You are on page 1of 11

Pendahuluan

Bermain dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aktivitas
bermain dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjukkan kegiatan bermain. Bermain
dan anak sangat erat kaitannya. Oleh karena itu, salah satu prinsip pembelajaran di
pendidikan anak usia dini adalah bermain dan belajar. Namun apakah prinsip tersebut sudah
dapat dilakukan dengan baik pada lembaga pendidikan prasekolah tersebut?

Pentingnya Bermain Untuk Anak Usia Dini

Bermain merupakan kegiatan yang tidak pernah lepas dari anak. Keadaan ini menarik
minat peneliti sejak abad ke 17 untuk melakukan penelitian tentang anak dan bermain.
Peneliti ingin menunjukkan sejauhmana bermain berpengaruh terhadap anak, apakah hanya
sekedar untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan sosial atau sekedar untuk mengisi
waktu luang.

Pendapat pertama tentang bermain oleh Plato mencatat bahwa anak akan lebih mudah
memahami aritmatika ketika diajarkan melalui bermain. Pada waktu itu Plato mengajarkan
pengurangan dan penambahan dengan membagikan buah apel pada masing-masing anak.
Kegiatan menghitung lebih dapat dipahami oleh anak ketika dilakukan sambil bermain
dengan buah apel. Eksperimen dan penelitian ini menunjukkan bahwa anak lebih mampu
menerapkan aritmatika dengan bermain dibandingkan dengan tanpa bermain.

Pendapat selanjutnya oleh Aristoteles, ia mengatakan bahwa ada hubungan yang


sangat erat antara kegiatan bermain anak dengan kegiatan yang akan dilakukan anak dimasa
yang akan datang. Menurut Aristoteles, anak perlu dimotivasi untuk bermain dengan
permainan yang akan ditekuni di masa yang akan datang. Sebagai contoh anak yang bermain
balok-balokan, dimasa dewasanya akan menjadi arsitek. Anak yang suka menggambar maka
akan menjadi pelukis, dan lain sebagainya.

Pada abad ke 18 dan awal abad ke 19, Rousseau dan Pestalozzi mulai menyadari
bahwa pendidikan akan lebih efektif jika disesuaikan dengan minat anak. Pernyataan ini
mendukung teori Frobel yang mengatakan bahwa bermain sangat penting dalam belajar.
Belajar berkaitan dengan proses konsentrasi. Orang yang mampu belajar adalah orang yang
mampu memusatkan perhatian. Bermain adalah salah satu cara untuk melatih anak
konsentrasi karena anak mencapai kemampuan maksimal ketika terfokus pada kegiatan
bermain dan bereksplorasi dengan mainan. Bermain juga dapat membentuk belajar yang
efektif karena dapat memberikan rasa senang sehingga dapat menimbulkan motivasi
instrinsik anak untuk belajar. Motivasi instrinsik tersebut terlihat dari emosi positif anak yang
ditunjukkan melalui rasa ingin tahu yang besar terhadap kegiatan pembelajaran.

Akhir abad 19, Herbart Spencer, mengemukakan bahwa anak bermain karena anak
memiliki energi yang berlebihan. Teori ini sering dikenal dengan teori Surplus Energi yang
mengatakan bahwa anak bermain (melompat, memanjat, berlari dan lain sebagainya)
merupakan manifestasi dari energi yang ada dari dalam diri anak. Bermain menurut Spencer
bertujuan untuk mengisi kembali energi seseorang anak yang telah melemah.

Dilanjutkan oleh G Stanley Hall, ia menjabarkan teori bermain sebagai bentuk evolusi
dari kegiatan nenek moyangnya dimasa yang lampau. Menurut Hall, kegiatan bermain pada
anak menunjukkan pengalaman nenek moyang ras tertentu (pengulangan perkembangan ras).
Sebagai contoh, anak yang suka bermain dengan air maka diduga bahwa nenek moyang anak
tersebut adalah ikan, anak yang suka melakukan kegiatan memanjat maka diduga bahwa
nenek moyang anak tersebut adalah monyet. Teori bermain Hall, sangat dipengaruhi Teori
Evolusi Darwin yang pada saat itu memberikan pembaharuan baru dalam ilmu pengetahuan.

