You are on page 1of 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Rhinitis berasal dari kata “rhino”hinitis adalah gangguan peradangan pada selaput
mukoso/lender hidung, yang artinya hidung dan “itis” yang artinya peradangan, sedangkan
alergi adalah penyebabnya. Jadi rhinitis alergi adalah peradangan selaput lendir hidung
karena alergi .
Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin
keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE. Rhinitis alergi merupakan
masalah yang global yang menyerang sekitar 10% sampai 40% penduduk dunia dan
meningkat sekitar 40 tahun terakhir ini. Penyakit ini masih sering disepelekan, untuk itu perlu
diberikan beberapa informasi agar penderita tidak terlalu meremehkan dan dapat mengetahui
berbagai upaya untuk mengurangi gejala dan mencegah komplikasi.
Rhinitis alergi berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya,
penurunan produktifitas kerja, prestasi di sekolah, aktifitas sosial dan malah dapat
menyebabkan gangguan psikologis seperti depresi.
Banyak cara untuk mengobati rhinitis. Pengobatannya bisa dilakukan secara
farmakologi maupun non-farmakologi. Inti dari pengobatan yang terbaik adalah untuk
menghindari allergen, mungkin tidak bisa sepenuhnya menghindari semua allergen yang
memicu, tapi setidaknya bisa mengurangi paparan alergen.
Dalam laporan ini, kami akan membahas tentang pengobatan non-farmakologis
untuk pasien rhinitis alergi. Sesuai dengan jurnal yang kami dapat, banyak sekali pilihan
pengobatan non-farmakologis untuk pasien rhinitis alergi, yaitu dengan : pengobatan
tradisional Cina, teh hijau “benifuuki”, ramuan herbal cina, dan lactobacillus plantarum.
Akupuntur dan ramuan herbal Cina merupakan komponen utama dalam
pengobatan tradisional Cina, telah digunakan selama berabad-abad untuk mengobati gejala-
gejala yang mirip dengan rhinitis alergi. Akupuntur dan obat herbal cina dikelola sesuai

1
dengan prinsip-prinsip pada pengobatan tradisional Cina untuk pengobatan rhinitis dari yang
ringan sampai musiman, digunakan bersama-sama untuk meningkatkan efektifitasnya.
Pengobatan ini efektif dalam mengurangi keparahan penyakit dan mempengaruhi parameter
kualitas hidup setelah 6 minggu pengobatan, dibandingkan pengobatan dengan menggunakan
jarum palsu yang juga merupakan formulasi herbal non-spesifik.
Benifuuki adalah teh di Jepang yang kaya akan anti alergi epigallocatechin 3-O(3-
methyl O-) gallate (EGCG3@me). "Benifuuki" yang mengandung teh hijau katekin O-
alkohol secara signifikan dapat meredakan gejala rhinitis musiman atau perennial
dibandingkan dengan plasebo teh hijau yang tidak mengandung katekin O-alkohol dalam
klinis secara acak, double-blind.
Minum teh "benifuuki" selama 1,5 bulan sebelum musim serbuk sari cedar efektif
dalam mengurangi gejala pollinosis cedar Jepang. "Benifuuki" sangat membantu dalam
mengurangi beberapa gejala rhinitis alergi, tetapi tidak mempengaruhi respon imun normal
pada pasien dengan pollinosis aras Jepang, akan tetapi ekstrak jahe meningkatkan efek dari
teh hijau "benifuuki”.
Rhinitis alergi juga dapat dikurangi dengan cara mengkonsumsi bakteri asam
lactid atau bifidobacteria yang bersifat non-pathogenic dan berguna dalam menjangkau
makanan ketika diproses. Lactobacillus yang diberikan sebelum melahirkan kepada ibu yang
mempunyai alergi dan diberikan setelah melahirkan kepada anaknya merupakan cara yang
efektif untuk pencegahan dini penyakit atopic pada anak-anak. Dengan memberikan asupan
lactobacillus plantarum No.14 (LP14) setiap hari secara oral dapat menekan japanese cedar
pollin-khususnya pada tingkat IgE, eoshinopils, gejala subyektif, dan juga untuk menurunkan
presentasi lemak tubuh.
Banyak sekali pengobatan yang bisa dilakukan untuk mengobati pasien rhinitis
alergi. Menurut penelitian yang telah dilakukan sesuai dengan yang ada dalam jurnal
pengobatan non-farmakologi untuk rhinitis alergi dengan menggunakan pengobatan
tradisional Cina, ramuan herbal Cina, teh hijau “benifuuki”, akupuntur dan dengan
memanfaatkan Lactobacillus Plantarum terbukti efektif untuk menurunkan gejala dan
mengobati pasien dengan rhinitis alergi.

2
1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah rhinitis alergi itu?


2. Apa saja intervensi yang tepat untuk pasien dengan rhinitis?
3. Pengobatan non-farmakologi apa saja yang aman dan efektif untuk rhinitis alergi
seasonal?
4. Treatment non-farmakologi apa yang lebih direkomendasikan untuk mengurangi
gejala rhinitis allergi seasonal?

1.3 Tujuan

Dalam membuat laporan ini tujuan yang ingin kami capai adalah :

 Mampu memecahkan masalah dengan evidence based yang tepat


 Memenuhi penugasan yang diberikan oleh koordinator blok 2.5
 Mampu menganalisis kasus yang ada dalam artikel dengan baik dan tepat
 Mampu mengambil keputusan untuk memecahkan masalah yang terkait dengan
masalah keperawatan
 Menerapkan hasil analisis dan menerapkannya dalam praktek keperawatan

1.4 Manfaat

 Mengasah kemampuan mahasiswa dalam menganalisis kasus yang ada di artikel


 Menambah pengetahuan mahasiswa
 Melatih kita sebagai calon perawat agar lebih terampil dalam memecahkan masalah
dan membuat laporan

3
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung
dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar berbentuk
piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah : pangkal hidung, (bridge), dorsum
nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela, dan lubang hidung.

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasalis),
prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung,
yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis inferior yang
disebut juga sebagai kartilago ala mayor, beberapa pasang kartilago ala minor dan tepi
anterior kartilago septum.

4
Rongga hidung atau
kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi
dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum
nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang
nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrase. Tiap kavum
nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.

Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os
maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian
tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh
mukosa hidung.

Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan
dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.
Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil

5
ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema ini biasanya rudimenter.

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari
labirin etmoid.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat ronga sempit yang
disebut meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus
inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral ronga
hidung.

Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus medius terdapat pula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan
infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung
dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.

Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka
media terdapat sinus etmoid terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.

2.2 Fisiologi Hidung

1. Sebagai jalan nafas

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini
berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan

6
aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan
bergabung dengan aliran dari nasofaring.

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :

a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.

b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di


bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah
melalui hidung kurang lebih 37o C.

3. Sebagai penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :

 Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi


 Silia
 Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir
dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut
lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
 Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.

4. Indra penghirup

Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau

7
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat.

5. Resonansi suara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.

6. Proses bicara

Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana


rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran
udara.

7. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran


cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan
refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung dan pankreas.

2.3 Definisi Rinitis Alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986).

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan alergen yang diperantarai oleh Ig E.

8
2.4 Patofisiologi Rinitis Alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensititasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai satu
jam setelahnya dan Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung
sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA
kelas II membentuk peptida MCH kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang
kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi
menjadi TH1 dan Th2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5,
dan IL 13. IL 4 dan IL 3 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi
yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang tersensitisasi
terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen
spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkannya Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PDG2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4, bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC).

9
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Celluler Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta
peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari
granulanya. Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non-spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban udara yang tinggi.

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel, dan bulu binatang serta jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,
cokelat, ikan, udang.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah.
4. Alergen kontakan, yang masuk melelui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik, perhiasan.

