You are on page 1of 12

JURNAL 

AKUNTANSI PEMERINTAH
Vol. 2, No. 1, Mei 2006
Hal 79 - 91
Manajemen Risiko di Lingkungan Pemerintah:
Pengantar Aplikasi pada Unit-unit Departemen Keuangan
Irfa Ampri [1]
Abstract
Risk management is required not only in the private but also public organization. The reasons for its
application are abundance, and it relates dominantly to the change of the environment and limited
organization resources. The utilization of risk management is evidenced in the private organization.
Even thought, there are stimuli or regulations in applying risk management in public sector, the
evidence has not yet existed in Indonesian public organization.
The paper attempts to introduce the application of risk management in public organization with the
focus on the agencies under Ministry of Finance. Concept and process of risk management in the
public organization are shown including its relation with internal control. It is suggested to implement
risk management in the pilot project before applying it to all agencies.
Keywords: risk management, public sector, Indonesian public organization, Ministry of Finance

PENDAHULUAN
Aktivitas organisasi sektor publik dan bisnis senantiasa berubah dan berkembang seiring dengan
perubahan di lingkungan internal dan eksternal organisasi. Perubahan di lingkungan internal berupa
perbaikan metode operasi (misalnya perubahan dari manual ke otomatisasi) biasanya dapat
dikendalikan oleh manajemen. Sedangkan perubahan di lingkungan eksternal, seperti perubahan iklim
demokrasi dan peraturan, berada di luar kontrol organisasi.
Tuntutan perubahan dan peningkatan kapabilitas organisasi memunculkan risiko (risk) dan sekaligus
peluang (opportunities) bagi organisasi. Risiko berkenaan dengan kemungkinan terjadinya kegagalan
dan kerugian bagi organisasi. Risiko berskala rendah tidak mengkuatirkan bagi organisasi. Namun,
risiko berskala besar dapat berdampak pada tidak tercapainya tujuan dan misi dari organisasi.
Kegagalan tujuan dan misi bagi organisasi publik dapat mengakibatkan distrust (ketidakpercayaan)
dari publik atas pelayanan yang diberikan. Dalam kondisi terjelek dan sebagaimana yang pernah
terjadi, distrust dapat menyebabkan hilangnya organisasi yang bersangkutan.
Manajemen risiko (risk management) menjadi kebutuhan yang strategis dan menentukan perbaikan
kinerja dari organisasi. Pada suatu ras bangsa (Cina), karakter tulisan risiko berarti pula peluang.
Risiko yang dikelola dengan optimal bahkan memunculkan berbagai peluang bagi organisasi yang
bersangkutan. Manajemen risiko diperlukan untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya terbatas
yang dimiliki organisasi. Pengalokasian sumber daya didasarkan pada prioritas risiko yang dimulai
dari risiko skala tertinggi. Demikian pula, manajemen risiko yang ada perlu dievaluasi secara periodik
melalui aktifitas pengendalian (internal control).
Manajemen risiko pada organisasi swasta berkembang lebih pesat dibandingkan organisasi publik
(instansi Pemerintah). Fenomena ini dinilai lumrah mengingat sektor swasta memiliki ukuran-ukuran
yang jelas bagi berhasil atau gagalnya organisasi. Sedangkan organisasi publik banyak berlindung
pada faktor-faktor yang tidak dapat dikuantifisir. Namun, dorongan bagi sektor publik untuk
melakukan manajemen risiko dalam aktivitasnya semakin meningkat, dan Departemen Keuangan
meresponnya dengan menugaskan Inspektorat Jenderal sebagai compliance office for risk
management.
Artikel ini dimaksudkan untuk memperkenalkan konsep risk managementdan sebagai pengantar bagi
applikasinya pada unit-unit di lingkungan Departemen Keuangan. Sistimatika paper disajikan sebagai
berikut: (1) Pendahuluan; (2) Kebijakan Pemerintah dan Institusi Negara atas Manajemen Risiko; (3)
Pengertian Manajemen Risiko; (4) Proses Manajemen Resiko; (5) Manajemen Risiko dan Fungsi
Pengawasan; dan (6) Simpulan.