Seorang tokoh Filsafat, Karl Gross mengatakan bahwa anak bermain untuk
mempertahankan kehidupannya. Menurut Gross, awalnya kegiatan bermain tidak memiliki
tujuan namun kemudian memiliki tujuan dan sangat berguna untuk memperoleh dan melatih
keterampilan tertentu dan sangat penting fungsinya bagi mereka pada saat dewasa kelak,
contoh, bayi yang menggerak-gerakkan tangan, jari, kaki dan berceloteh merupakan kegiatan
bermain yang bertujuan untuk mengembangkan fungsi motorik dan bahasa agar dapat
digunakan dimasa datang.

Sigmund Freud berdasarkan Teori Psychoanalytic mengatakan bahwa bermain


berfungsi untuk mengekspresikan dorongan implusif sebagai cara untuk mengurangi
kecemasan yang berlebihan pada anak. Bentuk kegiatan bermain yang ditunjukan berupa
bermain fantasi dan imajinasi dalam sosiodrama atau pada saat bermain sendiri. Menurut
Freud, melalui bermain dan berfantasi anak dapat mengemukakan harapan-harapan dan
konflik serta pengalaman yang tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata, contoh, anak
main perang-perangan untuk mengekspresikan dirinya, anak yang meninju boneka dan pura-
pura bertarung untuk menunjukkan kekesalannya.

Teori Cognitive-Developmental dari Jean Piaget, juga mengungkapkan bahwa


bermain mampu mengaktifkan otak anak, mengintegrasikan fungsi belahan otak kanan dan
kiri secara seimbang dan membentuk struktur syaraf, serta mengembangkan pilar-pilar syaraf
pemahaman yang berguna untuk masa datang. Berkaitan dengan itu pula otak yang aktif
adalah kondisi yang sangat baik untuk menerima pelajaran.

Berdasarkan kajian tersebut maka bermain sangat penting bagi anak usia dini karena
melalui bermain mengembangkan aspek-aspek perkembangan anak. Aspek tersebut ialah
aspek fisik, sosial emosional dan kognitif. Bermain mengembangkan aspek fisik/motorik
yaitu melalui permainan motorik kasar dan halus, kemampuan mengontrol anggota tubuh,
belajar keseimbangan, kelincahan, koordinasi mata dan tangan, dan lain sebagainya. Adapun
dampak jika anak tumbuh dan berkembang dengan fisik/motorik yang baik maka anak akan
lebih percaya diri, memiliki rasa nyaman, dan memiliki konsep diri yang positif .
Pengembangan aspek fisik motorik menjadi salah satu pembentuk aspek sosial emosional
anak.

Bermain mengembangkan aspek sosial emosional anak yaitu melalui bermain anak
mempunyai rasa memiliki, merasa menjadi bagian/diterima dalam kelompok, belajar untuk
hidup dan bekerja sama dalam kelompok dengan segala perbedaan yang ada. Dengan
bermain dalam kelompok anak juga akan belajar untuk menyesuaikan tingkah lakunya
dengan anak yang lain, belajar untuk menguasai diri dan egonya, belajar menahan diri,
mampu mengatur emosi, dan belajar untuk berbagi dengan sesama. Dari sisi emosi, keinginan
yang tak terucapkan juga semakin terbentuk ketika anak bermain imajinasi dan sosiodrama.

Aspek kognitif berkembang pada saat anak bermain yaitu anak mampu meningkatkan
perhatian dan konsentrasinya, mampu memunculkan kreativitas, mampu berfikir divergen,
melatih ingatan, mengembangkan prespektif, dan mengembangkan kemampuan berbahasa.
Konsep abstrak yang membutuhkan kemampuan kognitif juga terbentuk melalui bermain,
dan menyerap dalam hidup anak sehingga anak mampu memahami dunia disekitarnya
dengan baik.

Bermain harus sesuai dengan tahapan usia anak


Pendidik seharusnya memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang bermain agar
dapat mendukung dan menetapkan kegiatan bermain yang cocok untuk anak. Anak dengan
tingkat usia yang berbeda memiliki minat bermain yang berbeda. Tahapan tersebut dapat
diprediksi karena telah dilakukan penelitian yang panjang pada setiap tahapan usia anak.
Tahapan tersebut secara umum dijabarkan sebagai berikut ;

1. Bayi – Toddler

Bermain lebih fokus pada keterampilan motorik, pemaksimalan panca indera,


kegiatan eksplorasi objek, banyak melakukan gerakan sederhana, gerakan dilakukan
tidak bertujuan dan dilakukan berulang-ulang, tidak/belum ada komunikasi,
melakukan aktivitas yang sama namun tidak berhubungan dgn anak lain, konsentrasi
bermain hanya dengan mainannya sendiri, dan belum mengenal konsep peraturan.