10
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi
gejala campuran, misalnya debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rinitis
alergi.

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:

1. Respon Primer: terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen. Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila antigen tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.
2. Respons Sekunder: reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respons tertier.
3. Respons Tertier: reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh.
Rekasi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag
oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1 atau reaksi
anafilaksis, tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau
reaksi tuberkulin. Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang
THT adalah tipe 1 yaitu rinitis alergi.

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam dua macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang
mempunyai empat musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan
spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah nosis atau rino konjungtivitis karena
gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai
lakrimasi).

11
Penyakit ini timbulnya periodik, sesuai dengan musim, pada waktu terdapat
konsentrasi alergen terbanyak di udara. Dapat mengenai semua golongan umur dan
biasanya mulai timbulnya pada anak-anak dan dewasa muda. Berat ringannya gejala
penyakit bervariasi dari tahun ke tahun, tergantung pada banyaknya alergen di udara.
Faktor herediter pada penyakit ini sangat berperan.

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musim,
jadi ditemukan sepanjang tahun.

Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa,
dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (terdapat di
kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karper, dapur, dan tumpukan baju, buku serta
sofa. Komponen alergennya terutama berasal dari serpihan kulit dan fases tungau) dan
alergen di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan
penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti
urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada perenial lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda pada sifat berlangsungnya.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARI (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4hari/minggu atau kurang dari 4
minggu
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu

12
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.

2.5 Pemeriksaan Histologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah dengan pembesaran


sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan
penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan
mukosa dan submukosa hidung.

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus sepanjang
tahun, sehingga lama-kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi
proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung
menebal.

2.6 Gejala Klinik

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin yang berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik
yaitu proses membersihkan diri. Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima
kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang RAFL
sebagai akibat dilepaskannya histamin.

Gejala lain adalah keluarnya ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata
keluar (lakrimasi).

Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien.

Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah
mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut

13
allergic shiner. Selain dari itu, sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena
gatal dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan
menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di
dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease.

2.7 Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan :

 Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi di hadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.

 Pemeriksaan rinoskopi anterior

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya sekret encer yang banyak.

1. Pemeriksaan naso endoskopi


2. Pemeriksaan sitologi hidung

Walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan


pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan
alergi inhalan. Jika basofil 5 sel/lap mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

 Hitung eosinofil dalam darah tepi

Dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper
radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi
pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita
asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi
14
pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test)
atau ELISA (Enzym Linked Immuno Sorbent Assay)

 Uji kulit

Untuk mencari alergen penyebab secara invivo. Jenisnya skin end-point


tetration/SET (uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri), prick test (uji
cukit), scratch test (uji gores), challenge test (diet eliminasi dan provokasi) khusus untuk
alergi makanan (ingestan alergen) dan provocative neutralization test atau intracutaneus
provocative food test (IPFT) untuk alergi makanan (ingestan alergen).

2.8 Penatalaksanaan

1. Hindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.


Keduanya merupakan terapi paling ideal. Eliminasi untuk alergen ingestan (alergi
makanan)
2. Simtomatis. Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, obat-obatan
simpatomimetik, kortikosteroid dan sodium kromoglikat.
3. Operatif. Konkotomi merupakan tindakan memotong konka nasi inferior yang
mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka nasi
inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
4. Imunoterapi. Imunoterapi atau hiposensitisasi digunakan ketika pengobatan
medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang
tidak dapat dikompromi. Imunoterapi menekan pembentukan IgE. Imunoterapi
juga meningkatkan titer antibodi IgG spesifik. Jenisnya ada desensitisasi,
hiposensitisasi & netralisasi. Desensitisasi dan hiposensitisasi membentuk
blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat,

15
berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak
membentuk blocking antibody dan untuk alergi inhalan.

2.9 Komplikasi

1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan


polip hidung.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.
4. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama
khususnya pada anak-anak.
5. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar mendapat
asma bronkial.

2. 10 Prognosis

Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus
(khususnya pada anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem
imun yang menjadi kurang sensitif pada alergen.

16
BAB III
ANALISIS JURNAL

A. Kasus
Ny.X (30 thn) mengalami Rhinitis Allergic Seasonal (RAS). Ners M
merencanakan memberikan terapi non-farmakologi pada Ny. X untuk mengurangi gejala.
Ny.X akan diberikan terapi non-farmakologi, yang pertama dengan cara diberikan
makanan yang mengandung Lactobacillus plantarum no.14, kedua dengan mengkonsumsi
“benifuuki” green tea secara teratur, dan yang terakhir dengan diberikan CHM (Chinese
Herbal Medicine). Saat akan dilakukan tindakan, Ny.X belum bersedia, dia merasa takut
kalau manajemen non-farmakologi kurang efektif. Ny.X menanyakan manfaat serta
keefektifan dari manajemen non-farmakologi pada penyakitnya. Oleh karena itu, Ners M
mencoba mencari evidence based dari pertanyaan Ny. X.

17
B. Pertanyaan klinis

Apakah treatment secara non-farmakologi dapat mengurangi gejala rhinitis


allergic seaseonal?Treatment non farmakologi apa saja yang dapat direkomendasikan
untuk mengurangi gejala SAR?Treatment manakah yang lebih efektif untuk dilakukan?

C. Analisis Jurnal

 Jurnal 1 dan 2 membahas bagaimana efek dari konsumsi “benifuuki” green tea
pada long-term intake group dibandingkan dengan short-term intake group serta
bgaimana efek kombinasi antara “benifuuki” green tea dengan ekstrak jahe
terhadap pengurangan gejala seasonal allergic rhinitis (SAR).
 PICO
P (patient) : pasien dengan riwayat Rhinitis Allergic Seaseonal
I (Intervension) : dengan mengkonsumsi “Benifuuki” green tea jangka
panjang dengan pencampuran ekstrak jahe
C (Comparisson) : konsumsi ‘yabukita’ sebagai placebo, konsumsi
“Benifuuki” green tea jangka pendek.

O (Outcome) : mengurangi gejala Rhinitis Allergic Seaseonal (SAR)

 Jurnal 1
 Identitas jurnal
 Judul : In vitro and in vivo anti-allergic effects of
‘benifuuki’ green tea containing O-methylated catechin and ginger
extract enhancement
 Waktu penelitian : 17 Desember 2004 – 8 April 2005
 Penulis : Mari Maeda-Yamamoto, Kaori Ema, Ikuo
Shibuichi

18
 Sumber : Received: 9 August 2007 / Accepted: 12
November 2007 / Published online: 25 November 2007_ Springer
Science+Business Media B.V. 2007

 Tujuan Penelitian
Untuk mengkaji efektivitas “yabukita” tea sebagai placebo,
“benifuuki” green tea, maupun kombinasi “benifuuki” green tea dengan
ekstrak jahe terhadap penguranagan gejala klinis seasonal allergic rhinitis
(SAR).

 Metode
1. Cells, stimulation, cytokine secretion
 Bone marrow cells from the femurs NC / Nga mice dikultur
 Sekitar 18 jenis sitokin dilepaskan ke dalam larutan Tyrode selama 2-4
jam stimulasi diukur oleh sistem array Bio-kompleks protein suspense
 Keseluruhan 2.5g dari bubuk teh hijau benifuuki diekstraksi pada
95oC dari 6 minute dengan 25 ml dari air suling
 Content polyphenol (tannin) dari supernatant diukur dengan
colorimetry menggunakan ferrous-tartrate method
 Sekitar 5 g dari sayuran (brokoli, taoge, lobak, kubis merah, jahe)
ditambahkan ke 5 ml dari 50 % ethanol
 Setelah sentrifugasi pada 6.000 g selama 15 menit, supernatant sebagai
sayuran ekstrak ditambahkan ke 50µl akan dari BMMC per1x107 sel
2. Blood level unconjugated GCG dan EGCG3”Me setelah pemberian teh
hijau 'benifuuki'
 Enam subjek pria dan wanita sehat <40 tahun direkrut sebagai peserta.
 Peserta diminta tidak mengkonsumsi teh atau produk teh selama 3 hari
sebelum penelitian.
 Sehari sebelum penelitian, semua peserta diminta untuk puasa setelah
jam 9 malam kecuali minum air.