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN INSTITUSI NEGARA ATAS MANAJEMEN RISIKO
Risiko tidak tercapainya tujuan dan program organisasi tidak semata terjadi di lingkungan bisnis,
namun juga di lingkungan publik. Telah banyak kritik dan keluhan berkenaan tingginya risiko yang
dihadapi bila berkaitan dengan pelayanan instansi Pemerintah. Survei Masyarakat Transparansi
Indonesia (MTI) yang dilakukan pada tahun 2005 misalnya menyebutkan 2 unit eselon I di
lingkungan Departemen Keuangan sebagai lima besar instansi dan lembaga negara
terkorup.Tambahan pula, pelayanan investasi kepada investor asing terhitung terendah dari segi waktu
dan biaya dibandingkan negara-negara kawasan. Disamping itu, perkembangan demokrasi menuntut
asas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara dan peningkatan pelayanan publik
dari waktu ke waktu.
Pihak eksekutif dan legislatif memberikan prioritas pelaksanaan ke dua asas di atas dan peningkatan
pelayanan publik yang bertujuan untuk meminimalkan risiko pada instansi Pemerintah. Minimalisasi
risiko tertera pada beberapa undang-undang (UU), keputusan menteri, dan Arsitektur Perbankan
Indonesia (API).
UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 58 menekankan perlunya sistem
pengendalian intern (SPI) di lingkungan Pemerintah dan adanya manajemen risiko. Pasal 58 ayat 1
menyebutkan ”Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan SPI di
lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Selanjutnya, ayat 2 pasal yang sama menyatakan bahwa
SPI ditetapkan dengan peraturan pemerintah (PP). PP tersebut saat ini sedang disusun oleh tim inter-
departemen dibawah koordinasi Menteri Keuangan, dan draft PP yang dibuat menekankan pada
penilaian risiko (6 pasal) dan kegiatan pengendalian (24 pasal), atau hampir 50% dari total 69 pasal
yang dirancang dalam PP tersebut. Secara umum, PP tersebut telah mengadopsi pendekatan terkini di
bidang internal audit yang berasal dari COSO dan IIA. [2]
Manajemen risiko juga menjadi salah program utama dari strategi dan kebijakan (Road-map)
Departemen Keuangan sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu)
No. 464/KMK.01/2005 tanggal 29 September 2005 tentang Pedoman Strategi dan Kebijakan
Departemen Keuangan (Road-map Departemen Keuangan) tahun 2005-2009. Dalam Kepmenkeu
tersebut khususnya Bidang Pengawasan Fungsional, unit-unit di lingkungan Departemen Keuangan
(Depkeu) diharapkan telah menerapkan manajemen risiko di lingkungannya masing-masing terhitung
sejak tahun anggaran 2007. Disamping itu, ditunjuk pula Inspektorat Jenderal (Itjen) Depkeu
sebagaiCompliance Office atas manajemen risiko.
Peningkatan pelayanan publik, dengan mengurangi risiko seperti biaya ekstra atau pungutan liar
dalam pemberian pelayanan publik, menjadi perhatian Pemerintah yang diwujudkan dengan
penerbitan Surat Edaran (SE) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan)
No.SE/15/M.PAN/9/2005 tentang Peningkatan Intensitas Pengawasan dalam Upaya Perbaikan
Pelayanan Publik. SE tersebut meminta perhatian khusus para pimpinan departemen dan lemabaga
negara dalam meningkatkan intensitas pengawasan guna perbaikan pelayanan publik melalui antara
lain: (1) menetapkan standar pelayanan secara transparan dan akuntabel; dan (2) memfungsikan
Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) untuk memberikan perhatian khusus pengawasan
terhadap pemberian pelayanan Publik.
Manajemen risiko termasuk program ke empat dari API berkenaan dengan Program Peningkatan
Kualitas Manajemen dan Operacional Perbankan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan Good
Corporate Governance (GCG), kualitas manajemen risiko, dan kemampuan operasional manajemen.
BI mewajibkan bankir dan pegawai bank pada semua level jabatan yang berhubungan langsung
dengan pengelolaan risiko untuk mengikuti sertifikasi manajemen resiko.