2. Anak-anak awal – akhir

Pada usia ini anak sudah mulai menunjukkan minat untuk bermain dengan
anak lain, sering saling bertukar mainan, sama-sama belajar dengan anak lain untuk
membuat peraturan dan bermain dengan peraturan, belajar untuk bekerja sama dalam
satu aktivitas, sudah mampu membangun dan menciptakan sesuatu dengan benda,
tujuan bermain adalah untuk memperoleh kepuasan pribadi, jika melakukan kegiatan
bermain sambil bertanding, anak belum ada keinginan untuk menang, dan anak
belajar untuk berhitung, membaca, menulis (kemampuan dasar akademik).

3. Sekolah dasar

Pada tahap bermain ini, anak sangat tertarik untuk melakukan kegiatan
eksplorasi dan menciptakan mainannya sendiri (berkreasi), mulai menyukai kegiatan
bermain yang menggunakan angka dan kode-kode rahasia, mulai menunjukkan siapa
dirinya, keahliannya, talenta dan kemampuannya, sudah mulai memahami makna
kata, huruf dan angka, sudah mampu membangun konsep kerjasama dan sudah
mengenal rasa bersaing.

4. Memasuki remaja awal


Tahapan bermain memasuki remaja awal yaitu banyak bermain dengan
permainan teratur dan terstruktur, bermain dengan peraturan (sport), memiliki
motivaasi bermain untuk memperoleh kemenangan (menang berarti mampu
mengikuti peraturan), kegiatan terfokus/minat pada kelompok, dan anak belajar untuk
memahami lingkungan social.

Bermain memberi kontribusi alamiah untuk belajar dan berkembang, dan tidak ada
satu program pun yang dapat menggantikan pengamatan, aktivitas, dan pengetahuan
langsung anak pada saat bermain.

Salah satu cara anak mendapatkan informasi adalah melalui bermain. Bermain
memberikan motivasi instrinsik pada anak yang dimunculkan melalui emosi positif. Emosi
positif yang terlihat dari rasa ingin tahu anak meningkatkan motivasi instrinsik anak untuk
belajar. Hal ini ditunjukkan dengan perhatian anak terhadap tugas. Emosi negative seperti
rasa takut, intimidasi dan stress, secara umum merusak motivasi anak untuk belajar. Rasa
ingin tahu yang besar, mampu berpikir fleksibel dan kreatif merupakan indikasi umum anak
sudah memiliki keinginan untuk belajar. Secara tidak langsung bermain sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan anak untuk belajar dan mencapai sukses. Hal ini sesuai dengan teori
bermain yang dikemukakan oleh James Sully, bahwa bermain berkait erat dengan rasa senang
pada saat melakukan kegiatan (Mayke S Tedjasaputra; 2001)

Aktifitas bermain yang belajar memberikan jalan majemuk pada anak untuk melatih
dan belajar berbagai macam keahlian dan konsep yang berbeda. Anak merasa mampu dan
sukses jika anak aktif dan mampu melakukan suatu kegiatan yang menantang dan kompleks
yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. Oleh karena itu pendidik seharusnya
memberikan materi yang sesaui, lingkungan belajar yang kondusif, tantangan, dan
memberikan masukan pada anak untuk menuntun anak dalam menerapkan teori dan
melakukan teori tersebut dalam kegiatan praktek.

Ciri Utama Bermain

Pentingnya arti bermain bagi anak mendorong seorang tokoh psikologi dan filsafat
terkenal Johan Huizinga untuk ikut merumuskan teori bermain. Ia mengemukakan bahwa
bermain adalah hal dasar yang membedakan manusia dengan hewan. Melalui kegiatan
bermain tersebut terpancar kebudayaan suatu bangsa. Namun beberapa orang tidak dapat
membedakan kegiatan bermain dengan kegiatan tidak bermain. Pendidikan prasekolah yang
menerapkan prinsip pendidikan anak dengan belajar yang bermain, mengalami kerancuan
dalam makna. Untuk itu perlu diklasifikasikan antara kegiatan bermain dengan kegiatan yang
bukan bermain.