19
 Pada hari penelitian, semua peserta tidak sarapan, datang ke klinik dan
minum 'benifuuki' teh hijau 43,5 mg EGCG dan 8,5 mg EGCG3”Me
dalam 3 menit.
 Contoh darah (5 ml masing-masing) dikumpulkan sebelum
administrasi dan 1, 6, 12, 24 jam setelah administrasi 'benifuuki' teh
hijau.
 Kemudian contoh darah disentrifugasi.
3. Human clinical trial on seasonal allergy rhinitis
 18 pria dan 9 perempuan (>22 tahun) dengan gejala pollinosis dan
dengan nilai positif IgE Jepang serbuk sari cedar-spesifik tanpa
perawatan di institusi kesehatan direkrut sebagai peserta dalam
penelitian ini.
 Peserta dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan setiap nilai IgE
spesifik: 1. 'benifuuki' kelompok uji (7 laki-laki dan 2 perempuan,
umur 39,1 ± 9,9 tahun). 2. 'benifuuki' + jahe kelompok ekstrak (5 pria
dan 4 wanita, usia 37,6 ± 10,3 tahun) dan 3. 'yabukita' kelompok
plasebo (5 pria dan 4 wanita, usia 41,8 ± 12,3 tahun)
 Kelompok placebo "yabukita” green tea tidak mengandung
EGCG3”Me
 Kelompok " benifuuki " green tea mengandung 1,49% DB dari
EGCG3” Me
 Kelompok 'benifuuki' green tea +ekstrak jahe dilengkapi dengan 30
mg ekstrak jahe per 1,5 g bubuk teh dan rasa jahe hampir tidak
disadari.
 Subjek mengunjungi rumah sakit setiap 4 minggu untuk
konsultasi,darah dan urin sampel diambil setiap kali untuk
pemeriksaan hematologi, pemeriksaan biokimia dari isi, umum
histamin, IgE skor, skor IgE serbuk sari cedar-spesifik, IgG titer
antibodi total, dan serum besi.

 Hasil

20
1. Sekresi Cytokin
 'Benifuuki' green tea atau kombinasi 'benifuuki' green tea dengan ekstrak
jahe sangat menghambat produksi sitokin inflamasi seperti TNF- α dan
MIP-1 α, setelah stimulasi antigen BMMC sehingga dapat menekan
alergi tipe I.
2. Clinical trial
 Dengan studi klinis double-blind.
 Kombinasi 'benifuuki' teh hijau dan ekstrak jahe dapat menekan
produksi sitokin
 Dengan meningkatnya serbuk sari cedar, gejala pollinosis memburuk
dalam urutan: kelompok placebo > kelompok 'benifuuki' > kelompok
'benifuuki' dilengkapi dengan ekstrak jahe.
 Setelah 11 minggu memulai pengobatan pada periode serbuk sari cedar
paling parah, gejala hidung tersumbat dan mata gatal secara signifikan
berkurang dalam kelompok 'benifuuki' dibandingkan dengan kelompok
plasebo (ρ<0,05)
 Minggu 11 dan 13gejala hidung tersumbat, sakit tenggorokan dan Nasal
SMS secara signifikan menurun di kelompok 'benifuuki ' dengan
ekstrak jahe dibandingkan dengan kelompok placebo
 EGCG3”Me merupakan faktor aktif dalam 'benifuuki' green tea,
memiliki rasio penyerapan dalam tubuh sekitar 6,4 kali lebih tinggi
daripada EGCG yang ada di “yabukita”.
 Jahe digunakan sebagai obat Cina dan memiliki efek anti-inflamasi
(Thomson et al. 2002; Grzanna et al. 2005.), sebagai antipiretik,
peningkatan air liur, efek antitusif, efek analgesik, maag antidigestive,
meningkatkan transportasi pada saluran intestinal, dan tindakan
kardiotonik
 Gingerol dalam jahe memiliki anti-inflamasi (inhibisi produksi
prostaglandin E2) memiliki efek penghambatan yang kuat terhadap
sitokin inflamasi dan mengurangi gejala.

21
 Lebih dari satu bulan berturut-turut mengkonsumsi teh hijau 'benifuuki'
sangat membantu dalam mengurangi gejala rhinitis alergi, namun tidak
mempengaruhi respon imun normal pada pasien
 Ekstrak Jahe dapat meningkatkan pengaruh 'benifuuki' teh hijau.

 Kesimpulan
 Ekstrak jahe memiliki efek anti-inflamasi sehingga dapat meningkatkan
pengaruh “benifuuki” green tea dalam mengurangi gejala pollinosis.

 Jurnal 2
 Identitas jurnal
 Judul : The Efficacy of Early Treatment of Seasonal
Allergic Rhinitis with Benifuuki Green Tea Containing O-methylated
Catechin before Pollen Exposure: An Open Randomized Study
 Waktu penelitian : Desember 2006-April 2007
 Penulis : Mari Maeda-Yamamoto, Kaori Ema, Manami
Monobe, Ikuo Shibuichi, Yuki Shinoda, Tomohiro Yamamoto dan Takao
Fujisawa
 Sumber : Jurnal of Allergology International Vol 58, No3,
2009 www.jsaweb.jp

 Tujuan Penelitian
Untuk mengkaji efektivitas dalam mengkonsumsi “benifuuki” green tea pada
long-term intake group dibandingkan dengan short-term intake group untuk
mengurangi gejala klinis Seasonal Allergic Rhinitis (SAR).

22
 Abstrak
Pada penelitian sebelumnya telah terbukti bahwa “benifuuki” green tea yang
mengandung O-methylated Cathechin secara significant dapat mengurangi gejala
dari seaseonal rhinitis allergic jika dibandingkan dengan placebo green tea yang
tidak mengandung O-methylated cathecin. Pada penelitian ini dilakukan
pengkajian untuk mengetahui efek dari “benifuuki” green tea serta kombinasi
antara “benifuuki” green tea dengan ekstrak jahe pada gejala klinis Seasonal
rhinitis allergic.

 Metode
1. Persiapan minuman “benifuuki” green tea
 “Benifuuki” green tea telah diekstrak pada suhu 90oC selama 6 menit di
30-fold dilution dengan air suling.
 Selama ekstraksi, masing infusion diaduk selama 10 detik setiap menit.
Stelah penyaringan, asam L-ascorbic dan sodium bikarbonat ditambahkan
pada infusion teh, dan konsentrasi dari polyphenol (tannin12))
distandarisasi.
 Tea infusion di panaskan untuk membunuh kuman-kuman pada suhu
138oC selama 30 detik dan dituangkan ke dalm botol plastic 350 ml(PET).
Catechin dan komponen kafein dari minuman uji diukur dengan
menggunakan High Performance Liquid Chromatography (HPLC).
2. Seleksi pasien dan randomisasi
 Pasien dengan Japanese cedar pollinosis yang direkrut.
 Pengobatan dan penilaian dilakukan di klinik yang sama. Randomisasi
dilakukan oleh penyidik yang tidak terlibat di bagian klinis dari studi.
 Kriteria pasien: pasien jumlah 38 orang dengan usia antara 25-60 tahun
yang mempunyai riwayat seasonal rhinitis paling tidak 2 musim serbuk
sari cedar dan nilai positif untuk IgE spesifik terhadap serbuk cedar.
 Eliminasi pasien : subyek yang telah diimunoterapi spesifik terhadap
penyakit serbuk sari cedar Jepang dalam 2 tahun terakhir, aktif atau baru-

