You are on page 1of 9

Makalah Sita Marital

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Pada proses mengajukan gugatan ke pengadilan seseorang mengharapkan gugatannya
dikabulkan. Oleh karena itu ia berkepentingan pula bahwa sekiranya gugatannya
dikabulkan atau ia menangkan, terjamin haknya atau dapat di jamin bahwa putusannya
dapat dilaksanakan. Selain itu putusan harus menguntungkan. Untuk kepentingan
penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya di kabulkan nanti, undang-undang
menyediakan upaya penjaminan hak tersebut dikenal dengan istilah penyitaan. Supaya
penggugat tidak hampa dikemudian hari.
Penyitaan adalah suatu tindakan pengambilan hak seseorang atau suatu pihak tertentu
atas barang-barang tertentu yang dilakukan oleh pihak pengadilan berdasarkan putusan
hakim yang umumnya terjadi karena sebab tertentu. Untuk menjamin hak-hak pencari
keadilan agar keadilan dan perlindungan hukum yang diperolehnya menjadi kenyataan
bukan merupakan keputusan yang hampa karena tidak daat dieksekusikan akibat dari
tindakan pihak lawan yang telah memindahkan atau merusak barang-barang sengketa
atau barang-barang yang dijadikan jaminan dalam perkara. Maka hukum memberi jalan
dengan memberi hak baginya untuk mengajukan permohonan sita terhadap barang-
barang sengketa atau yang dijadikan jaminan. Penyitaan ini merupakan tindakan
persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata. Barang-barang yang
disita untuk kepentingan penggugat dibekukan, ini berarti bahwa barang-barang itu
disimpan untuk jaminan dan tidak boleh di jual dan dihilangkan dan yang lebih
berkenaan dengan pengajuan gugatan tersebut adalah sita jaminan. Dari sita jaminan ini
ada beberapa macam diantaranya adalah sita harta perkawinan atau Sita Marital
Sebagaimana telah dijelaskan diatas sita marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan
uang atau penyerahan barang melainkan penjaminan bagi seorang penggugat terhadap
tergugat supaya harta bersama perkawinan yang ada tidak di jual, digadaikan, ataupun
dihilangkan, sehingga dengan demikian tindakan-tindakan tergugat akan terhalangi
karena mengalihkan barang-barang yang disita adalah tidak sah dan merupakan perbuatan
pidana.
1.2.Identifikasi
Dari permasalahan yang ada dalam pembahasan ini pemakalah mengidentifikasi
permasalahan kepada :
1. Apa yang menjadi landasan Sita Marital ini?
2. Bagaimanakah perbedaan Sita Marital dengan sita yang lainnya ?
3. Bolehkah Sita Marital di pindah tangankan/dijual belikan?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pengertian Sita Marital


Menurut Ny. Retno Wulan Sutantio Sita Marital adalah : Sita yang di mohonkan oleh
pihak istri terhadap barang-barang suami, baik yang bergerak maupun tidak bergerak,
sebagai jaminan untuk memperoleh bagiannya sehubungan dengan gugatan perceraian,
agar supaya selama proses berlangsung barang-barang tersebut jangan dihilangkan oleh
suami .
Sita marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan barang,
melainkan menjamin agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya adalah untuk
melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian dipengadilan
berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan
barang-barang yang disita, agar jangan sampai jatuh ditangan pihak ketiga.