PENGERTIAN MANAJEMEN RISIKO


Istilah (risk) risiko memiliki berbagai definisi. Risiko dikaitkan dengan kemungkinan kejadian atau
keadaan yang dapat mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.[3] Vaughan (1978)
mengemukakan beberapa definisi risiko sebagai berikut:
- Risk is the chance of loss (Risiko adalah kans kerugian).
Chance of loss berhubungan dengan suatu exposure (keterbukaan) terhadap kemungkinan kerugian.
Dalam ilmu statistik, chance dipergunakan untuk menunjukkan tingkat probabilitas akan munculnya
situasi tertentu. Sebagian penulis menolak definisi ini karena terdapat perbedaan antara tingkat risiko
dengan tingkat kerugian. Dalam halchance of loss 100%, berarti kerugian adalah pasti sehingga risiko
tidak ada.
- Risk is the possibility of loss (Risiko adalah kemungkinan kerugian).
Istilah possibility berarti bahwa probabilitas sesuatu peristiwa berada diantara nol dan satu. Namun,
definisi ini kurang cocok dipakai dalam analisis secara kuantitatif.
- Risk is uncertainty (Risiko adalah ketidakpastian).
Uncertainty dapat bersifat subjective dan objective. Subjective uncertainty merupakan penilaian
individu terhadap situasi risiko yang didasarkan pada pengetahuan dan sikap individu yang
bersangkutan. Objective uncertainty akan dijelaskan pada dua definisi risiko berikut.
- Risk is the dispersion of actual from expected results (Risiko merupakan penyebaran hasil aktual dari
hasil yang diharapkan).
Ahli statistik mendefinisikan risiko sebagai derajat penyimpangan sesuatu nilai disekitar suatu posisi
sentral atau di sekitar titik rata-rata.
- Risk is the probability of any outcome different from the one expected (Risiko adalah probabilitas
sesuatu outcome berbeda dengan outcome yang diharapkan). Menurut definisi di atas, risiko bukan
probabilita dari suatu kejadian tunggal, tetapi probabilita dari beberapa outcome yang berbeda dari
yang diharapkan.
Dari berbagai definisi diatas, risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk
(kerugian) yang tidak diinginkan, atau tidak terduga. Dengan kata lain, kemungkinan itu sudah
menunjukkan adanya ketidakpastian.
Risiko dapat terjadi pada pelayanan, kinerja, dan reputasi dari institusi yang bersangkutan. Risiko
yang terjadi dapat disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kejadian alam, operasional, manusia,
politik, teknologi, pegawai, keuangan, hukum, dan manajemen dari organisasi.
Suatu risiko yang terjadi dapat berasal dari risiko lainnya, dan dapat disebabkan oleh berbagai
faktor. Risiko rendahnya kinerja suatu instansi berasal dari risiko rendahnya mutu pelayanan kepada
publik. Risiko terakhir disebabkan oleh faktor-faktor sumber daya manusia yang dimiliki organisasi
dan operasional seperti keterbatan fasilitas kantor. Risiko yang terjadi akan berdampak pada tidak
tercapainya misi dan tujuan dari instansi tersebut, dan timbulnya ketidakpercayaan dari publik.
Risiko diyakini tidak dapat dihindari. Berkenaan dengan sektor publik yang menuntut transparansi
dan peningkatan kinerja dengan dana yang terbatas, risiko yang dihadapi instansi Pemerintah akan
semakin bertambah dan meningkat. Oleh karenanya, pemahaman terhadap risiko menjadi keniscayaan
untuk dapat menentukan prioritas strategi dan program dalam pencapaian tujuan organisasi.
Risiko dapat dikurangi dan bahkan dihilangkan melalui manajemen risiko. Peran dari manajemen
risiko diharapkan dapat mengantisipasi lingkungan cepat berubah, mengembangkan corporate
governance, mengoptimalkan penyusunan strategic management, mengamankan sumber daya dan
asset yang dimiliki organisasi, dan mengurangi reactive decision making dari manajemen puncak.
Menurut COSO, risk management (manajemen resiko) dapat diartikan sebagai ‘aprocess, effected by
an entity’s board of directors, management and other personnel, applied in strategy setting and
across the enterprise, designed to identify potential events that may affect the entity, manage risk to
be within its risk appetite, and provide reasonable assurance regarding the achievement of entity
objectives.’[4] Definisi risk management di atas dapat dijabarkan lebih lanjut berdasarkan kata-kata
kunci sebagai berikut:
- On going process
Risk management dilaksanakan secara terus menerus dan dimonitor secara berkala. Risk
management bukanlah suatu kegiatan yang dilakukan sesekali (one time event).
- Effected by people
Risk management ditentukan oleh pihak-pihak yang berada di lingkungan organisasi. Untuk
lingkungan institusi Pemerintah, risk management dirumuskan oleh pimpinan dan pegawai
institusi/departemen yang bersangkutan.
- Applied in strategy setting
Risk management telah disusun sejak dari perumusan strategi organisasi oleh manajemen puncak
organisasi. Dengan penggunaan risk management, strategi yang disiapkan disesuaikan dengan risiko
yang dihadapi oleh masing-masing bagian/unit dari organisasi.
- Applied across the enterprise
Strategi yang telah dipilih berdasarkan risk management diaplikasikan dalam kegiatan operasional,
dan mencakup seluruh bagian/unit pada organisasi. Mengingat risiko masing-masing bagian berbeda,
maka penerapan risk management berdasarkan penentuan risiko oleh masing-masing bagian.
- Designed to identify potential events
Risk management dirancang untuk mengidentifikasi kejadian atau keadaan yang secara potensial
menyebabkan terganggunya pencapaian tujuan organisasi.
- Provide reasonable assurance
Risiko yang dikelola dengan tepat dan wajar akan menyediakan jaminan bahwa kegiatan dan
pelayanan oleh organisasi dapat berlangsung secara optimal.
- Geared to achieve objectives
Risk management diharapkan dapat menjadi pedoman bagi organisasi dalam mencapai tujuan yang
telah ditentukan.