23
baru ini(dalam waktu 3 bulan) mempunyai rhinitis tipe lain, wanita hamil
dan menyusui serta pasien dengan kondisi medis yang serius. Dari 38
subyek, 2 orang dikeluarkan dari masing-masing grup. Akhirnya subyek
hanya 36 orang dibagi dua sama rata. Tidak ada perbedaan yang signifikan
mengenai karakteristik subyek dari kedua grup.
3. Study Design
 Subjek mengkonsumsi 2 botol “benifuuki” green tea setiap hari.
 Test dimulai pada 18 Desember 2006 kira-kira 7 minggu sebelum musim
serbuk cedar. 38 subjek secara acak ditugaskan dalam long-term intake
group atau short-term intake group.
 Untuk long-term intake group Intake tea dimulai pada 27 Desember 2006
sampai 8 April 2007.
 Untuk short-term intake group dimulai dari 15 Februari 2007 sampai 8
April 2007.
4. Pengkajian Gejala
 Subyek diwajibkan untuk mencatat gejala alergi pada buku harian,
termasuk frekuensi bersin harian dan hidung tersumbat, ingus, mata gatal,
air mata, sakit tenggorokan, hambatan untuk aktivitas hidup sehari-hari
(ADL) dan penggunaan obat-obatan, menurut metode yang diusulkan oleh
Japanese Society of Allergology Allergic Rhinitis Committee.
 Gejala dinilai dengan menggunakan skala 5-point: 0, tidak ada gejala, 1,
ringan, 2, sedang, dan 3 sudah parah, 4, gejala sangat berat sepanjang hari.
 Buku harian dikumpulkan pada akhir penelitian dan digunakan untuk
pertama mengevaluasi Nasal Symptom Score (NSS) dan Eye Symptom
Score (ESS).
 Gejala dinilai dengan menggunakan skala 5-point: 0, tidak ada gejala, 1,
ringan, 2, sedang, dan 3 sudah parah, 4, gejala sangat berat sepanjang hari.
Buku harian dikumpulkan pada akhir penelitian dan digunakan untuk
pertama mengevaluasi Nasal Symptom Score (NSS) dan Eye Symptom
Score (ESS).

24
 Nasal Medication Score kemudian dihitung sebagai jumlah dari nilai obat
penyelamatan harian hidung: menggunakan antihistamin generasi 2 atau
supresi histamin-release diberi skor 1 poin, menggunakan lokal
corticosteroid diberi 2 point, nasal application suatu vasokonstriktor atau
obat antikolinergik sebagai 1 point dan penggunaan penekan versi
histamin-campuran kortikosteroid oral sebagai 3 poin, berdasarkan
pedoman pengelolaan rhinitis alergi Japan Allergy Foundation. Akhirnya,
Nasal Symptom Medication Score (Nasal SMS) dihitung sebagai jumlah
dari NSS harian dan skore daily nasal medication. Variabel efikasi primer
adalah rata-rata mingguan Nasal SMS selama periode peninjauan.
Variabel efikasi sekunder termasuk gejala mingguan.

 Hasil
1. Karakteristik Subyek
 Tidak ada perbedaan yang signifikan pada gejala dasar, misal : bersin,
hidung tersumbat, mata gatal, atau sakit tenggorokan tetapi skor gejala
gangguan dalam ADL pada long-term intake group secara signifikan lebih
baik daripada short-term intake group.
2. Efficacy
 Minggu ke 8, 9, 10, dan 12 rata-rata Nasal SMS pada variable efficacy
primer dari long-term intake group secara signifikan lebih rendah daripada
short-term intake group (ρ<0,01 atau 0,05).
 Long-term intake group secara signifikan mempunyai insidensi lebih
rendah dalam hidung tersumbat (minggu 8, 9, 10, dan 12), mata gatal
(minggu 12), air mata (minggu 8,10,11, dan 12), sakit tenggorokan
(minggu 8,9,10,11,dan 12), gangguan ADL (minggu 8 dan 11) dan NSS
(minggu 8 dan 12) dibandingkan dengan short-term intake group.

25
 Beberapa gangguan fisik dilaporkan seperti: gejala batuk ( 6 subyek),
nausea (1 subyek), dan sakit perut (2 subyek).
 Tidak ada jumlah perbedaan dalam gangguan antara kedua grup. Tidak
satupun dari kondisi tersebut berhubungan dengan intake dari test minum
kecuali pada sakit perut. Subyek yang complain masalah sakit perut
diinstruksikan tidak mengkonsumsi test minum ketika berpuasa karena test
tersebut banyak mengandung polyphenol.

 Kesimpulan
 Penelitian ini menujukkan bahwa gejala pollinosis pada long-term intake
group secara signifikan lebih rendah dibandingkan short-term intake
group.
 Terjadi hambatan ADL pada long-term intake group dibanding short-
term intake group pada minggu 0-6 karena perbedaan dasar waktu mulai
peminuman.

 Dari kedua jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa:


 Pengonsumsian “benifuuki” jangka panjang lebih efektif dalam mengurangi
gejala Rhinitis Allergic Seasonal (RAS)
 Penambahan ekstrak jahe pada “benifuuki” green tea dapat memberikan
manfaat tambahan dalam mengurangi gejala pada pasien Rhinitis Allergic
Seasonal (RAS)
 Diperlukan kombinasi anatara “benifuuki” green tea dengan ekstrak jahe
serta pengkonsumsian jangka panjang agar lebih maksimal dalam
pengurangan gejala Rhinitis Allergic Seasonal (RAS)

 Jurnal 3 dan 4 membahas apakah kombinasi dari akupuntur dan pemberian


chinese herbal medicine (CHM) dapat memberikan manfaat tambahan terhadap

26
pengurangan gejala seasonal allergic rhinitis (SAR) dibandingkan dengan hanya
melakukan terapi akupuntur saja atau pemberian chinese herbal medicine saja.

 PICO
P (patient) : pasien dengan riwayat Rhinitis Allergic Seaseonal
I (Intervension) : kombinasi antara CHM dan akupuntur dengan teknik
placebo.
C (Comparisson) :dengan menggunakan kombinasi CHM dan akupuntur
standart ,kombinasi kapsul plasebo dan akupuntur standart.

O (Outcome) : mengurangi gejala alergi rhinitis seasonal(SAR).

 Jurnal 3

 Identitas jurnal
Judul : Effect of adding a Chinese herbal preparation to
acupuncture for seasonal allergic rhinitis: randomised doubleblind
controlled trial
Tempat penelitian : University Teaching & Reaserch Clinic, Australia.

Waktu penelitian : Juli-Desember 1999

Penulis : CCL Xue, FCK Thien, JJS Zhang, W Yang, C Da Costa,


CG Li

Sumber : Hong Kong Med J Vol 9 No 6 December 2003

27
 Abstrak
Pada penelitian sebelumnya telah terbukti bahwa penggunaan akupuntur saja
atau chinese herbal medicine saja dapat mengurangi gejala seasonal allergic
rhinitis. Hal tersebut umumnya diasumsikan bahwa kombinasi dari pengobatan
akupuntur dan pemberian chinese herbal medicine dapat memberikan outcome
yang lebih baik.

 Tujuan penelitian
Untuk mengkaji apakah penambahan formula chinese herbal medicin pada
terapi akupuntur mempengaruhi keparahan gejala dan skor quality of life pada
pasien dengan seasonal allergic rhinitis (SAR).