Tujuan Sita Marital sudah jelas.untuk menjamin agar harta perkawinan tetap utuh dan
terpelihara sampai perkara mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap.Apalagi,jika
selama proses pemeriksaan perkara telah terjadi pemisahan tempat tinggal atas izin
hakim, maka semakin besar kemungkinan terancam keutuhan dan pemeliharaan atas
harta perkawinan. Misalnya, atas persetujuan hakim istri sudah terpisah tempat
tinggalnya selama pemeriksaan perkara berlangsung dan harta perkawinan semuanya di
kuasai suami. Hal ini seolah-olah memberi kesempatan kepada suami untuk menjual atau
mengelapkan sebagian harta perkawinan. Sebagai upaya menjamin untuk keselamatan,
keutuhan harta perkawinan (harta bersama) undang-undang memberi hak kepada isrti
untuk mengajukan permohonan Sita Marital
2.2. Kontroversi Sita Marital
Mahkamah Agung R.I dalam pandangan dan pendapatnya atas beberapa masalah teknis
peradilan mengemukakan bahwa bahwa penggunaan istilah Sita Marital sedikit banyak
mengandung kerancuan dan kontroversi dengan ketentuan pasal 31 undang-undang
Nomor 1/1974. Pasal ini telah meletakan landasan filosofis terhadap hak dan kedudukan
suami dan istri adalah sama dan seimbang dalam rumah tangga yaitu suami
berkedudukan sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, masing-
masing pihak berhak melakukan tindakan hukum. Pandangan ini sangat berbeda dengan
apa yang digariskan dalam pasal 105 B.W., yang menetapkan kedudukan suami sebagai
kepala dalam persatuan suami istri dan suami harus mengemudikan urusan harta
kekayaan milik istri, setiap istri harus patuh kepada suami, suami boleh menjual harta
bersama tersebut tanpa campur tangan pihak istri. Menurut Abdul manan pernyataan
terhadap Sita Marital dalam kerangka undang-undang adalah nomor 1/1974 adalah
kurang etis. Adapun istilah yang dianggap kurang pas dan cocok dengan pandangan
filosofis undang-undang nomor 1/1974 adalah sita harta bersama dan ini sesuai dengan
legal term sebagaimana tersebut dalam pasal 35 undang-undang nomor 1/1974 tersebut.
Oleh karena itu penggunaan sita harta bersama perlu dibakukan menjadi agar menjadi
law standard.
Suami seorang pemboros dan pemabuk atau penjudi. Namun demi kepentingan kejiwaan
anak-anak istri tetap mencoba untuk mempertahankan keutuhan keluarga, dan tidak
bermaksud memecah perkawinan dengan jalan perceraian.Dalam peristiwa yang
demikian, apakah tidak layak memberi hak kepada istri memperlindungi harta harta
kekayaan perkawinan dengan jalan mengajukan pemisahan harta tersebut ke pengadilan ?
Kalau menurut pasal 186 KUHPerdata, istri di perkenankan hukum untuk mengajukan
pemisahan harta. Akan tetapi hal ini tidak di atur dalam UU No.1/1974 maupun dalam PP
No.9/1975. Sehingga timbul anggapan, Sita Marital maupun pemisahan harta perkawinan
merupakan upaya hukum yang bisa di pergunakan serentak dan sesudah keputusan
perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
2.3. Alasan Sita Marital
Pada dasarnya Sita Marital sama dan serupa dengan sita jaminan (conservatoir
beslag).Dia merupakan pengkhususan yang hanya dapat berfungsi terhadap jenis perkara
sengketa perceraian .malahan kalau berorientasi kepada ketentuan pasal 215
KUHperdata, Sita Marital adalah perwujudan sita jaminan. Mari kita baca kalimat
terakhir dari pasal 215 ayat 1 KUHperdata tersebut ;tak mengurangi keleluasaan istri
untuk mengamankan haknya dengan mempergunakan upaya-upaya seperti yang telah di
atur dalam ketentuan hukum acara perdata.
Jika hal ini kita kaitkan dengan salah satu upaya yang dapat mengamankan dan
menyelamatkan hak seorang istri atas harta kekayaan perkawinan selama proses perkara
masih berlangsung ialah conservatoir beslag.Upaya ini yang di stukturkan dalam hukum
acara perdata yang berfungsi menyelamatkan gugatan atas pihak yang berkepentingan
dari kemungkinan illusoir.
