You are on page 1of 5

RAMBU RAMBU JALAN MENUJU ALLAH

Marilah bersama memulai  berjalan mengembara menuju Allah,dengan


menyebut nama Allah yang maha Pengasih lagi Penyayang.Segala puji bagi
Allah ,Tuhan seluruh Alam.Semoga Allah mencurahkan shalawat kepada
penghulu kita Muhammad SAW.keluarga dan para sahabatnya.

Asy-Syaikh al imam al muhaqiq Abul Fadlil Tajjudin Ahmad bin Muhammad bin
Abdul Karim bin ‘Atha’illah as Sakandari memberikan bimbingan dalam Al Hikam
dan diberi syarah oleh Syaikh Sa’id Hawwa dalam Mudzakiraat fi Manazilis
Shiddiqien wa Rabbaniyyin ( dalam versi bahasa indonesia “Rambu Rambu Jalan
Rohani “diterjemahkan : Imran Affandi ) inilah kutipanya:

Untuk meraih keridhaan Allah,seorang muslim diwajibkan dengan amal dan dalam
waktu yang sama ia diwajibkan untuk tidak bersandar kapada amalnya.hal ini
dimaksudkan agar ia dapat sampai kepada keridlaan Allah, sebab betapapun ia
telah melaksanakan suatu amal, ia tidak dapat menunaikan hak Allah,dan tidak
dapat melakukan kewajiban untuk mensyukuri Nya.

“ Sekali kali jangan (begitu) ;dia (manusia) itu belum melakukan apa yang
diperintahkan Allah kepadanya.: ( ‘Abasa:23).

“ ……. Jika kamu menghitung nikmat Allah,kamu sekalian tidak akan mampu
menghitungnya……….. “.(Ibrahim :34)

Karena itu seorang muslim dituntut untuk tidak bergantung kepada amalnya,Dalam
sebuah hadits Rasulullah saw bersabda :

“Berlakulah kamu setepat dan sedekat mungkin ( tidak berlebihan dan tidak
kurang ).Ketahuilah amal salah seorang dari kalian tidak akan memasukannya ke
dalam surga.Mereka bertanya ;”Engkaupun tidak, ya Rosullah “?.Baginda
bersabda:”Akupun tidak,hanya saja Allah meliputiku dengan ampunan dan rahmad
(diriwayatkan oleh enam imam).
Dalam meninggalkan ketergantungan kepada amal terdapat banyak hikmah yang
bertautan dengan pemahaman tentang Allah dan yang berhubungan dengan
pembersihan jiwa.Bersandar kepada amal menyebabkan tertipu, ‘ujub, lancang dan
tidak sopan terhadap Allahs serta merasa dirinya mempunyai hak hak di sisi
Allah,dan itu semua berbahaya.Jika bersandar kepada amal adalah sumber
kesalahan dan bahaya, dan itu bertentangan dengan maqam maqam
shiddiqun.maka Ibnu ‘Athaillah mengawali pembahasan dengan menunjukan kapada
kita  paramater/ tanda tanda untuk mengetahui  apa kita bersandar kepada amal
amal saleh, lantas mengabaikan bersandar kepada Allah.

Apakah tanda tanda yang menunjukan bahwa anda bersandar kepada amal anda,
atau anda bergantung kapada Allah?Tentu Syaikh Ibnu ‘Atha’illah tidak
mengatakan :”Tinggalkan Amal amalmu”.bahkan sebaliknya beliau justru memotivasi
kita untuk beramal namun ia ingin mengarahkan perhatian kita pada satu persoalan
yang dari celah celahnya kita dapat mengetahui apakah kita bersandar kepada
Allah,atau kepada amal kita.Yang demikian itu dikarenakan seorang muslim harus
memilih keyakinan yang sempurna kepada Allah dalam setiap keadaan,dan
hendaknya keyakinan itu perlahan lahan kian meningkat dan berkembang

1.PARAMATER UNTUK MEMBEDAKAN BERSANDAR PADA ALLAH ATAU AMAL

Ketika anda dapati diri anda telah tergelincir dan telah berbuat kesalahan, lantas hal
itu mengakibatkan berkurangnya keyakinan terhadap Allah dan susutnya
penyadaran diri kepadaNYA,maka itu menunjukan bahwa pada dasarnya anda
bersandar kapada amal amal anda dan tidak bergantung kepada ALLah.Karena itu
syekh Ibnu ‘Atha’illah berkata :”Sebagian dari tanda ketergantungan kepada amal
ialah kurangnya Raja’ (pengharapan kapada Allah) ketika terjadi suatu kesalahan
atau dosa.

Jika keyakinan kita terhadap Allah begitu sempurna, dan jika harapan kita terhadap
Allah pun maksimal, maka segala apa yang terjadi tidak akan mempengaruhi dasar
pengharapan, keyakinan, dan tawakal kepada Allah.Jika anda jatuh dalam dosa,
maka anda bertobat kapada Allah dengan meyakini kesempurnaan tobat anda.Dunia
selalu berubah terhadap anda, namun keyakinan dan kepasrahan kepada Allah tak
pernah goyah, bahkan terus berkembang.Jika terjadi kegagalan dalam urusan dunia,
atau sebab sebab ( untuk memperolehnya) melemah, atau anda jatuh dalam dosa
dan maksiat, lalu karena itu semua menjadi ringan keyakinan anda, menyusut
harapan dan tawakal anda kepada Allah, itu artinya anda dihinggapi kesalahan, yaitu
anda bersandar kepada  amal dan tidak tergantung kepada Allah.Karena itu
hendaklah anda meneliti  kembali diri anda dan memperkokoh penyandaran diri
kepada Allah dalam setiap keadaan.Kewajiban kewajiban syari’atpun mesti anda
tunaikan, yaitu tobat, mengoreksi diri dan melakukan sebab sebab ( usaha ).