 
 
Gambar 1. Risiko dan Tujuan Organisasi 

Sebagaimana dijelaskan pada Gambar 1, risiko terjadi pada unit-unit dari suatu organisasi berkenaan
dengan aktivitas dari masing-masing unit. Risiko terdapat pada tindakan manajemen dalam
memamfaatkan sumber daya yang dimiliki (asset) dan proses operasi berikut aktivitas pengendalian
yang ada. Risiko-risiko kritis dan signifikan yang tidak tertangani akan berdampak pada pencapaian
tujuan-tujuan dari setiap unit. Kegagalan pencapaian tujuan pada unit akan berpengaruh langsung
pada tidak terpenuhinya tujuan organisasi.

 
 
Gambar 2. Penentuan Prioritas Faktor Risiko 

Setiap organisasi, baik pemerintah maupun swasta, tidak rentan terhadap risiko. Banyak faktor
penyebab terjadinya risiko baik yang berasal dari internal perusahaan maupun lingkungan eksternal.
IIA mengemukakan secara detail penentuan prioritas faktor risiko sebagaimana disajikan pada
Gambar 2.

PROSES MANAJEMEN RISIKO


Pemahaman risk management memungkinkan manajemen untuk terlibat secara efektif dalam
menghadapi uncertainty dengan risiko dan peluang yang berhubungan dan meningkatkan kemampuan
organisasi untuk memberikan nilai tambah. Menurut COSO, proses manajemen risiko dapat dibagi ke
dalam 8 komponen (tahap). Sebagaimana dijelaskan pada Gambar 3, komponen-komponen dari risiko
dapat dijelaskan sebagai berikut:

 
 
Gambar 3. Risk Management Model Coso  

(1) Internal environment (Lingkungan internal)