Menurut Rubin, Fein, & Vandenverg dalam Hughes ada 5 ciri utama bermain yang
dapat mengidentifikasikan kegiatan bermain dan yang bukan bermain :

1. Bermain didorong oleh motivasi dari dalam diri anak. Anak akan melakukannya
apabila hal itu memang betul-betul memuaskan dirinya. Bukan untuk mendapatkan
hadiah atau karena diperintahkan oleh orang lain.
2. Bermain dipilih secara bebas oleh anak. Jika seorang anak dipaksa untuk bermain,
sekalipun mungkin dilakukan dengan cara yang halus, maka aktivitas itu bukan lagi
merupakan kegiatan bermain. Kegiatan bermain yang ditugaskan oleh guru TK
kepada murid-muridnya, cenderung akan dilakukan oleh anak sebagai suatu
pekerjaan, bukan sebagai bermain. Kegiatan tersebut dapat disebut bermain jika anak
diberi kebebasan sendiri untuk memilih aktivitasnya.
3. Bermain adalah suatu kegiatan yang menyenangkan. Anak merasa gembira dan
bahagia dalam melakukan aktivitas bermain tersebut, tidak menjadi tegang atau stress.
Biasanya ditandai dengan tertawa dan komunikasi yang hidup.
4. Bermain tidak selalu harus menggambarkan hal yang sebenarnya. Khususnya pada
anak usia prasekolah sering dikaitkan dengan fantasi atau imajinasi mereka. Anak
mampu membangun suatu dunia yang terbuka bagi berbagai kemungkinan yang ada,
sesuai dengan mimpi-mimpi indah serta kreativitas mereka yang kaya.
5. Bermain senantiasa melibatkan peran aktif anak, baik secara fisik, psikologis, maupun
keduanya sekaligus.

Apa yang dapat dilakukan oleh pendidik?

Adapun upaya yang dapat dilakukan pendidik untuk menghargai arti bermain itu
adalah dengan memberikan pengalaman dan kesempatan aktivitas bermain pada anak.
Bermain tanpa dibatasi dengan waktu dan peraturan bermain membuat anak punya banyak
waktu untuk eksplorasi sendiri serta mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Untuk upaya
tindakan protektif kepada anak, pendidik dapat memberikan kenyamanan dan lingkungan
yang mendukung untuk bermain dan merancang lingkungan bermain outdoor. Adapun
tujuannya adalah agar kebebasan anak ketika bermain tidak terganggu dengan lingkungan
yang membahayakan. Anak dapat memilih mainan apapun dan bermain dengan bebas tanpa
takut cedera. Pendidik juga dapat merencanakan kurikulum dengan seksama, menanggapi
anak pada saat bermain, peduli akan kebutuhan anak, mengobservasi anak pada saat bermain
spontan dan tahu kapan saatnya pendidik memberikan bantuan, mengontrol tingkah laku anak
dan membantu anak mengungkapkan perasaan melalui verbal pada saat bermain.
Kesimpulan

Anak dan bermain tidak dapat dipisahkan. Dorongan alamiah anak adalah bermain. Beberapa
manfaat diperoleh dari kegiatan bermain yaitu dapat mengembangkan aspek perkembangan
anak. Tahapan perkembangan anak juga dapat menjadi ciri dalam kegiatan bermain anak,
sehingga kegiatan bermain dapat diprediksi dan dijadikan acuan dalam perkembangan anak.
Ketika pentingnya bermain dapat dipahami oleh pendidik maka pendidik dapat
mengupayakan kegiatan bermain menjadi lebih utama dalam kegiatan belajar untuk anak.
Upaya lain yang dapat dilakukan pendidik adalah dengan merancang lingkungan yang
kondusif untuk anak bermain, dan menjadi fasilitator serta motivator untuk anak ketika anak
sedang bermain.