 Metode
1) Seleksi pasien dan randomisasi
- Pasien direkrut melalui media public oleh Chinese Medicine Research
Clinic di RMIT University, Melbourne, Australia.
- Pengobatan dan penilaian dilakukan di klinik yang sama. Randomisasi
dilakukan oleh penyidik yang tidak terlibat di bagian klinis dari studi.
- Kriteria pasien: usia 18-70 tahun; sejarah gejala khas dari SAR seperti
rhinorrhea, bersin, hidung tersumbat, gatal pada hidung, gatal pada mata
selama 2-3 tahun; skin prick test positif terhadap serbuk sari rumput dan
pemberian informed consent secara tertulis.
- Pasien dengan satu atau lebih kriteria dieliminasi, yaitu pasien dengan
infeksi HIV, sejarah imunoterapy spesifik, penyakit respiratory aktif
seperti asthma, nasal polyposis, terapi kortikosteroid sistemik, kehamilan,
dan hepatitis B dan C.
2) Treatment akupuntur
- Dengan menggunakan Hwato, jarum akupuntur presterilised sekali pakai.
Panjang jarum tergantung pada lokasi titik akupuntur.
- Akupuntur needling dilakukan dengan menggunakan teknik standar.
Jarum yang dimasukkan melintang, melintang, miring atau tegak lurus

28
tergantung pada titik yang dipilih. Kedalamannya antara 10 mm dan 40
mm.
- Semua treatment dilakukan oleh ahli akupuntur yang sama.
- Semua pasien menerima terapi akupuntur dua kali dalam seminggu
(minimal dengan selang waktu dua hari) selama delapan minggu dengan
total 16 treatment akupuntur.
3) Herbal preparation dan jadwal perawatan
- CHM yang dipilih mengandung 18 jenis herbal berdasarkan CHM yang
biasa digunakan untuk mengurangi gejala seasonal allergic rhinitis (SAR).
Komponen herbal diberikan dalam dosis yang dianjurkan.
- Kapsul plasebo mengandung 500 mg polisakarida kedelai. Semua pasien
dilaporkan tidak memiliki alergi terhadap kedelai.
- Semua pasien dimontor untuk jangka waktu dasar dua minggu setelah
penilaian awal.

4) Outcome measures
- Tingkat keparahan gejala nasal dan non-nasal dikaji oleh pasien dan
spesialis THT, dan skor quality of life diukur dengan rhinokonjungtivitis
dan rhinitis quality of life questioner.

 Hasil
- 65 pasien (36 laki-laki dan 29 perempuan) dengan rata-rata umur 43 tahun
terdaftar dalam penelitian. Pasien menerima terapi akupuntur dua kali
dalam seminggu selama delapan minggu ditambah pemberian formula
chinese herbal medicine (n=33) atau placebo (n=32) dengan dosis 4
kapsul, 3x sehari.
- 4 pasien keluar dari studi sebelum jadwal yang ditentukan.
- Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok pada skor
awal dan skor akhir untuk gejala nasal dan non-nasal.

29
- Tidak ada perbedaan yang signifikan pada rhinoconjungtivitis and rhinitis
quality of life questionare (RQLQ) antara kelompok intervensi dan
kelompok control baik pada awal maupun akhir penelitian.
- Sekitar 10% dari kelompok intervensi dan 13% dari kelompok control
memiliki efek samping ringan seperti kembung, gangguan pencernaan
sakit perut ringan dan memar akibat akupuntur. Ketidaknyamanan pada
gastrointestinal dilaporkan terutama pada awal penelitian dan berkurang
setelah dua minggu penggunaan CHM. Efek samping pada gastrointestinal
dapat ditoleransi dan tidak memerlukan treatment tambahan.

 Kesimpulan
Formulasi Chinese herbal medicine (CHM) tidak memberikan manfaat
tambahan terhadap pengurangan gejala atau tidak memberikan peningkatan skor
quality of life pada pasien dengan SAR yang menerima akupuntur.

 Jurnal 4

 Identitas Jurnal
 Judul : Acupuncture and Chinese herbal medicine in the
treatment of patients with seasonal allergic rhinitis: a randomized-
controlled clinical trial
 Penulis : B. Brinkhaus1,4, J. Hummelsberger2,R. Kohnen3,
J. Seufert1, C.-H. Hempen2, H. Leonhardy2,R. Nçgel2, S. Joos1, E.
Hahn1,D. Schuppan1
 Sumber : www.pubmed.com
 Tempat Penelitian : TCM Department di Munich, jerman
 Tahun Penelitian : 2004
 Metode : Menggunakan Kuesioner Gejala Alergi Rinitis
(ARSQ)

30
 Latar Belakang
Beberapa studi di Cina barat telah menyarankan bahwa akupuntur dan
obat herbal Cina bermanfaat dalam pengobatan berbagai kondisi alergi.

 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah terapi individual TCM
yang terdiri dari akupunktur dan CHM lebih mujarab dalam pengobatan
gejala alergi rhinitis daripada diberikan formula herbal non-spesifik
ditambah akupunktur.
 Metode
- Lima puluh dua pasien antara usia 20 dan 58 dengan tipe gejala alergi rhinitis
musiman dibagi secara acak menjadi sebuah kelompok aktif yang menerima
perawatan akupuntur dan pengobatan herbal Cina, dan kelompok kontrol
yang menerima akupuntur diterapkan pada titik-titik non akupunktur dan
Formula herbal Cina non spesifik.
- Perubahan keparahan gejala demam adalah hasil utama yang diukur pada
skala analog visual (VAS).
- Pasien direkrut oleh iklan surat kabar lokal di Munich. Individu termasuk jika
mereka adalah antara 18 dan 65 tahun, dan memiliki diagnosis klinis alergi
rhinitis musiman dan uji kulit tusuk positif.
- Menggunakan Allergic Rhinitis Symptom Questionnaire (ARSQ) sebagai
ukuran hasil efikasi sekunder ,ARSQ dicatat oleh pasien dalam format buku
harian.
- Menggunakan Global Assessment of Change Scale (GACS) diberikan
kepada pasien untuk membuat penilaian secara keseluruhan tentang segala
perubahan dalam tingkat keparahan rhinitis.
- Dalam instrumen kualitas hidup QQVR. QQVR mengevaluasi pencapaian
kehidupan sehari-hari (aktivitas, tidur, masalah kehidupan sehari-hari,
kesehatan)

31
- SF-36 ukuran kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan secara holistik.
- Menilai kualitas hidup melalui Rhinoconjunctivitis Quality of Life
Questionnaire (RQLQ)

 Treatment
- Pasien diminta untuk melengkapi ARSQ setiap hari sepanjang waktu
berjalan. Contoh darah diambil untuk menentukan parameter keselamatan
laboratorium (enzim hati, kreatinin, merah dan sel darah putih dan
menghitung trombosit).
- Setiap pasien menerima enam sesi akupunktur. Sesi dijadwalkan seminggu
sekali, dan setiap sesi berlangsung 20 menit. CHM diambil tiga kali per hari
selama jangka waktu 6 minggu, dan sejajar dengan pengobatan akupunktur.
TCM dan terapi control dilakukan oleh empat dokter. Dalam rangka
berpartisipasi dalam penelitian, dokter harus seorang dokter spesialis dengan
gelar penyakit dalam dan kedokteran umum, memiliki gelar dalam TCM
disertifikasi oleh masyarakat Jerman untuk akupunktur medis, dan memiliki
setidaknya 5 tahun pengalaman praktis dalam TCM (menurut standar
Perhimpunan Kelompok Kerja Akupunktur Jerman).
- Pada kelompok TCM, semua pasien menerima pengobatan akupunktur.
Setelah penyisipan ke dalam kulit, jarum dimanipulasi untuk mendapatkan
nuansa jarum .Sepuluh menit setelah awal pengobatan, semua jarum
akupunktur dimanipulasi oleh ahli akupunktur. Pada kelompok TCM, tidak
boleh digunakan jarum Hwato 0,32x 40 mm.
- Pada kelompok kontrol, pasien diobati dengan titik-titik akupunktur standar,
titik akupunktur yang digunakan dalam penelitian ini dipilih karena mereka
jauh dari garis meridian. Tusukan di grup ini yang dangkal dan
intracutaneous eksklusif, dan menghindari sensasi jarum. Pada kelompok
kontrol, hanya jarum kecil (Hwato, 0.13x20 mm) dan dokter diperintahkan
untuk menghindari segala bentuk manipulasi.