Bagaimana masalah Sita Marital dalam undang-undang perkawinan No.1/1974. Apakah
di mungkinkan meletakan sita tehadap harta perkawinan? Ada disinggung dalam pasal 24
ayat 2 huruf c PP No.9/1975. Walaupun rumusannya tidak begitu tegas, namun isi yang
terkandung di dalamnya merupakan isyarat adanya hak bagi istri atau suami untuk
mengajukan permintan sita terhadap harta perkawinan selama proses perkara perceraian
berlangsung.Agar lebih jelas mari kita baca ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf c PP
no.9/1975 tersebut : ”Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan
penggugat atau tergugat pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau
barang-barang yang menjadi hak istri
Seperti yang di singgung di atas rumusan pasal ini memang kurang jelas mengarah
kepada upaya tindakan penyitaan harta perkawinan. Akan tetapi dengan memperlihatkan
kalimat : Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang,
pada hakikatnya sudah tersirat makna tindakan atau upaya penyitaan terhadap harta
perkawinan.dan tindakan yang di anggap dapat menjamin harta perkawinan selama
proses perkara perceraian berlangsung adalah sita jaminan (conservatoir beslag) yang di
sebut Sita Marital. Dengan demikian maksud yang terkandung dalam pasal 24 ayat 2
huruf c :
- memberi hak kepada suami istri untuk mengajukan Sita Marital atas harta perkawinan
selama proses perkara perceraian berlangsung,dan
- Pengadilan berwenang untuk mengabulkan Sita Marital agar terjamin pemeliharaan dan
keutuhan harta perkawinan selama proses perkara perceraian masih berlangsung.
Ada sesuatu hal yang di anggap terlampau sempit dalam peraturan pasal 24 ayat 2 huruf c
PP No.9/1975.Menurut pasal ini, pengajuan permintaan pengajuan Sita Marital ke
pengadilan hanya terbatas jika ada perkara perceraian.seolah-olah tanpa adanya sengketa
perceraian;tidak di mungkinkan mengajukan Sita Marital.ada dulu gugatan perceraian
baru di ajukan Sita Marital.Hal ini secara tegas di sebut dalam pasal 24 ayat 2 huruf c
dalam kalimat : ”selama berlangsungnya gugatan perceraian”.secara a contrario, kalau
tidak ada gugatan perceraian, istri tidak dapat mengajukan permintaan Sita Marital.
Mungkin hal ini agak berbeda dengan apa yang diatur pada KUHperdata.Berdasarkan
pasal 186 KUHPerdata, bisa saja istri mengajukan permintaan Sita Marital kepada
pengadilan apabila istri mengajukan tuntutan pemisahan harta kekayan (harta perkawinan
). KUHPerdata memperkenankan permintaan Sita Marital di luar gugatan perceraian.
Dapat di ajukan permintaan Sita Marital berdasar gugatan pemisahan harta perkawinan.
Dari ketentuan pasal 186 KUHPerdata tesebut memberi hak kepada istri untuk :
- mengajukan Sita Marital di luar gugatan perceraian.
- Mengajukan permintaan pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan yang masih
utuh :
• apabila kelakuan suami secara nyata memboroskan harta kekayaan keluarga yang biosa
mendatangkan malapetaka kehancuran rumah tangga,atau
• Apabila cara pengurusan suami atas harta kekayaan tidak tertib,sehingga tidak terjamin
keselamatan dan keutuhan harta kekayaan bersama.
Ketentuan yang seperti diatur dalam pasal 186 KUHPerdata, nampaknya tidak ada di
jumpai dalam UU no.1/1974 maupun dalam PP 9/1975.padahal aturan seperti ini sangat
penting, guna melindungi hak istri terhadap harta bersama pada satu sisi, dan
memperlindungi keutuhan harta perkawinan pada segi kelalaian pembuat undang-undang
mengatur hal yang demikian,merupakan hambatan bagi seorang istri membela haknya
terhadap suami yang boros dan berkelakuan tidak baik.karena hak untuk mngajukan Sita
Marital hanya di perkenankan apabila ada sengketa perceraian.
Bahkan lebih tragis lagi jika di telaah ketentuan mengenai pemisahan harta perkawinan.
Sebab menurut undang-undang dan praktek pengadilan, pengajuan gugatan pemisahan
atau pembagian harta perkawinan, baru dapat di ajukan setelah putusan percerian
memperoleh kekuatan hukum tetap. Seolah-olah selama perkawinan masih berjalan, tidak
di mungkinkan mengajukan pemisahan harta perkawinan.Padahal dilihat dari segi
kepentingan istri atau suami, adalah layak memberi hak mengajukan pemisahan harta
perkawinan dalam suatu perkawinan masih utuh, apabila secara nyata suami atau istri
suka menghamburkan harta kekayaan bersama.