2.HARUSKAH MENINGGALKAN PEKERJAAN DUNIA

Bila seorang telah menapakan kakinya  di jalan Allah, maka terbesit dalam hatinya
kecintaan untuk meninggalkan asbab dan meninggalkan pekerjaan dunia.Kita akan
jumpai kecenderungan ini pada golongan manusia ;yaitu ahli ibadah, orang yang
zuhud, da’i yang menyeru kepada Allah dan orang yang alim.Bila mereka itu sudah
menapakan kaki di jalan Allah, maka mereka memiliki semacam penglihatan untuk
mecampakan pekerjaan pekerjaan duniawai ,agar dapatmencurahkan diri
sepenuhnya untuk menkuni masalah masalah ukhrawi ( akhirat).

Seikh ibnu ‘Atha’illah mengajak kita untuk memperhatikan bahwa kecenderungan ini
kadang lahir dari pengaruh hawa nafsu, dan bukan dari pengaruh dari kecintaan
atau perkara ukhrawi yang tulus.bila kita menapakan kaki di jalan Allah,baik sebagai
‘abid(ahli ibadah),Zahid, da’i.ulama,atau orang yang mencari wilayah (kewaian()dan
mencari petunjuk,maka beliau memperingatkan kita agar berfikir:”Apakah titian yang
ku arungi ini pengaruh dari hawa nafsu ?”Misalnya, aku ingin ingin istirahat dari
dunia dengan alasan berdakwah menuju Allah, menuntut ilmu, mengajar atau
dengan dalih beribadah,padahal motivasi sesungguhnya untuk mencurahkan diri 
sepenuhnya(kepada Allah)itu adalah hawa nafsu .Karena itu beliau
berkata:”Keinginanmu untuk tajrid (mencurahkan sepenuhnya),padahal Allah
meletakanmu pada “asbab”(usaha lain/dunia) itu adalah syahwat yang samar.

Yang dimaksud dengan tajrid ialah meninggalkan pekerjaan pekerjaan


duniawi.Beliau berpendapat bahwa jika Anda ditempatkan oleh Allah pada
kedudukan asbab(duniawi),lantas anda berfikir untuk Tajrid(meninggalkan
duniawai),maka ini adalah pengaruh syahwatmu yang tersembunyi.Karena itu
seyogyanya anda tetap berada pada asbab, hingga Allah sendiri yang
mengeluarkanmu;yaitu anda berusaha mencari pekerjaan duniawi kian
kemari,namun tidak mendapatkan atau menemukan asbabnya, atau mungkin yang
memiliki hal itu mengeluarkan anda, atau bisa juga terjadi dengan tiba tiba, maka kal
itu diri anda harus mencurahkan untuk beribadah.ini adalah salah satu macam tajrid,
karena itu teliti dan amati diri anda,sebab Allah meletakan anda disana.

Selanjutnya syeikh ‘Atha’illah menyeru agar memperhatikan adab dalam beramal,


yaitu jika Allah meletakan anda pada asbab,maka tetaplah berpijak pada
asbab.tunaikan apa yang anda mampu dalam menuntut ilmu,berda’wah, atau
beribadah dan jangan berusaha untuk meninggalkan asbab(duniawai).Namun bila
hal itu tidak lahir dari keinginanmu tetaplah anda,karena kadang Allah menahan
asbab itu darimu,lalu anda mendapati terputus,maka disinilah letak TAJRID, atau
tajrit itu kadang datang lantaran suatu sebab yang engkau tidak berdaya
melawannya,yaitu engkau dituntut untuk meninggalkan asbab (oleh Allah) dan
mencurahkan diri pada sesuatu yang hukumnya fardlu ‘ain atau fardlu
kifayah.Contohnya adalah orang yang ditempatkan oleh Allah pada tempat tajrid
tetepi ia tidak sengaja atau tidak memintanya,dan Allah menutup pintu pintu asbab
dunia serta membuka pintu pintu ukhrawi, seperti menuntut ilmu, beribadah, dakwah
atau pelayanan sosial, yang semua itu termasuk perkerjaan  pekerjaan ukhrawi yang
luhur maka inilah tajrid murni dan bagus serta tidak tercela.

Ketka engkau ditempatkan dalam kedudukan tajrid dan terbuka untukmu asbab
da’wah,menuntut ilmu,berkhitmad untuk kepentingan umum,lantas engkau berfikir
untuk meninggalkan tajrid,dan kembali kepada urusan urusan duniawi,maka engkau
sesungguhnya jatuh terjungkal,merosot dan menurun.

Adlaah kemerosotan dari tingkat yang tinggi jika seseorang berada posisi tajrid, lalu
ia berusaha untuk turun ke alam asbab karena tujuan duniawi.

Jika Allah menempatkanmu pada kedudukan orang yang ber tafarugh(konsentrasi


penuh) dalam hal hal semacam ini,maka lakukanlah kewajiban kewajiban dengan
tekun dan janganlah berfikir tentang dunia.Namun bila Allah menempatkanmu pada
asbab, maka janganlah engkau meninggalkanya karena semata mata suka kepada
taffaruq.Jika demikian halnya,maka luputlah dirimu dari dunia dan akhirat.Dunia
terlepas darimu lantaran engkau tidak bekerja, dan akhirat tidak terjangkau olehmu
lantaran niatmu tidak sehat.

You might also like