Komponen ini berkaitan dengan lingkungan dimana instansi Pemerintah berada dan beroperasi.
Cakupannya adalah risk-management philosophy (kultur manajemen tentang risiko), integrity
(integritas), risk-perspective (perspektif terhadap risiko), risk-appetite (selera atau penerimaan
terhadap risiko), ethical values (nilai moral), struktur organisasi, dan pendelegasian wewenang.
(2) Objective setting (Penentuan tujuan)
Manajemen harus menetapkan objectives (tujuan-tujuan) dari organisasi agar dapat mengidentifikasi,
mengakses, dan mengelola risiko. Objective dapat diklasifikasikan menjadi strategic
objective dan activity objective. Strategic objective di instansi Pemerintah berhubungan dengan
pencapaian dan peningkatan kinerja instansi dalam jangka menengah dan panjang, dan merupakan
implementasi dari visi dan misi instansi tersebut. Sementara itu, activity objective dapat dipilah
menjadi 3 kategori, yaitu (1)operations objectives; (2) reporting objectives; dan (3) compliance
objectives.
Sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki organisasi yang ada pada seluruh divisi dan bagian
haruslah dilibatkan dan mengerti risiko yang dihadapi. Penglibatan tersebut terkait dengan pandangan
bahwa setiap pejabat/pegawai adalah pemilik dari risiko. Demikian pula, dalam penentuan tujuan
organisasi, hendaknya menggunakan pendekatan SMART[5] , dan ditentukan risk appetite and risk
tolerance (variasi dari tujuan yang dapat diterima). [6]
Risk tolerance dapat diartikan sebagai variation dalam pencapaian objective yang dapat diterima oleh
manajemen. Dalam penerapan pelayanan pajak modern seperti pengiriman SPT WP secara elektronik,
diperkirakan 80% Wajib Pajak (WP) Besar akan mengimplementasikannya. Bila ditentukan risk
tolerance sebesar 10%, dalam hal 72% WP Besar telah melaksanakannya, berarti tujuan penyediaan
fasilitas tersebut telah terpenuhi. Disamping itu, terdapat pula aktivitas suatu organisasi seperti
peluncuran roket berawak dengan risk tolerance adalah 0%.
(3) Event identification (Identifikasi risiko)
Komponen ini mengidentifikasi kejadian-kejadian potensial baik yang terjadi di lingkungan internal
maupun eksternal organisasi yang mempengaruhi strategi atau pencapaian tujuan dari organisasi.
Kejadian tersebut bisa berdampak positif(opportunities), namun dapat pula sebaliknya atau negative
(risks).
Terdapat 4 model dalam identifikasi risiko, yaitu (1) Exposure analysis; (2)Environmental
analysis; (3) Threat scenario; (4) Brainstorming questions. Salah satu model, yaitu exposure
analysis, mencoba mengidentifikasi risiko dari sumber daya organisasi yang
meliputi financial assets seperti kas dan simpanan di bank, physical assets seperti tanah dan
bangunan, human assets yang mencakup pengetahuan dan keahlian, dan intangible
assets seperti reputasi dan penguasaan informasi. Atas setiap sumber daya yang dimiliki
organisasi dilakukan penilaian risiko kehilangan dan risiko penurunan (lihat Tabel 1).
Size, type,Risiko Risiko
portability, Kehilangan Penurunan
location nilai
(STPL)
Kecil, Pencurian, Handling
bernilai, dankebakaran,
portable handling
Besar, Pencurian, Handling,
bernilai, kebakaran, dust, fluktuasi
portable handling power
Besar, Kebakaran, Handling,
bernilai, tidakhandling dust, fluktuasi
portable power
Tabel 1 Identifikasi Risiko pada Barang Modal
(4) Risk assessment (Penilaian risiko)
Komponen ini menilai sejauhmana dampak dari events (kejadian atau keadaan) dapat mengganggu
pencapaian dari objectives. Besarnya dampak dapat diketahui dariinherent dan residual risk, dan
dapat dianalisis dalam dua perspektif, yaitu: likelihood(kecenderungan atau peluang)
dan impact/consequence (besaran dari terealisirnya risiko). Dengan demikian, besarnya risiko atas
setiap kegiatan organisasi merupakan perkalian antara likelihood dan consequence.
Penilaian risiko dapat menggunakan dua teknik, yaitu: (1) qualitative techniques; dan (2)quantitative
techniques. Qualitative techniques menggunakan beberapa tools sepertiself-assessment (low, medium,
high), questionnaires, dan internal audit reviews. Sementara itu, quantitative techniques data
berbentuk angka yang diperoleh dari tools seperti probability based, non-probabilistic
models (optimalkan hanya asumsiconsequence), dan benchmarking.
Sebagaimana dijelaskan pada Gambar 4, penilaian risiko atas setiap aktivitas organisasi akan
menghasilkan informasi berupa peta dan angka risiko. Aktivitas yang paling kecil risikonya ada pada
aktivitas a dan e, dan aktivitas yang paling berisiko tinggi dengan kemungkinan terjadi tinggi ada
pada aktivitas d. Sedangkan aktivitas c, walaupun memiliki dampak yang besar, namun memiliki
risiko terjadi yang rendah.