32
 Pengobatan
- Semua tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah diimpor dari
China oleh sebuah perusahaan medis tunggal di Jerman (Sinor, hanserática,
Jerman). Formulasi herbal diuji dan dikonfirmasi untuk bebas dari biocides
(utama senyawa organik beracun), logam berat dan kontaminan lainnya oleh
laboratorium independen yang berkualifikasi (Laboratorium
Handelschemisches Hofmann, Bremen, Jerman).
- Pasien pada kedua kelompok diperintahkan untuk mempersiapkan formulasi
herbal sebagai bahan sesuai dengan petunjuk berikut: (i) Rendam bahan dalam
250 ml air selama 1 jam (ii) Tambahkan air dingin 1000 ml dan dididihkan
selama 20 menit dalam 60 - 80 derajat celcius (iii) Tambahkan tanaman
mengandung minyak atsiri dalam bentuk cair. (IV) Simpan formulasi di
tempat sejuk (4-8 derajat C). Tiga kali sehari, tambahkan 150 ml rebusan air
mendidih dan minum.
- Tumbuh-tumbuhan yang paling penting yang digunakan dalam percobaan ini
adalah flores chrysanthemi (Juhua), Herba Mentha (Bohe), foliae Mori
(Sangye), sperma torrae cassiae (juemingzi).

 Hasil
- Dari 59 pasien secara acak, 52 (26 dalam setiap kelompok perlakuan) ,Pada
kelompok TCM, total empat pasien meninggalkan penelitian (alasan: cedera,
pindah ke kota lain, didorong oleh bpertimbangan pribadi). Ada empat
keluhan sakit parah karena jarum (TCM: n = 2, kontrol: n = 1) atau hematoma
(kontrol: n=1), yang semuanya diselesaikan dalam beberapa hari. Satu pasien
(kelompok kontrol) merasa paresthesia di lengan kiri bertahan selama 7 hari
setelah pengobatan akupunktur. Sebanyak lima pasien melaporkan gejala
setelah menelan rebusan CHM, termasuk mual (TCM: n =2, kontrol: n = 1)
dan rasa pahit (kontrol: n =2). Selama persidangan tidak ada pasien yang
mengalami efek samping serius atau berat, yang diperlukan penarikan dalam
penelitian.

33
- Pasien yang menerima akupunktur pengobatan dan CHM meningkat secara
signifikan dibandingkan dengan kontrol menurut ukuran VAS. Selain itu,
pasien dalam kelompok perlakuan aktif menunjukkan perbaikan berdasarkan
GACS. Selain itu, kualitas hidup, dievaluasi oleh RQLQ dan SF-36
(kesejahteraan emosional, kondisi mental positif) lebih baik pada kelompok
TCM daripada kontrol.
- Kesulitan lain metodologis ini adalah kenyataan bahwa pengobatan pada
kelompok kontrol tidak sepenuhnya aktif. Menurut prinsip TCM, pasien
kontrol diobati dengan herbal (walaupun berbeda dengan kelompok
perlakuan) yang mempengaruhi limpa-Orbis .Selain itu, akupunktur belum
dikukuhkan sebagai plasebo, dan karena itu, tetap merupakan isu
kontroversial. Bahkan jarum yang menembus kulit tidak menghasilkan sensasi
fisik dengan efek nonspesifik
- Akupunktur muncul untuk memodulasi sistem kekebalan tubuh, membuat
perubahan pada sub-populasi limfosit terhadap peningkatan jumlah CD4 + sel
dan CD3 + dan modulasi pola sitokin terhadap penurunan interleukin (IL) -6
dan IL-10 dan peningkatan IL-8 . Akupunktur juga muncul untuk merangsang
pelepasan hormon tertentu [misalnya, hormon adrenokortikotropik (ACTH),
b-endorphin, substansi dan somatostatin] dan mengubah aktivitas sistem saraf
otonom, sedangkan CHM memiliki komposisi yang kompleks untuk efek anti-
inflamasi, antibakteri dan imunologi telah dijelaskan.

 Kesimpulan
Akupuntur ditambah formulasi herbal Cina dapat memberikan bantuan pada
pasien dengan alergi rhinitis musiman.

 Dari kedua jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa:

34
- Kombinasi dari penggunaan Chinese herbal medicine (CHM) dan terapi
akupuntur dengan teknik standart tidak memberikan manfaat tambahan terhadap
pengurangan beratnya gejala maupun skor quality of life pada pasien dengan
seasoning allergic rhinitis (SAR) dibandingkan dengan penggunaan salah satu
treatment tersebut(CHM saja atau akupuntur saja).
- Kombinasi dari penggunaan CHM dan akupuntur dengan teknik placebo lebih
efektif untuk mengurangi gejala SAR jika dibandingkan dengan CHM
saja,akupuntur saja atau kombinasi CHM dan akupuntur teknik standart.

 Jurnal 5 dan 6 membahas efektivitas pengonsumsian Lactobacillus plantarum no. 14


dan Lactobacillus plantarum HSK201 terhadap pengurangan gejala seasonal allergic
rhinitis (SAR)
 PICO
P (patient) : pasien dengan riwayat Rhinitis Allergic Seaseonal
I (Intervension) : mengkonsumsi lactobacillus
C (Comparisson) : tidak mengkonsumsi lactobacillus (plasebo)

O (Outcome) : mengurangi gejala alergi rhinitis seasonal (SAR).

 Jurnal 5

 Identitas jurnal
Judul : Efficacy of Lactobacillus plantarum Strain HSK201 in Relief from
Japanese Cedar Pollinosis
Penulis : T Hasegawa, et al
Sumber : Biosci, Biotechnol, Biochem., 73(12), 2626-2631,2009

 Tujuan penelitian

35
Untuk menentukan efek dari Lactobacilus plantarum strain HSK201 pada cedar
pollinosis jepang.
Kelompok HSK201 diberikan susu fermentasi yang telah disiapkan dengan HSK201
selama 8 minggu, dan kelompok plesebo diberikan susu non-fermentasi dengan
keasaman dan rasa yang sama.

 Metode
- Partisipan terdiri dari 19 subjek yag memiliki gejala Japanese cedar pollinosis.
Semua subjek dikonfirmasikan seropositif Japanese cedar pollen spesifik IgE.
- Subjek memberikan informed consent tertulis untuk berpartisipasi dalam studi.
- Study design: single-blind, placebo-controlled design.
- Subjek dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan level serum cedar pollen-
spesifik IgE.
- Kelompok HSK201 (10 orang) diberi susu fermentasi yang telah disiapkan
dengan HSK201 selama 8 minggu. Susu fermentasi dibekukan setelah dibuat dan
sejumlah bakteri diperahankan hingga akhir periode pencernaan.
- Kelompok placebo diberikan susu non-fermentasi yang mengandung bahan yang
sama dengan susu fermentasi.
- Sampel darah diambil pada minggu ke 1, 4, dan 8 setelah pemberian susu.
- Beratnya gejala dan penggunaan obat-obatan dianalisis setiap minggu.
- Skor dan beratnya gejala dievaluasi berdasarkan petunjuk praktis untuk
managemen alergi rhinitis di Jepang.
- Subjek mengevaluasi sendiri beratnya gejala seperti bersin, hidung tersumbat,
gatal pada mata, dan mata berair dengan menggunakan skala 1-4. Semua subjek
diizinkan untuk melakukan pengobatan terhadap gejala tersebut. Skor pengobatan
dikaji berdasarkan kategori obat.
- Data dianalisis dengan menggunakan software SPSS versi 14.0J