Saya berpendapat bahwa anggapan yang seperti itu adalah keliru dan terlampau sempit.
Sekalipun UU No.1/1974 dan PP 9/1975 tidak mengaturnya, bukan berarti di larang
mengajukan Sita Marital dan pemeriksaan harta perkawinan di luar perceraian apabila
secara nyata dan salah satu pihak bertindak boros dan tidak tertib mengurus harta
kekayaan bersama. Pengadilan dapat mempedomani ketentuan pasal 186 KUHPerdata
sebagai aturan hukum pemisahan harta perkawinan di luar perceraian. Cukup alasan
untuk membenarkan praktek hukum yang demikian. Berapa banyak keluarga dan
pendidikan anak terlantar, akibat tindakan boros yang di lakukan suami atau istri.
Kemalangan dan kesengsaraan yang demikian masih mungkin dapat di hindari dengan
jalan pemisahan harta perkaswinan. Karena dengan di pisahnya harta perkawinan dapat
berfungsi sebagai katup penyelamat menjamin terhindarnya keludesan harta perkawinan
dari tindakan suami yang boros dan penjudi .

BAB III
PEMBAHASAN

Landasan Sita Marital


Sita marital ini mempunyai sumber hukum formil yaitu pasal 215 KUHPerdata undang-
undang no.1/1974 jo.PP No.9/1975 pasal 24 (2) huruf c :
a. Bunyi pasal 215 KUHPerdata : “Selama perkara berjalan, hak-hak si suami mengenai
pengurusan harta kekayaan istrinya, tidak terhenti, hal mana tak mengurangi keleluasaan
si istri untuk mengamankan haknya, dengan menggunakan upaya-upaya seperti teratur
dalam ketentuan-ketentuan reglemen Hukum Acara Perdata
b. Undang-undang no.1 tahun 1974/PP No.9/1975 pasal 24 ayat 2 huruf c :
”Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat
pengadialn dapat mentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-
barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak istri ”
Dan hukum materil yaitu pasal 823-823j R.V sebagai berikut :
Pasal 823
Tindakan-tindakan yang boleh di lakukan sehubungan dengan pasal 190 KUHPerdata
adalah penyegelan, pencatatan harta kekayaan dan penilaian barang-barang bergerak
bersama atau kepunyaan istri, dan penyitaan jaminan atas barang-barang tetap bersama,
sesuai ketentuan dari sepuluh pasal berikut.
Pasal 823a
Izin untuk mengambil satu atau lebih tindakan ini dapat diminta kepada raad van justitie
pada saat atau sesudah mengajukan surat permohonan seperti yang dimaksud dalam pasal
820. Ketua raad van justitie memberi izin itu, jika ia menganggap perlu, dapat memanggil
si suami.
Pasal 823b
Terhadap penyitaan atas barang-barang bergerak bersama atau atas barang-barang
bergerak dari istri berlaku kalimat kedua alinea kesatu dan ketiga pasal 444, pasal
447,448, 448a, 448b, 451, 452, alinea kesatu pasal 454, 456, 457, 458, dan 726 ayat (1)
Ketentuan dalam alinea pasal 448 berlaku dalam pengertian bahwa nilai barang yang
disita menggantikan jumlah dari tuntutan, untuk mana sita diletakan.
Sebagai penyimpan-penyimpan dari barang itu tidak boleh diangkat pihak yang
meletakan sita, juga anak-anak atau cucu-cucu dari suami istri atau salah satu, kecuali
dengan persetujuan tegas dari pihak yang terkena sita.
