terkini untuk klasifikasi telah dijelaskan diatas dan sebuah algoritme klasifikasi
terdaftar pada gambar 2. Kriteria ini bertujuan untuk mengkonfirmasi diagnosis SLE
pada pasien yang termasuk dalam suatu penelitian; penyusun penilitian menggunakan
kriteria ini pada beberapa individu untuk menilai kecenderungan terjadinya SLE.
Kombinasi 4 dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun dalam riwayat
medis pasien, membuat pasien cenderung memiliki SLE (spesifitas dan sensitivitas
secara berurutan 95% dan 75%). Pada beberapa pasien, gejala semakin b dalam selang
waktu tertentu. Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien selama
perjalanan penyakit; pemeriksaan ANA berulang yang negative menandakan
diagnosisnya bukan SLE, kecuali jika autoantibody lainnya ditemukan (Gambar 2).
Antibodi IgG dengan jumlah banyak pada DNA dan antibody pada antigen Sm spesifik
untuk SLE dan mendukung diagnosis terutama dengan keberadaan gejala klinis.
Keberadaan beberapa autoantibody pada seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya tidak
didiagnosis SLE, walaupun pada orang tersebut terjadi peningkatan resiko karena SLE
secara klinis terjadi pada pasien setelah beberapa tahun ditemukannya autoantibody.
Gambar 2. Algoritme diagnosis dan penatalaksanaan SLE (klik gambar untuk memperbesar)
Jika diagnosis SLE ditegakkan, penting untuk mengetahui tingkat keparahan dan
kemungkinan reversible pada penyakit ini dan untuk memperkirakan konsekuensi dari
beberapa intervensi terapeutik. Pada paragraf berikutnya, deskripsi dari beberapa
manifestasi penyakit bermulai dengan permasalahan yang relatif ringan dan
berkembang menjadi yang lebih mengancam nyawa.
Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ; dalam selang
waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi spesifik dapat
ditemukan pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparajan SLE beragam mulai
dari ringan dan intermediate sampai parah dan fulminan. Beberapa pasien mengalami
eksaserbasi diantarai oleh masa yang relatif tenang; remisi permanen sempurna
(Hilangnya gejala tanpa pengobatan) jarang terjadi.Gejala sistemik, utamanya malaise
dan myalgia/arthralgia, didapatkan kebanyakan. Penyakit sistemik yang berat
memerlukan terapi glukokortikoid dapat terjadi dengan demam, letih, berat badan
berkurang, dan anemia disertai atau tanpa manifestasi organ target lainnya.
Manifestasi Muskuloskeletal
Manifestasi Renal
Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan
infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada decade pertama penyakit ini.
Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pada pasien SLE, urinalysis sebaiknya
dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE. Klasifikasi dari lupus nephritis
berdasar dari gambaran histologis (lihat “Patologi” diatas, dan table 1). Biopsi renal
berguna untuk merencanakan terapi terkini atau dimasa akan datang. Pasien dengan
bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya (ISN III dan IV) biasanya memiliki
hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam); sekitar setengah pasien
mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi. Jika
glomerulonephritis proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani, kebanyakan pasien akan
mengalami ESRD dalam 2 tahun diagnosis. Sehingga, imunosupresi agresif diindikasikan
(kebanyakan kortikosteroid sistemik disertai dengan obat sitotoxic), kecuali kerusakan
irrversibel. Etnis African American lebih cenderung mengidap ESRD dibandingkan
dengan ras Kaukasia, bahkan dengan kebanyakan terapi terkini. Di Amerika Serikat,
sekitar 20% individu dengan lupus DPGN meninggal atau mengalami ESRD setelah 10
tahun diagnosis ditegakkan. Individu tersebut membutuhkan pengendalian SLE yang
agresif dan dari komplikasi penyakit ginjal. Segelintir pasien SLE dengan proteinuria
(biasanya nephrotik) memiliki perubahan glomerulus membranous tanpa proliferasi
pada pemeriksaan biopsy ginjal. Prognosisnya lebih baik daripada mereka dengan
DPGN, namun proteinuria cenderung merupakan keadaan yang berkelanjutan, disertai
dengan serangan yang membutuhkan penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk
kebanyakan orang dengan lupus nephritis, percepatan atherosclerosis menjadi penting
setelah beberapa tahun , perhatian berlebih diberikan untuk mengendalikan tekanan
darah, hyperlipidemia, dan hyperglycemia.