 Hasil

36
- Seluruh subjek menyelesaikan studi.
- Tidak ada perbedaan yang signfikan pada kedua kelompok mengenai usia, level
serum total IgE atau Japanese cedar pollen-spesifik IgE, serum ECP atau
perbandingan sel Th1 dan Th2 pada minggu pertama.
- Persentase sel Th1 meningkat secara signifikan pada minggu ke delapan jika
dibandingkan dengan minggu pertama pada kelompok HSK201. Tidak ada
perubahan yang signifikan pada kelompok placebo.
- Persentase sel Th2 cenderung berkurang pada minggu ke delapan pada kelompok
HSK201, sedangan pada kelompok placebo cenderung meningkat.
- Terdapa peningkatan level serum ECP pada kedua kelompok, tetapi peningkatan
yang signifikan hanya terdapat pada kelompok placebo. Serum ECP berguna
sebagai penanda reaksi inflamasi yang berhubungan dengan alergi rhinitis.
- Tidak ada perbedaan intergroup yang signifkan pada persentase sel Th1 dan Th2,
rasio Th1/Th2, maupun level serum ECP diantara kedua grup.
- Peningkatan skor gejala nasal dan skor pengobatan terhambat pada kelompok
HSK201 jika dibandingkan dengan kelompok placebo.

 Kesimpulan
- Intake HSK201 dapat menekan pengurangan rasio Th1/Th2 dan peningkatan
Japanese cedar pollen-spesifik IgE pada puncak persebaran serbuk sari dan
perubahan tersebut diikuti dengan penurunan gejala polinosis.

 Jurnal 6

37
 Identitas Jurnal
 Jurnal : Improvement in Seasonal Allergic Disease with Lactobacillus
Plantarum No.14
 Penulis : Yuko Nagata, Matsuko Yoshida, Haruki Kitazawa, Eiji Araki,
And Toshiharu Gomyo
 Sumber : Biosci, Biotechem, 74 (9), 1869-1877, 2010

 Abstrak

Penelitian ini dilakukan mengacak dua, placebo-controlled,double-blind dari


lactobacillus plantarum no.14 pada siswa perempuan dengan penyakit alergi
musiman. Penelitian ini juga memeriksa aktivitas mitogenik dan inducibility sitokin
dari LP14 menggunakan bintik-bintik peyer dan sel kelenjar getah bening mesentrika
babi.pada kelompok placebo, jenis T helper tipe 1 (Th 1) / t helper tipe 2 ( Th2 )rasio
cenderung menurun setelah periode asupan selama 6 minggu, sedangkan kelompok
LP14, presentase Th1 meningkat secara signifikan.paska asupan jumlah eosinofil
meningkat secara signifikan dibandingkan dengan mereka yang manghentikan asupan
pada kelompok placebo. Tidak ada perubahan mikroflora tinja. LP14 sangat induksi
ekspresi gen sitokin tipe Th1.

 Bahan dan metode

1. Subject

Penelitian ini dilakukan dua kali.penelitian pertama dilakukan musim semi


padaa musim serbuk sari cedar.dan terdaftar 35 wanita perguruan tinggi (rentang usia
18-27).subjek dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok intervensi LP14 dan
placebo.dua subjek mengundurkan diri untuk alas an pribaadi, satu dari kelompok
intervensi dan satu dari kelompok placebo. Jadi 16 subjek dari kelompok intervensi
dan 17 dari kelompok placebo. Baik kelompok placebo maupun kelompok LP14
menunjukan perbedaan yang signifikan dari salah satu parameter yang diukur saat
sujek memulai percobaan.
38
Penelitian kedua dilakukan pada musi gugur yang terdaftar 20 siswa
perempuan, 10 di kelompok intervensi dan kelompok placebo. Tidak ada perubahan
yang signifikan antara placebo dan kelompok intervensi dalam salah satu dari
parameter yang diukur saat subjek memulai percobaan.

2. Study design
- Penelitian musim semi dilakukan dari 11 januari sampai 13 maret.di
kelompok intervensi diberika LP14 (8,7 ×108CFU/ 0,5g) dan pada kelompok
placebo diberikan 0,5 g dextrin selama 6 minggu.subjek diinstruksikan untuk
menulis gejala alergi pada buku diari,obat-obatan dan kondisi tinja pada
seuruh percobaan.
- Penelitian musim gugur dilakukan pada 12 oktober dan 13
desember.perlakuannya sam dengan pada musim semi.
3. Menghitung pollen
Data diperoleh dari data kementrian lingkungan hidup jepang
(http//kafun.taiki.go.jp/).
4. Evaluasi subjek dari gejala alergi.
Gejala hidung dan mata digolongkan sebagai berikut : bersin, pilek, hidung
terumbat, mata gatal dan mata berair. Setiap ini diskor pada skala 0 sampai 4.
5. Pemeriksaan darah
Contoh darah diambil untuk menentukan total IgE, serbuk sari cedar jepang anti
IgE, presentase rasio Th1,Th2, jumah eosinofil dan reaktif protein C (CRP).
6. Mikroflora tinja
Tinja dikumpulkan pada pra dan pasca asupan dari 5 subjek masing-masing
kelompok.
7. Kondisi buang air besardan perut
Pada saat buang air besar dan kondisi perut dicatat selama periode percobaan.
8. Pengukuran lain
Parameter yang diukur lainnya barat badan, lemak badan, berat badan kurus,
tekanan darah dan komponen darah umum.

 Hasil

39
Pada musim semi
- SMS ocular rata-rata pada kelompok LP14 lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok placebo selama periode intake dan ada perbedaan signifikan antara
kedua kelompok dalam SMS ocular pada minggu pertama asupan (p=0,0033).
Untuk gejala gatal mata secara signifikan lebih rendah pada kelompok LP14
dibandingkan dengan kelompok placebo (p=0,014)
- Pemeriksaan darah
Penelitian ini menganalisis dari data subjek yang tidak minum obat dalam
waktu satu minggu sebelum pemeriksaan darah. 9 subjek pada kelompok
LP14 dan 10 di kelompok placebo.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok placebo dan kelompok
LP14. Tidak ada perubahan signifikan antara kedua kelompok pada
penghentian asupan, namun pada kelompok placebo rasio Th1/Th2 cenderung
berkurang seteah penghentian asupan (p=0,075). Dalam kelompok LP14
presentase sel Th1 meningkat secara signifikan (p=0,013).CRP pada
kelompok LP14 tidak berubah.
- Tinja mikroflora
Tidak ada perubahan signifikan dalam mikroflora tinja pada kedua kelompok
- Feses dan kondisi perut pada musim semi
Sensasi nilai untuk buang air besar di LP14 setelah 3 minggu asupan secara
signifikan lebih tinggi daripada kelompok placebo (p=0,047).
- Pengukuran lain
Tidak ada perubahan yang signifikan secara klinis pada BB, BB lemak,BB
tanpa lemak,tekanan darah,atu parameter darah umum.

Pada musim gugur


- Gejala alergi subjektif
Ini menganalisis subjek yang positif untuk IgE terhadap serbuk sari atau debu
rumah.