Pasal 823c
Dalam sita tidak termasuk barang-barang bergerak yang oleh pihak terkena sita ditunjuk
sebagai tidak termasuk dalam barang-barang bernama atau atau bukan kepunyaan si istri,
semuanya, kecuali yang menjadi hak masing-masing, dapat diserahkan pada keputusan
dari hakim berdasarkan pasal 823d maupun berdasarkan penerapan alinea terakhir dari
pasal 823e
Pasal 823d
Seseorang yang menerangkan pemilik dari barang-barang yang disita atau sebagian
daripadanya, dapat mengajukan keberatan terhadap penyitaan itu dengan cara seperti
yang dimaksud dalam pasal 460 ayat (1)
Pasal 823e
Keputusan hakim yang memuat penolakan terhadap tuntutan akan pemisahan
memrintahkan juga pengangkatan penyitaan. Pada pengabulan terhadap pemisahan, sita
berakhir dengan pembagian sungguh-sungguh dari barang-barang bersama atau dengan
pemberian pada istri barang-barangnya
Pasal 823f
Terhadap sita atau barang-barang tetap bersama berlaku ketentuan dalam alinea kesatu
pasal 763b, pasal 726 berlaku juga pada sita ini.
Pasal 823g
Pencatatan terhadap sita barang-barang tetap dicoret di daftar-daftar umum.
1. Berdasarkan persetujuan dari si istri untuk mencoret pencatatan seperti dimaksud
dalam pasal 1196 KUHPerdata
2. Berdasarkan keputusan hakim yang memuat penolakan tuntutan akan pemisahan atau
perintah perangkatan sita. Diluar persetujuan dari pihak-pihak yang berkepentingan tidak
dilakukan pencoretan, kecuali dengan memperhatikan ketentuan pasal 437 ayat (2)
dengan perubahan bahwa tenggang waktu empat belas hari sesudah pemberitahuan
keputusan hakim diganti degan tenggang waktu empat puluh lima hari sesudah keputusan
hakim.
3. berdasarkan keterangan dari panitera pada majelis hakim, dimana tuntutan akan
pemisahan terakhir bergantung, bahwa telah terjadi pelepasan instansi atau bahwa hal itu
telah gugur
4. berdasarkan keputusan yang menyatakan si suami berada dalam keadaan permohonan
pailit atau ternyata tidak mampu membayar hutang-hutangnya dan atau permohonan dari
balai harta peninggalan
5. berdasarkan jabatannya oleh pegawai yang dimaksud dalam alinea ketiga pasal 507
dan dengan cara dimaksud pada pencatatan dari akta pemisahan harta perkawinan
bersama atau kutipan daripadanya pasal 763g juga berlaku disini
Pasal 823h
Pengangkatan sita atas barang-barang bergerak atau tidak bergerak tetap, baik seluruhnya
maupun sebagian, diperintahkan oleh hakim yang memeriksa atau seharusnya memeiksa
tuntutan akan pemisahan dengan jaminan yang cukup atas permohonan si suami. Izin
untuk menjual atau menjaminkan barang-barang yang disita dapat diberikan oleh hakim
yang sama dengan syarat-syarat sedemikian yang di pandang perlu olehnya untuk
mencegah agar kepentingan istri tidak dirugikan karenanya.
Dalam kedua hal si istri agar terlebih dahulu atau harus ternyata bahwa ia telah di panggil
dengan cukup untuk keperluan itu. Jika tempat tinggalnya jauh, pemanggilan terhadap si
istri dapat diperintahkan kepada resiedentierechter
Pasal 823i
Sita yang diperintahkan atas keputusan hakim atas barang-barang bergerak atau barang-
barang tetap menghalang-halangi penyitaan dan pemanfaatannya oleh pihak-pihak ketiga
karena utang-utang yang terjadi sebelum dilakukan penyitaan.
Sisa dari hasil pemanfaatan itu setelah diambil oleh pihak-pihak ketiga dititipkan di
pengadilan untuk pihak-pihak yang berkepentingan
Pasal 823j
Sita yang diperintahkan atas keputusan hakim mengenai barang-barang bergerak atau
tidak bergerak atau barang-barang tetap tidak menghalangi si suami untuk memanfaatkan
penghasilannya dengan tidak mengurangi kewajiban terhadap si istri menurut perundang-
undangan atau karena perjanjian perkawinannya.
Perbedaan Sita Marital dengan sita yang lainnya
Perbedaannya dapat dilihat berdasarkan ciri ciri dari sita yang lain:
1.Conservatoir Beslag 2.Revindicatoir Beslag 3.Executoir
Beslag 4.Marital Beslag
1. Sita jaminan diletakan atas harta yang disengketakan status kepemilikannya atau
terhadap kekayaan tergugat dalam sengketa utang piutang atau juga dalam sengketa
tuntutan ganti rugi.