Ada banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer pada SLE,
pada beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas dan
mortalitas. Penting untuk melakukan pendekatan diagnostic dengan menanyakan
apakah gejalanya akibat SLE atau penyakit lain (seperti infeksi pada individu
immunocompromised). Jika gejala berhubungan dengan SLE, sebaiknya
ditentukan apakah mereka disebabkan oleh proses difus atau penyakit oklusif
vaskuler. Manifestasi klinis SSP paling umum adalah disfungsi kognitif, termasuk
kesulitan dalam mengingat dan memberikan alasan. Sakit kepala juga umum
terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini menandakan serangan SLE; jika
lebih ringan, sulit dibedakan dengan migraine atau sakit kepala tipe tegang.
Kejang dari beberapa tipe dapat disebabkan oleh lupus, penanganan seringkali
membutuhkan antiseizure dan immunosupresif. Psikosis dapat menjadi
manifestasi dominant pada SLE; hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat
glukokortikoid. Yang terakhir biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian
glukokortikoid, pada dosis prednisone 40 mg harian atau sederajat. Psikosis
sembuh beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid diturunkan atau
dihentikan. Myelopathy tidak jarang dan seringkali menimbulkan kecacatan;
terapi immunosupresif segera dimulai dengan glukokortikoid merupakan standar
terapi.
Oklusi Vaskuler
Manifestasi Pulmoner
Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis dengan atau
tanpa efusi pleural. Gejala ini, jika ringan, dapat berespon dengan pemberian terapi
NSAID (nonsteroidal antiinflammatory drugs); jika lebih berat, pasien membutuhkan
terapi glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadu sebagai manifestasi SLE
aktif dan sulit dibedakan dari infeksi pada gambaran radiologi. Manifestasi pulmoner
yang membahayakan nyawa termasuk peradangan interstitial yang menyebabkan
fibrosis, sindrom paru menyusut, dan perdarahan intraalveolar; semua kemungkinan ini
membutuhkan terapi immunosuppresif yang agresif secara dini begitupula dengan
perawatan suportif.
Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi; biasanya ini
berespon dari terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan tamponade jantung.
Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah myocarditis dan endocarditis Libman-Sacks
fibrinous. Keterlibatan endocardial dapat menyebabkan insufisiensi valvular,
kebanyakan katup mitral atau aorta, atau kejadian embolik. Belum terbukti bahwa
terapi glukokortikoid atau imunosuppressif dapat menyebabkan perbaikan lupus
myocarditis atau endocarditis, namun umum dilakukan pemberian dosis tinggi steroid
bersamaan dengan terapi suportif yang tepat untuk gagal jantung, aritmia, atau
kejadian embolik. Seperti yang didiskusikan diatas, pasien dengan SLE mengalami
peningkatan resiko infark myocard, biasanya akibat percepatan terjadinya
atherosclerosis, dimana kemungkinan diakibatkan oleh peradangan kronis dan/atau
kerusakan oksidatif pada lipid dan pada organ.
Manifestasi Hematologik
Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia, biasanya
normochromic normocytic, menandakan adanya penyakit kronis. Hemolysis dapat cepat
dalam onsetnya dan berat, sehingga membutuhkan terapi glukokortikoid dosis tinggi,
dimana efektif pada kebanyakan pasien. Leukopenia juga sering dan hampir selalu
mengandung limphophenia, bukan granulositopenia; ini jarang memudahkan terjadinya
infeksi dan biasanya tidak membutuhkan terapi. Thrombositopenia merupakan masalah
yang berulang. Jika hitung platelet >40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi.