 
 
Gambar 4. Gambar 4 Pemetaan dan Kuantifikasi Risiko 

Yang perlu dicermati adalah events relationships atau hubungan antar kejadian/keadaan. Events yang
terpisah mungkin memiliki risiko kecil. Namun, bila digabungkan bisa menjadi signifikan. Demikian
pula, risiko yang mempengaruhi banyakbusiness units perlu dikelompokkan dalam common event
categories, dan dinilai secara aggregate.
(5) Risk response (Sikap atas risiko)
Organisasi harus menentukan sikap atas hasil penilaian risiko. Risk response dari organisasi dapat
berupa: (1) avoidance, yaitu dihentikannya aktivitas atau pelayanan yang menyebabkan risiko;
(2) reduction, yaitu mengambil langkah-langkah mengurangilikelihood atau impact dari risiko;
(3) sharing, yaitu mengalihkan atau menanggung bersama risiko atau sebagian dari risiko dengan
pihak lain; (4) acceptance, yaitu menerima risiko yang terjadi (biasanya risiko yang kecil), dan tidak
ada upaya khusus yang dilakukan. Strategi dalam memilih risiko dijelaskan pada Gambar 5.

 
 
Gambar 5 Strategi Mengelola Risiko 

Dalam memilih sikap (response), perlu dipertimbangkan faktor-faktor seperti pengaruh


tiap response terhadap risk likelihood dan impact, response yang optimal sehingga bersinergi dengan
pemenuhan risk appetite and tolerances, analis cost versus benefits, dan kemungkinan peluang
(opportunities) yang dapat timbul dari setiap risk response.
(6) Control activities (Aktifitas-aktifitas pengendalian)
Komponen ini berperanan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan (policies) dan prosedur-prosedur
untuk menjamin risk response terlaksana dengan efektif. Aktifitas pengendalian memerlukan
lingkungan pengendalian yang meliputi: (1) integritas dan nilai etika; (2) kompetensi; (3) kebijakan
dan praktik-praktik SDM; (4) budaya organisasi; (5) filosofi dan gaya kepemimpinan manajemen; (6)
struktur organisasi; dan (7) wewenang dan tanggung jawab.
Dari pemahaman atas lingkungan pengendalian, dapat ditentukan jenis dan aktifitas pengendalian.
Terdapat beberapa jenis pengendalian, diantaranya adalah preventive, detective, corrective, dan
directive. Sementara aktifitas pengendalian berupa: (1) pembuatan kebijakan dan prosedur; (2)
pengamanan kekayaan organisasi; (3) delegasi wewenang dan pemisahan fungsi; dan (4) supervisi
atasan. Aktifitas pengendalian hendaknya terintegrasi dengan manajemen risiko sehingga
pengalokasian sumber daya yang dimiliki organisasi dapat menjadi optimal.
(7) Information and communication (Informasi dan komunikasi)
Fokus dari komponen ini adalah menyampaikan informasi yang relevan kepada pihak terkait melalui
media komunikasi yang sesuai. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penyampaiaan informasi
dan komunikasi adalah kualitas informasi, arah komunikasi, dan alat komunikasi.
Informasi yang disajikan tergantung dari kualitas informasi yang ingin disampaikan, dan kualitas
informasi dapat dipilah menjadi: (1) appropriate; (2) timely; (3) current; (4)accurate; dan
(5) accessible. Arah komunikasi dapat bersifat internal dan eksternal.Sedangkan alat komunikasi
berupa diantaranya manual, memo, buletin, dan pesan-pesan melalui media elektronis.
(8) Monitoring
Monitoring dapat dilaksanakan baik secara terus menerus (ongoing) maupun terpisah (separate
evaluation). Aktifitas monitoring ongoing tercermin pada aktivitas supervisi, rekonsiliasi, dan
aktivitas rutin lainnya.
Monitoring terpisah biasanya dilakukan untuk penugasan tertentu (kasuistis). Pada monitoring ini
ditentukan scope tugas, frekuensi, proses evaluasi metodologi, dokumentasi, dan action plan.
Pada proses monitoring, perlu dicermati adanya kendala seperti reporting deficiencies, yaitu
pelaporan yang tidak lengkap atau bahkan berlebihan (tidak relevan). Kendala ini timbul dari berbagai
faktor seperti sumber informasi, materi pelaporan, pihak yang disampaikan laporan, dan arahan bagi
pelaporan.