2. Objek Sita jaminan itu biasa meliputi barang yang bergerak atau barag yang tidak
bergerak, dapat juga dilaksanakan terhadap yang berwujud dan tidak berwujud.
3. Pembatasan sita jaminan biasa hanya pada barang-barang tertentu jika gugatan
didalilkan berdasarkan sengketa hak milik atas barang tertentu atau biasa meliputi seluruh
harta harta kekayaan tergugat sampai mencakup jumlah seluruh tagihan apabila gugatan
berdasarkan atas utang piutang atau tuntutan ganti rugi.
4. Tujuan sita jaminan bertujuan untuk menjamin gugatan penggugat tidak ilussoir pada
saat putusan. 1. Sita revindikasi dilaksanakan atas permintaan penggugat terhadap barang
milikpenggugat yang saat ini dikuasai oleh tergugat,
2. Penyitaan tersebut dilaksanakan atas benda yang dikuasai oleh tergugat secara tidak
sah tau melawan hukum atau juga tergugat tidak berhak atasnya.
3. Objek sita revindikasi ini hanya terbatas pada benda bergerak saja 1. Sita eksekusi
dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
sebelumnya tidak dilaksanakan sita terhadap barang-barang yang disengketakan
2. Tujuan sita eksekusi adalah untuk memenuhi pelaksanaan putusan pengadilan agama
dan berakhir tindakan pelelangan.
3. Hanya terjadi dalam hal-hal berkenaan dengan pembayaran sejumlah uang dan ganti
rugi
4. Kewenangan memerintah sita eksekusi sepenuhnya berada ditangan Ketua Pengadilan
Agama bukan atas perintah Ketua Majlis Hakim.
5. Dapat dilaksanakan secara berulang-ulang sampai pembayaran atau pelunasan
sejumlah uang dan ganti rugi terpenuhi.
1. Sama dengan sita jaminan.
2. Hanya befungsi terhadap jenis perkara perceraian

3.3. Sita Marital dipindah tangankan / dijual belikan


Seperti yang sudah di terangkan, pasal 197 HIR atau pasal 214 RBG melarang untuk
memindahkan atau membebani barang sitaan. Tehitung sejak tanggal pengumuman
(pendaftaran) berita acara sita, undang-undang melarang penjualan, penghibahan atau
menukarkan maupun untuk menyewakan barang sitaan.
Sekarang timbul masalah. Terhadap harta bersama telah diletakan Sita Marital. Misalkan,
selama proses pemeriksaan perkara perceraian, pengadilan telah menetapkan izin
pemeliharaan anak-anak diberikan kepada istri. Pada suatu hari, salah seorang anak
menderita sakit, dan harus di operasi. Setelah istri memberitahukan hal itu kepada pihak
suami, ternyata suami tidak mempunyai uang yang cukup untuk menanggulangi biaya
operasi tersebut. Satu-satunya jalan, ialah dengan jalan menjual sebagian harta bersama.
Berarti penjualannya terbentur pada ketentuan pasal 199 HIR atau pasal 214 RBG di
maksud?. Cara dan upaya menerobos larangan penjualan barang sitaan dalam kasus Sita
Marital dapat ditempuh dengan jalan :
- mengajukan permohonan izin kepada pengadilan (hakim),
- dan pengadilan (hakim) dapat memberi izin penjualan apabila permohonan itu
mempunyai alasan yang kuat dan mendesak.
Begitu cara mencairkan larangan tersebut. Mengajukan permohonan izin kepada
pengadilan. Jika pewngadilan memperkenankan, pengadilan mengeluarkan pnetapan izin
penjualan. Untuk itu pengadilan mengeluarkan penetapan izin penjualan. Untuk itu
pemberian izin tersebut sesuai dengan alasan yang diajukan pemohon. Penilaian hakim
dalam memberikan izin penjualan yang demikian, didasarkan atas pertimbangan
kepatutan, kemanusiaan dan kepentingan yang sangat mendesak. Mengenai bentuk
permohonan izin, bersifat voluntair. Bukan bersifat contentiosa atau bersifat partai.