Terapi glukokortikoid dosis tinggi (misal, 1 mg/kg per hari dengan prednisone atau yang
seimbang) biasanya efektif untuk beberapa episode pertama thrombositopenia berat.
Anemia hemolitik dan thrombositopenia rekuren atau berkepanjangan, atau penyakit
yang membutuhkan dosis yang sangat tinggi dari glukokortikoid harian, sebaiknya
ditangani dengan strategi tambahan.
Manifestasi Gastrointestinal
Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari suatu
serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebakan oleh peritonitis autoimun
dan/atau peritonitis. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine
aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini biasanya membaik
secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid sistemik. Vaskulitis yang
melibatkan usus dapat mengancam nyawa; perforasi, iskemia, perdarahan, dan sepsis
adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi immunosuppressice dengan glukokortikoid
dosis tinggi disarankan untuk pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi
merupakan indikasi dari terapi tambahan.
Manifestasi Okuler
Sindrom Sicca (Sindrom Sjögren's) dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE
namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan vaskulitis retinal dan
neuritis optic yang merupakan manifestasi berat: kebutaan dapat terjadi dalam
beberapa hari atau minggu. Immunosuppresi agresif dianjurkan, walaupun tidak ada
penelitian untuk membuktikan efektivitasnya. Komplikasi dari terapi glukokortikoid
termasuk katarak dan glaucoma.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Autoantibodi
(Tabel 3) Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA
karena pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada
beberapa pasien ANA berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga
pemeriksaan berulang sangat berguna. Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun
keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa dan biasanya terkait dengan kemunculan
dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA). Jumlah IgG yang besar pada dsDNA
(bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE. Tidak ada pemeriksaan berstandar
internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan yang berbeda antara
laboratorium sangat tinggi. ELISA dan reaksi immunofluorosensi rpada sera dengan
dsDNA pada flagel Crithidia luciliae memiliki sekitar ~60% sensitivitas untuk SLE;
identifikasi dari aviditas tinggi untuk anti-dsDNA pada emeriksaan Farr tidak sensitive
namun terhubung lebih baik dengan nephritis
Pemeriksaan skrining dapat dengan pemeriksaan darah lengkap, hitung platelet, dan
urinalysis dapat mendeteksi abnormalitas yang berperan terhadap diagnosis dan
mempengaruhi keputusan penatalaksanaan
Sangat berguna untuk mengikuti hasil pemeriksaan yang mengindikasikan status dari
keterlibatan organ yang diketahui keberadaannya saat serangan SLE berlangsung.
Pemeriksaan mencakup kadar hemoglobin, platelet, urinalysis, dan kadar kreatinin atau
albumin serum. Terdapat minat yang tinggi dari identifikasi marker tambahan lainnya
untuk menilai aktivitas penyakit. Kandidat marker termasuk kadar antibody anti-DNA,
beberapa komponen komplemen (C3 tersedia luas), produk komplemen teraktifasi
(termasuk yang berikatan dengan reseptor C4d pada eritrosit), gen penginduksi IFN, IL-
2, dan adiponektin urin atau monosit kemotaktik protein.1. Tidak ada yang disetujui
sebagai indikator terpercaya pada serangan atau respon dari intervensi. Dokter
sebaiknya menginformasikan kepada tiap pasien pemeriksaan laboratorium yang
berubah dapat memprediksi serangan. Jika terjadi, perubahan terapi berespon dengan
perubahan hasil laboratorium dapat mencegah suatu serangan. Sebagai tambahan,
karena meningkatnya prevalensi atherosclerosis pada SLE, dianjurkan untuk mengikuti
rekomendasi dari National Cholesterol Education Program untuk memeriksa dan
menangani, termasuk menilai SLE sebagai faktor resiko independent, seperti diabetes
mellitus
Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi.