Referensi

Elizabeth H. 1978. Perkembangan Anak 1. Jakarta : Erlangga

____. 2002. Working with play. http://www.cyc-net.org/index.html

Redaksi. ____. Anak-anak bermainlah!


http://www.dhammacakka.org/majalah/mj36/ulasan.htm

Joan Packer Isenberg and Nancy Quisenberry.____. Play Essential for Children A Position
Paper of the Association for Childhood Education International.
http://www.acei.org/playpaper.htm

Mayke Sugianto. 1995. Bermain, Mainan dan Permainan. Jakarta : Dirjen Pendidikan Tinggi

http://marthachristianti.wordpress.com/2008/03/11/anak-bermain/

Senin, 19 Januari 2009


SEJARAH PERKEMBANGAN TEORI BERMAIN

Bermain pada awalnya belum mendapat perhatian khusus dari para


ahli ilmu jiwa, karena terbatasnya pengetahuan tentang psikologi
perkembangan anak dan kurangnya perhatian mereka pada
perkembangan anak. Salah satu tokoh yang dianggap berjasa untuk
meletakkan dasar tentang bermain adalah Plato, seorang filsuf Yunani.
Plato dianggap sebagai orang pertama yang menyadari dan melihat
pentingnya nilai praktis dari bermain. Menurut Plato, anak-anak akan lebih
mudah mepelajari aritmatika dengan cara membagikan apel kepada
anak-anak. Juga melalui pemberian alat permainan miniature balok-balok
kepada anak usia tiga tahun pada akhirnya akan mengantar anak
tersebut menjadi seorang ahli bangunan.

Filsuf lainnya, Aristoteles berpendapat bahwa anak-anak perlu


didorong untuk bermain dengan apa yang akan mereka tekuni di masa
dewasa nanti. Dari tokoh-tokoh yang mengadakan reformasi di bidang
pendidikan seperti Comenius (abad 17), Rousseau, Pestalozzi dan Frõbel
(abad 18 serta awal abad 19) akhirnya lambat laun para pendidik dapat
menerima pendapat bahwa pendidikan untuk anak perlu disesuaikan
dengan minat serta tahap perkembangan anak. Frõbel lebih menekankan
pentingnya bermain dalam belajar karena berdasarkan pengalamannya
sebagai guru, dia menyadari bahwa kegiatan bermain maupun mainan
yang dinikmati anak dapat digunakan untuk menarik perhatian serta
mengembangkan pengetahuan mereka. Jadi Plato, Aristoteles, Frõbel
menganggap bermain sebagai kegiatan yang mempunyai nilai praktis.
Artinya, bermain digunakan sebagai media untuk meningkatkan
ketrampilan dan kemampuan tertentu pada anak. Sayangnya pada
tersebut, teori perkembangan psikologi anak belum mempunyai
sistematika yang teratur. Akibatnya, apa yang dikemukakan oleh Frõbel
bahwa bermain dapat meningkatkan minat, kapasitas serta pengetahuan
anak sulit dibuktikan.

Pertengahan sampai akhir abad 19 teori evolusi sedang


berkembang sehingga pembahasan teori bermain banyak dipengaruhi
oleh paham tersebut. Bermain memiliki fungsi untuk memulihkan tenaga
sesorang setelah bekerja dan merasa jenuh. Pendapat ini dipertanyakan
karena pada anak kecil yang tidak bekerja tetap melakukan kegiatan
bermain. Jadi penjelasan mengenai kenapa terjadi kegiatan bermain pada
makhluk hidup belum dapat dijawab secara memuaskan.

Sebelum terjadi Perang Dunia ke-1, ada beberapa tokoh yang dapat
dikategorikan dalam teori klasik. Mereka berusaha menjelaskan mengapa
muncul perilaku bermain serta apa tujuan dari bermain. Ellis (dalam
Johnson et al, 1999) menyebutnya sebagai armchair theories karena teori
itu dibangun berdasarkan refleksi filosofis dan bukan melalui riset
eksperimental. Teori klasik mengenai bermain dapat dikelompokkan
dalam dua bagian, yaitu (1) surplus energi dan teori rekreasi, serta (2)
teori rekapitulasi dan praktis. Friedrich Schiller seorang penyair
berkebangsaan Jerman (abad 18) dan Herbert Spencer seorang filsuf
Inggris (abad 19) mengajukan teori surplus energi untuk menjelaskan
mengapa ada perilaku bermain. Herbert Spencer di dalam bukunya
Principles of Psychology, pertengahan abad 19 (dalam Millar, 1972)
mengemukakan bahwa kegiatan bermain seperti berlari, melompat,
bergulingan yang menjadi ciri khas kegiatan anak kecil maupun anak
binatang perlu dijelaskan secara berbeda.
Spencer berpendapat bermain terjadi akibat energi yang berlebihan
dan ini hanya berlaku pada manusia serta binatang dengan tingkat
evolusi tinggi. Pada binatang yang mempunyai tingkat evolusi lebih
rendah, misalnya serangga, katak energi tubuh lebih dimanfaatkan untuk
mempertahankan hidup. Ketrampilan kelompok binatang dengan tingkat
evolusi rendah sangat terbatas sehingga harus banyak menguras tenaga
untuk mempertahankan hidup. Energi lebih ini dapat diumpamakan
sebagai sistem kerja air atau gas yang akan menekan ke semua arah
untuk mencari penyaluran. Tekanan akan lebih kuat dan butuh
penyaluran yang lebih banyak bila volume air atau gas sudah melebihi
daya tampungnya.