MANAJEMEN RISIKO DAN FUNGSI PENGAWASAN


Perkembangan peranan pengawasan internal (internal control) terkini menggunakan kerangka COSO
(COSO Framework). Kerangka ini memandang internal control sebagai sebuah proses, dan dirancang
untuk memberikan keyakinan tentang efektivitas dan efisiensi dari operasi, keandalan informasi atau
pelaporan keuangan, dan ketaatan pada peraturan dan ketentuan yang berlaku. COSO
Framework terdiri dari 5 komponen yang saling terkait, yaitu control environment, risk assessment,
control activities, information and communications, danongoing monitoring.
Bila dicermati secara seksama, terdapat kesamaan tujuan, cara pandang, dan materi pada risk
management dan internal kontrol. Seluruh komponen COSO Framework ada pada risk
management. Pemahaman manajemen risiko dalam pengawasan akan mengoptimalkan fungsi
pengawasan berupa efektifitas pencapaian tujuan pengawasan dan efisiensi biaya
pengawasan. Dengan demikian, di satu sisi dapat dikatakan bahwa internal control is the integral part
of risk management.
Risk management yang telah dilakukan oleh manajemen perlu dinilai kelayakannya melalui
aktifitas internal control. Risk assessment padainternal control adalah menguji keandalan risk
management organisasi pada tahapan-tahapan sebagaimana dijelaskan pada Tabel 2.