40
Pada kelompok palsebo gejala alergi puncak diamati pada minggu 3-5
asupan.tidak ada perbedaan signifikan antara skor gejala,tapi gejala hidung
dan mata pada kelompok LP14 tampak lebih rendah dibandingkan kelompok
placebo selama periode asupan.
- Pemeriksaan darah
Tidak ada perubahan signifikan dalam parameter darah yang diamati antara
kedua kelompok.
- Mikroflora tinja
Tidak ada perubahan signifikan dalam mikroflora tinja antara kelompok LP14
dan kelompok placebo.
- Feses dan kondisi perut
Sensasi nilai setelah buang air besar menurun pada kelompok LP14 di pos-
intake (p=0,040)
- Pengukuran lain
BMI meningkat secara signifikan pada kelompok LP14 (+0,36, p=0,041) dan
cenderung meningkat dalam kelompok placebo(+0,30, p=0,060)setelah
asupan selama 6 periode. Peningkatan berat badan lemak dalam kelompok
LP14 sedikit lebih rendah dibandingkan kelompok placebo, sedangkan berat
badan tanpa lemak secara signifikan lebih tinggi pada kelompok LP14
(p=0,014). Tidak ada perbedaan yang signifikan secara klinis pada tekanan
darah atau parameter darah umum.

 Kesimpulan
Penelitian ini menunjukan kemungkinan gejala alergi dapat dikurang dengan
mengkonsumsi jangka panjang makanan yang mengandung Lactobacillus
plantarum No. 14.

 Dari kedua jurnal tersebut dapat disimpulkan bahwa:

Pada kelompok intervensi dengan mengkonsumsi Lactobacillus plantarum no. 14


dan Lactobacillus HSK201 dapat mengurangi gejala alergi yang disebabkan oleh

41
Japanese cedar pollen dan perubahan tersebut diikuti dengan penurunan gejala
polinosis.

 Dari beberapa jurnal di atas dapat disimpulkan bahwa:


 Penggunaan “benifuuki” green tea dengan ekstrak jahe dalam jangka
panjang lebih efektif.
 Dengan mengkonsumsi Lactobacillus plantarm no. 14 dan lactobacillus
HSK201 dapat mengurangi gejala alergi dan menurunkan gejala
pollinosis.
 Kombinasi dari penggunaan CHM dan akupuntur dengan teknik placebo
lebih efektif untuk mengurangi gejala SAR jika dibandingkan dengan
CHM saja,akupuntur saja atau kombinasi CHM dan akupuntur teknik
standart

BAB IV

PENUTUP

42
4.1. Kesimpulan

 Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut , gejala khasnya terdpat serangan ersin yang berulang.
 Penatalaksanaanya bisa dengan ; hindari kontak dengan allergen, terapi
medikamentosa, dengan operatif, dan imunoterapi digunakan ketika pengobatan
medikamentosa gagal mengontrol gejala atau menghasilkan efek samping yang
tidak dapat dikompromi. Dan juga dapat dengan terapi non farmakologi.
 Gejala dari pollinosis cedar antara lain : hidung tersumbat, mata gatal, bersin-
bersin, ingusan, sakit tenggorokan dan hambatan ADL.
 Treatment non farmakologi dapat mengurangi gejala SAR, terapi yang dapat
direkomendasikan antara lain : mengkonsumsi “benifuuki” green tea jangka
panjang dan jangka pendek serta kombinasi dengan ekstrak jahe, pemberian
CHM, akupuntur , kombinasi CHM dan akuuntur dengan tehnik placebo, dan
konsumsi lactobacillus plantarum (no.14 dan HSK201).
 Dan treatment non farmakologi yang lebih efektif dalam mengurangi gejala SAR
yaitu : mengkonsumsi “benifuuki” green tea jangka panjang dengan kombinasi
dengan ekstrak jahe, kombinasi CHM dengan akupuntur dengan teknik placebo
dan konsumsi lactobacillus plantarum.

4.2 Saran

1. Untuk Keluarga

a. Keluarga melakukan pencegahan terhadap munculnya penyakit rhinitis dengan


memahami segala factor rasiko dan factor-faktor yang berpengaruh, serta
melakukan pencegahan agar penyakit rhinitis tidak terulang kembali.
b. Jika memiliki keluarga dengan tanda-tanda dan gejala penyakit rhinitis ,
langsung dibawa ke petugas kesehatan untuk diberikan intervensi lebih lanjut.

2. Untuk Perawat

43
a. Perawat memberikan promosi kesehatan yang lebih intensif kepada keluarga
dengan resiko-resiko muncul penyakit rhinitis dan cara pencegahan agar rhinitis
tidak terulang kembali.
b. Perawat lebih aktif memberikan intervensi kepada klien yang mengalami
penyakit rhinitis dengan asuhan yang memenuhi standar.
c. Diperlukan kerja sama berbagai pihak dalam penyelenggaraan pencegahan dan
penanggulangan rhinitis, baik dari pemerintah melalui policy-nya, tenaga
kesehatan (dokter, perawat, dietition ), maupun masyarakat umum.

4.3 Implikasi keperawatan

a. Perawat sebagai edukator


 Perawat memberikan informasi kepada orang tua mengenai penyakit rhinitis,
cara penyebaran, komplikasi, pencegahan dan penanganannya dengan tepat.
b. Perawat sebagai konselor
 Perawat memberikan konseling mengenai prosedur dalam menjalani terapi.
 Perawat memberikan konseling kepada orang tua mengenai nutrisi yang harus
dipenuhi oleh pasien.
 Perawat memberikan konseling yang tepat mengenai kapan pasien harus
control.
 Perawat membantu klien dalam memecahkan masalah dengan memberikan
pilihan-pilihan yang terbaik untuk klien.
c. Perawat sebagai advokasi
 Perawat melindungi hak-hak pasien dalam mendapatkan pelayanan dan
pengobatan yang sesuai.
 Perawat memberikan saran - saran kepada klien jika klien dihadapkan pada
suatu permasalahan, dengan membantu menyelesaikannya dan tidak lupa
menjelaskan tentang baik buruknya dari setiap pilihan.
d. Perawat sebagai klinisi

44
 Perawat memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada anak yang
menderita penyakit rhinitis dan memberikan pelayanan yang tepat saat anak
control.
e. Perawat sebagai peneliti
 Perawat menjadi peneliti untuk menemukan metode-metode yang efektif
dalam penatalaksanaan pasien rhinitis dan pencegahan agar tidak terulang
kembali.

45

You might also like

  • Essay
    Essay
    Document1 page
    Essay
    Ely YaNha Imay
    No ratings yet
  • Tugas SECS
    Tugas SECS
    Document1 page
    Tugas SECS
    Ely YaNha Imay
    No ratings yet
  • LBM 1 Blok 4.1
    LBM 1 Blok 4.1
    Document20 pages
    LBM 1 Blok 4.1
    Ely YaNha Imay
    No ratings yet
  • Tugas SECS
    Tugas SECS
    Document1 page
    Tugas SECS
    Ely YaNha Imay
    No ratings yet
  • Tugas SECS
    Tugas SECS
    Document1 page
    Tugas SECS
    Ely YaNha Imay
    No ratings yet
  • Tugas SECS
    Tugas SECS
    Document1 page
    Tugas SECS
    Ely YaNha Imay
    No ratings yet
  • Tugas SECS
    Tugas SECS
    Document1 page
    Tugas SECS
    Ely YaNha Imay
    No ratings yet
  • Tugas SECS
    Tugas SECS
    Document1 page
    Tugas SECS
    Ely YaNha Imay
    No ratings yet
  • Tugas SECS
    Tugas SECS
    Document1 page
    Tugas SECS
    Ely YaNha Imay
    No ratings yet
  • Tugas SECS
    Tugas SECS
    Document1 page
    Tugas SECS
    Ely YaNha Imay
    No ratings yet
  • Print
    Print
    Document1 page
    Print
    Ely YaNha Imay
    No ratings yet
  • Mastectomy
    Mastectomy
    Document5 pages
    Mastectomy
    Ely YaNha Imay
    No ratings yet
  • DESKRIPSI
    DESKRIPSI
    Document19 pages
    DESKRIPSI
    Ely YaNha Imay
    No ratings yet