Pada masa tersebut teori surplus energi mempunyai pengaruh


besar terhadap psikologi, namun teorinya dirasakan kurang tepat dan
mendapat tantangan. Sebagai contoh, anak akan cepat-cepat akan
menyelesaikan tugas kalau dijanjikan boleh bermain setelah tugasnya
selesai. Bayi yang sudah mengantuk seringkali tetap ingin bermain
dengan mainannya. Dari kedua contoh tersebut, jelas tergambar bahwa
bermain merupakan suatu insentif, dan bukan muncul akibat kelebihan
energi.

Berlawanan dengan teori surplus energi, maka teori rekreasi


mengajukan dalil bahwa tujuan bermain adalah untuk memulihkan energi
yang sudah terkuras saat bekerja. Menurut penggagasnya, seorang
penyair Jerman bernama Moritz Lazarus, kegiatan bekerja menyebabkan
berkurangnya tenaga. Tenaga ini akan dapat dipulihkan kembali dengan
cara tidur atau melibatkan dalam kegiatan yang sangat berbeda dengan
bekerja. Bermain adalah lawan dari bekerja dan merupakan cara yang
ideal untuk memulihkan tenaga. Tentu saja teori yang dikemukakan oleh
Lazarus terkesan kurang ilmiah walaupun teori ini bisa menjelaskan
aktifitas rekreatif yang dilakukan orang dewasa, seperti bermain catur
sebagai selingan setelah bekerja keras.

Abad 19, teori evolusi mempunyai pengaruh besar terhadap studi


tentang anak. Apa yang dikemukakan Herbert Spencer dirasakan terlalu
spekulatif tetapi pendapat Charles Darwin di dalam bukunya Origin of
Species (dalam Millar, 1972) tidak dapat diabaikan begitu saja. Bahwa
manusia merupakan hasil evolusi dari makhluk yang lebih rendah
akhirnya merangsang dan mendorong minat para ilmuwan untuk
mempelajari perkembangan manusia sejak bayi sampai menjadi dewasa.
Kalau sebelumnya pendekatan yang dilakukan untuk mempelajari
perilaku manusia bersifat spekulatif, maka sejak saat itu dilakukan lebih
ilmiah, melalui metode observasi. Para ayah, termasuk darwin membuat
pencatatan atas perkembangan anak-anak mereka.