Sehingam dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang
berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar yang
dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Biasanya pasien akan mengalami
beberapa efek samping pada medikasi. Pilihan terapi bergantung pada (1) apakah
manifestasi penyakit membahayakan nyawa atau sepertinya menyebabkan kerusakan
organ, segera rencanakan terapi agresif (2) apakah manifestasinya berpotensial
reversible, dan (3) pendekatan terbaik untuk mencegah komplikasi penyakit dan
penanganannya. Terapi, dosis, dan efek samping terdaftar pada table 4.
Penanganan utama untuk semua manifestasi inflamasi yang membahayakan nyawa atau
organ pada SLE adalah glukokortikoid sistemik (0.5–2 mg/kg per hari PO atau 1000 mg
methylprednisolone sodium succinate IV harian untuk 3 hari diikuti dengan 0.5–1 mg/kg
prednisone per hari). Bukti bahwa terapi glukokortikoid menyelamatkan nyawa
disimpulkan dari suatu penelitian retrospektif dari era predialisis; harapan hidup lebih
baik pada pasien dengan DPGN yang disembuhkan dengan glukokortikoid dosis tinggi
(40–60 mg prednisone harian selama 4-6 bulan) dibandingkan dengan dosis yang lebih
rendah. Saat ini, dosis tinggi direkomendasikan untuk jangka waktu yang lebih singkat;
penelitian terkini pada intervensi SLE berat membutuhkan 4-6 minggu dari dosis
tersebut. Setelah itu, dosis ditappering-off jika keadaan klinis mengizinkan, biasanya
hingga dosis maintenans mulai dari 5 hingga 10 mg prednisone per hari atau 10 hingga
20 mg tiap 2 hari. Kebanyakan pasien dengan episode SLE berat membutuhkan terapi
maintenans ini untuk beberapa tahun, dimana dosisnya dapa ditingkatkan untuk
mencegah atau mengobati serangan. Usaha-untuk mengurangi kebutuhan glukokortikoid
dibutuhkan karena pada kebanyakan orang mengalami efek samping yang bermakna
(Tabel 4). Penelitian prospektif pada lupus nephritis menunjukkan bahwa pemberian
glukokortikoid dosis tinggi melalui intravenaupus (Methylprednisolone 1000 mg/hari
selama 3 hari) lebih mempersingkat waktu penyembuhan dibandingkan dengan
pemberian oral namun tidak lebih baik dalam memperbaiki fungsi ginjal. Telah menjadi
umum pada praktek untuk memulai terapi SLE dengan pemberian glukokortikoid IV,
berdasar dari penelitian tentang lupus nephritis. Pendekatan ini harus dipertimbangkan
tingkat keamanannya, seperti keberadaan efek samping yang disebabkan glukokortikoid
(infeksi, hyperglycemia, hipertensi, osteoporosis, dll)
Salicylates: ototoxicity,
tinnitus
Decrease dose
for CrCl <>
Mycophenolate mofetilb 2–3 g/d PO; Acyclovir, antacids,
decrease dose if azathioprine, bile
Infection, leukopenia, anemia,
CrCl <25> acid–binding resins, thrombocytopenia,
ganciclovir, iron,
lymphoma,
salts, probenecid, lymphoproliferative disorders,
oral contraceptives
malignancy, alopecia, cough,
diarrhea, fever, GI symptoms,
headache, hypertension,
hypercholesterolemia,
hypokalemia, insomnia,
peripheral edema,
transaminitis, tremor, rash
Azathioprineb 2–3 mg/kg per ACE inhibitors, Infection, VZV infection,
day PO; decrease allopurinol, bone bone marrow suppression,
frequency of marrow leukopenia, anemia,
dose if CrCl <> suppressants, thrombocytopenia,
interferons, pancreatitis, hepatotoxicity,
mycophenolate malignancy, alopecia, fever,
mofetil, rituximab, flulike illness, GI symptoms
warfarin, zidovudine