Pemohon tidak mesti menempuh acara yang bersifat sengketa. Cukup dengan
permohonan izin penjualan secara sepihak. Hal ini tidak perlu diingatkan agar pengadilan
tidak mempersulit proses beracara yang diperlukan untuk memeriksa permohonan izin
yang seperti itu Apakah sudah tepat acara yang di pergunakan untuk permohonan izin
penjualan barang yang berada dibawah Sita Marital secara voluntair? Bukankah menurut
tata tertib beracara, setiap permohonan voluntair harus didasarkan atas ketentuan undang-
undang atau peraturan? Memang benar demikian! Setiap permohonan voluntair harus ada
landasan aturan perundang-undangannya. Dalam hal ini landasan perundang-
undangannya bersumber dari ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf b. yakni dengan jalan
menafsirkan ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf b secara sistematik dan secara fungsional
atau realistik dengan ayat 2 huruf a dan huruf c. Dengan demikian, makna kalimat yang
dirumuskan dalam ayat 2 huruf b (menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
pemeliharaan dan pendidikan anak) harus ditafsirkan secara luas, meliputi kewenagan
hakim untuk memberi izin penjualan harta bersama yang berada di bawah Sita Marital,
apabila untuk tindakan penjualan itu benar-benar cukup alasan
BAB IV
Kesimpulan

Penyitaan adalah suatu tindakan pengambilan hak seseorang atau suatu pihak tertentu
atas barang-barang tertentu yang dilakukan oleh pihak pengadilan berdasarkan putusan
hakim yang umumnya terjadi karena sebab tertentu.
Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat dilaksanakannya
putusan perdata. Barang-barang yang disita untuk kepentingan penggugat dibekukan, ini
berarti bahwa barang-barang itu disimpan untuk jaminan dan tidak boleh di jual dan
dihilangkan dan yang lebih berkenaan dengan pengajuan gugatan tersebut adalah sita
jaminan. Dari sita jaminan ini ada beberapa macam diantaranya adalah sita harta
perkawinan atau Sita Marital.
Sita marital bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan barang,
melainkan menjamin agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya adalah untuk
melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian dipengadilan
berlangsung antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan
barang-barang yang disita, agar jangan sampai jatuh ditangan pihak ketiga.
Sita marital ini mempunyai sumber hukum formil yaitu pasal 215 KUHPerdata undang-
undang no.1/1974 jo.PP No.9/1975 pasal 24 (2) huruf c.namun terdapat kontrovesi
tentang kedua sumber hokum formil ini, namun pada akhirnya segala ketentuan di acukan
kepada KUHPerdata karena adapun undang-undang yang setelahnya hanya mempertegas
dari sita Sita Marital ini
Adapun perbadaan dari sita Sita Marital dengan sita-sita yang lainnya adalah pada jenis
perkara yaitu, sita Sita Marital terjadi pada pengurusan harta bersama dalam perkara
perceraian selain itu sita Sita Marital tidak di gunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Aulawi Wasit. dan Sastromodjo Asro.1981 Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta:


Bulan Bintang.
Yahya Harahap.1990 Permasalahan dan penerapan sita jaminan Consevatoir
Beslag.Pustaka Bandung.
Abdul Manan.2005.Penerapan Hukum Acara Perdata di lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta. Kencana Prenada Media Group.
Sudikno Mertokusumo.1993.Hukum Acara Perdata Indonesia, liberty Yogyakarta.
Ropaun Rambe. 2000. Hukum Acara Perdata lengkap.Jakarta Sinar Garfika Jakarta.
Subekti Tjitrosudibio.2001.Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek)
Jakarta. Pradnya Paramitha.
Retnowulan Sutantio dan Oeripkartawinata.Iskandar 2005.Hukum Acara Perdata Dalam
teori dan Praktek.Bandung.CV Mandarmaju Bandung

Sumber : http://blogforumkhusus.blogspot.com/2010/01/makalah-sita-marital.html
tanggal 8 april 2011

You might also like