SIMPULAN
Manajemen risiko tidak semata berlaku di sektor bisnis, namun semakin mendesak untuk
diapplikasikan di sektor publik. Banyak argumen pendukung, dan tampaknya faktor utama adalah
perubahan lingkungan dan sumber daya yang terbatas bagi pencapaian tujaun organisasi.
Pemerintah (Departemen Keuangan) dan regulator seperti Bank Indonesia (BI) tampaknya
mendukung penerapan manajemen risiko di lingkungannya. BI bahkan mewajibkan bankir dan
pegawai bank yang berhubungan dengan risiko untuk memiliki sertifikasi di bidang manajemen
risiko.
Risiko memiliki berbagai definisi, dan berkaitan dengan kemungkinan kejadian atau keadaan yang
dapat mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Pada sisi lain, penanganan risiko bahkan
dapat memuncul-kan peluang bagi organisasi. Risiko tidak dapat dihindari oleh organisasi, dan
terdapat pada sumber daya yang dimiliki dan proses operasi termasuk pengendalian. manajemen
risiko diperlukan bagi pencapaian tujuan suatu unit dan tujuan organisasi secara keseluruhan.
Menurut COSO, proses manajemen risiko dapat dibagi ke dalam 8 komponen (tahap), dimulai dari
komponen lingkungan internal organisasi, penentuan tujuan, identifikasi risiko, penilaian risiko, sikap
atas risiko, aktifitas pengendalian, informasi dan komunikasi, dan terakhir monitoring. Dari proses ini
akan didapatkan peta risiko berikut dampaknya, dan sikap yang harus diambil.
Manajemen risiko dan pengendalian internal memiliki kesamaan materi dan komponen, dan saling
terkait satu dengan lainnya. Manajemen risiko yang ada perlu dievaluasi keandalannya. Sementara itu,
aktifitas pengendalian akan menjadi optimal dengan menggunakan pendekatan risiko.
Manajemen risiko dinilai feasible untuk diaplikasikan di instansi Pemerintah. Seluruh komponen
proses manajemen risiko dapat digunakan pada aktifitas instansi Pemerintah. Oleh karenanya,
penerapan dalam bentuk ujicoba (pilot) sudah saatnya untuk dimulai dan konsep manajemen risiko
perlu disosialisasikan ke unit-unit di lingkungan Pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
Chapman, Christy. Bringing ERM into Focus. Internal Auditor, June 2003
Committee of Sponsoring Organization (COSO) of the Treadway Commission. What is
COSO: Background and Events Leading to Internal Control-Integrated Framework. 1992
Darmawi, Herman. Manajemen Risiko. Bumi Aksara, 2005.
Simmons, Mark. COSO Based Auditing. The Internal Auditor, December 1997
The Institute of Internal Auditors. Internal C
Vaughan, Emmet. Fundamentals of Risk and Insurance. 2nd, John Willey, 1978

[1] Irfa Ampri, Ph.D. adalah pegawai pada Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan. Penulis
dapat dihubungi pada irfaampri@yahoo.com, atau 021-3521860, 021-70307427.
[2] Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO) adalah lembaga
nirlaba yang didedikasikan untuk meningkatkan kualitas pelaporan keuangan melalui etika bisnis,
pengendalian internal yang efektif, dan tata kelola usaha (corporate governance). COSO didukung
oleh lembaga-lembaga yang memiliki reputasi tinggi dibidang akuntansi, keuangan, dan audit yang
diantaranya adalah IIA (The Institute of Internal Auditors).
[3] Risk is the possibility that an event adversely affect the achievement of objectives (COSO).
[4] Manajemen risiko dapat diterjemahkan sebagai sebuah proses yang dipengaruhi oleh pihak-pihak
yang berkepentingan di dalam organisasi (stakeholders), diterapkan dalam penyusunan strategi dan
kegiatan organisasi hingga ke tingkat operasional, dirancang untuk mengidentifikasi kegiatan-
kegiatan yang secara potensial akan mempengaruhi organisasi, dan mengelola risiko hingga ke level
yang diinginkan, dan menyediakan jaminan yang masuk akal berkenaan dengan pencapaian tujuan-
tujuan organisasi.
[5] SMART adalah singkatan dari specific, measurable, attainable, realistic, and timeframe.
[6] Risk appetite berkaitan dengan level risiko yang ditentukan oleh organisasi. Implementasi risk
appetite dapat dicontohkan pada penerapan jalur hijau oleh Kantor Pelayanan Bea dan Cukai (KPBC)
atas barang impor yang menurut ketentuan tidak diperiksa oleh petugas verifikasi KPBC. Tidak
dilakukannya pemeriksaan berpeluang pada penyeludupan barang impor yang seharusnya dikenakan
pajak dan bea masuk yang lebih tinggi dari yang dilaporkan yang berpotensi merugikan negara
sebesar 5% dari total penerimaan. Kerugian 5% tersebut adalah kerugian yang telah diperkirakan dari
penerapan jalur hijau yang bertujuan mengoptimalkan pelayanan, dan dipandang wajar untuk
aktivitas pabean secara internasional. Atas berbagai aktivitas organisasi dapat disusun Value
Uncertainty Map sebagaimana dijelaskan pada Gambar 2.

You might also like