G. Stanley Hall, seorang profesor Psikologi dan paedagogi berminat


terhadap teori evolusi dan bidang pendidikan, dia juga mempelajari
perkembangan anak. G. Stanley Hall meninjau bermain dari teori
rekapitulasi, dan gagasannya adalah sebagai berikut: ”anak merupakan
mata rantai evolusi dari binatang sampai menjadi manusia”. Artinya anak
menjalankan semua tahapan evolusi, mulai dari protozoa (hewan bersel
satu) sampai menjadi janin. Sejak konsepsi atau bertemunya sel telur
dengan sperma sampai anak lahir, melampaui beberapa tahap
perkembangan yang serupa dengan urutan perkembangan dari species
ikan sampai menjadi species manusia. Dengan demikian, perkembangan
sesorang akan mengulangi perkembangan ras tertentu sehingga
pengalaman-pengalaman ’nenek moyangnya’ akan tertampil didalam
kegiatan bermain pada anak (dalam Millar, 1972 dan johnson et al, 1999).
Teori rekapitulasi berhasil memberi penjelasan lebih rinci mengenai
tahapan kegiatan bermain yang mengikuti urutan sama seperti evolusi
makhluk hidup. Sebagai contoh, kesenangan anak untuk bermain air
dapat dikaitkan dengan kegiatan ’nenek moyangnya’, species ikan yang
mendapat kesenangan di dalam air. Anak yang berkeinginan untuk
memanjat pohon dan berayun dari satu dahan ke dahan lain sebagai
cerminan kebiasaan monyet dan perilaku bermain jenis ini muncul
sebelum anak terlibat dalam kegiatan bermain kelompok. Anak usia 8 –
12 tahun, anak senang berkemah, berperahu, memancing, berburu
bersama sekelompok teman dan ini merupakan cermin kebiasaan
masyarakat primitif. Teori yang diajukan G. Stanley Hall tentu saja
mempunyai kelemahan, tetapi setidaknya dapat di anggap mempunyai
peran besar karena berhasil mendorong minat ilmuwan lain untuk
mempelajari perilaku anak dalam berbagai tahap usia.

Teori praktis yang diajukan oleh Karl Groos, seorang filsuf yang
meyakini bahwa bermain berfungsi untuk memperkuat instink yang
dibutuhkan guna kelangsungan hidup di masa mendatang. Dasar teori
Groos adalah prinsip seleksi alamiah yang dikemukakan oleh Charles
Darwin. Binatang dapat mempertahankan hidupnya karena dia
mempunyai ketrampilan yang diperoleh melalui bermain. Bayi yang baru
lahir dan juga binatang mewarisi sejumlah instink yang tidak sempurna
dan instink ini penting guna mempertahankan hidup. Bermain bermanfaat
bagi yang masih muda dalam melatih dan menyempurnakan instinknya.
Jadi tujuan bermain adalah sebagai sarana latihan dan mengelaborasi
ketrampilan yang diperlukan saat dewasa nanti.

Contoh bahwa bermain berfungsi sebagai sarana melatih


ketrampilan untuk bertahan hidup dapat kita amati pada anak-anak
kucing yang lari mengejar dan menangkap bola sebagai latihan
menangkap mangsanya. Bayi menggerak-gerakkan jari, tangan, kaki tiada
lain sebagai latihan untuk mengkontrol tubuh. Bayi berceloteh untuk
melatih otot-otot lidah yang dibutuhkan untuk bicara.

Bagaimana halnya dengan instink atau naluri yang sudah dimiliki


binatang untuk mempertahankan hidupnya? Gross mengatakan bahwa
pada binatang yang sudah dilengkap oleh instink, tidak perlu bermain
karena mereka sudah dapat mempertahankan diri secara instinktif. Beda
halnya dengan binatang yang mempunyai tingkatan evolusi lebih tinggi
dan manusia yang memerlukan perlindungan serta perawatan lebih lama
agar dapat mempertahankan hidupnya. Kelompok ini perlu diberi latihan-
latihan melalui bermain dan meniru (imitasi). Pertanyaan lain adalah
”mengapa manusia tetap bermain sampai usia dewasa bahkan sampai
tua?”. Karl Gross memberi sanggahan dengan mengatakan bahwa
bermain adalah sesuatu yang menyenangkan di masa muda, oleh karena
itu tetap dilakukan dimasa dewasa.

Teori yang dikemukakan Gross mengandung kelemahan, tetapi


sekaligus memberi sumbangan karena kegiatan bermain yang dulunya
dianggap tidak berguna, pada kenyataannya mempunyai manfaat secara
biologis, paling tidak untuk mempertahankan hidup. Selain itu pendapat
bahwa bermain merupakan sarana melatih ketrampilan tertentu masih
bisa diterima.

Tabel: Teori-teori Klasik

N Teori Penggagas Tujuan Bermain


o
1 Surplus Schiller/Spencer Mengeluarkan
Energi energi berlebihan
2 Rekreasi Lazarus Memulihkan
tenaga
3 Rekapitula Hall Memunculkan
si instink nenek
moyang
4 Praktis Groos Menyempurnakan
instink

Sumber:

Mayke S. Tedjasaputra, 2001. Bermain, Mainan, dan Permainan.


Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

http://sugiparyanto-sugiparyanto.blogspot.com/2009/01/sejarah-perkembangan-
teori-bermain.html

You might also like